Sunday, September 05, 2010

Catatan dari Amsterdam (1): Mencuri Cinta, Enak...

-- Bre Redana

TROPENMUSEUM di Amsterdam di antara ribuan museum di Belanda merupakan salah satu yang penting. Bahkan, sebagai museum etnografi, boleh jadi dia paling terkemuka di seluruh Eropa. Di museum dengan bangunan tak kalah historik ini tersimpan lebih dari 340.000 benda koleksi dari berbagai dunia.

Benda-benda itu mengungkapkan narasi mengenai masyarakat dan sejarahnya. Sebuah patung dari kayu berbentuk ikan berwarna merah ternyata adalah peti mati dari masyarakat Ghana. Kalau penduduk Ga di Ghana selatan meninggal, ia akan dikubur dalam peti mati yang bisa berupa ikan ataupun pesawat terbang—kelihatannya tergantung kesukaan yang bersangkutan semasa hidup.

Koleksi dari Indonesia, jangan dipertanyakan lagi banyaknya. Bekas tuan di masa kolonial itu di museum ini mengumpulkan berbagai benda dan dokumen penting sampai film yang membuat kita serasa kembali ke abad-abad lampau. Surat-surat Kartini, film mengenai pendidikan di Jawa akhir tahun 1800-an, kehidupan keluarga Belanda di Semarang awal tahun 1900-an, bros emas setinggi 8 sentimeter berupa patung Sutasoma yang kalau di Indonesia pasti di tangan kolektor, dan lain-lain.

”Opera Jawa”

Di hall utama Tropenmuseum tanggal 2-5 September ini dipentaskan Opera Jawa karya sutradara Garin Nugroho serta komposer Rahayu Supanggah dan penata tari Eko Supriyanto. Diawali dari bentuk film pada tahun 2006, melalui Opera Jawa, Garin berusaha mengeksplorasi episode paling inspiratif dari epos Ramayana, yakni hubungan Rama-Sinta dengan intruder Rahwana.

Sejak pengungkapannya di film, yang paling penting dicatat dari Opera Jawa adalah bagaimana Garin berusaha membebaskan karakter-karakter dalam Ramayana supaya tidak beku dalam stereotip. Stereotip karakter merupakan khas wayang. Lahir ”jebrot” Sinta sudah cantik, baik, setia. Rama semata-mata baik dan Rahwana semata-mata jahat. Garin mencoba mengembangkan karakter-karakter ini. Dalam versi film, tokoh-tokoh itu ditempatkan pada setting pedesaan di Jawa.

Setelah itu Garin mengembangkannya lagi di panggung lewat subjudul Ranjang Besi (Iron Bed). Bentuk pemanggungan Ranjang Besi lebih dekat ke teater. Ranjang Besi sudah dipentaskan di beberapa tempat di Indonesia dan Eropa.

Kali ini, Opera Jawa diungkapkan dalam tafsir lebih baru lagi, sekaligus dengan bentuk pengungkapan yang juga baru. Opera Jawa kali ini mengambil bentuk opera, yakni pemanggungan gerak tari dan tembang.

Soal tubuh

Dipanggungkan oleh 11 pemain yang terdiri atas para lulusan dan mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Solo dibanding tafsir-tafsir sebelumnya, Opera Jawa kali ini menjadi yang paling menggetarkan. Sinta, dimainkan oleh lulusan ISI Solo yang kini menjadi penyanyi campursari, Ida Lala, menghidupkan tokoh Dewi Sinta yang tidak pasif. Sinta kita dalam opera ini adalah Sinta yang darinya kita bisa membaca perasaan wanita yang sebetulnya justru tak terpahami oleh suaminya, Rama.

Seperti dalam cerita klasik pewayangan, mungkin juga tidak jelas benar mengapa Rama begitu bersusah payah meninggalkan Sinta untuk mengejar-ngejar kijang kencana atau kijang emas. Atas permintaan istri? Dalam tafsir mutakhir, istri yang mengajukan permintaan yang tidak-tidak, jangan-jangan cuma karena ingin mendapatkan perhatian lebih. Tak banyak pria bisa membaca lapis-lapis perasaan perempuan.

Dalam ketidakhadiran Rama, muncul tokoh Rahwana (dimainkan oleh Eko Supriyanto), yang datang dengan gejolak berkobar-kobar. Lagi-lagi membandingkan dengan cerita klasik Ramayana, Rahwana barangkali cuma didorong oleh nafsu, dorongan tubuh, dorongan persebadanan. Opera Jawa mencoba membebaskan diri dari perangkap normatif itu.

Justru di sini hubungan raga antara Sinta dan Rahwana menguak sisi penting eksistensi tubuh—yang oleh sebagian kalangan sering dianggap tidak penting, terlebih jika dikaitkan dengan upaya pencarian diri. Umumnya, untuk urusan pencarian diri, orang berpaling pada sisi jiwa, spiritual, seolah-olah tak ada urusan dengan tubuh.

Lewat persinggungan antartubuh, kita melihat Rahwana telah menyerahkan segala-galanya bagi Sinta yang didambakannya. Jiwa dan nyawa kalau perlu ditumpahkan semua lewat ekspresi tubuh yang bergelora itu untuk mengisi apa yang kosong pada Sinta.

Pada sisi ini juga kita seketika melihat bagaimana Sinta menemukan apa yang tidak ada pada dirinya dalam hubungannya dengan Rama. Gejolak Rahwana yang bergulung-gulung telah mendamparkan Sinta pada dunia lain yang tak pernah dikenalnya. Lewat pengalaman tubuh dia dibawa pada titik ketidakberdayaan: menjadi tawanan nafsu menggelora dari pihak yang menangkapnya, yang pada gilirannya menawan diri sendiri. Titik ketidakberdayaan lewat pengalaman tubuh telah membawa pada kesadaran baru akan arti cinta, arti pengorbanan, arti perjuangan (demi mendapatkan cinta), arti keberanian, arti kenekatan, arti petualangan, yang semuanya ditunjukkan Rahwana. Sang sutradara agaknya paham benar, mencuri cinta lebih memabukkan daripada mendapatkan cinta.

Di situ kelihatan benar betapa hampa sebenarnya Rama (diperankan oleh Heru Purwanto). Ketika Sinta kembali lagi pada Rama jelas bukan Sinta yang dulu. Sinta yang ini boleh jadi Sinta yang mengalami luka-luka, tetapi luka itu adalah luka cinta. Luka dan kerinduan akan cinta membuat seorang perempuan mati pun siap. Kenaifan cinta Rama tak akan mampu menambal luka yang disebabkan oleh cinta.

Di panggung ini kita melihat Rama yang kehilangan akal. Dengan tusuk konde ia tusuk dan binasakan Sinta. Sinta mati, tapi kita tahu Sinta berbahagia. Sementara Rama menjadi seperti monyet dan kemudian gila.

Durasi pentas satu setengah jam telah membawa penonton—berlangsung tiga hari, dengan setiap malam tempat duduk sekitar 600 kursi dan harga tiket 30 euro terisi—pada klimaks yang menakjubkan. Semua bertepuk, berdiri dari tempat duduk.

Kontemporer

Dunia seni kontemporer adalah dunia keserempakan. Epik tradisional diangkat untuk melihat persoalan masyarakat masa kini, yang juga tengah bergulat dengan problem purifikasi tubuh oleh kaum puritan di satu pihak dan para penggiat kebebasan di lain pihak. Masa lalu adalah masa kini. Lihat itu di sekeliling kita.

Bukan hanya dalam gagasan seni kontemporer melakukan keserempakan. Seni kontemporer juga melakukan keserempakan berbagai bidang. Perupa Heri Dono yang sebagian besar hidupnya dihabiskan dengan wira-wiri antarnegara menghadirkan wayang-wayang karton untuk mendukung pertunjukan. Di latar belakang panggung yang tata lampunya digarap Iskandar Loedin beberapa kali dipantulkan instalasi karya Entang Wiharso, Tita Rubi, dan Agus Suwage.

Rahayu Supanggah memberikan sumbangan luar biasa dengan musiknya. Ia tinggalkan norma-norma gamelan Jawa yang biasanya membedakan sangat ketat antara slendro dan pelog. Dua hal itu oleh Supanggah dijadikan satu. Bahkan, ia melakukan hal yang oleh dunia Barat sendiri sangat dihindari, yakni desonansi. Ia menemukan pola tersendiri lewat struktur yang seolah tidak teratur dan tak jelas ujung pangkalnya. Dengan cerdas dia telah menghadirkan bunyi-bunyian yang tak kalah mutakhir dibandingkan dengan bentuk perupaan pementasan itu sendiri.

Dalam pemilihan bentuk kesenian yang tepat, para seniman kita bisa mengaktualisasikan diri secara maksimum dalam pentas kontemporer ini. Vokal campursari Ida Lala membantu menghidupkan tokoh Sinta yang sebenarnya menyimpan keliaran terpendam. Pesinden bertubuh subur Endah Laras memberi interval segar dan mengundang tepuk tangan riuh ketika memainkan ukulele menyanyikan keroncong rindu cinta.

Bagaimanakah selanjutnya kita menempatkan diri dalam globalisasi industri kebudayaan? Topik itu akan dibahas minggu depan. (Bersambung)

Sumber: Kompas, Minggu, 5 September 2010

No comments:

Post a Comment