Friday, October 30, 2009

Mufakat Kebudayaan: Kebudayaan Kerap Disalahartikan Negara

Jakarta, Kompas - Kebudayaan kerap disalahartikan oleh negara. Oleh karena itu, kebudayaan harus menjadi sebuah gerakan pembebasan. Kebudayaan harus mempunyai ideologi, juga harus diatur dalam kebijakan. Kebudayaan mensyaratkan adanya kebebasan demokratis agar terjadi internalisasi nilai oleh publik, bukan hanya dimaknai oleh kepentingan elite.

Demikian salah satu poin utama yang dikemukakan budayawan Radhar Panca Dahana selaku Ketua Pengarah Temu Akbar Mufakat Budaya 2009 kepada pers, Kamis (29/10) di Jakarta.

”Kebijakan negara cenderung mengabaikan rakyat yang diwakilinya. Politik dipahami sebatas jabatan publik, sebagai power dengan kesewenang-wenangan. Pembangunan gagal dalam melakukan pebadanan politik. Hukum diproduksi tidak sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan,” katanya.

Saat memberikan keterangan pers, Radhar Panca Dahana didampingi budayawan Edy Utama, sosiolog Teuku Kemal Fasya, etnomusikolog Rizaldi Siagian, dan seniman Tisna Sanjaya. Temu Akbar Mufakat Budaya 2009 yang berlangsung dua hari, 28-29 Oktober, mempertemukan sekitar 70 seniman, budayawan, pengusaha, dan cendekiawan—dari semua disiplin keilmuan—dari seluruh Indonesia, mulai dari Aceh hingga Papua.

Mereka membahas empat gugus masalah, yakni kebudayaan dan kebijakan negara, kebudayaan dan etika publik, kebudayaan dan ilmu pengetahuan, serta kebudayaan dan identitas. Temu akbar ditutup dengan menonton bersama Pagelaran Indonesia Membaca Rendra di Gedung Kesenian Jakarta, Kamis malam.

Radhar menjelaskan, kebudayaan mesti diposisikan sebagai sistem nilai yang mendasari penyusunan kebijakan. Dan kebijakan itu harus mempertimbangkan karakter masyarakat Indonesia. Pendidikan harus melakukan tugas internalisasi tentang hal itu, lebih pada transfer of values di samping transfer of knowledge. Perlu sebuah strategi kebudayaan yang didasarkan pada hal-hal tersebut.

”Untuk itu, Presiden perlu menegaskan pentingnya kebudayaan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Beberapa cacat kebudayaan dan etika publik sekarang ini diperbaiki dan dikembalikan ke makna yang sebenarnya,” ujarnya.

Kebudayaan, lanjut Radhar, seharusnya memberikan inspirasi etis bagi publik, dan selanjutnya publik memberikan inspirasi kreatif bagi kekuasaan, baik politik, hukum, maupun ekonomi.

Tolak paten

Pada poin utama lainnya, Radhar mengatakan, budaya lokal sudah membuktikan diri selama puluhan milenia memiliki kemampuan untuk adaptif terhadap perubahan serta dapat dikatakan memiliki resiliensi yang tinggi. Dengan demikian, asumsi bahwa budaya lokal adalah bagian dari yang lampau dan statis perlu dipertanyakan kembali.

Oleh karena itu, kebijakan negara yang mematenkan budaya lokal perlu ditolak karena memungkiri kemampuan interaksi yang saling memperkuat yang sudah dibuktikan oleh perjumpaan antarbudaya lokal dan global.

Sistem-sistem berpikir asing tidak bisa dicangkokkan begitu saja ke tanah kultural Indonesia sebab secara kultural kita terbukti mampu mengontekstualkan ”yang asing” sampai tak dapat dikenali lagi keasingannya. (NAL)

Sumber: Kompas, Jumat, 30 Oktober 2009

No comments: