Tuesday, September 29, 2009

"Matinya Toekang Kritik" ke Singapura

Jakarta, Kompas - Aktor Butet Kartaredjasa (48) tengah menyiapkan lakon Matinya Toekang Kritik karya Agus Noor, untuk dipentaskan di Esplanade, Singapura, pada 12 Oktober mendatang.

Namun, karena pihak pengundang hanya bersedia menanggung transportasi dan akomodasi untuk enam orang, sementara yang hendak berangkat 12 orang, yang terdiri atas pemain, kru, tim artistik, multimedia, dan pemusik, Butet masih berjuang mengetuk hati para dermawan.

”Sekarang saya sedang berjuang mengetuk kedermawanan sejumlah pihak, termasuk Garuda Indonesia, supaya nantinya kami bisa bener-bener pentas di sana. Dapat undangan main ke mancanegara kan merupakan diplomasi juga. Biar Indonesia tidak disangka hanya mampu mengekspor PRT,” tutur Butet, Minggu (27/9) malam.

Karena sudah lama tidak dipentaskan—terakhir Agustus 2007 di Brisbane, Australia—semua pemain terpaksa latihan dari nol. ”Menghafal lagi. Banyak dialog yang sudah lupa,” lanjut Butet. Sebelumnya Matinya Toekang Kritik sudah dipentaskan di Jakarta dan sejumlah kota lain di Indonesia.

Menurut dia, tema lakon ini masih aktual sampai hari ini. ”Cocok untuk dimainkan (lagi) di sini, untuk mengingatkan pihak-pihak tertentu yang alergi terhadap kritik. Apalagi sekarang sudah mulai terlihat tanda-tanda hak publik mau dibonsai kayak zaman Orba.”

Kisah

Lakon Matinya Toekang Kritik berkisah tentang Raden Mas Suhikayatno, tukang kritik nomor wahid yang hidup melintasi zaman demi zaman. Bahwa dari zaman ke zaman si Raden itu mencoba bertahan menjadi tukang kritik meski perbuatannya tersebut, ia selalu mendapat cibiran, bahkan namanya dihapus dari ingatan zaman. Sosoknya bagai penggerak sejarah, yang kemudian dilupakan dan kesepian.

”Lakon ini mencoba menggambarkan keberadaan tukang kritik yang ada pada setiap zaman. Tukang kritik itu suara zaman, tetapi sering kali perannya dikucilkan,” ujar Butet.

Ia memungut nama Suhikayatno dari asal kata ”hikayat” dan suku kata akhir ”no”. Kata ”hikayat” bermakna cerita dan suku kata ”no” biasa ”diidentikkan” dengan orang Jawa. (POM)

Sumber: Kompas, Selasa, 29 September 2009

No comments: