SASTRA Sunda hari ini berada dalam perkembangan tradisi kritik yang menye-dihkan. Karya-karya terus lahir tapi kritik seolah jauh tertinggal di belakang. Hadiah sastra Rancage, Lembaga Basa jeung Sastra Sunda (LBSS), dan sejumlah hadiah sastra dari berbagai lembaga seperti Paguyuban Pasundan atau juga majalah Mangle juga sayembara-sayembara, agaknya bisa dibaca sebagai bagian dari infrastruktur kritik. Akan tetapi berbagai hadiah dan sayembara itu sampai hari ini tidak (atau mungkin belum) melahirkan wacana pemikiran atas sastra Sunda. Sehingga dari tahun ke tahun, perkembangan sastra Sunda dan berbagai hadiah serta sayembara itu terkesan hanya mencari pemenang.
Di lain sisi, karya sastra Sunda sendiri bukan tanpa persoalan. Memang, karya-karya terus lahir dan terbit. Tetapi karya-karya itu pucat pasi, tidak melahirkan isu-isu kesadaran pada pembacanya. Bukankah kritik yang bagus hanya niscaya lahir jika ada karya-karya yang menarik untuk dikritisi? Dengan kata lain, mustahil berharap akan lahir sebuah tradisi kritik dalam sastra Sunda jika regenerasi yang lahir hanyalah sederetan mereka yang menulis melulu untuk klangenan.
Mengurai pertanyaan dari manakah ini bermula, tak adanya kritik karena tak ada karya yang layak dikritik atau karena kritik itu sendiri yang memang mandul, sama rumitnya dengan mencari jawaban mana yang lebih dulu antara ayam dan telur. Lepas dari soal itu, ada memang satu kenyataan bahwa banyak orang lebih bernafsu menjadi sastrawan (kreator) ketimbang kritikus. Bahkan ini adalah permasalahan laten yang tak hanya terjadi dalam sastra Sunda, tapi juga sastra berbahasa Indonesia, bahkan dalam perkembangan seni secara keseluruhan.
Namun, bukan lantas kondisi ini menjadi pembenaran, sebab lengangnya kritik sastra Sunda juga berkorelasi dengan banyak soal dalam medan sosial sastra Sunda itu sendiri. Termasuk dunia perguruan tinggi dan perkembangan media. Sejumlah generasi baru dalam sastra Sunda terus lahir, namun mereka kehilangan jejak untuk melacak perkembangan yang ada di belakangnya. Padahal di era 1970 dan 1980-an, sastra Sunda bergerak dengan berbagai wacana pemikiran yang ketat, sehingga melahirkan generasi sastrawan Sunda dengan karya-karya yang terus terdengar hingga hari ini.
Jika sastra tunakritik ini terus dibiarkan, maka perkembangan sastra Sunda hanya akan menjadi ruang tanpa roh. Karya-karya tentu akan terus lahir, tetapi tak ada apa pun di dalamnya selain klangenan, dan tak ada peta sejarah untuk melakukan rujukan. Karya-karya akan lahir tapi menghilang begitu saja seperti halnya sebuah perayaan.
**
DEMIKIAN lontaran pemikiran yang muncul dari sejumlah sastrawan dan penggiat sastra dalam merespons perkembangan sastra Sunda yang sepi dari kritik, wacana, dan isu-isu pemikiran. Karya sastra Sunda hari ini nyaris berkembang dalam ruang yang melulu penuh dengan perayaan tanpa meninggalkan jejak isu pemikiran di dalamnya atas berbagai perubahan besar yang terus berlangsung. Tak ada pembacaan yang lebih jauh dari hanya sekadar launching buku, seremoni penyerahan pemenang berbagai hadiah sastra dan sayembara. Sangat sulit mengingat kapan terakhir berlangsung acara diskusi sastra Sunda setelah acara Pengadilan Puisi Yayat Hendayana di GK Rumentang Siang, Oktober 2007. Jangan sebut lagi polemik di media-massa. Meski memang, berbagai media masih menampilkan esai atau kritik, seperti dilakukan Teddy Muhtadin di Majalah Cupumanik. Begitu juga yang pernah dilakukan alm. Duduh Durahman di Majalah Mangle.
"Kritik sastra Sunda sekarang melempem, justru di tengah makin banyaknya doktor dalam studi Sastra Sunda," ujar penyair Godi Suwarna seraya membandingkannya dengan perkembangan 1970-an.
"Ketika itu sajak dianggap barang asing. Itu ramai sekali. Di majalah Mangle, redaktur menentukan karya yang diajukan kepada pembaca siapapun, untuk mengkritiknya di penerbitan yang akan datang. Namanya Leuleuileuyang. Saya masih kabagian semangat kritis ini, ketika carpon kedua saya yang berjudul "Uwak-Awik" mendapat tanggapan dari beberapa orang. Begitu juga puisi-puisi pertama saya. Dengan membaca kritikan para senior, saya bisa lebih mematangkan konsep dan teknik, juga menambah semangat berkarya," ujarnya mengenang.
Hal senada juga dilontarkan novelis Cecep Burdansyah. Namun, ia tak melihatnya melulu dari konteks kritik, melainkan juga bersebab dan berkorelasi dengan perkembangan karya itu sendiri. Dalam keseluruhan inilah ia bahkan ia menilai betapa sastra Sunda hari inisedang sakit parah dan harus segera dilarikan ke ICU.
"Saya berani mengatakan sastra Sunda dalam fase yang genting sekarang ini. Karya-karya sastra Sunda dewasa ini tidak melahirkan isu-isu yang penting kepada pembacanya, sehingga kritik pun menjauh dan bisu sama sekali," katanya
Kritik baru muncul kalau ada karya yang bagus. Karya bagus tentu memunculkan isu-isu perubahan, baik dalam bentuknya, kekuatan intelektualnya, maupun kekuatan bahasanya. Kalau isu-isu ini dikandung karya-karya yang lahir dewasa ini, baru kritikus berkepentingan memberi responnya. Akibat lebih jauh, kata dia, sulit sekali menyebut telah lahir generasi penulis andal.
Ia merasa aneh melihat bagaimana pengarang dewasa ini tak bercermin pada era 1960-1970-an. Pada era itu, kritik sastra Sunda subur. Nama-nama seperti Popo Iskandar dan Ajip Rosidi adalah mereka yang terpacu menulis kritik karena memang lahir karya-karya penting, baik sajak, prosa, bahkan esai. Mengorbitnya nama-nama Yus Rusyana, Ahmad Bakri, Iskandarwasid, Godi Suwarna, dibantu oleh kritik terhadap mereka. Kritik itu bisa hadir kalau memang ada pengarang yang layak dicatat.
Dalam pandangannya, sekalipun sekarang pengarang dan karya berjibun, kalau tidak memberi kontribusi pada estetika, kekuatan bahasa dan intelektual, kritikus tak akan mau mencatat sederet nama penulis itu, karena memang karyanya tak layak dicatat. Karena itulah kritik pelan-pelan mati seiring dengan makin kaburnya arah penulisan sastra Sunda. Tetapi, ini bukan berarti orang yang bisa memberi kritik itu tidak ada. Ia menyebut Abdullah Mustappa, Duduh Durahman, hingga Hawe Setiawan, dan Teddy Muhtadin punya kemampuan untuk memberi kritik.
"Dari beberapa diskusi dan dialog, sangat jarang pengarang Sunda yang menulis dengan terlebih dahulu menggugat dirinya sendiri. Mengapa ia menulis cerpen, novel, sajak, atau esai? Apa kerangka estetikanya, apa filosofi yang mendasari tulisan tersebut? Perubahan apa yang dicapai dalam sastra Sunda kalau tulisan ini lahir? Boleh dikatakan, dewasa ini pengarang Sunda menulis tidak berangkat dengan gugatan tadi. Karena berangkat tidak dengan kegelisahan, hasilnya pun hanya karya-karya yang menyerupai mayat. Terlalu jauh kalau berharap dengan penerbitan dan hadiah kemudian muncul isu-isu penting," ujar Cecep.
Tak adanya karya yang menarik sehingga tak merangsang orang untuk menulis kritik juga disepakati oleh sastrawan Sunda senior Abdullah Mustapa. Selain bersebab pada sedikitnya orang menaruh minat pada dunia kritik, lengangnya kritik sastra Sunda juga disebabkan karena tak adanya karya yang menarik untuk dikritik. Demikian pula dengan berbagai hadiah sastra Sunda dan sayembara.
"Pada awalnya saya menyimpan harapan dan membayangkan bahwa hadiah-hadiah sastra itu akan bisa menjadi bagian dari infrastruktur kritik, tetapi nyatanya tidak. Misalnya, kapan karya pemenang Hadiah Sastra Rancage itu dikritik, kan tidak?" ujarnya, seraya menyetujui pandangan Godi Suwarna yang memandang hadiah-hadiah sastra itu lebih hadir sebagai kritik bisu dan tidak begitu berpengaruh pada pertumbuhan serta perkembangan estetika. "Bisa jadi begitu. Hadiah-hadiah sastra memang selalu subjektif. Dan sampai sekarang saya belum melihat hadiah-hadiah itu membuka wacana pemikiran."
Cecep Burdasyah menambahkan, betapa hadiah sastra sudah menjadi seremoni untuk mengisi kekosongan. Terkadang pengarang yang menang hadiah itu sebetulnya dalam proses seleksinya sangat dipaksakan.
Maka, jika kondisi ini terus berlangsung menurut Abdullah akan membawa banyak sastrawan berkarya tanpa pemetaan dan tak bisa terbaca dalam peta sastra Sunda.
Sedang di mata Cecep Burdansyah karya-karya akan terus bertebaran, tetapi seperti sampah berserakan. Pengarang-pengarang terus bermunculan, tetapi seperti pemabuk yang tidak tahu arah jalan dengan mulut terus nyerocos. Akhirnya sampai kapan pun sastra Sunda tidak diperhitungkan dalam peta sastra baik di tingkat nasional maupun internasional. (Ahda Imran)***
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 18 Oktober 2009
No comments:
Post a Comment