Sunday, July 12, 2009

[Buku] Suara Rakyat Hukum Tertinggi

-- JE Sahetapy


• Judul: Suara Rakyat Hukum Tertinggi
• Penulis: DR Frans H Winarta
• Penerbit: Penerbit Buku Kompas, 2009
• Tebal: xiv+466 halaman

NEGARA bukanlah institusi yang kebal hukum, negara dapat dipersalahkan jika dalam pelaksanaannya terjadi pelanggaran hukum (hal 390). Dalam suatu negara hukum, terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap individu sehingga negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang karena tindakan-tindakan negara terhadap warganya dibatasi oleh hukum.

Rule of law mengandung asas dignity of man yang harus dilindungi dari tindakan sewenang-wenang pemerintah/penguasa (Oemar Seno Adji, 1980). Inti dari rule of law adalah terciptanya tatanan keadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Rakyat bisa memperoleh kepastian hukum, rasa keadilan, rasa aman, dan dijamin hak-hak asasinya (hal 390-391).

Buku ini merupakan kumpulan tulisan hasil perenungan, pemikiran, dan pengalaman penulis sebagai seorang advokat dan juga pembela hak asasi manusia serta akademisi terhadap isu-isu hukum yang sedang hangat berkembang di masyarakat pada setiap masanya sejak tahun 1987 hingga 2008.

Tulisan-tulisan tersebut merupakan sebuah otokritik penulis yang mengurai dan memaparkan persoalan dunia peradilan secara apa adanya. Selain membahas rule of law dan bagaimana mewujudkannya di Indonesia, dibahas juga etika profesi advokat, pemberian jasa hukum oleh advokat, organisasi advokat yang ideal, mafia peradilan, independensi hakim, hukum bisnis, masalah hak atas kekayaan intelektual, nilai-nilai kepemimpinan yang tegas, pelajaran yang dapat diambil dari krisis ekonomi, serta masalah pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia, di antaranya mengenai hak kaum minoritas dan bantuan hukum untuk kaum miskin.

Topik-topik menarik tersebut dibagi dalam enam bab yang disusun secara sistematis. Dalam Bab 1 ini, tanpa tedeng aling-aling penulis menguliti profesi advokat yang selama ini dituding sebagai salah satu simpul dari mata rantai mafia peradilan. Selain itu, juga dibahas bagaimana sebenarnya modus mafia peradilan, apa dan bagaimana advokat hitam itu, mengapa para advokat di Tanah Air selalu gagal membentuk badan tunggal serta organisasi advokat yang ideal dan mengenai bantuan hukum untuk kaum miskin.

Selanjutnya Bab 2 menyoroti masalah pelanggaran HAM dengan topik utama diskriminasi. Penulis mengurai perilaku sesama anak bangsa yang kerap terjebak dalam sikap-sikap yang mengedepankan perbedaan SARA. Padahal perbedaan SARA dalam suatu negara yang majemuk merupakan hal yang alami sehingga suatu perbedaan tersebut tidaklah patut untuk dipertentangkan, tetapi justru dapat semakin mempersatukan bangsa. Studi literatur yang dilakukan penulis juga menemukan tidak sedikit sikap diskriminasi ini dipicu oleh rumusan undang-undang yang memang diskriminatif.

Korupsi

Pada Bab 3 penulis membahas perilaku koruptif para aparatur negara dan masih setengah hatinya usaha pemerintah dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi. Salah satu sebab korupsi sulit diberantas hingga tuntas karena sifat hedonisme, konsumerisme, ketamakan, dan krisis moral yang melanda lembaga-lembaga negara di Indonesia. Tujuan untuk menggapai pangkat, harta, kesenangan duniawi, hidup mewah berlebihan, tamak, dan krisis moral telah mengakibatkan penegakan hukum di Indonesia terganggu.

Dalam Bab 4, dibahas secara gamblang mengenai sejarah dan modus operandi mafia peradilan di Indonesia. Penulis menguraikan peristiwa-peristiwa yang menunjukkan adanya mafia peradilan di Indonesia dan faktor-faktor yang mendukung berkembangnya mafia peradilan. Mafia peradilan ini telah mengakibatkan karut-marutnya sistem peradilan di Indonesia dan tidak independennya aparat penegak hukum.

Mengenai beberapa putusan pengadilan yang jauh dari rasa keadilan dengan mengabaikan hak asasi manusia dibahas di Bab 5. Pada bagian ini penulis juga menyinggung nilai-nilai kepemimpinan yang tegas dan perlunya sosok pemimpin yang reformis untuk memimpin bangsa ini sehingga mampu menjadi pemimpin yang dapat menjadi panutan dan dapat mengayomi seluruh rakyat Indonesia.

Pada bab terakhir, yaitu Bab 6, penulis membeberkan produk-produk hukum dan permainan politik penguasa yang menjadikan hukum sebagai alat untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya melalui konspirasi dengan pengusaha nakal.

Buku Suara Rakyat Hukum Tertinggi ini bukan saja memperkaya bahan bacaan kita mengenai dunia hukum dan keadilan di Tanah Air, tetapi juga mengaitkan kondisi faktual dengan segi-segi normatif dari teori-teori hukum serta nilai-nilai filosofis yang mendasari pemikiran penulis. Lebih daripada itu, merupakan suatu hal yang menarik mengingat profesi penulis sebagai advokat, di mana profesi advokat merupakan salah satu elemen dari caturwangsa penegakan hukum di Tanah Air (polisi, jaksa, hakim dan advokat). Namun, penulis sebagai seorang advokat berani melakukan otokritik serta mengurai dan membeberkan karut-marut dunia peradilan kita secara detail dan apa adanya.

Profesionalisme penulis sebagai advokat dalam menjalankan dan menjaga wibawa profesi advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile) dapat dilihat dari praktik pemberian jasa hukumnya. Salah satu syarat yang ditekankan penulis kepada setiap klien yang datang meminta jasa hukum adalah bahwa setiap klien harus berkata sejujurnya dan terbuka tentang kasus yang dihadapinya. Apabila klien terbukti berbohong, hal tersebut akan membawa kerugian bagi klien.

Ketegasan, kejujuran, dan profesionalisme ini tak pelak merupakan keharusan karena advokat adalah profesi terhormat, di mana salah satu fungsi dan peran advokat adalah sebagai pengawal konstitusi (The Guardian of Constitution) dan pembela hak-hak asasi manusia. Dengan bantuan advokat, hak-hak klien seperti hak untuk melakukan pembelaan diri, mengajukan bukti-bukti, mengetahui tuntutan yang diajukan kepadanya, serta hak untuk diadili lembaga peradilan yang independen dan jujur dapat terlaksana secara maksimal.

* JE Sahetapy, Ketua Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia

Sumber: Kompas, Minggu, 12 Juli 2009

No comments: