Sunday, May 16, 2010

Nyiar Lumar, Nasibmu...

SEBAGAIMANA yang tersiar di jejaring Facebook, "Nyiar Lumar", acara pergelaran seni budaya dua tahunan yang diselenggarakan berbagai komunitas seniman budayawan Ciamis yang mengambil tempat di situs Astana Gede Kawali, untuk tahun ini terpaksa ditunda pelaksanaannya. Setelah semula jauh-jauh acara yang telah berlangsung sejak 20 Mei 1998 ini dirancang dengan bayangan akan berlangsung di malam purnama, 29 Mei mendatang, akhirnya terpaksa ditunda. Penundaan yang terpaksa ini bahkan tanpa batas waktu yang bisa dipastikan. Dan soal yang bisa memastikan kapan "Nyiar Lumar" bisa diselenggarakan, bukanlah menyangkut kesiapan panitia penyelenggara. Akan tetapi, bergantung pada cairnya dana dari peme-rintah.

Dana yang belum juga cair dari pemerintah inilah yang menyebabkan mengapa "Nyiar Lumar" tahun ini terpaksa ditunda. Meski sejak dua bulan sebelum pelaksanaan pihak penyelenggara telah mengajukan proposal yang ditujukan ke gubernur, bahkan telah melengkapinya dengan sejumlah persyaratan, tetapi hingga mendekati waktu penyelenggaraan ternyata belum juga tanda-tanda bahwa dana itu akan cair.

"Karena sampai mendekati hari pelaksanaan belum juga ada tanda-tanda turunnya dana, bahkan sampai sekarang belum juga ada kabarnya, kami terpaksa mengundurkan pelaksanaannya sampai dana itu cair," ujar Godi Suwarna.

"Nyiar Lumar" merupakan event seni budaya yang dirancang sendiri oleh sejumlah seniman Ciamis, berawal 1998. Mengambil tempat di situs Astana Gede Kawali Ciamis, event dua tahunan ini menjadi peristiwa menarik dalam konteks pertemuan dan peleburan seniman, pe-ristiwa seni, dan masyarakat. Sejak pelaksanaannya yang pertama, sejumlah seniman dari berbagai kota di Indonesia pernah tampil. Jangan sebut lagi para seniman tradisi, seperti Bi Raspi dan Ronggeng Gunung.

Rangkaian acara Nyiar Lumar selalu berawal dari Kantor Kecamatan Kawali, sebelum para ratusan, bahkan mungkin ribuan peserta yang terdiri atas seniman dan masyarakat berjalan bersama menuju Astana Gede Kawali dengan menggunakan obor. Di situ, hingga larut malam dan pagi hari berlangsunglah berbagai pertunjukan, mulai dari tari, pembacaan puisi, teater, dan berbagai bentuk ekspresi seni lainnya.

"Nyiar Lumar" secara harfiah berarti "mencari cendawan yang ber-cahaya". Event yang bisa dibaca sebagai sebuah festival ini bisa pula dimaknai sebagai "ritus" kolektif yang tak hanya menjadi peristiwa seni, melainkan juga menjadi peristiwa sosial yang melibatkan langsung masyarakat sekitarnya. Bukan hanya interaksi mereka dengan peristiwa seni, melainkan interaksi di antara mereka dalam bentuk berbagai aktivitas ekonomi.

"Sebenarnya dalam ’Nyiar Lumar’ tahun ini kami ingin mencoba dengan rancangan konsep yang berbeda. Tahun ini kami ingin menggunakan konsep pasar malam saja, pertunjukan yang tersebar di beberapa tempat sehingga penonton bisa memilih dan menyebar," ujar Godi Suwarna.

Menurut Godi, tahun ini seniman yang akan berpartisipasi dalam "Nyiar Lumar" di antaranya Tisna Sanjaya, Rachman Sabur, kelompok teater dari SMA Lembang, Ronggeng Gunung, beluk dari Tasikmalaya, dan Tarawangsa dari Rancakalong.

**

DITUNDANYA pelaksanaan "Nyiar Lumar" tahun ini mungkin bukanlah persoalan besar, mengingat sudah terlalu seringnya para seniman budayawan terkendala persoalan klasik, yakni pendanaan dari pemerintah yang lamban. Kelambanan inilah yang sering membuat ketar-ketir seniman, terlebih mengingat acara ini sudah dijadwalkan. Ini tidak terkecuali bagi event-event yang diadakan secara kontinu, seperti, Festival Drama Basa Sunda (FDBS) dan Nyiar Lumar.

Inilah yang lantas menjadi persoalan besar, jadwal yang meleset karena dana belum cair. Akhirnya, seperti "Nyiar Lumar", tak ada jadwal yang bisa dipastikan dalam setiap dua tahun penyelenggaraannya. Sebagaimana tahun ini, kepastian waktu pelaksanaan amat bergantung pada cairnya dana. Dengan kata lain, waktu dan peristiwa seni nasibnya amat bergantung pada kinerja pemerintah dalam memproses ajuan pendanaannya.

Maka, perhatian dan efektivitas birokrasi kerja pemerintah di sini benar-benar menentukan. Kepasti-an suatu peristiwa seni-budaya bisa terlaksana atau tidak amat ditentukan oleh kinerja mereka. Ini lantas menjadi niscaya ketika pemerintah masih menjadi satu-satunya sumber pendanaan bagi pelaksanaan berbagai event seni budaya.

Nasib "Nyiar Lumar" yang terpaksa ditunda karena dana yang belum juga cair dari pemerintah, merupakan contoh dari hal tersebut. Penundaan ini merupakan implikasi dari ketergantungan itu. Bagi komunitas seniman budayawan ketergantungan itu juga menjadi sesuatu yang tak terhindarkan, mengingat keterbatasan akses mereka pada sumber-sumber pendanaan selain pemerintah. Oleh karena itulah, bisa dipahami jika sampai hari ini pemerintah masih menjadi satu-satunya sumber pendanaan bagi berbagai event kesenian. Lagi pula, bukankah hal itu telah menjadi bagian dari kewajiban pemerintah?

Lepas dari itu, soal lebih jauh ternyata tak hanya muncul akibat birokrasi pemerintah yang dianggap lamban. Melainkan juga keterbukaan dan kesediaan para seniman untuk membuka diri demi mencari akses pendanaan lain selain mengandalkannya pada peme-rintah.

"Ya, saya kira seniman pelan-pelan harus mulai mengubah cara berpikirnya untuk tidak terus memandang pemerintah sebagai satu-satunya sumber pendanaan. Teman-teman harus punya wawasan baru dalam berkomunikasi untuk bekerja sama dengan berbagai komunitas di luar mereka, misalnya, art management. Merekalah yang biasanya memiliki akses ke sponsor," ujar Wawan Juanda yang menyayangkan penundaan "Nyiar Lumar ini".

Menurut dia, para seniman harus mulai mengubah cara berpikirnya bahwa kalau tidak ada dana, event kesenian tidak bisa terselenggara. Apalagi dana yang dimaksud sumbernya selalu pada pemerintah. Tentu saja benar bahwa kewajiban pemerintahlah mendanai event-event seni budaya, terlebih seni budaya tradisi, seperti yang banyak ditampilkan dalam "Nyiar Lumar".

"Akan tetapi, pemerintah hanya salah satu, bukan satu-satunya. Mesti dicari sumber lain dan strategi manajemen event yang lain, lewat kreativitas melakukan komunikasi," ucapnya menambahkan. (Ahda Imran)

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 16 Mei 2010

1 comment:

Unknown said...

Semoga nyiar lumar tetap berjalan tiap tahun,karena ini besar artinya demi kemajuan budaya bangsa kita,khususnya Kawali.
Nice share kawan,makasih ya,salam kenal dari Papua,happy blogging.