Sunday, August 24, 2008

Wacana: Akrobat Kata-kata, Kebohongan, dan F Rahardi

-- Hamsad Rangkuti*

DALAM acara Temu Sastra, Masyarakat Sastra Asia Tenggara di Palangkaraya, yang tidak dihadiri F Rahardi, saya menganjurkan—dan ini memang tugas saya karena saya diundang untuk itu—agar para pengarang muda tidak menghabiskan perhatian dan waktunya untuk main akrobat dengan kata-kata karena ada kecenderungan pada kaum muda—seperti saya waktu muda—untuk cenderung berakrobat dengan kata-kata (Kompas, 15/7). F Rahardi kemudian menulis tanggapan di media ini berdasarkan potongan ucapan saya yang dia ramu dengan imajinasinya sendiri. Tanggapan jenis itu pernah juga dia tulis mengenai pernyataan saya bahwa ”Sastra = kebohongan”. Nada kedua tulisannya sama, yaitu nada seorang penilik sekolah atau pertanian dengan fatwa-fatwa tegas: ”ini salah, itu kurang bagus, begini, begitu” kepada para guru atau petani yang keringat dan darahnya menjadi satu dengan pendidikan dan tanah pertanian. Sebagaimana guru dan petani Indonesia yang sopan dan rendah hati (boleh juga rendah diri) di hadapan pejabat penilik, saya pun hanya manggut-manggut takzim. Itu saya lakukan pada tindakan F Rahardi untuk ”meluruskan” saya (ini istilah Rahardi sendiri). Kini sang penilik itu dengan lantang menulis lagi di koran ini untuk kembali ”meluruskan saya”. Tapi, karena ini era reformasi dan para petani atau guru tidak selalu harus takzim pada teguran mereka yang gemar menjadi penilik, saya kemukakan beberapa jawaban. Jawaban ini sama sekali bukan tindakan untuk ”meluruskan”: F Rahardi, karena berbeda dengan Rahardi yang dengan gaya penilik berfatwa saya ”jelas salah” dan jenis-jenis itu, saya tidak begitu yakin apakah saya salah atau benar dan Rahardi salah atau benar. Toh, pembaca lebih cerdas dari yang sering kita duga.

Pengarang muda (atau tua) memang tidak sepatutnya main akrobat kata-kata. Entahlah kalau pengarang itu memang mau jadi politikus yang ahli dan gemar akrobat kata-kata. F Rahardi mengatakan bahwa tren penulisan prosa dewasa ini cenderung mengutamakan style. Lepas dari benar tidaknya ucapan dia, para pengarang sejati tidak ada urusannya dengan tren. Apakah Marguez ikut-ikutan tren? Kalau Chairil Anwar ikut-ikutan tren yang ada waktu itu, saya kira sastra Indonesia tidak akan mencatat nama Chairil Anwar sebagai sastrawan hebat. Kalau Rendra juga ikut-ikutan tren tahun 50-an, buat apa kita semua membaca dan menghargai Rendra. Salah satu saran saya buat pengarang muda, juga buat pengarang tua seperti F Rahardi kalau dia masih mengarang, jadilah diri sendiri dan jangan ikut-ikutan tren.

Tren mengutamakan style tentu tidak ada hubungannya dengan akrobat kata-kata. Lagi pula F Rahardi hanya menyederhanakan saja waktu mengatakan bahwa tren dunia mengutamakan style. Dunia atau bukan, pengarang sejati tidak mengutamakan style karena style adalah hasil pergulatan pengarang sejati dengan hidup. Novel Jelinek dan novel-novel Orhan Pamuk adalah novel-novel hebat dan tidak ada pada mereka aksi genit akrobat kata-kata dan mengutamakan style. Begitu juga dengan Naipaul. Semua novel ini sudah beredar terjemahannya dalam bahasa Indonesia, jadi gampang dicari. Mungkin saya salah contoh karena mereka memang bukan pengikut tren alias kurang trendy.

Ada pernyataan menarik lain dari F Rahardi, yaitu ”Pada perkembangan lebih lanjut, terutama pada prosa yang ditujukan semata-mata sebagai hiburan, plot menjadi hal utama. Tokoh diciptakan demi kelancaran plot. Itulah yang terjadi pada ”sastra sinetron kita”. F Rahardi yang menyebut-nyebut Iwan Simatupang tentu ingat esai terkenal Iwan yang berjudul ”Mencari Tokoh bagi Roman” dan pentingnya tokoh bagi sastrawan. Justru soal tokoh inilah yang paling gawat pada sinetron-sinetron kita. Semua tokoh dalam sinetron tidak ada yang kuat dan mengesankan maka plotnya pun membosankan. Sinetron kita mungkin style-nya ikut tren, tapi tokoh-tokohnya payah sampai-sampai hal dasar tokoh pun tidak jelas (latar belakang, pekerjaan, etnik, pendidikan, hobi, dsb) sampai sinetron berakhir.

Mengenai fatwa Rahardi bahwa saya di Palangkaraya itu, seyogianya cukup bercerita bagaimana proses kreatifnya berlangsung, tentu saya terima dengan takzim. Tentu dia berfatwa begitu karena saya bukan orang sekolahan dan hanya otodidak. Lain kali kalau ada undangan untuk cerita proses kreatif, saya akan cerita proses kreatif. Saya tahu diri hanya akan bicara proses kreatif saja. Di luar itu pasti salah. Dan kalau ada undangan dari sana-sini untuk membicarakan urusan di luar proses kreatif, saya akan menolak dan menyarankan panitia untuk menghubungi F Rahardi saja. Karena, meskipun F Rahardi sama seperti saya sama sekali bukan orang sekolahan (saya hanya sampai SMP), dia jauh lebih pandai daripada saya, lebih canggih, lebih teoretis, dan lebih trendy.

Yang paling membuat saya kagum dan takjub dalam tulisan Rahardi adalah pernyataannya bahwa saya cemburu kepada sastrawan muda, khususnya Triyanto dan Afrizal. ”Cerpen Triyanto dan esai Afrizal Malna, inilah, dugaan saya, (saya = F Rahardi) yang membuat Hamsad melontarkan ‘Akrobat Kata-kata‘ itu.” Untuk urusan ini, mohon janganlah F Rahardi suka menduga-duga. Afrizal dan Triyanto menulis bukan baru kemarin sore. Sewaktu saya masih menjadi Pemimpin Redaksi Horison, saya berkali-kali memuat tulisan mereka, jadi mengapa saya harus cemburu dan mengapa baru sekarang saya buka suara! Kalau F Rahardi menganggap tulisan Triyanto dan Afrizal Malna hanya akrobat kata-kata, itu sepenuhnya urusan dia dan tak perlu membawa-bawa saya. Kalau F Rahardi menganggap Afrizal dan Triyanto pengarang muda, lantas siapa pengarang tua selain dia dan saya? Atau Rahardi juga masih mau mengaku muda?

Apakah Rhoma Irama kebakaran jenggot karena cemburu kepada Inul atau karena memang ada yang membakar jenggotnya, itu urusan dia dan saya juga tidak tahu apa penyebabnya karena tidak bertanya. Apakah F Rahardi kebakaran jenggot (saya bohong—istilah F Rahardi berimajinasi—karena Rahardi tidak punya jenggot) pada pernyataan saya karena cemburu kepada saya yang cuma bakat alam, atau karena mencari simpati alias cari muka Triyanto yang sekarang menjadi pengurus Pena Emas, itu tak mau saya bahas. Buat apa bergunjing kalau kita bisa berkarya. Tapi, mengatakan saya jealous alias cemburu kepada Afrizal Malna atau Triyanto? Please dong ach (pakai bahasa Inggris juga dong). Pertama, saya tidak pernah menganggap tulisan Triyanto dan Afrizal akrobat kata-kata (ini sepenuhnya anggapan Rahardi); kedua, karena anggapan itu anggapan pribadi F Rahardi, maka kecemburuan juga boleh jadi kecemburuan pribadi Rahardi yang seolah-olah mau ditimpakan kepada saya.

Apakah kekuatan novel Ayu Utami tentu masih bisa diperdebatkan. Apakah kekuatannya ada pada style (seperti kata Rahardi), pada bagian Prabumulih (seperti kata saya), pada politik propaganda terpadu (seperti kata Katrin Bandel), atau pada urusan seksnya (seperti dibicarakan banyak orang). Saya kira pembahasan masalah ini urusan orang sekolahan atau urusan F Rahardi meski dia bukan orang sekolahan.

Saya berpendapat dan saya yakini bahwa sastra yang baik bukanlah akrobat kata-kata. Boleh saja F Rahardi punya pendapat berbeda. Adapun akrobat atau cari perhatian tentu tergantung dari konteksnya dan tergantung dari kualitasnya. Ketika ada acara gamelan atau konser musik klasik, dan orang-orang sedang menikmatinya, bisa saja F Rahardi mencoba datang dengan kelompok drumband melagukan mars lalu melintas di sana. Kadang-kadang kita bisa saja berakrobat dengan kata-kata seperti dilakukan F Rahardi dalam tulisannya menjelaskan ini dan itu. Sebatas akrobat kata-kata mungkin belum terlihat. Tapi, coba dipraktikkan dan ha ha ha setelah itu mari kita bicarakan lagi hasilnya.

Terakhir, dan ini penting, adalah soal kebohongan dalam sastra. Saya pernah mengemukakan bahwa ”sastra = kebohongan”. F Rahardi sebagaimana dia katakan pernah ”meluruskan” (sumpah, kata ”meluruskan” ini dari Rahardi sendiri lho). Maka, ketika penerbit meminta saya memasukkan tulisan Rahardi di buku saya, saya setuju saja agar semua orang bisa membaca tindakan ”meluruskan” itu yang tentu saja tidak ada gunanya. Saya sampai sekarang tetap beranggapan bahwa ”sastra = kebohongan”, dan semua orang saya kira paham maksudnya. Betulkah saya harus menjelaskan kepada Rahardi bahwa kata kebohongan di sana adalah kiasan, perumpamaan, dan sebagainya. Sebagai bukan orang sekolahan yang tak paham teori-teori, saya menyebutkan bahwa sastra = kebohongan.

Meskipun banyak bagian dalam sastra berakar atau mengacu pada kenyataan, sastra adalah fiksi alias kebohongan. Tentu saja kalau saya katakan kebohongan, maka tidak ada kaitannya dengan kebohongan para petinggi atau politisi yang gemar korupsi serta menebar janji palsu. Apakah Sukri benar-benar membawa pisau belati seperti yang digambarkan dalam cerpen saya ”Sukri Membawa Pisau Belati” sama sekali tidak penting. Apakah Garin tua dalam ”Robohnya Surau Kami” AA Navis benar-benar ada dan benar-benar membunuh dirinya gara-gara kata-kata Ajo Sidi, sama sekali tidak penting. Sastra bagi saya adalah sebuah kebohongan kreatif, kebohongan yang indah untuk mengajak pembaca melihat kenyataan dengan lebih baik lagi. Putu Wijaya pernah mengatakan bahwa karya-karyanya adalah sebuah Teror dan F Rahardi menulis Pidato Akhir Tahun Seorang Germo. Bagi saya kedua ungkapan itu bukan fakta. Sebagai seorang sastrawan, saya mengaku dengan jujur bahwa ”sastra = kebohongan” dan saya tidak perlu tersipu atau pura-pura alim untuk membuat macam-macam argumentasi moral yang baik-baik untuk menutupinya atau sekadar ”meluruskannya”. Itu sebabnya, saya tidak pernah menganggap F Rahardi seorang germo karena toh karya sastra = kebohongan. Entah kalau Rahardi sendiri menganggap bahwa dia tidak berbohong dan dirinya memang benar-benar germo.

Sudah ah, saya mau kembali berbohong, eh menulis karya sastra, kebohongan yang indah.

* Hamsad Rangkuti, Cerpenis, Pemenang Khatulistiwa Award, Penghargaan Khusus Kompas 2001, Mantan Pemred Horison

Sumber: Kompas, Minggu, 24 Agustus 2008 | 03:00 WIB

No comments:

Post a Comment