Thursday, June 08, 2006

Nuansa: Wis... Dom

-- Udo Z. Karzi

MAMAK Kenut bukannya tidak mau menghormati bahasa Indonesia kalau pakai istilah keren model "wisdom" segala. Sebenarnya, kamus (politik) orang Indonesia sudah mencantumkan, antara lain apa yang disebut dengan "arif" atau "kearifan", "bijaksana" atau "kebijaksanaan", dan "adil" atau "keadilan".

Mamak Kenut hanya ingin merangkum semua istilah itu dalam kata "wisdom". Soalnya, dalam realitas politik di Negarabatin, dia sama sekali tak melihat kata ini dipakai. Kebanyakan pemimpin di Negarabatin lebih menonjolkan "kuasa" ketimbang "wisdom" dalam mengambil keputusan atau bertindak.

Beberapa lagi lebih mengutamakan unsur balas dendam politik ketimbang benar-benar memikirkan segi-segi yang lebih substantif, misalnya, asas manfaat, kemaslahatan, dan yang lebih penting, dampak dalam jangka panjang, dari sebuah keputusan.

Sedang asyik-asyiknya Mamak Kenut membolak-balik Kitab Kearifan (karya Bahaudin Walad terjemahan Ahmad Yulden Erwin), Mat Puhit datang menyodorkan koran. "Apa yang menjadi rasionalitas dari tindakan Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. menganulir Surat Wakil Gubernur-NYA (NYA huruf besar!), Syamsurya Ryacudu kepada Mendagri mengenai Usulan Pembentukan Kabupaten Pesawaran?"

Mamak Kenut yang lagi benci dengan kelakuan buruk para politisi dan pemimpin di Negarabatin yang suka seago-ago (semau-mau, tetapi bukan--sori nih kepada--Sutan Seago-ago), malah nyahut seago-ago, "Sudahlah yang begituan sih urusan kaum elite. Jangan tanya padaku."

"Waduh Mamak, jangan apatis begitu dong!"

"Lo, saya bukan apatis. Sebagai rakyat sah di Negarabatin, saya justru sedang protes berat nih."

"Protes kok diam aza?"

"Protes diam namanya!"

"Diam artinya setuju."

"Itu dulu. Diam berarti mau."

"La, protes kok diam, mana ada yang tahu."

"Pemimpin itu harusnya pinter mengartikan diamnya masyarakat. Dia harus proaktif mencari tahu mengapa masyarakat pada umumnya diam aza."

"Ah, sudah. Sekarang, bagaimana pendapat Mamak soal yang tadi?"

"Tanyakan pada Yang Mahatahu...."

"Matek nyak...."

Untung ada Udien. Dia menjelaskan Sjachroedin menolak surat Syamsurya karena substansi surat Wagub itu menyangkut kebijakan yang bersifat teknis dan khusus yang memerlukan pembahasan komprehensif bersama instansi terkait. Selain itu, usulan pembentukan kabupaten Pesawaran tersebut juga belum dikoordinasikan Wagub bersama instansi terkait.

"Api muneh?" tanya Minan Tunja tiba-tiba.

"Ah, sudahlah. Tunggu saza episode apalagi yang bakal terjadi setelah ini. Soal rasionalitas, kearifan, kebijaksanaan, dll. dari keputusan itu, nyang buat keputusan yang paling bertanggung jawab. Tanno, ram ngupi pai," kata Pitghagiras yang menyajikan minuman. Inilah enaknya jadi rakyat!

Wis... Dom. Sudah wis, ya pedom. n

Sumber: Lampung Post, Kamis, 8 Juni 2006

No comments: