Sunday, May 16, 2010

Keajaiban Narasi Urban

DI tangga sebuah pura, sepasang pengantin berjalan melewati barisan tentara yang menyambut dengan pedang pora. Di kejauhan, samar-samar keindahan pantai Bali dengan matahari senja, kota, pura, dan perdesaan. Orang-orang memandang kedua sejoli itu lazimnya suasana pernikahan yang mewah. Akan tetapi, diam-diam ada yang tak lazim di situ. Keganjilan hubungan antara konteks lokasi (Bali) dan penanda busana mereka yang hadir dalam pernikahan tersebut. Pengantin perempuan mengenakan gaun Barat dengan penutup kepala ala wanita India, dan pengantin pria memakai seragam militer yang biasa dikenakan tentara Diraja Malaysia. Kain yang dililit pada bagian pinggang dan selempang merah yang menyilang.

Demikian pula dengan uniform deretan tentara yang tengah mengacungkan pedang pora. Mereka mengingatkan kita pada uniform tentara Diraja Malaysia. Beberapa tamu perempuan yang menyaksikan tampak memakai sari khas tradisi India, atau kebaya panjang dengan model Barat. Lelaki pembawa payung pengantin berdiri dengan busana paduan India dan Melayu.

Dengan kata lain, tak ada satu pun penanda yang menempel pada tubuh orang-orang yang berada di situ yang berhubungan dengan tradisi Bali meski ritual pernikahan itu berlangsung di pura. Akhirnya, pura dan segala pemandangan yang mengingatkan kita pada ruang bernama Bali, terkesan hanya sebagai lokasi yang tak lagi memiliki hubungannya dengan penanda yang menempel pada tubuh manusia. Pura seakan dipinjam sebagai lokasi pernikahan tanpa memiliki pemaknaan apa pun.

Mengusung kontradiksi atau putusnya perhubungan antara manusia dan kultur tempatnya berpijak sehingga ruang geografis hanya sebagai keterangan tempat. Inilah yang hadir di atas kanvas Arifien Neif dalam karyanya "Wonderful World". Sebuah lukisan yang sekaligus menjadi tajuk pameran tunggalnya di Galeri Zola Zulu Bandung, 7-13 Mei 2010. Pameran ini menampilkan tiga puluh lukisan dan karya patung. Pamerannya di Bandung merupakan pameran tunggal kembali setelah dua tahun sebelumnya ia berpameran tunggal di Galeri Nasional Singapura.

Seperti tajuk pameran tunggalnya kali ini, Arifien Neif memang mengusung berbagai ketakjubannya pada keajaiban dunia manusia. Dan sebagaimana dalam pameran tunggalnya di Galeri Nasional Singapura,"Fine Romance" (2008), dunia manusia yang dimaksud Neif adalah dunia manusia urban. Dunia manusia dengan berbagai keajaibannya yang kerap kali terasa menjadi ironi dan senantiasa berada di antara di antara hasrat, cinta, sensualitas, hibrid, dan alienasi itu sendiri.
**

MENYUGUHKAN keajaiban dunia manusia urban yang kontradiktif dan ironi inilah yang selalu menjadi konsentrasi gagasan kesadaran Arifien Neif. Di atas kanvasnya, dunia ini terhidang tak ubahnya narasi. Kanvas Neif selalu membayangkan berbagai peristiwa tak ubahnya adegan di atas panggung. Paling tidak, selain "Wonderful World", ini juga terasa dalam "Siraman", "Take a Change on Me, I do My Very Best", juga " Teach Me". Menatap berbagai adegan peristiwa di situ audiens seakan diajak membayangkan berbagai narasi di dalamnya.

Berbagai narasi di atas kanvas Arifien Neif kerap kali hadir dengan gagasan pada kesadaran betapa ironinya keajaiban dan keindahan yang ada dalam dunia manusia urban. Sakralitas tradisi dan primordialisme, seperti mengemuka dalam "Wonderful World", dilenyapkan atau teralienasi di tengah hasrat manusia urban, demikian pula sebaliknya. Narasi-narasi tradisi dan sakralitas primordialisme, serta terputusnya perhubungan dengan manusia urban semacam ini, sering kali menjadi narasi peristiwa yang naif.

Narasi seperti ini, misalnya, tampak dalam "Siraman". Karya ini mengambil setting upacara siraman dalam tradisi perkawinan Jawa, lengkap dengan barisan tentara keraton yang menjadi latarnya. Dalam upacara tradisi yang yang mestinya sakral ini, seorang perempuan menyiramkan air dalam gelas ke arah pengantin perempuan, disaksikan para pengunjung yang kaget. Di depan karya ini audiens seakan diajak membayang narasi ihwal peristiwa tersebut, seraya menduga-duga siapa perempuan yang menyiramkan air ke arah pengantin perempuan itu.

Karya ini mungkin menghidangkan peristiwa narasi yang konyol, ketika ritual siraman berubah menjadi peristiwa penyiraman. Akan tetapi soalnya, lewat narasi semacam itu Arifien Neif sekali lagi tengah merepresentasikan kesadaran ihwal relasi antara dunia tradisi dan dunia manusia urban. Keajaiban di situ ingin dimaknai sebagai ironi ketika dunia tradisi hanya melulu menjadi upacara.

Dunia manusia urban juga merupakan narasi dalam hasrat yang melampaui batas-batas. Bukan hanya batas geografis, melainkan juga ideologis. Sosialisme-komunisme dan kapitalisme bukan lagi menjadi pertentangan yang penting untuk dimaknai. Keduanya bisa membaur sebagai paduan kepentingan demi menegaskan hasrat. Inilah yang dimunculkan Neif dalam "I Can See My Dream Reflection in Your Eyes", dengan meminjam figur Mao Zhe Dong dan Marilyn Monroe yang sedang duduk mesra. Marilyn berpakaian seksi dan sedang menarik dasi Ketua Mao, keduanya tampak berada di loteng dengan pintu yang terbuka. Karya ini agaknya merupakan seri dari karya dengan tema sama, yakni, "Will You Marry Me".

Akan tetapi, tampaknya bukan peristiwa itu benar yang menjadi tekanan dalam karya-karya Arifien Neif, melainkan pada bagaimana suasana yang berlangsung dalam peristiwa tersebut. Sehingga, narasi yang ada di balik peristiwa tersebut seolah-olah terbangun atau dibentuk oleh suasana.

Demi memberi aksentuasi pada suasana, kanvas Arifien Neif tak pernah menyisakan sedikit pun ruang kosong. Berbagai figur dan objek hadir nyaris memenuhi seluruh karyanya dengan tekanan pada latar suasana perkotaan dan alam. Bergerak dengan estetika suasana semacam ini detail dan kesempurnaan dalam unsur kebentukan memang tidak lagi menjadi konsentrasi Neif. Terlebih lagi ia cenderung melakukan distorsi bentuk demi menegaskan imajinasi kenaifannya. Sebutlah, misalnya, objek botol yang dihadirkan dengan leher yang selalu melengkung.

Kenaifan bentuk dan narasi peristiwa merupakan strategi Neif untuk menyuguhkan estetika suasana. Bangun narasi suasana ini dihadirkan lewat olahan warna-warna terang nyaris pada seluruh karyanya, terutama merah. Teknik pewarnaan lewat sapuan yang melayang tipis, terutama pada warna-warna putih, memberi kesan citraan yang lembut pada sejumlah objek. Demikian pula sapuan pada bidang datar yang menjadi lanskap objek untuk memberi aksentuasi pada garis perspektif. Kuat terkesan pada olahan perwarnaan ini, Arifien bekerja dengan perhitungan yang ketat pada detail. Nyaris tak ditemukan satu pun bagian dalam karyanya yang memperlihatkan sapuan pewarnaan dengan tarikan yang lepas.

"Posisi Arifien Neif dalam seni rupa Indonesia bisa dikatakan unik dan aneh. Ia berada di luar radar perkembangan seni rupa Indonesia, seperti jalur Bandung-Yogyakarta. Karya-karyanya tetap bisa bertahan di tengah gempuran seni rupa kontemporer seperti yang terjadi sekarang," ujar kritikus seni Jean Couteau. (Ahda Imran)

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 16 Mei 2010

No comments:

Post a Comment