Thursday, May 31, 2012

Nasionalisme: Pengabaian Pendidikan Pancasila Berdampak Buruk

-- Ester Lince Napitupulu & Nasru Alam Aziz

JAKARTA, KOMPAS.com -- Ketua Ikatan Guru Civic Indonesia (IGCI) Retno Listyarti mengingatkan, bangsa ini jangan sampai membiarkan eksistensi Pancasila diragukan sebagai falsafah hidup dan cermin impian seluruh bangsa tentang pedoman hidup berbangsa dan bernegara yang diidealkan bersama.

Karena itu, kata dia, pendidikan Pancasila harus diyakini dapat menjadi penanaman nilai-nilai hidup bersama dalam keberagaman. Menurut Retno, tereduksinya pendidikan Pancasila, telah membawa dampak buruk terhadap pemahaman guru dan siswa tentang bagaimana hidup dalam masyarakat multikulural.

"Bahkan, istilah multikultural ini asing bagi siwa karena minim ditemukan dalam pembelajaran di sekolah. Padahal Indonesia merupakan negara multikultural yang butuh membangun kebersamaan dalam keberbedaan agar terus harmonis sebagai suatu bangsa," tutur Retno.

Kurikulum pendidikan kewarganegaran dan sejarah saat ini minim membahas multikulturalisme. Ini sebagai dampak materi Pancasila yang tak lagi menonjol dalam kurikulum. Guru-guru yang masih menjadikan buku teks sebagai bahan ajar juga tidak mengembangkan ruang untuk mengajarkan dan mendiskusikan soal multikultural. Para penulis buku teks tak mencantumkan karena mengikuti acuan dalam kurikulum.

Oleh karena itu, harapan agar Pendidikan Pancasila kembali diperkuat dan utuh dalam kurikulum pendidikan di jenjang pendidikan dasar hingga tinggi, kembali mencuat menyambut Hari Lahir Pancasila 1 Juni.

"Pendidikan Pancasila perlu direvitalisasi sebagai upaya fundamental dalam membangun dan membelajarkan nilai-nilai dasar ideologis Pancasila pada siswa di sekolah," kata Retno.

Kajian pendidikan Pancasila dilakukan Sekolah Tanpa Batas yang didukung Koalisi Pendidikan dan IGCI, menemukan fakta materi Pancasila dalam pendidikan kewarganegraan minim dan hanya sebagai tempelan.

Bambang Wisudo dari Sekolah Tanpa Batas memaparkan, di tingkat SD misalnya, materi Pancasila dalam pendidikan kewarganeraan diajarkan di kelas 2 dan 6 dengan porsi kecil. Di SMP diajarkan di kelas VIII, sedangkan di SMA di kelas XII.

Materi pendidikan kewarganegaraan yang disajikan di sekolah dinilai memberatkan. Di jenjang SD sudah dikenalkan soal ketatanegaraan. Padahal, semestinya di jenjang inilah pendidikan Pancasila semestinya untuk membangun karakter anak bangsa.

Adapun di jenjang SMP dan SMA materi pendidikan kewarganegaraan seakan-akan hendak menjadikan siswa ahli tata negara. Semestinya di jenjang ini, siswa diajarkan untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab, aktif, dan kritis menyikapi situasi sosial dan kewarganegaraan. 

Sumber: Edukasi, Kompas.com, Kamis, 31 Mei 2012

Kebijakan Pendidikan: Hapus Rekayasa Lahirnya Pancasila Dalam Kurikulum

-- Indra Akuntono & Latief

JAKARTA, KOMPAS.com - Isi kurikulum mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dan Sejarah yang mengingkari dan mereduksi peran Bung Karno sebagai pencetus dan penggali Pancasila harus segera dihapus dari kurikulum pelajaran tersebut.

Selama hampir 40 tahun adalah formula rekayasa. Tujuannya jelas, mereduksi peran Soekarno sebagai penggali Pancasila. Terjadi kebohongan publik selama puluhan tahun atas sejarah lahirnya Pancasila.
-- Retno Listyarti

Demikian dikatakan ketua Ikatan Guru Civic Indonesia (IGCI), Retno Listyarti, dalam sebuah diskusi bertajuk Revitalisasi Pendidikan Pancasila: Memperkokoh Keberagaman Menuju Keadilan, yang digelar Kamis (31/5/2012), di Kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta.

"Ini penting, dan perlu tindakan nyata dari pemangku kepentingan agar tidak menyesatkan peserta didik atau generasi muda Indonesia," kata Retno.

Ia menjelaskan, konseptualisasi Pancasila melibatkan partisipasi berbagai unsur dan golongan. Meski demikian, tak dapat dipungkiri adanya para individu yang memainkan peranan penting dalam menggali pemikiran dasar falsafah Pancasila dengan mensintesiskan antara Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme.

Salah satu individu tersebut adalah Soekarno. Soekarno adalah orang pertama yang mengkonsepkan dasar negara dalam konteks falsafah atau pandangan dunia secara sistematis dan koheren. Namun demikian, Retno menilai, di masa Orde Baru (Orba) ada upaya-upaya mereduksi peran Soekarno sebagai pencetus dan penggali Pancasila.

"Yang masuk dalam kurikulum pendidikan nasional selama hampir 40 tahun adalah formula rekayasa. Tujuannya jelas, untuk mereduksi peran Soekarno sebagai penggali Pancasila. Terjadi kebohongan publik selama puluhan tahun atas sejarah lahirnya Pancasila," tutur Retno.

Dia melanjutkan, pada era Orba telah terdapat tiga kesalahan dalam memandang kelima prinsip Pancasila. Pertama, membuat Pancasila sebagai keramat dan sakti. Kedua, membuat Pancasila bagian dari simbol eksekutif penguasa. Ketiga, mendukung Pancasila dengan ancaman kekerasan.

"Sejak reformasi berhembus, banyak generasi muda salah sangka mengenai relevansi Pancasila dengan masa kini dan mendatang. Eksistensi Pancasila diragukan sebagai falsafah hidup dan cermin impian bersama seluruh bangsa tentang pedoman hidup berbangsa dan bernegara yang diidealkan bersama," tegasnya.

Seperti diketahui, peringatan lahirnya Pancasila setiap 1 Juni telah dilarang sejak dekade 1970-an. Peringatakan yang kerap diperingati justru Hari Kesaktian Pancasila pada setiap 1 Oktober.

Sumber: Edukasi, Kompas.com, Kamis, 31 Mei 2012

Kebijakan Pendidikan: Pendidikan Pancasila Makin Termarjinalkan

-- Indra Akuntono & Latief

JAKARTA, KOMPAS.com — Pendidikan kewarganegaraan sangat rentan dimanipulasi oleh kekuatan penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Hal itu diungkapkan aktivis Sekolah Tanpa Batas, Bambang Wisudo, pada diskusi Revitalisasi Pendidikan Pancasila: Memperkokoh Keberagaman Menuju Keadilan, Kamis (31/5/2012), di Kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta.

Kewarganegaraan dari waktu ke waktu yang lebih merefleksikan kemauan dan kepentingan pihak berkuasa.
-- Bambang Wisudo

"Kerawanan itu terlihat dengan jelas dari perubahan kebijakan pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dari waktu ke waktu yang lebih merefleksikan kemauan dan kepentingan pihak berkuasa," kata Bambang di tengah-tengah diskusi.

Dia menjelaskan, dengan terkonsolidasinya kekuatan Orde Baru, kepentingan dan tafsir kekuasaan atas Pancasila menghegemoni pendidikan kewarganegaraan yang kemudian mengubahnya dengan nama Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Mata pelajaran tersebut baru ditinjau kembali setelah berlangsung hampir 20 tahun lamanya.

Perubahan itu terjadi dalam kurikulum 1994 dengan mengintegrasikan pendidikan Pancasila dan pendidikan kewarganegaraan di bawah mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Setelah Orde Baru, kata dia, pendidikan Pancasila kehilangan gaungnya. Bahkan, pada 2004, kata Pancasila dihilangkan dari mata pelajaran tersebut sehingga menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).

"Perubahan itu tidak mengubah signifikan karakter pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan yang bias kekuasaan, menonjolkan tafsir rezim yang berkuasa, tidak menarik, dan formalistik," ujarnya.

Bambang mengatakan, penghilangan kata Pancasila merupakan tanda semakin termarjinalkannya pendidikan Pancasila di bangku sekolah ataupun perguruan tinggi. Lebih jauh ia menilai, saat ini jamak ditemui siswa SD ataupun mahasiswa tidak hapal, apalagi memahami pengertian yang terkandung dalam Pancasila.

"Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara harusnya tidak layak dihilangkan," ungkapnya.

Adapun berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22 Tahun 2006 tentang standar isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah, mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan diberikan sebagai mata pelajaran tersendiri sejak kelas IV SD sampai dengan kelas XII di tingkat menengah sebanyak dua jam pelajaran dalam seminggu.

Sumber: Edukasi, Kompas.com, Kamis, 31 Mei 2012

Pelajaran Sastra, Kuncinya Kualitas Guru

-- Lusia Kus Anna
Kompas.com - Keberhasilan pembelajaran sastra di sekolah sangat bergantung kepada kualitas guru dalam mengajarkan sastra secara baik kepada peserta didiknya. Tidak hanya mengajarkan sastra secara teoritis guru juga dituntut mempraktikkan cara dan teknik bersastra secara baik.

"Kurikulum di sekolah saat ini sudah bertumpu pada terbangunnya keahlian bersastra dari peserta didik. Artinya, kurikulum kita sudah mendukung tercapainya aspek aksiologi pembelajaran sastra," kata ketua program studi pendidikan bahasa dan sastra Indonesia (PBSI) IKIP PGRI Semarang, Nanik Setyawati, di Semarang, Rabu (30/5).

Dalam pembelajaran sastra, guru tidak mungkin hanya mengajarkan sastra dengan menyampaikan ceramah teori di hadapan siswa, namun mempraktikkan kepada siswa bagaimana cara dan teknik untuk bersastra secara baik.
    
"Banyak guru yang masih mengajarkan sastra dengan membacakan teori bersastra, misalnya melakukan pembelajaran puisi dengan membacakan teori-teori berpuisi, atau mengajarkan teori menulis cerita pendek," katanya.
    
Kurikulum pembelajaran sastra menuntut munculnya siswa yang mampu bersastra, bukan siswa yang menghapal teori-teori sastra sehingga guru sastra tak boleh lagi sekadar mengajarkan materi secara teori.
    
"Semakin bagus kualitas guru dalam menyampaikan pembelajaran sastra, semakin bagus pula kemampuan siswa dalam bersastra. Kuncinya, pada kualitas guru," kata Nanik.
    
Berkaitan dengan rendahnya kualitas guru dalam pembelajaran sastra, ia mengatakan sebenarnya tidak bisa disalahkan bahwa guru kurang kreatif dalam mengajarkan sastra, namun faktor penyiapan dari perguruan tinggi turut memengaruhi.
    
"Artinya, perguruan tinggi yang mendidik dan mencetak calon-calon guru harus mampu memberikan modal kemampuan bersastra yang mumpuni, sebelum mereka diterjunkan menjadi guru yang mengajar di sekolah," katanya.
    
Ia mencontohkan sistem pembelajaran sastra yang diterapkan di IKIP PGRI Semarang sebagai lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) yang mengajarkan mahasiswa untuk terlibat langsung dalam pembuatan karya sastra.
    
"Contohnya dalam mata kuliah drama, mahasiswa tidak hanya dibekali bagaimana cara bermain drama, namun diajari tentang manajemen pertunjukan. Selain bisa bermain drama, mereka juga mampu menyiapkan pertunjukan drama," kata Nanik. (ANT)

Sumber: Edukasi, Kompas.com, Kamis, 31 Mei 2012

Pendidikan Hindarkan Konflik Antarperadaban

-- Lusia Kus Anna

London, Kompas - Pendidikan merupakan alat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan ekonomi dan sosial. Lebih dari itu, pendidikan juga bisa berperan untuk menghindari benturan antarperadaban dan membangun peradaban baru.

”Sistem pendidikan yang saling terhubung dengan dunia dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan pemahaman antarbudaya,” kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh. Ia mengatakan hal itu seusai penandatanganan memorandum saling pengertian untuk kerja sama bidang pendidikan antara Indonesia dan Inggris di London, Senin (28/5) siang, seperti dilaporkan wartawan Kompas, Zaid Wahyudi.

Kerja sama bilateral ini akan mendasari pertukaran sumber daya manusia pendidikan, baik dosen maupun mahasiswa. Ini tidak hanya membuat terjadinya pertukaran pengetahuan, tetapi juga sarana pengembangan pendidikan multikultur kedua negara yang dapat memicu perubahan sosial, budaya, dan nilai.

Menteri Negara untuk Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan, yang mewakili Departemen Bisnis, Inovasi dan Keterampilan Inggris, David Willetts sepakat dengan hal itu. Pengalaman mahasiswa ataupun dosen Indonesia selama belajar dan bekerja di Inggris diharapkan dapat menumbuhkan saling pemahaman antarbudaya.

Lebih sedikit

Saat ini ada 1.355 mahasiswa serta 34 dosen dan peneliti Indonesia yang sedang belajar dan bekerja di Inggris. Jumlah itu jauh lebih sedikit dibandingkan mahasiswa Indonesia yang belajar di negara-negara lain, seperti Jepang dan Australia. Demikian pula jika dibandingkan dengan mahasiswa-mahasiswa negara lain yang ada di Inggris.

Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemdikbud Harris Iskandar dalam joint working group antara delegasi Indonesia dan Inggris mengatakan, pemerintah akan memperluas akses pendidikan tinggi bagi seluruh rakyat, khususnya bagi mereka yang tidak mampu.

Selain melalui program beasiswa, upaya itu juga dilakukan dengan peningkatan kapasitas politeknik dan universitas/institut negeri masing-masing yang diharapkan mampu menampung 90.000 mahasiswa pada tahun 2015. Karena itu, pemerimtah membangun 14 politeknik baru dan 14 universitas/institut baru pada 2010-2015. Dalam kurun waktu sama, jumlah dosen diharapkan mencapai 54.000 orang dan 15 persen di antaranya berpendidikan doktor.

Sumber: Kompas, Kamis, 31 Mei 2012

Wednesday, May 30, 2012

RSBI Harus Dihapus

-- Ester Lince Napitupulu & Thomas Pudjo Widijanto

JAKARTA, KOMPAS.com — Keberadaan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI/SBI) yang didasarkan adanya Pasal 50 Ayat (3) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional merupakan bentuk kesalahan dan kekeliruan pemerintah dalam menjabarkan makna amanat Pembukaan UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Secara norma dan implementasi, RSBI/SBI dinilai bermasalah. Oleh karena itu, RSBI/SBI harus dihapuskan. Sebab, kehadiran RSBI/SBI telah mengakibatkan kerugian konstitusional bagi masyarakat.

Demikian kesimpulan perkara Nomor 5/PUU-X/2012 yang disampaikan kuasa hukum Tim Advokasi "Anti Komersialisasi Pendidikan". Kesimpulan pihak pemohon ini diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi. Seperti diketahui, Pasal 50 Ayat (3) UU Sisdiknas digugat masyarakat. Pasal ini berbunyi "Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional".

Wahyu Wagiman, kuasa hukum pemohon, di Jakarta, Rabu (30/5/2012), mengatakan, keberadaan RSBI/SBI yang mendasarkan seleksi pada intelektual dan keuangan calon peserta didik adalah bentuk tindakan penggolongan atau pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara berdasarkan status sosial dan status ekonomi. "Keberadaan RSBI/SBI merupakan bentuk kebijakan diskriminatif dari negara yang dilegalkan melalui undang-undang. Hal tersebut bertentangan dengan UUD 1945, UU HAM, bahkan UU Sisdiknas sendiri," kata Wahyu.

Selain itu juga bertentangan dengan Kovenan Internasional Hak Sipol, Kovenan Internasional Hak Ekosob serta Konvensi UNESCO menentang Diskriminasi dalam Pendidikan (1960).  Kebijakan diskriminatif tersebut selanjutnya dilakukan dengan menggelontorkan dana dalam jumlah yang signifikan kepada sekolah-sekolah yang sesungguhnya sudah bagus ketimbang mengalokasikan dana secara khusus ke sekolah-sekolah terbelakang.

Ini berarti semakin tinggi standar kualitas suatu sekolah, semakin besar pula peluang sekolah itu mendapatkan privelese dana khusus dari pemerintah ataupun dari masyarakat, serta semakin tinggi pula kesempatannya untuk menjadi sekolah yang lebih bermutu lagi. Sebaliknya, sekolah-sekolah non-RSBI/SBI justru semakin tertinggal karena tidak mendapat dukungan dana yang signifikan dari pemerintah dan ada larangan melakukan pungutan.

Bukankah sekolah-sekolah terbelakang seharusnya mendapatkan dana khusus dalam jumlah besar agar dapat mengejar ketertinggalan? Ini artinya pendidikan bermutu, disadari atau tidak, hanya dapat dinikmati oleh sekelompok kecil warga negara tertentu.

Wahyu mengatakan, pendidikan sudah ditetapkan oleh konstitusi dan konsensus nasional sebagai salah satu jalur pemerataan, peningkatan akal budi warga kita, jadi menerapkan asas egaliter dalam pelaksanaan pendidikan. Adapun melalui aneka keistimewaan yang ditopang oleh aneka jenis pendanaan yang sudah mulai dipertanyakan efektivitas dan penggunaannya, RSBI/SBI dengan sengaja menimbulkan kekastaan di kalangan warga yang justru mau dihapus oleh revolusi kemerdekaan nasional.

"Kami berharap Mahkamah Konstitusi dapat obyektif melihat persoalan RSBI/SBI sehingga dengan alasan yang tak terbantahkan lagi dapat segera membatalkan Pasal 50 Ayat (3) UU Sisdiknas," papar Wahyu.

Sumber: Edukasi, Kompas.com, Rabu, 30 Mei 2012

Monday, May 28, 2012

In Memoriam: Magma Sastra di Tangan Prof. A. Teeuw

-- Rama Prabu

Prof. A. Teeuw (istimewa)


PROF. A. Teeuw, tak banyak laman maya berbahasa Indonesia bercerita tentang hidup dan kehidupannya. Wikipedia pun hanya menulis Profesor Andries A. Teeuw  lahir di Gorinchem, Belanda, 12 Agustus 1921 adalah pakar sastra dan budaya Indonesia asal Belanda. Selebihnya hanya menjelaskan Profesor Teeuw Award dimana Profesor Teeuw Foundation diluncurkan pada tahun 1991 sebagai warisan Program Studi Profesor Teeuw di Indonesia. Program ini memainkan peran penting dalam kerjasama peneliti Indonesia dan Belanda di bidang Studi Bahasa Indonesia dari tahun 1975 sampai tahun 1991. Inisiator dari Profesor Teeuw Foundation bertujuan menghormati Profesor Teeuw atas karyanya.

Setiap dua tahun sekali, seorang pemenang Indonesia atau Belanda, atau orang yang tinggal di Indonesia atau Belanda, pada gilirannya akan menerima Penghargaan Profesor Teeuw, atas kontribusinya-nya terhadap hubungan budaya Indonesia-Belanda dalam arti lebih luas. Penghargaan ini bisa di bidang sastra, musik, tari, arsitektur, sejarah, lingkungan, hukum dll. Penghargaan ini diberikan sebagai hadiah bagi pemenang untuk karyanya di bidang hubungan budaya Indonesia-Belanda dan sebagai rangsangan untuk melanjutkan pekerjaan tersebut. Beberapa peraih diantaranya Peraih Profesor Teeuw Award pertama kali adalah tokoh penerbit dan wartawan Goenawan Mohamad pada tahun 1992. Peraih Penghargaan setelah Goenawan Mohamad adalah: penulis dan peneliti dari Leiden, Dr Harry Poeze, penulis, penyair dan filsuf Y.B. Mangunwijaya dan Mrs Ellen Derksen, penyelenggara Pasar Malam Besar di Den Haag.  Pada tahun 2000, antropolog dan wartawan Indonesia Mulyawan Karim memenangkan Award, yang kemudian diberikan sebagai hibah perjalanan yang digunakan Mulyawan untuk melakukan penelitian di Belanda. Pada tahun 2002, F.X. Suhardi Djojoprasetyo meraih penghargaan sebagai pengakuan atas kegiatannya sebagai guru di bidang tari dan gamelan Jawa, yang telah ia lakukan di Belanda sejak tahun 1975.

Pada tahun 2004, Profesor Teeuw Foundation memberikan penghargaan kepada Ajip Rosidi, yang selama lebih dari 40 tahun, telah memberikan kontribusi yang berharga bagi studi, publikasi, dokumentasi, dan promosi sastra Indonesia dengan cara yang lebih luas. Ia sangat dihormati di dunia internasional, baik oleh bangsa Barat maupun bangsa Timur termasuk Jepang). Jika memungkinkan, ia juga mencari, mempraktekkan dan mempromosikan kegiatannya dengan bekerjasama dengan Belanda dan lembaga-lembaga mereka.

Pada tahun 2007, Profesor Teeuw Award digelar di dua tempat, Belanda maupun Indonesia. Kali ini penghargaan diberikan kepada pemenang yang telah memberi kontribusi pada hubungan budaya Indonesia-Belanda di bidang arsitektur dan studi arsitektur. Di Belanda, Profesor Teeuw Award 2007 diberikan kepada dua pemenang yakni arsitek Cor Passchier, dan sejarawan dan antropolog Freek Colombijn. Di Indonesia, tiga pemenang yang terpilih untuk menerima penghargaan adalah Han Awal, Wastu Pragantha Zhong dan Soedarmadji JH Damai. Hanya itu yang dapat dibagi mereka pada publik.

Tapi hal baiknya dalah proses pembaharuan (up date) sangat cepat, pada hari itu juga sudah ada keterangan  “Pada tanggal 18 Mei 2012 Prof. Teeuw meninggal dunia, dan jenazahnya dikremasi di Leiden tujuh hari kemudian”.  Informasi yang saya dapatkan sendiri didapat dari laman Facebook yang berawal dari status bung Zaim Rofiqi seorang penulis, dan setelah tanya langsung di paman google, twitter goenawan mohamad @gm_gm berkicau bahwa jenazah Prof. Teeuw dibaringkan di Uitvaartcentrum ‘t Leidse Huys, Gitstraat 1, Leiden, 23 Mei, jam 18.30 – 20.00 dan akan ada upacara penghormatan buat Prof. Teeuw, Jum’at 25 Mei, pk 11.00 di Marekerk, Lange Mare 48, Leiden. Yakin sudah bahwa pejuang sastra Indonesia, seorang indonesianis yang bertahun-tahun meneliti dan melakukan kritik sastra, memberikan curahan ilmunya bagi perkembangan sastra negeri ini telah berpulang.

Sebagai kritikus sastra A Teeuw (Belanda) tidak sendirian, ada deret nama seperti Claudine Salmon dari Perancis yang banyak mengkaji sastra Indonesia Tionghoa, atau Harry Aveling dan Keith Foulcher dari Australia. Selain itu, ada tokoh-tokoh lain semacam Henri Chambert-Loir, VI Braginsky, E Ulrich Kratz, Doris Jedamsky, Pamela Allen. Ada juga nama Ian Campbell (Australia), Berthold Damshduser (Jerman), serta beberapa Indonesianis lainnya, entah itu dari Rusia, Cina, maupun Amerika, dan A Teeuw sendiri, sastra Indonesia banyak dikenal di percaturan sastra Internasional. Tanpa jasa mereka mungkin sastra Indonesia tidak banyak dikenal di dunia. Mereka semua adalah para kritikus sastra Indonesia yang berasal dari negara asing. Walupun demikian, mereka semua sangat paham dengan sastra Indonesia. Begitu juga dengan A Teeuw, salah seorang Indonesianis yang sudah puluhan tahun bergelut dengan dunia sastra Indonesia.

Selain sebagai kritikus sastra, Teeuw juga seorang pengajar,  UI dan UGM salah duanya yang pernah mencatat namanya.  Tercatat – sebagaimana pengakuan beliau sendiri dalam kata pengantarnya dalam buku Sastra dan Ilmu Sastra (1984) – beliau sebagai guru besar pengunjung di Yogyakarta. Lalu selama tiga tahun selaku pengajar utama beliau memberikan kuliah teori sastra pada Penataran Tenaga Ahli Kesusastraan Jawa dan Nusantara di Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM (1979-1981). Pada tahun 1981 diberikan pula rangkaian seminar di Fakultas Sastra UI di Jakarta mengenai pokok yang sama. Dan juga sejak mulai dilaksanakan program S-2 untuk Sastra di Fakultas Sastra UGM (tahun 1981) setiap tahun Teeuw diminta menyelenggarakan kuliah teori sastra. Tak ketinggalan pula beliau juga sejak 1955 sebagai guru besar Bahasa dan Kesusastraan Melayu dan Indonesia di Universitas Leiden, Belanda. Di beberapa universitas beliau mendapatkan beberapa gelar, di antaranya meraih Doktor dari Universitas Utrecht (1946), menerima gelar Dr. Honoris Causa dari Universitas Indonesia (1975). Di luar itu, beliau juga pernah aktif di berbagai lembaga, seperti Ketua Departemen Bahasa dan Kebudayaan Universitas Leiden (1968-1986), anggota Ilmu Pengetahuan Belanda (1971-), dan ketua Komite Belanda untuk Kerja Sama Indonesia-Belanda (1970-). Kemudian juga pernah mengadakan penelitian mengenai sastra Indonesia di Jakarta (1945-1947) dan di Yogyakarta (1977-1978). Serta pernah pula menjadi Lektor Sastra Melayu di Fakultas Sastra UI (1950-1951) dan guru besar tamu di Universitas Michigan, AS (1962-1963).

Labolatorium Sastra Teeuw

Profesor Doktor Andreas Teeuw begitu nama lengkapnya, jejak langkah di dunia literasi khusus sastra sudah tidak asing baik bagi akademisi, penggiat, pemerhati dan kalangan pemerintah Indonesia. Banyak karya yang telah dilahirkan dari rahim pengetahuannya baik berbahasa Indonesia, Inggris, ataupun berbahasa Belanda, sedikit saya tuliskan beberapa hasil buah budinya seperti Vooltooid voorspiel: Indonesische Literatuur tussen twee wereldoorlogen (1950), Hariwansa (1950), Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru I (1952), Dialectatlas van Lombok (1954),  Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru II (1955), A critical survey of studies on Malay and Bahasa Indonesia (1961), Modern Indonesian Literature I & II (Den Haag, 1967, 1979), Sastra Baru Indonesia I (1978), Tergantung pada Kata (1980), Kesusastraan Baru Indonesia (1980), Khazanah Sastra Indonesia (1982), Membaca dan Menilai Sastra (1983), Sastra dan Ilmu Sastra (1984 dan 1988), bersama Toeti Heraty, beliau menjadi editor buku Manifestasi Puisi Indonesia-Belanda (dwibahasa Indonesia dan Belanda; br, 1986), Sastra Indonesia Modern II (1989), Tergantung pada Kata (1990), Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan (1994), Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer (1997), Teori Sastra dan Penelitian Sastra, Yogyakarta: Makalah Proyek Peningkatan Pengembangan Perguruan Tinggi UGM, dan “Sastra Indonesia, Pribumisasi, dan Novel Sastra” dalam Among Kurnia Ebo (Ed. Sastra di Titik Nadir, Bunga Rampai Teori Sastra Kontemporer (2003). Dan masih banyak karya tulis lainnya, saya berharap manuskrip-manuskrip yang kini belum terdokumentasi dalam format buku segera dapat diluncurkan, khusus menandai dan menghormati jasa-jasa beliau.

Sapardi Djoko Damono  pada medio 1983 menuliskan resensinya mengenai buku Membaca Dan Menilai Sastra karya Teeuw, dia menyimpulkan bahwa kalau kita bandingkan buku ini dengan Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Modern yang terbit pada tahun 1952 dan 1955.  Di samping menunjukkan perkembangan pemikiran yang terjadi dalam diri profesor ini, bukunya yang terbaru ini juga menunjukkan sesuatu yang tetap ada pada Teeuw: minatnya yang besar terhadap sastra Indonesia. Dalam Pokok dan Tokoh, yang kemudian dikembangkan dan diterjemahkan menjadi Modern Indonesian Literature (1967), Teeuw memusatkan perhatiannya pada pelbagai masalah dan sastrawan di samping membicarakan beberapa karya sastra secara sekilas-sekilas. Pembicaraan tentang karya sastra boleh dikatakan selalu tidak terlepas dari pembicaraan mengenai sastrawan. Dalam membicarakan karya-karya Pramoedya Ananta Toer, misalnya, Teeuw secara panjang lebar menyertakan riwayat hidup novelis itu seolah-olah makna yang didapat pembaca dari buku-buku Pram tidak bisa dilepaskan dari riwayat hidup si pengarang. Pendekatan terhadap sastra semacam ini jelas tidak berlaku lagi bagi Teeuw yang menulis. Tergantung pada Kata (1980) dan Membaca dan Menilai Sastra. Keahlian dan perhatian Teeuw terhadap filologi dan linguistik jelas merupakan sumbangan penting bagi perkembangan pemikirannya, dan tentunya ini sangat berarti bagi sejarah sastra Indonesia.

Saya sepakat dengan yang disimpulkan Sapardi Djoko Damono  bahwa  Yang dikerjakan Teeuw dalam kebanyakan karangannya ini sebenarnya “sederhana”: membicarakan berbagai pendekatan, teori, dan pandangan dalam ilmu sastra dalam kaitannya dengan sastra Indonesia klasik dan modern. Namun justru yang “sederhana” itu yang menuntut banyak dari penulisnya: Teeuw harus membaca luas tentang linguistik dan ilmu sastra sebab banyak pemikiran baru di kedua bidang itu diterbitkan di mana-mana. Salah satu contoh saja, dalam karangan “Tentang Penghargaan dan Penafsiran Hikayat Hang Tuah”, Teeuw membuat catatan mengenai perkembangan minat beberapa ahli dan pengamat Barat terhadap hasil sastra Melayu, terutama Hikayat Hang Tuah. Ternyata sudah sejak 1726 ada pengamat Barat, namanya Francois Valentijn, yang membuat catatan mengenai hikayat yang indah itu. Teeuw menjelaskan, ternyata banyak para ahli itu mengacaukan Hikayat Hang Tuah dengan Sejarah Melayu.

Namun yang terpenting dalam karangan Teeuw mengenai hikayat ini adalah ia, berbeda dengan kebanyakan sarjana Barat yang disebut-sebutnya, berpendirian bahwa Hikayat Hang Tuah adalah karya sastra. Karena itu harus diperlakukan sebagai karya sastra, bukan sebagai catatan sejarah atau yang lain. Pendirian ini sangat ditekankannya mengingat banyaknya penelitian yang menganggap hikayat tersebut sebagai sumber sejarah. “Multatuli dan Puisi Melayu” merupakan salah satu karangan Teeuw yang sangat menarik. Dalam karangan itu ia berusaha meyakinkan kita bahwa “Multatuli berhak mendapat tempat yang layak dalam sejarah sastra Indonesia sebaai pelopor puisi Indonesia modern.

Lepas dari benar tidaknya pandangan tersebut, karangan itu sendiri menarik karena menyuguhkan pendekatan dan cara-cara pembuktian yang njlimet. Empat karangan lain dalam buku ini merupakan usaha Teeuw memperkenalkan pelbagai pendekatan dan teori sastra mutakhir karya sastra Indonesia modern, terutama puisi, dijadikannya contoh atau “bahan” dalam “laboratorium”nya. Sekali lagi perlu ditekankan bahwa karangan-karangan tersebut khusus bagi kalangan yang memiliki minat sungguh-sungguh terhadap sastra, terutama kalangan akademik.

Dengan demikian kumpulan karangan ini menjadi penting bagi kalangan tersebut, sebab banyak di antara yang ingin maju mengalami hambatan bahasa. Dan Teeuw berusaha menjelaskan pelbagai pendekatan dan teori tersebut dalam bahasa Indonesia yang lancar dan cukup luwes, sekalipun di sana sini ia membiarkan kutipannya dalam bahasa asing. Dan itu membenarkan pernyataannya bahwa Karya sastra tidak lahir dalam kekosongan budaya” Dengan kerja keras dan jasanya serta beberapa karyanya itulah sastra Indonesia dikenal di kancah Internasional.  Untuk membuktikan ucapanya Prof. A.Teeuw (1994) dalam bukunya yang berjudul Indonesia, Antara Kelisanan dan Keberaksaraan mengungkapkan bahwa secara umum masyarakat Indonesia menganut tradisi lisan. Kalau ada dokumen tertulis, masyarakat Indonesia lebih memilih dokumen tersebut dibacakan daripada membaca dokumen tersebut. Jika kita lihat dari sisi sejarah, maka bukti-bukti yang ada semakin memaksa kita untuk sependapat dengan Prof. Teeuw.

Bukti-bukti sejarah dalam bentuk tertulis tidak banyak ditemui di tanah air kita ini. Ini sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan negara-negara Eropa dan Cina.
Sejarah di negara kita ini banyak dituturkan secara lisan melalui pencerita (story teller) yang semakin lama semakin kabur, apakah itu benar-benar terjadi atau hanya legenda belaka? Bahkan cerita mengenai tokoh-tokoh dalam sejarah pun banyak yang sudah terkontaminasi oleh cerita-cerita legenda yang membuat kita sulit untuk menarik garis pemisah.

Peta Kelisanan dan Keberaksaraan Indonesia Versi Teeuw

Pada awal adab ke-20 seorang cendekiawan Sunda, Memed Sastrahadiprawira menyatakan, “Bahasa adalah simbol yang paling jelas dan lengkap untuk membedakan satu bangsa dari bangsa lain. Kalau sifat dan rupa-rupa bahasa akan hilang, perbedaan ciri-ciri kebangsaan juga akan hilang”. Dan pikiran ini masih dianut oleh orang-orang Indonesia. Dan apakah anda masih ingat pendapat Teeuw, yang mengatakan bahasa Indonesia sendiri merupakan hasil dan sekaligus bukti yang paling menonjol tentang proses transformasi kebudayaan dari tradisi kemodernan. Dan dalam komunikasi modern, yaitu tertulis, pemakai bahasa ingin atau harus mempergunakan sarana yang dalam kebudayaan lisan sama sekali tidak ada, tetapi untuk pengajaran merupakan syarat mutlak, yaitu kamus. Walter Ong telah membuktikan bahwa kamus, seperti juga ensiklopedia, indeks, dan sarana-sarana pengajaran dan penelitian lain-lain semuanya merupakan gejala kebudayaan literate yang khas. (A. Teeuw, Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan, Pustakan Jaya, 1994)

Hal ini juga di rumuskan oleh Teeuw, bahwa selalu ada hubungan langsung antara kelisanan dalam kebudayaan tradisional dengan rasa kolektivitasnya yang kuat, di mana anggota-anggota masyarakat bersama-sama mempunyai informasi yang relevan untuk kelangsungan hidupnya, baik sebagai individu, maupun sebagai masyarakat seluruhnya. Dalam masyarakat semacam ini tukang cerita mempunyai peran yang maha penting, sebab cerita yang dipentaskan tersimpan informasi dan sistem nilai yang langsung relevan untuk masyarakat yang bersangkutan. Dalam banyak masyarakat niraksara “sastra” lisan mempunyai fungsi sama, walaupun sudah tentu ciptaan lisan yang mempunyai fungsi sebagai wadah hikmat tradisional menunjukkan ragam yang berbeda-beda. Namun hampir selalu penggunaan formula dan unsur formulaik dalam ciptaan atau sastra lisan itu sangat menonjol. Ketersediaan formula tidak hanya merupakan syarat mutlak sebagai penyair untuk mengungkapkannya mencipta karyanya secara spontan, setiap kali dia diundang untuk perform; sebab tanpa adanya stock in trade, modal konvensi kebahasaan itu penciptaannya, apalagi dalam mantra yang sangat ketat tuntutannya, mustahil berhasil.

Dan saya juga sepakat dengan Teeuw, bahwa formula (kebahasan) tidak hanya merupakan modal kepenyairan seorang pembawa puisi atau penulis sastra lainnya. Beberapa penulis menunjukan persamaan atau kemiripan antara formula puisi lisan dengan bentuk, isi dan fungsi peribahasa dan ungkapan bahasa dalam masyarakat niraksara. Sweeney, berulang kali merujuk pada khazanah pepatah-petitih, peribahasa dan perumpamaan, bidalan, tamsil dan kata adat, yang dalam masyarakat Melayu dan Minangkabau tradisional demikian menonjol jumlah dan fungsinya. Dalam pepatah dan petitih itu tersimpan hikmah sebuah kebudayaan lisan; pengamanan hikmah dan ‘budi bahasa’ itu dipermudah, bahkan dimungkinkan oleh bentuk ungkapan yang khas, yang sering bersifat formulaik pula. Dengan kata Sweeney, “the wisdom of an oral cultuture is encapsulated in mnemonic patterns which must constantly be repeated if they are to survive…It is for this reason that the discourse of an oral culture is heavily dependent upon the use of relatively fixed utterances in stylized from, such as proverbs and other ‘sayings’” (hikah kebudayaan lisan terkandung dalam pola penghafal yang harus diulang-ulang terus-menerus agar dapat hidup langsung…maka itu wacana kebudayaan lisan sangat bergantung pada penggunaan ungkapan yang cakupan baku, dalam bentuk bergaya, seperti misalnya peribahasa dan kata adat lain). (A. Teeuw, Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan, Pustakan Jaya, 1994) lalu dimana apa yang bisa kita lakukan dengan kebahasaan kontemporer?

Karena ketika kita masuk pada kebudayaan cetakan, inilah yang memungkinkan perkembangan ilmu pengetahuan beserta teknologi canggih yang sering dianggap ciri paling menonjol dalam kebudayaan Barat. Kemajuan bidang-bidang ilmu pengetahuan dan teknologi juga yang memungkinkan Eropa Barat dan Amerika Serikat menaklukan hampir semua dunia, dulu dalam bentuk imperialisme politik dengan sistem penjajahan, kemudian dan sampai sekarang dengan kekuasaan ekonomi yang dimungkinkan oleh teknologi, yang pada gilirannya tidak mungkin tanpa ilmu pengetahuan yang berdasarkan kebudayaan tipografik. Kebudayaan tipografik pula yang memungkinkan perkembangan penalaran individual, pemikiran kritis dan independen, sikap ilmiah sejati.

Walaupun keluh-kesah serta kritik terhadap penggunaan sebuah bahasa sepertinya adalah gejala yang menjadi bagian dari praktik diskursif (discursive practices) bahasa itu sendiri. Dari zaman ke zaman, dan dalam kebudayaan mana pun, terdapat kecaman oleh para cerdik pandai bahasa terhadap penggunaannya bahasa yang didengar atau dibaca di ruang publik. Ini pula yang oleh Jan Van Der Putten dalam buku Geliat Sastra Selaras Zaman (2010) dipetakan bahwa bahasa sebagai praktik sosial yang dipelajari kembali terus mengalami perubahan, perubahan yang lazimnya dibayangkan sebagai akibat dari: (1) sifat manusia yang cenderung menyesuaikan diri terhadap lingkungan dan dunia yang senantiasa berubah; (2) peranan otoritas bahasa untuk memodernisasikan bahasa sesuai dengan pembaharuan teknologi dan gagasan, sehingga penutur ragam baku itu dapat mengikuti dan menyumbang kepada wacana baru itu; (3) hubungan dengan bangsa lain yang menggunakan bahasa yang berbeda. Dan bisanya kelompok penutur bahasa tak begitu menyetujui perubahan yang diperkirakan didatangkan oleh kekuasaan dari luar dan mengubah cara pengungkapan dan pemikiran lama (Deutscher 2005). Menurut Deutscher, bahasa ada di dalam perubahan yang tak berkesudahan tidak hanya karena ketiga faktor yang disebut di atas, tetapi yang lebih penting, karena bahasa adalah sistem fleksibel yang kabur yang mengandung jumlah variasi sinkronis yang dahsyat. Dan saya berpendapat dari sastra, dari puisi sistem fleksibel itu dapat menjadi jalan masuk untuk berperang melawan lupa, pada keagungan bahasa pada puspa ragam dan kemampuan menggerakan sendi kehidupan.

Jika Haverlock (1863) pernah menjelaskan bahwa partisipasi dan identifikasi itulah merupakan ciri yang paling menonjol yang membedakan “the Homeric state of mind” dengan “the Platonic state of mind”. Plato justru ingin mengembangkan daya pikir dan daya nalar manusia individual. Dan pemikiran, logika dan penalaran, reasoning, justru memerlukan distancing, penjarakan, pengasingan antara “knower and known”, antara subyek dan obyek. Haverlock membuktikan secara cukup mempesona bahwa juga latar belakang sikap negatif Plato terhadap para penyair. Puisi bagi Plato adalah puisi Homeros, yang memang pada masa itu dianggap sebagai teladan mutlak dan memainkan peran penting dalam kebudayaan Yunani, khususnya dalam pendidikan. Sebab sebagai sudah dikatakan, Homeros berfungsi sebagai semacam ensiklopedi, yang mengandung hikmah dan hakikat nilai-nilai dan norma-norma sosial dan individu Yunani.

Pendidikan berarti belajar dan mengajar mengidentifikasikan diri dengan sistem nilai itu, tanpa berpikir independen, tanpa sikap kritis. Bahkan pementasan karya Homeros selalu berlangsung dalam suasana setengah magis, dari pendengar diharapkan semacam ekstasi, kesediaan untuk kesurupan, dengan menyingkirkan penalaran dan logika.

Memang keruwetan masalah ini telah terdeteksi jauh-jauh hari. Seperti di tulisan A Teeuw, situasi ilmu sastra pada masa ini ruwet, bahkan membingungkan bagi sarjana sastra. Dia berada pada jalan buntu, jalan tak ada ujung, dia terkungkung dalam prison house of language. Kebenaran yang mau tidak mau dicapai lewat bahasa sekaligus digerogoti oleh bahasa sendiri. Tidak ada yang final, definitif. “Criticism goes with crisis. Justru itu criticism adalah “an instument of social change”: feminist Literary Criticism, Black criticism. “Literature is instruction in otherness, in diversity, “humanities is plural”; sastra menunjukan dan mengajarkan alternatif. Ilmu sastra bagaimana pun sulitnya ikut mengungkapkan alternatif, kelainan, ke-aeng-an itu. (A. Teeuw, Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan, Pustakan Jaya, 1994)  Dan hal ini saya baca senada dengan pendapat Jassin, fungsi kritik-kritik sastra dalam pembinaan sastra, hal ini sangat diperlukan karena kini kritik sastra belum lagi mendapat tempat sewajarnya dalam masyarakat kita di samping sastra kreatif. Memang ada perbedaan antara sastrawan kreatif dan kritikus sastra, dan tempat masing-masing harus ditentukan. Kritik sastra tambah banyak mengambil peranan dengan tambah meluasnya orang mempelajari sastra secara ilmiah. Sastrawan kreatif dan kritikus sastra haruslah imbang-mengimbangi demi kemajuan sastra Indonesia. Memang kritik sastra mengenal berbagai pangkal tolak untuk memandang, misalnya dari sudut keindahan bahasa, dari sudut teknik penyusunan cerita, dari sudut psikologi, dari sudut filsafat dan moral. Ada pula yang hendak melihat hasil sastra semata-mata sebagai permasalahan, sebagai hasil yang bulat yang tak dapat dianalisa dengan pisau bedah. Tapi semua cara itu, sendiri-sendiri maupun dalam kombinasi yang satu dengan yang lain, mempertinggi penghayatan estetis pada pembaca. Yang menganalisa secara ilmiah bisa saja menikmati satu karya dengan caranya sendiri, seperti seniman yang menuntut penghayatan secara keseluruhan dan yang seorang tidak usah merasa benar dari yang lain, sebab penilaian adalah selalu subyektif, asal dengan kriterium yang bisa dipertanggungjawabkan dari sudut masing-masing hal itu sah saja menurut saya, justru dengan kritik sastra dunia ini akan selalu sehat, membuat udaranya kian bersih.

Kata Jassin, ada satu pendapat bahwa hasil sastra baru dapat murni dan bermutu tinggi, apabila pengarangnya dapat melepaskan diri dari segala tetek-bengek masyarakat dan mencipta segala kesepian. Temanya pun haruslah bukan teriakan-teriakan yang berupa semboyan politik, moral maupun agama, tapi soal-soal yang amat pribadi sifatnya. Ditarik secara ekstrem maka kita pun hanya mempunyai sajak-sajak sepi, renungan-renungan yang abstrak dan metafisis tentang eksistensi manusia dan nilai-nilai yang dilepaskan dari pergolakan kehidupan dunia. (H.B Jassin, Sastra Indonesia Sebagai Warga Bangsa Dunia, Gramedia, 1983) walaupun dalam hal ini masih banyak metode dan cara melakukan kritik sastra untuk menyehatkan dunia literasi bangsa ini. Karena seperti yang pernah ditulis Akmal Nasery Basral, Kompas 4 maret 2012 bahwa sejak awal sekali, para pengusung kritisisme baru sudah mengingatkan bahwa menggunakan bukti kontekstual ini adalah karena sifatnya yang lebih dekat dengan menafsir bukti luar ketimbang melakukan tafsir yang teliti terhadap bukti dalam. Tentu saja kritisisme baru bukan merupakan satu-satunya cara yang absah dalam menakar sebuah karya. Kritisisme psikoanalisis, misalnya, akan melihat biografi dan kondisi pikiran sang pengarang (sub conscius state-of-mind) sebagai bagian dari sebuah literer yang tak bisa dipisahkan. Meminjam istilah yang diperkenalkan Jacques Lacan, “bawah sadar itu sesungguhnya terstuktur seperti halnya bahasa”. Jika konstanta Lacan itu diproyeksikan dalam bentuk sebuah karya cetak, bentuk apa lagi yang paling absah dipandang sebagai “bahasa” kecuali teks? Artinya, siapa pun ingin atau berpretensi untuk menjadi kritikus sastra tak bisa tidak harus membaca lebih dulu teks yang dihasilkan oleh seorang pengarang sebelum memasukan biografi pengarang dan keinginan-keinganan bawah sadarnya yang bisa ditemukan sang kritikus di sekujur tubuh teks. Lebih tegas lagi, pendapat yang di usung Mazhab Post-strukturalisme. Teori dekonstruksi yang dipopulerkan Jacques Derrida memasyarakatkan bahwa “maksud kepengarangan” (authorial intens) adalah tidak relevan dan tidak dikenal” dan “tidak ada apapun di luar teks” (1967).

Ironisnya dapat dikatakan bahwa dilema, dalam perumusan baru, sebenarnya masih tetap merupakan dilema yang dipertahankan dalam polemik kebudayaan, lebih dari lima puluh tahun silam; dan seperti dahulu demikian juga sekarang penyelesaian masalah ini bukanlah perkara pilihan either/or. Satu-satunya jalan ke masa depan adalah jalan yang berdasarkan sintesis antara aspek positif kelisanan dan aspek positif keberaksaraan, dengan meninggalkan atau meniadakan aspek negatif kedua-keduanya. Namun tidak dapat disangkal pula bahwa dilema ini sungguh-sungguhlah menyajikan buah simalakama; dimakan buah-buah keberaksaraan terancam stabilitas; berpantang makan buah keberaksaraan terancamlah dinamika pembangunan. Mudah-mudahan Indonesia nanti dalam abad ke 21 menikmati secondary orality, yang sungguh-sungguh mencernakan hasil-hasil literacy dalam arti sebaik-baiknya seperti doa Teeuw.

Akhirnya satu hal yang penting saya temukan ialah bahwa sesuatu karya mempunyai hak untuk merdeka, seperti seniman mempunyai hak untuk merdeka. Suatu karya haruslah dianggap sebagai penggugah pikiran, disetujui atau tidak disetujui isinya, masing-masing orang berhak untuk menyenanginya atau tidak menyenanginya, tetapi orang tidak berhak untuk menghancurkannya, seperti orang juga tidak berhak untuk membunuh penciptanya.

Ini menjadi penting karena tidak hanya dalam kesarjanaan sastra ada dua dunia seperti pernah diurai Teeuw; demikian juga dalam sastra sendiri: pertama, pada suatu pihak ada sastra dunia yang agung: “great books of word literature”, yang jelas termasuk kebudayaan keberaksaraan; buku itu lahir di kesepian, dari renungan, diciptakan dari studi dan semadi bertahun-tahun; para kawi Jawa Kuno yang menciptakan “candi sastra”-nya yang tak kurang mengesankan daripada bangunan candi Jawa Kuno yang termashur; Kalisada, sang Kawi Sanseketa; penulis Cina yang agung; Al-Ghazali; Ibnu Khaldun; Hamzah Fansuri; Goethe; Tolstoy; selalu dan di mana-mana sastra agung muncul dari dunia sastra/pustaka, dan dari kesinambungan sejarah, dari mata rantai pembaca yang menjadi penulis dan penulis yang menjadi pembaca; kebudayaan kesepian yang diperuntukan untuk kesepian. Kedua, ada juga sastra untuk diperdengarkan: sudah tentu sastra lisan dalam masyarakat yang belum mempunyai tulisan, sastra sebagai performing art dalam masyaraat yang baru memunyai naskah, yang dibacakan, yang diperdengarkan beramai-ramai. Tetapi juga dalam kebudayaan modern Indonesia ada kelisanan baru.

Dua dunia sastra itu ada juga titik temunya; dalam kebudayaan buku ada karya agung drama-sejak Sophocles, lewat Shakespeare sampai Brecht, Ionesco, siapa lagi: sastra untuk didengarkan, untuk dipentaskan-tetapi sekaligus sastra untuk dibaca, dihayati dalam kesepian. Dan di Indonesia ada kebudayaan aural; sastra khas tulisan yang dibacakan; orang Bali membacakan kakawin (mabasan); orang Jawa, Sunda dan lain-lain membaca karya klasik dalam macapatan; demikianlah sastra agung dihayati dalam tradisi kelisanan. Dua dunia, dan saya tidak memilih, mana yang baik, mana yang jelek, mana yang benar, dan mana yang salah.

Teuuw juga saya sadar-sesadar-sadarnya bahwa saya manusia kebudayaan buku, kebudayaan kesepian, kebudayaan perpustakaan dan kepustakaan. Saya sadar bahwa kebudayaan itu mungkin sekali sudah dilewati manusia modern, sudah ketinggalan zaman. Umat manusia sudah masuk tahap kebudayaan baru, tahap teknotronik (gabungan dari teknologi dan elektronik), atau secondary orality. Manusia modern nampaknya tidak menerima informasi penting lewat buku, tetapi lewat media massa, lewat kuping, khususnya radiolah media massa mahapenting sebagai saluran informasi modern, aktual. Seluruh bangsa, bahkan seluruh dunia terjangkau pada saat yang sama oleh informasi yang dianggap hakiki, vital. Pemerataan informasi, bagus-untung-enak tinggal di dengarkan saja. Seakan-akan buku, informasi tercetak bahkan sastra tertulis tidak perlu lagi. Membosankan, melelahkan, kolot, dan ketinggalan zaman.

Dan seperti kita ketahui, puisi bersifat pribadi, walaupun jauh mendahului masa keberaksaraan penuh, yaitu kebudayaan cetak; karyanya belum dicetak, hanya diturunkan dalam bentuk naskah dan pada umumnya dimaksudkan untuk dibacakan dan didengarkan bersama, jadi masih bersifat aural.  Tapi tidak dapat disangsikan, dengan syair sufinya, Hamzah mengambil langkah ke arah puisi Melayu/Indonesia. Ini menjadi jelas karena di berbagai kawasan dunia, dan yang juga diperkuat oleh hasil telaah di Asia Tenggara, bertentangan dengan apa yang dahulu sering dipikirkan orang; sebab dahulu dianggap masuk akal bahwa dalam masyarakat yang tidak mempunyai tulisan, satu-satunya jalan mengamankan ciptaan lisan (naratif, nyanyian kematian, mitos panjang dan lainnya) adalah lewat penghafalan. Kenyataannya lain sekali. Memang ada penghafalan formula, unsur formulaik, peribahasa, pepatah dan petitih, jadi umumnya bahan-bahan yang oleh Lord disebut stock in trade seorang penyanyi, pencerita atau tukang cerita atau pembawa puisi naratif lisan berpentas, dia menciptakan kembali secara baru dan spontan gubahannya. Terbukti bahwa jarang ada penghafalan, dan jarang ada dua pementasan, bahkan oleh penyanyi yang sama, yang identik. Malahan ternyata perbedaan tekstual antara dua pementasan, juga kalau berdekatan dalam waktu, mungkin cukup beda.

Kebudayaan Buku, Kebudayaan Sunyi

Seperti Rama Profesor Dr. P.J. Zoetmulder yang menurut A. Teuuw salah satu wali sastra dimana pusat dunianya memang ruang kerjanya. Cakrawala eksistensi duniawi bagi dia perpustakaannya, tetapi dia tahu bahwa cakrawala itu tak berhingga, baik horizontal maupun vertikal. Hidup di kelilingi buku berarti hidup dalam kesepian. Kebudayaan buku adalah kebudayaan mata dan huruf, kebudayaan sunyi sepi. Itulah literacy, keberaksaraan yang sungguh-sungguh, kemanusiaan yang ideal menurut cakrawala saya selaku manusia Barat. Kalau secara formal setiap orang Indonesia sudah pandai membaca dan menulis. Dari berbagai ahli di bidang pendidikan, penerbitan, kesusastraan dan lain-lain sering terdengar keluhan bahwa banyak orang yang sudah pandai membaca, bahkan yang sudah memperoleh pendidikan yang cukup tinggi, belum mengembangkan rading habit, kebiasaan membaca. Membaca secara individual (seperti diungkapkan dalam bahasa Belanda “met een boekje in een hoekje” bahkan dalam lingkungan keluarga sering dianggap sikap atau situasi yang kurang sosial. Dan justru dengan adanya alat informasi elektronik, radio, televisi, yang memungkinkan penikmatan bersama, dan yang menekankan aspek pendengaran yang mempersatukan, yang mengakrabkan sidang pendengar, baik dalam keluarga, maupun dalam lingkungan kampung, misalnya juga dengan Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pemirsa (Kelompencapir), seakan-akan aspek kelisanan kebudayaan masih diperkuat lagi.

Dengan jembatan dunia maya seperti internet sebenarnya penguatan itu sedang berlangung, sedang terjadi. Proses pembelajaran pada masyarakat kita harus berjalan terus, tidak peduli dengan tradisi lisan ataupun beraksara. Kita bersama-sama berupaya membentuk suatu masyarakat pembelajar (learning society) supaya bangsa Indonesia ini memiliki ketangguhan dan keunggulan yang positip.  Untuk mempercepat proses transformasi dari tradisi lisan menuju tulisan ini, diperlukan suatu katalis atau sesuatu yang dapat mempercepat proses, yaitu sistem multimedia. Hanya pada masyarakat dengan tradisi beraksara, ilmu pengetahuan dan teknologi dapat berkembang dan memberikan keunggulan kompetitif kepada bangsa tersebut. Tapi penting diperhatikan bahwa, kita memerlukan kebijakan nasional yang berkaitan dengan sistem multimedia atau telematika secara umum supaya perannya sebagai katalis dapat terlaksana dengan baik.

Dan kini kita ada gerakan perlindungan terhadap bahasa yang terancam punah dimana gerakannya adalah bagian dari konsep multibahasa yang diselenggarakan oleh kelompok dari luar penutur bahasa minoritas, karena dalam perkembangan globalisasi, sebagian besar komunitas minoritas di dunia telah dikuasi oleh komunitas mayoritas yang pada umumnya pemegang kekuasaan. Dalam konsep itu bahasa kelompok minoritas tidak diwariskan kepada generasi selanjutnya dan akan punah (beberapa bahasa disebut bahasa yang akan punah-endangered language). Nah, ini perkara besar, banyak bahasa akan punah, lokalitas yang terus tergusur, jadi kenapa juga kita akan terus terjebak hanya mempertebal kamus negara tanpa mampu mengungkit keluar kata-kata dari dalamnya. Dan saya sangat sepakat dengan Teeuw bahwa selan sastra dengan bahasa nasional, sastra tradisional Indonesia pun harus terus ditemukan, dibongkar dan diungkapkan kelainan dan kemodernannya agar sastra itu sungguh-sungguh dapat dihidupkan dan dihidupi kembali oleh masyarakat Indonesia, khususnya angkatan muda, lewat pendidikan sastra yang sesuai. Selamat jalan Prof. A Teeuw, jalan setapak sunyi di dunia sastra mengembalikan jiwa anda pada tlatah suci. Beserta ucapan terimakasih atas darma baktimu untuk negeri Indonesia. ©

Rama Prabu, Penyair, Direktur Dewantara Institute; Owner http://ramaprabu.org

Sumber: Oase, Kompas.com, Senin, 28 Mei 2012

Budaya Tak Kenal Batas Wilayah

TANJUNG PINANG (Lampost): Budaya sesungguhnya tidak mengenal tapal batas wilayah. Tapal batas wilayah adalah urusan politik. Karena itu, istilah "maling budaya" atau "curi-mencuri budaya" kini tidak relevan lagi dibicarakan.

Demikian salah satu butir rumusan Seminar Internasional Revitalisasi Budaya Melayu (RMB) III dan Seminar Tradisi Lisan VIII di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau (24—27 Mei). Seminar menghasilkan 13 butir rumusan yang dibacakan Ketua Tim Perumus Bambang Kaswanti Purwo, Minggu (27-5).

Tapal batas tak mengenal wilayah yang paling nyata adalah realitas budaya Melayu. Ia tidak saja hidup di wilayah Indonesia, tetapi pula di Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, dan Thailand.

Diaspora budaya Melayu ini tidak dihalangi sekat negara. Riau dan Kepulauan Riau seperti juga Malaysia, merupakan salah satu contoh wilayah yang mendapat sumbangan budaya dari Bugis, Jawa, Parsi, India, dan Aceh. Dahulu nenek moyang Jawa yang menciptakan lakon Mahabarata dan Ramayana tidak dipersoalkan sebagai karya hasil “mencuri” budaya India.

Seminar yang digelar atas kerja sama Pemerintah Kota Tanjungpinang dan Asosiasi Tradisi Lisan itu menghadirkan puluhan pembicara dari dalam dan luar negeri. Mereka merupakan pakar tradisi lisan, folklor, sejarah, bahasa, sastra, dan budaya.

Mereka yang lantang bersuara di forum seminar itu antara lain Taufik Taufik Abdullah, Mukhlis Paeni, Agus Aris Munandar, Ayu Sutarto (Indonesia). Dari mancanagera ialah Muhammad Haji Saleh, Haron Daud (Malaysia), Chua Soo Pong (Singapura), Dick van der Meij, Aone van Engelenhoven (Belanda), Francois Zacot (Prancis), Nik Abdul Rakib Bin Nik (Thailand).

Butir rumusan lain ialah menumbuhkan kreativitas dan imajinasi di kalangan muda dalam menggali tradisi warisan budaya yang begitu kaya di Nusantara agar bisa dinikmati masyarakat modern. Kalangan muda yang hanya meniru budaya asing (terutama musik), tanpa sama sekali meramu unsur lokal, adalah sikap budaya yang kurang memahami kekayaan kultural Nusantara. 

Karena itu, para pewaris aktif maupun pasif kebudayaan diminta untuk meniru semangat kreativitas nenek moyang kita dalam menggali tradisi sendiri maupun budaya asing.

Epos Mahabarata dan Ramayana yang diambil dari India dan diolah dengan sangat kreatif oleh para pejuangga lama kita adalah contoh kreativitas terbaik. Sehingga, menurut seniman besar India Rabindranath Tagore, Ramayana dan Mahabharata Indonesia jauh lebih bagus dari aslinya.

Menghargai Perbedaan

Butir rumusan lain juga perlunya sikap menghargai perbedaan. Sebab, ini merupakan semangat menghidupkan tradisi lisan Indonesia menuju ke masa depan. "Setiap suku menyumbangkan nilai-nilai bagaimana hidup bersama dan sikap terbuka menerima perbedaan."

Memang dalam perjalanannya ratusan cerita lisan tumbuh dan menyebar di seluruh Nusantara. 

Seperti Cerita Panji dan Hikayat Hang Tuah yang menimbulkan saling klaim yang mana yang benar. Ini mesti disikapi dengan positif karena betapa mengakarnya cerita itu.

Tantangannya justru bagaimana kita dapat tetap menghidupkan cerita lisan itu dalam kehidupan masa kini, misalnya lewat dunia maya. Dunia maya justru harus dimanfaatkan untuk penyelamat cerita-cerita lama/warisan tradisi.

Butir rumusan juga menekankan salah satu syarat utama kelangsungan hidup tradisi lisan  ialah tetap adanya pewaris aktif kebudayaan (pencipta karya seni) dan pewaris pasif (penikmat karya seni).

Para pewaris kebudayaan inilah yang perlu terus mebekali dirinya dengan berbagai pengetahuan. Butir rumusan juga menyingung realitas menghadapai nilai-nilai budaya lokal yang dinilai sementara pihak bertentangan nilai-nilai agama. Ini perlu jalan keluar yang arif mengingat nilai-nilai budaya itu sudah lebih dahulu dihayati masyarakat jauh sebelum masuknya agama-agama besar ke Indonesia. (DJT/R-1)

Sumber: Lampung Post, Senin, 28 Mei 2012

Kebebasan Akademik, Kebebasan yang Mencekik

-- Syamsul Rizal

TULISAN Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia, berjudul ”Kebebasan Akademik Itu...” (Kompas, 5/5) perlu dicermati. Saat ini sangat jarang kita temui pendapat yang ideal, bernas, dan penuh pengayaan buat masyarakat, khususnya masyarakat akademik.

Pendapat beliau yang sangat mengharukan itu saya kutip kembali. Otonomi universitas akan menumbuhkan budaya akademik yang mengajarkan nilai-nilai ilmu pengetahuan, argumentasi dengan dasar ilmiah dalam setiap pengambilan keputusan. Budaya akademik yang demikian akan melahirkan hubungan kolegial yang egaliter dan sehat atas dasar saling menghormati dan memberdayakan di antara para ilmuwan.

Apabila universitas dijadikan bagian dari birokrasi pemerintah, akan tumbuh budaya birokrasi yang lamban, tidak efisien, dan korup. Universitas di Indonesia akan semakin tidak mampu mengejar perkembangan ilmu dan akan kalah bersaing dengan universitas di dunia.

Sebetulnya kebebasan akademik, walau secara terbatas, pernah diberikan kepada perguruan tinggi negeri (PTN) tertentu. Tatkala kebebasan akademik itu diberikan kepada PTN yang merupakan centre of excellence di Indonesia, seperti Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, dan Universitas Gadjah Mada, PTN-PTN ini langsung terasa sangat ”lapar”. Kebebasan akademik yang diberikan oleh pemerintah itu telah disalahartikan dan ditafsirkan lain oleh pengelolanya.

Bukan kebebasan akademik saja yang dilaksanakan, kebebasan yang terasa mencekik masyarakat juga dipertontonkan secara vulgar. Biaya kuliah yang ditetapkan, terutama pada program studi favorit, melesat ke ruang angkasa.

Panitia penerimaan mahasiswa baru PTN-PTN kuat ini road show ke sejumlah provinsi. Di setiap provinsi, mereka bersekongkol dengan pejabat pemerintah daerah setempat dengan cara win-win solution. Anak-anak di daerah direkrut dengan alasan PTN kuat ini akan melakukan penerimaan yang merata sampai ke daerah-daerah. Dengan biaya mahal, pemda merogoh kantong APBD-nya dalam-dalam agar anak-anak di daerah tersebut diberi beasiswa. Perlu juga ditelusuri, siapa saja anak-anak penerima beasiswa itu.

Di samping itu, dengan biaya yang sangat tinggi, semakin sulit saja mahasiswa miskin masuk ke PTN-PTN kuat. Karena itu, tatkala Mahkamah Konstitusi membatalkan UU Badan Hukum Pendidikan, yang salah satu alasannya karena UU ini bertentangan dengan Pasal 28D Ayat 1, dan Pasal 31 UUD 1945, masyarakat pun bersorak gembira.

”Hukum rimba”

Hanya yang kuatlah yang menang! Inilah makna dari survival of the fittest, sebuah frase yang diperkenalkan pertama kali oleh filsuf Herbert Spencer setelah membaca karya monumental Charles Darwin, On the Origin of Species. Frase ini pemaknaannya terus berkembang dinamis. Dalam dunia kemasyarakatan, frase ini sering direfleksikan sebagai hukum rimba: yang kaya memakan yang miskin, yang pandai mengelabui yang bodoh, yang kuat menginjak-injak yang lemah.

Frase survival of the fittest ini juga berlaku di dunia perguruan tinggi di Indonesia. PTN-PTN yang kuat begitu berbeda dengan PTN lemah. Ilmuwan-ilmuwan dari PTN kuat penuh percaya diri. Sementara ilmuwan dari PTN lemah tampil penuh harap dan belas kasih dari ilmuwan-ilmuwan PTN-PTN kuat.

Jurang kualitas PTN kuat dan PTN lemah terasa sangat lebar. PTN-PTN yang kuat (maaf!) sangat menikmati jurang kualitas ini. Tatkala PTN-PTN kuat harus bekerja sama dengan PTN lemah, akan ada istilah yang sangat terkenal: PTN kuat sedang membina PTN yang lemah. Sering istilah membina tersebut dipelesetkan menjadi membinasakan. Sebab, yang sering terjadi adalah asas pemanfaatan: yang kuat memanfaatkan yang lemah.

Akibatnya, PTN-PTN lemah lebih nyaman bekerja sama dengan PTN-PTN asing. Hal ini dilakukan bukan karena ingin bergaya kebarat-baratan. Juga bukan perkara mental inlander. Ini perkara keadilan. Tak ada satu pihak pun di dunia ini yang mau bekerja sama dengan pihak lain kalau duduk tidak sama rendah dan berdiri tidak sama tinggi. Apalagi sesama anak bangsa.

Sangat jarang kita temui ilmuwan-ilmuwan dari PTN-PTN kuat yang secara sadar dan ikhlas ikut memperjuangkan keadilan bagi PTN lemah. Padahal, bangsa ini tak mungkin bisa maju kalau hanya PTN kuat saja yang harus berkembang dan diberi kepercayaan menghela atau menarik ”pedati” kualitas dan kebebasan akademik. Kita harus bergerak dengan kekuatan yang merata dan berjemaah untuk mengalahkan bangsa-bangsa lain.

Kesalahan kita selama ini, yang telah memberikan perhatian yang sangat berlebihan kepada PTN-PTN kuat, harus dikoreksi. Contoh kasus memalukan yang menimpa bangsa kita dan telah disadarkan oleh Dirjen Dikti adalah jumlah publikasi ilmuwan-ilmuwan kita yang kalah telak oleh jumlah publikasi ilmuwan-ilmuwan Malaysia. Kalau mau jujur, ilmuwan-ilmuwan dari PTN-PTN kuat inilah yang paling bertanggung jawab terhadap kalahnya kita bersaing dari segi publikasi internasional ”melawan” ilmuwan-ilmuwan dari negara jiran, Malaysia.

Dua catatan

Di akhir artikelnya yang penuh idealisme, Prof Sulistyowati Irianto mengajak masyarakat luas dan negara untuk mendukung kebebasan akademik yang sedang diperjuangkan demi kejayaan Indonesia. Saya yakin dukungan akan diperoleh dari masyarakat luas, negara, dan rekan-rekan ilmuwan dari PTN-PTN yang lemah, dengan mempertimbangkan dua catatan berikut.

Pertama, kesalahan yang pernah dibuat oleh PTN-PTN kuat, yaitu melakukan komersialisasi pendidikan yang terasa sangat vulgar, tidak boleh terulang lagi. Tatkala MK membatalkan UU BHP dengan alasan melanggar UUD 1945, sungguh alasan yang sangat menyakitkan. PTN-PTN kuat seakan telah lari dari masyarakat yang telah melahirkan dan membesarkannya. Masyarakat luas, terutama yang berasal dari masyarakat yang kurang beruntung secara ekonomi, merasa seakan-akan telah ditinggalkan oleh PTN-PTN kuat.

Kedua, PTN-PTN di seluruh Indonesia harus diupayakan adil dan merata kualitasnya. Atau dalam bahasa Prof Sulistyowati, ”...melahirkan hubungan kolegial yang egaliter dan sehat atas dasar saling menghormati dan memberdayakan di antara para ilmuwan.” Seharusnya PTN-PTN kuat, seperti ITB, IPB, UI, dan UGM, hadir tidak hanya di Pulau Jawa, tetapi kualitas mereka yang hebat harus hadir juga di daerah- daerah pada wilayah NKRI yang sangat luas dan majemuk ini.

Syamsul Rizal, Guru Besar dan Direktur Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala

Sumber: Kompas, Senin, 28 Mei 2012

Sunday, May 27, 2012

Sastra dan Sihir Modernitas

-- Bandung Mawardi

PENGARANG memiliki kepekaan dan model ungkap unik dalam memerkarakan hembusan modernitas di negeri sendiri. Pengungkapan kerap mengaitkan dengan representasi-representasi modernitas dalam berbagai bentuk. Pilihan atas bentuk aksentuasi modernitas ditanggapi melalui kalimat-kalimat impresif. Pelacakan melalui kalimat-kalimat ini mirip peziarahan historis untuk mengenali dan menemukan penolakan dan penerimaan suatu negeri terhadap sihir modernitas.

Rabindranath Tagore (1861-1941) dalam kalimat-kalimat lugu mengisahkan kontras antara zaman dulu (tradisional) dan zaman modern. Perbandingan ini metaforik dan menguak gagasan-gagasan tentang kekuasaan, kapitalisme, pandangan hidup, dan perilaku. Peraih Nobel Sastra 1913 ini memberi metafor kelampauan: "Zaman dulu adalah seperti putra raja, yang dari waktu ke waktu dalam peristiwa-peristiwa besar, atau dalam keinginan sekejap, membagi hadiah-hadiah mewah dan agung pada semua yang berada di bawah kekuasaannya." Kalimat dalam buku My Boyhood Days ini kental dengan resepsi kehidupan tradisional dalam genggaman dan kontrol penguasa. Ketradisionalan ditentukan karena sentralisme dan watak kekuasaan. Kebebasan, kenikmatan, atau otonomi jadi urusan pelik karena terberikan atau terkondisikan oleh kemauan rezim. Zaman tradisional adalah zaman harmoni oleh imperatif.

Kondisi itu dibedakan oleh Tagore dalam tuturan cair untuk mengisahkan zaman modern dalam persepsi manusia India pada awal abad XX. Simaklah: "Zaman modern itu seperti putra pedagang, duduk di persimpangan suatu jalan besar dengan berbagai jenis barang yang murah dan remeh tersebar berkilatan di sekelilingnya, dan menarik pembeli-pembelinya dari jalan besar dan jalan kecil dari segala arah." Zaman modern identik dengan sihir materialistik. Ekonomi jadi acuan untuk mengubat nasib dan martabat hidup. Konsumsi adalah praktek menjadi manusia dalam gelimang citra dan pujaan atas nilai-nilai artifisial. Modernitas menghampiri manusia-manusia di Asia dengan pikat benda dan kekuasaan bersumber dari ulah kapitalisme.

Perbandingan itu menandai kegelisahan pujangga untuk mengenangkan hidup saat masih bocah dan perubahan-perubahan besar di India dalam kuasa kolonialisme. Inggris menjadikan negeri jajahan sebagai kebun untuk menanam dan menyemai kemodernan melalui praktek politik, bahasa, pendidikan, ekonomi, teknologi, dan sastra. Sejarah penolakan dan penerimaan atas sihir modernitas mengakibatkan India tampil dalam wajah mendua. Afirmasi atas nilai-nilai tradisional mengambil ekspresi dalam laku spiritual, seni, dan kultural. Pendambaan atas modernitas tampil dalam bentuk ekonomi, limpahan benda, gaya hidup, dan godaan ideologi-ideologi global.

Kisah di negeri India dalam masa peralihan abad XIX ke abad XX berbeda dengan rembesan modernitas dan penampikan oleh kekuasaan di Turki. Negeri ini memang mendua dengan wajah Asia dan Eropa. Sejarah kemenduaan ini terbentuk karena topangan agama, politik, bahasa, dan pendidikan. Sejarah Turki mirip adalah sejarah pertarungan antara nostalgia dan utopia. Nostalgia atas puncak peradaban Islam jadi klaim identitas politik-kultural. Godaan Barat pun memicu Turki untuk memilih jalan modernitas dengan referensi negeri-negeri di Eropa karena negeri-negeri Islam perlahan mengalami kemunduran. Dilema ini kerap tak selesai oleh kebijakan-kebijakan politik, ekonomi, atau pendidikan.

Episode Turki saat bimbang memutuskan kiblat perubahan atas nama kemodernan tampil dalam novel The Stone Women karangan Tariq Ali. Novel ini mengisahkan latar kekuasaan politik dan agama di Turki pada abad XV dan XVI. Refleksi kesejarahan dituturkan oleh tokoh Halil dalam perdebatan tentang kejatuhan martabat dan kesalahan penguasa di Turki dalam menilai kebermaknaan mesin cetak.

Revolusi Gutenberg dalam fungsionalisasi mesin cetak di Barat ikut menjadi penentu pembentukan arah modernitas dengan risiko penampikan monopoli otoritas politik dan agama untuk dialihkan pada kebebasan publik dalam menentukan perubahan pelbagai sisi kehidupan.

Tuturan Halil ini keras dan menantang seolah ada sesal saat membuka lembaran-lembaran sejarah suram di Istanbul (Turki). Simaklah: "Istanbul bisa saja menjadi ibu kota segala penemuan dan modernitas seperti Cordoba dan Bagdad di masa silam, tetapi bajingan-bajingan berjenggot yang menetapkan hukum-hukum kita ini takut kehilangan monopoli mereka terhadap kekuasaan dan pengetahuan... Pada permulaan abad keenam belas, setiap kota besar di Barat telah memiliki mesin cetak, sementara Sultan Selim justru mengancam siapa pun yang menunjukkan ketertarikan terhadap hal itu dengan hukuman mati."

Tuduhan Halil memang nyinyir tapi mengandaikan babak sejarah kontroversial. Mesin cetak diakui sebagai alasan untuk kemodernan dan kekuasaan tradisional menolak karena ada risiko telak. Penguasa takut kisah kejatuhan otoritas politik dan agama di Eropa juga bakal terjadi di Turki. Eropa memang mengalami penggerogotan tapi lekas menemukan jalan perubahan dengan mengusung tema-tema modernitas. Turki sadar dengan keajaiban itu terlambat. Agenda perubahan baru digerakkan dengan model Barat pada awal abad XX.

Modernitas dalam resepsi Rabindranath Tagore dan Tariq Ali seolah takdir zaman dan kemenangan Barat dalam mengonstruksi negeri-negeri di Asia. Pengakuan atas mekanisme kehadiran paket modernitas terbedakan oleh pengajuan contoh dan eksplorasi gagasan. Tagore merasa modernitas merembes di India dengan nalar keseharian. Tariq Ali melalui tokoh Halil justru menganggap bentuk afirmasi atas modernitas ditentukan oleh pembentukan kultur literasi. Kultur ini bisa memberikan kebebasan publik mengolah pengetahuan sebagai basis kehidupan modern. Mesin cetak adalah kunci perubahan. Perbedaan tafsir ini sekadar menampilkan tanggapan-tanggapan atas godaan Barat dan sihir modernitas. Begitu. n

Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo


Sumber: Lampung Post, Minggu, 27 Mei 2012

Analisis Nilai Islami dalam Cerpen

-- Irma Safitri

SASTRA merupakan karya seni yang mengandung nilai-nilai kehidupan dan nilai-nilai religius sebagai pedoman hidup dalam masyarakat. Atmosuwito (1989: 126) berpendapat, sastra merupakan cermin dari agama pengarangnya. Nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra dapat dijadikan manusia sebagai salah satu alat untuk memberi penuntunan dalam kehidupan. Menurut Mangunwijaya (1994: 11), pada mulanya, semua sastra adalah religius. Dari pendapat ini, sastra dan religius akan bertemu pada satu titik karena ada peran kurang lebih sama antara kitab suci dan sastra. Yaitu keduanya memberi perenungan, pencerahan spiritual, kemerdekaan dan pembebasan manusia dari penindasan. Religius dan sastra membawa nikmat dan hikmat, memanusiawikan dan mereligiuskan manusia.

Sastra tak hanya memberi kesenangan tapi memberi pemahaman tentang kehidupan dan nilai-nilai kehidupan termasuk nilai religius. Sebuah karya sastra mengandung nilai-nilai kehidupan suatu kelompok masyarakat atau seseorang yang diwujudkan pengarang lewat gambaran watak tokoh-tokohnya maupun setting/latar ceritanya. Nilai-nilai ini dapat berpengaruh baik secara individual terhadap nilai-nilai religius. Pengaruh secara individual terlihat dalam bentuk-bentuk perubahan sikap, kepribadian, pola hidup, perilaku dan pandangan hidup.

Berdasar uraian di atas, penulis coba menganalisis nilai-nilai religius dalam cerpen ��Telekung buat Emak�� karya Musa Ismail. Cerpen ini mengisahkan usaha Kahar dan keluarganya untuk membantu Emaknya yang telah lama keluar dari kaidah Islam. Seingatnya, sejak remaja hingga usianya yang sudah kepala tiga, ia tak pernah melihat Emak-nya salat lima waktu. Kahar merasa wajib menyadarkan Emaknya untuk mengerjakan salat. Awalnya Kahar sempat merasa tak ada celah di hati Emaknya untuk melaksanakan salat. Karena Ayahnya juga sudah berusaha keras membuka mata hati itu dengan untaian kalimat yang menyentuh perasaan. Namun tetap jawabannya selalu sama. ��Hatinya belum mau.�� Kahar juga takut durhaka dan menyinggung hati Emaknya. Namun mengingat usia Emaknya sudah makin tua, Ia bertekad menemukan cara untuk menyentuh ceruk di hati Emaknya. Karena Kahar tahu betul, pengamalan agama pasti berhubungan dengan sekeping hati. Maka Kahar membawa Emak ke rumahnya, mengharapkan lingkungan masyarakat yang agamis dapat memberi renjisan sejuk di hati Emaknya. Melalui kegiatan wirid, yasinan dan santapan rohani, istri Kahar rajin membawanya ke kegiatan tersebut. Namun, masih saja hati Emak bersikeras tak tersentuh sedikitpun. Khawatir dengan sikap Emaknya, Kahar dan istrinya pun berusaha bicara dengan kata-kata yang baik agar tak menyinggung perasaan Emak.

Seperti dugaan Kahar sebelumnya, Emak sulit diajak untuk membuka pikirannya mengenai kewajiban salat. Malah Emak membantahnya dan mengatakan dia sudah tahu kewajiban salat dan sudah pernah melaksanakan salat waktu gadis dulu. Hanya sekarang hatinya seperti tertutup tak tergugah melasanakan salat. Malam itu jadi malam yang menegangkan. Kahar dan istrinya hanya mampu saling pandang dalam kekalutan saat Emak memasuki kamar dengan wajah yang suram. Mereka tak tahu apa yang berkecambuk di pikiran Emak. Sebulan kemudian, Emak dapat paket dari Kahar sebagai kado ulang tahunnya. Saat membuka paket Emak tertegun, ternyata isinya telekung. Mak langsung membawa telekung itu ke kamarnya. Pintunya di kunci rapat.

Dalam cerpen ini Musa menyampaikan pesan religius yang sedarhana, namun memiliki makna luar biasa. Karena dalam cerpen ini secara tak langsung Musa menyampaikan kebenaran yang ada dalam Alquran. Musa juga memberi pencerahan dengan coba membuka pikiran pembaca melalui dialog antar tokoh. Berikut  kutipan yang menyentuh hati pembaca, menurut penulis:

��Kita mesti yakin. Mungkin inikah yang termasuk perjuangan? Banyak di antara kita kecundang dengan hati sendiri. Hati kita telah terlalu banyak menerima permainan-permainan duniawi. Padahal, itu cuma senda gurau yang hanya menggelitik hati. Itu cuma cara-Nya untuk menguji apakah hati kita masih tetap bersih dalam kontaminasi kehidupan gila ini. Atau, terlenakah kita dalam permainan kejaran gelombang kehidupan yang menciptakan buih-buih itu. Ingat, hati kita harus diberikan sempadan pada setiap jengkal perubahan.�� ( Ayah Kahar)

Dari kutipan di atas lewat tokoh Ayah Kahar, Musa menyampaikan pesan religius. Bahwa hidup ini perlu perjuangan untuk mempertahankan iman dan ketakwaan. Hanya orang-orang yang kalah dan tak bisa memegang keteguhan imannya  yang akan terlena dengan permainan dunia. Ini semua Allah beri sebagai ujian. Agar Allah dapat menilai, siapa di antara umatnya yang tetap di jalan yang benar.

��Tidak ada tapi-tapi. Jika menghidupkan salatmu, maka nyawa dan cahaya hatimu akan kembali bergairah dan cerah bersinar di mata siapa saja.�� (Ayah Kahar)

Dari kutipan ini, Musa telah memberi suatu pencerahan pikiran dan menenteramkan jiwa pembaca. Apalagi direnungkan dengan makna dan hikmah dalam mengerjakan salat. Kita akan menyadari hanya dengan salatlah hati manusia akan kembali bergairah dalam menjalani hidup. Karena dengan salat manusia dapat terhindar dari perbuatan keji dan munkar, lebih tabah menjalani kehidupan, ikhlas menghadapi cobaan dan  menenteramkan hati yang gundah. Dalam salah satu firman-Nya Allah juga menegaskan nilai positif dari salat: �(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.� (QS Ar Ra�d 28).

��Bang, benar kata Allah bahwa nasib, kita sendirilah yang mengubahnya.�� ( Istri Kahar)

Dari kutipan ini lewat tokoh Istri Kahar, Musa menyampaikan pesan bahwa sesungguhnya Allah Maha Bijaksana memberi sesuatu wewenang istimewa pada manusia dibanding makhluk lain dan keistimewaan itu berupa pilihan yang kita buat untuk menentukan takdir kita di dunia. Ini sesuai  firman Allah dalam Al Quran: ��Sesungguhnya Allah takkan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka.�� (Q.S. Al-Anfal 8:53).

Kita sebagai manusia diberi kekuasaan oleh Allah untuk memilih jalan mana yang akan kita tempuh dalam kehidupan. Hanya Allah tak memberi wewenang pada kita tentang akibat dari pilihan yang kita ambil, karena itu adalah hak dan kekuasaan Allah.

��Tapi, ini hakikatnya, Emak. Kematian pasti jadi teman dekat kita.�� (Kahar)

Lewat tokoh Kahar, Musa menyampaikan pesan atau teguran mengenai kematian yang pasti akan dirasa tiap manusia dan semua mahluk hidup di dunia. Karena sesungguhnya tiap detik, umur manusia akan berkurang dan kematian akan makin dekat. Betapa sebuah nasihat yang luar biasa bermakna, sangat menyentuh dan tentunya sarat ilmu illahi yang sangat dalam untuk digali lebih lanjut. Sebuah perjalanan panjang yang akan saya hadapi nanti, Anda juga akan menghadapinya. Sama seperti firman Allah dalam Alquran (QS Ali Imran : 185) �Setiap yang berjiwa, pasti akan merasakan mati.� Demikianlah Allah menegaskan tentang keberadaan kematian. Sebuah pernyataan yang tak bisa dibantah dengan teori manapun. Itulah kekuasaan Allah.

��Kematian hati ada kaitannya dengan kematian salatmu.�� ( Ayah Kahar)

Setelah merenung makna yang terkandung dalam kutipan ini, kita akan menyadari bahwa apa yang disampaikan Musa dalam kutipan ini adalah suatu fakta yang dapat kita temukan dan rasakan dalam kehidupan sehari-hari. Hati adalah raja dalam tubuh manusia. Hati memiliki kekuasaan yang mengatur semua perbuatan baik gerakan, maupun perkataan berasal dari perintahnya, lalu ia gunakan dengan sekehendaknya sehingga semua berada dibawah kekuasaan dan perintahnya. Dari hati seseorang meniti jalan istiqamah atau kesesatan, serta dari hati pula niat itu termotivasi atau malah pudar. Sesuai sabda Nabi SAW: �ingatlah sesungguhnya di dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging. Apabila ia baik, maka baik pula seluruh tubuhnya. Dan apabila ia buruk, maka buruk pula seluruh tubuhnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati.� Dari sini kita tahu begitu pentingnya peran hati dalam tubuh manusia. Maka jagalah hati dari segala hasutan setan, dengan berbanyak zikir, mendekat dan minta pertolongan-Nya agar kita selalu dalam lindungan-Nya dan tetap memiliki hati dan jiwa istiqamah.

��Alangkah bahagianya jika keluarga kita sentiasa menghidupkan salat. Abang yakin bahwa angkasa akan melihat rumah kita ini seperti cahaya bintang yang kita saksikan dari bumi. Terang menyinari dengan keabadian.�� (Ayah Kahar)

Pada kutipan ini Musa selain menyampikan pesan, juga menyampaikan harapannya. Yaitu semua umat Islam dapat menghidupkan salatnya. Walau yang diungkapkannya dalam dialog ini tertuju pada keluarga Kahar, namun pesan dan harapan ini sebenarnya ditujukan pada seluruh umat Islam. Suatu harapan yang tak semua orang memilikinya. Karena jika semua orang memilikinya, dunia ini adalah surga. Penuh dengan orang-orang yang bertakwa pada-Nya. Alangkah indahnya dunia ini yang selalu diselimuti cahaya Ilahi yang abadi di sisi-Nya.

��Padahal, kita sadar bahwa pada hakikatnya kita di dunia ini sentiasa menginginkan kebaikan dan kebenaran untuk menuju matlamat sejati.�� (Ayah Kahar)

Apa yang disampaikan Musa dalam kutipan ini membuat kita menyadari, dari hati manusia yang paling dalam sebenarnya senantiasa menginginkan kebaikan dan kebenaran. Tak ada manusia yang hidup dengan hati yang tenang dan kebahagiaan yang hakiki, jika menjalani sesuatu yang membawanya ke perbuatan yang hanya memberinya kebahagiaan yang bersifat sementara. Walau kenyataannya hati kita selalu saja ego mempertahankan apa yang sudah kita jalani dalam hidup ini sudah melakukan kebaikan dan kebenaran. 

Kesimpulan yang dapat saya ambil terhadap analisis nilai religius dalam cerpen ��Telekung buat Emak�� karya Musa Ismail ini ialah, ia ingin menyampaikan pesan atau nasehat religius yang dikemas dalam konflik adanya pertentangan yang kuat antar tokoh. Dalam mempertahankan pendirian dan keikhlasan hati dalam mendirikan salat. Pesan Musa dalam cerpen ini: pertama , perlunya menjaga hati sebagai raja dalam tubuh manusia. Karena segala perbuatan yang dilakukan manusia berawal dari perintahnya. Kedua, pentingnya menegakkan salat. Sebagai tiang agama, peneduh hati dan sebagai ketakwaan pada-Nya. Ketiga, hikmah dalam mendirikan salat, yaitu dapat melindungi manusia dari berbuatan yang keji dan munkar dan mencapai ketentraman jiwa yang sesungguhnya. Keempat, sesungguhnya kematian itu akan pasti dirasakan setiap jiwa yang bernyawa. Kelima, tak ada kata terlambat untuk bertobat selagi ajal belum menjemput.

Irma Safitri, Mahasiswa semester IV, Bahasa Indonesia STKIP Pelita Bangsa Bengkalis. Selain menulis esai, juga menyuka sastra. Bermastautin di Bengkalis.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 27 Mei 2012

Menebar Senyum Sambil Meraung

Kata Pengantar untuk Kumpulan Puisi Tangisan Kanal Anak-anak Nakal

-- Riza Multazam Luthfy

ADONIS, penyair Arab kontroversial paska Perang Dunia Kedua (dalam Adonis, Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam, terj. Khoiron Nahdliyin, LKiS, 2012 (Edisi Khusus Komunitas), melontarkan bahwa puisi melambangkan sarana ideologis: dipakai untuk membela dan memberi kabar gembira (madh), atau mengkritik dan menyerang (hija�).

Berdasar pendapat Adonis di atas, tujuan penciptaan puisi adalah dalam rangka mengajak manusia memeluk kebahagiaan serta menghidangkan teguran terhadap realitas yang sedang sakit. Dalam pengertian inilah, puisi-puisi Muhammad Asqalani Eneste (MAE) mendapati eksistensinya.

Selain fungsi alamiahnya: menghibur diri dan lingkungan sembari menanam benih-benih perubahan, puisi-puisi MAE memanggul kesan bahwa ekstase puisi bisa direngkuh tanpa mengobral jamak kata. MAE seolah berhasrat memekikkan secara lantang bahwa dalam merekacipta puisi, penyair tak harus menghamburkan kata-kata. Pengorbanan banyak kata, tanpa dibuntuti kekuatan makna, menyebabkan keberadaan puisi sia-sia belaka. 

Dari sinilah timbul kecurigaan bahwa MAE adalah penyair yang berat tangan, atau bahkan pelit. Pelit dalam arti enggan melepas kata dari sangkarnya. Berbagai ragam perhitungan ditimbang secara matang sebelum menyelipkan seekor kata dalam puisinya. Namun, meski puisi-puisi MAE termasuk �kikir kata�, ia tetap menjanjikan kemurahan, kenyamanan dan kemewahan bagi penikmatnya. Ini sejalan dengan pepatah Arab klasik: ��khairul kalaami maa qalla wa dalla�� (sebaik-baik perkataan ialah yang sedikit tapi efektif).

Tak semua hasil maksimal diperoleh dengan mengeluarkan jumlah yang besar. Penggunaan kata seirit mungkin, nyatanya mampu menyajikan efek kejut luar biasa. Ini jadi salah satu pijakan MAE dalam membesarkan anak ruhaninyameminjam istilah Pramoedya Ananta Toer. Ini dijumpai semisal dalam puisi ��Kania I��, ��Kania II� dan �Kania III� (semuanya membicarakan tentang Adam), di mana ketiganya terdiri dari dua larik dan kurang dari sepuluh kata.

Berikut disajikan secara utuh ketiga puisi dimaksud. Puisi �Kania I�: Adam, aku ingin tetap menjelma rusukmu.../ hingga waktu jadi debu//. Puisi �Kania II�: Adam, mata kelerengmu berputarputar di retinaku/ wajahmu membelenggu//. Puisi �Kania III�: Adam, berikan aku waktu mencengkram bayangmu/ hingga lelah menemu kantukku//.

Tentu melahirkan puisi yang �padat berisi� demikian bukanlah urusan ringan. Diperlukan usaha �berdarah-darah� guna memilah kata agar puisi-puisi ini menyimpan ruh. Merugilah seorang penyair yang genap menetaskan puisi, yang memiliki raga, namun tiada ditopang oleh jiwa!

Selugu apapun kata, ia tetap tergolong keras kepala, malas diatur, dan punya karakter tersendiri yang membedakan dengan kata lainnya. Seringkali penyair dibuat putus asa ketika kata berhasil mengelabui dan mengecohnya. Atas dasar itulah, penyair dituntut waspada. Mengapa? Kata yang ditempatkan secara serampangan bakal membalas dendam dengan melukai dan membunuh pelan-pelan puisi yang dihasilkan. Lantas, pada masanya, puisi itu akan kejang-kejang dan mati mengenaskan. Dengan demikian, hanya pada para pengrajinlah (baca: penyair), kata mau bertekuk lutut. Barang tentu pengrajin yang bukan asal-asalan. Pengrajin yang sudah �menjadi� dan bosan �makan garam�.

Mengurai Tema dengan Airmata
Penentuan judul merupakan hak prerogatif penyair dalam upaya mencakup keseluruhan tema puisi yang dirangkai dalam satu kesatuan. Bukan hal yang mudah untuk menetapkan judul yang sanggup memuat segala hal (baca: puisi) di dalamnya. Terkadang, bagi penyair, setelah mengumpulkan ceceran puisi dalam satu wadah, ia ditikam kesukaran untuk mengambil judul yang pas. Judul yang mewakili aspirasi unsur-unsurnya. Tak ayal, diperlukan rimbun waktu, tenaga, juga pikiran, demi sekadar mendaulat judul yang relevan.

Kumpulan puisi ini bertajuk Tangisan Kanal Anak-anak Nakal. Memang di dalamnya, pembaca takkan menemukan puisi dengan judul tersebut. Hal yang tak perlu dianggap ganjil, bahkan dirisaukan, karena sejumlah penyair juga melakukan hal serupa: melabeli buku kumpulan puisi mereka dengan titel tertentuyang beda dengan judul-judul puisinya. Sebut saja Epri Tsaqib dengan buku puisinya �Ruang Lengang� (Penerbit Pustaka Jamil), yang jangkap dua kali naik cetak.

Kenakalan dalam mengolah imajinasi dan menyajikan pesan merupakan faktor utama mengapa MAE mencomot judul di atas. Dalam puisi berjumlah 125 ini, MAE ingin memosisikan diri selaku anak kecil yang gemar melakukan sesuatu seenak perutnya. Dalam tarafnya sebagai sang kreator puisi, hal ini diwujudkan, baik dalam pengelanaan jagat metafora maupun pengembaraan makna tanpa batas. Sehingga apapun yang dipendam, bisa diungkapkan sebebas-bebasnya. Layaknya burung yang terbang tinggi di angkasa. 

Selain itu, sesuai sifat anak kecil, merengek dan meronta-ronta adalah hal yang lumrah. Ketika keinginannya urung dituruti, ia akan menangis sejadi-jadinya. Apalagi, ya apalagi, yang memeras airmata adalah anak badung, yang tak hanya menerap sesiapa di sekitarnya menggelengkan kepala, tapi juga tersungut-sungut di buatnya. Atas dasar itulah, dengan cara memerankan diri selaku bocah nakal, pada siapa saja dalam kondisi apapun penyair leluasa meluapkan segala perasaannya. Contoh yang baik ditunjukkan pada puisi �Ciuman Candu�: /1/ bara bibirMu membakar kerontang bibirku /2/ air liurMu jatuh ke lidahku. Sebenarnya, dalam puisi ini tiada ungkapan tersirat yang menyampaikan bahwa saking nikmatnya, aku lirik mengharap agar anugerah yang telah mendarat bisa terus dihisap. Dalam puisi ini, aku lirik sebagai hamba memohon supaya yang diajak bicara (Tuhan) bersedia senantiasa mencucurkan cinta-Nya. Kemesraan hubungan antara makhluk (yang diciptakan) dengan Khaliq (yang menciptakan) diekspresikan dengan kata �ciuman�. Sedang �candu�  mengisyaratkan makhluk dalam konteks ini aku lirik merasa ketagihan dengan apa yang telah diberikan Sang Pencipta.  

��Trial and Error�� Puisi
Di antara tantangan berat bagi penyair adalah menjinakkan kata. Sebab itu, MAE terdorong untuk mengetahui bagaimana cara menundukkan dan mengalahkan kata. Pada proses kreatif MAE, hal ini salah satunya ditandai dengan indikasi bermain-main diksi. Semisal pada puisi �Bagai Aku�, di mana di dalamnya terdapat frasa �melangkahi batubatu bisu/ dan di celah tubatuba waktu�/. �Batubatu� disulih rupa menjadi �tubatuba�. Bandingkan dengan puisi Joko Pinurbo (2006) �Ranjang Kecil�: Tubuhmu tak punya lagi ruang/ ketika relungmu menghembuskan raung//.

Memperhatikan puisi di atas, terdapat gejala �trial and error�. Sebuah langkah yang tak boleh dihalang-halangi, bahkan oleh kritikus sekalipun. Sebab, kadang kala hal itu jadi pemantik timbulnya karya agung (masterpiece). Namun jika kurang hati-hati, ulah �coba-coba� itu justru mengantar puisi ke keranjang sampah.   

Hal sama juga menjangkiti puisi �Hi-La�: La latah Jan menelanjangi rupa//, yang diselipi keterangan:  �Hi-La = halo jangan, Hi (Inggris) = halo, La (Arab) = jangan, Jan (Minang) = jangan. Dalam puisi tersebut, tersua usaha MAE yang serius guna menghasilkan puisi agak ganjil dengan corak puisi pada umumnya.

Sungguhpun demikian, MAE patut mengantongi apresiasi setinggi-tingginya, sebab dengan gencarnya upaya �trial and error� ini, ternyata tak lantas menjadikan MAE meninggalkan gaya puisinya --seperti puisi-puisi lama-- yang punya keteraturan rima. Misalnya, puisi �Langkah Tertahan� (Magfiroh Az-Zahra): kita bertengkar sehabis getar/ lalu kau menggulung tikar/ ingin pulang/ tak tahu jalan pulang//.

Demikianlah, sekelumit pembacaan terhadap puisi-puisi MAE yang diakui sendiri sebagai puisi-puisi singkat. Puisi-puisi yang meski giat memerah airmata, namun tetap membujuk manusia untuk tertawa. Dan, tentunya, masih terbuka ruang yang begitu luas bagi para pembaca lain untuk merabanya dengan pandangan tajam serta paparan yang lebih mendalam.

Riza Multazam Luthfy, Menulis puisi, cerpen dan esai. Karya-karyanya bertebaran di beberapa media, seperti Kompas, Jawa Pos, Suara Pembaruan, Kedaulatan Rakyat, Radar Surabaya, Sumut Pos, Padang Ekspres, Sumatera Ekspres, Jurnal Medan, Analisa, Basis, Sabili, Annida, Okezone.com dan Kompas.com. Kini sedang melanjutkan studi di program magister hukum UII Jogjakarta.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 27 Mei 2012

[Jejak] Amir Hamzah, Penyair dan Pangeran Langkat Hulu

AMIR Hamzah mempunyai nama lengkap Tengku Amir Hamzah. Lahir di Tanjung Pura, Langkat-Sumatera Utara pada 28 Februari 1911. Ia tumbuh dalam lingkungan bangsawan Langkat yang taat Islam. Pamannya, Machmud-adalah Sultan Langkat yang berkedudukan di ibukota Tanjung Pura, memerintah antara tahun 1927-1941. Sementara ayahnya, Tengku Muhammad Adil (saudara Sultan Machmud sendiri), menjadi Wakil Sultan untuk Langkat Hulu, berkedudukan di Binjai.

Pada awalnya Amir Hamzah menempuh pendidikan di Langkatsche School di Tanjung Pura pada tahun 1916. Kemudian pada 1924 dia masuk sekolah MULO (SMP) Medan. Setahun kemudian dia hijrah ke Jakarta hingga menyelesaikan SMP nya pada 1927. Selanjutnya Amir melanjutkan sekolah di AMS (SMU) Solo-Jawa Tengah, Jurusan Sastra Timur, hingga tamat. Kemudian kembali lagi ke Jakarta, masuk Sekolah Hakim Tinggi hingga meraih Sarjana Muda Hukum.

Amir Hamzah tentu tak dapat dipisahkan dari kesusastraan Melayu. Tak heran kalau dalam dirinya mengalir bakat kepenyairan yang kuat. Buah Rindu adalah kumpulan puisi pertamanya. Puncak kematangannya terlihat dalam kumpulan puisi Nyanyi Sunyi. Kecuali itu, Amir Hamzah meninggalkan buku Setanggi Timur dan menerjemahkan pula kitab Bagawat Gita.

Riwayat hidup penyair yang juga pengikut tarekat Naqsyabandiyah ini ternyata berakhir tragis. Pada 29 Oktober 1945, Amir diangkat menjadi Wakil Pemerintah RI untuk Langkat, berkedudukan di Binjai. Ketika itu Amir adalah juga Pangeran Langkat Hulu, di Binjai. Ketika Sekutu datang dan berusaha merebut hati para sultan, kesadaran rakyat terhadap revolusi menggelombang.

Mereka mendesak Sultan Langkat segera mengakui RI. Lalu Revolusi Sosial pun pecah pada 3 Maret 1946. Sasarannya adalah keluarga bangsawan yang dianggap kurang memihak kepada rakyat. Tak ayal, sejumlah bangsawan pun ditangkap. Termasuk Amir Hamzah. Pada dini hari 20 Maret 1946, mereka dihukum pancung.
Di kemudian hari terbukti bahwa Amir Hamzah hanyalah korban tak bersalah dari sebuah revolusi sosial. Karena itu, pada tahun 1975 Pemerintah RI menganugerahi gelar Pahlawan Nasional. Ya, saat terjadi revolusi sosial kerap menjadi kesempatan untuk pihak-pihak tertentu untuk melampiaskan niat buruk pada orang yang kurang disukainya. Korban pun kerap tak pandang orang dan bisa dari strata manapun. Nama Amir Hamzah akhirnya mampu dibersihkan, meski butuh waktu dan pengorbanan nyawa.

Tengku Amir Hamzah meninggal di Kuala Begumit, 20 Maret 1946 pada umur 35 tahun dan ia adalah seorang sastrawan Indonesia angkatan Pujangga Baru. Ia lahir dalam lingkungan keluarga bangsawan Melayu dan banyak berkecimpung dalam alam sastra dan kebudayaan Melayu. Amir Hamzah bersekolah menengah dan tinggal di Pulau Jawa pada saat pergerakan kemerdekaan dan rasa kebangsaan Indonesia bangkit. Pada masa ini ia memperkaya dirinya dengan kebudayaan modern, kebudayaan Jawa, dan kebudayaan Asia yang lain. Selama di Pulau Jawa,ia bergaul dengan tokoh pergerakan asal Jawa, misalnya, Mr Raden Pandji Singgih dan KRT Wedyodi.

Dalam kumpulan sajak Buah Rindu (1941) yang ditulis antara tahun 1928 dan tahun 1935 terlihat jelas perubahan perlahan saat lirik pantun dan syair Melayu menjadi sajak yang lebih modern. Bersama dengan Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane ia mendirikan majalah Pujangga Baru (1933), yang kemudian oleh HB Jassin dianggap sebagai tonggak berdirinya angkatan sastrawan Pujangga Baru. Kumpulan puisi karyanya yang lain, Nyanyi Sunyi (1937), juga menjadi bahan rujukan klasik kesusastraan Indonesia. Ia pun melahirkan karya-karya terjemahan, seperti Setanggi Timur (1939), Bagawat Gita (1933), dan Syirul Asyar.

Amir Hamzah tidak hanya menjadi penyair besar pada zaman Pujangga Baru, tetapi juga menjadi penyair yang diakui kemampuannya dalam bahasa Melayu-Indonesia hingga sekarang. Di tangannya Bahasa Melayu mendapat suara dan lagu yang unik yang terus dihargai hingga zaman sekarang. Amir Hamzah terbunuh dalam Revolusi Sosial Sumatera Timur yang melanda pesisir Sumatera bagian timur di awal-awal tahun Indonesia merdeka. Ia wafat di Kuala Begumit dan dimakamkan di pemakaman Mesjid Azizi, Tanjung Pura, Langkat. Adapun, revolusi ini terjadi pada tahun 1946. Ia diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 106/ tahun 1975, pada 3 November 1975.(fed)

Sumber: Riau Pos, Minggu, 27 Mei 2012

Saturday, May 26, 2012

Bahasa adalah Jantung Kebudayaan

TANJUNGPINANG (Lampost): Bahasa adalah jantung kebudayaan. Karena itu merawat bahasa, baik bahasa nasional maupun bahasa daerah, adalah sebuah keharusan. Jika tidak, kebudayaan akan lemah dan tak punya arah.

Sejarawan Taufik Abdullah menegaskan hal itu sebagai pembicara kunci pada Seminar Internasional Revitalisasi Budaya Melayu (RBM) III hari kedua, Jumat (25-5), di Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau.

Menurut Taufik, jika bahasa mengalami perubahan yang mengancam esensi kebudayaan, nilai-nilai luhur yang diwariskan akan menjadi problematik.

Karena itu, kata Taufik, sudah saatnya seluruh komponen bangsa, khususnya pemerintah, memberi perhatian serius, terutama terhadap bahasa-bahasa daerah yang dilanda krisis bahkan terancam punah. Apalagi, katanya, ini amanat UUD ‘45. Ia juga mengimbau sudah seharusnya Indonesia yang kaya bahasa mempunyai museum untuk merekam semua tradisi lisan dari semua bahasa yang ada di Indonesia.

Menurut Taufik, hipotesis perubahan bahasa yang mengancam kebudayaan itu salah satunya terjadi pada bahasa Melayu. Dalam kaitan itulah, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Budaya UI di masa Orde Baru pernah mengadakan penelitian untuk mengungkap bagaimana realitas kehidupan bahasa di kalangan orang Melayu di Kepulauan Riau.

Kepulauan Riau dipilih karena di kepulauan inilah (di Pulau Penyengat) naskah-naskah Melayu banyak ditulis. Bahkan, tata bahasa Melayu pertama (Kitab Pengetahuan Bahasa) karya Raja Ali Haji, yang juga pengarang Gurindam 12 ditulis di pulau kecil ini.

Penelitian itu menemukan betapa bahasa (khususnya tradisi lisan) masih hidup di kepulauan itu. "Bahkan, para pemilik tradisi lisan itu menjadi lebih sadar betapa berharganya warisan yang masih mereka punyai itu. Langsung atau tidak langsung penelitian itu juga mengingatkan masyarakat akan pertalian berbagai unsur tradisi dengan wilayah lain," kata Taufik yang juga mantan ketua LIPI itu.

Tradisi lisan yang begitu banyak di Kepulauan Riau dan nusantara yang tertuang dalam bentuk kisah ataupun puisi, teater, nyanyian. Dan, tradisi lisan yang hidup di berbagai kesatuan etnis di bumi nusantara ini mengingatkan fakta kehidupan kebudayaan mereka terkait dengan kesatuan etnis lain di masa silam. "Fakta-fakta seperti ini sesungguhnya bisa menjadi penguat kebersamaan sebagai satu bangsa," katanya.

Pluralisme

Pembicara lain, Ketua Masyarakat Sejarah Indonesia Mukhlis PaEni menekankan betapa pluralisme itu kehendak sejarah. Sementara kebhinnekaan itu berkah dari Tuhan untuk bangsa Indonesia. Karena itu, harus dijaga erat-erat. Jika tidak, kita mengingkari berkah itu.

Kekayaan budaya kita dari masyarakat multikultur, kata Mukhlis, adalah "deposito" yang tidak ada habis-habisnya. Karena itu kebudayaan harus terus dirawat, dikembangkan secara inovatif, kreatif, dan penuh tanggung jawab. "Sebab, banyak pula kebudayaan yang dikembangkan tidak dengan tanggung jawab, khususnya produk film yang semata-mata hanya bertujuan dagang," kata Mukhlis yang juga Ketua Lembaga Sensor Film Indonesia.

Selain Taufik Abdullah dan Mukhlis PaEni, hadir sebagai pembicara dari Indonesia antara lain arkeolog Agus Aris Munandar, dan ahli sastra Ayu Sutarto. Dari mancanagera Muhammad Haji Saleh, Haron Daud (Malaysia), Chua Soo Pong (Singapura), Dick van der Meij, dan Aone van Engelenhoven (Belanda). (DJT/U-2)

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 26 Mei 2012

Citra Kata-kata

-- Mulyo Sunyoto

BAHASA, yang diwakili kata-kata dalam pemakaian keseharian, mengandung citra dalam dirinya. Pemahaman semacam ini telah dimiliki hampir setiap orang. Demi citra inilah orang rela mengeluarkan dana. Mengganti nama-nama untuk menciptakan citra baru dilakukan banyak kalangan. Termasuk mereka yang bergerak di bisnis kesehatan.

Sudah lama kalangan ini mengganti nama bangsal buat orang yang tak lagi bernyawa "kamar mayat" menjadi "rumah duka". "Kamar mayat" mencitrakan keangkeran, kengerian, dunia hantu dan segala sesuatu yang menakutkan. Dulu, masuk ke dalam kamar mayat merupakan bagian dari kegiatan perpeloncoan mahasiswa baru di fakultas kedokteran.

Kini agak lucu jika kegiatan itu masih dilakukan. Mahasiswa diuji nyalinya dengan masuk ke rumah duka. Mestinya, yang diuji di sini bukan lagi nyali, tapi ketangguhan emosi untuk bertahan dari rasa duka mendalam. Jadi mahasiswa baru di fakultas kedokteran yang dinyatakan lulus adalah mereka yang keluar dari rumah duka tanpa menitikkan air mata.

Pasti semua lulus karena yang meninggal di rumah duka itu sangat mungkin bukan orang yang dikasihi sang mahasiswa. Adalah kebetulan yang sangat amat jarang jika sang mahasiswa saat diuji untuk masuk ke rumah duka itu, dalam rangka perpeloncoan, tersua dengan anggota keluarga atau kekasihnya yang meninggal karena kecelakaan atau sakit.

Sebuah rumah sakit swasta terkemuka di Jakarta, St Carolus, tak lagi menyandang nama rumah sakit di depan namanya. Nama institusi bisnis kesehatan yang biasa disingkat RS itu disingkirkan dan diganti dengan "pelayanan kesehatan", tanpa "pusat" yang merujuk ke pengertian ruang.

Penggantian itu tentu mengakibatkan konsekuensi kebahasaan yang absurd (mustahil). Coba bayangkan dialog berikut ini: "Mau ke mana?" tanya A. "Mau ke Pelayanan Kesehatan St Carolus," jawab B. Tanya jawab itu terasa absurdnya bila diubah menjadi tanya jawab berikut: "Kita mau pergi ke mana, Ayah?" tanya Anak. Ayah menjawab, "Kita ke penabrakan tragis halte Tugu Tani!"

Maksud sang Ayah adalah pergi ke lokasi penabrakan tragis yang berlangsung di sebuah halte Tugu Tani Jakarta beberapa waktu lalu. Kalau pihak pebisnis St Carolus itu menambahkan "pusat" di depan "pelayanan kesehatan", absurditas dialog itu bisa dienyahkan.

Masih berkisar di lingkungan rumah sakit. Bagi yang belum pernah berobat ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, sekali-kali cobalah berobat di kelas eksekutif yang diberi nama RSCM Kencana. Untuk mengusung citra eksekutif, di ruang tunggu utama terdapat dua meja pelayanan, yang diberi nama "Information" dan "Registration". Tak ada salinan Indonesianya. Jadi anda tidak bisa membedakan sedang berobat di Jakarta atau di luar negeri.

Jadi yang dilakukan pemilik St Carolus dan pengelola RSCM untuk membangun citra sebuah bisnis kesehatan melewati jalan yang sama. Keduanya mengelola bahasa, kata-kata untuk membangun citra. Namun keduanya memiliki landasan kebahasaan yang berbeda: Carolus bergerak di ranah makna, mengganti makna "rumah sakit", tempat orang sakit, menjadi "pelayanan kesehatan", perbuatan melayani orang untuk menjadi sehat.

Sementara itu, RSCM bergerak di ranah bentuk. Yang diubah bukan makna tapi bentuk penulisan. Kata serapan "informasi" dan "registrasi" diubah ke bentuk asli Inggris "information" dan "registration" agar kelihatan lebih mendekati modernisme.

Jelas, jalan yang ditempuh RSCM mengorbankan nasionalisme kebahasaan. Andai Cipto Mangunkusumo, perintis kemerdekaan RI yang nyentrik dan benci menunduk-nunduk di depan kultur Eropa itu hidup, pastilah dia tolak gagasan penginggrisan itu.

Pengelola RSCM perlu sadar bahwa yang menyebabkan sebuah bisnis apapun, termasuk bidang kesehatan, sukses bukan penggantian atau penginggrisan nama-nama tapi pelayanan yang prima. Maka, pembangunan citra lewat bahasa bisa efektif jika diikuti dengan perbuatan melayani yang memuaskan konsumen, dalam hal ini pasien yang memerlukan jasa kesehatan. (ANT)

Sumber: Oase, Kompas.com, Sabtu, 26 Mei 2012