Sunday, September 05, 2010

Pemeran: Syair-syair di Papan Tulis

-- Idha Saraswati

PERUPA Jumaldi Alfi menggelar pameran tunggal di Sangkring Art Space, Bantul, Yogyakarta, 1-7 September. Dalam pameran berjudul Life/ARt #101: Never Ending Lesson ini, ia kembali menampilkan karya seri. Kali ini, ia memamerkan apa yang disebutnya sebagai syair berwarna: syair-syair yang divisualkan dalam sebuah lukisan.

Lukisan karya Jumaldi Alfi ditampilkan pada pameran bertajuk Life/ARt #101: Never Ending Lesson di Sangkring Art Space, Kasihan, Bantul, DI Yogyakarta, Kamis (2/9). Pameran tersebut berlangsung hingga 7 September mendatang. (KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO)


Memasuki ruang pameran, pengunjung akan langsung disapa papan-papan tulis besar seperti yang menempel di dinding depan ruang kelas di sekolah. Di atas papan tulis hitam itu, tulisan digoreskan menggunakan kapur tulis.

Tulisan itu bertumpuk-tumpuk, saling tindih, sehingga sejumlah kata hanya tampak samar, berupa jejak tipis yang enggan pergi disapu penghapus.

Melihat sekilas, karya tersebut benar-benar menyerupai papan tulis betulan dengan tulisan yang dibuat dari kapur tulis betulan. Padahal, papan tulis itu adalah sebuah lukisan di atas kanvas.

Dalam sebuah karya berjudul ”I Think it’s Not Art, It’s About Life” misalnya, Alfi menuliskan kalimat I Think It’s Not Art, It’s About Life berulang-ulang di sembarang permukaan papan tulis. Ada kata yang sengaja ditulis tebal, ada yang tipis. Ada juga kata yang sengaja dikoreksi dengan menambahkan coretan dua garis melintang di atasnya.

Dari rangkaian kata-kata itu, satu kata mendapat penekanan lebih. Alfi lantas bermain-main dengan susunan huruf yang membentuk kata tersebut. Pada kata L-i-f-e, misalnya, ketika satu huruf dihilangkan, maka muncullah kata Lie. ”Makna bisa berubah hanya karena satu huruf saja dihilangkan,” katanya.

Permainan huruf ini terdapat dalam karyanya yang lain. Selain kata Life yang berubah menjadi Lie, misalnya, ada kata Fine yang berubah menjadi Fin¯ yang dalam bahasa Perancis berarti ”tamat”.

Selain tulisan yang menyerupai goresan kapur tulis, Alfi juga membuat tulisan dari selotip kertas. Selotip kertas itu menempel di papan tulis, membentuk huruf dan kata.

Pada karya lainnya, tulisan-tulisan itu diproyeksikan dari proyektor sehingga bisa muncul dan hilang berulang-ulang kali di atas papan tulis.

Total ada sebelas karya yang dipamerkan Alfi dalam pameran ini, terdiri dari sembilan lukisan, satu slide projector, dan satu karya instalasi. Rencananya, semua karya ini akan diboyong ke Valentine Willie Fine Art, Kuala Lumpur, Malaysia, Oktober mendatang.

Penyair gagal

Alfi menyebut karyanya sebagai syair berwarna. Sebagai orang Minangkabau, Alfi merasa dekat dengan syair. Bahkan, ia sempat diarahkan untuk menjadi penyair oleh pamannya yang juga seorang penyair. ”Tapi gagal,” ujarnya sambil tersenyum.

Jalan yang terbuka bagi Alfi ternyata adalah jalan seni rupa. Ia pun meramu syair dengan seni yang digelutinya sehingga karya-karyanya sejak dulu selalu ditaburi dengan kata dan kalimat.

Ia mengaku, ketika menjadi penyair, ekspresinya tidak selalu tuntas. Merangkai kata dari awal hingga akhir ternyata bukan pekerjaan yang mudah. Oleh karena itu, ia selalu mengagumi penyair. ”Saya sering merasa kesulitan menjaga intensitas sehingga hilang di tengah jalan,” ujarnya.

Di wilayah visual, keterbatasan itu ternyata tidak ia temui. Dalam berkarya, ia bisa memulai dari mana pun, tidak harus dari awal atau akhir. Meski begitu, karyanya sampai saat ini masih kerap bermula dari sebuah syair.

Dalam karyanya yang dipamerkan kali ini, kalimat-kalimat yang ditulis di atas papan tulis itu sebagian ia pinjam dari pernyataan dan pemikiran sejumlah seniman yang ia kagumi, seperti Martin Kippenberger, Ed Ruscha, hingga lirik lagu Pink Floyd.

Sebagai bentuk penghormatannya pada syair, Alfi sengaja mengundang penyair senior Zawawi Imron untuk membuka pamerannya. Mereka berdua bahkan berkolaborasi untuk membuat karya instalasi berjudul ”Never Ending Lesson”.

Dalam karya ini, Alfi meletakkan tengkorak manusia dalam sebuah perahu kayu bercadik. Di dalam perahu itu, ia juga menaruh berpotong-potong kapur tulis warna-warni. Tengkorak itu bisa jadi menggambarkan kondisi seorang nelayan di laut yang sebenarnya adalah tengkorak berbalut daging. ”Ide kapal ini dari Pak Zawawi,” kata Alfi.

Kurator Enin Supriyanto yang menulis untuk pameran ini dengan mengutip penulis Puthut EA menyatakan, karya-karya Alfi hadir atas dorongan masa lalu. Hidup yang dijalani dan dialami dari masa lalu secara acak namun beruntun muncul kembali dalam karya-karyanya.

Itu juga yang terlihat dari pilihannya untuk menampilkan papan tulis, yang merupakan tempat untuk memaparkan informasi dan pengetahuan. Di papan tulis, pengetahuan itu mengalami proses ditulis dan dihapus berulang kali.

Bagi Alfi, papan tulis menyimpan jejak sejarah yang bisa ditelusuri. Ada teks yang mengabur di sana sehingga masa lalu yang tidak bisa ditemui lagi itu masih bisa dirasakan. Masa lalu, seperti papan tulis, memberikan pelajaran dengan caranya sendiri.

Sumber: Kompas, Minggu, 5 September 2010

No comments:

Post a Comment