Monday, December 10, 2007

Museum Itu Dijaga Pengemis...

-- Nurhadi Rangkuti

SUATU malam menjelang peringatan Hari Pers Nasional tanggal 9 Februari 1996 di Kota Solo. Seusai santap malam, pandangan tertumbuk pada patung-patung kuna dari batu, terpajang rapi di teras depan sebuah bangunan kolonial yang redup dan pucat terbias sinar lampu remang-remang. Bangunan itu berada persis di sebelah tempat jajan serba ada yang terang benderang.

Ketika didekati, dua kepala bocah remaja muncul dari balik patung Buddha. Mereka sedang bermain kartu. Seorang lelaki tua yang lusuh mendengkur kecapaian di kaki Durgamahisasuramardini, arca Dewi Durga penakluk kerbau jadi-jadian dalam mitologi Hindu.

"Penjaganya sedang di belakang," kata salah seorang bocah pengemis itu acuh tak acuh ketika ditanya di mana petugas satpam yang menjaga gedung tua itu.

Hati kecut juga melihat 28 buah sosok batu pahatan dari abad VII sampai X Masehi terpajang lepas tanpa pengamanan sama sekali. Tak ada batas pengaman dengan kendaraan bermotor yang diparkir, dengan orang-orang yang bersantap malam di lingkungan halaman gedung tua itu, dan pengemis yang bercampur baur dengan warisan budaya tersebut. Gapura masuk pun terbuka lebar setiap malam.

Dua orang tua datang mendekat setelah mengunci pagar samping bangunan. Seorang lelaki tua yang lusuh dan renta, Teguh Suharjo (60), didampingi istrinya Welas (60), itu rupanya yang dimaksud sebagai penjaga malam Museum Radya Pustaka, museum terkenal di Kota Solo. Sosok pasangan tua itu tidak punya potongan petugas satpam sama sekali, bahkan lebih pas jika dikelompokkan bersama pengemis lainnya yang numpang tidur di depan museum.

"Sudah dua puluh tahun saya menjaga museum ini," kata Teguh perlahan-lahan. Pasangan dari Bayat, Klaten, ini adalah tunawisma yang telah dipercaya memegang kunci pintu Museum Radya Pustaka.

Harga dirinya sempat terusik ketika ditanyakan apakah profesinya sebagai pengemis. "Saya pernah berjualan jagung selama setahun di depan sana," kata Welas, istri Teguh, berkilah.

Tak banyak yang diceritakan pasangan suami-istri itu dalam menjalankan tugasnya sebagai penjaga malam museum. Pulang ke museum setiap pukul empat sore, setelah seharian "bertugas" mengukur jalan Kota Solo. Lalu mereka mengepel lantai dan menyapu serta mengisi air kamar mandi museum.

Kisah yang mungkin dapat mengukuhkan kedudukannya sebagai petugas satpam museum adalah keberhasilan menggagalkan upaya pencurian patung-patung batu beberapa waktu lalu. Peristiwanya menjelang subuh, ujar Welas. Seorang lelaki turun dari mobil lalu mengambil arca batu, melangkahi wanita tua yang sedang tidur di teras depan itu.

"Maling, kok, reco watu (patung batu)!" teriak Welas ketika terbangun.

Sang pencuri panik dan jatuhlah barang curiannya, kemudian kabur naik mobil. Welas menunjuk arca Agastya dan jaladwara (saluran air dari batu yang biasa terdapat pada bangunan candi) yang gagal digondol pencuri itu.

Penggagalan pencurian koleksi museum berkat pasangan pengemis itu diamini oleh Sudaryanto Daryopustoko (60), pegawai penjual karcis masuk museum. "Lihat itu lubang di lantai bekas tertumbuk batu jaladwara," katanya sambil menunjuk ke lantai marmer bagian kanopi museum.

Dicuri


Entah masih bertugas entah tidak pasangan pengemis dan pegawai penjual tiket masuk museum itu sekarang. Yang jelas, kekhawatiran yang tebersit sepuluh tahun lalu sekarang menjadi kenyataan.

Dua puluh delapan arca yang diletakkan di teras museum kini sebagian telah raib. Pada akhir September 2007, Balai Pelestarian dan Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah mengetahui delapan arca telah hilang, benda yang asli sengaja diganti dengan benda tiruan atau dipalsukan (Kompas, 10/11). Termasuk Arca Durgamahisasuramardini dan Agastya yang dulu juga nyaris hilang.

Berita raibnya benda-benda koleksi Museum Radya Pustaka terus menggelinding menjadi bola panas. Polisi telah menetapkan empat tersangka. Tiga tersangka adalah orang dalam museum sendiri, sedangkan seorang lagi adalah perantara. Hebohnya, lima arca yang hilang ditemukan di rumah seorang pengusaha terkemuka di Jakarta.

Lebih heboh lagi, ada "surat sakti" untuk meloloskan artefak-artefak itu dari museum yang diterbitkan oleh dua institusi yang berwibawa dalam melindungi benda cagar budaya. Belakangan surat itu dinyatakan palsu juga.

Konspirasi pencurian patung-patung batu dan artefak lain koleksi Museum Radya Pustaka pasti tak pernah dibayangkan oleh pasangan pengemis yang pernah menggagalkan pencurian arca batu 10 tahun yang lalu. Kali ini museum dibobol oleh orang-orang dalam sendiri.

Konglomerat

Sepuluh tahun lalu, mungkin juga sampai sekarang, masalah dana menjadi kendala utama dalam mengelola museum dan koleksinya. Hal itu disampaikan KRT Soehadi Darmodipuro atau biasa disebut Mbah Hadi, Direktur Museum Radya Pustaka saat itu. Inti masalah yang dihadapi museum adalah biaya operasional sehari-hari.

Satu lemari berisi mikrofilm naskah-naskah Museum Radya Pustaka tidak dapat dioperasikan. Dia mengakui, sejak selesai dibuat pada tahun 1982 oleh Nancy K Florida, peneliti dari Cornell University, New York, mikrofilm itu sama sekali belum pernah digunakan.

Pada waktu itu ada brosur Museum Radya Pustaka yang diketik oleh Mbah Hadi sendiri dan digandakan dengan difoto kopi. Di bagian belakang halaman brosur ada imbauan yang ditujukan kepada kalangan konglomerat: "Apabila bapak-bapak pemilik uang sampai miliar rupiah, sudilah menyisihkan sebagian untuk menolong museum yang merana ini. Seorang meminjamkan uangnya Rp 10 juta dan dibutuhkan 10 orang untuk dapat mengumpulkan dana Rp 100 juta. Dana ini bukan diberikan gratis, tetapi disimpan di bank. Museum hanya memerlukan bunganya untuk digunakan menambah karyawan, memperbaiki kesejahteraan karyawan, dan untuk merawat koleksi".

Orang yang tidak peduli masalah dana barangkali hanya Teguh Suharjo. Pengemis itu berkeliling memerhatikan orang-orang yang tidur bersama arca-arca batu di teras depan museum. Sebelum masuk ke dalam lewat pintu samping, ia sempat mengawasi mobil-mobil yang masuk.

"Esok pagi saya harus menyediakan sesaji buat Kiai Rojomolo," katanya. Kiai Rojomolo adalah nama hiasan haluan dan buritan perahu Paku Buwono IV, salah satu koleksi museum yang unik.

Sering kali Teguh membeli perlengkapan sesaji dengan uang sendiri. Sebutlah seperti kembang, kopi, dan air mineral. Sapu yang dipakainya setiap pagi dan sore pun dibelinya sendiri.

Kini ada yang berubah di museum itu. Patung-patung batu dari abad VII hingga X Masehi berganti menjadi patung kuno dari abad XXI. Ironis!

* Nurhadi Rangkuti, Arkeolog, Saat Ini Kepala Balai Arkeologi Palembang

Sumber: Kompas, Senin, 10 Desember 2007

No comments: