Saturday, November 30, 2013

Penyair: Antara Imaji dan Perangkap Estetika

-- Tjahjono Widarmanto

Setiap penyair pasti amat bergantung pada kata. Kata merupakan senjata dan mesiu bagi seorang penyair. Oleh karena itu setiap penyair setiap saat akan bergelut, mencari, dan menghisap kata-kata. Penyair yang berhasil adalah penyair yang berhasil memberdayakan kata-kata dan menjinakkannya menjadi sebuah konstruksi makna yang hidup dan berkobar seperti api.

    Setiap penyair tak boleh berhenti pada satu titik pencarian atau satu eksploitasi saja namun harus selalu dalam proses pencarian dan eksplotasi yang terus menerus. Penyair ibaratnya adalah sebuah jeda yang sekejap akan melangkah lagi ke titik yang lain, berguling ke seberang yang lain, atau ulang-alik pada berbagai titik. Lantas, sebuah puisi akan menjelma berbagai keriuhan, simpang-siur, tumpah ruah bahkan bopeng dengan berbagai bentuk frase, simbol, dan kata.

    Kata yang berkelebat ke berbagai titik itu, dengan segala keriuhannya itu, akan membangun susunan suatu bangunan imaji yang disebut puisi. Sesungguhnya puisi itu adalah bangunan imaji yang utuh. Keutuhan bangunan yang dibangun dengan kata-kata ini akan menjadi aspek penentu bagus tidaknya, mampu tidaknya menghadirkan sebuah imaji yang kuat, jernih, dan baru.

    Imaji puisi bisa menjadi kacau dan hancur bila seorang penyair tidak mampu memilih kata, frase, klausa atau kalimat yang mampu menciptakan gambaran konkret di kepala pembaca. Kegagalan ini menyebabkan puisi tak dapat dinikmati, gelap, bahkan gagal menyampaikan sesuatu pada pembaca.

    Godaan yang paling kuat bagi dan berbahaya bagi para penyair adalah dorongan untuk mencipta puisi berangkat dari keinginan memunculkan estetika tertentu. Penyair tidak dapat membebaskan dirinya atau gagal melepaskan dirinya dari sebuah style aliran estetika tertentu. Jika seorang penyair saat mulai menuliskan baris-baris puisinya, ia sudah mulai berpikir untuk menjadikannya puisi harus bercorak pada style tertentu; misalnya, harus berwarna surealisme, dadais, simbolis atau yang lain, maka pada saat itu ia telah terperangkap pada sebuah jebakan estetika. Eksploitasi bahasa dan katanya menjadi sangat terbatas dan terbelenggu. Imaji yang dibangunnya tidak bisa spontan.

    Di sisi lain ada jebakan yang lain. Jebakan tema. Jebakan ini muncul saat ada keinginan yang kuat dari penyair untuk bisa berkomunikasi dengan pembacanya. Keinginan untuk bisa berkomunikasi dan berinteraksi sejelas-jelasnya pada pembaca membuat dirinya gagal mengeksploitasi bahasa sebagai sebuah seni. Yang muncul pada puisi-puisi semacam ini adalah sederetan kata-kata klise yang sudah usang, seperti bulan, matahari, laut, air mata, batu, sepi, sunyi, bunga,kota dan sebagainya, yang digunakan tanpa upaya rekonstruksi pemaknaan yang mampu melahirkan arti baru .

    Penyair yang berhasil harus mampu berdiri di antara dua hal yang tarik-menarik ini. Dia tidak boleh mengabdi pada estetika atau mendewakan komunikasi. Pada situasi demikian, estetika bukanlah sebuah kitab suci yang mutlak dihikmati. Juga tidak dengan komunikasi. Puisi sebagai sebuah dunia yang samar bagai sebuah ruang kosong yang setiap orang (juga pembaca) dapat setiap saat menziarahinya dan setiap kali pula dapat menandainya, menafsirkannya, bahkan mempertanyakannya, seperti mereka memaknai, menandai, menafsirkan, dan menanyai masa silam dan harapan masa depannya.

    Pada situasi demikianlah puisi merupakan sebuah jagad tempat pertemuan. Ruang yang setiap saat siapa saja dapat mempergunakannya untuk berdiolog tentang harapan, sekedar menatap, menyumpah serapah, menujum, membangun ingatan, keperihan sejarah, juga solilokui.

    Saat seorang penyair mencari dan mengeksploitasi bahasa dan kata-kata, kadang ia mengeluh bahwa semua ruang eksploitasi bahasa dengan segenap eksperimentasinya sudah dikuasai dan di jelajahi para penyair pendahulunya. Ia merasa tidak mendapatkan ruang kreatitivitas dan orisinalitas.

    Barangkali benar kata Nirwan, bahwa tak seorang penyair pun mampu menciptakan lambang-lambangnya sendiri. Sebuah puisi adalah organisme yang melayang-layang dalam serumpun populasi yang berkelebat dalam habitat-habitat, melalang buana dalam ekosistem lambang-lambang, berevolusi terus. Tak bisa : kun fayakun !

    Maka setiap penyair tak pernah mampu menghitung dan melunasi hutang-hutangnya pada penyair lain. Namun, acap kali dalam melunasi hutang-hutangnya itu setiap penyair akan dapat menampilkan dan menunjukkan titik-titik dan lobang yang berbeda , seperti daun pintu dan jendela dengan beraneka model dan motif. Dari sana semuanya bisa melompat masuk dan bermain melalui jendela itu.

   Tjahjono Widarmanto, penyair yang tinggal di Ngawi
  
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 30 November 2013

Tuesday, November 26, 2013

Menelusuri Butir-butir Pemikiran Kawindra

-- Nofanolo Zagoto

“Malaikat penjaga Firdaus.
Wajahnya iri dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Aku gemetar ketakutan.
Hilang rasa. Hilang pikirku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang takut dan celaka.”


Dewan Kesenian Jakarta menggelar orasi sastra oleh Remy Sylado dan
pementasan naskah “Maria Zaitun” oleh Amien Kamil berkolaborasi dengan
pelukis Hanafi dalam rangka mengenang sastrawan Indonesia, “Napak Tilas
WS Rendra”, di Graha Bhakti Budaya, TIM, Jakarta, Senin (25/11).
Rendra selalu menempatkan diri sebagai oposan terhadap pemerintah.
(SH/Muniroh)
SEKALI lagi, Ajeng Anjani yang memerankan tokoh Maria Zaitun mengucap sepotong puisi “Nyanyian Angsa” milik WS Rendra; sebab ada seorang berlumur cat putih dengan pedang di tangan dan mahkota di kepala kembali mendekatinya. Dalam adegan itu, tirai putih yang menghalangi di atas panggung terkoyak. Maria Zaitun pun berupaya menghindar, ketakutan.

Ini kisah bertema sosial yang mengungkit kehidupan pekerja seks komersial dengan menafsirkan isi puisi “Nyanyian Angsa”. Seperti juga nama tokoh utama yang dimunculkan Rendra pada puisinya, Maria Zaitun yang diceritakan mengidap penyakit, harus menjalani kehidupan “terbuang” dari kelompoknya, rumah sakit, bahkan dari tempat ibadah.

Pertunjukan teater berjudul “Maria Zaitun” produksi Republic of Performing Arts di bawah arahan sutradara Amien Kamil yang berkolaborasi dengan pelukis Hanafi ini jadi bagian dari program Napak Tilas Sastra yang kali ini mencoba menelusuri pemikiran Rendra, seorang penyair juga dramawan yang meninggal tahun 2009 lalu.

Pementasan ini disajikan bersama Orasi Sastra Remy Sylado dan diskusi mengenang Rendra yang menghadirkan Seno Gumira Ajidarma dan Max Lane, di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat, Senin (25/11).

Amien, yang bergabung bersama Bengkel Teater Rendra dari 1986-1996, menuturkan ia memilih memainkan pementasan berdasar puisi “Nyanyian Angsa” lantaran teks yang dibuat penyair yang kerap dijuluki si “Burung Merak” sesungguhnya masih terjadi sampai sekarang. “Yang menarik dari dulu, mungkin tahun 1970-an, Rendra sudah membicarakannya lewat karya,” tuturnya.

Dengan persiapan yang diaku Amien singkat, hanya tiga minggu, visualisasi puisi dalam bentuk pementasan teater diawali lewat sebuah adegan dua pemain yang berteatrikal sedemikian rupa dengan berpijak pada bagian puncak salah satu karya Hanafi yang tingginya paling tidak mencapai 4-5 meter. Satu pemain adalah si “malaikat” berbadan serbaputih, sedang yang lain tampil dengan badan yang nyaris seluruhnya merah dan dipasangi tanduk di kepalanya.

Suara musik kemudian menguasai ruang. Suasana tempat pelacuran coba dimunculkan. Beberapa muncul berpasangan, beberapa yang lain digambarkan larut dalam alunan musik. Hanya Maria Zaitun yang terbaring dengan tubuh yang tertutup selimut. Penyakit raja singa telah menggerogoti kondisi tubuhnya. Maria Zaitun lalu diceritakan diusir mucikari.

Bagian-bagian puisi Rendra yang menggambarkan penolakan yang harus diterima Maria Zaitun diupayakan Amien secara visual. Semisal ketika Maria Zaitun dijauhi pasien lain karena bau tubuhnya dan diperdaya dokter saat berobat, atau sewaktu dia malah disuruh pergi dan disangka gila oleh pastor saat ingin mengaku dosa.

Hanya saja, entah disengaja atau tidak, pada prosesnya tampak kesan pergantian set panggung sedikit sembrono. Kemunculan pemain yang berdiri diam membelakangi penonton dan memakai jubah putih sambil memegang gitar pun sempat sedikit membingungkan.

Salah satu penonton, Agustinus Adi Kurdi, aktor yang mengawali karier keseniannya dengan bergabung Bengkel Rendra sekitar 1970-an, menyebutkan yang dirasanya saat menyaksikan pertunjukan Amien sebenarnya pada persoalan liris puisi Rendra yang kurang muncul.

“Bagaimana orang tidak tahu yang terjadi pada seseorang, itulah yang dimaksudkan Mas Willy (panggilan Rendra-red). Kepasrahan Maria Zaitun ketika menerima penderitaan itu dan ditolak ke sana kemari, sehingga Yesus sendiri yang datang, tidak terasa dengan baik. Tapi, sah saja kalau Amien mau buat seperti itu,” ia mengungkapkan sesudah pementasan.

Sang “Agramanggala”

Di tempat yang sama, Remy Sylado menyebutkan Rendra yang dikenalnya sebenarnya merupakan Kawindra. Kawindra dipinjamnya dari bahasa Kawi yang berarti “penyair besar” atau “raja pujangga”.

Di mata Remy pula, Rendra selalu menempatkan diri sebagai oposan terhadap pemerintah yang melaksanakan roda pemerintahannya dengan kekuasaan yang timpang karena korup. “Untuk tema macam itu tampaknya Rendra cempiang-nya (jagoan),” ujarnya dalam orasi.

Remy juga menyebut Rendra memiliki karunia indra yang tajam dengan kemampuan ekspresi verbal yang sangat Jawa. Dijelaskannya itu kemampuan estetis literal yang diperoleh dari ungkapan-ungkapan derivatif sanepan seperti yang dikenal pada Ronggowarsito dalam bentuk macapatnya.

Arti penting Rendra, kata Remy, akhirnya harus dilihat dalam sejarah teater modern Indonesia. Penting, karena kehadiran Rendra setelah lama menimba ilmu dan pengalaman seni di Amerika, dikembangkan di Indonesia, dan membuat Indonesia yang selama itu tidur, tiba-tiba bangun oleh kiprahnya.

“Yang tua-tua, dan ingin mati dengan tenang, banyak yang marah pada wawasan kontemporer Rendra. Ia menghancurkan seni yang mapan dengan kataklismik, dalam sikap yang disebutnya urakan,” kata Remy yang juga tak segan-segan menyebut Rendra sebagai agramanggala dalam dunia teater. Ia mengutip agramanggala berdasar bahasa Kawi yang berarti “pemimpin paling unggul”.

Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Fikar W Eda, mengatakan program Napak Tilas Sastra dimaksudkan untuk menyusuri kembali butir-butir pemikiran sastrawan Indonesia yang sudah almarhum. “Kenapa Rendra? Karena dia orang yang berkomitmen kuat terhadap keberagaman, hak asasi, dan pembelaan terhadap kaum tertindas,” ujarnya. n

Sumber: Sinar Harapan, Selasa, 26 November 2013

  

Monday, November 25, 2013

Saatnya Budaya Jadi Panglima

-- Yuyuk Sugarman

Anak muda merasa lebih bangga jadi manusia Korea daripada menjadi manusia Indonesia.

Musikus serta dalang, Sujiwo Tejo (kiri), budayawan yang juga monolog
Butet Kartaredjasa (kedua kanan), dan Trio GAM (Gareng, Joned, Wisben)
mementaskan wayang musikal Maha Cinta Rahwana di JX International,
Surabaya, Jawa Timur, Selasa (19/11). (dok/antara)
KONFLIK Ambon yang meletup tahun 1999 selesai bukan oleh senjata, juga bukan oleh tawar-menawar politik, melainkan oleh tradisi yang diwariskan secara turun-temurun selama berabad-abad, bahkan sebelum agama Abrahamik masuk ke kawasan ini. Sebuah tradisi yang oleh masyarakat lokal disebut Pela Gandong.

Pela Gandong merupakan salah satu dari tiga pela (perjanjian) yang dikenal masyarakat Maluku. Pela merupakan suatu sistem hubungan sosial yang dikenal dalam masyarakat Maluku berupa suatu perjanjian hubungan antara satu negeri (kampung) dengan kampung lainnya yang biasanya berada di pulau lain dan kadang juga menganut agama lain di Maluku.

Sistem perjanjian ini diperkirakan telah dikenal sebelum kedatangan bangsa Eropa ke Maluku, dan digunakan untuk memperkuat pertahanan terhadap bangsa Eropa pada waktu itu.

Pela Gandong atau Bongso yang digunakan untuk mendamaikan para pihak yang berkonflik pada 1999 didasarkan perjanjian ikatan darah atau keturunan untuk menjaga hubungan antara kerabat keluarga.

Sementara itu, dua pela lainnya adalah Pela Karas dan Pela Tampa Siri. Pela Karas adalah sumpah yang diikrarkan antara dua kampung atau lebih karena terjadinya suatu peristiwa yang sangat penting dan biasanya berhubungan dengan peperangan.

Sementara itu, Pela Tampa Siri diadakan setelah suatu peristiwa yang tidak begitu penting berlangsung, seperti memulihkan damai kembali sehabis suatu insiden kecil atau bila satu kampung telah berjasa terhadap kampung lain.

Khusus untuk Pela Karas dan Pela Gandong ditetapkan sumpah yang mengikat dan biasanya disertai kutukan bagi yang melanggar perjanjian ini. Sumpah dilakukan dengan mencampur tuak dengan darah yang diambil dari tubuh pemimpin kedua pihak kemudian diminum kedua pihak tersebut setelah senjata-sejata dan alat-alat perang lain dicelupkan kedalamnya.

Kita tahu kemudian bahwa tradisi masyarakat lokal itulah yang akhirnya berhasil meredam konflik, bukan pendekatan keamanan.

Budayawan Butet Kartaredjasa, Sabtu (23/11), dalam acara dialog kebangsaan antara Ketua MPR Sidarto Danusubroto dengan pelaku seni tradisional di Padepokan Bagong Kussudiardja, Bantul, menyebut-nyebut pendekatan Pela Gandong ini saat mengkritik ketiadaan visi dan strategi kebudayaan dari pemerintah.

Pemerintah dinilai terlalu sibuk menggunakan pendekatan keamanan dan politik saat menyelesaikan konflik di masyarakat dan menyingkirkan pendekatan kebudayaan. Padahal pengalaman menunjukkan pendekatan kebudayaanlah yang terbukti efektif menuntaskan perdamaian dari dua pihak yang bertikai.

“Bangsa ini harus dibuatkan strategi kebudayaan. Ke depan kebudayaan dijadikan panglima," ujar Butet.

Oleh karena itu, Butet menegaskan sudah semestinya pemerintah lebih mengedepankan lewat pendekatan budaya dibandingkan politik maupun ekonomi dalam mengelola bangsa ini.

Butet juga mengharapkan ketua MPR untuk mengingatkan dan mengajak para koleganya di pemerintahan untuk memperhatikan dan mengedepankan kebudayaan. "Di masa depan pemimpin harus bervisi kebudayaan," tutur Butet.

Merawat Keberagaman

Sidarto mengemukakan, keberagaman budaya lokal harus dirawat dan dipertahankan. Ia kagum dengan Jepang dan Korea yang tetap mempertahankan kebudayaannya. Di era globalisasi, negara itu masih memiliki karakter bangsa. Tidak terhanyut dalam kebudayaan Amerika.

"Oleh karena itu, bangsa ini berkepentingan mengawal keberagaman yang ada, seperti budaya dan etnis," Sidarto menegaskan.

Sekarang ini, Sidarto melanjutkan, sering terjadi konflik yang disebabkan karena perbedaan etnis, budaya, ideologi, nilai-nilai, persepsi, dan agama. "Apabila eker-ekeran terus karena beda, kapan (Indonesia-red) akan maju?" ujarnya.

Oleh karena itu, kata Sidarto, bangsa ini berkepentingan mengawal keberagaman yang ada, seperti budaya dan etnis. Ia lantas mengingatkan apa yang telah disampaikan Presiden RI pertama, Soekarno, yang menekankan perlunya pembangunan karakter bangsa. "Karakter inilah yang (bisa) Indonesia dengan Amerika atau Eropa," tuturnya.

Panggung Kebangsaan

Guna menjaga spirit kebangsaan ini, MPR dan Padepokan Bagong Kussudiardja akan menggelar pertunjukan “Gema Nusantara, Perjalanan Menjadi Indonesia” di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki pada 28-29 November.

"Pertunjukan ini memperlihatkan spirit kebangsaan dalam berkesenian," tutur Djaduk Ferianto, selaku penata musik dalam pagelaran itu.

Menurut Butet, visi kebangsaan dalam kesenian Indonesia telah menjadi sesuatu yang asing bagi masyarakat, meskipun tahun 1950-an, semangat keindonesiaan itu banyak mewarnai ekspresi kesenian kita.

Ia lantas merujuk film dokumenter Menggelar Indonesia: Misi Kesenian ke Mantja Negara 1952-1965 yang disutradarai Jennifer Lindsay, seorang peneliti Australia. Dalam film ini tergambarkan bagaimana Presiden Soekarno dengan cerdik menggunakan kekuatan kesenian untuk menyokong diplomasi politik.

“Sekarang, visi kebangsaan itu kayaknya jadi barang langka. Makin tak jelas. Anak-anak muda merasa lebih bangga jadi manusia Korea daripada menjadi manusia Indonesia. Kayaknya kita perlu menyegarkan lagi ingatan dan mimpi besar para pendiri bangsa,” kata aktor monolog itu. N

Sumber: Sinar Harapan, Senin, 25 November 2013

  

Sunday, November 24, 2013

[Kolom] PMK

-- Arie MP Tamba

BEBERAPA waktu berselang, penyair Solo, Sosiawan Leak ”mengajak” saya ikut serta dalam kumpulan puisi yang sedang dirancangnya. Beberapa kumpulan puisi (lebih dari satu jilid) yang ditegaskan sebagai reaksi (atau bahkan perlawanan) penyair atas hiruk-pikuknya korupsi di Indonesia saat ini. Maka, buku puisi itu pun dinamakan Puisi Menolak Korupsi, PMK (September, 2013).

Dengan berat hati, karena kesibukan saya tak bisa ikut dalam buku PMK. Hingga seminggu lalu saya bersua dengan beberapa teman yang ikut PMK. Ternyata mereka sudah melakukan pentas pembacaaan puisi bersama KPK (Ya, Komisi Pemberantasan Korupsi) di gedung KPK, setelah sebelumnya keliling ke Tegal, Banjarbaru, Semarang, Palu. Kini mereka juga akan menyebarluaskan PMK melalui lomba baca puisi pada Desember 2013 di Istora Senayan. Dengan begitu, semangat penolakan terhadap korupsi diharapkan tetap bergelora dan memasyarakat.

Lahirnya buku semacam PMK, yang menjadikan sastra sebagai ”alat” perjungan bukan hal baru. Di Rusia, terutama abad ke-19, sebagai reaksi terhadap kekejaman pemerintah, muncullah para sastrawan seperti Gogol, Tolstoy, Dostoyevskie yang menginginkan kehidupan yang nyaman dan aman bagi masyarakat. Mereka sengaja mengangkat persoalan atau tragedi yang dialami masyarakat dalam karya-karya realis. Mereka boleh jadi tidak dikenal oleh kebanyakan masyarakat, namun mereka menolak individualisme.

Gogol di antaranya, menjadikan sastra sebagai arena perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan bagi kehidupan bersama. Latar belakang berasal dari keluarga yang jauh dari kemewahan, bahkan menyedihkan, ikut jadi penyebab. Karena itu Gogol mengemukakan perlunya ”jiwa sosial” bagi pengarang. Hingga dunia kepengarangan adalah ajang pengabdian untuk tercapainya kehidupan masyarakat yang lebih baik.

Di Indonesia, selama dua puluh tahun pertama Orde Baru, sastra dan penulis Indonesia dikuasai pandangan kebudayaan yang membayang dalam bentuk hegemoni konservatiisme negara. Universalisme jadi standar dalam karya sastra, sedangkan upaya menerbitkan atau mementaskan karya-karya yang mengusung kritik sosial acap digagalkan sensor. Atau secara lebih jelas, seperti dialami Rendra; menghadapi hukum dan penahanan.

Di lain pihak, publikasi tetralogi realisme sosial Pramoedya Ananta Toer telah menghidupkan persoalan komitmen politik dalam karya sastra. Ini memuncak jadi perdebatan Sastra Kontekstual pada 1980-an. Para seniman dan intelektual secara terbuka mendiskusikan fungsi sosial sastra, yang digarisbawahi dengan pemahaman adanya interaksi langsung politik dan sastra.

Posisi konsisten pendukung humanisme universal, seperti pernah diambil Alisyahbana misalnya, dianggap diilhami sekaligus didorong peradaban dan kebudayaan borjuis Eropa. Dalam pandangan Pramoedya, Alisyahbana adalah seorang idealis yang menutup mata atas realitas masyarakat, karena impiannya terlalu keras atau terlalu indah. Padahal, kenyataan begitu pahit, dangkal, lamban, dan serba menjengkelkan.

Tak bisa dipungkiri, dalam berkreasi para sastrawan mengarahkan ciptaannya kepada publik tertentu. Karena sastra tanpa publik adalah mustahil. Saat menulis, seorang sastrawan selalu membayangkan pembaca. Hingga ungkapan “Saya tidak terikat publik. Saya mencipta untuk batin”, adalah mustahil. Sebab, seorang sastrawan sebagai manusia, tidak pernah lepas dari kelompok sosialnya.

Namun dalam konteks Indonesia, tragisnya adalah seringkali publik yang dibayangkan para sastrawan adalah kritikus sastra Barat. Karena mereka terlanjur mengikuti ukuran-ukuran yang dilahirkan, tumbuh, dan disebarkan di (dan dari) Barat. Akibatnya, karya-karya sastra Indonesia terasing dari publiknya dan semakin jauh dari buminya.

Ibarat pohon, ia semakin mengambang, mengapung, tidak punya tanah. Terus menggapai ke atas, sedangkan akar tidak menyentuh tanah. Dunia sastra jadi kegiatan intelektual yang diikuti sekelompok kecil peminat. Atau bisa dikatakan, sastra tidak cukup berakar di bumi Indonesia, sebab bumi Indonesia yang dijamah sastra adalah bumi kelas menengah-atas (terdidik) yang sempit wilayahnya.

Mereka inilah yang kemudian menegaskan diri sebagai sastrawan universal, yang tidak mengakui sastra kontekstual. Mereka menciptakan karya-karya sastra dengan menjadikan karya-karya Nobel sebagai bandingan. Tidak heran kalau mereka pun semakin tidak mengenali persoalan masyarakat negerinya. Bahkan, mereka kemudian memaki-maki rakyat bangsanya, yang dikatakan tidak dapat mengerti sastra yang bernilai.

Padahal dalam karya sastra yang mereka katakan universal itu, yang membayang adalah kombinasi persoalan mental dalam diri pengarang, di antaranya: antara rasa sombong berlebihan (sambil membodohkan bangsa sendiri yang gagal meghargai karya mereka) dan rasa rendah diri (biasanya karena karyanya belum dihargai Barat). Kombinasi megalomaniak dan minder ini, semakin menyeret mereka menjauh dari persoalan keseharian di sekitar.

Inilah yang disebutkan sebagai keterasingan sastrawan dari lingkungannya. Mereka sebagai anggota kelas menengah dengan taraf pendidikan tertentu, tidak pernah membayangkan mengarahkan karyanya bagi petani di desa. Tentu ini tidak sepenuhnya salah si sastrawan, tapi bukan pula karena si petani adalah bodoh atau tidak mengerti sastra. Hal ini hanya memperlihatkan, adanya berbagai golongan sosial yang hidup di tengah realitas yang juga berlainan, termasuk dalam menyepakati ukuran-ukuran sastra.

Hingga, agar dapat dinikmati para petani (baca: pembaca luas), si sastrawan sudah sepatutnya memahami apa yang jadi konteks (atau berarti) dalam dunia si petani (atau pembaca luas). Bila korupsi yang sedang marak, korupsilah yang dihujat dan ditolak. Karena sastra tak pernah lepas dari konteks sosial pengarangnya. Itulah semangat sastra kontekstual. Yang dikibarkan lagi oleh buku PMK, Puisi Menolak Korupsi.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 24 November 2013

Anugerah Kebudayaan dan Penghargaan Maestro Seni Tradisi Tahun 2013

-- Vien Dimyati

Seni tradisi semakin langka di Indonesia. Semua itu terancam punah lantaran tiadanya generasi penerus. Apresiasi pemerintah sangat diperlukan untuk melestarikan seni tradisi.

Minimnya para seniman dan maestro seni tradisi di Indonesia membuat pemerintah kesulitan mencari pahlawan-pahlawan kebudayaan yang konsisten melestarikan karya seni langka. Tidak heran jika pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) hanya berhasil mendapatkan lima maestro seni tradisi yang akan diberikan penghargaan pada Malam Anugerah Kebudayaan dan Penghargaan Maestro Seni Tradisi Tahun 2013 di Nusa Indah Theater, Balai Kartini, Jakarta, (30/11) mendatang.

Adapun lima maestro yang masih berkomitmen melestarikan seni tradisi yang sudah langka tersebut adalah Maria Magdalena Rubinem (Seni Pertunjukan Karawitan) dari Yogyakarta, Marius Sitohang (Seni Tradisional Batak) dari Sumatera Utara, Murka (Seni Kriya Keris) dari Madura Jawa Timur, Rodjali (Seni Musik Gambang Kromong) dari DKI Jakarta, dan Rosa Agapa (Seni Kriya Noken) dari Nabire Papua.

Budayawan Romo Muji Sutrisno mengatakan, bangsa Indonesia harus menghargai mereka yang melestarikan kebudayaan di tengah derasnya arus globalisasi dan modernisasi. Saat ini, menurutnya, sangat sulit menemukan maestro-maestro yang memiliki komitmen dalam mempertahankan seni tradisi yang hampir punah di Indonesia. Maka itu, perhatian berupa penghargaan merupakan salah satu cara untuk menghargai perjuangan para maestro ini. Bahkan, ia salah satu bentuk penghargaan lainnya dari pemerintah yaitu memberikan beasiswa kepada anak penerus kebudayaan.

"Banyak yang karena umur dan kemampuan, kalau nggak ditopang pemerintah (mereka) akan meninggal tanpa ada yang melanjutkan (aktivitas kebudayaan)," kata Romo Muji di Jakarta beberapa waktu lalu.

Karena itu, pemerintah melalui Kemendikbud memberikan beasiswa kepada anak kandung atau anak didik mereka supaya aktivitas kebudayaan yang telah dilakukan pendahulunya bisa terus berlanjut.

Menurut Romo Muji, yang juga sebagai salah satu anggota Tim Ahli Maestro mengatakan, maestro seni di tanah air jumlahnya semakin sedikit. Padahal, bersama sang maestro tersimpan seni tradisi yang siap hilang bersama raganya. "Makanya kalau tidak ada upaya konkret untuk menyambung kehidupan sang maestro dan seni tradisinya, maka kita harus bersiap-siap menjadi bangsa yang kehilangan jati diri dan akar budayanya," kata Romo Muji.

Direktur Jenderal Kebudayaan Kemdikbud, Kacung Marijan mengatakan, melalui kegiatan ini, diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang arti penting sebuah apresiasi kepada para seniman/budayawan yang telah berkarya. Menurut Kacung, Anugerah Kebudayaan dan Penghargaan Maestro Seni Tradisi ini adalah bentuk perhatian pemerintah terhadap kinerja para seniman dan budayawan, baik dalam kapasitasnya sebagai tokoh masyarakat, praktisi, akademisi, pengamat, kritikus, pelopor, atau bahkan pelestari.

"Kami memberikan penghargaan ini karena kami melihat bagaimana mereka menghargai karya-karya seni budaya yang dihasilkan sebagai cara untuk penanaman nilai-nilai budaya kepada generasi berikut, khususnya generasi muda sebagai penguatan karakter bangsa. Sebagaimana pendapat para seniman dan budayawan tentang proses berkarya yang dipersembahkan kepada penikmat dilakukannya bersungguh-sungguh dengan penuh rasa cinta dan ikhlas," kata Kacung.

Penghargaan akan diberikan kepada 45 orang yang telah berjasa dan memberikan kontribusi besar terhadap pelestarian kebudayaan yang mencakup perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatannya dalam kehidupan masyarakat. Lima orang di antara penerima penghargaan adalah maestro seni tradisi.

"Penghargaan maestro seni tradisi ditujukan kepada mereka yang konsisten mempertahankan dan melestarikan karya-karya seni langka dan nyaris punah, sehingga fasilitas pemerintah menjadi penting dalam proses pewarisan," katanya.

Kacung menambahkan kategori pemberian anugerah dibagi menjadi dua jenis, yaitu yang diberikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan dari Kemendikbud berdasarkan penilaian tim penilai yang dibentuk Ditjen Kebudayaan. Penghargaan dari Presiden SBY terdiri atas dua kategori, yaitu Tanda Kehormatan Bintang Budaya Paramadharma Tahun 2013 dan Tanda Kehormatan Satyalancana Kebudayaan Tahun 2013.

Adapun penghargaan yang berdasarkan hasil keputusan tim penilai terdiri dari tiga kategori, yaitu kategori anugerah seni, kategori pelestari dan pengembang warisan budaya, kategori anak/pelajar/remaja, yang berdedikasi terhadap kebudayaan, dan kategori maestro seni tradisi.

Setiap penerima penghargaan akan memperoleh sertifikat, pin emas, dan uang yang nominalnya berbeda-beda. Penerima penghargaan Bintang Budaya Paradharma akan mendapatkan Rp60 juta dan penerima penghargaan Satyalancana Kebudayaan akan mendapatkan Rp55 juta.

Sementara, penerima penghargaan kategori anugerah seni akan mendapatkan Rp50 juta. Kemudian, penerima penghargaan kategori pelestari dan pengembang warisan budaya akan mendapatkan Rp50 juta.

Penerima penghargaan kategori anak/pelajar/remaja yang berdedikasi terhadap pengembangan kebudayaan akan mendapatkan Rp25 juta dan menerima penghargaan kategori maestro seni tradisi akan mendapatkan Rp25 juta. n

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 24 November 2013

Kenangan Agus Noor dalam ‘’Kunang-kunang di Langit Jakarta’’

-- Dessy Wahyuni

WATAK sastra selalu terbuka terhadap tafsir. Tidak pernah ada tafsir tunggal. Setiap pembaca memiliki argumentasi yang berangkat dari latar belakang pengetahuan, pemahaman, serta apresiasi yang berbeda-beda. Sastra selalu membuka diri terhadap kemungkinan tafsir, karena justru di situlah keindahan itu bekerja. Hal itu menjadi sensasi keindahan yang bergerak, menelusup ke dalam sanubari masing-masing orang yang mendekatinya.

Karya sastra bukan hanya menjadi artefak (benda mati hasil karya manusia belaka),  tetapi sekaligus sebagai objek estetis bila dimaknai oleh pembaca. Artefak menjadi dasar material objek estetis, sedangkan objek estetis merupakan representasi artefak dalam pikiran pembaca. Sebagai artefak, karya sastra tidak jelas maknanya. Setelah berinteraksi dengan pembaca, sebuah karya sastra akan mengalami proses konkretisasi yang menjadikannya bermakna. Pembentukan objek estetis yang penuh makna dari sebuah artefak sangat ditentukan oleh peran aktif pembaca. Sebuah artefak tunggal bisa saja menimbulkan beberapa objek estetis dan hal tersebut bergantung pada pembaca dan cara pembacaannya.

Ketika membaca karya sastra, pembaca dihadapkan pada keadaan yang paradoksal. Karya sastra dipandang sebagai sebuah kesatuan yang utuh, berdiri sendiri, otonom, serta boleh dipahami dan ditafsirkan oleh siapa saja. Namun, pada kenyataannya tidak ada karya seni mana pun yang berfungsi dalam situasi kosong. Setiap cipta sastra atau karya seni merupakan aktualisasi atau realisasi tertentu dari sebuah sistem konvensi atau kode sastra dan budaya (Teeuw, 1983).  Pada dasarnya, karya sastra tidak berbeda dengan karya sejarah, filsafat, atau sosiologi. Semuanya mengangkat bahan yang sama, yaitu masalah manusia dan kemanusiaan. Hal yang membedakannya adalah bagaimana sesuatu yang sama itu diolah, disajikan, dan diberi penekanan lewat sudut pandang masing-masing. Uniknya, karya sastra dapat memanfaatkan fakta historis, pemikiran filosofis, atau fakta sosiologis, bahkan dapat menggabungkan ketiganya sekaligus. Secara hakiki, hal yang membedakan karya sastra dengan karya-karya nonsastra adalah adanya dominasi imajinasi. Oleh karena, itu, dalam karya sastra semua fakta apapun, cenderung diperlakukan sebagai fiksi. 

Untuk mendapatkan nilai estetika sebuah karya sastra, perlu adanya pemaknaan yang dilakukan oleh pembaca. Pemaknaan inilah yang disebut dengan konkretisasi. Konkretisasi, sebagai istilah pemberian makna dalam sastra, dilukiskan sebagai sikap estetik. Dengan konkretisasi tersebut, makna karya sastra yang sebelumnya tidak tampak dikonkretkan hingga dapat dipahami (Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya, 2007). Dalam proses konkretisasi ini, faktor pembaca menjadi penting sebagai pemberi makna. Pemberian makna terhadap karya sastra tersebut tentu saja tidak bisa semaunya saja, melainkan terikat kepada teks sastra itu sendiri sebagai sistem tanda yang mempunyai konvensi sendiri berdasarkan hakikat karya sastra.

Istilah konkretisasi yang berasal dari Roman Ingarden ini diperkenalkan secara luas oleh Felix Vodicka. Menurut Ingarden, karya sastra memiliki struktur yang objektif, yang tidak terikat pada pembaca, tetapi sekaligus memiliki kemandirian terhadap kenyataan, bersifat skematik dan selektif, tidak pernah menciptakan gambaran dunia yang sesungguhnya. Setiap karya sastra mengandung unbestimmtheitsstellen atau tempat-tempat kosong yang pengisiannya terserah pembaca (Teeuw, 1988).

Melalui konkretisasi karya sastra oleh pembacanya, sebuah karya yang semula tidak pasti karena memiliki berbagai kemungkinan penafsiran, akan memperlihatkan makna sehingga mendapat nilai estetis. Dengan adanya berbagai tanda yang dihadirkan Agus Noor melalui unsur-unsur yang membangun cerita secara keseluruhan, dengan resepsi pembaca, ‘’KkdLJ’’ akan memperlihatkan titik terang.

Sebagai sebuah karya sastra yang merupakan objek estetis, ‘’Kunang-kunang di Langit Jakarta’’ (‘’KkdLJ’’) karya Agus Noor memuat tanda-tanda yang perlu dimaknai melalui proses konkretisasi untuk mengungkap makna teks secara keseluruhan. Pemaknaan terhadap tanda-tanda tersebut bersifat relatif, tidak ada sebuah kebenaran mutlak. Maksudnya, makna yang dihasilkan sepenuhnya bergantung pada horizon harapan pembaca, di dalamnya termasuk kompetensi kesastraan, yang terbentuk oleh pengalaman pembacaan masing-masing pembaca. Dengan kata lain, sebuah karya sastra dibaca dan dimaknai pembacanya dengan cara yang berbeda-beda. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa makna yang pada akhirnya diperoleh tidak objektif.

‘’KkdLJ’’ merupakan simbolisasi dari jiwa-jiwa yang melayang di setiap gedung, yang dulu menjadi situs pemerkosaan serta kemalangan yang terjadi saat kerusuhan Mei 1998 di Jakarta. Cerpen ini melukiskan realitas tragedi dengan cara-cara yang romantik, tetapi menggugah. Kunang-kunang tidak saja lahir sebagai romantika, tetapi menjadi simbol dan kenangan akan keberingasan sebuah situasi di masa lalu (20 Tahun Cerpen Pilihan Kompas: Dari Salawat Deadunan Sampai Kunang-kunang di Langit Jakarta, 2012:xi).

Cerpen ‘’KkdLJ’’ ini mengisahkan seorang wanita bernama Jane yang menghabiskan liburan bersama kekasihnya, Peter (seorang zoologis), di sebuah kota tua yang padat dan tidak terawat. Di kota itu banyak terdapat toko kosong yang terbengkalai dan rumah-rumah gosong bekas terbakar yang nyaris runtuh. Menurut Peter, di gedung-gedung gosong itulah kunang-kunang berkembang biak.

Kunang-kunang dan kenangan menjadi tema yang diusung dalam cerpen ini. Bagi sebagian orang, berbicara tentang kunang-kunang akan mengingatkannya pada kejadian masa silam. Demikian pula bagi Agus Noor yang menghadirkan kunang-kunang di tengah padatnya Jakarta, semata-mata adalah untuk mengingat kembali sebuah peristiwa. Maka dengan demikian, kunang-kunang pun kembali menjadi kenangan.

Kunang-kunang adalah binatang kecil sebesar lalat yg mengeluarkan cahaya berkelip-kelip pada malam hari. Binatang ini kerap disebut sebagai binatang kecil yang menyala, sebab kunang-kunang merupakan sejenis serangga yang dapat mengeluarkan cahaya yang jelas terlihat saat malam hari. Untuk menghasilkan sebuah sinar tampak, sel-sel di dalam ekor kunang-kunang harus memproduksi ribuan enzim luciferase. Di dalam setiap sel, enzim-enzim tersebut mencari pasangannya dan berikatan membentuk senyawa kimia yang disebut luciferin. Enzim luciferase mempercepat reaksi kimia dengan menggabungkan molekul oksigen dengan luciferin sehingga membentuk oxyluciferin. Di dalam reaksi, luceferin teroksidasi, yakni kehilangan sebuah elektron dan molekul-molekulnya berpindah ke tempat energi yang lebih tinggi. Ketika molekul-molekul yang penuh energi ini kembali ke tingkat energi yang lebih rendah (dalam keadaan yang lebih stabil), molekul-molekul tersebut melepaskan energi dan menghasilkan sinar atau cahaya (forum.viva.co.id). Cahaya kunang-kunang sebenarnya masih merupakan misteri yang belum benar-benar terpecahkan hingga saat ini. Namun, beberapa ahli sudah dapat memastikan bahwa sinar atau cahaya yang diproduksi tubuh kunang-kunang ini adalah untuk menarik perhatian pasangannya dan untuk menghindar dari predator yang dapat memangsa mereka.

Agus Noor memiliki banyak tujuan dalam mencipta cerpen ‘’Kunang-kunang di Langit Jakarta’’ ini. Memilih jutaan kunang-kunang yang menyerbu langit Jakarta di malam hari sebagai pembangun cerpennya, adalah sebuah upaya megetengahkan peristiwa bersejarah yang pernah terjadi di Indonesia, khususnya Jakarta. Jane Jeniffer, si gadis berambut pirang, dan Peter Bekoff, seorang ilmuwan yang memahami seluk-beluk binatang, adalah dua orang tokoh yang memainkan peranan penting dalam cerita ini.

Gadis pirang yang menjadi tanda bahwa wanita itu bukanlah warga negara Indonesia menunjukkan bahwa peristiwa ini juga menggelisahkan warga asing di luar negeri. Hal tersebut menggambarkan bahwa peristiwa ini tidak hanya menjadi permasalahan dalam negeri. Namun, pada saat itu Indonesia benar-benar menjadi sasaran kemarahan dunia, sebab peristiwa ini sangat memalukan dengan adanya kejadian pemerkosaan dan tindakan rasialisme yang mengikuti peristiwa gugurnya pahlawan reformasi.

Cerpen ini memang tidak secara eksplisit memberikan uraian tentang peristiwa yang disorot dalam alur cerita. Namun, ada beberapa pernyataan yang merujuk pada peristiwa yang dimaksud, yaitu kerusuhan Mei 1998.

Kerusuhan Mei 1998 adalah kerusuhan yang terjadi di Indonesia pada 13 Mei hingga 15 Mei 1998. Peristiwa ini terjadi serentak di beberapa kota di Indonesia. Namun konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Bandung, dan Surakarta. Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu oleh tragedi Trisakti yang menewaskan empat orang mahasiswa Universitas Trisakti. Mereka tewas tertembak dalam demonstrasi 12 Mei 1998. Pada peristiwa tersebut, para perusuh seolah tidak memiliki hati nurani. Selain melakukan  penyiksaan dan perkosaan, mereka juga merusak, menjarah, bahkan membakar berbagai sarana pribadi dan publik dirusak.

Dalam cerita ini, roh perempuan korban perkosaan pada kerusuhan tersebut digambarkan Agus Noor menjelma menjadi seekor kunang-kunang yang terus berkembang biak hingga menjadi jutaan. Kunang-kunang jelmaan ini menyimpan dendam akan masa lalunya. Ia merasa kesepian, setelah empat tahun hidup sendiri dalam keterpurukan di gedung gosong yang sengaja dibakar para perusuh. Menjadi kunang-kunang adalah pilihan yang tepat bagi Agus Noor untuk menghidupkan kembali roh korban kerusuhan Mei 1998 tersebut. Cahaya yang dipancarkan binatang kecil itu pun berfungsi untuk menggiring pembaca pada peristiwa bersejarah itu melalui penokohan dalam cerita.

Latar gelap malamwaktu yang tepat bagi kehidupan kunang-kunangyang dipilih Agus Noor, merupakan lambang kemuraman yang dialami korban kerusuhan tersebut. Suasana malam identik dengan hal yang misterius dan suram, seakan tanpa masa depan.  Hal ini menggambarkan hancurnya masa depan perempuan korban perkosaan tersebut.

Untuk mendobrak kesepiannya, si kunang-kunang menembus gelapnya malam. Ia memberanikan diri keluar dari persembunyiannya. Kunang-kunang itu tidak ingin berlarut-larut dalam kepedihan dan kesedihan. Ia memancarkan cahaya di pekatnya gulita, seakan memperlihatkan kebangkitan dari tahun-tahun yang telah membenamkannya.

Melalui Jane, Agus Noor membongkar rentetan peristiwa kerusuhan Mei 1998 tersebut. Jutaan kunang-kunang di langit Jakarta itu membawa Jane pada peristiwa yang dimaksud. Lentera kunang-kunang yang muncul dari perut binatang itu seolah menjadi pemandu bagi Jane. Cahaya yang dipancarkan menggiring Jane ke peristiwa kerusuhan. Rentetan peristiwa yang dialami korban perkosaan tersebut dapat dirasakan oleh Jane yang terhayut oleh kilauan sinar yang dipancarkan puluhan kunang-kunang tersebut.

Dari cerita yang dituturkan kunang-kunang kepada Jane mengenai kejadian yang dialaminya pada kerusuhan tersebut, tergambar bagaimana sadisnya hal yang menimpa kunang-kunang itu. Kunang-kunang itu adalah jelmaan seorang korban kerusuhan, seorang perempuan keturunan Tionghoa yang berkulit langsat. Ia menceritakan kepada Jane peristiwa yang dialaminya. Sebuah toko dijarah dan kemudian dibakar oleh beberapa orang yang mengendarai sepeda motor. Wanita itu lalu diseret masuk ke dalam toko yang dibakar tersebut. Ia diperkosa oleh beberapa lelaki bertopeng. Kemudian, para pemerkosa meninggalkannya di gedung yang terbakar. Setelah api padam, orang-orang menemukan tubuhnya hangus tertimbun reruntuhan gedung.

Setelah membaca cerpen ‘’KkdLJ’’ ini, terdapat harapan penulis sebagai pembaca cerpen bahwa pengarang memunculkan tokoh Jane dan Peter, serta kunang-kunang sebagai penyampai pesan. Tokoh-tokoh yang dibangun untuk memberi tahu pembaca bahwa di balik keindahan yang disuguhkan kunang-kunang ada rasa pahit dan pedih yang telah ditorehkan oleh para pemerkosa. Akibat peristiwa sadis yang menimpanya, si korban terpuruk selama bertahun-tahun di dalam kegelapan.

Tidak ingin berlama-lama larut dalam keterpurukan dan ingin memiliki arti dalam kehidupan, ia berusaha bangkit dengan memperlihatkan keindahan. Ia bahkan mampu memberikan kebahagiaan bagi banyak orang. Kunang-kunang tersebut bergerombol memancarkan cahaya yang indah, seolah tidak ingin kalah dengan bulan dan bintang. Namun, dengan pengalaman yang pernah menimpanya, kunang-kunang selalu waspada akan bahaya di luar sarangnya yang sewaktu-waktu bisa menimpanya. Rasa pahit dan racun yang dimiliki tubuhnya merupakan senjata untuk berjaga-jaga dari para pengganggu. Selain itu, para pengganggu pun harus bersiap mati dimakan sebagai penambah protein untuk membantunya berkembang biak, agar ia tidak lagi sendirian dan kesepian di alamnya. n 

Dessy Wahyuni, Rajin menulis esai. Pegawai Balai Bahasa Provinsi Riau ini tinggal di Kota Pekanbaru.
 
Sumber: Riau Pos, Minggu, 24 November 2013

Catatan dari Pingat Kejohanan Tari DKR 2013: Memperbincangkan Tari Kontemporer

-- Susi Vivin Astutim


DEWAN Kesenian Riau (DKR) membangkitkan kembali kegiatan yang memberikan penghargaan kepada seniman, khususnya seniman yang bergerak dalam dunia gerak atau tari, setelah sekian tahun lamanya kegiatan ini hampir dilupakan oleh masyarakat seniman di Riau.

Pada Oktober 2013 lalu DKR menyelenggarakan dua kegiatan seni tari. Kedua kegiatan ini berbentuk dalam perlombaan dan pelatihan atau workshop tari. Perlombaan tari ini akrab disebut dengan Pingat Kejohanan Tari, yaitu penghargaan bagi yang juara. Bentuk perlombaan tari adalah karya kreativitas kontemporer, yang merupakan representasi dan manifestasi dari seniman-seniman yang menggeluti dunia gerak atau tari. Kegiatan lainnya adalah pelatihan atau workshop tari. Pelatihan ini memberikan atau pengayaan ilmu tari, bagaimana menciptakan sebuah karya tari kontemporer. Pelatihan juga menekankan pada calon-calon koreografer belajar menyusun atau menciptakan sebuah komposisi tari sehingga dapat divisualkan dalam bentuk koreografi kotemporer.

Kegiatan ini secara simultan diadakan pada hari dan tanggal yang sama, namun waktu dan tempat yang berbeda, 25-26 Oktober 2013. Pingat Kejohanan Tari diselenggarakan di gedung pertunjukan Anjung Seni Idrus Tintin, sedangkan Worshop Tari, diselenggarakan di gedung DKR. Kegiatan ini melibatkan kabupaten/kota se-Riau yang merupakan utusan dan kabupaten atau kelompok secara mandiri.

Workshop Tari dilaksanakan pada 25 Oktober 2013, dari pagi hingga sore hari. Kegiatan ini menghadirkan Hartati, narasumber dari IKJ Jakarta, dan Faisal Amri, seorang seniman tari dari Kepulauan Riau. Juga SPN Iwan Irawan Permadi, seniman tari senior Riau.

Apresiasi terhadap workshop ini luar biasa, dilihat dari jumlah peserta yang hampir mencapai 200 orang, yang terdiri dari seniman, mahasiswa seni, guru-guru kesenian, dari utusan dari sanggar-sanggar. Apresiasi itu juga terlihat dari antusiasme mereka mengikuti workshop. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peserta workshop banyak berkisar tentang perbedaan-perbedaan antara tari tradisi, tari kreasi, tari modern, dan tari kotemporer.  

Pingat Kejohanan Tari 2013, yang diselenggarakan DKR pada 26-27 Oktober 2013, bertempat di Anjung Seni Idrus Tintin, Pekanbaru. Menurut Ketua Panitia M Nasir Penyalai, peserta pada tahun ini mengalami kenaikan yang luar biasa, dibandingkan dengan peserta Pingat Kejohanan Tari pada tahun-tahun sebelumnya. Biasanya peserta hanya diikuti tujuh atau delapan peserta, maka pada tahun 2013 ini, dua kali lipatnya, yaitu lima belas peserta dari utusan Dewan Kesenian Daerah dan tambahan dari sanggar-sanggar di Pekanbaru. Dikarenakan kegiatan ini dilaksanakan selama dua malam, maka peserta terbagi menjadi dua, yaitu tujuh peserta menampilkan karyanya pada malam pertama, sedangkan karya-karya tari yang lainnya, sebanyak delapan dipertunjukan pada malam kedua.

Kegiatan ini, juga mendapatkan apresiasi yang luar biasa dari masyarakat Pekanbaru pada khususnya, terlihat banyaknya penonton yang memenuhi tempat duduk gedung pertunjukan Anjung Seni Idrus Tintin. Seperti yang sudah dipaparkan di atas, bahwa malam pertama kegiatan ini, ditampilkan tujuh peserta dari berbagai utusan daerah dan tuan rumah Pekanbaru.

Tari Kontemporer
Karya tari kotemporer merupakan sebuah karya yang memerlukan proses. Tari kotemporer bukan sekedar menarikan di atas panggung, melainkan karya tari yang memiliki konsep, gagasan, dan diperlukan adanya kemampuan menghargai detail teknik dan kualitas gerak, adanya hubungan antarkomponen, dan yang terpenting adalah struktur koreografisnya. 

Margaret NH Doubler, mengungkapkan bahwa tari kotemporer merupakan sebuah istilah tari yang berupa aktivitas sosial dan individu. Penata tari atau penari yang membawakannya secara bebas menginterprestasikan pengalaman yang ada, dan mampu untuk menuangkan pandangan dan pengalamannya pada sebuah garapan tari dengan ‘gaya’ sendiri tetapi mempunyai simbol dan makna, dan mampu disampaikan terhadap penonton. Materi atau bahan yang diungkapkan dapat diangkat dan dikembangkan dari yang masih bersumber dan berpijak pada materi-materi tradisional maupun yang sudah terlepas sama sekali.

Dalam hal ini konteks pengkaryaan tari kotemporer, lebih menekankan pada koreografernya, yaitu gaya individu. Gaya individu atau koreografer di Indonesia tidaklah banyak, seperti gaya Bagong Kusudiarjo, dan gaya Sardono. Mengapa seperti itu? Bahwa tari kotemporer merupakan karya yang tidak mudah. Koreografer dapat merepresentasikan dan manifestasikan garapannya tanpa ada persamaan dengan gerak-gerak yang lainnya. Ini tidak mudah, dan dapat dikatakan sangat susah, butuh waktu dan proses yang sangat lama, bahkan bertahun-tahun untuk menemukan sebuah gaya, ciri, atau identitas dalam gerak. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sal Murgiyanto, karya tari kotemporer adalah menolak konvensi atau tradisi yang ada. Artinya, koreografer harus dapat keluar dari konvensi tersebut. Pertanyaannya; mampu tidak sang koreografer melakukannya?

Persoalannya, dalam konteks ini, Pingat Kejohanan Tari adalah ajang perlombaan yang memiliki konvensi-konvensi yang harus ditaati oleh para koreografer. Wujud dari garapan yang disajikan haruslah sebuah karya tari kotemporer yang masih berpijak pada seni tradisi Melayu. Koreografer dapat mengembangkan seluas-luasnya tetapi roh atau esensi tradisi Melayu masih dapat dirasakan oleh koreografer maupun penontonnya.

Sebenarnya dalam perlombaan, peserta seharusnya mentaati role atau peraturan yang telah ditetapkan oleh penyelenggara. Artinya, apabila dalam penyajian karya tersebut tidak memenuhi dari salah satu syarat dari aturan yang telah ditetapkan, maka karya tersebut harus diskualifikasi. Misalnya, banyak ditemukan karya-karya yang disajikan tidak memenuhi syarat waktu atau kurangnya durasi pertunjukan, yang seharusnya 10-15 menit. Semestinya panitia mengadakan persiapan khusus untuk mengatasi hal-hal seperti ini. Misalnya, calon peserta mengirimkan hasil rekaman/video karya tari, dan panitia menyeleksi diantara video-video tersebut memenuhi kriteria aturan. Relevansi dari tahap penyeleksian ini, adalah menghindari karya-karya tari yang kurang atau belum layak untuk ditampilkan dalam ajang skala provinsi. Boleh dikatakan ajang perlombaan dalam skala Provinsi merupakan sebuah event yang prestisius yang perlu pertimbangan, kesiapan, dan kematangan dari sang koreografer. Sebenarnya ini juga menghindari cara kerja atau bengkel dari masing-masing koreografer yang sifatnya instan, dan mentaati kedisiplinan yang tinggi dalam berproses kreatif. Suatu hal yang tidak mudah dalam berkarya, dibutuhkan proses kreatif dari gagasan yang berkembang menjadi utuh.

Para peserta Pingat Kejohanan Tari 2013, secara keseluruhan masih harus banyak memahami tari kotemporer itu bagaimana. Tari kotemporer bukan sekadar bergerak di atas panggung, tetapi juga memerlukan kemampuan menghargai detail akan teknik, dan kualitas gerak, dapat menghubungkan komponen-komponen atau unsur dalam tari, dan yang terpenting dapat mewujudkan struktur koreografisnya. Artinya, subject metter, form, dan content menjadi suatu organisai atau satu kesatuan atau komposisi yang utuh dari unsur-unsur pendukung karya, (Dwi Marianto, 2002:17, lihat juga, Dharsono, 2007:31-33)

Pada konsep, ide atau gagasan, hampir secara keseluruhan peserta mengangkat dari keadaan sosial masyarakat. Gagasan apa saja bisa kita representasikan dan manifestasikan ke dalam karya tari. Namun, kembali ke tari kotemporer, jika gagasan yang diangkat adalah keadaan sosial atau sesuatu yang benar-benar aktual, berarti konsep tersebut orisinil. Karya tersebut ditampilkan dalam kondisi masyarakat masih memperbincangkannya atau topik pembicaraan (carrent issu), dan sepanjang belum ada koreografer lainnya membuat atau mengangkat dengan topik yang sama. Sebaliknya, konsep yang dikaryakan adalah keadaan sosial dan menjadi aktivitasnya sehari-hari bukanlah orisinil lagi. Saya tekankan kembali, bahwa ini adalah penilaian orisinilitas dalam gagasannya saja. Artinya, gagasan boleh sama, namun dalam bentuknya berbeda, maka inipun dapat dikatakan orisinil dalam wujud atau bentuk karya. Tepatnya, obyek materinya sama, tetapi obyek formalnya berbeda.

Mengenai gerak-gerak yang disajikan, secara keseluruhan tidak ada kebaruan dalam gerak. Gerak-gerak yang sama, tidak ada inovasi dalam gerak, dan lebih kepada imitatif atau meniru, hanya kepandaian atau ketrampilan koreografer dalam menyusun atau merangkai gerak dengan pengolahan komposisi, sehingga menjadi kemasan garapan baru. Secara keseluruhan peserta Pingat Kejohanan Tari 2013, belum menampilkan esensi atau roh dari gerak tari tradisi Melayu. Gerak tari tradisi hanya sebagai tempelan dalam garapan tarinya, tanpa dikembangkan seluas-luasnya tetapi masih mewujudkan esensi tradisinya.

Membicarakan tentang teknologi, peserta Pingat Kejohanan Tari 2013, sama sekali tidak bersentuhan dengan kecanggihan teknologi. Sepanjang lima tahun terakhir ini, di Pekanbaru belum ditemukan koreografer yang memadukan teknologi yang canggih seperti di Jakarta, dan Surakarta. Karya-karya besar telah lahir dengan perpaduan teknologi. Mungkin keterbatasan dana, atau tidak adanya sumber daya manusia yang dapat mengoperasikan kecanggihan-kecanggihan teknologi. Teknologi adalah juga bagian dari kemasan kontemporer. n

Susi Vivin Astutim, akademisi dan praktisi tari Riau. Saat ini menjabat sebagai Ketua Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR) dan bermastautin di Kota Pekanbaru.
 
Sumber: Riau Pos, Minggu, 24 November 2013

[Tifa] Retrospeksi Wahyoe Wijaya

-- Iwan Kurniawan

SAAT mendengar nama Wahyoe Wijaya (1950-2012) dalam jagat raya seni rupa Indonesia, kita tidak perlu lagi meragukan kualitas karyanya. Berbagai gaya lukis dan bentuk yang dibuatnya dengan pendekatan eksperimental hingga pemahaman akan kemanusiaan itu sendiri begitu kuat.

Meski sudah setahun pergi ke pangkuan Sang Khalik, toh Wahyoe masih diperbincangkan dan dikenang sebagai salah satu seniman hebat yang pernah dimiliki Indonesia. Tentu saja, ada kenangan manis bagi setiap orang yang pernah berkenalan dengannya.

Pada pembukaan pameran retrospektif bertajuk Born as an Artist di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, pertengahan pekan ini, cukup banyak rekan, sahabat, dan penggemarnya yang hadir. Mereka, antara lain, Eros Djarot, Didi Petet, dan Slamet Rahardjo.

Para sahabat sekadar melihat koleksi Wahyoe yang selama ini berada di Studio Puri Naga, Legian, Bali, yang tentu saja merupakan milik keluarganya. Sebagian besar karya terpajang rapi di tembok dan beberapa lainnya--berupa instalasi--sengaja digeletakkan di lantai sehingga pengunjung bisa ikut merasakan ‘gaib’ yang Wahyoe buat semasa hidup.

Pameran tunggal di TIM merupakan kedua kalinya. Pertama bertajuk Realitas dihajat pada 1984. Pameran tunggal Wahyoe yang terakhir bertajuk Menembus Waktu digelar di Danes Art Veranda, Denpasar, Bali, pada 2005. Maklum, dia menghabiskan masa tuanya di Pulau Dewata hingga menghembuskan napas terakhir pada 22 Juli 2012.

Bila diperhatikan secara dekat, pameran tunggal mengenang Wahyoe itu memang berbeda dengan pemeran tunggal umumnya. Wahyoe seakan hadir malam itu di tengah-tengah kerumunan ratusan pengunjung, tetapi bukan tubuh (lichaam).

Beberapa karya lukis Wahyoe begitu lekat lewat teknik collage. Teknik itu sering dipakai ketika kuas dan warna tak sanggup menampung luapan ekspresi yang ingin divisualkan dengan memotong kendala waktu sekaligus mengeluarkan karakter material dan makna.

â€Å“Ia sering menggunakan barang-barang bekas yang dikumpulkan dan ditransformasikan menjadi satu elemen ungkap di karya lukisnya,” ujar kurator Merwan Yusuf menanggapi teknik dan gaya Wahyoe semasa hidup.

Teknik dan eksperimen itu terlihat jelas pada karya Batu (81x123 cm, 1998). Wahyoe menangkap tragedi 1998 yang menjadi sebuah pergolakan sosial dan politik. Ia mengabadikannya lewat karya tersebut.

Karya ekspresif itu menghadirkan batu, kaca, dan corak bunga yang diramu menjadi satu padu di atas kanvas. â€Å“Batu sebagai simbol massa yang melempar toko atau gedung hingga hancur. Kaca-kaca itulah sebagai lambang kehancuran,” jelas pria berambut plontos dan berkacamata itu.

Menafsir kematian

Ada puluhan karya yang dipamerkan pada 19-29 November. Semua menunjukkan proses kreatif Wahyoe saat dia bepergian ke luar negeri seperti Inggris dan Belanda hingga memutuskan untuk tinggal di Bali.

Amsterdam (1976) menjadi sebuah karya yang dibuat di Belanda. Dia menghadirkan deburan air laut yang seakan menyatu dengan sebuah pohon. Sementara itu, ada sebuah cawan kaca yang terletak di atas bola sehingga tampak menyatu.

Begitu pula saat dia melihat proses agama dan budaya Hindu Bali sehingga terabadikan lewat karya Ngaben (65x63, 1989). Tradisi Pulau Dewata dia masukkan sebagai sebuah lambang atas simbol identitas keindonesiaanya.

Terlepas dari karya-karya yang dipajang, ada sebuah karya yang dia buat setahun sebelum ajal datang menjemputnya. Itu terlihat lewat karya Ride with the Best or Die Like the Road (141x95 cm).

Semasa hidup, Wahyoe memang suka mengendarai moge (motor gede). Pengalaman itulah yang tergambar secara impresif. Dia menghadirkan simbol mesin motor yang terbakar, sedangkan ada tengkorak dan tangan-tangan yang seakan meminta pertolongan.

Terlepas dari interpretasi yang kita lihat lewat karya itu, Wahyoe ialah penunggang moge yang setia. Dia begitu senang dan menikmati hobi selain melukis.

Wahyoe terlahir sebagai seorang seniman sebagaimana tema pameran yang diusung untuk mengenang kembali sosoknya. Dia sudah pergi membalut kesendirian abadi, sebagaimana tertuang lewat karya Solitude dan The Shorrow INRI. (M-2)

miweekend@mediaindonesia.com

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 24 November 2013

  

[Tifa] Membaca Sejarah lewat Garis

PERJALANAN dalam hidup menjadi sebuah pengalaman berharga bagi setiap manusia. Semua pertemuan hingga perpisahan selalu penuh dengan kejutan sehingga bagi kebanyakan seniman, hal itu bisa saja menjadi inspirasi.

Selama hampir 31 tahun menekuni dunia sketsa membawa penggambar Yusuf Susilo Hartono, 55, menuangkan semua pengalaman berharga lewat karyanya. Bermodal kertas dan pensil, dia pun mampu menangkap momen pada suatu peristiwa sejarah.

Lewat pameran bertajuk Menangkap Momen dan Memaknai Esensi di Gedung Masterpiece, Jakarta, 18-21 November, Yusuf menghadirkan ratusan karya yang dibuat sejak 1982 silam. Tentu saja, ada proses kreatif yang dia tuangkan lewat karya yang lekat dengan kegelisahan hingga kekagumannya dalam melihat kondisi sosial dan budaya di negeri ini.

Selain dipamerkan, sketsa-sketsa itu juga direproduksi lewat sebuah buku katalog lengkap tentang semua karya antara 1982 dan 2013. â€Å“Semua sketsa berbicara tentang saya dan keluarga, saya dan alam, dan saya dan Sang Pencipta,” ujar Yusuf di sela-sela pembukaan pameran, awal pekan ini.

Bang Bang Tut

Dari ratusan karya berupa sketsa, ada yang sangat menarik, yakni ketika Yusuf mencoba mengabadikan sebuah momen bersejarah, tragedi 1998, saat mahasiswa menuntut reformasi dan berhasil menjatuhkan penguasa otoriter saat itu, Soeharto.

Unik karena ayah dua putri itu mencoba memaknai apa yang dia lihat secara jeli dalam peristiwa bersejarah itu. Sedikitnya ada 19 karya yang mengupas tentang peristiwa ‘98. Salah satunya Bang Bang Tut (tinta di atas kertas, 24,5x17 cm) yang begitu kuat.

Dalam karya sketsa itu Yusuf mengabadikan ribuan mahasiswa yang masuk ke kompleks Gedung DPR. Mahasiswa membawa spanduk bertuliskan ‘Turunkan Soeharto’, ‘Soeharto Adili’, dan ‘Reformasi Yes!’.

Garis-garis yang terlihat membuat karya tersebut mengalami pendeformasian. Itu membuat gaya sketsa Yusuf lebih menitikbe­ratkan pada bakat alamiah. Ada anatomi yang sengaja dibuat ‘melenceng’ dari pakem.

Selain itu, Yusuf juga memasukkan sebuah karya Sepasang Kekasih di Tengah Demo (21x29,5 cm). Terlihat sang lelaki sedang memeluk erat kekasihnya sambil memandang ke kerumunan. Ada spanduk besar bertuliskan ‘Turun Harto!’.

Tak hanya potret buram ‘98, Yusuf yang juga bekerja sebagai wartawan di sebuah majalah seni itu pun dalam pekerjaanya juga mengabadikan berbagai tradisi di daerah di Indonesia, mulai keraton, rumah adat, hingga ajang diskusi.

Saat berkunjung ke Pula Sumba, NTT atau Tanah Toraja, Sulsel, hingga Manado, Sulut, misalnya, dia tak luput mengabadikan khazanah budaya yang ada di daerah-daerah itu. Di Toraja, misalnya, dia menggambar rumah adat. Begitu pula di Sumba, dia menggambar tenun ikat yang unik dan khas.

Terlepas dari perjalanan sebagai seorang pegiat seni, Yusuf menunjukkan sebuah totalitas dalam dunia sketsa. Bahkan, sebagai proses pematangan, ada beberapa self potrait yang dia tuangkan dengan garis-garis berkelok-kelok.

Karya Yusuf membawa kita untuk bisa menerka pengelanaannya. Sayang, beberapa karya, khususnya yang berobjek manusia, masih terlihat datar sehingga tak ada letupan yang dahsyat. Karya idealis yang kuat dengan anatomi yang sempurna hanya terlihat pada Affandy (94x30 cm) yang Yusuf muda gambar pada 1987. Di karya itu terlihat pelukis Affandy tua sedang menikmati tembakau lewat cangklongnya. (Iwan Kurniawan/M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 24 November 2013

  

[Jendela Buku] Esurium Suku Pedalaman Pulau Seram

-- Iwan Kurniawan

Masa 23 tahun meneliti orang Bati membawa Pieter pada sebuah jawaban. Suku pedalaman di Pulau Seram itu tidak memiliki kekuatan gaib untuk ilang-ilang hingga terbang.

PERJALANAN menempuh lautan dan perbukitan membuat Pieter Jacob Pelupessy mampu mengabadikan hidupnya selama 23 tahun (1985-2008) untuk mencari tahu kebenaran orang Bati.

Konon, orang Bati dianggap memiliki mistik oleh sebagian besar orang Maluku. Mereka dianggap sebagai orang ilang-ilang (hilang-hilang) dan memiliki kemampuan gaib, terbang mengarungi lautan.

Penuturan yang melegenda itu sempat membuat para tua-tua adat yang mendiami desa-desa adat di Maluku segan untuk bertemu subsuku tersebut. Mereka enggan berbicara atau bertemu dengan orang Bati yang berada di Kabupaten Seram Bagian Timur, Maluku.

Tentu saja, lewat pendekatan kultural, Pieter mampu mematahkan anggapan negatif itu lewat studi komparatifnya. â€Å“Semua yang saya tuangkan dalam buku ini berisi sebagian besar pengalaman hidup saya sejak 1976. Cukup lama saya mencari tahu keberadaan orang ilang-ilang itu,” tuturnya saat dihubungi dari Jakarta, pertengahan pekan ini.

Lewat bukunya Esurium Orang Bati (Kekal Press, Bogor, 2013), Pieter yang bekerja sebagai dosen sarjana dan pascasarjana sosiologi Universitas Pattimura, Ambon, itu mencoba memberikan sebuah perspektif baru.

Buku setebal 427 halaman itu merupakan karya Pieter dengan editor Arie Herdiyanto dan desain kover Bambang Shakuntala. Pieter mencoba menghadirkan persoalan sosial dan kearifan lokal yang ada dalam tatanan kehidupan orang Bati (hlm 50).

Secara peradaban, dalam hal teknologi, memang orang Bati jauh tertinggal jika dibandingkan dengan daerah lain di sekitar pulau-pulau yang ada di Maluku, seperti Pulau Lease, Pulau Ambon, dan Pulau Buru.

Namun, ada yang menarik. Orang Bati masih menjaga tradisi-tradisi nenek moyang dan mitologi-mitologi sebagai jati diri. Orang Bati punya kebiasaan hidup bergandeng tangan dengan suku-suku lainnya yang mendiami Pulau Seram. Sayang, acap kali nama ‘seram’ dianggap angker dan seram (menakutkan) oleh masyarakat luar.

Nama ‘Bati’ sendiri mengandung makna mistis. Orang Bati diyakini memiliki kemampuan terbang melewati laut. Tak mengherankan, studi pustaka dan pengalaman mengunjungi daerah pedalaman itulah yang membuat Pieter menjadi peneliti yang cukup sabar, terutama dalam menghadirkan kisah-kisah dengan metodologi ilmiah lewat bukunya tersebut.

Esurium dalam nilai budaya orang Bati bukan saja mengindikasikan hak milik atas suatu wilayah, melainkan juga satu strategi hidup yang lahir dari pengalaman hidup para leluhur orang Bati terhadap lingkungan sosial ataupun alamnya.

Esurium terdiri dari dua kata, yaitu esu yang berarti ‘hutan’ dan rium yang berarti ‘ribuan’ atau ‘beribu-ribu’. Jadi, esurium ialah tanah adat yang diyakini memiliki jiwa dan sakral, berfungsi sebagai ruang sosial, budaya, dan ekonomi.

Kesatuan hidup diikat konsep hidup roina kakal (orang bersaudara). Untuk itulah esurium harus dilindungi, dijaga, dan dipagari penduduknya. Tak ayal, anggapan itulah yang membuat orang luar tidak masuk ke sana karena dianggap pamali (pantangan).

Status esurium sebagai daerah pantangan itulah yang membuatnya terlindungi dari tangan-tangan orang luar. Alam yang asri masih ditemukan di wilayah yang masuk Kabupaten Seram Bagian Timur itu.

Mitologi Gunung Bati

Sebagai daerah terpencil yang jauh dari perkotaan, masyarakat setempat masih memiliki anggapan tentang asal-muasal orang Bati. Mereka percaya manusia berasal dari Gunung Bati (hlm 360).

Untuk itulah mereka menganggap gunung itu sakral sehingga tidak boleh dirusak. Keturunan manusia awal (Alifuru) pun diyakini juga berasal dari Nusa Ina (Pulau Ibu) atau Pulau Seram yang senantiasa menyatu dengan kosmos tempat mereka berada (hlm 128).

Lewat pendekatan sosial kultural, esurium orang Bati merupakan akar budaya karena terdapat nilai, norma, dan adat istiadat yang semuanya terlembaga dalam daerah/desa adat.

Ada pandangan hidup untuk menjaga kelestarian hutan sehingga daerah yang dianggap ‘terlarang’ tidak boleh dimasuki. Itu sebagai bentuk untuk menjaga flora dan fauna secara tak langsung.

Budaya esurium di Tanah Bati senantiasa dilakukan melalui ritus-ritus adat yang berhubungan dengan tatanan hidup masyarakat yang mendiami kawasan hutan hujan tropis yang masih lebat dan perawan itu.

Mus Huliselan menilai masih banyak unsur kebudayaan orang Bati yang belum sempat diteliti dan digali. Buku Esurium Orang Bati sekadar pintu. Pengelolaan hutan, survival strategy (strategi hidup), dan kearifan lokal telah digambarkan. â€Å“Akan menarik bila banyak ilmuwan menggali sisi tatanan orang pedalaman dengan pendekatan lainnya,” nilainya.

Sebagai putra Maluku, Pieter mampu menghadirkan penyajian buku secara sistematis. Namun, buku tersebut tak menghadirkan sisi human interest. Bahasanya terlalu kaku sehingga membuat pembaca awam lebih cepat bosan. (M-2)

miweekend@mediaindonesia.com

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 24 November 2013

  

[Jendela Buku] Ikhlas Adalah Kekuatanku Perjalanan Hidup Pengusaha Batu Bara

INSPIRATIF, optimistis, dan penuh haru, itulah kesan saat membaca buku Ikhlas Adalah Kekuatanku, Memberi tanpa Cadangan. Buku karya Emanuel Dapa Loka dan Celestino Reda itu merupakan autobiografi seorang pengusaha tambang batu bara Honardy Boentario.

Buku setebal 323 halaman itu diluncurkan tepat pada perayaan ulang tahun ke-50 Honardy. Dalam buku itu dikisahkan, perjalanan hidup pria kelahiran Pangkalpinang, Bangka Belitung, 8 November 1963 tersebut, mulai proses kelahirannya, masa kanak-kanak, remaja, hingga ia berusia 50 tahun dan sukses menjadi pengusaha.

Buku keempat karya Eman itu terdiri dari 22 bab dan 10 halaman berisi testimoni dari sanak famili dan teman sekolah, teman kerja, dan tetangga di tempat tinggal CEO PT Harapan Borneo Internasional (HBI) Honardy.

Dari 22 bab itu, penulis membagi menjadi beberapa tema, antara lain terkait dengan kehidupan masa kecil Honardy ketika di kampung halamannya di Bangka, kemudian saat merantau ke Jakarta untuk kuliah di Universitas Trisakti, perjalanan karier dari karyawan hingga menjadi pengusaha batu bara, kehidupan rumah tangganya, dan Honardy sebagai seorang warga yang membaur dengan para tetangganya.

Kisah perjalanan kariernya bisa dibaca pada bab 13 di halaman 173 hingga 198, sedangkan kedekatannya dengan alam tertuang dalam bab 21 di halaman 281.

"Sebagai pengusaha, Honardy dikenal sangat dekat dengan karyawan dan ia juga peka terhadap lingkungan," kata Eman.

Untuk itu, lanjut penulis buku Orang-Orang Hebat itu lagi, sejak masuk dunia pertambangan, Honardy mendirikan perusahaan khusus menangani pembibitan tanaman yang akan dipakai untuk mereklamasi lahan bekas pertambangan.

"Saya mereklamasi bukan karena diwajibkan pemerintah, melainkan dorongan dari dalam. Amat berdosalah saya jika meninggalkan alam yang hancur. Itu artinya saya mewariskan alam yang sama kepada dua putri saya. Masakan saya tega mewariskan alam seperti itu?" ujar Honardy.

Kisah perjalanan rumah tangga pria bernama asli Boen Kin Ho yang tidak terlalu mulus itu juga diungkapkan di bab 14. Bahkan saat peluncuran buku, mantan istrinya turut hadir dan memberi kesaksian betapa ia tetap diperlakukan baik bahkan disekolahkan hingga jenjang strata 2 sekalipun sudah tidak menjadi istrinya.

Kepedulian Honardy akan manusia dan alam juga diakui mantan Kepala BIN Letjen Purnawirawan Hendropriyono. Dalam kata pengantarnya di buku, Hendropriyono menyebut Honardy seorang pekerja keras dan menggunakan empat variabel dalam menjalankan usahanya, yakni pikiran, tenaga, iman, dan moral.

'Honardy mengaktifkan semua variabel tersebut sebab dia tahu bahwa batu bara merupakan hadiah dari Tuhan. Dia tahu pula bahwa alam tempat batu bara itu patut dipelihara', tulis Hendropriyono.

Selain itu, lanjutnya, di pertambangan Honardy berhadapan dengan tantangan dan godaan yang jauh lebih besar. Jika tidak memiliki modal keempat variabel itu, ia hanya mengeruk isi perut bumi secara maruk dan habis-habisan. (Ros/M-)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 24 November 2013

  

Saturday, November 23, 2013

Shobir Poer, Penyair Religi

-- Humam S Chudori

LAGI, sebuah buku kumpulan puisi ditulis oleh H. Shobir Poer setelah beberapa buku kumpulan puisinya diterbitkan. Buku yang diberi judul "Memuja-Mu di Tahta Langit". Berisi 67 buah puisi. Semuanya bernuansa keagamaan. Memuja-Mu di Tahta langit merupakan salah satu judul puisi yang terdapat dalam buku yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Tangerang Selatan itu

    Melalui kumpulan puisi ini, H. Shobir Poer mengajak pembaca merenungi kehidupan. Bahwa hidup bukan hanya sekedar makan, minum, bekerja, tidur, lalu menikah, punya anak. Menumpuk harta yang tak akan dibawa mati. Tidak. Hidup tidak sekedar menjalani aktivitas rutin yang tanpa makna. Manusia bukan sekedar hidup layaknya makhluk lainnya. Manusia berbeda dengan hewan. Karena manusia diberi akal, dilengkapi hati nurani, dianugerahi kecerdasan dan dibekali dengan pemahaman tentang baik dan buruk. Faalhamahaa fujuuroha wa taqwahaa maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kejahatan dan ketakwaan.

    Manusia diciptakan sebagai makhluk yang paling sempurna. Laqod kholaqnal insaana fii ahsani taqwiim. Namun, makhluk yang paling sempurna ini dapat menjadi yang sebaliknya. Menjadi makhluk yang serendah-rendahnya. Salah satu faktor yang dapat membuat manusia menjadi manusia yang dikembalikan-Nya ke tempat yang serendah-rendahnya (asfala safilin) jika yang bersangkutan melakukan perbuatan syirik. Masalah syirik ini digambarkan oleh H. Shobir Poer dalam puisinya sebagai berikut.

    Saat kau ingin hajatkan/ tapi tuhan disembunyikan/ di balik tulisan, cincin, batu, pusaka yang adiguna/kau minta segala hajat, dengan membunuh hatimu/ lalu mengubur hati ke lembah nista/ bernyani, mendoa suarasuara hitam/ bersama bayang yang datang dari neraka/ berkereta kencana ke ujung bumi/ menumpahkan harta, tahta/ di kursikursi penghormatan/ tak sungkan, berlari dendam/ di dalam gulita/ di seutas tali yang rapuh/ kematianmu menunggu (halaman 39)

    Di kalangan kaum sufi ada keyakinan, man arofa nafsahu faqod arobahu barangsiapa mengenal dirinya maka akan mengenal tuhannya. Kalimat ini pun dicoba dikemas oleh H. Shobir Poer dalam sebuah puisi yang sangat elok dalam puisi HAFALKAN ALIF LAM LAM HA.

    Anakku sayang/ sebelum kau pandai menari dan bernyanyi/ untuk negeri ini/ hafalkan dulu lisanmu/ atas nama Allah/ anakku sayang /sebelum kau jadi orang besar / hafalkan dulu hatimu/ atas fakir miskin di sekelilingmu/ hafalkan dulu langkahmu/ atas kealfaan waktu yang mendera/ di bumimu melangkah/ anakku sayang /sebelum kau berlari meninggalkan hidup/ hafalkan dulu, dari waktu yang terlewat/ atas cinta Allah, pada seribu bulan / di ujung syurgawi keabadian/ kau, harus jadi pemantik alif lam lam ha (halaman 13) Benar.

    Jika setiap orangtua berhasil menanamkan akidah yang kuat. Keyakinan yang benar tentang Tuhan. Niscaya anak tidak akan pernah melakukan perbuatan-perbuatan tercela (apalagi sampai merugikan banyak orang) seperti tindakan korupsi yang saat ini telah mewabah, misalnya. Sayang, orangtua lebih takut anaknya tak mengenyam pendidikan tinggi daripada tidak mengenal Allah. Kita lebih cemas jika anak tidak punya keahlian untuk bersaing mendapatkan pekerjaan daripada tak punya akidah yang kokoh. Tak heran apabila anak-anak pelajar maupun mahasiswa cenderung menyelesaikan masalah dengan kekerasan. Tidak terkecuali masyarakat umum. Dengan tawuran, misalnya.

    Kenapa demikian? Karena tak ada lagi rasa cinta dalam hati nurani mereka. Padahal jika cinta sudah menhujam dalam kalbu, orang tak akan menyelesaikan masalah dengan cara-cara kotor, kasar, merugikan orang lain, bahkan mencederai diri sendiri. Karena ujung cinta adalah Tuhan, demikian yang digambarkan dalam puisi "Di ujung cinta kudapatkan Tuhanku"

    Berlari ke ujung dahan/ Kudapatkan jatuh/ Berlari ke ujung jalan/ Kudapatkan buntu/ Berlari ke ujung kamar/ Kudapatkan bau/ Berlari ke ujung lapar/ Kudapatkan sekarat/Berlari ke ujung senapan/ Kudapatkan eksekusi/ Berlari ke ujung singgasana/ Kudapatkan perang/ Berlari ke ujung negeri/ Kudapatkan belenggu/Berlari ke ujung bulan/ Kudapatkan gelap/ Berlari ke ujung istriku/ Kudapatlkan anakku/ Berlari ke ujung anakku/ Kudapatkan cinta/ Namun, berlari ke ujung cinta/ Kudapatkan Tuhanku, Allah (halaman 11).

    Barangkali H. Shobir Poer meyakini sejatinya penyair bisa menolong orang lain untuk berkata-kata dengan indah. Sebab banyak orang yang punya maksud namun tak mampu mengekspresikannya. Tak bisa mengutarakannya. Ketika orang sedang jatuh cinta, misalnya, seringkali terjadi kebekuan komunikasi di antara dua insan tersebut. Lantaran takut kata-kata yang diucapkan tidak tepat hingga justru menimbulkan miss communication. Seorang penyair dalam hal ini harus dapat menolong kebekuan komunikasi tersebut dengan kalimat yang dapat menguraikan keindahan cinta. Puisinya bisa menjadi penyambung lidah bagi mereka. Ini jika yang terjadi masalah cinta.

    Demikian pula, ketika seseorang dilanda kegalauan. Resah. Gelisah. Mengalami perasaan tertekan. Bingung. Sedih. Dan perasaan lain yang membuat seseorang stress. Sejatinya setelah membaca puisi hatinya akan terhibur, merasa nyaman, teduh, sejuk, tentram, tidak lagi gundah gulana, tidak merasa sendiri mengalami hal-hal yang tak mengenakkan.

    Jika puisi yang terdapat di buku ini tidak sekedar dibaca. Melainkan direnungkan makna dan isi pesan yang terkandung di dalamnya, maka ia akan menjadi penyejuk hati pembaca. Pencerah batin penikmatnya.

    Seperti halnya penyair Mohammad Iqbal, Hamzah Fansuri, Jalaludin Rumi, atau Salman Al Farisi. Karya-karya H. Shobir Poer dalam buku ini berusaha membangkitkan harapan, mengokohkan akidah, dan memberi rangsangan spiritual kepada pembacanya. Meski, sepintas lalu, karya H. Shobir Poer terkesan cair, renyah, dan mudah dicerna. Namun, justru inilah letak kekuatan puisi-puisinya.

    Yang jadi masalah sekarang, apakah buku semacam ini akan diapresiasi masyarakat kita yang kini sudah dijangkiti hedonisme, materialistik, dan wabah konsumerisme. Masyarakat yang sudah memuja jibti dan toghut. Padahal tak ada yang pantas dipuja-puji kecuali Allah. Dan ini tercermin dalam puisinya yang dijadikan judul buku tersebut. Itu saja!
   
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 23 Nopember 2013

Sunday, November 17, 2013

[Kolom] Benuaq

-- Arie MP Tamba

KALAU Anda berada di antara 800-an orang pendengar Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta yang disampaikan Karlina Supelli pada 11 November 2013 malam, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, kemungkinan besar Anda termasuk yang ”tercekam” oleh paparan Karlina tentang rusaknya hutan Kalimantan.

Dari hampir 90 % Pulau Kalimantan yang terlihat hijau pada 1930-an, kini diperkirakan tersisa tak lebih dari 20 %. Semuanya telah berubah jadi tanah kerontang, kubangan luas dan kosong, serta bukit-bukit keroak dan mati. Karena kehidupan di atasnya, berupa rimbunan pohon yang dihibahkan alam selama puluhan bahkan ratusan tahun telah ”ditebangi” secara resmi melalui Hak Penebangan Hutan dan penambang, maupun dijarah secara gelap oleh pembalak hutan. Maka raib pulalah berbagai ilmu pengetahuan dan budaya suku Dayak Benuaq, salah satu suku penghuni di pulau terbesar Indonesia itu, yang selama ini hidup ”menyatu” dengan hutan lebat di sekitar mereka.

Apa yang disampaikan Karlina, menegaskan lagi apa yang diperihatinkan novelis asal Kalimantan, Korrie Layun Rampan tiga dekade lalu. Melalui novelnya Upacara (1978), Korrie melakukan ”perlawanan” budaya terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang masa itu menjadikan Kalimantan sekadar ”lahan”.

Seperti digambarkan Edward Said dalam Culture and Imperialism (1993), bahwa peperangan utama dalam imperialisme adalah merebut tanah. Siapa yang memiliki tanah, siapa yang berhak menetap dan menggarap, mempertahankan, merebut, dan merencanakan masa depan semuanya direnungkan, digugat, dan bahkan untuk suatu masa ditetapkan oleh narasi. Banyak di antaranya, disampaikan melalui novel.

Dengan Upacara, Korrie menggarisbawahi pandangan Said. Teks Upacara adalah narasi yang disusun menyosokkan eksistensi dunia suku yang diperjuangkan keberadaannya oleh Korrie. Keterangan atas berbagai penanda yang beroperasional di tengah suku Benuaq yang mendiami daerah sepanjang Sungai Mahakam, Sungai Kadang Pahu dan Sungai Nyawatan di Kalimantan, itulah sebagian yang tertulis pada halaman-halaman novel Upacara.

Di antaranya: Anan la Lumut = Perjalanan ke Sorga. Menurut kepercayaan suku Benuaq, surga itu di Gunung Lumut sebuah gunung yang terletak antara perbatasan Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah, yang dalam novel Upacara jadi bab terindah, tentang dunia surealis yang dialami si tokoh utama. Lalu, Lamin = rumah panjang suku Dayak (dalam cerita Upacara adalah suku Benuaq). Kemudian, Tonoy = dewa tanah; ngayau = memotong kepala; Kewangkey = upacara penguburan tulang-tulang manusia; Pelulung = upacara perkawinan, dll.

Penanda khas Benuaq ini, mengikuti logika Said di atas, adalah sebuah upaya kreatif Korrie menghadirkan keberadaan Benuaq dengan kosmologinya yang unik, di tengah keumuman narasi pembangunan yang hadir di Indonesia pada masa itu (1970-an), yang didominasi berbagai narasi ”luar” Kalimantan, seperti Jawa atau Sumatera.

Kekhasan kosmologi dikisahkan dalam Belahan Satu, dengan judul Anan La Lumut (hlm 19-39), yang tersuguh sebagai cerita realis-surealistis. “Telah kutunjukkan kepada orang asing itu bahwa kita punya tuhan,” kata Paman Jomoq. “Sekali dengan gagak. Sekali dengan punai. Sekali dengan rangkong. Orang asing itu mengangguk-angguk kagum.” (hlm 51)

Dikisahkan pula tentang peristiwa pemanggilan tuhan oleh Paman Jomoq, di hadapan orang-orang sekampung dan juga seorang antropolog asing, Tuan Smith. Berlangsunglah dialog yang intens tentang keberadaan tuhan antara Paman Jomoq dan Tuan Smith.

“Jadi ada tuhan tertinggi?”

“Yang tertinggi Letala. Sang Pencipta.”

“Bawahannya?”

“Banyak sekali. Mereka semua disebutkan dalam balian, diberi sesaji sesuai urutan dan kedudukannya.”

“Kalau misalnya tuhan-tuhan bawahan berontak kepada tuhan maha tinggi?”

“Nah, manusia selalu mengidealisir pikiran-pikiran naf. Kita sering menyamakan naluri tuhan dengan sahwat manusia. Di Swarga tak pernah terjadi kudeta, karena tuhan tak punya naluri sahwat!”

“Swarga? Apakah itu?”

“Rumah keabadian.” Paman Jomoq menatap orang asing itu dalam-dalam. Mereka saling berpandangan. Orang asing itu mengangguk-angguk. (hlm 53)

Upacara pun hadir utuh sebagai strategi literer penubuhan suku, yang memiliki wacana khas tentang apa saja. Hingga, dengan tegas keasingan jadi gangguan, seperti halnya hadirnya para peneliti dengan obsesi ilmiah yang kerap mereduksi kosmologi suku jadi sekadar data antropologis. Dengan sebuah struktur sikap dan acuan di baliknya, yang memungkinkan para peneliti hadir sebagai subyek Eropa, sebuah dunia modern, berhadapan dengan budaya primitif, lalu mengambil surplus dengan menolak setiap otonomi yang sejajar di luar keeropaan.

Sama halnya dengan para pengusaha hutan. Mereka mengambil keuntungan sekaligus menolak kehadiran penduduk asli sebagai otonomi yang memiliki hak hidup yang sama. Hal ini menyebabkan penderitaan bagi penduduk asli, yang kaum wanitanya dikawini lalu ditinggalkan, hutan-hutannya ditebangi serta dibakar dan ditinggalkan. Hingga, kehidupan ladang berpindah yang menyatukan penduduk dengan hutan selama ratusan tahun, beralih jadi gaya “perkotaan” yang justru memisahkan penduduk dari hutan, yang kini dimaknai sebagai lahan yang harus dikuras.

Maka, ”perlawanan” sastra yang dilakukan Korrie juga diniatkan menyuarakan penolakan terhadap sistem kehidupan dari luar, yang mendatangi suku Benuaq sebagai sistem yang menghisap, merusak, dan menghancurkan. Hingga, ketika Korrie dengan detail menjabarkan bentuk kehidupan, struktur masyarakat, bangunan arsitektur, perangkat upacara, dan berbagai cara hidup masyarakat Benuaq yang menyatu dengan hutan dan musim adalah semacam peringatan keras akan terancam punahnya sebuah cara hidup (baca: budaya) yang ”sempurna”. Peringatan yang kembali dikumandangkan oleh Karlina Supelli malam itu. n

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 17 November 2013

[Pertunjukan] Teater Koma: Merenungkan Sosok Ibu

-- Aprillia Ramadhina

TAK ada untung dalam perang, tak ada kemenangan di pihak manapun yang bersekutu. Yang ada hanya korban bergelimpangan dan kerugian di sisi yang paling sentral yaitu kemanusiaan.

Ibu Brani layaknya dua sisi mata uang, seperti halnya yang dimiliki manusia lainnya. Ia ingin kedamaian datang, tapi juga berharap perang tak berhenti, karena ia juga mencari keuntungan. Sebuah hal yang sangat paradoks, tapi bisa jadi, itulah potret kebanyakan masyarakat kita sekarang. Mencari aman, berada di antara. Terkadang ibu Brani memasang bendera Matahari Hitam di keretanya, kadang ia ganti menjadi bendera Matahari Putih. Baginya hal itu tidak terlalu penting, ia benci perang, sekaligus menikmatinya.

Di tengah suasana perang, ada saja yang mencoba mengambil keuntungan. Itu yang dilakukan oleh Ibu Brani, ia menjual barang-barang bekas dari perang yang terjadi antara Resimen Matahari Hitam dan Resimen Matahari Putih. Tidak peduli kawan atau lawan, uang dari musuh pun yang penting bisa dipakai untuk makan. Dengan ketiga anaknya dan kereta kesayangannya, Ibu Brani berkeliling menjajakan barang dagangannya seperti bir dan baju. Tapi dua anak laki-lakinya yang menarik kereta, Fejos dan Elip kemudian direkrut menjadi tentara, tinggalah Ibu Brani dengan anak bungsunya yang bisu bernama Katrin

Tidak bisa dihakimi soal karakter mendasar dari sosok ibu di tokoh ini, Ibu Brani, apakah ia baik, atau buruk. Tampaknya dalam pementasan ini tidak bicara soal itu. Meski ada matahari “hitam” dan matahari “putih”. Tidak ada kebaikan atau keburukan yang diwakili dari dua elemen warna tersebut. Dalam perang, hanya ada pihak yang merasa pihak lain lebih buruk, hanya ada kata musuh di kubu yang berbeda, atau di kubu sendiri jika menjadi pengkhianat.

Dalam diri Ibu Brani, sekilas kita melihat perjuangan seorang ibu, kesedihan karena harus kehilangan ketiga anaknya. Tapi, itu takdir yang sudah ia ketahui sejak awal, melalui ramalannya sendiri. Karena itu, ketika Elip dan Fejos direkrut menjadi tentara, ia tak bisa banyak berkutik. Ketika ia terlalu lambat dalam tawar menawar sampai Fejos harus ditembak, ia pun terima. Pun ketika Katrin, si bungsu yang bisu harus ditembak juga saat ia tinggalkan ke kota untuk mencari barang yang bisa dijual.

Di satu sisi Anda akan disajikan kepedulian seorang ibu menjaga anak-anaknya. Ia tidak membolehkan Katrin terlihat cantik, dan memakai sepatu dan topi milik Ipit karena takut nantinya jadi pelacur tentara. Di sisi lain, Anda akan melihat Ibu Brani yang hanya ingin mengambil keuntungan dari perang yang ada, tanpa mau terlibat di dalamnya. Hingga disindir oleh seorang tentara resimen Matahari Hitam, “Tidak ikut menanam tapi ingin ikut panenan. Takut perang tapi berharap perang terus berlangsung.”

Tak ada yang bisa dipercaya dalam peperangan, kawan terkadang hanya menjadi musuh yang tertunda termasuk pendeta, dan juru masak. Keduanya pada akhirnya pergi begitu saja dari hidup Ibu. Di akhirnya Ibu pun tetap sendiri. Peperangan selalu menyisakan ketidakpastian, ketidakpastian kapan kedamaian datang.

Sari Madjid, memerankan ambiguitas sosok Ibu Brani itu dengan sangat maksimal. Ia memang bukan nama baru di Teater Koma, ia telah memerankan tokoh Engtay sebanyak 80 kali di lakon Sampek Engtay sejak 1998 sampai 2004.

Rangga Riantiarno yang berperan sebagai Elip, Muhammad Bagya (Fejos), dan Ina Kaka (Katrin) memiliki kualitas akting yang juga mengimbangi ibu mereka, Ibu Brani. Sosok pelacur Ipit Poter yang diperankan oleh Daisy Lantang juga sukses mencuri perhatian. Budi Ros pun apik berperan menjadi pendeta yang unik, pendeta yang doyan minum anggur. Selain didukung pemain-pemain yang mumpuni, setting dan properti juga sangat tepat dalam melengkapi pementasan. Terlebih kostum dari rancangan Samuel Wattimena yang menggunakan kain-kain tradisional.

“Kita tahu cerita ini dari negara asing, tapi saya kemudian diberikan ruang untuk berekspresi menggunakan kain tradisional, ini merupakan rekreasi yang menyenangkan. Secara konsep besar kita tidak lari dari tahun tersebut, tapi secara eksekusi dan penerapan, saya menggunakan ulos, lurik, batik, endek bali, rajut, tenunan gedogan, rangkuman tersebut membuktikan bahwa kain-kain tradisional Indonesia bisa dibawa ke ranah apa saja,” ujar Samuel Wattimena beberapa waktu lalu dalam jumpa pers lakon “Ibu”

“Kain tradisional, bukan kekayaan masa lalu saja, tapi bisa dibawa untuk cerita teater, mengenai masa lalu, tapi kekinian terasa. Kalau kita lihat lebih mendalam, merasakan lebih, kostum-kostum pementasan ini ada kedekatan dengan kita. Dan menurut saya kedekatan itu tercipta karena kita memang dari lahir terbiasa berada di lingkungan kain-kain tradisional tersebut,” lanjut Samuel.

Penata musik Fero A. Stefanus juga ciamik mengolah lagu-lagu menjadi iringan yang sangat sesuai dengan isi cerita dari pementasan berdurasi 3 jam 20 menit itu. Dan yang tak kalah menarik juga urusan senjata dan efek dari Ledy Yoga, Moelyono, dan Gagah Tridharma yang mencipta efek ledakan yang mampu membuat penonton kaget. Pementasan ini melibatkan 45 pemain, 11 pemain, dan 50 kru tim.

Potret Indonesia dalam Analogi “Perang”

Pementasan Teater Koma ke-131 ini menurut sang sutradara Nano Riantiarno, akan berhubungan dengan karya selanjutnya yang berjudul “Demonstran” yang rencananya akan tampil di bulan Maret 2014. Di waktu itu, tentu akan ada peristiwa “perang” cukup besar di Indonesia, yakni Pemilu. Itulah mengapa Nano mempertanyakan siapa sosok “Ibu” di negara Indonesia sekarang ini.

Menurut Ratna Riantiarno, teater selalu memiliki pesan melalui kesatuan unsur seni yang ditampilkannya, tari, musik, visual, nyanyian, dan tentu akting dari para pemainnya. Pesan ini senantiasa membuat bercermin, untuk melihat ke dalam diri dengan lebih jujur. Cerminan yang ingin disampaikan itu berasal dari pengamatan Nano akan kondisi Indonesia sekarang ini.

“Naskah ini sudah diterjemahkan sejak Mei 1987, setelah saya menggelar The Threepenny Opera tahun 1983, saya ingin mementaskan lakon “Ibu” ini, tapi ada banyak kendala. Dan tahun ini adalah tahun yang saya rasa tepat.” ujar Nano.

Naskah Mother Courage and her Children ini merupakan naskah ketiga dari Bertolt Brecht yang diadaptasi. Pementasan berlangsung dari tanggal 1-17 November 2013, di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM) Cikini. Sebelumnya Teater Koma telah lebih dulu mementaskan adaptasi dari dua karya Brecht yang berjudul The Threepenny Opera dan The Good Person of Shechzwan)

Meski perang di sini berlatar Jerman pada abad ke-17, nilai-nilai yang terkandung masih relevan untuk dikaji. Dan layaknya naskah adaptasi, ada yang juga dikondisikan agar penonton tidak terlalu berjarak dengan cerita dan bisa menjadi refleksi tersendiri dalam situasi yang tengah melanda negeri ini. Perang selalu identik dengan kekuasaan yang diperebutkan, demi hal tersebut, segala cara seolah boleh dilakukan bahkan termasuk menggadaikan sisi kemanusiaan. Terutama “perang” kepentingan yang senantiasa berlangsung di Indonesia, perang yang mengabaikan akal sehat dan nurani. n

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 17 November 2013

[Tradisi] Warisan Budaya Tak Benda (WBTB): Selamatkan Warisan Nenek Moyang

-- Vien Dimyati
INDONESIA memiliki ribuan warisan budaya tak benda, tetapi baru 3 ribu yang tercatat. Pada 2013 ini, Indonesia mengajukan tenun Sumba sebagai WBTB kepada UNESCO.

Pekan lalu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggelar lokakarya tingkat sub-regional bertajuk "Implementasi Konvensi UNESCO 2003 untuk Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda (WBTB). UNESCO adalah salah satu organisasi di bawah Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang menangani pendidikan dan kebudayaan.

Lokakarya yang diikuti oleh 50 peserta dari Indonesia, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Timor Leste ini ramai-ramai memberikan pandangannya mengenai perlindungan terhadap WBTB untuk keberlangsungan sejarah. Bahkan dalam lokakarya tersebut hadir para ahli, tenaga ahli international dalam bidang Warisan Budaya Tak Benda.

Seperti diketahui, Warisan Budaya Tak Benda atau Intangible Cultural Heritage terdiri atas tradisi dan ekspresi lisan (termasuk bahasa), seni pertunjukan, adat istiadat, ritus, pengetahuan dan kebiasaan perilaku berkaitan dengan alam semesta, dan kemahiran kerajinan tradisional.

Direktur Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Diah Harianti mengatakan, lokakarya ini sangat penting untuk membangun pemahaman tentang pentingnya meningkatkan kesadaran untuk menjamin pengakuan, penghormatan, dan peningkatan praktek dan transmisi Warisan Budaya Tak Benda melalui pendidikan formal dan non-formal.

"Masyarakat harus secara lebih luas lagi untuk memelihara warisan budaya tak benda yang ada di Indonesia. Sebab, kalau bukan kita yang memberikan perlindungan, anak cucu kita tidak akan tahu sejarah," kata Diah Harianti, saat membuka Lokakarya mengenai implementasi Konvensi UNESCO 2003 untuk perlindungan Warisan Budaya Tak Benda, belum lama ini di Jakarta.

Menurut Diah, lokakarya ini diselenggarakan untuk memperkuat kapasitas negara-negara di kawasan Asia Tenggara untuk melindungi WBTB-nya mengingat semakin berkembangnya globalisasi dan trasformasi sosial. Lokakarya ini diadakan antara lain dalam rangka untuk memberikan gambaran umum tentang konvensi yang meliputi latar belakang, dasar pemikiran, semangat dan cara implementasi. “Agar masyarakat, komunitas, dan pemerintah setempat baik itu Walikota, Bupati atau Gubernur segera mencatat dan melaporkan WBTB yang dimilikinya ke pemerintah pusat untuk kemudian diproses untuk ditetapkan menjadi WBTB Nasional," katanya.

Ia menambahkan, WBTB yang ada di Indonesia mencapai puluhan ribu. Namun yang tercatat sampai 2013 ini baru mencapai 3.000 lebih yang kemudian diproses untuk ditetapkan menjadi WBTB Nasional. “Tahun 2013 ada 60 lebih WBTB Nasional yang ditetapkan. Dari WBTB Nasional itulah kemudian diajukan menjadi WBTB dunia," katanya.

Menurut Diah, dengan lokakarya ini diharapkan dapat memberi pemahaman lebih kepada peserta bagaimana mengajukan WBTB-nya ke pemerintah pusat dan UNESCO. “Dengan begitu kemungkinan WBTB Nasional yang akan diajukan ke UNESCO, tidak ditolak lantaran kekurangan persyaratan seperti misalnya kajiannya yang kurang lengkap, partisipasi masyarakatnya yang belum ada, dan lainnya," katanya.

Sementara itu, Deputi Direktur Kantor UNESCO Jakarta, Shahbaz Khan menjelaskan perlindungan warisan budaya tak benda yang tak lain merupakan praktek-praktek budaya nenek moyang, semakin lama semakin berhadapan dengan banyak tantangan.

"Lewat lokakarya ini diharapkan dapat mendorong dialog dan kohesi perlindungan WBTB agar pelaksanaan konvensi ini berjalan efektif di Indonesia dan di kawasan Asia Tenggara," kata Shahbaz.

Disamping berdialog, peserta lokakarya juga diajak berkunjung ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di Jakarta Timur, mengingat tahun 2014, Pemerintah Indonesia mengajukan TMII ke UNESCO untuk ditetapkan sebagai WBTB dunia.

Ia menjelaskan, WBTB Nasional yang sudah ditetapkan menjadi WBTB dunia adalah noken, tari saman, angklung, dan batik. “Setiap tahun tiap negara hanya dibolehkan mengajukan satu WBTB. Tahun 2013 Indonesia mengajukan Tenun Sumba yang akan diumumkan UNESCO apakah ditetapkan sebagai WBTB dunia atau tidak pada Desember 2013," kata Diah.

Adapun pemilihan Tenun Sumba yang diajukan untuk dijadikan WBTB karena bagi sebagian masyarakat di Nusa Tenggara, tenun melambangkan kebudayaan yang sangat tinggi. Tenun ini salah satu warisan budaya nenek moyang yang memang tidak boleh dilupakan. Tiap corak yang tergambar dalam tenun juga memiliki "cerita" di baliknya. Misalnya, seperti gambar ayam. Ayam itu sebagai lambang pengingat waktu. Ada pula kuda, yang melambangkan alat angkut transportasi. Corak tombak, yakni melambangkan senjata. Pada masa lampau tombak dan bambu runcing digunakan untuk mengusir penjajah. Ada juga motif sayuran yaitu pare, yang merupakan makanan saat zaman penjajahan.

Selain corak, warna tenun pun berbeda untuk setiap upacara adat. Untuk pesta pernikahan lebih cenderung menggunakan warna terang atau merah, sedangkan kematian cenderung memakai hitam atau biru. Sementara untuk upacara adat biasa, bisa memakai warna tenun apa saja.

Tenunan Sumba dapat disebut sebagai karya seni karena sarat keindahan desain dan keterampilan teknis dalam pembuatannya. Kain tenun dari Pulau Sumba, Provinsi Nusa Tenggara Timur dapat dianggap sebagai warisan dunia, dilihat dari keunikannya di antara berbagai tradisi wastra yang masih lestari hingga saat ini, di mana perannya penting dalam upacara adat masyarakatnya.

Wastra, pada dasarnya adalah kata serapan dari bahasa Sansekerta yang berarti sehelai kain yang dibuat secara tradisional dan terutama juga digunakan dalam matra tradisional. Salah satu jenis Wastra adalah kain tenun.

Desain yang tegas dan kekayaan warna dan ragam hias yang mudah dikenali seperti kuda cendana kecil yang indah memiliki peran penting dalam budaya Sumba. Motifnya yang bernuansa fauna seperti burung, rusa bertanduk, ular merayap, kura-kura, dan buaya merupakan simbol yang dimaknai sebagai raja dan penguasa.

Kain tenun Sumba tak lepas dari nilai-nilai religius. Hal ini tergambar dari salah satu jenis kain tenun yang bernama Hinggi Pasola. Pasola sendiri merupakan ritual tahunan paling penting di Sumba yang dilaksanakan sebelum mulai menanam padi yang melibatkan pertempuran pura-pura namun sengit, antara laki-laki di atas kuda yang dipacu sambil saling melempar lembing. n

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 17 November 2013

[Artikulasi] Batik Indonesia dengan Spirit Amerika

-- Wuri Kartiasih

Pasar batik di dalam negeri kini menggelora, siapa pun kini tak sungkan lagi memakai batik. Gelora dan gairah berbatik ria ini kini coba ditularkan ke masyarakat Amerika Serikat melalui ajang kompetisi batik.

SETELAH diakui UNESCO, batik kini resmi menjadi warisan ‘dunia' yang akan dikenal dan dilihat perkembangannya oleh seluruh masyarakat dunia. Momen ini menurut data Kementerian Perdagangan Indonesia membuat geliat perdagangan batik Nusantara mengalami peningkatan yang cukup menggembirakan.

Pasar batik Tanah Air cukup menggairahkan. Masyarakat semakin mengenal dan mencintai batik. Busana batik kini di pakai tidak lagi hanya karena ada upacara atau pesta perkawinan, tapi telah meluas ke semua acara. Sekarang masyarakat Indonesia senang memakai batik di mana saja dan kapan saja.Perkembangan ini menunjukkan bahwa batik telah mendapat tempat yang tepat dalam gaya berbusana masyarakat kita.

Sebenarnya batik dimiliki bangsa kita sudah ratusan tahun, walaupun fungsinya sebagai jarik (kain lilit) dan sarung dibeberapa daerah. Tidak seperti sekarang yang juga sudah banyak diolah kedalam busana dan aksesori pelengkap busana.

Setelah pasar dalam negeri bergairah, kini saatnya mengenalkan batik ke jenjang internasional sekaligus menggiatkan daya pakai batik sebagai material yang bisa diaplikasikan pada berbagai konsep busana. Salah satu upaya yang dilakukan adalah mengenalkannya ke Amerika Serikat (AS) dengan cara mengadakan kompetisi desain batik yang tahun ini telah dilakukan untuk kedua kalinya, setelah sebelumnya dilaksanakan pada tahun 2011.

Kompetisi batik ini digelar untuk menjembatani pengembangan industri kreatif batik Indonesia ke kancah dunia, sekaligus mendorong akulturasi budaya batik Indonesia ke dalam keragaman budaya di AS. Kompetisi ini diluncurkan oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia di Washington DC bekerja sama dengan Jenderal Konsulat Indonesia di Chicago, Houston, Los Angeles, New York dan San Francisco. Acara ini merupakan pilot project untuk merangsang minat masyarakat Amerika pada batik Indonesia.

Melalui kompetisi yang penganugerahannya dilakukan di Hotel Mandarin Oriental, para desainer Amerika Serikat ditantang untuk menyalurkan gaya fashion yang mereka miliki dengan tema "The spirit of America in the heritage of batik." Model kompetisi serupa terus berkembang tidak hanya digelar di Amerika, tetapi juga di negara lainnya, seperti Italia.

Hal ini secara efektif membantu memperkuat hubungan people to people contact antara Amerika Serikat dan Indonesia, dan telah membawa budaya kreatif Indonesia lebih dekat dengan budaya populer Amerika.Perkembangan ini telah menguatkan hubungan antarnegara sekaligus mendekatkan budaya tradisional Indonesia dengan budaya populer kreatif Amerika Serikat.

"Apresiasi terhadap budaya Indonesia diperkuat ketika desainer Amerika belajar lebih banyak tentang batik, di lain pihak melalui kompetisi ini masyarakat Indonesia akan pula meningkatkan pemahaman akan nilai-nilai budaya Amerika. Kompetisi ini bertujuan untuk memperkenalkan kreatifitas dan inovasi desain batik, sekaligus upaya untuk memperkenalkan batik kepada dunia, serta mendorong budaya batik Indonesia ke ranah keragaman budaya Amerika," kata Dino Patti Djalal, Dubes Indonesia di AS, dalam keterangan tertulisnya.

Tema Khas Amerika

Para juri menetapkan tiga desainer sebagai pemenangAmerican Batik Design Competition 2013, yaitupertama,DonnaBackues, seorang artis studio, ilustrator dari Philladelphia dengan tema desainRing of Fire Lighting the Flame of Liberty.Kedua,Anica Buckson, seorang pelajarfashiondesainer dari Brighton, Massachusetts dengan desain batik yang bertemaNorth Native America. Ketiga,Christiane Grauert, seorangAssociate ProfessordariMilwaukee Institute of Art and Designdengan tema desainMany Faces Many Voices.

SejakAmerican Batik Design Competitiondigelar pertama kali pada tahun 2011, terdapat sembilan desain batik dengan tema khas Amerika, yaituCowboy, Totem, Divine Unity, Gandum, Pantai, Bintang dan garis (Stars and Stripes), Binatang/kerbau (Buffalo) dan kode elektronik (QR Code).Pada tahun 2013, akan ada tambahan lima varian batik desain ala Amerika yang akan ditransformasikan dari desain digital ke pakaian batik riil ke pembuat batik di Yogyakarta.

Dalam acara Gala Dinner yang menjadi ajang pengumuman pemenangAmerican Batik Design Competition 2013ini hadir Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat Dino Patti Djalal, dengan diisi oleh sajian musik dari musisi asal Indonesia Daniel Sahuleka. Pada acara yang sama digelar jugaperagaan busana batik Indonesia dari rumah Batik Alleira dan desainer Amerika berbasis di New York Mary Jaeger.

Di acara tersebut Batik Alleira menampilkan koleksinya yang terbuat dari kain tenun ATBM, sutera, serta organza dalam serpihan warna yang mewah, seperti hitam, merah, jingga, dan kuning. Gaya modern juga diperlihatkan dalam rancangan yang diperagakan dengan permainan aplikasi lipat pada busana dan permainan motif mawar dan hati dalam batik. Agar dapat digunakan oleh masyarakat Amerika, Alleira juga membuat desain dengan siluet coat.

Gaun-gaun panjang mendominasi rangkaian koleksi ini. Tiap gaun melibatkan siluet yang memancarkan eleganitas wanita, seperti siluet mermaid (putrid duyung), siluet fit and flare, serta ada juga siluet loose dengan detail yang menawan. Kolaborasi material bernuansa tembaga dan perak, serta batik bernuansa hitam dan putih, menghadirkan koleksi yang memancarkan kesan elegan, klasik, sekaligus glamor.

Selain itu, material berupa hand woven silk, sutera satin, sutera organza, serta sutera sifon yang dipermanis dengan bulu (fur), gold dan bronze Jacquard, mengangkat rangkaian koleksi ini ke level internasional. Keterlibatan motif paisley, bunga khas yang biasa diaplikasikan pada koleksi Alleira Batik, serta aneka ornamen tradisional Indonesia membuat rangkaian koleksi yang diperagakan dalam tiga babak ini terlihat begitu istimewa dan memesona.

Tidak hanya di Washington DC, tetapi batik juga di perkenalkan ke masyarakat New York. Atas undangan dan dukungan penuh dari PTRI New York bersama Ibu Sari Percaya mengadakan acara Luncheon with Alleira Batik.

"Acara ini bertujuan untuk lebih memperkenalkan batik kepada negara sahabat, diadakan di Gedung PTRI (Perwakilan tetap Republik Indonesia) Alleira Batik menginformasikan secara langsung seni tata cara pembuatan batik Indonesia," kata Ade Kartika, Wakil Direktur Alleira Batik.

Komoditas Bisnis di AS
Acara yang dihadiri oleh Mme. Yoo (Ban) Soon-Taek (Istri dari Mr. Ban Ki Moon - Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa) serta perwakilan organisasi internasional di PBB yang berjumlah puluhan orang ini berlangsung dengan antusiasme para tamu yang ingin mengetahui lebih dalam mengenai batik.

Selain memaparkan proses pembuatan batik yang dilakukan secara tradisional dengan sentuhan modern, Alleira Batik juga menampilkan demonstrasi pemakaian shawl beserta demo membatik. Para tamu menyaksikan langsung kreasi pemakaian shawl yang dapat dipakai pada berbagai kesempatan.

Batik memang memiliki daya tarik tersendiri, karena prosesnya yang tidak biasa dan harus dilakukan dalam beberapa proses untuk menghasilkan warna yang diinginkan, dan itulah yang menjadi daya tarik dari batik. "Mereka menghormati proses pembuatan batik, dan ini dapat membawa batik Indonesia go internasional," kata Ade menambahkan.

Sepak terjang batik di Amerika semakin berkembang setelah diakui Unesco. Batik Indonesia mulai lebih dikenal di Amerika Serikat, khususnya di wilayah kerja KJRI Chicago di Midwest sejak dipamerkannya batik-batik koleksi Dr. Ann Dunham, ibunda Presiden AS, Barrack Obama di Chicago pada Mei 2009, St. Louis Oktober 2009, dan Kansas City pada Maret 2010.

Upaya menjadikan Batik Indonesia sebagai komoditas bisnis di Amerika Serikat telah dirintis oleh Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Chicago bekerja sama dengan Indonesian Trade Promotion Center (ITPC) Chicago dan Atase Perdagangan RI di Washington DC melalui partisipasi Indonesia pada pameran produk garmen ‘Stylemax Women's Apparel and Accessories'di Merchandise Mart, Chicago pada 23-26 Oktober 2010.

Stylemax merupakan ajang pameran produk garmen terbesar di wilayah Midwest Amerika Serikat dan deal business antara produsen garmen dan pembeli yang terdiri ataswholesaler, retailer,rumah produksi, dan toko pakaian besar di AS yang berpusat di Chicago. Pameran ini diikuti oleh sekitar 2.000 peraga dan dihadiri oleh lebih dari 4.000buyeryang berasal dari Amerika Serikat maupun mancanegara.

Penampilan batik Indonesia yang diperagakan di puncak acara pameran Stylemax pada saat itu oleh beberapa peragawati profesional AS mendapatkan apresiasi dan sambutan hangat dari para pengunjung yang sebagian besar adalah parabuyerdanseller.

Dengan beragam kegiatan promosi batik di Amerika, diharapkan batik Indonesia dapat semakin digemari oleh masyarakat Amerika dan dapat ikut menyemarakkan fashion di AS tersebut.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 17 November 2013