Sunday, April 14, 2013

[Tifa] Mitologi dalam Seni Meksiko

MEMASUKI dunia lukisan Meksiko seperti menelusuri lorong-lorong sebuah rahasia alam yang penuh misteri. Ada permainan simbol hingga mitologi sehingga membuat setiap karya lekat dengan filosofi setempat.

Penggunaan tradisi negara, sejarah, dan identitas sebagai bahasa seninya merupakan alasan untuk berbicara pada bentuk ekspresi lukisan asal Meksiko.

Hal itulah yang melatarbelakangi sebagian besar karya seniman Meksiko. Lewat pameran Visual Anthology of Mexico di Galeri Nasional, Jakarta, 9-30 April mendatang, sekitar 30 seniman menghadirkan karya-karya lukis mereka. Pameran itu sebagai peringatan 60 tahun hubungan bilateral Indonesia dan Meksiko.

Ada yang khas pada karya tersaji. Ada corak dan gaya berbeda karena karya di sini merupakan karya para seniman ternama Meksiko di abad ke-20.

“Kami ingin membawa Meksiko lebih dekat dengan teman-teman di Indonesia untuk berbagi ekspresi artistik,” ujar Duta Besar Meksiko untuk Indonesia HE Melba Pria di sela-sela pembukaan, awal pekan ini.

Memperhatikan karya-karya seniman Meksiko seperti membawa kita untuk membuka sebuah kotak pandora. Ada kritik sehingga butuh kejelian dalam menangkap setiap simbol yang ada.

Pameran tersebut menghadirkan karya-karya seniman legendaris. Sebut saja Rufino Tamayo (1899-1991), Diego Rivero (1886-1957), Benjamin Dominguez (1894-1974), dan Rodolfo Morales (1925-2001). Lalu, seniman masa kini seperti Nahum B Zenil, Damian Flores, Sabastian, Betsabee Romero, dan Cecilia Domenge.

Ada yang menarik dalam setiap karya. Tengok saja lukisan berjudul Melampaui Keheningan/Beyond the Silent (140x175,5 cm) karya Rodolfo Morales cukup khas. Dalam objek itu terdapat tiga perempuan sedang menengok ke sebuah sosok pria yang tertidur di atas rerumputan.

Dengan latar belakang sebuah istana dan bendera Meksiko, tampak seratusan wajah terpahat di dinding-dinding kota. Karya itu begitu lekat dengan unsur mitologi. Apalagi, tubuh para perempuan itu digambarkan sedang mengambang di udara.

Lukisan tersebut mengingatkan kita pada masa kejayaan seniman rupture yang berasal dari generasi sama, yang kerap didefinisikan sebagai ‘realisme magis’ yang muncul di Negara Bagian Oaxaca.

Itu seperti penggunaan kekayaan budaya negeri mereka sebagai alasan untuk melukiskan kisah-kisah mitologis dan lingkungan. Penggunaan bunga, aspek magis, dan bangunan begitu khas dalam karya Morales tersebut.

Begitu pula dengan karya Gustavo Adolvo Monroy yang berjudul Saya tidak Ada di Sini/I’m Not Here (130x130 cm) yang cukup khas dengan realis.

Seorang ibu terlihat sedang memangku anaknya di sebuah gedung tua. Unsur warna yang begitu hitam seakan Monroy mencoba menghadirkan sebuah subuh.

Muralis

Era 1930-an menjadi tahun penting karena merupakan masa kelahiran Escuela Mexicana de Pintura (Sekolah Lukisan Meksiko). Diego Rivera, David Alvaro Siqueiros, dan Jose Clemente Orozco merupakan bagian dari zaman itu.

Rufino Tamayo dan Antonio M Ruiz merupakan tokoh muralis yang muncul.

Terlepas dari gerakan muralis itu, pada 1970-an, ada kemunculan Neomexicanismo atau Nasionalisme Baru. Itu sebuah fenomena sosial-historis yang memperlihatkan sistem ideologi yang menopang era modern dengan skeptisisme.

Kini, seniman post-modern pun menggunakan simbol-simbol budaya pop dan kehidupan sehari-hari untuk menggantikan apa yang disebut 'kebudayaan tingkat tinggi'. Karya yang cukup khas pada era tersebut bisa dilihat pada karya Demian Flores yang berjudul Ilustrasi Negeri I/Illustrated Homeland I) (100x80 cm).

Secara keseluruhan, pameran itu merangkum lebih dari setengah abad seni rupa di Meksiko, menghadirkan karya-karya beberapa pelukis legendaris yang memainkan peran kunci membentuk jati diri seni Meksiko. (Iwa/M-1)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 14 April 2013

No comments: