Sunday, August 26, 2012

Berkemas Setelah Kembali

-- SW Teofani

MENJADI rahasia yang sangat rahasia kapan kita selesai mengarungi waktu. Seberapa banyak gugusan masa itu berpihak pada kita, seberapa lama lagi napas bersetia pada fisik. Tersebab keterbatasan itu, ada rest area yang disediakan Sang Mahatahu untuk kita berjeda mengistirahatkan jiwa. Mengaja yang kini dan yang nanti, yang lalu dan yang selalu. Di tempat peristirahatan sementara itulah kita diingatkan kembali dari mana dan hendak ke mana kita.

Setelah cukup waktu tafakur, kita akan melanjutkan kembali perjalanan, yang tak kita ketahui kapan berakhirnya dengan energi lebih mendidih, gegas lebih cergas, juga pilihan-pilihan hidup lebih cerdas.

Ramadanlah rest area jiwa kita. Di sana kita melapangkan lambung, memberi ruang pada hati untuk lebih banyak bertafakur, mengajak jiwa bertamasya pada jalan-jalan kebaikan yang telah dibentangkan Ramadan dan terlalaikan di bulan lain.

Selama sebulan penuh nafsu-nafsu kita dibelenggu agar tak semakin liar dalam menempuh perjalanan selanjutnya. Selama sebulan juga kita sebisa-bisa meluruskan niat-niat yang bengkok, menyisir kembali

kebaikan-kebaikan yang terlupa kita kerjakan di waktu lain, agar setelahnya kita terbiasa menjaga sebentuk energi yang mengalir dari mata air jiwa; kesucian.

Sebulan proses pembakaran angkara, membuat kita terlahir kembali menjadi jiwa yang suci, di antara gempita kemenangan Idulfitri. Meskipun semua tak menang sebenarnya, setiap jiwa ingin menang, dan rindu akan kemenangan, yang direfleksikan dengan keingingan kembali ke tanah kelahiran, pun ke jalan muasal jiwa mengada; jiwa sang bunda. Maka tak ada yang mampu mencegah semangat jiwa berjejalan di jalan-jalan untuk sampai ke kampung halaman. Tak ada yang mampu membendung arus mudik yang malampaui derasnya air terjun. Karena jiwa merekalah yang merindu kembali. Tak diperhitungkan segala ruah yang menyangkut fisik; tak hirau berapa uang yang dihabiskan untuk mencapai kampung halaman. Karena  di sana ada katarsis pada kerinduan kesucian jiwa yang direfleksikan pada jalan-jalan kembali. Tak dihitung lagi tingginya risiko perjalanan, yang kadang harus mengorbankan nyawa, karena pengorbanan pulang adalah pengorbanan hidup itu sendiri. Siapa yang mampu membendung rasa rindu pada wanita yang melahirkan kita, siapa yang mampu memampatkan keinginan mencecap ramah kampung halaman yang telah mengiringi jiwa pun raga bertumbuh. Dan siapa yang bisa mencegat keinginan kiwa bertemu dengan Jiwa. Karena tak ada yang lebih agung dari pertemuan jiwa dengan Sang Penggenggam Jiwa. Sebagaimana panggilan mesranya: Hai jiwa-jiwa yang tenang, kembalilah pada Tuhanmu dengan rida dan kegembiraan.

Tak hanya jiwa-jiwa yang melakukan tapa brata pada Ramadan, jiwa yang lalai pun turut merindu tempat muasalnya sebagai refleksi kerinduan pada fitrahnya pada kesucian jiwa yang lama tak terawat. Jiwa-jiwa itu sejenak tetap meluangkan waktu untuk mencecap kasih terhangat dari orang tua yang “ditinggalkan” karena jarak pun ditinggalkan karena kesibukan.

Pada Ramadan kita dibekali sabar, dengan menahan hawa nafsu, pada Ramadan kita dibekali ketakwaan dengan menjaga ibadah-ibadah, pada Ramadan juga kita dilatih untuk melakukan kesalehan sosial dengan banyak bersedekah dan diwajibkan membayar zakat pada ujung Ramadan. Perbekalan ini harus kita gunakan hingga mencapai Ramadan selanjutnya, agar jiwa kita tak telantar di tengah perjalanan karena kehabisan bekal. Sebagaimana firman-Nya: Berbekallah kami, dan sebaik-baik perbekalan adalah takwa.

Maka menjadi sangat disayangkan jika kita melewatkan Ramadan tanpa makna, dan menjadikan Idulfitri sebagai seremoni kegembiraan belaka.

Idulfitri adalah penanda kita akan segera meninggalkan rest area dan berkemas untuk melanjutkan perjalanan. Tapi kali ini dengan bekal yang telah kita dapat di tempat peristirahatan jiwa. Seberapa pun bekal kita, itulah yang akan kita pergunakan untuk menghadapi segala drama kehidupan di masa nanti.

Kita menginjak pada Syawal, sebagai bulan peningkatan amal, setelah kita mendapatkan bekal dari Ramadan. Di Syawal ini kita berkemas perlahan-lahan dengan pasti menyingkap lembar demi lembar hari. Di Syawal ini sayap-sayap mulai kita kepakkan untuk terbang tinggi menggapai apa yang telah kita rencanakan. Tapi Sang Mahaagung tidak membiarkan kita liar terlepas dari busur waktu tanpa kendali, di bulan peningkatan ini kita tetap dikawal dengan perisai yang puasa selama enam hari untuk menjaga semangat Ramadan kita. Selepas Syawal pun kita tidak dibiarkan melesat tanpa kendali, selaksa tuntunan langkah diberikannya agar kita tak sampai kehabisan bekal. Semoga kita mampu manjaga perbekalan kita, hingga rest area selanjutnya. Mari kemasi jiwa menuju Pemiliknya. Karena kita tak tahu kapan akhir perjalanan kita, tapi kita tahu Penggenggam jiwa itulah tujuan kita. Waallahualambissawab.

SW Teofani, Cerpenis

Sumber: Lampung Post, Minggu, 26 Agustus 2012

Novel Sufi Melayu dalam 'Lelaki Pembawa Kain Kafan'

-- Oly Rinson

Pada Mulanya adalah kata.

A. Novel Bagus Tanpa Indentitas Penerbit

KEBIASAAN saya membaca buku, pertama kali saya lihat adalah judulnya, siapa yang menerbitkan buku itu, siapa editornya dan cetakan keberapa buku itu?

Kalau dia buku terjemahan, siapa alih bahasanya? Hal-hal itu biasanya selalu mengusik saya.

Dalam buku Griven H Putera dengan judul Lelaki Pembawa Kain Kapan, saya tak mendapatkan itu. Buku ini tanpa indentitas penerbit sama sekali. Dia juga tanpa seorang editor (sehingga terjadi beberapa kali salah penulisan seperti di halaman 29, 98——beberapa contoh).

Ditulis dengan huruf Garamond, ukuran type: 13.5/16.2 dan sudah ada ISBN-nya. Namun yang paling mengganggu adalah tulisan dalam kotak.

Di situ tertulis: Megalomania Sebuah Novel/Griven H Putra. Saya kaget, Megalomania adalah novel Marhalim Zaini, yang begitu sulit saya cerna sampai hari ini. Kita tebak, novel ini mungkin diterbitkan di tempat yang sama dengan novel Marhalim Zaini.

B. Sebuah Novel yang Sangat Kuat Menyuarakan Ideologinya

Apa yang menjadikan sebuah novel menarik dan punya nilai yang berbeda dari novel lainnya. Salah satunya adalah kedalaman emosi, keunikan cara bercerita serta apa yang sedang di-representasikan- oleh novel itu sendiri.

Kalaulah pendapat di atas bisa diterima, maka novel ini punya ketiga unsur itu. Seorang pakar sastra Indonesia pernah mengatakan, sastra yang baik itu lahir dari budaya lokal.

Membaca halaman pertama novel ini kita segera disuguhkan suasana khas sebuah daerah di Indonesia, tepatnya di Riau. Dengan pembukaan yang membumi dan tanpa banyak cerita, Griven langsung menghentak dan masuk ke pokok masalah.

Bunyi tetawak mengaung lantang. Orang-orang kampung berhamburan. Sebagian mereka ada yang tak sadar hanya memakai seluar sempak. ‘’... Panik melanda kampung demikian gebalau.’’

Tanpa basa-basi, tanpa pembukaan yang bertele-tele kita langsung masuk ke isi novel. Ibarat sebuah dinamit, Griven langsung meledakkannya dan kita sadar bahwa kita dalam bahaya.

Dari kalimat di atas, saya tahu, ini novel bertema lokal Riau tanpa perlu ditambahi embel-embel apapun. Sebuah pembukaan yang berhasil.

Kalau kita lanjutkan, novel setebal 115 halaman ini hanya bercerita tentang hilangnya juru penerangan (Jupen) secara misterius dari kampung tempat di mana ia biasa memberi ceramah.

Diceritakan, Pak Jupen tiba-tiba hilang, seluruh isi kampung, sibuk mencari kalau-kalau Pak Kahar (nama juru penerangan), hanyut di sungai. Bahkan beberapa orang dukun sakti malah mencarinya sampai ke daerah dimensi lain yaitu dunia orang bunian.

Padahal sesungguhnya, kepergian Pak Kahar hanyalah karena coba menghindar dari orang-orang sirik yang coba mencelakakannya karena dengki.

Belakangan, Pak Jupen yang disangka sudah mati, tiba-tiba muncul, hanya untuk pamit dan mengambil barang yang tertinggal, kemudian menghilang lagi. Misteri munculnya Pak Jupen kembali itu, hanya diketahui Pak Guru, orang baik hati tempat Pak Jupen menumpang, kalau sedang berkunjung ke kampung. Selebihnya masyarakat hanya tahu, Pak Jupen hilang, dan misteri itu tetap tertutup sampai akhir cerita.

Seperti cerita hitam putih pada umumya, kebaikan akan selalu menang atas kejahatan. Namun di sinilah letak keberhasilan novel ini. Griven mampu mengangkat tema sederhana jadi sesuatu yang besar.

Bukan dengan bahasa bom bastis, alur yang dibuat rumit sedemikian rupa, atau judul sub tema yang digadang-gadangkan untuk membuat kamuflase terhadap pembaca, tapi justru dengan dialog yang lancar, bahasa yang jernih, dan pesan-pesan ke sufian yang sangat tepat sasaran.

‘’... Darinya semua berasal, kepadanya semua berlabuh. Tiada  Ilah selain Dia. Dia yang sebenar hak, Dia yang abadi. Hak mati, tiada mati. Di luar di dalam tiada mati. Pandai berkata tiada mati. Kata Allah Hak...! Laa ilaaha illallaah! Muhammad Rasuulullaah.’’ (Hal 106)

Atau.

‘’... Siapa pencipta yang hak. Sejauh mana peran-Nya dalam samudra batin diri dan semesta raya. ‘’... Kekuasaan mahluk yang nisbi penuh keniscayaan. Niscaya hancur, niscaya binasa, niscaya lebur. Kekuatan Dia mutlak.

Tak berganjak mati, tak beralih kayu. Yang lain tak ada dulu, tak ada kini, tak ada masa depan. Dia yang dulu, Dia yang kemudian, Dia yang awal dan Dia pula yang akhir. Ia yang menghidupkan, Ia pula yang mematikan...

Saya merinding membaca kalimat-kalimat ini. Kalau ada novel yang mampu memberi saya pencerahan batin, pertama kali saya menemukannya di novel ini.

Saya percaya novel ini akan menjadi alat dakwa yang luar biasa. Membuat orang sadar akan arti sebuah kecintaan dan rasa takluk pada Yang Kuasa. Angkat topi untuk Griven.

Setelah berhasil mengalahkan musuh-musuhnya satu demi satu, Pak Jupen (Kahar) justru menghadapi perang yang lebih besar. Bukan perang dengan manusia atau jin atau roh kegelapan, tapi ini adalah perang dengan waktu, perang dengan diri sendiri.

Di sini pertanyaan besar itu muncul: Setelah semua keberhasilan telah dicapai, segala hajat terpenuhi, apa sesunggunya yang kita cari dalam di dunia ini? (Hal 108)

Kalau kita sadar, seperti tokoh novel ini (Pak Kahar) bahwa... Kematian itu memang begitu dekat, sama dekatnya dengan hidup (Hal 104). Mungkin kita semua juga akan bersiap ke sana, ketika dunia ini tidak lagi dapat memberikan apa-apa, ketika kita sadar tidak ada yang abadi di dunia ini, ketika kejenuhan seperti puncak gunung dari semua pencapaian kita di dunia, mungkin kita pun akan berkata: ‘’... Waktu, engkau begitu dekat’’ (Hal 114) dan kita pun semua akan merindukan pergi ke sebarang. Melihat rantau kebun (kuburan) seperti taman bunga. Taman terindah yang pernah kita lihat seumur hidup kita (Hal 115).

C. Novel yang Unik Cara Bertuturnya

Seorang guru yang saya lupa namanya berkata: Kalau kau mau ceritamu hidup, tulislah cerita yang begitu kamu kenal. Bukan cerita orang lain, bukan ide orang lain. Tapi ceritamu sendiri, idemu sendiri, masalah yang betul-betul kamu pahami.

Griven berhasil dalam novel ini, karena saya yakin Griven menulis tentang dunia yang ia ketahui (baca: dunia Melayu) dan mengerti masalah serta persoalan yang sedang dihadapinya (saya yakin karakter Pak Jupen terilhami dari kehidupan Griven sendiri).

Hal ini pasti akan beda sekali bila bila Griven menulis dunia lain, masalah lain yang ia tak begitu paham, tak begitu suka.

Dalam hal itu, bahasa yang merupakan kendaraan untuk menyampaikan cerita terasa lancar; tak tersendat-sendat seperti mobil yang kehabisan tenaga ditanjakkan.

Ia menyatu di situ dan menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan sama sekali dari struktur cerita. Ini akan beda sekali bila Griven tak melokalitaskan dirinya dengan tema yang digarapnya.

Sebab dengan begitu, kata-kata lain (baca: kata-kata Melayu) akan terasa sebagai tempelan, atau pelengkap agar cerita itu tampak seperti cerita Melayu.

Namun yang menggembirakan dari semua itu, cara bertuturnya yang halus, tapi terasa begitu pas dan sedap di telinga.

‘’Ngapa abang cemas macam tu?’’

‘’Mengapa pula tak akan cemas. Sekarang sudah hampir pukul dua.’’

‘’Ke tepian Tak?’’

‘’Abang ni baru saja dari sana.’’

‘’Sudah abang tengok Betul-betul?’’

‘’Astaghfirullah. Ngkau ni nyinyir.’’

‘’Heik. Awak pula dicakap nyinyir.’’ (Hal 29)

Itu khas Griven. Hampir semua karyanya berdialog dengan santun seperti itu. Griven tak menggunakan bahasa sastra tingkat tinggi, istilah canggih yang membuat pembaca binggung, tapi dengan bahasa sederhana, sesungguh-sungguhnya, namun itu yang membuat novelnya berkarakter.

Membaca itu, kita seperti terbawa suasana khas kampung Melayu dengan cara bertutur yang lembut dan halus.

Coba kita lihat cara bertutur yang lain:

‘’Dugaan saya begitu.’’

‘’Jangan suka meratah kerang, kerang dipanik menelan cuka.’’

‘’Jangan suka memfitnah orang, orang benci Tuhan pun murka.’’

‘’Kalau bukan dia lalu siapa lagi?’’ (Hal 86)

Saya tak tahu Griven dapat pantun itu dari mana, kalimat itu pas di situ. Seperti topi yang berjumpa kepala yang sesuai. Dia tak seperti tempelan agar kelihatan seperti Melayu, tapi itulah dialog Melayu.

Coba yang lain lagi.

‘’... Pantang jantan tak melawan, pantang lelaki takut mati.’’

‘’Bahkan lebih dahsyat dari pada petir. Lelaki itu menyimpan petir.’’ (Hal 87)

Atau.

Ncik soma tersenyum. ‘’Kalau kaki belum bertaji, gelanggang orang jangan diuji.’’ ( Hal 88)

Sepanjang novelnya yang tipis ini, Griven tak membuang-buang amunisi dengan coba memanjang-manjangkan masalah atau bercerita dengan cara bertele-tele.

Tak ada kalimat yang terbuang percuma. Singkat, padat dan jelas. Griven mencapai satu hal: Pembaca mengerti, dan novel tak kehilangan keindahannya.

Apa lagi yang dicari? Novel-novel bagus kelas dunia pun tak perlu setebal bantal untuk mencapai maksudnya kan? Kalau bisa dibuat ringkas, mengapa dibuat panjang?

D. Alur yang Lancar dan Suspensi yang Tetap Terjaga Sampai Akhir

Dengan novel setipis itu dan alur yang tak rumit, Griven cukup cerdik dengan mengakali novelnya dengan bab yang pendek-pendek serta awal yang mengejutkan.

Pengarang yang kurang cerdas seringkali terjebak di bab awal untuk mengarahkan ke mana maksud cerita yang sesungguhnya. Bahkan seringkali kita sudah membaca hampir separuh buku, kita belum tahu apa maksud cerita itu. 

Di sini Griven tak memulai ceritanya dengan garis lurus, tapi dia mulai dari klimaks, dengan memberi pembaca suatu kejutan yang suspensinya tetap terjaga sampai akhir cerita.

Kita disuguhkan suatu kejadian, kehebohan seisi kampung, tapi kita tak tahu hebohnya seperti apa. Kita digiring untuk terus membaca-dan membaca sampai kita tahu, ini lho, penyebab kehebohan itu.

Ibarat mobil yang sedang melaju kencang di jalan lurus, Griven tak memberi kita kesempatan untuk ganti persneling. Ia tanpa belas kasihan terus menggiring kita untuk terus membaca novelnya yang dahsyat ini. Kadang-kadang, untuk mengganti bab satu ke bab lainnya, Griven hanya perlu satu halaman saja (seperti halaman 72, dan 74) tapi meski begitu kita tetap merasa  telah menyelam begitu lama di satu bab itu dan tiba-tiba kita sudah berpindah ke bab lain. Kita tak kehabisan napas, sehingga bisa tetap berlari sampai akhir cerita.

Seingat saya tak ada satu bab pun yang membosankan dari 20 bab yang ada. Hal ini tentu saja didorong dengan cara bercerita yang lancar dan memikat, bahasa yang jernih, karakter tokoh-tokoh yang kuat, terutama nampak dalam dialog-dialog, dan yang paling menonjol tentu saja bahasa ke-sufian yang terasa indah dan acap kali mendirikan bulu roma.


E. Plot Terbuka yang Lembut
Satu poin lagi yang perlu kita catat kiranya adalah Griven tak coba menggurui kita atau memaksakan karakter terhadap tokoh-tokohnya.

Ceritanya dibiarkan berkembang sendiri dan kita pembaca diizinkan untuk mengembangkan imajinasi dan penafsiran kita sendiri.

Begitulah seharusnya pengarang yang baik dan sastra yang baik. Ia selalu memberi jawaban berupa pertanyaan, sehingga memancing rasa ingin tahu pembaca secara terus menerus. Dengan itu pembaca diajak jadi cerdas, tak dikungkung dengan teori atau keinginan ‘’otoriter’’ pengarang.

Setelah kejutannya terungkap, suspensinya tersingkap dan rahasia sebab akibat dalam novel ini terbuka seluruhnya, kita disuguhkan suatu drama lain, drama yang kita sendiri yang akan menentukan.

Ke mana tokoh utama sesudah ini, apa yang dilakukannya, mengapa ia memilih jalan itu? Dan ada banyak pertanyaan menggelitik lainnya, yang masing-masing kita punya cara dan interprestasi sendiri dalam menerjemahkannya.

Griven tak perlu repot-repot mengarahkan novelnya dengan misi atau beban berat yang diusung sebuah karya sastra, ia membiarkan novelnya mengalir, bercerita sendiri, dan menyelesaikannya sendiri.

‘’... Di luar tampak buram. Renyaikah yang datang? Ataukah embun yang tiba terlalu dini? Pak kahar mengusap kedua matanya. Barulah ia sadar, Bukan gerimis yang turun diluar sana, tapi matanya yang telah digenangi airmata...’’

‘’.. Di antara sadar dan tidak, di sela-sela sungai kecil yang mengalir pelan di kedua matanya, Pak Kahar melihat rantau kebun seperti taman bunga. Taman terindah yang pernah ia lihat sepanjang hidupnya.’’ (hal 115)


F. Beberapa Catatan

Tentu saja harus kita akui, dengan lokalitas seperti itu Griven pun harus berhati-hati (terutama dalam menggunakan bahasa-bahasa Melayu asli) dalam menulis dan menjaga irama novelnya.

Sebab salah sedikit saja, cerita yang ia tulis bisa lari atau mengambang dari tujuan, sehingga warna lokal secara geografis bisa kabur atau bahkan hilang sama sekali. Dan perlu ditambahkan, dalam novel ini banyak sekali kata-kata asli Melayu yang terasa asing bagi pembaca yang tak mengerti. Sebaiknya penulis memberi catatan kaki, atau kamus sisipan, sehingga pembaca bisa terbantu untuk mengerti.

Akhir kata, kita patut bergembira dengan kehadiran novel ini. Kita percaya novel ini jadi penambah semangat di antara para sastrawan Riau yang sedang membangun kerangka Mazhab Riau.

Dengan novel ini kita diberi kesadaran bahwa dengan menjadi lokal, bukan berarti kita harus kehilangan estetika dan keindahan. Bahkan dalam beberapa hal, menjadi lokal, justru memunculkan suatu pencerahan, di tengah pencarian kita akan keindahan itu sendiri.

Oly Rinson, sastrawan Riau yang terbilang produktif menghasilkan karya seperti novel, cerpen maupun esai. Novel-novelnya telah dibukukan dan karya-karyanya dimuat di berbagai media massa, baik lokal maupun nasional. Bermastautin Pekanbaru.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 26 Agustus 2012

[Jejak] Tuan Hussein Kedah, Lebai yang Rajin Mengembara

TUAN Hussein selalu berpesan agar setiap pekerjaan dilakukan dengan bersungguh-sungguh, dengan usaha sendiri dan hasil pendapatan itu akan lebih berkat.

Selepas menamatkan pengajian di Fathani, Tuan Hussein mengembara ke Kelantan. Di sana beliau tinggal beberapa ketika meneruskan pengajiannya di sekolah pondok yang termasyur ketika itu.

Dalam tahun 1882 M/1300 H, Tuan Hussein menumpang tongkang dari Kelantan menuju Terengganu dan tinggal di sana lebih kurang satu tahun sebelum menumpang tongkang ke Singapura.

Pada 1886 Tuan Hussein ke Johor sebelum meneruskan pelajarannya ke Melaka. Dalam perjalanan ke Melaka ketika sampai di Muar tak ada sampan untuk menyeberangi Sungai Muar.

Ia  terpaksa berenang menyeberangi sungai. Berenang adalah perkara biasa baginya karena semasa tinggal di kampungnya Titi Gajah rumahnya berhampiran dengan sungai.

Di Melaka beliau bekerja kampung seperti menyemai anak padi, menyemat nipah untuk dibuat atap dan rokok daun. Karena keinginannya tak kesampaian dari Melaka beliau menumpang tongkang ke Medan dan terus ke Batubara.

Ia belajar di sana beberapa bulan dan kembali ke Melaka. Dari Melaka beliau berjalan kaki ke Selangor hingga sampai ke Perak.

Semasa di Perak Tuan Hussein tinggal di Sungai Rebana dan mengambil upah menyemat atap. Ia dikenal sebagai Lebai Hussein. Ia kemudian pindah ke Sungai Durian setelah dapat jemputan dari Tuan Haji Muhammad Hasan seorang ulama di Hilir Perak. Diambilnya Tuan Hussein sebagai anak angkatnya.

Di situ beliau ditugaskan mengajar kanak-kanak mengaji Quran. Ketokohannya sebagai ulama muda tersebar bila berlaku satu peristiwa perdebatan ilmiah di antaranya dengan Tuan Haji M Yunus seorang alim berasal dari Permatang Sintok, Seberang Perai.

Majelis perdebatan itu diadakan bagi menyelesaikan pertelingkahan Tuan Haji M Yunus dengan beberapa ulama lainnya termasuk Tuan Hussein yang berpunca dari perselisihan pendapat berhubung satu masalah tauhid.

Tuan Husein berjaya menunduk dan mematahkan hujah lawannya yang pada mulanya memperkecilkannya sebagai seorang muda. Dia memaksa pencabarnya kembali ke pangkal jalan dan mengakui kebenaran hujah-hujahnya.

Mulai dari saat itu Tuan Hussein mulai dikenali sebagai seorang alim yang punya pengetahuan yang luas serta sukar ditandingi. Sejak 1887-1935 M beliau berpindah 6 kali bermula dari Titi Gajah ke Alor Ganu pada 1887 M. Tiga tahun kemudian 1890 M beliau ke Bohol.

Di sana paling lama yaitu hampir 13 tahun sebelum pindah ke Bagan Ulu pada 1912 M. Setelah 7 tahun mengajar di Bagan Ulu beliau pindah ke Selingkoh, Sungai Limau, Yan.

Beliau pindah pula ke Batu 16, Padang Lumat pada 1924 H. Akhir sekali beliau berpindah ke Pokok Sena, Seberang Perai pada 1929 M. Di mana tinggal, Tuan Hussein mendirikan pusat pengajian yang jadi pusat tumpuan pelajar dari merata tempat sampai dari Indonesia dan Fathani.

Tak ada bilangan murid dan pondoknya tapi secara kasarnya di Bohol ada 600 orang, Bagan Ulu ada 400. Dan bilangan pondok di Selingkoh 50 buah, Padang Lumat 40 buah dan di Pokok Sena ada 100 buah pondok.

Tuan Hussein Kedah merupakan tokoh ulama Kedah yang menghasilkan paling banyak kitab. Kitab-kitabnya berkisar permasalahan ilmu tauhid, fikih dan tasawuf yang ditulis dalam bahasa jawi kecuali dua buah lagi dalam tulisan Arab.

Beliau mementingkan kekuatan ekonomi bangsanya. Dalam kitabnya disentuh agar bangsanya berniaga dalam lapangan pertanian dengan mengambil contoh Negara Siam dan India.

Padi adalah makanan asasi penduduk di sini dan disarankan penduduk agar diusahakan secara besar-besaran supaya penghasilan bukan setakat menampung keperluan keluarga tapi sumber ekonomi negara.

Sarananya bukan teori semata-mata tapi dipraktikkanya sendiri. Beliau berjaya memiliki beratus-ratus hektare tanah sawah, getah dan kelapa. Sebahagiannya diwakafkan untuk tapak masjid dan perkuburan.

Dalam buku 7 Wali tulisan saudara Abdul Ghani Said Tuan Hussein diiktiraf sebagai salah seorang Wali Melayu.

Lain-lain tokoh yang disebut pengarang 7 Wali itu adalah Habib Nuh, Tukku Paloh, Tuan Tulis, Syeikh Said Al-Linggi, Syeikh Muhammad Nor Al-Kholidi dan Tuk Kenali. Tuan Hussein berada di urutan terakhir selepas Tok Kenali.

Tuan Hussein jatuh sakit semasa berada di Pokok Sena, Seberang Perai. Tengku Abdullah juga sebagai murid yang selalu menziarahi beliau, menjemputnya supaya kembali ke Kedah.

Mulanya Tuan Hussein menolak tapi selepas dirayu anaknya Siti Maryam akhirnya beliau bersetuju. Tengku Abdullah membawa Tuan Hussein ke Batu 16, Padang Lumat pada 13 ZulKaedah 1354H/1935M dan selepas empat hari di situ Tuan Hussein meninggal dunia.

Tarikhnya adalah pada 17 ZulKaedah 1354H/1935M. Jenazahnya dikebumikan di tanah wakafnya sendiri di Titi Gajah setelah rayuan anak dan kaum keluarganya diperkenankan Tengku Mahmud (ayahanda Tengku Andullah) yang pada mulanya mau Tuan Hussein dikuburkan di Makam DiRaja Langgar.

Usianya ketika itu 74 tahun mengikut hijrah dan 72 tahun mengikut tahun masehi.(fed-dari berbagai sumber)

Sumber: Riau Pos, Minggu, 26 Agustus 2012
 

Rangkaian Kehidupan Puisi Arsyad Indradi (Bagian 2/Habis)

-- Tarman Effendi Tarsyad


JAUHKAN FATAMORGANA DI MATAKU

Mengapa aku selalu berpaling dari tatapan
Karena aku tak ingin lagi terperangkap
Sebab aku telah membaca semesta
Aku tak pernah lagi percaya pada nasib
Maka meski terus berjalan
Larat yang paling penghabisan
Adalah efitap rampungan segala jejak
Mengembalikan nafas

Dan tak lagi mengenang
musafir mengarung dunia ini
kecuali membungkus tulangbelulang
dengan asmamu.

Bbaru, 2007

Secara tersirat puisi di atas juga mengemukakan bahwa dalam prosesnya kehidupan ini akan menemui kematian. Salah satu harapan penyair saat akhir kehidupan, menjelang kematian, yaitu senantiasa mengingat Tuhan. Sebagaimana dikatakannya pada bait terakhir, ”Dan tak lagi mengenang/musafir mengarung dunia ini/kecuali membungkus tulangbelulang/ dengan asmamu”. Begitu pula dengan puisi ” Di Atas Sajadah ” (2006:77)
penyair juga menyadari bahwa kehidupan ini akan berakhir dengan kematian. Sementara kematian bisa terjadi dimana saja. Kubur juga bisa dimana saja. ” laut dan lembah dan rimba dan gunung/ adalah kubur bila ajal tiba”. Untuk itu penyair berharap,”ya tuhan beri aku kesempatan/meraut namamu dan menerbangkankannya/jauh ke dalam diriku/ dan ajalkanlah bila sampai di arasymu”.

DI ATAS SAJADAH

hidup tak lebih meraut layanglayang dan
menerbangkannya ke angkasa
angin dan hujan dan panas dan awan
adalah rajah nasib di tangan
laut dan lembah dan rimba dan gunung
adalah kubur bila ajal tiba
tapi ya tuhan beri aku kesempatan
meraut namamu dan menerbangkannya
jauh ke dalam diriku
dan ajalkanlah bila sampai di arasymu

banjarbaru, 1980

Pada puisi di atas penyair memberikan perumpamaan bahwa “hidup tak lebih meraut layanglayang dan /menerbangkannya ke angkasa”. Akan tetapi pada suatu saat laying-layang itu akan jatuh Pada suatu saat manusia akan menemui kematian. Begitu pula dengan puisi ”Antara Kapal Berlabuh” (2006a:2). Melalui puisi tersebut penyair memperumpamakan kehidupan manusia seperti kapal yang berlayar mengarungi lautan. Banyak rintangan. Akan tetapi menurut penyair manusia harus terus berlayar,”sebab laut adalah sebuah jalan painjang/yang mesti kita tempuh/dan kita tak perlu lagi berpaling”. Meskipun demikian penyair menyadari bahwa pelayaran, perjalanan kehidupan, pasti akan berakhir. Kehidupan manusia akan berujung pada kematian.

ANTARA KAPAL BERLABUH

jangan ada sangsi ketika puput penghabisan
pertanda senja akan membawa kita
ke ombak yang paling jauh
muara tak lagi perbatasan bertolaknya
sebuah kapal yang sarat dengan riwayat
yang kita aksarakan pada sebuah perjalanan
dan burungburung laut melepaskan
kepaknya ke karangkarang ketika
kelam menyempurnakan malam
adalah masasilam yang kita sauhkan
pada alir usia kita sebab
langit tak lagi dapat menyimpan
pandangan mata bila kita akan
menghitung nasib antara kapal
berlabuh dengan pelabuhan
di mana kita menambatkan keyakinan
maka layar telah kita kembangkan
sebab laut adalah sebuah jalan panjang
yang mesti kita tempuh
dan kita tak perlu lagi berpaling

Banjarmasin, 1972

Kesadaran penyair bahwa kehidupan manusia ini akan berakhir pada kematian, juga dikemukakannya melalui puisi “Pulang” (2009:9). Melalui puisi tersebut, penyair juga mengemukakan proses kehidupan yang terus berlangsung. Akan tetapi, sebagaimana puisi sebelumnya, penyair juga menyadari bahwa perjalanan hidup manusia akhirnya menuju suatu kematian.

PULANG

Memandang burungburung melintas sawang
Ingin kudengar kepaknya kemana akan tetirah
Senja yang semakin kelam
Kasidah sunyi semakin dalam

Aku terus juga berjalan menyisir suratan alamat
Dan tak pernah lagi menghintung perhentian
Dimana aku datang dan pergi
Kemudian datang
Dan sampai waktunya tak pernah kembali lagi
Masuk rumah keabadian sunyi

Serpong, 2007

Kesadaran penyair akan kematian, juga dikemukakannya melalui puisi ”Kubaringkan Tubuhmu” (2006c:7). Suatu saat manusia akan menemui kematian. Suatu saat tbuh manusia akan dibaringkan untuk selamanya.

KUBARINGKAN TUBUHMU

Kubaringkan tubuhmu di sini
Sampai batas pertemuan kita
Tak usah kau hitung lagi
Harihari perjanjian dendam
Dari negeri jauh
Sebab berulangkali
Kubiarkan wajahmu cuma
Bayangbayang tak kumengerti
Melintasi setiap kutub
Dimana kita ingin membaca
Isyarat lengsernya senja
Maka jika kau cari
Gumam doadoaku
Jangan kau tanya lagi
Persinggahan ini

Banjarbaru,2000

Kematian sesuatu yang pasti sifatnya. Oleh karena itu pada puisi ”Pada Suatu Stanza” (2006c:42) penyair berharap bahwa kematian jangan diratapi.


PADA SUATU STANZA

Jangan ratapi kematian
Kau tak akan pernah mengenal airmata
Apakah ada cinta yang abadi
Jika ada yang hilang pada dirimu
Dan ratapan segenap putusnya ikatan
Ia adalah dusta cintamu
Dusta di balik gulita dalam terang
Yang tak habis membaca rahasia kehidupan

Tapi kuratapi hanya kau kekasih
Yang ingat belasungkawa dalam diam
Dan tak pernah rintih dalam kerinduan
S’tiap kuusik tidurku dalam diri
Kau berkata : Jauhkan cinta pada ajalku
Ia adalah altokumulus kehidupan
Yang tak lepas meracuni setiap orang
Maka aku berpihak kepadamu

Aku berpihak kepadamu kekasih
Mataku selalu jaga kala tidur
Aku berkata : Ekstase jiwa
pengungkap segala dusta semesta
Di mana sukma pikiran
Lahir tanpa ibubapa
Aku dalam renung
Yang berpihak kepadamu

Banjarbaru,2004

Bila penyair menyadari bahwa kehidupan akan berakhir pada kematian. Bila penyair berharap bahwa kematian jangan diratapi. Timbul pertanyaan, kematian yang seperti apa yang dikehendaki oleh penyair ? Puisi “Doa Selembar Daun” (2006:42) berikut barangkali memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut.

DOA SELEMBAR DAUN

bila aku luruh
luruhlah dari tangkaiMu
luruh atas kasihsayangMu
bumi adalah sajadah
terhampar dari firmanMu
beri aku bumi
agar sujud abadi di rabbMu
sesungguhnyalah aku adalah daun
dari sebatang pohon
yang kutanam sewaktu masih segumpal darah
tapi perkenankanlah
inilah doaku yang paling terakhir
bila aku luruh
berilah aku luruh
luruh dari tangkai kasihsayangMu

banjarmasin, 1974

Selain puisi di atas, puisi “Risalah Perjalanan” (2006b:42) barangkali juga memberikan jawaban atas pertanyaan kematian yang seperti apa yang dikehendaki penyair ?

RISALAH PERJALANAN

aku musafir dalam lubukhatimu
karena dalam diammu
seperti halnya menghitung bintang di langit
agar aku dapat melihat hakikat dahagaku
wahai berilah aku anggur duka
agar lunas s’luruh letihku
jika aku masuk dalam persembunyianmu
duhai begitu nikmatnya ajal tiba

banjarmasin, 1977

Dengan demikian jelas bahwa melalui beberapa puisi Arsyad Indradi dapat diketahui rangkaian kehidupan yang barangkali memang erat kaitannya dengan diri penyair. Seperti memilih kota sebagai tempat tinggal, aktivitas dalam beribadah sekaligus mendekatkan diri kepada Tuhan, beberapa harapan kepada Tuhan yang dikemukakan terutama melalui doa, kesadaran bahwa kehidupan ini akan berakhir pada kematian, dan gambaran kematian yang diinginkan penyair.

Terlepas dari gambaran di atas, suatu hal yang perlu dicatat pada puisi Arsyad Indradi, terutama berkenaan dengan bahasa puisinya sebagaimana juga puisi Hahami Adaby seperti terlihat dalam kumpulan Bunga Angin (2002) yaitu adanya penulisan kata ulang tanpa tanda penghubung (-) dan kelompok kata yang ditulis serangkai. Sebagai contoh pada puisi Arsyad Indradi dapat dilihat pada kumpulan pertama dan terakhir. Dalam kumpulan pertama Nyanyian Seribu Burung, penulisan kata ulang yang ditulis tanpa tanda penghubung misalnya buihbuih, burungburung, rumahrumah,bayibayi, tangantangan, dosadosa, tibatiba, kembangkembang, mejameja, kursikursi, suratsurat, batubatu, retakretak, katakata, tubuhtubuh, dan orangorang. Penulisan kelompok kata yang serangkai misalnya masasilam, malambuta, anaksianak, satudemisatu, zamankezaman, yatimpiatu, dan hingarbingar.

Dalam kumpulan terakhir, Anggur Duka, penulisan kata ulang yang ditulis tanpa tanda hubung misalnya tibatiba, lelehleleh, kuhempashempas, batubatu, wajahwajah, alapalap, letihletih, burungburung, pedagangpedagang, orangorang, masingmasing, lembahlembah, bukitbukit, batangbatang, anakanak, rumahrumah, ayatayat, dan kunangkunang. Penulisan kelompok kata yang ditulis serangkai misalnya kesumabangsa, satupersatu, hatinurani, aksaranamu, hirukpikuk, lembardemilembar, mengasihsayangi, berhatinurani, porakporanda, gerimismalam, katahati, airmataduka, mataharimerah, bersuntingbunga, mataombak, dan untaidemiuntai. Sehubungan dengan penulisan kata ulang yang ditulis tanpa tanda hubung dan menggabungkan kata yang seharusnya terpisah, sebenarnya juga dilakukan oleh Dorothea Rosa Herliany. Bahkan Dorothea Rosa Herliany juga menulis misalnya satu larik yang terdiri dari beberapa kata, tetapi ditulis serangkai. Hal itu dapat dilihat misalnya dalam kumpulan puisi Dorothea Rosa Herliany pada judul Mimpi Gugur Daun Zaitun (1999), Kill TheRadio-Sebuah Radio,Kumatikan (2001), Para Pembunuh Waktu (2002), maupun dalam Nikah Ilalang (2003). n

Tarman Effendi Tarsyad, lahir di Banjarmasin, 29 Oktober 1961. Puisinya dimuat dalam beberapa antologi bersama, antara lain, Siklus 5 Penyair Muda (1983), Puisi Indonesia 87 (1987), Jendela Tanah Air (1995), Perkawinan Batu (2005), Seribu Sungai Paris Barantai (2006), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008), Kambang Rampai Puisi Anak Banua (Banjarmasin Dalam Puisi,2010), Kalimantan Dalam Puisi Indonesia (2011), dan Seloka Bisu Batu Benawa (2011), Kumpulan puisi tunggalnya, Segalanya Tetap Memberi Makna (Tahura Media Banjarmasin, 2012).


Sumber:  Media Kalimantan, Minggu 26 Agustus 2012.n

Saturday, August 25, 2012

Rangkaian Kehidupan Puisi Arsyad Indradi (Bagian 1 dari 2 Tulisan)

-- Tarman Effendi Tarsyad

ARSYAD Indradi lahir di Barabai, 31 Desember 1949. Arsyad Indradi termasuk penyair generasi 1970-an. Menulis puisi baik dlam bahasa Indonesia maupun bahasa Banjar. Kumpulan puisi tunggalnya dalam bahasa Indonesia yang sudah terbit, antara lain, Nyanyian Seribu Burung ( 2006a ), Romansa Setangkai Bunga ( 2006b ), Narasi Musafir Gila ( 2006c ), Anggur Duka (2009). Kumpulan puisi tunggalnya dalam bahasa Banjar dan terjemahan dalam bahasa Indonesia yang sudah terbit, antara lain Kalalatu ( 2006 ) dan Burinik (2009).

Puisi Arsyad Indradi juga dimuat dalam beberapa antologi bersama, antara lain, Jejak Berlari (1970 ), Panorana (1972), Tamu Malam (1992), Jendela Tanah Air (1995), Rumah Hutan Pinus (1996), Gerbang Pemukiman (1997 ), Bentang Bianglala (1998), Cakrawala (2000 ), Bahana (2001 ), Tiga Kutub Senja (2001 ), Bulan Ditelan Kutu (2004 ), Bumi Menggerutu (2004 ), Baturai Sanja (2004 ), Anak Jaman (2004 ), Dimensi (2005), Puisi Penyair Nusantara : 142 Penyair Menuju Bulan (2006), Seribu Sungai Paris Barantai (2006),Penyair Kontemporer Indonesia dalam Bhs China (2007),Kenduri Puisi Buah Hati Untuk Diah Hadaning (2008),Tarian Cahaya Di Bumi Sanggam (2008),Bertahan Di Bukit Akhir (2008),Pedas Lada Pasir Kuarsa (2009),Konser Kecemasan (2010), Akulah Musi (2011), Doa Pelangi di Tahun Emas (2010), Kambang Rampai Puisi Anak Banua (2010), Kalimantan dalam Puisi Indonesia (2011), dan Seloka Bisu Batu Benawa (2011).

Dari empat kumpulan puisi Arsyad Indradi yang ditulisnya dalam bahasa Indonesia sejak 1970 hingga 2010 Nyanyian Seribu Burung ( 2006a ), Romansa Setangkai Bunga (2006b), Narasi Musafir Gila (2006c ),Anggur Duka (2009), suatu hal menarik, melalui puisinya dapat diketahui rangkaian kehidupan yang barangkali memang dekat dengan kehidupan penyair,. Pertama, melalui puisinya dapat diketahui mengenai kota yang dipilih penyair sebagai tempat tinggalnya. Melalui puisi “Aku Suka Kota Ini (2006a:61) penyair mengatakan bahwa kota yang dipilihnya sebagai tempat tinggal yaitu kota Banjarbaru. Mengapa penyair memilih Banjarbaru sebagai tempat tinggal ? Menurut penyair “ tidak seperti kota lain/kota ini mungil/hutan karamunting di sanasini/waktu pagi aku berada di surga burungburung/kala malam sejuta kunangkunang bertebaran/banjarbaru sebuah kota lahir dari rahim gunung apam/di ranahnya kutanam bungbunga cinta”.

AKU SUKA KOTA INI

tidak seperti kota lain
kota ini mungil
hutan karamunting di sanasini
tak ada untung rugi
kubangun rumah di sini
dengan keringat sendiri
waktu pagi aku berada di surga burungburung
kala malam sejuta kunangkunang bertebaran
di wajahmu mengantarkan s’luruh mimpimimpiku
kusenandungkan lagulagu rindu buat sang kekasih
lewat derai dedaunan pinus
banjarbaru sebuah kota lahir dari rahim gunung apam
di ranahnya kutanam bungabunga cinta

banjarbaru, 1978

Melalui puisi “Banjarbaru Kotaku Sayang” (2006a.62) penyair juga mengemukakan beberapa pernyataan mengapa ia memilih Banjarbaru sebagai kota tempat tinggalnya. Penyair mengatakan “jika kau beri aku seribu kota”,katanya “kupilih banjarbaru”. Bahkan penyair mengatakan “jika kau beri aku surga”,katanya “kupilih banjarbaru”. Kemudian penyair mengemukakan alasannya mengapa ia memilih Banjarbaru sebagai kota tempat tinggalnya. Menurut penyair “banjarbaru kota idaman” dan penyair mengatakan “kupersembahkan bungabunga cinta/buat kotaku sayang”.

BANJARBARU KOTAKU SAYANG

jika kau beri aku seribu kota
kupilih banjarbaru

jika kau beri aku surga
kupilih banjarbaru

banjarbaru kota idaman
kupersembahkan bungabunga cinta
buat kotaku sayang

banjarbaru,1978


Khusus mengenai pernyataan seorang penyair mengenai sebuah kota, jauh sebelum puisi di atas ditulis. sebenarnya pernah juga dikemukakan oleh penyair Kalimantan Selatan lainnya. Misalnya D.Zauhidhi melalui puisi “ Kandangan Kotaku Manis” (2004:i).


KANDANGAN KOTAKU MANIS

Roma atau Paris
Indah Kandangan kotaku manis

Di Kandangan aku dilahirkan
Dibelai timang sang matahari
Dipeluk cium sang rembulan

Di Kandangan aku kenal diri dan cinta
Susah senang seluruh duka

Roma atau Paris
Indah Kandangan kotaku manis

1960

Kembali kepada puisi Arsyad Indradi, sehubungan dengan kota yang dipilihnya sebagai tempat tingggalnya, pada puisi “Taman di Tengah Kota” (2006a:112) penyair menghendaki bahwa pada kota tempat tinggalnya tersebut (Banjarbaru) ada sebuah taman. Melalui taman tersebut, antara lain anak-anak dapat bermain dan bersuka ria. Taman tersebut juga diharapkan sebagai tempat bagi anak-anak untuk mengasah kreativitasnya dan mengembangkan bakat serta minatnya, misalnya melalui melukis.

TAMAN DI TENGAH KOTA

Ada taman di tengah kota
Sejuta impian siapa
Yang tumbuh di sana
Kota tak pernah diam
Dari pesona

Kota melahirkan
Bocahbocahnya dahaga
Taman adalah ranah
Sejuta bunga

Pesta hari anak se dunia
Bocahbocah melukis
Kota idamannya
Di dinding menara
Ada bocah melukis menara
Yang kehilangan madu lebah
Dari bungabunga
Yang susahpayah ditanamnya

Ada taman di tengah kota
Ada sejumlah impian
Yang tumbuh di sana

Banjarbaru,1997

Selain mengemukakan mengenai kota tempat tinggalnya, melalui puisinya Arsyad Indradi juga mengemukakan mengenai rumah yang dihuninya. Hal tersebut dapat dibaca melalui puisi “Rumah Kecilku” (2006a:17) berikut :

RUMAH KECILKU

rumah kecil pohon bergoyang berlagu duka
pintu dan jendela menghadap matahari terbit
lampu berkedip pada dunia berpaut sempit
bulan kecil tiga beranak di dalamnya

angin menyerahkan diri di gorden jendela
segala berderak bila dibuka
bapa terkapar di kaki malambuta
peluh mengucur sepanjang senyum kota

rumah kecil, rumah kecilku
bila kita cerita tentang esok pagi
betapa kejangnya urat nadi
serta kecilnya langit biru di lorong buntu

segala melaju, segala berlagu
pelabuhan siul pelaut
bapa, ibu kita berpacu
biar kita dirajuk mimpi enggan berpaut

banjarmasin, 1970

Membaca puisi di atas, mengenai rumah kecil yang dihuni oleh beberapa jiwa, barangkali mengingatkan pembaca pada puisi Chairil Anwar (1996:50). Meskipun melalui puisinya tersebut Chairil Anwar mengemukakan mengenai sebuah kamar yang sempit yang dihuni oleh beberapa jiwa.

SEBUAH KAMAR

Sebuah jendela menyerahkan kamar ini
pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam
mau lebih banyak tahu
“Sudah lima anak bernyawa di sini,
Aku salah satu!”

Ibuku tertidur dalam tersedu
Keramaian penjara sepi selalu
Bapakku sendiri terbaring jemu
Matanya menatap orang tersalib di batu!

Sekeliling dunia bunuh diri!
Aku minta adik lagi pada
Ibu dan Bapakku, karena mereka berada
di luar hitungan :Kamar begini
3 x 4 m, terlalu sempit buat meniup nyawa!

1946

Terlepas dari “Rumah Kecil”. di kota idamannya dan di rumah yang dihuninya, selain melalukan aktivitas, Arsyad Indradi juga melaksanakan ibadah sekaligus mendekatkan kepada Tuhan terutama pada malam hari. Salah satu puisinya yang mengemukakan mengenai pendekatan dirinya kepada Tuhan, dapat diketahui melalui puisi “Malam Hening” (2006a:71). Bahkan melalui puisi tersebut, dalam beribadah sekaligus mendekatkan diri kepada Tuhan, penyair mengatakan “setiap untai zikir/sukma sejatiku/tak letih menunggu-Mu”.

MALAM HENING

lilin merah berkalikali dipadamkan angin
entah apa setiap kunyalakan
aku ingin dekat denganMu

dedaunan pinus berdesir
kusembunyikan degup jantungku
dalam hamparan sajadahMu

setiap untai zikir
sukma sejatiku
tak letih menungguMu

banjarbaru,1979

Melalui puisi di atas dapat diketahui bahwa waktu yang dipilih penyair dalam beribadat sekaligus mendekatkan diri. Mengapa penyair memilih waktu malam hari ?
Melalui puisi “Pintu Doa” (2009:35) penyair memberikan alasannya. Kata penyair”Mengapa aku memilih malam menemuimu/Agar aku leluasa mencurahkan isihatiku”. Penyair juga mengatakan “ Di tengah malam yang sunyi yang maha gulita/ Tapi maha bercahya di mataku/ Kurebahkan rinduku di pangkuanmu/ menumpahkan airmataduka/Yang terperangkap dalam dusta dunia”.

PINTU DOA

Mengapa aku memilih malam menemuimu
Agar aku leluasa mencurahkan isihatiku
Begitu ramah membuka pintu setiap aku mengetuk

Di tengah malam yang sunyi yang maha gulita
Tapi maha bercahya di mataku
Kurebahkan rinduku di pangkuanmu
Menumpahkan airmataduka
Yang terperangkap dalam dustadunia

Berkalikali aku datang padamu
Agar aku kaulahirkan kembali
Merindukan tangisan bayi
Yang tak pernah dusta menyerumu

Bbaru, 2008

Melalui puisi di atas, Arsyad Indradi juga mengemukakan mengenai harapannya kepada Tuhan. Sebagaimana ditulisnya pada bait terakhir, ”Berkalikali aku datang padamu/ Agar aku kaulahirkan kembali/ Merindukan tangisan bayi/ Yang tak pernah dusta menyerumu”. Secara tersirat penyair berharap agar ia kembali suci seperti ”bayi yang baru dilahirkan”. Sementara melalui puisi ”

AKU LARON YANG MENCARIMU
DALAM CAHAYA ITU
JANGAN KAU PADAMKAN LAMPU

gerimis semakin menebarkan sepi
semakin jauh ke perut bumi dan
impian yang digantungkan pada diri
bergetar dalam lindap bayangbayang
di sudutsudut ruang yang gelisah
dan memaya ujudnya tapi terasa
menyentaknyentak tak henti
membiarkan rinduku menggelepar
pada sayapsayap luka dalam perjalanan
yang teramat panjang dan betapa letih
dan beribu bisik yang teramat asing
lalu seketika terbaring dengan
kerongkongan kering
dan sampaikah menggapai kendi itu :
aku laron yang mencariMu
dalam cahaya itu
jangan Kau padamkan lampu

banjarbaru, 1999

Mengenai harapan penyair melalui doanya kepada Tuhan, juga dikemukakan penyair melalui puisi “Tuhan Jangan Kau Sembunyikan Doaku” (2009:8). Lewat puisi tersebut penyair mengatakan “Duhai jagat, aku tak pernah mau terajal sedikitpun/Pada sekalian dusta semesta/ Sebab aku pada diri sendiri/ Selamat tinggal pada Fatamorgana”. Kemudian, puisi tersebut ditutup penyair dengan suatu harapan, sebagaimana judul puisi tersebut, “Tuhan jangan kau sembunyikan doaku”.

TUHAN JANGAN KAU SEMBUNYIKAN DOAKU

Darahku seperti alapalap bersayapangin
Begitu isak kecil membuka pintu yang lama terkunci
Jemputlah anganmu yang terbengkalai
Aku tumpah dari perjalananmu yang panjang

Tumpah dari lukalukarindumu
Setiap jalan bersimpang kau bergumul dengan bimbang
Di batubatu kehidupan kau tulis riwayat impian
Sebelum matahari keburu terbenam

Duhai jagat,aku tak pernah mau terajal sedikitpun
Pada sekalian dusta semesta
Sebab aku lahir pada diriku sendiri
Selamat tinggal pada fatamorgana

Kubaca isak dis’luruh tapaktapakkakiku
Dan tak letihletih menulis aksaranamamu
Tuhan jangan kau sembunyikan doaku

Serpong - Tangerang, 2007

Pada puisi di atas, penyair mengatakan “Selamat tinggal pada fatamorgana”. Membaca larik tersebut, timbul pertanyaan mengapa penyair menyatakan demikian ? Secara harfiah fatamorgana berarti “(1) gejala optis yang tampak pada permukaan yang panas, yang kelihatan seperti genangan air. (2) hal yang bersifat khayal dan tidak mungkin dicapai”. (KBBI 1990:240). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa fatamorgana yang dimaksud pada puisi Arsyad Indradi berarti hanya suatu impian yang lebih bersifat negatif. Oleh karena itu bagi penyair perlu ditinggalkan. Hal itu juga dikemukakan penyair pada puisi “Jauhkan Fatamorgana di Mataku” (2009:13). Melalui puisi tersebut penyair mengatakan “Mengapa aku selalu berpaling darI tatapan/ Karena aku tak ingin lagi terperangkap”. n

Sumber:  Media Kalimantan, Sabtu, 25 Agustus 2012

Saturday, August 18, 2012

Memahami Bahasa Visual Iklan di Media Massa

-- Daisy Priyanti

BEBERAPA waktu lalu, dalam sebuah diskusi tentang televisi, seorang peserta melontarkan pertanyaan yang agak menggelitik. Kegelisahan yang dilontarkan adalah, kenapa belakangan ini, iklan di media massa khususnya televisi mempunyai tren yang sama. Tren dalam mengemas bahasa visual yang sama. Semuanya nampak seragam.

    Ujung-ujungnya menyepakati, bahwa iklan televisi yang acapkali muncul belakangan ini, agaknya mengambil teknis tutur gambar yang sama. Pengambilan angle camera, hampir seragam. Memakai idiom-idiom dan teknis penciptaan yang kerap kali muncul dalam film dan iklan-iklan yang pernah dibuat oleh sineas Garin Nugroho. Begitu besar, pengaruh Garin Nugroho dalam industri televisi nasional dari karya-karyanya?

    Bisa demikian kuatkah? Yang pasti dalam industri film, Garin Nugroho memang telah diakui berkat sejumlah penghargaan yang diraihnya. Begitu juga dalam bahasa visual iklan perfilmannya, Garin Nugroho mempunyai koleksi karya-karya iklan televisi dengan bahasa gambarnya yang menarik. Bahasa tuturnya yang sangat berbeda tersebut nampak dari iklan film "Soegija", penghematan pemakaian tenaga listrik, iklan mobil, dan iklan layanan masyarakat yang lain.

    Dalam perkembangannya, iklan yang diproduksi Garin diadopsi secara ide (bentuk pengambilan gambarnya), oleh iklan lain. Misalkan, iklan rokok, iklan kopi, iklan lembaga perbankan dan masih banyak lagi. Semuanya, mengambil ide dan gaya pengambilan bahasa gambar yang pernah dan sering dilakukan oleh Garin Nugroho.

    Sehingga, yang pada akhirnya muncul adalah, gaya iklan dengan gambar-gambar yang sangat seragam. Keseragaman yang terus bertambah, terus menerus. Bahkan, pada akhirnya begitu terasa sulit untuk bisa menemukan mana yang karya Garin Nugroho asli, dan yang palsu. Ketakutannya adalah, beberapa waktu mendatang, akan terjadi booming bahasa gambar Garin di televisi.

    Bisa dikatakan, sutradara Garin Nugroho, memang menjadi fenomena. Salah satu tonggak, sutradara unggulan di Asia. Dari karya-karyanya, senantiasa memunculkan keinginan-keinginan yang tak terbendung guna mengadopsinya. Ada kekhasan, spefisikasi penuturan bahasa gambar, yang sebelumnya tidak pernah dikenal. Identifiaksi realitas keseharian yang dimaksudkan di sini adalah, mengangkat nilai-nilai budaya paling kongkret dan riil dari nilai yang ada. Dalam film-film iklannya bias terbaca bahwa nilai kultural yang mengedepan tak lebih dari upaya untuk bias melihat beragam perubahan yang terjadi dalam masyarakat, yang lantas, dikonfrontasikan dengan realitas budaya pop, pendidikan politik dan terciptanya ketimpangan komunikasi.

    Pendapat itu mungkin berlebihan. Namun, paling tidak ada perlunya dikedepankan pula, bentuk-bentuk pemikiran yang lebih kritis yang justru melekat dalam industri televisi itu sendiri.

    Anatomi industri televisi, memang bisa dibaca dan diterjemahkan dalam beberapa bentuk kecenderungannya yang actual. Pertama, industri televisi akan senantiasa berjalan terus dalam upaya pembaruan. Upaya untuk memperbaiki diri secara bentuk, adalah jalan yang seringkali ditempuh oleh televisi.

    Kondisi yang terus menerus berubah tersebut, telah menjadi keharusan yang tak bisa dikesampingkan. Pemirsa memang terus menerus membutuhkan, atau malah menuntut adanya gaya tutur baru yang lebih segar. Terlalu banyaknya bahasa tutur program televisi yang seragam, jelas menciptakan sebuah kejenuhan. Kejenuhan yang akan menciptakan antiklimaks proses komunikasi pesan televisi. Lebih parahnya, antiklimaks tersebut akan menjadi dasar dari serangkaian tudingan yang selama ini diarahkan ke televisi. Upaya untuk bias menemukan bentuk pembaruan, memang sebuah strategi menghindari keseragaman. Homogenitas televisi, akan muncul dengan cepat, dan butuh strategi pengupayaan heterogenitas ide. Ada nilai ekonomi yang tinggi. Kedua, industri televisi pada akhirnya dimaknai sebagai bangun sistem yang terus menerus, menghitung dirinya dengan kalkulasi-kalkulasi ekonomis. Sehingga, hitungan setiap program adalah hitungan ekonomis.

    Ketika ada sebuah kecenderungan yang mewabah dalam hal produksi program, maka dengan cepat menjadi bahan pertimbangan dalam setiap penayangan. Produksi program yang dimaksudkan di sini, meliputi gaya penciptaan, pengambilan gambar dalam perspektif dan sudut-sudutnya, serta sistem produksi yang dipakainya. Banyak dari pemilik modal, baik itu pengusaha, yayasan, ataupun departemen-departemen pemerintah yang seringkali menuntut pada banyak sutradara untuk bisa membuat karya seperti yang dikedepankan secara gambar oleh Garin Nugroho.

    Dan standarisasi program televisi dengan nilai estetika Garin Nugroho -pun menjadi sebuah patokan. Menjadi satu symbol yang terus menerus mengilhami beragam bentuk program televisi. Terutama menyangkut esensi pesan, bentuk, perspektif gambar dan yang lain. Semuanya ingin disamakan tingkat pencapaiannya.

    Ideologi televisi senantiasa bertumbuh pada perspektifnya yang saling terkait, dalam system nilai yang mempengaruhi. Sehingga, ketika pada saat ini banyak dijumpai beragam bentuk karya ala Garin Nugroho secara gambar, maka, bisa diungkap bahwa relasi kreativitas tersebut sebagai proses kreatif yang wajar.

    Dalam tradisi berkesenian, sebenarnya tak pernah terdapat satu ide kreatif yang orisinal. Orisinalitas ide mencipta karya visual televisi, juga demikian.

    Pada kenyataannya tak ada yang baru. Mungkin bahasa gambar Garin Nugroho pada saat ini boleh dikatakan sebagai sesuatu yang baru. Tetapi, jika ditarik ke belakang, tetaplah juga merupakan ide hasil adaptasi karya yang pernah ada. Tak ada kebaruan yang orisinal.

    Ketika banyak bahasa gambar Garin Nugroho yang lantas dijiplak, itu akan menjadi hal yang wajar. Dalam arti, untuk didalam peta karya telvisi, Garin-lah yang memang pertama mengenalkannya. Namun, jika lantas disebut sebagai karya yang sangat orisinal dari bahasa gambarnya, memang patut untuk dikaji ulang.

    Pada akhirnya, industri televisipun akan terus bergerak dan memperbarui dirinya dengan idiom dan perspektif yang baru.

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 18 Agustus 2012

Sunday, August 12, 2012

Membebaskan Puisi

-- Misbahus Surur


“... dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan/ sebelum pada akhirnya kita menyerah” -- Chairil Anwar

Terkadang desakan ide-ide yang menyeruak ke dalam pikiran, sulit diungkap dalam bahasa; sukar sekadar dituang ke dalam kata-kata yang memang dianggap sebagai –salah satunya- piranti untuk menampung ungkapan pikiran dan perasaan manusia. Dan sepertinya, memang akan selalu ada hal-hal yang ingin sekali dituliskan, namun dengan sebab teknis maupun ontologis, kita tak begitu saja gampang mengungkapkannya. Searus dengan hal di atas, adalah kata-kata Robert Frost: “Separuh dari dunia terdiri dari orang-orang yang memiliki sesuatu untuk dikatakan, tetapi tidak bisa mengatakannya...” Sungguh terpampang dilema (ber)bahasa dalam ungkapan tersebut, antara niat berbahasa yang tak lagi ”ramah” bagi kehendak merumahkan makna dan suara-suara. Sedang pada lain sisi, juga betapa masih kentalnya desakan (kalau tak boleh dibilang beban) pencarian pola ungkap melalui strategi jitu yang menggoda. Kasus pertama adalah ikhtiar mengatasi bahasa yang hendak menaklukkan makna, sementara yang kedua, lebih ke upaya merambah ”jalan lain” dalam berbahasa.

Pada mulanya manusia mengetahui lebih banyak dari yang bisa ia ucapkan. We know more than we can say, ungkap Michael Polanyi (The Study of Man, 1959). Bagi Polanyi, dari kenyataan yang hampir tak terbatas ini, sebagian kecil merupakan kenyataan yang diketahui (the known reality) oleh manusia, yang dapat melahirkan pengetahuan (knowledge). Meski porsi terbesar tetap merupakan pengetahuan yang belum terbahasakan (pre-articulated knowledge). Atau, hanya sebagian kecil saja yang telah menjadi pengetahuan terbahasakan (articulated knowledge). Persoalannya, melalui seperangkat bahasa yang baku dan formal pun, kita kerap terg(er)agap dan tak bisa mengungkap-tuliskan apa yang telah tergambar atau terabstraksi dalam otak kita. Belum lagi ketika realitas berhasil ditandai (terartikulasi), teknologi bahasa pada gilirannya melulu siap mereduksi.

Saat gagasan tak tersampaikan dalam praktis bahasa, senyatanya gagasan (juga pengalaman) akan tetap tinggal menjadi pengetahuan pribadi (personal knowledge) tiap-tiap manusia yang bisa jadi tak terjamah. Di aras inilah sastra, terutama melalui puisi, didorong kembali menunjukkan kemampuan asalinya. Setidaknya, melalui suatu cara yang menyerpih dan kadang melawan formalitas bahasa, ia berada dalam posisi dan karakteristik ini: puisi dengan cara ungkap arkaik dan tak biasa, disinyalir sanggup “membahasakan” apa yang kerap tak terbahasakan. Selain juga dapat membikin model korespondensinya sendiri yang khas. Suatu korespondensi yang bisa saja dibentuk misal, dari cara yang sederhana hingga yang mewah. Dari yang romantik hingga simbolik. Dari model tutur lirik hingga epik. Bahkan dari bahasa sadar hingga tak sadar.

Ketika standar bahasa normatif sering hanya mengungkap hal yang inderawi; apa yang hanya mampu ditangkap indera. Tradisi puitik jamak tak hanya piawai mengungkai yang inderawi, namun juga berusaha menangkap-bahasakan apa yang kognisi dan intuisi. Pengetahuan manusia, yang umumnya berangkat dari hasrat pengalaman pribadi, di dalam puisi disuling sekaligus ditranformasikan melalui cara yang unik. Dan pada tahap-tahap tertentu seolah menjauhi konsensus. Bahkan ia identik dengan pola ungkap parole, untuk meminjam konsep kebahasaan Ferdinand de Saussure. Bahasa parole ini sering ada dan dipunyai puisi. Wajar saja misalnya, bila kita temui pengalaman bathin terartikulasi dalam tanda verbal, via puisi, sulit kita raba dan cerna. Tapi ia bukan semata nomenklatur.

Yang Diam, yang Puisi

Ketika realitas terlalu rentan dan pelik diekspresikan dalam bahasa harafiah, upaya penggambaran secara metaforis adalah sejumput jalan lain. Ludwig Wittgenstein pernah menyinggung ihwal ini. “What we can be said at all can be said clearly, and what we cannot speak about we must pass over in silence” (Apa yang memang dapat dikatakan katakan dengan jelas, dan apa yang tidak dapat dikatakan, sebaiknya diam). Ya, bisa jadi melalui ranah puisilah, sedikitnya, frasa ”we must pass over in silence” itu mau menyibak tabirnya. Ungkapan Wittgenstein di atas, seolah menunjuk dan mengafirmasi apa yang memang ”metarealitas” dalam bahasa. Maka, luapan pengalaman religius, perasaan jatuh cinta, komunikasi dalam do’a, -kalau boleh saya menduga beberapa di antaranya-, adalah prototipe-prototipe artikulasi ini. Ya, varian bahasa yang kerap tergulir hanya melalui ungkapan-ungkapan subjektif yang ekstrem dan akut, semisal pada puisi.

Betapa sering pula kita membaca gagasan lewat analogi-analogi. Ini adalah cara artikulasi bagi ihwal, katakanlah realitas, yang tak bisa atau pelik jika harus ditangkap dalam kata-kata normatif. Dan analogi menjadi satu upaya yang niscaya bagi penciptaan bahasa metafora, entah dalam bentuk aforisma, adagium, penggalan kata atau ungkapan puitik lainnya. Nietzsche misalnya, tokoh yang berpengaruh besar pada Heidegger ini memilih menuang gagasan melalui aforisma, dengan alasan tak percaya lagi pada bentuk-bentuk tulisan sistematis. Hal yang juga dilakukan Iqbal. Ia melihat keterbatasan bentuk tulisan sistematis untuk mengikat gagasan. Hanya saja Iqbal tak menolak tulisan sistematis, seperti kadang sebagian tampak dalam filsafat. Tetapi melengkapi tulisan-tulisan itu dengan puisi (St. Sunardi, Nietzsche, hlm 239). Dan jauh sebelumnya, Plato juga menyimpan gagasannya dalam ungkapan metafora. Ide-ide Plato yang banyak tertuang dalam dialog-dialog, padat dengan perumpamaan dan metafora. Sesuatu yang juga banyak tersurat pada frasa-frasa pujangga besar, Kahlil Gibran.

Kita tahu, betapa sulit mengungkapkan hal ideal atau perasaan ganjil lewat bahasa sehari-hari. Di antara para filsuf, bahkan ada yang menganggap bahasa sehari-hari kurang memadai, misalnya saja untuk berfilsafat. Bertrand Russell menduga bahwa bahasa sehari-hari tak dapat digunakan untuk berfilsafat karena sekian kelemahan; kabur, makna taksa, kata-kata kerap bergantung pada konteks dan beberapa kelemahan yang lain. Problem filsafat kerap muncul didasari atas terbatasnya bahasa sehari-hari serta menyimpangnya penggunaan bahasa. Russell kemudian banyak membangun pikiran filsafatnya dengan sintesa dan analisa. Baginya, struktur gramatikal saja belum tentu menentukan struktur logis ungkapan bahasa (Kaelan, 1998: 97).

Walhasil, gagasan yang ditangkup bahasa, hakikatnya memang adalah akumulasi pengetahuan yang dulu cuma sempat dipikirkan. Ia kemudian dibaku-bukukan dengan tetap merujuk dan menunjuk pada entitas atau unsur di luar bahasa. Di dalam puisi, tentu banyak tersimpan arketipe pengetahuan, nilai-nilai dan formula. Bahasa sungguh punya peran menjaga secara turun temurun dengan berbagai kekuatan metaforanya dalam literasi dan inskripsi. Bahkan darinya, tak jarang terpendam ajaran dan pesan adiluhung, yang antara lain, berguna untuk membendung bahasa yang bergulir semata jadi ”obyek pasar” atau medium ”menjalankan modal.” Pendeknya, bahasa (puisi) selaiknya juga bernyali melawan produk dan tipe bahasa ”klise” yang melulu terhasilkan dari, -meminjam parafrase Frost dari sambungan kalimat di awal paragrap esai ini-, “ ...orang-orang yang tidak punya apapun untuk dikatakan, akan tetapi terus saja mengatakannya.”

Misbahus Surur, esais, tinggal di Malang

Sumber: Lampung Post, Minggu, 12 Agustus 2012

[Buku] Maiyah, Penawar Dahaga Spiritualitas

Data buku:

Spiritual Journey, Pemikiran dan Permenungan Emha Ainun Najib

Prayogi R. Saputra

Buku Kompas, Jakarta, 2012

xviii + 214 hlm.

TAMPAKNYA komunitas kritis yang bercorak spiritual dan peduli terhadap realitas sosial di era reformasi kini ibarat mencari jarum di dalam tumpukan jerami. Mungkin, Jamaa’ah Maiyah adalah salah satu di antara sekian banyak komunitas spiritual kritis itu.

Jamaah Maiyah lahir tentu bukan tanpa tujuan. Maiyyah hadir dimaksudkan sebagai respons atas kondisi masyarakat Indonesia saat itu, utamanya dalam lingkaran Emha, yang mengalami ketidakpuasan, keputusasaan, amarah yang terpendam pada masa orde baru era Soeharto. Pendeknya, jemaah Maiyah lahir karena psikologi masyarakat waktu itu sudah di ambang tubir semangat penghancuran. Sebab, masyarakat saat itu hatinya tengah dilanda kegalauan yang akut sehingga pengajian Maiyah itu hadir dengan tujuan untuk mengisi “lubang” hati keluarga Emha yang kian menganga.

Mulanya, Maiyyah adalah pengajian padhang mbulan. Pengajian yang diselenggarakan secara regular sebulan sekali dengan mengambil waktu saat malam purnama. Seiring berjalannya waktu, pada 2001, padhang mbulan bermetamorforsis menjadi Maiyah. Pengajian ini unik dan menarik. Unik karena siapa pun dan dari kalangan apa pun bebas berekspresi mempertunjukkan atau berbicara ihwal apa pun dalam kapasitasnya masing-masing. Menarik, karena Emha sendiri—meskipun sebagai penggagas awal jemaah Maiyah—tak merasa sebagai orang besar (semacam ketua umum) dalam lingkaran Maiyah. Tapi, meskipun Emha tak mau diletakkan pada posisi tertentu, ia adalah orang yang menjadi bagian penting bagi Maiyah.

Buku Spiritual Journey, Pemikiran dan Permenungan Emha Ainun Najib besutan Prayogi Saputra ini hadir dengan mengangkat tema-tema menarik yang sering diadakan jemaah Maiyah, seperti kafir dan mukmin, anatomi doa, multikulturalisme, neoliberalisme, fisika kuantum, dan lain sebagainya. Semua tema-tema itu dikemas secara renyah dan bernas tanpa ada kesan menggurui. Bahkan, terkadang penulisnya pun sesekali menyelipkan humor khas ala Emha.

Buku setebal 214 halaman ini terbagi menjadi dua bagian, yakni mozaik dan interlude. Bagian mozaik menceritakan tentang pengalaman-pengalaman ber-Maiyah di Mocopat Syafaat di mana Prayogi juga ikut terlibat di dalamnya. Dalam bagian ini, ada sebagian yang disajikan berupa adegan langsung, dan ada juga yang disajikan dalam bentuk uraian disertai pendalaman tema-tema yang pernah didiskusikan dalam Maiyah. Sementara interlude merupakan semacam jeda yang memberikan looghshoot tentang Maiyah disertai uraian dan argumen-argumen yang menyitir para ilmuwan (xvi-xvii).

Meskipun buku ini renyah dibaca dan dikaji, karena penulisnya mampu mengemas dengan bahasa yang memikat dan merakyat, bukan berari tanpa kekurangan. Saya mendapati bahwa salah satu kekurangan buku ini adalah penulis masih terkesan “mendewakan” sosok Emha sebagai subjek utama dari kekuatan dalam lingkaran Maiyah sehingga seakan tampak kentara sekali bahwa Maiyah adalah Emha dan Emha adalah Maiyah. Padahal, sebagaimana diungkap di muka, Emha sendiri tak mau disebut sebagai orang penting dalam Maiyah, tapi ia tetap menjadi bagian penting dalam Maiyah.

Buku ini laksana oasis di tengah gurun pasir nan tandus. Ia menjadi sumber pengairan dan penyiraman utama bagi masyarakat Indonesia yang tengah dilanda kegalauan akut dan dahaga spiritualitas. Buku ini bukan sekadar menawarkan pembersihan jiwa manusia secara lahir dan batin, melainkan juga menawarkan diskursus penting untuk menyelesaikan segala hal problematika umat. Buku ini layak dibaca oleh siapa saja yang telah memiliki kesadaran penuh untuk memajukan bangsa ini bersama-sama.

Ammar Machmud
, peneliti pada Arwaniyyah Institute, Kudus


Sumber: Lampung Post, Minggu, 12 Agustus 2012

Pertarungan Ideologi dalam Sastra

-- Bayu Agustari Adha

SASTRA berfungsi tak hanya memberi hamparan kisah yang tertera begitu saja. Di balik itu sastra juga menyelipkan pertarungan ideologi dalam konflik dan alur yang disajikan. Walau hanya bersifat fiksi, emosi yang disajikan terbukti lebih lama membekas dari karya non fiksi. Itu bisa dilihat pada karya Khaled Hosssaini, The Kite Runner yang secara implisit menyajikan suatu pertarungan ideologi yang membuat suatu Negara yakni Afghanistan menjadi Negara hancur tanpa henti sampai kini. Apa yang membuatnya hancur adalah pertarungan ideologi yang saling memaksakan tanpa adanya suatu negasi. Ideologi itu di antaranya nasionalisme, liberalisme, komunisme dan fanatisme.

Ideologi nasionalis berhegemoni di sini dalam kerangka yang dangkal. Nasionalisme ini beranjak dari primordialisme suku dominan yang ada di Afghanistan. Watak budaya membesar-besarkan ini menjadi suatu ciri khas orang Afghan. Jika seseorang mengatakan anaknya seorang dokter maka kemungkinannya anak itu hanyalah pernah lulus ujian biologi. Inilah kecintaan pada Tanah Air yang dibesar-besarkan sehingga berdampak buruk pada masyarakat itu sendiri. Dalam novel ini digambarkan suku mayoritas yakni Pashtun yang menginferiorkan suku Hazara. Diceritakan karakter utama Amir yang seorang Pasthun punya teman bermain yang anak pembantu keluarganya yakni Hassan bersuku Hazara. Amir memang tak menganiaya Hassan, tapi watak superioritas sebagai suku Pasthun tetap tertanam pada tindakannya walau tak sebenarnya dalam hati. Baba Amir dan ayah Hassan, Ali, dulunya juga seperti itu.

Tindakan terjadi hanya karena konstruksi masyarakat Afghan yang memberi paradigma rendah pada orang Hazara. Dalam kesehariannya, Ali dan Hassan sering diolok-olok kaum Pasthun yang berbeda secara fisik dengan kaum Hazara. Setiap hari Ali memperoleh cemoohan dari remaja yang agak besar dengan sebutan Babulu atau Hantu. Mereka menyebutnya pesek, begitulah ciri-ciri Ali dan Hassan dan kebanyakan suku Hazara. Suku ini keturunan Mongol dan sedikit mirip Cina. Julukan-julukan untuk orang Hazara di antaranya pemakan tikus, dan keledai pengangkut barang. Malangnya stigma ini terus terwarisi sampai pada anak-anak yang sebenarnya tak tahu apa-apa. Hassan juga kerap diperolok, terutama oleh Assef, tokoh antagonis di novel ini dengan sebutan-sebutan di atas.

Assef jadi representasi nasionalisme yang bermuara pada fasisme. Ia merupakan pengagum Hitler dengan ibu keturunan Jerman dan Ayah seorang Pasthun. Satu setting menceritakan Assef bersama temannya mencegat Amir dan Hassan untuk membiarkannya menyiksa Hassan seorang Hazara. Dia mengatakan ‘’Afghanistan adalah Negara milik bangsa Pasthun. Dari dulu begitu, dan akan selalu begitu. Kita adalah orang-orang Afghan sejati, orang-orang Afghan murni, tak seperti si pesek ini. Kaumnya mengotori Tanah Air kita.’’ Assef tak hanya marah pada Hassan, tapi juga pada Amir karena telah bermain bersama Hassan. Dalam hati Amir, Hassan bukan temannya melainkan pembantunya, namun karena segan Amir tak mengatakannya. Hassan pun melindungi Amir dengan menggertak Assef dengan ketapelnya.

Kekalahan Assef ini menjadi dendam yang makin besar dan abadi baginya. Tak hanya hubungan persukuan yang membuat suatu nasionalisme sempit seperti ini, aliran agama juga menegaskannya, walau sama-sama Islam. Pasthun menganut Sunni dan Hazara sebagai Syi’ah. Latar belakang utama penindasan ini memang adalah perbedaan mahzab agama ini.
Di sisi lain pemikiran ini juga dapat perlawanan dari orang Pasthun sendiri yang berupa pemikiran liberal. Itu dilihat dari karakter ayah Amir sendiri, Baba yang menunjukkan kejijikannya pada kaum Sunni yang merasa sok suci. Ini terlihat ketika Amir mengatakan pada ayahnya bahwa menurut guru agamanya minum wiski itu haram. Baba dengan percaya diri mengatakan apa yang dipelajari di sekolah takkan menemui titik temu dengan kenyataan. Bahkan ia mengatakan.

Baba sendiri adalah orang yang tergila-gila dengan gagasan tentang Amerika. Ia juga pernah mengatakan di dunia ini hanya ada tiga lelaki sejati yakni sang penyelamat gagah berani, Inggris dan Israel, selebihnya adalah mereka yang sama saja dengan nenek-nenek yang hobi bergosip. Tentu saja pernyataan ini menyentak banyak orang karena secara de facto memuja Israel tentu saja mengindikasikan anti-Islam. Tapi ia menyatakan bahwa semua ini tak ada hubungannya dengan agama. Di matanya Israel adalah pria sejati di sebuah pulau dikelilingi oleh lautan bangsa Arab yang terlalu sibuk memikirkan produksi minyak mereka sehingga tak peduli pada nasib bangsa sendiri. ‘’Lakukanlah sesuatu untuk mengatasi masalah! Bertindaklah. Kalian kan orang Arab, pergi sana, tolong orang Palestina!,’’ serunya.

Hingga sampai akhirnya Uni Soviet menginvasi Afghanistan, masuklah satu ideologi lagi yakni komunisme. Ideologi buruh yang tumbuh menjadi gerakan otoriter di atas segala pembenaran. Ideologi yang pertamanya menyokong majunya kaum buruh malah berujung kekejaman oleh para tentara Uni Soviet. Afghanistan yang sedang gagap berideologi harus menelan lagi paksaan ideologi baru. Apa yang dilakukan Uni Soviet jelas bertentangan karena yang terjadi di lapangan sebenarnya hanya nafsu kekuasaan sebagai pertarungan Negara adidaya dengan AS sehingga segala hal yang berhubungan dengan Amerika dimusnahkan. Itu terjadi pada pihak Afghan di segala aspek sampai-sampai pada hal-hal budaya pop seperti musik. Di novel ini seorang musisi modern menjadi seperti anjing oleh tentara Rusia hingga akhirnya tewas menggenaskan.

Dalam aksinya para penjajah dengan sesukanya memetakan aliran ideologi para penduduk tanpa jelas kriterianya. Dengan menggunakan cecunguk dari Afghanistan sendiri, tentara Uni Soviet telah membantai begitu banyak jiwa yang terindikasi tak berafiliasi pada komunis. Mereka diam-diam menguping pembicaraan orang lain. Komentar kecil yang terlontar saat menunggu penjahit mengupas baju bisa mengirim seseorang ke penjara bawah tanah Poleh-Charki. Keluhan tentang pelaksanaan jam malam yang dilontarkan di hadapan tukang daging bisa mengantarkan seseorang menghabiskan waktunya di balik jeruji, di balik hadapan moncong senapan klashinov. Kejadian ini berlangsung begitu lama sehingga Afghanistan menjadi Negara tanpa masa depan karena sibuk perang.

Hingga akhirnya pada 1989, Uni Soviet meninggalkan Afghanistan. Perang terus berkecamuk, kali ini antar warga Afghan sendiri, kaum Mujahiddin melawan pengikut Najibullah, pemerintah boneka Soviet. Gelombang pengungsi Afghan terus membanjiri Pakistan. Pada tahun itu pula perang dingin berakhir dan Tembok Berlin dirubuhkan. Namun di tengah kekacauan itu, Afghanistan terlupakan. Kabul saat itu jadi rebutan antara faksi. Ibukota Afghanistan ini jatuh ke tangan Massoud, Rabbani dan kelompok Muhajiddin antara 1992-1996. Taliban memenangkan pertikaian 1996. Pada masa Taliban inilah muncul lagi satu ideologi yang makin memperparah keadaan yakni fanatisme. Mulanya memang semua orang di Afghanistan menyambut Taliban dengan suka cita. Warga menari di jalanan dan menyapa prajurit Taliban seperti pahlawan, memanjat tank mereka dan berfoto bersama. Namun itu hanya berjalan sesaat. Tanpa diduga Taliban melakukan hal-hal yang tak masuk akal atas nama agama dengan memerangi rakyat Afghan sendiri. Permainan layang-layang diharamkan dan 2 tahun setelah berkuasa mereka membantai suku Hazara yang beraliran Syiah.

Taliban juga melakukan ketidakadilan pada kaum perempuan. Itu terjadi ketika istri Hassan berbelanja di pasar. Dia membeli sesuatu, namun karena penjualnya agak sedikit tuli dia bersuara agak keras. Hal itu terdengar oleh tentara Taliban dan langsung menghampiri dan memukuli sembari mengatakan bahwa Kementerian Kesusilaan melarang wanita bersuara keras.  Karena Hassan adalah Hazara, ancaman kematian senantiasa menimpanya hingga akhirnya ia mati dengan ditembak kepala bagian belakang oleh Taliban karena identitas Hazaranya.

Fanatisme sempit ini juga diterapkan pada cara berpakaian. Afghan laki-laki diwajibkan memakai pakol sedang wanita memakai burqa dan laki-laki harus berjanggut sepanjang dada yang mereka anggap sesuai syariat. Jelas ini suatu pemahaman yang salah dari paham fanatisme yang dianut dengan mengatasnamakan syariah. Di sisi lain para prajurit Taliban malah menasbihkan hal-hal tertentu hanya pada mereka seperti dimana hanya Taliban yang bisa menikmati daging kambing. Dalam keseharian operasional pun mereka berpatroli dengan sangat kejam seperti orang kehausan untuk membunuh. Mereka terus memancing rakyat untuk berbuat kesalahan dan dengan begitu mereka bebas menindas sampai dengan membunuh. Ini makin menjadi pemandangan sehari-hari sehingga yang terlihat hanya seorang anak bersama ibunya tanpa ayah. Sebagian besar ibu pun lebih memilih menumpangkan anaknya di panti asuhan yang kondisinya menyedihkan karena wanita juga dilarang bekerja sehingga tak ada biaya untuk memenuhi kebutuhan. Seorang ayah telah menjadi suatu sesuatu yang langka di masa Taliban.

Pada masa itu ada satu kebiasaan yang gemar sekali dilakukan oleh Taliban yaitu prosesi perajaman kepada para pezina saat jeda istirahat pertandingan sepakbola. Setelah wasit membunyikan peluit turun minum, pertunjukan tambahan segera dimulai. Dua truk merah berbak terbuka memasuki stadion melalui gerbang. Seorang wanita dengan terbungkus burqa hijau duduk di salah satu bak truk, sementara seorang pria dengan mata tersekap duduk di bak truk lain. Kedua truk berjalan mengelilingi lapangan seolah-olah membiarkan seluruh penonton memperhatikan mereka. Truk berhenti di belakang gawang yang telah menyediakan dua lubang. Kemudian datang lagi satu truk berisi pasukan Taliban. Mereka memasukkan kedua pezina ke masing-masing lubang sedalam dada. Kemudian berbicaralah seorang ulama dengan melafalkan surat Alquran yang panjang. Lalu ulama itu berceramah mengenai keharusan menegakkan Syariat kehendak Allah dan Nabi Muhammad. Lalu dimulailah acara inti dimana seorang pria memungut batu dan memperlihatkannya pada penonton lalu melemparkannya pada para pezina sampai akhirnya daging dan darah berserakan. Pertunjukan pun selesai.

Peristiwa ini secara naluriah jelas suatu tindakan yang bersifat sadisme yang makin menjauhkan Islam sebagai agama yang damai. Itu terjadi karena fanatisme sempit yang tak bisa menyaring dan menerjemahkan hukum Allah sehingga terjadi salah tafsir di mana perlu dilakukan peninjauan lebih dulu. Karakter yang merepresentasikan ideologi fanatisme ini ternyata tak lain adalah Assef. Seorang pengagum Hitler yang menjelma menjadi Taliban. Jelas di sini bahwa Taliban telah menjadi wadah baginya untuk melampiaskan hasrat fasisme yang dianutnya. Terang sekali bagaimana perselingkuhan ideologi fasisme dengan fanatisme yang berupa Taliban.

Dalih Syariat itulah yang digunakannya. Menurutnya, ‘’Menegakkan keadilan pada masyarakat adalah pertunjukan terhebat. Drama. Ketegangan. Dan yang terbaik di antara semuanya adalah pendidikan massal. Kau takkan mengerti makna kata pembebasan hingga kau melakukannya, berdiri di hadapan seruangan target, membiarkan peluru melayang, membiarkan dirimu mengetahui bahwa dirimu lebih unggul, lebih baik dan lebih mulia. Mengetahui bahwa dirimu telah menjadi perpanjangan tangan Tuhan.’’ Begitulah upaya pembenaran yang dilakukannya. Tampak nyata ia menggabungkan ideologi fasisme ala Hitler dengan fanatisme sempit sehingga  merasa melakukan sesuatu atas kehendak Tuhan.

Bayu Agustari Adha, Tutor bahasa Inggris di EasySpeak.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 12 Agustus 2012

Jangan Lupa, ’’Yong Dollah’’ Masih Hidup... (2)

-- Marhalim Zaini


Stigma Negatif dan Penciptaan Kembali

MESKIPUN demikian, di sisi lain, berkembang satu fakta di lingkungan masyarakat Bengkalis sendiri bahwa karena cerita-cerita Yong Dollah yang memang bersifat rekaan, yang kerap tak bisa diterima secara logika umum, maka kemudian sosok Yong Dollah pun distigmatisasikan sebagai tokoh ‘pembengak’ (pembohong). Hal ini terungkap dari hasil wawancara penulis dengan beberapa informan, termasuk informan kunci, H Zakaria (70) di Selat Baru. Zakaria sangat menyayangkan stigma negatif atas diri orangtua angkatnya itu. Selain itu, jauh sebelum penelitian ini dilakukan secara lebih intensif, penulis juga telah banyak mendengar ejekan orang-orang bagi mereka yang suka berbohong, yang diidentikkan dengan sosok Yong Dollah.

Namun, penting untuk ditegaskan bahwa cerita-cerita Yong Dollah memang diciptakan dari hasil rekayasa, imajinatif, fiktif, dengan efek humor ditekankan pada sesuatu (tokoh, tema, alur) yang hiperbolik, untuk menghibur, yang kemudian memang dikesankan sebagai sesuatu yang bengak (bohong). Tapi, pembengak Yong Dollah tak bersifat negatif (tidak untuk merugikan orang lain), sebab bukankah siapapun pendengar/audiens-nya pasti tak merasa ‘dibohongi’ karena sejak awal memang tahu bahwa demikianlah ciri khas dari cerita tersebut.

Stigma tersebut tak serta-merta membuat tingkat popularitas Yong Dollah menurun. Hal ini dapat dilihat dalam perkembangannya, bahwa berbagai variasi cerita terus saja lahir dari generasi setelahnya, baik dari bentuk lisan dengan para penutur baru, maupun dari para penulis (sastrawan) yang melakukan penciptaan-penciptaan kembali melalui tulisan (buku), bahkan juga dalam bentuk film. Proses penciptaan dalam tiga bentuk ini, tampak seperti mengamini apa yang digariskan oleh Walter J Ong (1982), yang menunjukkan periode perkembangan sebuah peradaban masyarakat. Ong memprediksi bahwa peradaban secara teratur berkembang dari mulai ‘era lisan’ (lisan primer), menuju ke ‘era cetak’ (kapitalisme cetak), dan ke ‘era lisan dengan media modern’ (kelisanan sekunder).

Dalam penelusuran saya, ketiga bentuk penciptaan kembali cerita-cerita Yong Dollah ini segera dapat ditemukan. Bentuk lisan, setidaknya lebih dari sepuluh penutur cerita Yong Dollah dapat menceritakan kembali dengan versi mereka masing-masing. Hasil analisis saya menggunakan teori ‘formula’ Albert B Lord dan mensinergikannya dengan teori ‘skema’ Amin Sweeney, menunjukkan bahwa para penutur ini mengingat skema-formulaik dari cerita Yong Dollah dalam tema, perwatakan dan alur cerita. Ketiga unsur ini, dalam berbagai versi cerita para penutur menunjukkan formula-formula yang sama, cenderung tetap, terdapat sejumlah pengulangan, untuk mempermudah dalam proses mengingat cerita ketika dituturkan.

Sementara penciptaan kembali cerita Yong Dollah dalam bentuk tulisan (cetak) dapat kita baca dalam buku yang ditulis oleh Hang Kafrawi berjudul Wawancara Khayal dengan Yong Dollah (Yayasan Pusaka Riau, 2002). Kafrawi telah mengolah cerita-cerita Yong Dollah sedemikian rupa, dalam konteks kreativitas penciptaan sastra modern. Analisis saya menunjukkan setidaknya ada dua bentuk kreativitas yang dilakukan Kafrawi, yakni dalam aspek bahasa dan aspek alur cerita. Selain itu, cerita-cerita Yong Dollah versi Kafrawi lebih menyuguhkan berbagai pesan moral yang lebih bersifat ‘ideologis’, terutama sikap orang Melayu dalam melakukan upaya resistensi. Hal ini tampak misalnya dalam sebagian besar cerita menyebut negara-negara luar Indonesia, seperti Belanda, Singapura, Amerika, Jepang, Afrika dan sebagainya.

Selain Kafrawi, di sosial-media facebook, seorang anak Bengkalis bernama Yuli Pandi juga terus memproduksi (menulis) kembali cerita-cerita Yong Dollah versi dia sendiri. Sehingga, saya kira, lebih dari seratus cerita yang telah ia tulis. Terlepas soal bagaimana ‘mutu’ cerita tersebut, saya lebih melihatnya bahwa Yong Dollah memang ‘masih hidup’ dalam pikiran generasi terkini. Yong Dollah, adalah inspirator bagi para penutur, penulis, pembuat film, di zaman kini. Yong Dollah, pada gilirannya, tak lagi semata merujuk kepada sebuah nama seseorang, tapi telah menjadi style (kalau boleh disebut ‘genre’) tersendiri dalam cerita jenaka Melayu-Riau.

Dalam bentuk film, penciptaan kembali cerita Yong Dollah sempat diproduksi Selodang Production yang ditayangkan di Riau Televisi (2002), berjudul Kelakar Yong Dollah, yang disutradarai Jefry Al Malay, dkk. Meski tampak digarap sederhana, dengan menampilkan kembali peristiwa penurutan cerita-cerita Yong Dollah oleh para penutur dan dikelilingi oleh beberapa pendengar (yang kerap disebut sebagai ‘Tukang Ogam’) dengan dibumbui  beberapa adegan ‘penyedap’, film ini cukup memberi gambaran bahwa cerita-cerita Yong Dollah masih tetap memikat penonton. Satu hal yang terpenting adalah bahwa film ini telah kemudian memperluas penyebaran cerita-cerita Yong Dollah melalui media televisi. Memperluas para audiens dan tak menutup kemungkinan akan pula memperluas para penutur baru.

Tentu saja, ke depan, cerita-cerita Yong Dollah dapat digarap dengan lebih profesional dan dikembangkan dalam adegan-adegan yang lebih luas. Terutama dalam konteks bagaimana kekayaan tradisional kita dapat digali dari berbagai potensinya untuk kemudian menciptakan karya-karya kebudayaan yang baru. Apalagi misalnya perkembangan ‘industri kreatif’ di Indonesia dewasa ini cukup menggairahkan, yang telah banyak menggali wilayah nilai-nilai local wisdom dari berbagai daerah. Fenomena semacam ini, seolah membenarkan apa yang sempat ditegaskan Sweeney (2011: 7), bahwa bagaimanapun di hampir seluruh dunia pada akhir abad kedua puluh ini rasanya sukar menjumpai suatu masyarakat yang wacananya tak terdampak oleh tulisan, apalagi media elektronika.

Orientasi Kelisanan

Lahirnya berbagai kreativitas penciptaan kembali cerita-cerita Yong Dollah tersebut menunjukkan, keberadaan tradisi lisan memang terus mengalami perubahan seiring dinamika perubahan masyarakat pendukungnya. Banyak pihak yang memang mengkhawatirkan bahwa dampak dari perubahan-perubahan yang tak terelakkan tersebut membuat tradisi lisan makin tergeser eksistensinya. Globalisasi, adalah satu kekuatan besar yang ditakutkan itu, yang menurut Giddens (2003: 67), telah membawa prinsip modernitas yang memunculkan berbagai permasalahan sosial, menimbulkan konflik, kesenjangan dan bentuk-bentuk stratifikasi baru. Dalam konteks sejarah tradisi lisan misalnya, kehadiran peradaban cetak melalui revolusi kapitalisme cetak (print capitalism) telah mampu mengubah komunitas tradisi lisan menjadi komunitas yang mendadak bisu, dengan sastra yang tak bersuara, yang oleh Anderson (1990) disebut sebagai ‘komunitas imajiner’.

Benar, jika ketergeseran itu dilihat dari kehadiran berbagai kekuatan global yang tampak mendominasi, sehingga bentuk-bentuk representasi tradisi lisan yang selalu diidentikkan dengan unsur-unsur tradisional seolah tenggelam. Dalam konteks cerita-cerita Yong Dollah, kekhawatiran itu mungkin perlu ditampik, dengan melihat kembali sejauhmana tradisi lisan itu tergeser. Apa yang akan ditunjukkan dalam penelitian saya ini adalah bagaimana proses penciptaan kembali dalam tiga bentuk (lisan, tulisan dan film) tersebut justru lebih berorientasi pada kelisanan. Orientasi kelisanan semacam ini pada akhirnya seolah hendak meneguhkan sebuah kesimpulan bahwa kekuatan lisan dalam masyarakat kita (khususnya masyarakat Melayu Bengkalis) masih tetap mendominasi dan tetap turut berperan dalam fungsi-fungsi transformatifnya. Sehingga, keyakinan bahwa tradisi lisan memang terus dapat hidup dalam ‘ingatan kolektif’ (collective remembering) masyarakat, yang merupakan pengalaman hidup bersama yang disebut social memory itu, patut dibenarkan.

Dengan demikian, orientasi tulisan ini juga sekaligus akan memberi pandangan lain bahwa sejarah perkembangan peradaban masyarakat tak selamanya linier sebagaimana yang diprediksi  Ong di atas. Bahwa periode tersebut, dari lisan ke tulisan dan ke bentuk film, boleh jadi tumpang tindih dan tarik-menarik dalam upaya saling memosisikan kekuatannya masing-masing. Apa yang terjadi kemudian, mayoritas masyarakat justru seolah sedang melakukan lompatan dari tradisi lisan langsung ke era ‘kelisanan kedua’. Fakta lain menunjukkan, bahwa dalam bentuk tulisan, teks-teks tersebut juga kerap kembali dilisankan (dibacakan), yang tak hanya terjadi zaman klasik dengan pembacaan syair, tapi juga terjadi dalam sastra modern dengan pembacaan puisi, cerpen, drama, juga kutipan novel.

Fenomena ini, selanjutnya juga membuat apa yang diistilahkan sebagai ‘komunitas imajiner’ oleh Anderson di atas, perlu didiskusikan kembali. Tak sepenuhnya benar komunitas tradisi lisan kita mendadak berubah menjadi komunitas yang bisu dan tak bersuara. Pada kenyataannya, unsur-unsur lisan itu masih tetap terus hidup dan bertahan, bahkan menyelinap dalam berbagai produk budaya kekinian kita di zaman elektronik ini. Di sinilah sesungguhnya istilah Ong dengan ‘kelisanan kedua’ seperti menemukan signifikansinya, meskipun telah hidup di zaman serba canggih dengan berbagai peralatan modern, kata ‘lisan’ dan ‘kelisanan’ tak bisa dilepaskan. n

Marhalim Zaini, SSn MA, Sastrawan, dosen Sekolah Tinggi Seni Riau.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 12 Agustus 2012

[Jejak] Tok Pulau Manis, Ulama dan Sufi Terengganu

TOK Pulau Manis atau nama sebenarnya Syeikh Abdul Maalik dilahirkan Kampung Pauh, Hulu Terengganu pada 1060H/1650M, berketurunan Sharif Mohammad, yang berasal dari Baghdad. Menerima pendidikan agama diperingkat awal dari kaum keluarganya sendiri.

Tok Pulau Manis kemudiannya belajar di Aceh yang digelar Serambi Mekah. Beliau dipercayai telah menerima pendidikan secara langsung dari ulama besar Aceh, Syeikh Abdul Rauf Singkel (1030-1050/1620-1693) yang juga seorang tokoh yang berusaha membawa kepada pengukuhan terhadap aliran al-Sunnah wal Jamaah di alam Melayu. Beliau telah menyalin kitab Tafsir Baydawi yang dikarang dalam Bahasa Melayu oleh Syeikh Abdul Rauf Singkel. Selanjutnya beliau menyambung pengajian di Makkah sekitar tahun 1680, ketika beliau dipercayai berumur 30 tahun.

Selama hampir satu dekade di Makkah, beliau telah berguru dengan ulama-ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim al-Kurani (1025-1011/1616-1690), yang juga menjadi guru kepada Syeikh Abdul Rauf Singkel, bersahabat dengan pelajar-pelajar yang seangkatan dan seperjuangan dengannya seperti Tuan Haji Mohd Salleh bin Omar al-Semarani dari Jawa, Dato Syed Abdullah dari Terengganu, Fakeh Abdul Kadir Palimbang, Fakeh Abdul Rahman Patani, Fakeh Abdul Samad Kedah dan Haji Mohamad Siantan dan mengajar apabila terdapat peluang berbuat demikian. Semasa berada di Makkah dan juga Madinah, Tok Pulau Manis telah memberi penumpuan kepada keilmuan tiga serangkai, iaitu ilmu-ilmu fikih, usuluddin dan tasawuf disamping tafsir, hadis dan ilmu-ilmu bantu seperti nahu, saraf dan sebagainya.

Beliau mendalami fikah al-shafie dengan berguru kepada Syeikh Ibrahim al-Kurani yang telah menggantikan Ahmad Qushashi yang menjadi pengajar kepada pengikut Imam Shafie di sana. Bidang Usuluddin yang diikutinya pula adalah berdasarkan pendekatan Imam al-Asya’ari yang menjadi pegangan umum pengikut ahl-al Sunnah wal Jamaah, manakala bidang tasawuf yang diceburinya pula adalah berdasarkan etika ubudiyah kepada pengajian tasawuf.

Tok Pulau Manis memilih Tarekat Shazhiliyah yang diasaskan oleh Syeikh Abu al-Hasan al-Syazili (M. 656/1258) yang berasal dari Maghribi. Beliau berkenalan dengan tarekat ini menerusi pengajiannya iaitu melalui karangan pendukung utama dari kalangan generasi ketiga aliran sufi iaitu Ibnu ‘Athaillah (M. 709/1309). Tulisan yang menarik minatnya itu ialah Al-Hikam disamping al-Tanwir fi Isqat al-Tadbir, Lata’if al Minan dan Taj al-Arus.

Pengajaran al-Syazili dan Ibnu Athaillah dianggap lanjutan dari pendekatan tasawuf al-Imam al-Ghazali dan kitab Ihya ‘Ulumuddin menjadi kitab penting bagi pengajaran bagi Syeikh Abu al-Hassan al-Syazili dan pendokong-pendokongnya. Sebagai seorang yang kesedaran tentang peri pentingnya mendalami ilmu syariat disamping usuluddin sebagai asas mendalami ilmu tasawuf, Syeikh Abdul Malik sendiri, sebelum pemergiannya ke Tanah Suci sudah pun mendalami beberapa bidang ilmu tersebut.

Ilmuan yang menjadi rujukannya berjumlah tidak kurang dari 143 orang, di antara yang terpenting di kalangan mereka itu ialah Ibn Athaillah dan Abu al-Hasan al-Syazili sendiri, Abu al-Abbas al-Mursi, Ibn Arabi, Abu Hafs Umar bin Muhammad bin Abd Allah al-Suhrawardi, Abu Turab al-Khashabi, Abu Yazid al-Bistami, Abu Talib al-Makki, Abu Hamid al-Gahzali, Abu al-Qasim al-Nasr Abadhi, Abu Bakar al-Shibli, Abu Nasr al-Sarrj, Ahmad al-Rifa’i, Ahmad Ibn Hanbal, iBn Abbad, Hassan Basari, Junayd al Baghdadi, Ahmad Zarruq, Shal bin Abdullah, Sirri al-Suqti, al-Sha’rani, Abd al-Salam bin Mashish dan Ma’ruf al-Karkhi. Selain itu, beliau juga banyak merujuk kitab Fusus al-Hikam oleh Ibnu Arabi, Qut al-Qulub oleh Abu Talib al-Makki, karya-karya al-Ghazali seperti Ihya Ulumuddin dan Minhaj al-Abidin, al-Luma oleh Abu Nasar al-Sarraaj al-Tusi, alRi’ayat Li Huquq Allah dan Amal al-Qulub wa al-Jawarib oleh al-Harith al Mushasibi, Sharh terhadap Hikam berjudul Hikam Ibn ‘Athaillah atau Qurrat al-Ayn oleh Ahmad Zarruq dan Halat Ahl al Haqiqat Ma’a Allah oleh Ahmad al-Rifa’i.

Peranan Syeikh Abdul Malik sebagai pengajar di Makkah menyerupai penglibatan sebahagian penting ulama-ulama lain dari seluruh dunia yang menjadikan Tanah Suci sebagai pusat pendidikan. Pelajar-pelajar yang menjadi tumpuan beliau adalah mereka yang datang dari Tanah Jawi. Kedudukan Syeikh Abdul Malik di sini mempunyai persamaan dengan kedudukan ulama-ulama Jawi yang lain seperti Syeikh Daud bin Abdullah Fatani, Syeikh Abdul Samad Palimbang, Syeikh Mohamad Nawawi al-Bentani dan Syeikh Mohamad Khatib bi Abdul Latif Minangkabau.

Sebagai guru yang amat meminati tasawuf beraliran etika ubudiyah yang diperolehi oleh Imam al-Ghazali, beliau juga memilih mengajar dengan menggunakan karangan-karangan yang menjadikan hasil karya Hujjatul Islam itu. Kitab-kitab yang dimaksudkan itu termasuklah Ihya Ulumuddin. Matan Hikam Ibnu Ata’ul-Lah yang dianggap sebagai lanjutan dari pendekatan etika ubudiyyah al-Imam al-Ghazali juga ternyata mendapat perhatian istimewa dari Syeikh Abdul Malik. (berbagai sumber)

Sumber: Riau Pos, Minggu, 12 Agustus 2012

Saturday, August 11, 2012

Seniman pun Mencermati Acara Hiburan di Teve

-- Linda Sarmili

BARU-BARU ini, Departemen Susastra dan Pusat Penelitian Kajian Budaya (PPKB) Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia (FIB-UI), mengadakan seminar bertajuk "Anak dan Televisi" di auditorium Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok.

    Dimoderatori Sunu Wasono, staff pengajar FIB-UI, sesi pertama yang sangat singkat ini menghadirkan Riris K. Toha Sarumpaet (Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya & Pengajar Pengkajian Cerita Anak), Paulus Wirutomo (Sosiolog), dan Eko Handayani (Psikolog) sebagai pembicara.

    Acara tersebut mendapat respon cukup bagus dari berbagai kalangan, termasuk sejumlah cerpenis, para penyair dan seniman lainnya yang belakangan tertarik mencermati acara-acara hiburam untuk anak-anak di televisi.

    Dalam materi seminarnya, Riris mengupas tayangan Opera van Java (OVJ) milik Trans 7 dan sinetron SCTV Islam KTP, yang setelah diteliti, ternyata berdampak negatif terhadap pertumbuhan anak-anak.

    OVJ dinilai banyak mengandung kekerasan, kata-kata kasar, serta menampilkan peristiwa tidak pantas seperti ngompol. Begitupun Islam KTP, yang memang ingin memberikan pendidikan agama dan moral, namun justru sang tokoh teladan di dalamnya sering mengeluarkan ejekan yang tidak pantas dicontoh anak-anak.

    Menurutnya, kedua tayangan ini jelas bukan tontonan anak. Namun kenyataannya, kedua stasiun TV tetap menayangkan program tersebut saat anak-anak masih bisa menonton TV, yaitu pada pukul 20.00-22.00 untuk OVJ, dan pukul 18.00-21.30 untuk Islam KTP.

    "Jika kita bicara tentang tontonan anak, maka tontonan itu seharusnya mengasyikkan", tutur Riris. Jika tayangan tersebut mengandung kekerasan, atau malah berisi terlalu banyak konflik manusia dewasa, tontonan itu tidak akan mengasyikkan bagi anak. Artinya, tayangan tersebut bukanlah tontonan untuk anak.

    Lain lagi dengan Paulus Wirutomo yang bahasannya mengenai "Media dan Masyarakat Indonesia".

    Paulus mengatakan bahwa terhadap teknologi yang terus berevolusi, masyarakat belum mampu berevolusi dari aspek sistem nilai, sikap, perilaku, pranata sosial, dan yang lainnya, sehingga masyarakat Indonesia, selain menjadi pemanfaat teknologi, juga turut menjadi korban teknologi tersebut. "Bukan media yang sebenarnya menjajah kita, tetapi orang-orang di baliknya.," ujar Paulus penuh semangat.

    Sebagai pengakhir sesi, Eko Handayani hadir dengan paparannya, "Dampak Tayangan TV Terhadap Anak". Ia mengatakan bahwa televisi merupakan salah satu jendela awal bagi anak untuk mengenal dunia. Sayangnya, tidak semua tayangan berdampak positif.

    Meski televisi membantu meningkatkan daya imajinasi anak sehingga anak bebas berkreasi, namun televisi juga dapat mengakibatkan berbagai gangguan, baik dari gangguan fisik dan kesehatan, hingga gangguan mental dan kognisi anak.

    Tak lupa Eko juga memberikan beberapa tips kepada orangtua, seperti, (1) jangan menaruh TV di kamar anak, (2) melakukan pendampingan ketika menonton, (3) memilah dan memilih apa yang layak ditonton anak, serta (4) menambah lebih banyak alternatif kegiatan bagi anak selain menonton TV.

    Satu tips yang menarik dan perlu diingat oleh orangtua adalah, jangan egois, karena anak meniru orangtuanya. Jika orangtua melarang anak menonton, namun ternyata orangtuanya menonton, itu sama saja memberi contoh buruk bagi anak. Di akhir materi, ia mengingatkan peserta seminar, terutama para orangtua, jangan sampai anak lebih memilih TV sebagai sahabat, ketimbang orangtuanya sendiri.

    Sesi kedua yang dijadwalkan akan dibawakan oleh Arist Merdeka Sirait (ketua Komnas Perlindungan Anak) dan Titin Rosmasari (Pemimpin Redaksi Trans 7) mendadak berubah. Arist tidak dapat hadir, sehingga waktu diserahkan sepenuhnya kepada Titin sebagai pembicara tunggal.

    Dalam hampir seluruh isi pembicaraannya, sayangnya Titin hanya berbicara mengenai program-program anak Trans 7 dan membandingkannya dengan program-program anak di stasiun TV lain.

    "Masih ada yang tertarik untuk bekerja di stasiun televisi?" tanya Titin di akhir pembicaraannya. Menurutnya akan sangat baik jika banyak orang yang terjun langsung di industri pertelevisian, sebab hanya dengan cara itulah kita dapat membuat suatu perubahan.

    Menanggapi "tawaran" Titin itu, para seniman kemudian ikut bicara. Dwi Rejeki yang selama ini dikenal sebagai penyair misalnya,mengingatkan bahwa mungkin saja para seniman yang selama ini banyak menghasilkan cerita pendek layak ikut "campur tangan" membidani acara-acara siap tayang di televisi. Tentu saja dalam membidani itu tidak saja menyangkut acara-acara khusus untuk anak, tetapi juga acara untuk dewasa agar tidak melulu didominasi warna kekerasan.

    Landung, penyair dan cerpenis dari Yogyakarta juga mengingatkan acara hiburan (musik) untuk anak-anak di teve membawa keanehan. Bisa disebut begitu karena musik yang disajikan justru musik untuk orang dewasa. Tetapi kenapa dinyanyikan oleh anak-anak? Jelas itu tidak mendidik.

    Belum lagi tayangan kartun untuk anak-anak namunisinya kebanyakan menyuarakan kehidupan orang dewasa. Dalam kaitan itulah, Landung berpikiran, andai para seniman dilibatkan dalam proses penciptakan tayangan untuk anak, mungkin kualitas acara untuk anak itu benatr-benar akan pas untuk anak. Kapankah pihak teve melibatkan para seniman untuk menghasilkan tontonan yang lebih berwarna dan berkualitas?

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 11 Agustus 2012

Sastra: Pustaka Bentara Ulas Novel "65"

-- Cokorda Yudhistira

DENPASAR, KOMPAS.com -- Sejarah tahun 1965-1966 meninggalkan jejak kuat, bahkan peristiwanya menjadi bagian tidak terlupakan bagi sebagian orang. Sebagai salah satu upaya merekonstruksi jejak sejarah itu, Bentara Budaya Bali menghadirkan Pustaka Bentara yang akan mengulas 65, novel karya Gitanyali, di Bentara Budaya Bali, Gianyar, Bali, Sabtu (11/8/2012) sore ini.

65 adalah lanjutan Blues Merbabu (2011), novel karya Gitanyali. Dalam 65 dikisahkan memori dan perjalanan kehidupan anak seorang eks-PKI, mulai dari sebuah kota kecil di Jawa Tengah, Jakarta, sampai ke Bangkok, Hongkong, dan Glasgow.

Bentara Budaya Bali akan menghadirkan sang penulis Gitanyali dan Degung Santikarma sebagai pengulas. Gitanyali adalah nama pena dari Bre Redana, wartawan Harian Kompas dan penulis sejumlah buku serta esai. Adapun Degung Santikarma adalah pemerhati sosial budaya dan politik yang juga seorang antropolog dan pegiat lembaga swadaya masyarakat.

Selain mengulas novel Gitanyali itu, acara juga akan diisi dengan pemutaran film dokumenter berjudul Tumbuh Dalam Badai, yang disutradarai IGP Wiranegara, dan pembacaan nukilan novel karya Jais Dargawijaya.

Sumber: Oase, Kompas.com, Sabtu, 11 Agustus 2012