Monday, April 30, 2012

Pelestarian Bahasa Jawa Perlu Payung Hukum

-- Jodhi Yudono

SEMARANG, KOMPAS.com--Pemerhati bahasa Jawa Sutadi Siswarujita menilai, upaya pelestarian bahasa Jawa memerlukan payung hukum terutama peraturan daerah agar budaya tradisional tidak semakin terkikis.

"Rancangan Peraturan Daerah Bahasa, Sastra dan Aksara Jawa yang sekarang digodok diharapkan segera disahkan," katanya usai diskusi "Budaya Adiluhung Yang Murung" di Semarang, Senin.

Pada diskusi yang diprakarsai Sindo Radio itu, dia menjelaskan, keinginan dan harapan adanya regulasi daerah yang mengatur bahasa, sastra dan aksara Jawa sebenarnya sudah muncul pada Kongres Bahasa Jawa III di Yogyakarta tahun 2001.

Namun, kata Sutadi yang juga Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Jawa Tengah, keinginan itu terhambat belum adanya undang-undang yang mengatur, sementara Jawa Barat sudah menerbitkan perda semacam itu pada 2003.

Akhirnya, menurut dia, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 24/2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara yang di dalamnya mengatur pentingnya perlindungan, pelestarian dan pembinaan bahasa daerah.

"Setelah itu, desakan untuk dibuatnya Perda Bahasa, Sastra dan Aksara Jawa kian menguat karena didasari keprihatinan kian terkikisnya penggunaan bahasa Jawa, apalagi penguasaan sastra dan aksara Jawa," katanya.

Ia menyadari, potensi kebudayaan trasidional Jawa, meliputi bahasa, sastra dan aksara yang dimiliki Jateng sangat besar, misalnya perbedaan dialek Jawa, untuk masyarakat daerah pesisir Kulon dan pesisir Wetan.

"Pemerintah daerah memiliki peran dalam upaya pelestarian kebudayaan tradisional Jawa dengan menetapkan regulasi yang menjadi payung hukum dan dasar landasannya," kata pria yang akrab disapa Ki Sutadi tersebut.

Perda tersebut, kata dia, nantinya juga mengatur penggunaan bahasa Jawa di institusi penyelenggara pemerintahan dalam situasi tidak resmi atau tidak formal sehingga aspek sosiologis dan yuridis akan bertemu.

"Memang tidak ada sanksi hukum berkaitan dengan Raperda Bahasa, Sastra, dan Aksara ini, namun setidaknya merupakan apresiasi pemda atas pelestarian budaya daerah, seperti halnya di Jabar dan Bali," kata Sutadi.

Sementara itu, Koordinator Raperda Prakarsa Komisi E DPRD Jateng Bambang Sutoyo mengakui proses penggodokan Raperda Bahasa, Sastra dan Aksara Jawa sudah sampai tahap studi banding, konsultasi dan "public hearing".

Ia mengakui, penggagasan perda tersebut memang didasari keprihatinan atas kelestarian bahasa, sastra, dan aksara Jawa mulai terkikis, termasuk penggunaan bahasa Jawa dalam keluarga yang kian jarang dijumpai.

"Nantinya, penerapan perda tersebut memerlukan peraturan gubernur yang menjabarkan susbtansi Perda Bahasa, Sastra, dan Aksara Jawa. Rencananya, perda itu akan disahkan pada 10 Mei mendatang," kata Bambang. (ANT)

Sumber: Oase, Kompas.com, Senin, 30 April 2012

Prof Andrew Weintraub: Dangdut Bukan dari India!

-- Jodhi Yudono

SURABAYA, KOMPAS.com--Peneliti musik dangdut dari University of Pittsburg, Amerika Serikat, Prof Andrew Weintraub BA MA PhD, menegaskan bahwa dangdut merupakan musik asli dari Indonesia, bukan dari Malaysia atau India.

"Ada yang bilang dangdut itu dari Malaysia karena ada unsur Melayu, atau ada juga yang bilang dari India karena ada unsur India-nya, tapi saya sudah meneliti sejak 1984 dan ternyata sifat dangdut itu khas Indonesia," katanya di Surabaya, Senin.

Ia mengemukakan hal itu dalam peluncuran bukunya bertajuk "Dangdut; Musik, Identitas dan Budaya Indonesia" di Aula Fisip Unair Surabaya yang juga menampilkan Rachmah Ida M Comms PhD (pakar komunikasi Unair) dan Sholehuddin SH MH (PAMMI).

Profesor yang beristrikan orang India itu mengaku lagu dangdut berjudul "Termenung" memiliki kesamaan dengan musik dari sebuah film India yang diproduksi pada tahun 1957, tapi lirik lagunya sangat khas Indonesia, meski ada unsur India-nya.

"Jadi, dangdut itu memang asli Indonesia, karena ada sifat khas Indonesia yang tidak ditemukan dari musik Melayu dan India, di antaranya tema lagu yang dekat dengan kehidupan orang Indonesia," paparnya.

Selain itu, kata profesor yang suka angklung, gamelan, dan wayang itu, dangdut itu tidak sama dengan Melayu, karena Melayu di Indonesia ada di dataran Sumatera, tapi dangdut justru bermula dari Jawa.

"Karena itu, penelitian saya menyimpulkan dangdut itu musik asli Indonesia yang dibuat orang Indonesia untuk orang Indonesia, bukan musik India, Malaysia, Amerika, atau yang lain," ucapnya, menegaskan.

Bahkan, katanya, dangdut yang bermula dari Jawa itu sekarang sudah menasional, sehingga ada Dangdut Minang, Danggut Banjar, Dangdut Koplo, Dangdut Remix, dan sebagainya hingga ke Maluku dan Papua. "Di Papua ada orkes dangdut," tukasnya.

Sejak menasional pada tahun 1990-an, katanya, dangdut bukan lagi menjadi musik rakyat yang marginal, tapi juga sudah disukai di kalangan elit. "Sekarang ada kafe dangdut, seperti Rasa Sayang, King, Planet," tuturnya.

Senada dengan itu, pakar komunikasi Unair Rachmah Ida M Comms PhD menyatakan berawal dari kata "dang" dan "dut" yang merupakan bunyi dari gendang sebagai alat musik khas dalam irama dangdut.

"Awalnya, dangdut nggak diramaikan, tapi ketika dangdut sekarang sudah ’besar’ mulai ada yang mengakui, seperti Malaysia dan India. Mungkin ada kemiripan, tapi dangdut itu bukan Melayu, melainkan dari Jawa," katanya.

Selain itu, dangdut sempat dipolemikkan dalam dikhotomi "kampungan" dan "gedongan", tapi dangdut sekarang sudah disukai semua kalangan. "Tahun 2004 ada Salam Dangdut MTV," tukasnya. (ANT)

Sumber: Oase, Kompas.com, Senin, 30 April 2012

Seniman Akan Disertifikasi

-- Jodhi Yudono 

MAGELANG, KOMPAS.com--Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Wamendikbud) Bidang Kebudayaan Wiendu Nuryanti, mengatakan, para pekerja seni akan disertifikasi agar mereka dihargai sama dengan para pekerja seni dari luar negeri.

Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bidang Kebudayaan Wiendu Nuryanti (KOMPAS IMAGES/BANAR FIL ARDHI)

"Sekarang para pekerja seni Indonesia belum memiliki sertifikat sehingga ketika dibawa ke luar Indonesia, mereka tidak dihargai. Padahal bangsa ini kebanjiran pekerja seni dari luar negeri, antara lain penyanyi hotel dari Filipina, dan penari dari Korea," katanya di Magelang, Sabtu Malam.

Ia mengatakan hal tersebut saat menyaksikan 24 jam menari pada acara Srawung Seni Segara Gunung di kompleks Candi Borobudur.

Ia menuturkan, sertifikasi pekerja seni harus dibedakan kompetensinya, misalnya untuk menjadi dalang yang bersertifikasi itu harus mampu apa saja.

Wamendikbud menuturkan, kemampuan tersebut harus dipetakan dahulu. Setelah itu dibuat standarnya. Di negara manapun akan menggunakan standar yang sama dalam melakukan sertifikasi.

"Sekarang sedang dibuat standar kompetensi," katanya.

Ia mengatakan, sertifikasi tersebut merupakan salah satu hal yang akan dilakukan reformasi pembangunan kebudayaan.

Di bidang lain, katanya, reformasi pembangunan kebudayaan juga akan dilakukan pada karakter, bidang seni dan perfilman, dan bidang diplomasi.

Selain itu, katanya, sarana prasarana akan ditingkatkan dan juga fasilitas-fasilitas kesenian di sekolah, membantu sarana prasarana seni masuk sekolah akan digalakkan.

Ia mengatakan, tidak semua masyarakat beruntung memiliki akses terhadap gedung bioskop oleh karena itu akan menyediakan bioskop berjalan untuk daerah-daerah yang kurang beruntung dengan film-film yang berpendidikan karakter. (ANT)

Sumber: Oase, Kompas.com, Senin, 30 April 2012

Indonesia Harus Jadi Bos di Negeri Sendiri

-- Didik Purwanto & Tri Wahono 

JAKARTA, KOMPAS.com - Gubernur DI Yogyakarta dan Sultan Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X mengaku miris karena kekayaan masyarakat lokal tidak bisa dinikmati untuk kemakmuran masyarakat lokal sendiri.

Dari kanan-Budayawan Sindhunata, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu dan Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono di acara Sarasehan Kekayaan Tradisi dan Masa Depan Keindonesiaan Kita di Bentara Budaya Kompas Jakarta, Senin (30/4/2012).
(Kompas.com/Didik Purwanto)

"Meski kekayaan dan kearifan lokal kita banyak, apakah hal itu bisa dinikmati untuk kemakmuran masyarakat sendiri. Justru malah orang lain yang menguasai," kata Sri Sultan saat menjadi pembicara di acara 'Sarasehan Kekayaan Tradisi dan Masa Depan KeIndonesiaan Kita' di Bentara Budaya, Jakarta, Senin (30/4/2012).

Sri Sultan mencontohkan pariwisata di Bali mengalami pertumbuhan yang signifikan. Bahkan Bali menjadi destinasi wisata yang terkenal di dunia. Namun ternyata, kekayaan bisnis pariwisata di Bali malah dikuasai oleh segelintir pengusaha di tingkat pusat maupun asing. Orang Bali sendiri sebagai masyarakat lokal hanya menerima ampasnya.

"Orang Bali malah menjual tanahnya untuk kepentingan pariwisata Bali. Hasilnya malah dibawa ke pusat dan asing. Orang Bali tidak mendapat apa-apa," keluhnya.

Tidak hanya Bali, bagi masyarakat Indonesia Timur yang terkenal dengan budaya maritimnya justru tidak bisa mengembangkan dengan optimal. Mereka justru dipaksa melakukan budaya agraris. Padahal budaya agraris cenderung dilakukan oleh masyarakat Jawa.

"Sampai saat ini kearifan lokal belum bisa dimanfaatkan oleh masyarakat lokal sendiri. Yang menikmati itu orang lain dan masyarakat lokal malah mempelajari kearifan lokal masyarakat lain," jelasnya.

Di Yogyakarta sendiri, Sri Sultan juga mengaku sempat bersitegang dengan perusahaan ritel Carrefour yang kebetulan juga akan masuk Yogyakarta. Hal itu disebabkan perusahaan ritel tersebut akan membunuh pasar tradisional yang sampai saat ini menjadi ciri khas kota Yogyakarta.

"Saya ingin ada usaha kecil menengah (UKM) asal Yogyakarta bisa masuk Carrefour. Barang-barangnya bisa dijual di sana," katanya.

Alhasil, atas perjuangan Sri Sultan, ada sekitar 174 UKM yang bisa masuk Carrefour. Sehingga potensi ekonomi lokal bisa berkembang.

"Inilah yang disebut masyarakat lokal bisa jadi bos di negeri sendiri," jelasnya.

Sumber: Oase, Kompas.com, Senin, 30 April 2012

Sunday, April 29, 2012

Getar Sajak-Sajak Anwar

-- Alex R. Nainggolan

SAJAK-SAJAK Chairil Anwar, penyair besar itu masih terasa getarnya. Sampai sekarang, 63 tahun setelah kepergiannya. Penyair yang meninggal tanggal 28 April 1949 itu meninggalkan bait kata-kata yang "mengabadi", acap menggaung—jauh dalam rentang jarak umur yang dimilikinya, 27 tahun.

Kata-kata dalam sajak Chairil seperti terus bersemayam di dalam benak. Ia, sebagai pelopor angkatan ‘45, yang ditasbihkan H.B. Jassin, seperti tak pernah lengkang dalam ingatan. Untuk hal yang satu ini, agaknya Milan Kundera bisa jadi salah, sebab ia terus teringat dan tak mudah dilupakan. Dan nyatanya, manusia (baca: khalayak sastra Indonesia) telah mampu untuk melawan lupa. Anwar, dengan sajak-sajaknya masih tetap lekat dalam ingatan.

Kekuatan sajak-sajaknya, sebagaimana dalam surat yang ditulis bagi H.B. Jassin, mengorek sampai ke akar kata. Maka sajak-sajaknya memang mandiri, sejumlah kata-kata asli, yang juga memberdayakan kemurnian sebuah puisi. Mulanya lewat sajak Aku memang Anwar bergerak dalam ranah pribadi, hanya dalam getir perasaan. Pula dalam sajak Nisan—ia lebih bertumpu pada hubungan manusia dengan manusia, entah dalam persoalan asmara ataupun lainnya. Memang tetap diteruskan dalam sajak-sajak selanjutnya semacam Kawanku dan Aku, Senja di Pelabuhan Kecil atau Sajak Putih.

Sejumlah sajak cintanya tidak picisan. Sajak itu tegar, tapi tetap digelayuti banyak getar sehingga saat membacanya ada semacam debar yang tak dirumuskan. Padanan diksi yang apik, membuat sajak-sajaknya tak lagi memiliki celah. Ia membelah (memangkas habis) semua kepanjangan kalimat, membuat kata-kata begitu rapat, sekaligus akrab. Anwar pun seperti menguliti selapis demi selapis pesakitan yang dimilikinya. Ia menyentuh kedalaman kata itu sendiri.

Simak dalam Sajak Putih, bagi saya ini sajak yang begitu tabah, yang mampu "menyihir" di beranda pembukanya: bersandar pada tari warna pelangi/ kau depanku bertudung sutra senja/ di hitam matamu kembang mawar dan melati/ harum rambutmu mengalun bergelut senda//

Terasa ada "gaung" yang tumbuh dalam sajaknya. Kata-kata yang memadat, seperti bergema, memantul-mantul, dan membangunkan kesadaran diri dari dalam. Untuk itu, saya bersetuju dengan Acep Zamzam Noor, penyair asal Tasikmalaya, jika ukuran puisi yang baik ialah bulu-kuduk. Jika puisi dapat membuat getar bulu-kuduk, puisi itu memang baik. Puisi yang bisa membuat segala indera tubuh tetap bergolak.

Sebagaimana yang dicatat Sutardji Calzoum Bachri, jika Anwar dalam menyair selalu sungguh-sungguh (Isyarat, Indonesiatera, hal. 387). Kerja kepenyairannya begitu serius. Ia mencari satu kata dalam sajaknya membutuhkan waktu yang lama, dengan demikian terasa totalitasnya. Begitu besar energi yang ditempuhnya untuk merampungkan sebuah sajak. Dengan demikian sajak-sajaknya dipenuhi energi, tidak lapuk oleh usia, acap membahana.

Dilanjutkan pula oleh Sutardji dalam Wawancara Imajiner dengan Chairil Anwar, bagi seorang penyair menulis sajak itu adalah pekerjaan paling serius, paling sulit, paling berkeringat. Apabila ada yang bilang menulis sajak itu gampang. Ya, gampang kalau menulis sajak itu tujuannya lucu-lucu, untuk beraneh-aneh, sekadar perintang waktu. Oleh sebab itu, penyair yang bersikap menggampangkan puisi, kedudukannya juga tersepelekan dalam kancah perpuisian.

Sikap Penyair

Chairil Anwar adalah seorang penyair yang mempunyai sikap. Ia seorang pribadi yang teguh, yang cenderung mengikuti kata hatinya. Kebenaran yang dirasakan baginya memang terkadang tidak begitu mengasyikkan bagi kehidupannya sendiri. Hal itu dapat dilihat dalam sejumlah sejarah hidupnya yang bohemian, cenderung urakan—yang juga membuatnya, sebagaimana yang ditulis Sapardi Djoko Damono, sebagai lambang kesenimanan di Indonesia.

Sikapnya dengan keseriusan terhadap puisi pula yang membuatnya bisa melampaui apa-apa yang digagas sebelumnya. Melewati seluruh pemikiran zamannya. Ia menulis sajak bagaikan sebuah ladang perburuan kata. Penyair yang menuliskan sajaknya dengan keringat dan air mata. Ia fokus pada setiap penciptaannya. Demikianlah, membaca Anwar adalah membaca sajak-sajak yang tertib kata-kata.

Apa yang dikerjakannya begitu dashyat. Hemat saya, ia telah melompat jauh, dibandingkan dengan para pendahulunya. Sebuah gebrakan yang membuatnya sebagai tersohor. Hal itu tak lepas pula dari sejumlah sajaknya. Mengingatkan saya pada kalimat K. Usman dalam buku yang diberikan pada saya, “Seorang pelopor apabila berhasil ia akan tersohor. Tapi seorang pengekor tak akan pernah jadi nomor satu.”

Memang tak cuma ihwal cinta/asmara yang dipetiknya dalam puisi. Sajak-sajaknya berkisah banyak. Dari pelbagai sudut kehidupan. Anwar juga mencari Tuhan, persoalan bangsa, ataupun masalah sosial masyarakat yang terekam di masa ia hidup. Ia bisa saja berkisah tentang religiositas: doa, surga, masjid, Isa, dsb. Atau aksi heroik dalam sajak sadurannya Karawang-Bekasi atau Diponegoro dan Persetujuan dengan Bung Karno.

Anwar—bersama kesungguhan yang dimiliknya—telah meninggalkan jejak semangat dalam sajak-sajaknya. Semangat yang mengakar, tak pernah pudar dalam menuliskan sajak-sajaknya. Pencarian yang "penuh seluruh", meminjam ungkapannya dalam sajak Doa. Ia bilang ke Jassin dalam surat bertitimangsa 10 April 1944: Yang kuserahkan padamu—yang kunamakan sajak-sajak!—itu hanya percobaan kiasan-kiasan baru. Bukan hasil sebenarnya! Masih beberapa "tingkat percobaan" musti dilalui dulu, baru terhasilkan sajak-sajak sebenarnya. (Chairil Anwar. Aku Ini Binatang Jalang, GPU, hlm. 98). Lewat dirinya, peta puisi Indonesia berubah. Melalui dirinya, pembendaharaan kata yang dimiliki bangsa ini melompat dengan jauh. Barangkali sajak-sajaknya akan tetap abadi. Gema seribu tahun lagi yang dituliskannya akan terbukti.

28 April adalah tanggal kematiannya. Kematian yang muda. Meski Soe Hok Gie—yang juga mati muda—dalam catatannya menulis, "Berbahagialah orang-orang yang mati muda." Di tengah gaung globalisasi, saat kata-kata menyeruak di antara iklan media massa, slogan atau janji, SMS/BBM, pun pada hamparan kata-kata di sejumlah jejaring sosial; apakah sajak-sajak Anwar masih layak diingat, dicatat, dan mendapat tempat? Tapi ketika membaca sajak-sajaknya kembali terasa diksi-diksi rapatnya terus bersinar penuh pijar. Sajak-sajaknya telah berhasil mengatasi kesementaraan waktu sehingga bergema lantang: Ingin hidup seribu tahun lagi!

Ah, Anwar, kata-kata dalam sajakmu masih terus bergetar, penyair!

Alex R. Nainggolan, penikmat sastra

Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 April 2012

[Buku] Poligami ala China

 Data buku

Raise the Red Lantern (Persaingan Para Istri).
Su Tong. Serambi, November 2011. 136 hlm.

NOVEL Raise the Red Lantern merupakan karya perdana Su Tong yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Novel ber-setting 1920-an ini pertama kali terbit dalam bahasa China sebelum diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Wives and Concubines (1990). Teks novel ini lebih populer setelah diangkat ke layar lebar dengan judul Raise the Red Lantern, disutradarai Zhang Yimou dan Gong Li sebagai pemeran utama. Selain diganjar sejumlah penghargaan di festival film dunia, novel ini turut mengantar Su Tong jadi salah satu penulis terdepan China saat ini.

Novel ini berhasil mengungkap sisi kejiwaan perempuan yang jadi istri muda, kultur budaya, dan patriarki di China tahun ‘20-an. Teratai, tokoh sentral dalam novel ini, jadi istri keempat dari lelaki lima puluhan bernama Chen Zuoqian. Di China kala itu, jumlah istri jadi simbol kekayaan dan kekuasaan pria.

Baru setahun Teratai kuliah, pabrik teh ayahnya bangkrut. Kuliah Teratai jadi terbengkalai. Kondisi keluarga makin parah setelah ayahnya tewas bunuh diri dalam rumah. Ibu tirinya menyuruh Teratai menikah ketimbang bekerja. Dengan jadi istri muda, statusnya jadi lebih rendah. Teratai menerima pernikahan sebagai istri keempat bukan kepasrahan, tapi sebagai bentuk perlawanan. Ia bukan tipikal istri muda yang lemah. Ia berani melawan intrik-intrik jahat para Sukacita, Mega, dan Karang, ketiga istri lainnya. Ia tegar, tapi bisa juga melawan dengan keji.

Tinggal dalam satu kompleks rumah tentu bukan hal mudah bagi empat orang istri. Teratai, sebagai istri termuda, selain belajar memahami karakteristik ketiga istri lainnya, juga terlibat dalam berbagai intrik untuk memperebutkan perhatian Chen. Para istri itu diam-diam saling adu siasat untuk menjatuhkan; saling fitnah, memakai ilmu hitam, bahkan rela bertaruh nyawa untuk menyingkirkan saingan. Tujuannya sama, semua ingin jadi istri paling disukai, jadi istri nomor satu di mata Tuan Chen. Lampion merah yang dipasang setiap malam di depan kamar salah seorang istri menjadi penanda bahwa ialah yang dipilih Tuan Chen untuk menemani malam itu.

Lambat laun, Teratai jadi lumrah terlibat pertengkaran verbal dengan tiga istri lainnya. Teratai acap tengkar mulut dengan Karang, bekas penyanyi kelompok opera yang masih suka menyanyikan lagu-lagu sedih jika sedang gundah. Teratai tahu Karang selingkuh dengan dokter muda. Di lain pihak, Teratai juga harus meladeni Walet, pelayan pribadinya yang kurang ajar. Ia, entah atas perintah siapa, dua kali kepergok menggunakan ilmu hitam untuk mencelakakan Teratai.

Hingga muncullah Feipu, putra istri pertama. Usia Feipu dengan Teratai tak beda jauh. Seiring waktu, Feipu mengungkapkan rasa sukanya pada Teratai. Tapi status Teratai sebagai ibu muda membuat Feipu tak berani berbuat lebih jauh.

Selain terlibat ketegangan dengan sesama istri di kompleks rumah Tuan Chen, Teratai terobsesi sekaligus ketakutan dengan sebuah sumur telantar dekat kamarnya. Dia dapat kabar bahwa sumur itu berhantu. Sudah tiga orang dari generasi sebelum mereka menghuni rumah besar itu. Lewat Mama Song, pelayan pengganti Walet yang mati setelah dipaksa Teratai menelan tisu toilet, kejadian bunuh diri terjadi empat puluh tahun sebelum Teratai menjadi bagian rumah itu.

Teratai merasa asing dengan sekeliling, bahkan asing dengan dirinya sendiri. Hidupnya jadi statis dalam kompleks itu. Semua hal yang dilakukan atau dikatakan orang-orang di dekatnya seolah tak ada arti, disikapinya dengan antipati dan sinis.

Keadaan di kompleks rumah Tuan Chen makin parah setelah Karang tertangkap basah sedang berdua dengan dokter di hotel. Mega menangkap basah mereka. Berita itu sampai ke telinga Tuan Chen. Teratai menjadi saksi bahwa Karang tidak bunuh diri terjun ke dalam sumur. Saat pagi, Teratai menyaksikan beberapa pria mengusung Karang yang telah disumpal mulutnya, dilempar ke dalam sumur oleh pria-pria itu.

Seiring dengan tewasnya Karang dalam sumur, depresi Teratai sampai di puncak. Dia jadi gila. Jelang akhir cerita, muncul tokoh baru bernama Bambu, istri kelima Tuan Chen, yang sering memergoki Teratai berbicara pada sumur itu.

Yang membedakan antara film dan novel terjemahan bahasa Indonesia ini adalah nama tokoh. Dalam versi film, nama Teratai adalah Songlian, istri pertama Yuru, istri kedua Zhuoyun, istri ketiga Meishan.

Arman A.Z., pembaca buku

Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 April 2012

Bandar Estetika Bahasa dalam Novel Bulang Cahaya

-- Abdul Kadir Ibrahim

Model Cerita Bulang Cahaya

BAGI kita, nampak begitu jelas kemahiran dan kedalaman pemahaman Rida K Liamsi terhadap serangkaian perjalanan, pasang-surut, turun-naik atau apapun istilah peristiwa terhadap Kerajaan Riau-Johor-Pahang-Lingga dan bahkan Selangor ke dalam karya fiksi, prosa berciri khas novel. Banyak sekali kisah-kisah yang mengharu-birukan apa-apa yang berkaitan dengan manusia, baik ianya lelaki ataupun perempuan. Banyak pula perkara-perkara yang berlaku atau terjadi seputar atau yang mengitari petinggi-petinggi Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang, misalnya tentang �racun-meracun� yang dikisahkan dalam novel ini. Yakinlah kita, bahwa beberapa kejadian, peristiwa dan apa-apa perkara baik ataupun buruk yang menyebati dengan Yang Dipertuan Besar, Sultan Mahmud Syah III dan pembesar-pembesar kerajaan lainnya, atau sesiapa saja dalam lingkup kerajaan itu sendiri, sulit akan dapat dibaca dengan terang di dalam senaraian-senaraian yang lain. Banyak kabar, antara lain kabar sejarah Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang yang didedahkan Rida kepada pembaca melalui novel ini.

Model penceritaan yang dituangkan atau dihidangkan oleh pengarang kepada khalayak pembaca, tidak dari pangkal sampai ke ujung atau sebaliknya dari ujung balik ke pangkal. Melainkan, dibuatnya dalam penggalan-penggalan utama, yakni berpenggal tiga. Penggalan pertama sebagai pembuka, yakni Raja Djafaar sudah mengenang cintanya kepada Tengku Buntat, ketika dia sudah tidak muda lagi, dan berada di Selangor. Berada jauh dari pusat Kerajaan Riau-Lingga. Dia diminta pulang ke Riau-Lingga, karena akan ditabalkan (dilantik) menjadi Yang Dipertuan Muda Riau mengantikan Raja Ali yang sudah wafat.

Berlanjutnya cerita itu, pada penggalan kedua, yang  memuncak, tetapi sukarnya masa-masa percintaan Tengku Buntat dengan Raja Djafaar. Pada penggalan kedua itu, berbagai kisah, peristiwa, dan perkara-perkara lainnya, begitu berselang-seling, melingkar, melingkup, menyungkup, menangkup dan seakan-akan menutup jalinan cinta keduanya. Berbagai informasi yang ada kaitannya dengan kebenaran Kerajaan Riau-Johor-Pahang-Lingga, dihidangkan sempurna di dalam penggalan kedua novel ini.

Selanjutnya, penggalan ketiga, diakhiri dan ditutup dengan keberadaan Raja Djafaar yang sudah tidak muda lagi, selanjutnya mengenang masa lalunya, terutama ketika menjalin kasih mesra yang sulit dengan Tengku Buntat. Dia seakan-akan tiada dapat melupakan Tengku Buntat, meskipun Buntat sudah lama menikah dengan Tengku Husin. Dalam pada itu, Tengku Buntat pun tetap tak pupus-pupus juga cintanya kepada Raja Djafaar, sampai-sampai sebelum dia beserta suaminya pindah dari Lingga ke Temasik atau Singapura, masih sempat-sempatnya menengok bilik Raja Djafaar, meskipun tak ada orangnya. Dan penggalan ini, pengarang novel menggantungkan akhir daripada cinta dan kisah Tengku Buntat dan Raja Djafaar. Sehingga para pembaca, dibiarkan gelisah akan mencari dan mungkin akan akhir sebenarnya cerita novel dimaksud.

Sanggam Bahasa dan Optimisme

Bagi pengarang orang Melayu, niscayalah akan bersungguh-sungguh menggunakan bahasanya sendiri (Melayu/Indonesia) dengan sebaik sebenar-benarnya. Secara patut, beradat dan bermarwah. Dia akan menjaga eksistensinya sebagai pemilik bahasa Indonesia itu sendiri. Pastilah akan sedapat-dapatnya menggunakan bahasa itu bersesuaian dengan adab, adat-budaya dan petah Melayu. Kata-kata vulgar, dan tabu tentulah sukar ditemukan. Bahasa kias dan misal akan menjadi penekanan. Itulah pula yang dapat ditangkap dan dikesan dalam penulisan (pengarangan) novel Bulang Cahaya.

Bagaimanapun, patut diacung jempol, bahwa Rida K Liamsi, seorang penyair, wartawan besar, jurnalis tulen, pengelola media massa terbesar dari Riau Pos Group memuncak ke Jawa Pos Group �yang saya pernah lama bersamanya, baik ketika di SKM Genta, yang ianya sebagai Ketua PWI Riau, ataupun ketika saya menjadi wartawan Harian Pagi Riau Pos, dan berlanjut menjadi redaktur Mingguan SeMpadaN, salah satu media massa Riau Pos Group. Juga selalulah hadir bersamanya dalam seminar sastra dan baca puisi �di dalam menempatkan petah bahasa Melayu dan �akhlak� berbahasa.

Bagi orang Melayu, menjadi pengarang bukan sekadar menghadirkan atau menghidangkan serangkaian kalimat dengan jalinan cerita, tetapi lebih menukik dan jauh daripada itu. Ianya bertanggung jawab kepada agama yang diyakini dan diamalkannya, Islam dan adab, adat-istiadat Melayu yang bersebati dan menjadi jati-dirinya. Memarwahkan dan memartabatkan bahasa adalah harga mati, karena di sanalah makna: manusia mati meninggalkan nama! Ini pulalah yang �dipetuahkan� oleh Raja Ali Haji dalam �Gurindam Dua Belas�, bahwa: Jika hendak melihat orang berbangsa lihatlah kepada budi dan bahasa. Budi dan bahasa bermakna berbuat dan berlaku (berperangai) baik, mulia dan agung (akhlakul karimah). Dengan demikian, maka perkara menyanggam (mematutkan, memarwahkan dan menghebatkan) bahasa menjadi identitas dalam melahirkan karya. Rida K Liamsi dengan novel Bulang Cahaya, ini menjadi penanda bagi kepengarangan Melayu, dan bergeliuk menjadi �bandar estetika bahasa�.  

Hal terpenting kehadiran novel ini, Rida hendak mengabarkan kepada sesiapa saja, baik yang membaca karyanya ini ataupun mereka-mereka yang hidup di tanah Melayu bernama Kepulauan Riau, dan umumnya Indonesia, setiap kejadian, peristiwa, hal-ikhwal, apakah ianya baik ataupun yang buruk, senantiasa ada pesan optimisme di dalamnya. Bagaimana pertelingkahan pandangan, pembidikan kekuasaan, dan pengaruh bagi masa hadapan di dalam lingkar-lingkup Kerajaan Riau-Johor-Pahang-Lingga, antara pihak Melayu dan Bugis, niscayalah dapat menjadi teras bagi mengentalnya rasa optimisme di dalam masyarakat dan pemegang teraju pemerintahan. Serangkaian kejadian atau �peristiwa sejarah� di dalam novel ini, menjadikannya sebagai bacaan  kekinian, dan dapat dipetik mutiara kebaikan bagi kemajuan masyarakat, bangsa dan negeri.

Simpai


Kisah cinta, perjalanan kerajaan, pertukaran-pergantian pejabat Yang Dipertuan Besar (Sultan) dan Yang Dipertuan Muda (Raja), dan perjodohan sungguh membumbui dan mewarnai jalan-jalinan dan rangkaian cerita-kisah novel Bulang Cahaya. Dapat ditangkap dan dimaknai bagaimana semestinya berteguh hati, setia dan amanah akan marwah, harkat dan martabat. Juga, kecepatan, ketegasan dan kepastian keputusan yang mau tidak mau harus diambil,  diputuskan atau dilaksanakan. Jikalau keputusan yang diambil itu tidak dapat memuaskan atau bahkan tidak diterima semua pihak, adalah suatu yang wajar dan sekali-kali tidak boleh bersurut apalagi mundur.

Rida K Liamsi, hendak mempertegaskan kepada sesiapa saja yang kini dan kelak mendapat rahmat atau berkah (amanah) dari Allah sebagai pemegang kekuasaan (menjadi petinggi) negeri, hendaklah betul, tegas, cepat, dan pasti. Demi khalayak ramai dan negeri, jikapun keputusan itu mesti berhadapan dengan keinginan keluarga, tidak menjadi soal. Keputusan final bukan demi keluarga, demi kelompok, demi suku, melainkan demi kebaikan dan kemaslahatan rakyat dan Negara.

Itulah keputusan luar biasa hebatnya yang pernah hadir dalam Kerajaan Riau-Johor-Pahang-Lingga, yakni keputusan yang diambil oleh Sultan Mahmud Syah III ketika menjodohkan Tengku Buntat dengan Tengku Long (Husin) anaknya, dan �mencabut� jabatan Yang Dipertuan Muda dari Tengku Muhammad, yang selanjutnya menyerahkan jabatan itu kepada Raja Djafaar. Selanjutnya, keputusan hebat itu diambil pula oleh Raja Djafaar ketika dia menjadi Yang Dipertuan Muda Riau, melantik Tengku Abdurrahman menjadi Yang Dipertuan Besar, Sultan Riau-Lingga mengganti Sultan Mahmud Syah III. 

Pada akhirnya, cerita novel Bulang Cahaya karya Rida K Liamsi ini, bukan sekadar pantas, patut, elok dibaca, tetapi sesiapa menjadi petinggi negeri di kawasan Kepulauan Riau �ianya ada Gubernur Kepri, Wali Kota Tanjungpinang dan Batam, Bupati Bintan, Karimun, Lingga, Natuna dan Anambas� sepatutnya dapat serempak-kompak berikhtiar menjadikan novel ini dapat dinikmati secara visual. Bahwa, alangkah moleknya kalau diangkat menjadi film layar lebar! Atau, paling tidak di layar kaca (sinetron TV). Tahniah!
   
Abdul Kadir Ibrahim, sastrawan, Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Provinsi Kepulauan Riau, mantan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang dan kini staf ahli Wali Kota Tanjungpinang. Sempena HUT ke-46 tahun 2012 ini akan meluncurkan delapan judul buku, di antaranya 3 kumpulan cerpen, 1 novel dan tiga ulasan.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 29 April 2012

Teater Anak dalam Renungan Riau 2020

-- Rian Harahap

KESENIAN Riau mengalami jalan terang pada tahun ini. Ini terlihat dari beberapa event dan animo masyarakat Riau khususnya di Kota Pekanbaru dalam mengambil sikap menikmati sajian-sajian dalam helatan yang dibungkus kesenian. Mulai dari tari hingga teater. Mulai dari Pekanbaru hingga sajian yang baru saja dihelat Dewan Kesenian Riau di Rokan Hilir. Semua itu bak gayung bersambut semenjak tahun ini berganti. Penulis menganggap itu sebuah hal yang positif namun di balik itu ada beberapa titik yang perlu ditampung dalam pelestarian dan pendidikannya.

Anak merupakan aset bangsa yang paling besar. Negeri ini akan dibawa kemana juga tergantung dari �asupan gizi� yang diberikan kepadanya. Melihat hal itu, demi mencapai visi misi Riau 2020 menjadi pusat kebudayaan Melayu maka mau tidak mau anak harus diikutsertakan sedini mungkin dalam keterlibatannya menuju poin tersebut. Penulis melihat banyak yang harus dibenahi dalam kondisi kesenian di Riau. Anak yang kini terus dijejali berbagai macam pelajaran di sekolahnya juga harus mempunyai wadah menampung intuisi seni yang sudah ada sejak ia dilahirkan. Apa pula yang menjadi wadah anak? Teater mungkin salah satunya.

Bloom (1981) menyatakan, ada tiga aspek perkembangan anak, yaitu aspek kognitif, aspek afektif dan aspek psikomotorik. Aspek kognitif adalah kemampuan yang berhubungan dengan berpikir, mengetahui dan memecahkan masalah seperti pengetahuan komprehensif, aplikatif, sintesis, analisis dan pengetahuan evaluatif. Aspek afektif adalah kemampuan yang berhubungan dengan sikap, nilai, minat dan apresiasi. Sedangkan aspek psikomotorik adalah kemampuan yang berhubungan dengan keterampilan motorik.

Dalam hal ini jelas sudah bahwa seni merupakan media yang baik untuk menyampaikan pendidikan, karena sifatnya menyenangkan dan dapat memberi muatan-muatan positif. Teater adalah tiruan kehidupan manusia yang diproyeksikan di atas pentas. Teater anak adalah seni teater yang diperankan oleh anak. Seni teater termasuk metode pembelajaran jenis role playing. Seni teater anak memiliki potensi besar dalam memberikan pendidikan kepada anak. Teater anak dapat mengembangkan kepribadian anak dengan merangsang aspek kognitif, afektif dan psikomotor pada anak melalui latihan-latihan teater.

Dengan mengembangkan semua aspek perkembangan kepribadian anak, dalam teater anak diharapkan dapat memberi kontribusi berarti dalam mencetak anak-anak bangsa yang berkepribadian baik. Tentunya ini memerlukan strategi penyampaian yang baik karena kondisi di setiap daerah berbeda ketersediaannya untuk mengadakan teater anak. Penyesuaian ini meliputi adat dan norma yang berlaku di masyarakat, tinjauan sejarah masa lampau dan kebutuhan sasaran.

Anak sejatinya mesti memiliki ruang bermain peran. Dalam bentuk dan proses yang mereka alami di sekolah sangat berbeda dengan apa yang mereka dapat di teater. Teater bukan barang pengganti tetapi adalah bahan pokok untuk menempa anak menuju ke arah permainan yang lebih berarti. Banyak manfaat yang akan didapat jika saja anak-anak tersebut mau membuat gebrakan dengan masuk ke dunia teater. Manfaat-manfaatnya berupa ketenangan, kreatifitas dan mampu menyesuaikan diri untuk berkelompok. Memasuki dunia peran bukanlah hal yang sulit jika mereka benar-benar memiliki niat dan disiplin yang tinggi.

Namun banyak halangan menuju sebuah keberhasilan masuk ke dunia teater bagi seorang anak. Orangtua dalam hal ini sangat antipati terhadap apa yang disebut teater. Sebagian besar dari mereka masih memiliki pandangan dan pakem-pakem yang ketat terhada �teater�. Nilai anak yang jelek atau bahkan tinggal kelas akan menjadi alasan untuk mengkambinghitamkan teater. Ranah ini sebenarnya sudah ditinggalkan oleh mereka yang berproses di dunia Barat.

Teater anak bukanlah penghambat tapi pemacu. Bisa dibayangkan jika kegiatan yang dilakukan anak dalam proses penghapalan naskah juga dilakukan dalam mempelajari pelajaran-pelajarannya di sekolah. Belum lagi jika proses menghargai waktu dan ketepatan juga mereka terapkan dalam waktu belajar di rumah. Sangat efektif bukan? Mungkin itu hanyalah �bualan� semata menurut beberapa orang.

Meski begitu teater anak sebenarnya bukanlah hal yang baru. Banyak yang sudah berhasil menjalaninya dan mampu mengangkat marwah bangsa di kancah internasional. Lihat saja, Teater Tanah Air yang menorehkan prestasi dengan menjadi pemenang dalam Pertunjukan teater berjudul ��WOW�� Teater Anak Internasional di Jerman.

Kompetisi yang diikuti 24 negara ini menempatkan Indonesia sebagai peserta dengan penampilan terbaik dan sutradara terbaik. Jose Rizal Manua sebagai pengasuh sekaligus sutradara Teater Tanah Air merintis pergerakan ini di Indonesia. Kesempatan memenangkan itu sangat mungkin menjadi pemacu yang konkret bagi anak-anak dan orangtua memasukkan anaknya ke dalam sanggar teater.

Lain pula dengan cerita Sanggar Keletah Budak. Sanggar teater anak yang bermarkas di Pekanbaru dan latihan setiap Ahad ini membuat sedikit goresan yang membuat bangga masyarakat Riau. Apa pasal? Mereka tercatat sebagai satu-satunya sanggar teater anak di Riau. Dalam helatannya pun mereka sering diundang untuk mengisi acara yang berskala internasional. Sebut saja, Fiesta Bokor Riviera (2011) yang juga menghadirkan para seniman dari luar negeri. Sanggar asuhan Rina NE sebenarnya adalah penggambaran kondisi riil bagaimana kesenian perlu dihadirkan bagi anak-anak.

Anak sebagai manusia juga memerlukan sekeping rehat dari masalah-masalahnya di sekolah. Mudah-mudahan saja Keletah Budak terus menjaga eksistensinya sebagai teater anak. Penuh dengan ruang bermain dan kelompok. Sajian ��Batang Tuaka�� (31/3) di Taman Budaya Riau, merupakan cerita asli dari Indragiri Hulu akan membawa kita hanyut dari sisi lain anak yang mempunyai wadah kesenian. Sajian mereka membuka tahun ini demi Riau 2020. Semoga !

Rian Harahap, penikmat teater dan cerpen. Mengajar di sekolah dasar dan bermastautin di Kota Bertuah Pekanbaru

Sumber: Riau Pos, Minggu, 29 April 2012 ibaca 3 kali

[Jejak] Aisyah Sulaiman, Pelopor Kesusastraan Melayu-Indonesia Modern

NAMA lengkapnya Raja Aisyah binti Raja Sulaiman dan lebih dikenal dengan panggilan Aisyah Sulaiman. Istri dari Raja Khalid bin Raja Hasan atau Khalid Hitam ini adalah cucu dari pujangga besar Raja Ali Haji. Sebenarnya, Asiyah Sulaiman sepupu dari Khalid Hitam yang juga seorang pengarang ternama di masa Kerajaan Riau-Lingga. Artinya, Aisyah Sulaiman memang dari keturunan para pengarang, selain juga keturunan Diraja Kerajaan Riau-Lingga.

Aisyah Sulaiman diperkirakan lahir pada 1869 atau 1870 dan wafat pada 1924 atau 1925 dalam usia lebih kurang 55 tahun. Pada 1913 Kerajaan Riau-Lingga dimansuhkan (ditiadakan) oleh pemerintah kolonial Belanda. Karena tak sudi hidup di bawah pemerintahan kolonial aisyah Sulaiman dan keluarga hijrah ke Singapura. Kemudian Aisyah pindah ke Johor dan bertempat tinggal di sana hingga akhir hayatnya.

Dalam tradisi kepengarang, Aisyah Sulaiman dapat digolongkan sebagai pelopor pengarang zaman peralihan atau transisi dari kesusastraan Melayu tradisional ke kesusastraan Melayu atau Indonesia modern. Masa kepengarangan dan tema yang dihasilkan walaupun beliau masih menggunakan genre kesusastraan tradisional berupa syair dan hikayat. Pendapat yang selama ini menyatakan Munsyi Abdullah Abdul Kadir atau Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi sebagai pelopor kesusastraan Melayu modern masih perlu diperdebatkan. Pasalnya, Munsyi hidup di sampai pertengahan abad ke-19 sedangkan peralihan kesusastraan Melayu tradisional ke Melayu modern berlangsung sejak pertengahan abad ke-19 sampai abad perempat awal abad ke-20.

Masa itulah aisyah Sulaiman sedang giat-giatnya berkarya, sedangkan Munsyi telah tiada. Lagipula, karya-karya Aisyah telah mengungkapkan perubahan dalam masyarakat, dari masyarakat Melayu lama ke masyarakat Melayu baru dan perjuangan masyarakat, terutama kaum perempuan, merubuhkan tembok-tembok kokoh tradisi yang dianggap tak lagi sesuai dengan perubahan zaman.

Aisyah menghasilkan empat karya terbaik dan karya-karya itu antara lain �Hikayat Syamsul Anwar atau Hikayat Badrul Muin� hikayat ini dipercaya menjadi karya awal si pengarang. �Syair Khadamuddin yang terbit pada 1345 H atau 1926 M, menurut beberapa peneliti, syair ini ditulis saat Aisyah Sulaiman sudah hijrah ke Singapura. ��Hikayat Syarif al-Akhtar� dan hikayat satu ini baru diterbitkan setelah Aisyiah meninggal pada 1929 M. Sedangkan karyanya keempat, ��Syair Seligi Tajam Bertimbal��. Berbeda dengan karya-karya sebelumnya, dalam karya ini beliau tak menggunakan nama asli, tetapi memakai nama samaran Cik Wok Aminah.

Aisyah Sulaiman telah memperjuangkan harkat, martabat dan marwah kaum perempuan melalui karya-karyanya pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 M. ��Hikayat Syamsul Anwar� misalnya, Aisyah Sulaiman berhasil menyuarakan semangat emansipasi yang belum banyak terpikirkan kaum perempuan sezamannya. Semangat individualistik begitu kentara di dalam hikayat ini sehingga mengantarkan Aisyah Sulaiman sebagai pelopor kesusastraan Indonesia modern. Beliau bahkan dapat mengungguli pengarang-pengarang sesudahnya, termasuk pengarang laki-laki yang terlanjur disebut sebagai pelopor kesusastraan Indonesia modern. Aisyah Sulaiman telah berhasil menjadikan dirinya dan karya-karyanya sebagai pejuang emansipasi bagi kaumnya. Tak hanya sampai di situ, beliau bahkan mengukuhkan diri sebagai pelopor kesusastraan Melayu-Indonesia modern.(fed)

Sumber: Riau Pos, Minggu, 29 April 2012 ibaca 3 kali

Saturday, April 28, 2012

Taman Budaya Bali Layak Diteladani

-- Doddy Hidayatullah

SEBUAH patung Kumbakarna berukuran tinggi sekitar lima meter, hasil sentuhan tangan terampil seniman I Wayan Nyungkal asal Desa Tegallalang, Kabupaten Gianyar, menjadi salah satu hiasan halaman Taman Budaya Denpasar. Kehadiran patung Kumbakarna tersebut sekaligus menjadikan Taman Budaya Bali sebagai sebuah taman budaya yang layak diteladani, khususnya bagaimana sebaiknya sebuah taman budaya dibangun sesuai dengan impian para seniman.

    Artinya taman budaya Bali itu dibangun memang untuk menyalurkan aspirasi para seniman tentang bentuk-bentuk seni budaya busantara yang perlu dihidupkan di situ.

    Padahal di kebanyakan taman budaya yang ada di tempat lain di tanah air, taman budaya dibangun terkesan tanpa konsep, dibangun tanpa mengawinkan ide-ide artistik para seniman yang ada di daerah itu, sehingga kebanyakan taman budaya di tanah air sekarang ini tidak memilki agenda yang jelas, agenda yang tidak saja mengangkat karya seni budaya seniman setempat. Kenyataan itu berbeda dengan Taman Budaya Bali yang selalu dipadatkan dengan sejumlah agenda yang jelas dengan tujuan mengangkat citra seniman Bali.

    Tampilnya karya seni patung Kumbakarna berukuran besar yang ada di Taman Budaya Bali juga sekaligus melambangkan kesetiaan kepada Nusa dan Bangsa. patung itu merupakan salah satu elemen taman yang penataannya dilakukan secara apik, disamping tujuh panggung pementasan, yang sanggup menampung seluruh aktivitas Pesta Kesenian Bali (PKB), aktivitas seni tahunan di Pulau Dewata. Taman Budaya Denpasar (TBD) tempat berlangsungnya PKB selama puluhan tahun, digagas budayawan Prof Dr Ida Bagus Mantra (alm), yang juga mantan Dirjen Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Gubernur Bali.

    Taman Budaya yang berlokasi di jantung kota Denpasar dibangun di atas lahan seluas 6,5 hektar dilengkapi sejumlah fasilitas yang pembangunannya rampung tahun 1978 bertepatan dengan digelarnya PKB yang pertama.

    Selama 34 kali pelaksanaan PKB, aktivitas seni yang digelar secara berkesinambungan seluruhnya mengambil lokasi di kawasan Taman Budaya, tutur Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Dr Ida Bagus Sedhawa, SE M.SI. Taman Budaya yang kini menjadi tempat bergengsi, karena sembilan grup kesenian mancanegara dan 12 grup kesenian dari berbagai daerah di Indonesia dan ratusan sekolah dari delapan kabupaten dan satu kota di Bali pentas di tempat tersebut baru-baru ini.

    Selama PKB diisi lebih dari 100 kali pementasan, berlangsung pada pagi hari, siang, sore hingga malam hari. Pementasan kesenian bersifat tradisi dibawakan duta seni dari delapan kabupaten dan satu kota di Bali berlangsung pada pagi hingga siang hari. Sedangkan kesenian hasil pengembangan dan unggulan dipentaskan pada sore hingga malam hari.

    Kegiatan itu diharapkan mampu menghibur masyarakat dan mengarahkan hal-hal yang positif bagi para murid dan siswa dalam mengisi liburan panjang. Semua itu diharapkan mampu memberikan dampak positif terhadap pengembangan dan pelestarian nilai-nilai budaya, sekaligus membangkit ekonomi masyarakat setempat.

    Gubernur Bali Made Mangku Pastika sejak dini telah mengingatkan panitia PKB agar melakukan seleksi yang ketat terhadap tim-tim kesenian dari berbagai daerah di Indonesia maupun mancanegara.

    Hal itu dimaksudkan jangan sampai ada tim kesenian luar Bali, termasuk yang berkolaborasi dengan masyarakat setempat menampilkan suguhan seni yang bertentangan dengan akar budaya bangsa Indonesia.

    PKB telah menjadi kebanggaan masyarakat Bali untuk menunjukkan kemampuan dan kebolehan para seniman dalam menggali, melestarikan dan mengembangkan seni budaya setempat.

    TBD yang dilengkapi panggung terbuka Ardha Candra berkapasitas 8.000 penonton, dan enam panggung lainnya dengan kapasitas lebih kecil, padat dengan jadwal pentas selama sebulan PKB berlangsung.

    Mengingat padatnya pementasan di Taman Budaya, sejumlah pementasan PKB dialihkan ke panggung dan gedung milik Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar yang lokasinya bersebelahan dengan Taman Budaya.

    Sementara pementasan skala lebih kecil seperti Calonarang, topeng Prembon, wayang, arja dan jenis kesenian lainnya dalam skala kecil dipentaskan di panggung Ayodya, Ratna Kanda, angsoka maupun gedung Ksiarnawa Taman Budaya Denpasar.

    Gedung Ksiarnawa, merupakan salah satu fasilitas TBD yang berfungsi sebagai tempat pementasasn di lantai dua dan tempat penyelenggaraan pameran di lantai satu. Taman Budaya juga memiliki fasilitas penunjang antara lain, wantilan yang juga berfungsi sebagai tempat pertunjukan berkapasitas 600 penonton, dilengkapi ruang untuk berias seniman serta peturasan (WC).

    Sementara tidak jauh dari wantilan berdiri bangunan wisma seniman yang dilengkapi sejumlah kamar tidur yang diperuntukkan bagi seniman dari delapan kabupaten yang membutuhkan fasilitas tersebut.

    Di bagian timur Taman Budaya atau di pintu keluar terdapat Balai Kambang sebagai tempat istirahat, yang dikitari dengan telaga (kolam) dengan aneka jenis tanaman bunga-bungaan. Semua itu menjadi satu kesatuan yang saling terkait satu sama lain yang dikonsep oleh Ida Bagus Mantra.

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 28 April 2012

Thursday, April 26, 2012

Shakespeare Punya “Co-Writer”

-- Albertina S.C. 

OXFORD – Seperti kerja bareng yang umum dalam produksi film, hal serupa juga diyakini terjadi pada sastrawan jenius Shakespeare. Para ilmuwan dari Universitas Oxford Inggris meyakini, ada “tangan kedua” yang terlibat dalam penulisan naskah komedi All’s Well That Ends Well karya Shakespeare. 

William Shakespeare (newsrt.co.uk)

Para peneliti menemukan bahwa kisah tentang bangsawan Bertman yang menghindar untuk menikahi seorang yatim piatu dari kalangan jelata, mungkin ditulis bersama penulis drama lain. Demikian seperti dikutip dari The Telegraph, Rabu (25/4).

Analisis komedi Bard dari First Folio pada 1623 menyingkapkan sidik jari sastrawan Thomas Middleton, penulis The Changeling and Women Beware Women, kata Prof  Dr Laurie Maguire dan Dr Emma Smith, dari Fakultas Sastra Inggris Universitas Oxford. Dari kosa kata, rima, gaya, dan tata bahasa, berdasarkan analisis mendalam,  keduanya menemukan bahwa Middleton, yang satu zaman dengan Shakespeare, tampaknya menjadi kandidat yang paling mungkin.

"Proporsi dari naskah yang ditulis dalam sajak jauh lebih tinggi dari biasanya untuk Jacobean Shakespeare: 19 persen adalah baris dalam sajak, cocok engan 20 persen norma dari Middleton," kata Prof Maguire,.

Dia menambahkan: "Kami tidak mengatakan bahwa Middleton dan Shakespeare pasti bekerja sama dalam All’s Well, tetapi keterlibatan Middleton pasti akan menjelaskan banyak dari gaya komedi, teks, dan narasi yang aneh.”

Middleton, warga London yang hidup 1580-1627 dikenal dengan karya-karya drama dan puisinya sendiri di dalam teater Reinasans, seperti juga Shakespeare. Keduanya diketahui telah bekerja sama dengan Middleton dalam Timon Of Athens, menurut para akademisi tersebut.

Para peneliti percaya, jika keduanya bekerja sama dalam All’s Well, itu bisa memberikan wawasan baru yang menarik.

Dr Smith mengatakan: "Kita tahu Shakespeare bekerja dengan dramawan lain cenderung dalam hubungan master dan murid magang, dengan Shakespeare sebagai murid magang di awal tahun dan sebagai penulis senior di tahun-tahun terakhirnya.”

"Tapi jika seperti dugaan kami  All’s Well dan Timon Of Athens ditulis pada 1606-1607 ketika Shakespeare di tengah kariernya dan bekerja dengan dramawan seperti Middleton, hubungan itu tampaknya tidak ubahnya dengan kerja sama yang dibangun musisi untuk menghasilkan karya besar saat ini."
(TheTelegraph)

Sumber: Sinar Harapan, Kamis, 26 April 2012

Evaluasi Bahasa Pengantar RSBI

Jakarta, Kompas - Penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar di sekolah berstatus rintisan bertaraf internasional atau RSBI diminta untuk dihentikan. Peningkatan kemampuan berbahasa Inggris bagi siswa tidak harus dengan mengganti bahasa pengantar di sekolah.

Dalam praktik di RSBI, pembelajaran disampaikan dalam dua bahasa. Untuk pelajaran Matematika, Sains (Fisika, Kimia, dan Biologi), serta Bahasa Inggris disampaikan dalam bahasa Inggris. Pelajaran lainnya dalam bahasa Indonesia.

Itje Chodijah, pelatih pendidikan Bahasa Inggris di Jakarta, Rabu (25/4), mengatakan, kemampuan guru berkomunikasi dalam bahasa Inggris untuk dapat mengajar dengan baik setidaknya untuk ukuran test of English international communication minimal 800. Namun, dari data Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan soal kemampuan berbahasa Inggris guru dengan skor mencapai 800 ke atas untuk guru Biologi, Matematika, Kimia, dan Fisika hanya berkisar 1 persen-2,9 persen dari guru RSBI. Adapun guru Bahasa Inggris dengan skor ini hanya 5,6 persen guru.

”Penguasaan bahasa Inggris bagi siswa memang penting. Tetapi, kan bisa dengan memperbaiki pembelajaran Bahasa Inggris di sekolah,” ujar Itje.

Ia menuturkan, dirinya sering diminta melatih guru-guru RSBI untuk bisa mengajar dalam bahasa Inggris. Pelatihan dilakukan berkisar lima hari yang diikuti puluhan guru. ”Mengajar mata pelajaran lain dalam bahasa Inggris tidak semudah itu,” ujarnya.

Dalam rangkuman penelitian program RSBI di Indonesia yang didukung British Council, sebenarnya direkomendasikan untuk tidak menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar.

Masitha Achmad Syukri, pengajar di Departemen Sastra Inggris di Universitas Airlangga, Surabaya, mengatakan, perhatian yang tercurah lebih besar pada peningkatan kemampuan bahasa Inggris di sekolah berkontribusi pada pembentukan kerangka berpikir siswa bahwa bahasa Inggris lebih penting bagi masa depan mereka.

”Bisa saja siswa merasa lebih bergengsi untuk mempelajari bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia,” kata Mashita.

Kursus bahasa

Nilawati Hadisantosa, pengajar di Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, mengatakan guru- guru RSBI memang diikutkan kursus bahasa Inggris. Namun, kursus bahasa Inggris itu masih dalam taraf bahasa Inggris yang umum dipakai sehari-hari, bukan bahasa Inggris akademis yang dipakai sekolah untuk mengajar.

Tidak heran jika di banyak sekolah RSBI ditemukan penggunaan slogan-slogan umum dengan terjemahan bahasa Inggris yang kadang-kadang terasa aneh. Terjemahan tersebut merupakan harfiah kata per kata.

Menurut Nilawati, orangtua mendukung penggunaan bahasa Inggris di RSBI, bahkan ada yang memaksa dipakai di semua mata pelajaran. Sikap dan pandangan orangtua terhadap bahasa Inggris dan bahasa Indonesia dapat memengaruhi sikap dan pandangan anak terhadap bahasa.

Menurut Nilawati, bahasa Inggris yang digunakan sebagai bahan pengantar pengajaran dalam kelas adalah bahasa akademis yang berbeda dengan bahasa sehari-hari. Butuh waktu lama untuk memiliki kemampuan bahasa akademik daripada bahasa informal sehari-hari. (ELN)


Sumber: Kompas, Kamis,  26 April 2012


|

Wednesday, April 25, 2012

Moyang Madagaskar Ternyata dari Indonesia

JAKARTA, KOMPAS.com — Arkeolog Prof Dr Naniek H Wibisono meyakini bahwa nenek moyang orang Madagaskar yang berasal dari Indonesia pada 1.200 tahun lalu datang ke pulau itu dalam kaitannya dengan perdagangan.

"Saya yakin mereka datang ke Madagaskar dalam rangka trading (misi perdagangan)," kata peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional itu pada diskusi mengenai proyek "Keragaman Genetik Manusia Indonesia dan Pengembaraannya" yang digelar oleh Lembaga Eijkman dan sejumlah lembaga ilmiah lain dari Massey University, Selandia Baru; University of Arizona, AS; dan Universite de Toulouse, Perancis, di Jakarta, Senin (16/4/2012).

Naniek mengemukakan, pada abad ke-7 dan ke-8 adalah masa ramai-ramainya Asia Tenggara melakukan perdagangan ke berbagai wilayah di dunia, seperti ke Asia daratan, Timur Tengah, hingga Eropa.

Pada masa itu di Nusantara sedang berjaya Kerajaan Sriwijaya di Sumatera dan Kerajaan Syailendra (Mataram Kuno) di Jawa serta mulai berkembangnya Kerajaan Islam Samudera Pasai.

Ia juga mengakui adanya berbagai benda bersejarah di Madagaskar yang mirip dengan benda-benda di Indonesia, seperti perahu bercadik, instrumen musik seperti gamelan, serta bukti budaya seperti teknik memproses besi dan bercocok tanam seperti padi dan umbi-umbian.

Sementara itu, Prof Dr Herawati Sudoyo dari Lembaga biologi molekuler Eijkman yang meneliti pengembaraan manusia Indonesia (Austronesia) dari sisi genetik mengatakan, orang Madagaskar (Malagasi) adalah keturunan dari moyang campuran antara orang Afrika dan Indonesia.

"Nenek moyang orang Madagaskar asal Indonesia itu, berdasarkan studi genetik, datang ke pulau itu pada 1.200 tahun lalu. Namun, belum diketahui secara khusus datang dari wilayah Indonesia yang mana," kata Herawati.

Hal itu karena pihaknya menggunakan marka genetik DNA Mitokondria yang hanya bisa melihat penurunan maternal (nenek moyang perempuan) yang diturunkan ke anak laki-laki maupun perempuan sehingga disimpulkan dari 2.745 sampel, nenek moyang Madagaskar adalah 30 perempuan Indonesia.

"Kami sedang dalam proses menganalisis DNA dari kromosom Y yang bisa menjawab pertanyaan tentang moyang laki-laki dari Indonesia. Karena kami juga ingin tahu bagaimana 30 perempuan itu bisa datang ke Madagaskar 1.200 tahun lalu. Apakah mereka datang bersama para laki-laki juga," katanya.

Ia menambahkan, selain sampel dari 2.745 individu dari 12 pulau di Indonesia (Sumatera, Nias, Mentawai, Jawa, Bali, Sulawesi, Sumba, Flores, Lembata, Alor, Pantar, dan Timor), juga diambil sampel 266 individu berasal dari tiga populasi di Madagaskar.

"Yakni Mikea yang merupakan pemburu di hutan, Vezo nelayan di pantai, dan Merina yang hidup di dataran tinggi. Ketiga populasi ini sengaja diambil dari etnik yang terisolasi karena lebih murni, belum bercampur dengan banyak etnis lain," katanya.

Hasil riset genetik juga menunjukkan sebagian besar Malagasi memiliki ikatan maternal dengan kepulauan Asia Tenggara (70 persen) dan juga menyimpulkan munculnya motif baru yang khas di Madagaskar, yang merupakan motif Malagasi dan tidak ada di Nusantara.

Pulau seluas 592.800 km2 di sebelah timur Afrika itu meski hanya 400 km dari pantai timur Afrika dan 6.400 km jauhnya dari ujung barat Indonesia, tetapi secara genetik, bahasa dan budayanya didominasi oleh Indonesia, tambahnya. (ANT)
Sumber: Oase, Kompas.com, Rabu, 18 April 2012

Tuesday, April 24, 2012

UU Sisdiknas: RSBI Ancam Kecintaan Berbahasa Indonesia

-- Ester Lince Napitupulu & Nasru Alam Aziz

JAKARTA, KOMPAS.com — Penggunaan bahasa asing, terutama bahasa Inggris, sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah berstatus rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dinilai dapat mengancam rasa cinta dan bangga generasi muda berbahasa Indonesia. Padahal, pemerintah punya kewajiban untuk membina dan mengembangkan bahasa Indonesia supaya bisa digunakan untuk semua ilmu pengetahuan.

"Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara mendapat banyak rongrongan, termasuk dengan menjadikan bahasa asing sebagai bahasa pengantar di RSBI/SBI," kata Abdul Chaer, ahli bahasa Indonesia dari Universitas Negeri Jakarta.

Chaer hadir sebagai saksi ahli pemohon dalam sidang uji materi Pasal 50 ayat 3 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional soal RSBI/SBI di Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, Selasa (24/4/2012). Sidang dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ahli dari pemohon dan pemerintah ini dipimpin Ketua MK Mahfud MD.

Di tengah kondisi masyarakat Indonesia yang gandrung dengan bahasa Inggris, kata Abudl, pelegalan bahasa Inggris di RSBI/SBI justru menghambat rasa cinta dan bangga generasi muda pada bahasanya. "Penggunaan bahasa asing di RSBI/SBI tidak baik untuk pembinaan bahasa Indonesia," tegas Chaer.

Persoalan lainnya, kata Chaer, penggunaan bahasa Inggris di RSBI/SBI justru mempersulit penyampaian materi belajar. "Jika mengacu pada prinsip belajar, bukankah pendidik semestinya menyampaikan materi dengan bahasa yang mudah dan sederhana? Itu lebih mudah dengan bahasa Indonesia daripada dengan bahasa asing, dalam hal ini bahasa Inggris," kata Abdul.

Praktisi pendidikan Darmaningtyas, saksi pemohon, mengatakan bahwa kebijakan RSBI/SBI salah kaprah dengan memandang bahasa Inggris lebih bergengsi dibandingkan bahasa Indonesia. Padahal, UNESCO mengakui bahasa Indonesia sebagai bahasa modern karena mampu membahas hal-hal yang sifatnya abstrak.

"Justru Indonesia itu mesti mengembangkan lebih elegan bahasa Indonesia dan memperkuat ekonominya. Dengan demikian, orang-orang asing mau ke Indonesia dan belajar bahasa Indonesia," kata Darmaningtyas.

Menurut dia, sekolah RSBI/SBI awalnya memang sudah sekolah unggulan. Tetapi, kebijakan menjadi RSBI/SBI justru membuat sekolah unggulan menjadi lebih mahal dan terbatas bagi kelompok tertentu.

Sumber: Edukasi, Kompas.com, Selasa, 24 April 2012

RSBI/SBI Dibutuhkan untuk Keragaman Layanan Pendidikan

-- Ester Lince Napitupulu & Robert Adhi Ksp

JAKARTA, KOMPAS.com - Kebijakan rintisan sekolah bertaraf internasional/sekolah bertaraf internasional (RSBI/BI) dinilai merupakan upaya pemerintah untuk menyediakan beragam layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan anak-anak Indonesia. Karena itu, layanan pendidikan di RSBI/SBI tidak menyalahi sistem pendidikan nasional.


Layanan pendidikan tidak bisa sama. Pendidikan mesti melayani kodrat peserta didik yang berbeda. Jadi pendidikan perlu diversifikasi, termasuk dalam bentuk RSBI/SBI.
-- Udin Winata Pura

Sistem pendidikan nasional mengamanatkan agar pendidikan diberikan dalam beragam bentuk dalam rangka memenuhi kebutuhan belajar individu setiap anak yang berbeda-beda. Indonesia mengenal pendidikan seperti layanan khusus maupun pendidikan akselerasi yang juga berlaku umum di dunia inetrnasional.

 "Layanan pendidikan tidak bisa sama. Pendidikan mesti melayani kodrat peserta didik yang berbeda. Jadi pendidikan perlu diversifikasi, termasuk dalam bentuk RSBI/SBI," kata saksi ahli pemerintah Udin Winata Pura dalam sidang uji materi pasal 50 (3) UU Sistem Pendidikan Nasional tentang RSBI/SBI di Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, Selasa (24/4/2012). Sidang dipimpin Ketua MK Mahfud MKD dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ahli.

Menurut Udin, diversifikasi layanan pendidikan, salah satunya RSBI/SBI tetap dalam rangka untuk mencerdaskan bangsa. Kebijakan RSBI justru memberikan layanan pendidikan untuk meningkatkan potensi individu yang berbeda-beda.

Saksi ahli pemerintah lainnya, Johannes Gunawan mengatakan satuan pendidikan SRSBi/SBI haruslah memenuhi standar nasional pendidikan dulu, lalu diperkaya dengan pendidikan bertaraf internasional untuk menambah daya saing bangsa.

"Ini berarti, RSBI/SBI tetap menjalankan pendidikan yang juga seperti diminta dalam sekolah standar nasional. Jadi tidak benar, kalau RSBI/SBI mencerabut jati diri anak bangsa," jelas Johannes.

Menurut Johannes, sekolah RSBi/SBI itu menciptakan kecerdasan bertaraf internasional, namun tetap mempertahankan budaya lokal.

"RSBI/SBI juga menyelenggarakan pendidikan yang diwajibkan di sekolah standar nasional, seperti pendidikan agama, kewarganegaraan, serta seni dan budaya," kata Johannes.

Sumber: Edukasi, Kompas.com, Selasa, 24 April 2012

RSBI Dinilai Tak Bertentangan dengan Norma Kebangsaan

-- Indra Akuntono & Lusia Kus Anna

JAKARTA, KOMPAS.com - Sidang Judicial Review Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) terkait penyelenggaraan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (24/4/2012).

Agenda sidang hari ini adalah mendengarkan paparan saksi ahli dari pemerintah dan juga saksi ahli dari pihak pemohon. Saksi ahli dari pemerintah, Udin S Winatapura,  menyatakan jika penyelenggaraan RSBI sudah konsisten dan tidak bertentangan dengan norma kebangsaan. Alasannya, kata dia, tingkat kecerdasan sekolah standar nasional dengan sekolah berlabel RSBI tidak berbeda sebagaimana diatur oleh UU.

Menurut UU Sisdiknas, sekolah standar nasional dengan RSBI memiliki delapan standar minimal yang harus dipenuhi. Diantaranya yakni, kurikulum dan ketersediaan sarana serta prasarana yang sesuai dengan ketentuan.

"Kecerdasannya sama, karena sama-sama harus memenuhi standar minimal," terangnya. Oleh karena itu, lanjutnya, tidak benar dan menyesatkan jika RSBI dinilai bertentangan dengan semangat mencerdaskan kehidupan bangsa. "Itu tidak terbukti," ujarnya lagi.

Ia mengimbau, agar pendidikan dapat dilihat lebih sistemik. Pendidikan internasional (RSBI) dinilainya sebagai suatu modus dalam rangka meningkatkan pendidikan nasional. Oleh karenanya, ia meminta semua pihak untuk tidak melihat pendidikan dari kacamata hari ini, melainkan dari kacamata hari esok.

"RSBI adalah pendidikan untuk kesempurnaan hidup," tandasnya.

Sumber: Edukasi, Kompas.com, Selasa, 24 April 2012

Sunday, April 22, 2012

Perempuan dan Kuasa Kecantikan

-- Muslim Basyar

"Perempuan cantik akan luntur kecantikannya manakala ia membuka mulutnya dan ketahuan otaknya tolol!" (Mira Sato, Manusia Kamar, dalam Riwayat Negeri yang Haru; Cerpen Kompas Terpilih 1981-1990, Kompas, 2006)

PEREMPUAN dan kecantikan bagaikan dua sisi dari sekeping mata uang yang sama. Bahkan lebih dari itu, cantik telah menjadi kemutlakan untuk memberi makna pada sosok perempuan ketimbang kecerdasannya. Artinya, sekalipun seorang perempuan memiliki kecerdasan, ia tetap dilihat kurang menarik jika tidak cantik: tubuhnya gemuk, kulitnya tidak putih, dan rambutnya tidak lurus terurai.

Siapa pun tak bisa menampik bahwa kecantikan merupakan anugerah teramat indah bagi seorang perempuan. Tak ada yang lebih diimpikan dari mereka selain tampil cantik dan memesona, terutama di hadapan lawan jenisnya. Sebab itu, kecantikan begitu dipuja sehingga apa saja akan dipertaruhkan demi menebus impian-impian indah itu.

Maka, jangan heran, jika kita kerap memergoki sebagian (besar?) perempuan rela merogoh kocek dan mengorbankan tenaga, waktu, bahkan kariernya hanya untuk menggapai impian itu agar menjadi kenyataan. Tak peduli semahal apa pun biaya yang mesti dikeluarkan: asalkan wajah menjadi mulus, tubuh tampak langsing, hingga terlihat cantik dan menawan. Ujung-ujungnya, untuk menjadi cantik, dan sekaligus merawat kecantikan itu, perempuan menjadi tersiksa dan terbelenggu.

Dalam buku Menjelajah Tubuh; Perempuan dan Mitos Kecantikan (2006), Annastasia Melliana S. menyatakan bahwa keyakinan tentang kecantikan sebagai sifat feminin sebenarnya telah berakar kuat dalam sistem sosial yang lebih luas dan terprogram secara budaya.  Melalui sosialisasi sepanjang sejarah dan budaya itu, mitos yang menghubungkan kecantikan dengan perempuan tidak pernah lekang oleh waktu dan tetap bertahan menentang segala usaha perlawanan terhadapnya.

Alhasil, masyarakat mengajarkan kita untuk menerima separuh kebenaran yang diajarkan mitos akan kecantikan tubuh perempuan tersebut.  Pada gilirannya, untuk tampil cantik dan menawan tidak muncul dengan sendirinya, tapi datang dari tatanan masyarakat kapitalis-patriarkis yang ingin menjadikan tubuh perempuan sebagai objek.

Ini terlihat jelas dari budaya kita yang acap menilai seseorang berdasarkan pakaian, cara bicara, cara berjalan, dan seabrek tampilan fisik lainnya. Perempuan yang menarik secara fisik kerap diasosiasikan dengan kepribadian yang lebih baik, lebih sosial, dan lebih komunikatif.  Maka, jika perempuan tersebut tidak menampakkan perilaku yang diharapkan itu, masyarakat akan menyayangkan sikapnya yang tak secantik fisiknya.

Di sisi lain, mitos yang berkembang dalam masyarakat juga menyatakan bahwa innerbeauty lebih banyak dimiliki oleh perempuan yang tidak mempunyai kecantikan fisik. Mitos ini setidaknya timbul dari pemikiran perempuan yang menyadari bahwa karena secara fisik tidak cantik, mereka harus menggantinya dengan sikap dan perilaku yang baik dan menyenangkan agar diterima masyarakat.

Tak pelak lagi, hal paling serius dari masalah perempuan adalah kenyataan bahwa hampir dari seluruh budaya di dunia saat ini menegaskan bahwa kemudaan, bertubuh langsing, dan berpenampilan menarik sebagai kriteria cantik. Dengan demikian, dalam interaksi sosial, bentuk fisik adalah hal pertama yang dinilai dari seorang perempuan.  Karena masyarakat tidak akan menilai seorang perempuan dari kecerdasan intelektualnya atau kelebihan lain di balik bentuk fisiknya.

Selain kuatnya pengaruh langsung dari masyarakat, mungkin tidak ada lagi yang dapat menyebarluaskan dampak negatif dari pemikiran mengenai fitur keindahan tubuh perempuan segencar media massa.  Iklan televisi seakan-akan memberikan masukan produk-produk ajaib terbaru yang dapat menjembatani jurang antara kenyataan dan apa yang dianggap ideal.

Iklan telah disebut sebagai suatu bentuk penyampaian mitos kecantikan yang mempengaruhi para pemirsa televisi untuk menerima pesan komersil sebagai kebenaran daripada sebagai konstruksi. Tengoklah, bagaimana standar untuk kecantikan hanya diberikan kepada perempuan yang kerap dijadikan model majalah atau iklan suatu produk.

Maka, tidaklah heran jika kita kerap memergoki perempuan parubaya sibuk berkonsultasi ke dokter dan pergi ke pusat-pusat kebugaran hanya untuk mengurusi bagian tubuhnya yang sedikit menggelambir; anak remaja yang bangga memajang fotonya dirinya di jejaring sosial dengan pakaian bertelanjang dada; atau keceriaan tak berbilang dari anak sekolah menengah pertama yang setiap hari selalu memakai bedak dan lipstik.

Ah, maafkan saya jika tulisan ini hanya mengkritisi kebiasaan perempuan yang acap pergi ke salon, shoping, dan selalu menomorsatukan penampilan daripada kecerdasan. Kecantikan seorang perempuan, menurut saya, tetap harus diperhatikan; karena memang kaum hawa merupakan perhiasan yang teramat apik di bumi ini.

Begitulah realitas yang sedang terjadi. Fenomena yang kerap kita pergoki setiap saat, tapi ironisnya acap luput dari amatan kita.  Anehnya lagi, di negeri yang kata sebagian orang mulai menampakkan kegemilangan dalam praktek demokrasi, ternyata perempuan juga belum diberikan porsi yang besar untuk ikut berperan dalam mengurus negara. Sebab, kata sebagai orang, politk adalah urusan laki-laki; dan perempuan cukuplah mengurus kecantikan diri. n

Muslim Basyar, pembaca sastra, mahasiswa S-2  IAIN Raden Intan Lampung

Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 April 2012

[Buku] Menguak Pemikiran Ibnu Khaldun

Data Buku

Awal Mula Sosiologi Modern. Dr Syarifuddin Jurdi. Kreasi Wacana, Yogyakarta, Januari 2012. xxii + 266 hlm

SEBAGIAN orang atau mungkin bisa dikatakan tidak sedikit orang yang mempertanyakan urgensi “mengungkap kembali” pemikiran Ibn Khaldun dalam jagad ilmu sosial. Sebagian dari mereka ada yang menganggap upaya seperti ini tak lebih dari tindakan romantik yang hanya ingin memuaskan kekuatan identitas melalui justifikasi  sejarah. Mereka memandang dengan telah berkembangnya ilmu sosial dalam hal ini sosiologi hingga sedemikian kompleksnya, baik dari sisi teori, metodologi, serta pisau analisisnya, sungguh aneh kalau ada yang berpikir untuk berbalik pada pemikiran sosial beberapa abad yang lalu.

Ibn Khalduni sebagai ilmuwan muslim, yang lebih dekat pemikirannya dengan ilmu-ilmu sosial khususnya sosiologi, jelas tidak begitu banyak diajarkan. Kalaupun ada, itu hanya sepintas lalu saja mengenai cendekiawan muslim yang memiliki karya yang oleh banyak kalangan berjasa meletakkan objek studi bagi sosiologi.

Untuk memetakan pemikiran Ibn Khaldun berkaitan dengan studi sosial atau lebih khusus lagi sosiologi dapat diklasifikasi secara sederhana sebagai berikut, Pertama, studi tentang masyarakat perkotaan maupun masyarakat perdesaan yang dilakukan oleh sarjana sosial dewasa ini bukanlah studi yang lahir dari tradisi sarjana Barat. Kendati pun barangkali secara teoritik dan metodologi mengadopsi apa yang berkembang di Barat. Tapi, sebenarnya peletak awal bagi studi tentang masyarakat adalah Ibn Khaldun. Gagasan tentang masyarakat desa dan kota Ibn Khaldun berangkat dari fenomena empirik bahwa urbanisasi yang terjadi kala itu tidak terlepas dari daya tarik kota terhadap warga desa.

Kedua, pada masyarakat desa, menurut Ibn Khaldun, terdapat ikatan-ikatan emosional warga yang kuat. Mereka memiliki tingkat kohesi sosial yang tinggi bila dibandingkan dengan masyarakat kota yang mengalami pemudaran derajat solidaritas sosialnya. Teori solidaritas yang menjadi rujukan para sarjana sosial modern tidaklah menjadi teori “orisinal” Emile Durkheim, mengingat pilar-pilar dasar teori solidaritas sosial sudah diletakkan Ibn Khaldun sekitar lima abad sebelum Durkheim. Mengapa teori solidaritas sosial Durkheim jauh lebih populer dari teori solidaritas Ibn Khaldun. Bahkan sebagian sarjana sosial menganggap Durkheim-lah yang pertama mengemukakan teori solidaritas sosial? Tentu tidak mudah memberi jawaban atas pertanyaan ini.

Ketiga, teori konflik. Teori ini dirumuskan ketika Ibn Khaldun menyaksikan kontestasi antarsuku dalam rangka merebut dan mempertahankan kekuasaan. Kekuatan ashobiyah akan menentukan keberhasilan suatu suku dalam memperluas wilayah kekuasaannya. Artinya teori konflik Ibn Khaldun berkaitan dengan tindakan menyerang pihak luar untuk memperoleh pengakuan dari pihak yang diserang agar tunduk dan patuh kepada pihak yang dianggap kuat. Artinya, kuat di sini tidak hanya dalam hal fisik, tetapi juga kuat dalam ekonomi. Kalau pemicu konflik masyarakat modern adalah ketidakadilan, politik (kekuasaan) dan ada yang menyebut agama, tentu pilar-pilar yang mempercepat eskalasi konflik tersebut sebenarnya sudah diidentifikasi oleh Ibn Khaldun jauh sebelum teori-teori itu berkembang di Barat.

Keempat, dalam rangka fenomena tersebut, Ibn Khaldun memperkenalkan metodologi untuk mengkaji dan menganalisis kehidupan sosial, menurutnya observasi menjadi penting dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai kondisi sosiopolitik masyarakat. Bahkan secara jelas dalam berbagai penjelasannya, Ibn Khaldun telah menggunakan metode verstehen dan erklaren yang dipopulerkan oleh Max Weber. Selain itu, ia juga memperkenalkan netralitas ilmiah agar fakta-fakta dapat dijelaskan dengan objektif. Prinsip netralitas ini menjadi penting dan menjadi kaidah yang dipergunakan oleh para ilmuwan sosial kontemporer.

Kelima, aspek ekonomi dipandang sebagai aspek yang diperhatikan dalam pemikiran Ibn Khaldun. Ia telah memperkenalkan teori produksi, teori nilai, teori pemasaran, dan teori siklus yang di dalamnya terintegrasi dengan teori ekonomi umum yang koheren dan disusun dalam kerangka sejarah. Dalam produksi menurut Khaldun, masyarakat memprodukdi barang dalam jumlah yang terbatas, karena mereka hanya memproduksi barang sesuai dengan yang dibutuhkannya. Berbeda dengan masyarakat perkotaan yang memproduksi lebih besar dari yang mereka butuhkan. Teori ekonomi politik yang diperkenalkan oleh Karl Marx pada prinsipnya sudah diperkenalkan oleh Ibn Khaldun dengan suatu kerangka analisis yang didasarkan pada fakta sosial masyarakat ketika itu.

Selain kelima dimensi tersebut, Ibn Khaldun sebenarnya mengembangkan gagasan pada berbagai bidang, termasuk bidang politik yakni ia membicarakan masalah negara dan kekuasaan. Suatu negara yang ideal menurutnya akan ditentukan oleh kemampuan negara itu memberikan yang terbaik kepada warganya dan terus-menerus memupuk solidaritas warga negara akan terlibat aktif dalam memperjuangkan kemajuan dan kejayaan negara.

Begitu solidaritas sosialnya rusak, artinya pemimpinnya tidak lagi memikirkan nasib rakyat, antara kehidupan mereka yang berkuasa dengan rakyat terdapat jurang pemisah, maka negara itu menurutnya akan segera mengalami kehancuran, ia hancur bukan karena pihak lain yang menyerangnya, tapi karena memang negara itu tidaklah ingin eksis dan dirusak oleh mereka yang ada dalam negara itu. Dimensi politik dari pemikiran Ibn Khaldun telah banyak dikaji oleh ilmuawan, demikian pula dimensi sejarah dan agamanya.

Itulah beberapa gambaran ringkas mengenai pemikiran Ibn Khaldun dalam bidang ilmu sosial dan sosiologi. Dengan membaca buku ini akan lebih komprehensif memperoleh gambaran mengenai gagasan sosialnya. Buku ini, bukan buku yang pertama yang membahas tentang Ibn Khaldun dan pemikiran-pemikirannya. Telah banyak buku-buku tentang Ibn Khaldun yang ditulis oleh berbagai pemikir dengan latar belakang yang beragam. Hanya saja, buku ini memiliki kecenderungan yang berbeda dengan banyak buku lain tentang Ibn Khaldun. Buku ini membawa kita untuk memasuki pemikiran Ibn Khaldun tentang kajian sosiologi yang barangkali telah lama ditinggalkan oleh banyak orang termasuk ilmuwan-ilmuwan muslim sendiri.

Buku ini merupakan ijtihad awal bagi upaya selanjutnya oleh penulis lain yang lebih komprehensif mengenai Ibn Khaldun dan sosiologi sehingga nanti akan melahirkan suatu kerangka pemikiran sosiologi Ibn Khaldun yang tepat, relevan, dan aktual bagi kajian-kajian sosiologi modern. n

Imron Nasri, pembaca buku, tinggal di Yogyakarta

Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 April 2012

Bulang Cahaya Sembilu Cinta

-- Abdul Kadir Ibrahim

Tajak Kalam
SELEPAS berlalunya Kerajaan Bintan dengan Raja Wan Sri Benai, beratus tahun lamanya, berdirilah Kerajaan Johor. Semakin ke hadapan, ianya dibukalah Ulu Sungai Carang, Pulau Bintan oleh Sultan Johor, Raja Ibrahim dengan gelar Sultan Ibrahim Syah I, yang dibantu Temenggung Tun Abdul Jamil, sebagai tapak baru, sekira dalam tahun 1673. Sampailah pada generasi berikutnya dan berikutnya lagi, Tengku Sulaiman dilantik menjadi Yang Dipertuan Besar Kerajaan Riau-Johor-Pahang pada 4 Oktober 1722 dengan gelar Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah. Di samping Sultan ada pembesar yang baru diadakan dalam jabatan Kerajaan Melayu ini, yakni Yang (m) Dipertuan Muda atau Raja, sebagai yang pertama adalah Daeng Marewah.

Yang Dipertuan Besar (Sultan), selanjutnya diwarisi Sultan Mahmud Syah III. Pusat Kerajaan Riau-Johor, melebar ke Lingga dan juga berujung di Pulau Penyengat. Maka, pusat kerajaan “utama” di Ulu Riau, Pulau Biram Dewa dengan istana Kota Piring, Lingga dan Penyengat. Ada satu kawasan yang tak kalah penting bersebati langsung dengan pusat kawasan kerajaan, yakni Kampung Bulang. Di situlah berdiam sanak keluarga Sultan Riau-Johor-Pahang-Lingga. Di situ pula, pada akhirnya jenazah Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah dimakamkan. Tapak sejarah Kerajaan Riau-Lingga sebagai turunan dari Kerajaan Johor, sebegitu singkat. Syahdan, Rida K Liamsi, sastrawan yang namanya berada di rentangan sastrawan Indonesia —terlebih dahulu melalui sajak-sajak (puisi)— yang menulis karya fiksi, berupa prosa dalam wujud novel. Sebuah judul yang ditampilkan, yakni Bulang Cahaya —Yayasan Sagang, Pekanbaru, 2007— yang menarik dan bisa muncul beberapa penafsiran. Kata “bulang” bisa bermakna “bulan”. Bisa “seorang gadis” atau “anak dara” kerajaan dan bisa pula bermakna sebuah kawasan, yakni Kampung Bulang.

Bagi saya, yang paling menarik adalah ketika kata “bulang” itu tak lain dan tak bukan adalah dimaknakan sebagai kata ganti untuk menyebut seorang “kembang” gadis atau anak dara Kerajaan Melayu Riau-Lingga, yang bernama Tengku Buntat. Dan, nyatalah bahwa novel ini, mengisahkan tentang percintaan Tengku Buntat dengan Raja Djafaar. Ada pula muda-mudi yang merupakan keturunan raja dan tengku juga, yakni Raja Husin dan Tengku Khalijah. Percintaan Tengku Buntat dengan Raja Djafaar, berkarut-marut dengan perkara-perkara yang melilit-lilit dan membelit-belit perjalanan sejarah Kerajaan Riau-Johor-Pahang-Lingga. Rasa cinta sungguh mengarau dan menyauk rasa, menyilu hati, dan mengenaskan!

Luka Tangis Sepangkal Cinta
Jalinan kisah dalam novel Bulang Cahaya, dapat ditangkap dan diserapi dalam lubuk bacaan dan pemaknaan adalah cinta terbelah-bagi. Segala-gala cinta yang ditajak oleh Raja Djafaar dengan Tengku Buntat, jadi berkecai-kecai. Pangkal sebab, karena ayahanda Tengku Buntat, yakni Yang Dipertuan Muda Tengku Muhammad, tak setuju. Penyebabnya, mungkin “luka sejarah” antara raja dengan tengku dalam perjalanan waktu dan sejarah Kerajaan Riau-Johor-Pahang-Lingga. Alasan sejati bagi Tengku Muhammad, agaknya karena sewaktu itu dua jabatan atau kekuasaan dalam Kerajaan Melayu Riau-Johor-Pahang-Lingga berada di tangan orang Melayu, Yang Dipertuan Besar, Sultan Mahmud Syah III dan Yang Dipertuan Muda Tengku Muhammad. Pihak Bugis, yang sebelumnya diberi tempat sebagai Yang Dipertuan Muda —seolah-olah telah jadi tradisi atau warisan jabatan “tingkat kedua”— ketika itu segalanya tiada lagi. Tentulah Tengku Muhammad, tak hendak anaknya menikah dengan Raja, karena ianya akan memberi laluan ulang kepada keturunan Bugis untuk kembali berkuasa sebagai Yang Dipertuan Muda.

Adalah sebenarnya kisah cinta antara Raja Djafaar dengan Tengku Buntat, dibumbui dan dibunga-bungakan pula oleh percintaan Raja Husin dengan Tengku Khalijah. Raja Djafaar di Kota Piring, Pulau Biram Dewa, sedangkan Tengku Buntat di Kampung Bulang. Dengan arti mendalam, bermula kisah perih cinta Raja Djafaar kepada Tengku Buntat dari Kota Lama, Ulu Riau dan Kota Piring, Pulau Biram Dewa. Di kawasan lain, yakni Kampung Bulang, Tengku Buntat bertempat tinggal dan senantiasa merindukan dan selalu hendak menunggu kedatangan Raja Djafaar. Saat keduanya saling mencintai, tapi sukar bertemu-muka untuk mencurah dan meluahkan segala-gala di hati dan cinta, dari arah yang lain datang pula kehendak dan kemauan keras sang ayahanda Buntat. Beliau berhajat sekali menjodohkan Tengku “Intan-Permata” Buntat  dengan Ilyas. Hal ini, menjadikan “tugas suci” dan “pekerjaan mulia” Tengku Khalijah dan Raja Husin sebagai penugung-sambung cinta Tengku Buntat dengan Raja Djafaar begitu tidak mudah dan sebaliknya berat! Di celah-celah itu, Raja Husin dan Tengku Khalijah tengah tak mudah pula hendak memadukan cinta mereka. Semakin menganga dan merenggang, manakala Raja Djafaar berpindah-tugas di Lingga. Maka, percintaan dua pasang anak manusia di dalam keluarga Kerajaan Riau-Johor-Pahang-Lingga itu, jadi rumit dan kian mengiris luka di hati-diri. Harapan, nyaris pasti tiada bertirai-tirai dan apatah lagi bercahaya.

Buntat tampak murung. Hati kecilnya tetap sulit percaya cinta mereka akan bertaut semula. Siang malam, dia memang berharap, Raja Djafaar tiba-tiba muncul di hadapannya. Datang dan berbicara dari hati ke hati. Melepas rasa rindu yang tersimpan selama berbulan-bulan ini. Firasatnya mengatakan Raja Djafaar ada di Bulang. Bila dia memandang ke ujung tanjung, ke arah perahu-perahu berlabuh, dadanya berdesir. Dia seakan menangkap kelebat tubuh Djafaar melintas, memandang dari jauh. Melambai. Tetapi terkadang begitu hati kecilnya tersadar dan tahu itu hanya angan, bayang-bayang itu lenyap, dan dia merasakan kehilangan yang sangat dalam. “Beta ini bodoh, Ijah. Rindu seorang. Sedangkan orang lain tak perduli…” katanya dengan mata yang basah mencurah rasa pedih hatinya kepada Tengku Khalijah, kalau rindunya sudah tak tertahankan.  (Hlm:154).

Rajutan tali cinta antara Tengku Buntat dengan Raja Djafaar, bukan semakin rapat dan bertaut, melainkan semakin berkerukut dan bersembi aral. Bagaimana tidak, Raja Djafaar, akhirnya menjadi Wakil Sekretaris Kerajaan, yang setia mengabdi kepada Sultan Mahmudsyah III dan menetap di Lingga pula adanya. Tatkala ada waktu senggang atau ada tugas khusus, barulah dapat sekali-sekali kembali ke Ulu Riau atau Kota Piring, yang nyatanya tak tertahankan rasa di hati hendak bersua mesra dengan pujaan hati, Tengku Buntat, namun selalu majal dan gagal. Bahkan, melihat dari kejauhan pun semakin jarang dan langka. Selanjutnya, Tengku Buntat atas kekuatan keluarga akhirnya pindah dan tinggal pula di Tanjungpinang. Pada perkara lain, ayahnya yang keturunan (pihak) Melayu yang berkuasa sebagai Yang Dipertuan Muda, begitu tak suka dengan zuriat (pihak) Raja Bugis. Dia berjaga-jaga dan berikhtiar agar Raja Ali tidak kembali ke Riau-Lingga sehingga kekuasaan Yang Dipertuan Muda tetap di genggamannya. Akhirnya, jalinan cinta Raja Djafaar dan Tengku Buntat makin kusut-masai dan bahkan makin menghalus sebagaimana ujung tikus, tersebab pihak Raja Ali (Bugis) dan pihak Tengku Muhammad makin berseteru dan berhadap-hadapan dengan perkara yang bukan lagi jabatan, melainkan marwah. Sungguh tak terbayangkan, dalam situasi kedua keluarga besar berselisih, cinta kedua insan itu akan bersatu? Buntat merasa sangat nelangsa. Hati yang mulai akan bertaut kembali di Pulau Bulang, dengan kedatangan secara sembunyi-sembunyi Raja Djafaar dan dengan sabar mengajuk hati lewat Raja Husin, kini kembali putus, karena Buntat pindah ke Tanjungpinang. Sekarang tak usahkan Raja Djafaar, Raja Husin pun yang biasa selalu datang ke daerah pihak Melayu membawa titah Yang Dipertuan Besar, juga tak lagi muncul. Sehingga kabar berita dari Djafaar benar-benar tak pernah ada lagi. Hanya dengan merisik sana-sini, Buntat tahu Djafaar masih tetap di Lingga, dan menolak diajak pamannya, Raja Lumu, pindah ke Selangor. Dia tetap mengabdi kepada Sultan Mahmud sebagai Wakil Sekretaris Kerajaan. Ini membuat Buntat hati semakin pedih, dan hidupnya kehilangan gairah. (Hlm: 162).

Dan, kisah dalam novel Bulang Cahaya karya Rida K Liamsi yang “puncak-pucuk meninggi” —masa awal sebagai penyair dikenal dengan nama Iskandar Leo dan Hasan Junus semasa hidup selalu juga akrab memanggilnya dengan nama itu— luar biasa “berani” dan “terang” mengurai dan mengusai peristiwa yang hampir saja terjadi pertembungan kekuatan demi “perebutan kekuasaan” Yang Dipertuan Muda (Raja) antara pihak Tengku Muda Muhammad (yang sudah menjadi Yang Dipertuan Muda) di pihak Melayu dengan Raja Ali (merasa berhak menjadi Yang Dipertuan Muda menggantikan Yang Dipertuan Muda Riau IV) di pihak raja, selepas meninggalnya, Raja Haji. (Hlm: 162-188).

Adalah benar sekali, Tengku Buntat dan Raja Djafaar, tak pernah bersatu dalam rajutan dan sulaman cinta dan ikatan pernikahan. Dia jadi “kurban-tumbal” bagi perikatan lagi antara Melayu (tengku) dengan Bugis (raja). Atas titah Yang Dipertuan Besar, Sultan Mahmud Syah III, maka Tengku Buntat dinikah dengan anaknya sendiri, yakni Tengku Husin atau Tengku Long. Nama lelaki zuriat Sultan itu sama sekali tiada dikenal rapat oleh Buntat. Dengan demikian, jangankan ada rasa terkena di hati, bercakap-cakap saja pun tiada pernah sekalipun!

Tengku Buntat meraung, menangis, dan menjerit. Tak terbayang olehnya, bahwa akhirnya dia harus menjadi isteri Tengku Husin atau Tengku Long, putra Sultan Mahmud. Orang yang baru beberapa kali dilihatnya, tapi belum dikenalnya. Tak terbayangkan olehnya, betapa hancur hati Djafaar mendengar itu. Padahal mereka sudah sepakat akan segera mewujudkan persatuan cintanya, begitu sengketa antara ayahnya dengan pihak Bugis selesai… Mengapa tiba-tiba semua berubah? (Hlm: 184-185).

Bagaimana Raja Djafaar yang sedang berada di Lingga, ketika dapat kabar “Keputusan Pulau Bulang” oleh Sultan atas usul keturunan Raja? Dia merasa sangat pedih, karena pernikahan akan berlangsung di depan matanya, di Lingga! Sungguh, kemana muka hendak ditaruh? Kemana marwah dan harga diri hendak disigaikan lagi? Segala-gala dirasakannya sudah tumpas dan terbenam dalam pelimbahan! Maka, lebih baik membunuh yang menzalimi atau yang merampas cintanya dengan Tengku Buntat, atau dirinya sendiri tewas terbunuh! Hatinya terasa semakin pahit, bila mengenang hari-hari terakhir di Lingga, hari-hari terakhir cintanya pada Buntat. (Hlm:189). Dan, tentang bagaimana kisah pahit dan sedihnya Raja Djafaar atas direnggut-ragut cintanya dengan Tengku Buntat. Pada ujungnya pula, dia pun ikut pamannya, Raja Lumu ke Selangor. Sehingga dia dengan kekasihnya itu dipisah paksa sebagai benar-benar berpisah-dedah jauh sekali dan usai! Maka, luka tangis sepangkal cinta, cinta terlepas dan terpisah selama-lamanya tiada terkira! Pada akhirnya pula dapat disimak dan niscayalah menyentuh lubuk hati yang paling dalam bagi sesiapa membacanya (Hlm: 189-197). Dan, kepedihan itu, dapat dirasakan betul dari apa yang dikatakan oleh Raja Djafaar: “Hhm…. Buntat, selesai sudah segalanya. Pupus sudah segalanya…” (Hlm: 314).(bersambung)

Abdul Kadir Ibrahim, Sastrawan dan Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Provinsi Kepulauan Riau. Sempena HUT ke-46 tahun pada 2012 ini akan meluncurkan delapan judul buku di antaranya 3 kumpulan cerpen, 1 novel dan tiga ulasan.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 22 April 2012

’’Gila Buku’’ dan Buku yang Digilai

-- Riza Multazam Luthfy

‘’Gila’’

Dalam kehidupan ini, tak selamanya gila identik dengan keburukan atau penyakit yang layak dimusnahkan. Gila —dalam kadar tertentu— terkadang sangat dihajatkan dan perlu dirawat-tularkan pada sesama. Kepada mereka yang menyebut dirinya manusia. Murid asuhan Ibn al-Aynzarbi dalam ilmu kimia, Abu al-Muzhaffar (Bulmuzaffar) Nashr ibn Mahmud ibn al-Mu’arrif adalah ‘gila buku’. Seorang dokter-filsuf, ahli kaligrafi, dan penggubah syair, yang lantas menjelma penulis produktif dalam bidangnya. Selaku kolektor yang menanam antusias pada buku, ia memiliki sebiji perpustakaan yang menampung ribuan jilid buku dan dipercaya semuanya berhasil dilahap habis. Pada segenap buku itu, ia menyumbang catatan ringan mengenai materi yang diurai.

Selingkar usia 16 tahun, Prabhakaran telah menjadi remaja yang berani membagul senjata. Fondasi Macan Tamil ia tancapkan pada tahun 1972. Awalnya, organisasi ini adalah kelompok penekan dan pengorganisir aksi-aksi protes terhadap marjinalisasi warga Tamil di Srilanka, usai merdeka dari Inggris. Akan tetapi, perlahan, Macan Tamil Baru memanfaatkan senjata dalam melancarkan perlawanan. Prabhakaran kecil digambarkan sebagai murid pemalu yang mengantongi perlakuan diskriminatif, sehingga jiwanya terus memberontak. Kemarahannya menangkap basah diskriminasi terhadap warga Tamil oleh warga mayoritas Srilanka, Sinhala, semakin menggunung. Lari dari sekolah, ia berteman dekat dengan buku. Dari ke-gilaannya pada buku, ia memungut sekarung nilai kehidupan Aleksander Agung dan Napoleon. (Rakaryan Sukarjaputra, 2010: 61).  

‘Membaca’ merupakan hobi utama Gus Dur. Guna mengamalkan hobi itu, ia memanfaatkan perpustakaan pribadi sang ayah. Ia aktif bertandang ke perpustakaan umum di Jakarta. Buku-buku serius --dari filsafat, cerita silat, sejarah, hingga sastra-- ia akrabi pada usia 10 tahun. Di antara buku yang pernah diserap yaitu Das Kapital susunan Karl Marx, buku filsafat Plato, Romantisme Revolusioner karangan Lenin Vladimir Ilych dan karangan Will Durrant bertitel The Story of Civillization. Juga karya Ernest Hemingway, John Steinbeck, William Bochner, William Faulkner, Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y Gasset, serta penulis-penulis Rusia, semisal Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail Sholokov. Saat berstatus mahasiswa Universitas Al-Azhar Mesir, Gus Dur menguras waktu di salah satu perpustakaan terlengkap di Kairo, termasuk American University Library. Begitu juga pada tahun 1966 ketika pindah ke Irak. Saking gila-nya pada buku, ia mengunyah hampir semua karya sarjana orientalis Barat yang teronggok di universitas. (Hamid, 2010: 27-28).

Pereka cipta Facebook, Mark Zuckerberg (26), adalah sosok yang susah bergaul dalam dunia nyata. Buku, merupakan tempat pelarian paling asyik baginya. Dari pengalaman pribadi yang dipungut dari ‘dunia’-nya itu, lahirlah sebuah situs jejaring sosial yang memungkinkan seorang ‘gila buku’ sepertinya mudah berbaur dengan teman yang disukai. Ternyata keinginan itu turut meracuni sekalian mahasiswa di Harvard. Situs ini berkembang kilat, menjangkau hampir seluruh kampus di AS hanya dalam hitungan hari. Zuckerberg merupakan mahasiswa penyuka buku yang menjelma miliuner dan bersarang di Silicon Valley, kantor perusahaan-perusahaan sekelas Microsoft, Google, serta Oracle.

‘’Yang Digilai’’

Buku serial Rich Dad, Poor Dad, menawarkan pendekatan berbeda dalam rangka mengelola keuangan dan membangun kekayaan. Penulisnya, Robert Kiyosaki, menerbitkan sendiri seri pertama dan tak mampu menjajakannya, sehingga menumpuk di garasi. Seorang teman menawarkan agar memajangnya di tempat pencucian mobinya. Sang teman berpikir, para pelanggan mungkin akan melihat dan membelinya sambil melunasi ongkos cuci mobil. Akhirnya, Kiyosaki menadah usulan trial and error itu dan hanya beberapa saja yang laku. Suatu hari, petinggi di perusahaan pemasaran jaringan secara kebetulan mengusir debu mobilnya di tempat itu. Ia memetik satu buku Kiyosaki dan langsung jatuh hati. Semua orang di perusahaan ia sarankan membelinya. Ia juga memborongnya dalam jumlah besar. Buku Kiyosaki benar-benar diidolakan dan mengantarkannya tampil di acara Oprah Winfrey. Rich Dad, Poor Dad diterjemahkan ke dalam 46 bahasa dan tersedia di 97 negara. Terjual lebih dari 26.000.000 kopi; mendominasi daftar buku terlaku di Asia, Australia, Amerika Selatan, Meksiko, dan Eropa. (Scheinfeld, The 11th Element: The Key to Unlocking Your Master, terj. Heryadi, 2005: 166-167).

Think and Grow Rich, karya fundamental penulis buku sukses legendaris Napoleon Hill (1883-1970) termasuk buku yang disanjung-sanjung. Buku yang pertama kali ditebarkan tahun 1937 itu terlego lebih dari 15.000.000 eksemplar di serata dunia dan jadi tolok ukur gagasan motivasional selama tiga dasawarsa terakhir. Dalam edisi revisinya, Arthur R Pell, PhD --pakar penerapan filosofi Hill-- menyelipkan berbagai anekdot mengenai jutawan dan miliarder kontemporer, semisal Bill Gates, Mary Kay Ash, Dave Thomas, dan Sir John Templeton. Novel Vladimir Nabokov, Lolita, adalah novel indah tiada duanya. Berwarta tentang pengakuan Humbert, profesor setengah baya yang tertarik pada Dolores Haze - Lolita. Demi menjalin hubungan dengan kekasih, Humbert rela menikahi ibu gadis itu. Setelah sang ibu tewas dalam kecelakaan, Humbert mengajak anak tirinya berkelana, mengecap nikmatnya cinta ilegal. Meski sempat dilarang beredar, Lolita didaulat sebagai salah satu novel terbaik sepanjang masa. Sedemikian populernya, hingga beberapa kali difilmkan dan terus diperbincangkan oleh kritikus serta penikmat sastra.

Serial Harry Potter I-VII berulang kali memecahkan rekor sebagai buku terlaris sepanjang masa. Tercatat menjadi best seller, bahkan sebelum bukunya selesai ditulis, saking rimbunnya pembaca yang memesan lebih dulu. Kehadirannya sanggup menolong industri perbukuan yang sedang kurang bergairah serta menyelamatkan krisis penerbit Scholastic dan kios buku maya Amazon.com. Berkat karyanya itu, JK Rowling (46) jadi wanita Inggris dengan kekayaan melampaui Ratu Elizabeth II. Harry Potter and the Deathly Hallows adalah buku ketujuh dan terakhir dari seri novel Harry Potter, diluncurkan secara serentak di 93 negara, pada 21 Juli 2007. Di Indonesia, Laskar Pelangi meraup animo luar biasa dari masyarakat. Buah pena peraih beasiswa di Universite de Paris, Sorbonne, Perancis dan Sheffield Hallam University, United Kingdom ini dialihbahasakan ke dalam 26 bahasa. Di Korea Selatan, novel Andrea Hirata ini disambut hangat penggemar novel dan dijadikan para dosen sastra sebagai referensi pelajaran sastra. Dalam upaya mengirim manusia ke peradaban lebih mulia, si gila buku dan buku yang digilai memerankan peran yang sama-sama kentara. Sebab itu, seyogianya mereka --manusia yang beradab-- senantiasa menaruh hormat bagi yang pertama serta menaruh minat pada yang kedua.

Riza Multazam Luthfy
, Menulis puisi, cerpen dan esai. Karya-karyanya bertebaran di berbagai media. Kini sedang melanjutkan studi di magister hukum UII Jogjakarta.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 22 April 2012

Saturday, April 21, 2012

[Jejak] Tengku Luckman Sinar, Peduli Melayu hingga Akhir Hayat


 
TENGKU Luckman Sinar Basarsha II SH dinobatkan sebagai Pemangku Adat Kesultan Serdang pada 12 Juni 2002 oleh Sultan Deli Ke XII, Tuanku Azmy Perkasa Alam. Ketua Forum Komunikasi Antaradat Sumatera Utara ini meninggal dunia pada Kamis (13/1/2011), sekitar pukul 19.50 waktu Malaysia. Beliau dikenal sebagai budayawan yang mengabdikan diri untuk masyarakat. Selain itu beliau juga pernah menjabat sebagai penasehat Partai Golkar Sumut dan dosen.

Beliau lahir di Istana Kraton Kota Galuh Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara pada 27 Juli 1933 . Kehidupan masa kecil sampai masuk ke dunia pendidikan formal, semuanya dihabiskan di Medan. Berturut-turut beliau menempuh pendidikan formal di Hestel Lagere School di Medan (tamat 1950), RK Middlebare Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Medan (tamat 1953), SMA di Medan (tamat 1955), kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara di Medan (Sarjana Muda 1962), dan Pendidikan Kemiliteran LPKW (1963).

Setelah menempuh pendidikan di Medan, pengetahuan Tengku Luckman Sinar semakin lengkap ketika hijrah ke Jakarta untuk menempuh kuliah di Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan Universitas Jayabaya (Sarjana Hukum 1969). Tidak berhenti sampai di situ saja, beliau juga menjalankan Kursus Manajemen Perkebunan di Bandung (1964). Pada 1976, beliau melakukan penelitian ke Belanda berkat kerja sama antara Pemerintah Republik Indonesia dan Belanda (1976-1980) .

Tuanku Luckman Sinar Basarshah II bersama sang permaisuri, Tengku Hj Daratul Qamar yang bergelar Tengku Suri Serdang. Suami dari Tengku Hj Daratul Qamar yang bergelar Tengku Suri Serdang ini memang layak ditahbiskan sebagai ‘’Sejarawan yang Konsisten Mengkaji Sejarah Kebudayaan Melayu’’. Sebutan ini diterima beliau ketika mendapat Anugerah MelayuOnline 2009 dalam kategori Sejarawan yang Konsisten Mengkaji Sejarah Kebudayaan Melayu, pada 20 Januari 2009 di Gedung Concert Hall, Taman Budaya Jogjakarta (Tasyriq Hifzhillah, ‘’Milad (Hari Jadi) MelayuOnline.com Ke-II: Anugerah Melayu Online 2009 untuk Para Pelestari Budaya Melayu,’’ tersedia di http://melayuonline.com/news/).

Banyak ide dan gagasan beliau yang menjadi contoh untuk kemajuan bagi Melayu. Semasa hidupnya, Lukman Sinar dikenal sebagai sejarawan Sumatera Utara yang banyak menulis tentang peninggalan-peninggalan Kerajaan Haru serta sejarah kerajaan-kerajaan di Sumatra Timur setelah Haru. Beliau juga banyak menulis mengenai kebudayaan/kesenian Melayu, khususnya Melayu Serdang, di sela-sela kegiatannya sebagai dosen Kesenian Melayu di Fakultas Sastra USU, Medan.

Lukman Sinar berjasa bagi Karo oleh pengungkapannya tentang Perang Sunggal dalam sebuah tulisan bersambung (dua edisi) di majalah PRISMA tahun 1970-an. Dalam tulisannya ini, Lukman Sinar mengungkapkan alasan utama terjadinya perang terpanjang dalam sejarah perjuangan Indonesia ini (25 tahun), yaitu rasa ketidakadilan terhadap sewa tanah di wilayah orang-orang Karo di Deli Hulu. Perusahaan-perusahaan perkebunan asing hanya membayar sewa tanah kepada Sultan Deli padahal, menurut Datuk Sunggal, bagian Deli Hulu adalah tanah ulayat orang Karo.

Tulisan Lukman Sinar mematahkan argumen yang menyatakan perang yang dipimpin oleh Datuk Sunggal bermarga Karo-karo Surbakti ini adalah perluasan Perang Batak yang dipimpin oleh Sisingamangaraja XII. Penamaan Batak Oorlog (Perang Batak) oleh Belanda adalah karena mereka menganggap semua suku yang bukan Melayu di daerah ini adalah Batak.

Lukman Sinar semasa hidupnya tetap bersedia menjadi pembicara di seminar-seminar yang diadakan organisasi-organisasi Karo khususnya bila dia diminta berceramah mengenai Perang Sunggal. Bulan Juni 2010 lalu, SoraSirulo.net masih sempat berbincang-bincang dengan beliau saat sama-sama berkunjung ke situs Kerajaan Haru di Kota Cina, Hamparan Perak. Saat itu memang kesehatan beliau terlihat sudah sangat menurun, tapi semangatnya untuk menggeluti sejarah Sumatera Timur (Melayu, Karo dan Simalungun) tetap tinggi hingga akhir hayatnya. Sejarawan Sumatera Utara ini sebelum meninggal sempat dirawat di Sime Darby Medical Center, Subang Jaya (Malaysia). Jenazahnya dimakamkan di mesjid kebesaran Kesultanan Serdang, Mesjid Raya Sulaimaniyah, Perbaungan. Lukman Sinar telah berjasa mengangkat Karo ke permukaan.(fed)

Sumber: Riau Pos, Minggu, 22 April 2012