Sunday, July 12, 2009

Kiai, Puisi, dan Pidato

-- Acep Zamzam Noor

KANG Maman, sapaan akrab K.H. Maman Imanulhaq Faqieh, harus bersyukur karena tak lama setelah mondok di berbagai pesantren, ia berhasil menyunting seorang gadis manis asal Jatiwangi. Kang Maman harus bersyukur karena tak lama setelah menyunting gadis manis itu, ia merintis sebuah pesantren bersama mertuanya yang pengusaha restoran. Kang Maman harus bersyukur karena tak lama setelah merintis pesantren dan mendirikan madrasah ia kemudian banyak diundang orang untuk memberikan ceramah. Kang Maman harus bersyukur karena selain fasih mengutip ayat-ayat suci, ceramah-ceramahnya pun segar, penuh kelakar, dan selalu diakhiri dengan doa yang membuat orang menangis. Kang Maman harus bersyukur karena setelah ceramah-ceramahnya diminati banyak orang, ia kemudian dipanggil kiai. Kang Maman harus bersyukur karena setelah dipanggil kiai, ia berkenalan dengan Ahmad Syubbanuddin Alwy. Kang Maman juga harus bersyukur karena setelah berkenalan dengan Ahmad Syubanuddin Alwy, tentu saja ia kemudian bersentuhan dengan puisi.

"FIRST Layer for Verses" Cat Minyak di Atas Kanvas 150X150 Karya Dikdik Sayahdikumulah. (Dok. Ahda Imran)

Mempunyai kemampuan berpidato adalah sebuah anugerah, begitu juga kemampuan menulis puisi. Dipanggil orang kiai adalah sebuah kehormatan, begitu juga dipanggil penyair. Antara kiai dan penyair ada perbedaan namun banyak juga persamaannya. Zawawi Imron, seperti yang kita kenal, penyair asal Madura ini puisi-puisinya sangat religius dan mutunya diakui para kritikus. Selain menulis puisi, ia juga banyak mengisi kolom-kolom keagamaan di berbagai media. Tentu saja ia sangat fasih mengutip ayat-ayat suci karena memang jebolan pesantren. Akan tetapi, berbeda dengan kebanyakan mubalig yang sudah dipanggil kiai dalam usia muda, Zawawi Imron baru dipanggil kiai setelah usianya melewati angka 55.

Sementara Abdul Hadi W.M., yang tulisan-tulisan keagamaannya sangat menyentuh, puisi-puisi sufistiknya sangat menggetarkan, serta kajian-kajian teologi maupun tasawufnya sangat mendalam belum juga dipanggil kiai meskipun rambutnya sudah memutih semua. Begitu juga dengan Taufiq Ismail, yang semua orang tahu puisi-puisinya selalu menyeru pada kebenaran dan memerangi segala macam kemungkaran. Penyair ini juga dikenal sangat alim, taat beribadah, suka memakai peci, dan sering pergi ke tanah suci. Namun entah kenapa, sampai saat ini belum ada yang memanggilnya kiai.

Sebenarnya sebutan kiai tidak selalu ada hubungannya dengan kealiman atau ketaatan beribadat seseorang. Juga tidak selalu ada hubungannya dengan ilmu agama atau dunia kepesantrenan. Sebutan kiai terdapat juga pada budaya yang sedikit banyak punya hubungan dengan mistik. Dalam tradisi Jawa banyak benda-benda pusaka seperti gamelan, keris, pedang, tombak, kereta kencana, sampai peralatan dapur dinamai kiai. Begitu juga dengan binatang-binatang piaraan yang dianggap keramat seperti gajah, kerbau, atau kuda. Bahkan, sebutan kiai juga bisa ditujukan kepada pohon beringin dan tempat-tempat angker seperti hutan atau bukit. Di keraton Yogyakarta semua benda pusaka dinamai kiai, begitu juga dengan binatang piaraan. Di pinggiran kota Magelang ada sebuah bukit yang dinamai Kiai Langgeng, konon karena di bukit tersebut ada sebuah makam keramat.

Dengan demikian, sebutan kiai bukan hanya milik orang yang dianggap menguasai ilmu agama saja. Dalang, pemusik karawitan, penari tradisional, pendekar silat, dukun atau orang sakti juga biasa disebut kiai atau kadang hanya disingkat "ki" saja. Sebutan kiai atau ki muncul sebagai bentuk penghormatan terhadap benda, binatang, atau manusia yang dianggap keramat dan diyakini bisa memberikan berkah atau kebaikan kepada orang banyak. Begitu juga sebutan kiai dalam dunia kepesantrenan. Sebutan kiai tidak hanya diberikan pada orang yang alim, namun lebih-lebih pada orang yang telah mengabdikan sebagian besar hidupnya pada masyarakat. Seorang yang berilmu tinggi namun tidak mau menerjunkan diri ke tengah-tengah masyarakat tidak akan pernah dipanggil kiai.

Dalam konteks ini, sebutan kiai menjadi semacam anugerah atau gelar kehormatan kepada seseorang yang dianggap berjasa pada masyarakat. Seseorang yang menjadi tempat bertanya, tempat mengadu, dan berlindung masyarakat di sekitarnya. Seseorang yang telah mampu mencerahkan masyarakatnya dalam banyak hal. Seseorang yang telah menjadi "sesuatu" yang bermanfaat bagi orang banyak dan tentu saja pihak yang pantas memberikan anugerah atau gelar tersebut hanyalah masyarakat, bukan pemerintah, bukan universitas, juga bukan pesantren apalagi diri sendiri seperti yang banyak terjadi belakangan ini.

***

RASANYA menarik jika membandingkan pidato dengan puisi, atau membandingkan mubalig dengan penyair. Pidato sebenarnya lebih dekat dengan teater ketimbang sastra, sedang mubalig lebih mirip aktor ketimbang penyair. Maka seperti halnya aktor, seorang mubalig dituntut mempunyai vokal yang bagus, gerak tubuh yang lentur, juga stamina serta daya ingat yang tinggi. Seperti halnya aktor yang diharuskan menghapal naskah di luar kepala, mubalig wajib menghapal ayat-ayat dan seperti halnya aktor, mubalig juga dituntut memikirkan performance, paham bagaimana mengatur tempo dan tahu kapan saatnya berimprovisasi. Lalu bagaimana dengan penyair?

Berbeda dengan pidato yang melibatkan publik luas, penyair membacakan puisi hanya untuk forum-forum khusus dan terbatas. Dengan demikian, popularitas seorang penyair pun menjadi khusus dan terbatas pula. Jika ada penyair yang paling terkenal di negeri ini melakukan poligami, mungkin reaksi publik dan media massa tak akan seramai jika Aa Gym kawin lagi. Begitu juga kalau ada penyair yang bercerai dengan istrinya, rasanya tak akan seheboh ketika Rhoma Irama menceraikan Angel Lelga misalnya.

Kenapa penyair tak mudah digoyang urusan pribadi? Salah satu sebabnya karena penyair tidak dibentuk secara instan oleh media massa. Keberadaan penyair ditentukan nilai karya serta integritas kepenyairannya sendiri. Maka puisi-puisi Chairil Anwar akan terus dikenang sekalipun semua orang tahu kehidupan pribadinya berantakan. Begitu juga dengan Rendra yang karya-karyanya tetap diminati meskipun pernah berpoligami. Keberadaan seorang penyair di tengah masyarakat adalah ikon, bukan idol sebagaimana artis. Ini juga yang membedakan antara kiai dengan mubalig. Kiai itu sebenarnya ikon, bukan idol. Makanya tidak semua kiai adalah mubalig kondang, juga tidak semua mubalig kondang otomatis menjadi kiai.

Saya senang sekali ketika mendengar Kang Maman, sebutan akrab dari K.H. Maman Imanulhaq Faqieh akan meluncurkan kumpulan puisi. Saya senang karena pergesekannya dengan sejumlah seniman telah memberi manfaat yang luar biasa. Kini dakwah-dakwah yang dilakukan Kang Maman menjadi lebih berbudaya, pidato-pidatonya lebih bernuansa. Kang Maman juga semakin akrab dengan berbagai jenis kesenian. Dengan demikian, visi keagamaannya semakin tercerahkan hingga mampu berapresiasi terhadap segala macam perbedaan, termasuk dalam hal keyakinan. Rupanya puisi telah membuatnya memahami dan menghormati adanya keragaman.

Akan tetapi, saya tidak akan mengulas puisi-puisi Kang Maman namun akan mencoba menyoroti hal-hal yang berkembang di luar puisi. Hal ini juga penting untuk dibicarakan mengingat belakangan terjadi banyak kesalahpahaman tentang posisi dan peran kiai di tengah masyarakat. Kita mendengar ada label kiai khos, kiai mbeling, kiai sejuta umat, kiai gaul, kiai selebritis, kiai modis, dan semacamnya. Label-label yang kedengarannya ganjil itu kemudian berdampak seolah kiai tak ada bedanya dengan artis yang popularitasnya bisa diangkat secara instan dan kemudian jatuh secara instan pula. Diangkat ketika rating-nya di televisi tinggi, kemudian jatuh ketika sudah tidak laku lagi.

Sebagai seorang teman yang mengapresiasi semua aktivitas dan kreativitas Kang Maman, saya ingin menutup tulisan ini dengan beberapa pesan atau harapan.

Pertama, teruslah menulis puisi karena menulis puisi itu menyehatkan. Bukan hanya menyehatkan bagi diri sendiri namun juga bagi orang lain.

Kedua, berhatilah-hatilah terhadap godaan politik praktis karena politik jenis itu sering menyesatkan. Bukan hanya menyesatkan bagi diri sendiri namun juga bagi orang lain.

Ketiga, banyak-banyaklah bersyukur karena tidak semua orang bisa menjadi kiai sekaligus penyair. Menjadi kiai sekaligus penyair sudah merupakan nikmat yang besar, maka tidak perlu ditambah lagi dengan label lain seperti politisi, broker politik atau tim sukses misalnya. Nanti malah ruwet jadinya.*

* Acep Zamzam Noor, penyair.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 12 Juli 2009

No comments: