Monday, January 30, 2012

Biarkan ISI Tetap Institut Seni

-- Sumbo Tinarbuko

TABIAT pejabat Pemerintah Indonesia selalu memiliki ciri suka membangun dengan menghancurkan bangunan, konsep, dan program kerja yang dianggapnya lama.

Padahal, realitas sosialnya masih cukup signifikan untuk dijalankan dan ditumbuhkembangkan jadi sesuatu yang lebih bermanfaat guna menghasilkan kebermanfaatan lebih besar.

Upaya membuat kebaruan juga dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang berencana mengubah bangunan, konsep, dan program kerja lembaga pendidikan tinggi seni bernama Institut Seni Indonesia (ISI) menjadi Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI). Dasar perubahan itu konon karena berubahnya Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) jadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud).

”Tahun 2012, kami akan lakukan konversi institut yang selama ini ada. ISI akan dikonversi menjadi ISBI atau Institut Seni dan Budaya Indonesia,” kata Mendikbud M Nuh pada Dialog Budaya dalam Rangka Penyusunan Cetak Biru Pembangunan Nasional Kebudayaan di Jakarta, Senin, 12 Desember 2011.

Menurut M Nuh, selama ini, ISI lebih ditekankan kepada seni, baik pertunjukan maupun lainnya. Namun, sejalan dengan masuknya kebudayaan, kesenian tidak dapat berdiri sendiri.

Bukan hal baru

Dalam laman http://dikdas.kemdiknas.go.id/content/berita/utama/ide-pendiria-2.html berjudul ”Ide Pendirian Institut Seni dan Budaya, Bukti Keseriusan Kemdiknas” dikabarkan sebagai berikut. Ide Mendiknas itu merupakan bagian dari keseriusan Kemdiknas merawat kekayaan seni-budaya Indonesia.

Menurut Mendiknas, ISBI memiliki tiga peran. Pertama, menjaga dan merawat warisan budaya. Kedua, melakukan kreasi produk seni dan budaya dengan budaya baru. Ketiga, memperkuat hubungan antaranak bangsa. Namun, lanjut M Nuh, ’’Jangan hanya berhenti kepada perawatan, juga promosi atas budaya yang telah diwariskan oleh para leluhur.’’ Informasi ini diunggah ke laman tersebut pada 21 Juni 2011, jauh sebelum perubahan Kemdiknas menjadi Kemdikbud diumumkan pada Oktober 2011.

Kalau rencana mengubah ISI menjadi ISBI hanya berdasarkan pemikiran seperti di atas, jauh sebelum rencana tersebut mengemuka, paling tidak ISI Yogyakarta, ISI Denpasar, dan ISI Surakarta sudah menjalankan konsep pendidikan tinggi seni berbasis budaya, seperti termaktub dalam visi, misi, ataupun tujuan penyelenggaraan pendidikan seni yang mereka kelola.

ISI Yogyakarta, misalnya, menggariskan tujuan pendidikan tinggi seni untuk menghasilkan sarjana seni yang peka dan tanggap terhadap masalah sosial budaya, secara etik, moral, dan akademik melalui berbagai jalur dan jenjang pendidikan tinggi.

Tujuan tersebut memiliki kompetensi yang signifikan, di antaranya mampu menciptakan dan mengekspresikan beragam gagasan ke dalam berbagai bentuk karya seni yang dapat dipertanggungjawabkan. Mampu mengkaji dan menganalisis fenomena seni-budaya. Mampu menyajikan karya seni secara kreatif, inovatif, dan profesional. Mampu mengelola kegiatan seni-budaya serta mengembangkan jiwa kewirausahaan, dan mampu mengembangkan pendidikan seni sesuai dengan kompetensi dan jiwa zamannya.

Sementara itu, himne ISI Yogyakarta dengan nada optimistis mengumandangkan nada dan syair berbunyi, ’’Kembangkan daya cipta berkreasi/Tuntut ilmu dan mari berkarya/Bersatu di bawah panji Saraswati/Bina insan seni Pancasila/Terampil dalam cita rasa junjung budaya bangsa/Sadar dan bertanggung jawab sebagai seniman sejati.’’

ISI Surakarta, seperti dikutip dalam laman mereka (http://www.isi-ska.ac.id/index.php/profil/visimisitujuan), mengusung misi pendidikan tinggi seni dengan mewujudkan pendidikan seni yang bermutu, berdaya saing, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat. Mewujudkan pusat kajian seni-budaya Nusantara, laboratorium kekaryaan, dan produksi seni yang responsif dan adaptif terhadap perubahan serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

Selain itu, untuk mewujudkan sistem pendidikan seni yang efektif dan efisien. Mendinamisasikan kehidupan seni-budaya dalam rangka pembentukan manusia seutuhnya. Mewujudkan pusat informasi yang baik dan benar tentang seni-budaya, serta mewujudkan tata kelola institusi yang profesional dan akuntabel.

Hal senada juga dikumandangkan ISI Denpasar (lihat: http://www.isi-dps.ac.id/profile-umum). ISI Denpasar bertujuan menciptakan dan mempresentasikan beragam gagasan ke dalam berbagai bentuk karya seni dan mempertanggungjawabkan secara etik, moral, dan akademik. Mampu mengkaji dan menganalisis beragam fenomena seni budaya. Mampu menyajikan karya seni secara kreatif, inovatif dan profesional, serta mampu mengembangkan kewirausahaan dalam mengelola kegiatan seni dan budaya.

Administrator pendidikan

Jadi, kalau Kemdikbud tetap ingin mengubah ISI menjadi ISBI, dapat dibayangkan, sistem dan kurikulumnya tidak akan banyak berubah. Kalaupun berubah, yang terjadi, pengelola lembaga pendidikan tinggi seni bernama ISI berubah menjadi bingung. Kebingungan tersebut secara kasatmata terlihat dalam menyusun kurikulum, silabus dan tetek bengek urusan administrasi pendidikan lain.

Kebingungan lain muncul akibat bingung dengan sistem akreditasi yang berdampak pada keharusan dosen menjadi seorang administrator pendidikan seni dan desain yang andal. Dampaknya, para dosen terkadang harus mengesampingkan perannya sebagai seorang desainer dan seniman yang dituntut mampu menghasilkan karya seni dan desain. Hal itu akan berakibat pada terhambatnya proses meneliti dan menulis buku seni dan desain yang menjadi pilihan hidupnya di dunia intelektualitas bidang seni dan desain.

Perubahan ISI menjadi ISBI akan membingungkan kehidupan sivitas akademika terkait dengan kompetensi dan kapasitas intelektual dosen pengajar mata kuliah yang terkadang tidak selaras antara teori dan realitas sosial di ranah industri kreatif.

Pertanyaannya, kalau alasan mengubah ISI menjadi ISBI seperti dipaparkan Mendikbud di atas, padahal realitas sosialnya sebagian besar ISI di Indonesia sudah memilih dan menjalankan konsep berkesenian yang berbudaya sejak 1984 (mengacu berdirinya ISI Yogyakarta) lewat visi misi dan tujuan penyelenggaraan pendidikan, seyogianya rencana tersebut ditakar ulang demi kenyamanan bersama. Dan, untuk itu, biarkan ISI tetap menjadi Institut Seni Indonesia dengan segala lokalitas dan keunikannya masing-masing. Bagaimana Pak Menteri?

Sumbo Tinarbuko
, Dosen Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa dan Program Pascasarjana ISI Yogyakarta

Sumber: Kompas, Senin, 30 Januari 2012

Sunday, January 29, 2012

Teks yang Partikular

-- Arif Hidayat

FOUCAULT (dalam Sarup, 2003: 102) "menghargai sastra transgresi—sastra yang berusaha merong-rong pembatasan yang diberikan oleh bentuk wacana karena kelainannya." Ia melihat teks-teks sastra dapat memberikan ruang bicara bagi sisi yang lain: dunia yang selama ini terabaikan.

Pandangan ini lebih tertuju pada teks-teks sastra yang mengungkap sisi lain, yakni wilayah yang lebih partikular dengan menggunakan citra bahasa yang berbeda dari kehidupan sehari-hari. Ini terutama puisi karena memiliki kekentalan bahasa melalui metonimi, metafora, maupun permainan simbol, yang lebih kaya sehingga dapat menciptakan bermacam kemungkinan. Makna dan pesan yang disampaikan lebih membukakan berbagai kemungkinan untuk dipahami sebagai pengetahuan.

Sekalipun ide kreatif seorang penyair dalam mencipta puisi bermula dari kepekaan rasa dalam membaca situasi dan kondisi melalui pengalaman. Namun, di dalamnya terdapat pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca. Sekalipun penyair seperti Emily Dickinson tidak pernah bermaksud hati memublikasikan puisi-puisinya, dan memilih menjilid rapi di laci meja kerja, curahannya tetap terkandung pesan: entah kegelisahan hati ataupun sebagai curahan, di dalamnya ada pesan denotatif muncul sebagai yang tersurat dan konotatif sebagai yang tersirat. Kedua pesan itu membentuk wacana sebagai yang disodorkan kepada masyarakat sebagai pandangan.

Di dalam setiap kata-kata, ada pesan yang mampu diterima sebagai kebenaran, tetapi itu diterima dalam multi-interpretable. Tapi, ketika memahami puisi dari segi pesan akan tertuju pada amanat yang masih mengacu pada arahan dari pengarang. Padahal, Roland Barthes (1986) telah menulis esai berjudul La Mort de L'auteur (Kematian Pengarang). Segera setelah fakta dinarasikan, diskoneksi terjadi, suara kehilangan jejak sumber asalnya, pengarang menyongsong kematiannya sendiri dan tulisan mengada. (Barthes, 2010: 145). Kematian pengarang itu sendiri bukan dimaksudkan bahwa pengarang tidak punya hak bicara, melainkan agar interpretasi tidak percaya secara penuh disampaikan pengarang diluar teks. Pengarang boleh saja berbicara. Namun, yang dibicarakan oleh pengarang sudah menjadi bagian dari sekian banyak pemaknaan.

Kebanyakan puisi di kalangan akademik dipahami antara intrinsik dan ekstrinsik yang bertaut. Aspek-aspek seperti diksi, gaya bahasa, tipografi, rima, dan unsur dari luarnya dianalisis dengan sendiri-sendiri kemudian disatukan. Ada kesan bahwa analisis seperti itu dilakukan dengan menjadikan teks “dibedah” kemudian “dijahit” ulang sesuka pembaca. Dalam memahami hal seperti itu, arah ujungnya akan mencari nilai atau konsep yang terkandung di dalam suatu teks.

Sementara itu, Ignas Kleden (2004: 71) menekankan upaya kritik kebudayaan terhadap teks sastra dilakukan "bukan sekadar refleksi intelektual". Ada dua hal yang dapat dilakukan. Pertama, seorang peneliti dapat memosisikan diri konsisten dangan gejala-gejala kebudayaan di dalam karya sastra dengan melihat bahwa kebudayaan di dalam karya sastra tidak memanipulasi dan tidak mendominasi, tetapi mengemansipasikannya. Semakin teks diposisikan sebagai nilai, maka akan kokoh sebagai warisan, produk, dan condong pada tradisionalisme. Kedua, dengan menempatkan teks sebagai wacana (discourse) untuk berinteraksi dengan ide-ide dan kepercayaan yang dibangun, dikukuhkan, yang bias digusur, didekonstruksi atau dihancurkan. Ada usaha memosisikan teks sebagai hasil produksi penuh dengan kepentingan, pembenaran atas ide-ide membuat rasa percaya yang baru, maka rasa tradisionalisme semakin berkurang.

Sifat arbitrair bahasa di dalam puisi yang berusaha menerobos pemaknaan secara semantik sesungguhnya lebih menarik jika ditinjau dari wacana yang berkembang secara bebas. Wacana di dalam puisi dengan kekuatan subjektif dari penyair dalam memainkan kata-kata telah membentuk makna yang dapat diterapkan dalam keadaan berlainan. Dalam pandangan Ignas Kleden (2004: 212-213), penyair berbeda dengan pemakai bahasa lainnya dengan menghadapi “kata-kata untuk mengaktifkan polisemi, mengarahkan ambivalensi, sambil mengintensifkan ambiguitas dan merayakannya.” Dalam hal ini, berarti sekalipun penyair lebih ekspresif dengan pengalaman, memiliki kerangka konseptual terhadap puisi-puisi yang diciptakannya. Penyair—lewat puisi—berusaha memproduksi wacana dalam dinamika kebudayaan.

Puisi, sekalipun ditulis dengan bahasa rumit, dapat menjadi mekanisme bahasa. Puisi memiliki kekuatan mampu bergerak melalui kekuatan bahasa meluruskan politik. Ada wacana di dalam puisi sebagai pengetahuan. Rahasia sebuah puisi terletak pada kekuatan sebagai pengetahuan yang terus bergerak dalam arena struktur sosial. Orang (pembaca) akan mengatakan bahwa isi puisi itu benar karena sudah diproduksi menjadi puisi. Serangkaian teori telah mengategorikan dan mendeskripsikan pengetahuan-pengetahuan di dalam puisi memiliki dimensi humanis. Puisi sebenarnya terasa sangat subjektif dan penyair dapat diperlakukan sebagai individu dalam gelora rasa mengekspresikan segala yang diketahuinya. Namun, penyair, menurut Kleden (2004: 214), adalah "intelektual publik" karena memiliki kesadaran terhadap batas-batas puisi dan bukan puisi, juga kesadaran ungkap melalui bahasa untuk menampilkan pengetahuan. Pengetahuan penyair didapat berdasarkan rasa dan pengalaman. Pengetahuan-pengetahuan di dalam puisi—yang terwujud melalui bahasa—itulah elemen penting sebagai representasi realitas. Pengetahuan dan bahasa tersatukan di dalam wacana dari puisi melahirkan pengetahuan bagi pembaca maupun penikmat.

Kehadiran wacana di dalam puisi tidak datang begitu saja sebagai kejutan atau kebetulan, tetapi ia hadir karena adanya sistem produksi sosial atas puisi sehingga berterima masyarakat. Hal ini karena sebagaimana yang dikatakan oleh Foucault dalam esai What is an Author (1978: 1), "Pengarang (baca: penyair) adalah produktor ideologi" dalam setiap makna-makna yang diciptakan di dalam teks, baik melalui sisi estetik maupun etika. Kehadiran wacana di dalam puisi tidak lepas dari pengaruh lingkup sosial seorang pengarang yang memberikan kontribusi cukup besar bagi cara pandangnya, kemudian dimunculkan di dalam setiap susunan kata di dalam puisinya. Maka, mengalisis teks partikular perlu masuk pada konstruksi wacana yang tersusun oleh praktek dan relasi sosial sebagai struktur dan sistem. n

Arif Hidayat, bergiat di Komunitas Beranda Budaya

Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 Januari 2012

[Buku] Jawara dan Santri dalam Novel

Judul : Jawara, Angkara di Bumi Krakatau

Penulis : Fatih Zam

Penerbit : Metamind (Tiga Serangkai), Januari 2012

Tebal : xiv + 530 halaman

TAHUN 1990-an, membaca Banten melalui medium sastra mungkin hanya lewat Balada Si Roy, karya fenomenal Gola Gong. Kini telah bermunculan penulis muda Banten yang mengeksplor ihwal-ihwal lokalitas setempat dalam karya mereka. Novel Jawara, Angkara di Bumi Krakatau karya Fatih Zam yang terbit awal tahun ini, bisa menjadi semacam pintu masuk melihat Banten lewat karya sastra.

Novel hampir 50 bab ini berlatar sejarah dan budaya lokal Banten. Menarik dibaca karena mengangkat tema konflik horizontal antara jawara dan ulama (kiai dan santri) juga perihal meletusnya Krakatau.

Bab-bab awal kita disuguhi potongan-potongan kisah beberapa tokoh yang muncul silih berganti dengan problem masing-masing. Ada tokoh Badai, pendekar muda yang berambisi mencari kitab Serat Cikadueun yang ditulis Syekh Mansur, seorang ulama Banten yang memiliki karomah.

Badai tergoda dongeng yang mengeram di benaknya sejak kecil bahwa siapa pun yang mendapatkan kitab itu kesaktiannya berlipat. Lempeng batu yang diberi Abah Santa adalah penunjuk jalan bagi Badai menemukan kitab itu. Ada lempengan lain yang harus ditemukan Badai. Oleh Abah Santa, Badai diperintah mencari Kiai Kohar yang tahu tentang lempeng pasangannya. Jika kedua lempeng itu disatukan, tertera kalimat yang masih harus dipecahkan maknanya. Banyak aral yang ditempuh Badai dalam misinya mencari Kiai Kohar. Ada pula tokoh Jaka, santri yang diutus menimba ilmu silat kepada Kakek Lie Ching, mantan begundal yang tobat.

Jawara dan kiai adalah dua entitas di Banten yang sejatinya berkaitan erat dan bersimbiosis mutualisme. Kiai berdakwah, jawara mengawalnya. Yang satu lemah lembut, yang satu keras. Beda cara, memiliki tujuan sama. Jawara, yang artinya jagoan, wanian (pemberani), dan wara (rendah hati) sebenarnya bagian dari pesantren, namun lebih fokus ke olah kanuragan. Sayangnya perilaku segelintir oknum membuat istilah jawara mengalami pergeseran makna dari sifat-sifat luhur menjadi image negatif. Jawara kini indentik dengan preman, tukang onar, bermodal kekuatan fisik mencapai tujuan.

Praktek pecah belah sejak zaman penjajahan sampai sekarang masih marak di banyak tempat dengan kemasan berbeda. Dalam novel ini, ada pihak yang berniat buruk merusak hubungan kiai dan jawara, yaitu tokoh antagonis bernama Angkara. Ia sosok abstrak yang konon menyulut fitnah, menghasut para jawara membumihanguskan seluruh pesantren. Hanya kitab Serat Cikadueun yang bisa mengalahkan Angkara.

Sementara santri bernama Saefudin jadi sosok yang berbeda. Ia berhasil lolos dari pertempuran justru tak berniat membalas dendam kematian ayahnya yang kiai. Ia menolak terlibat dalam seteru ulama-jawara, memilih menjalani kehidupan sebagai nelayan dan jadi saksi atas sebuah kejadian santet. Korelasi Saefudin dan tokoh-tokoh lain adalah peristiwa meletusnya Krakatau.

Jika pembaca bertanya-tanya latar waktu dalam novel ini, petunjuknya bisa ditemukan pada bab Wajah-Wajah Beringas. Kita juga akan membaca riwayat golok, senjata tajam yang jadi ciri khas kaum jawara. Itu bukan untuk gagah-gagahan belaka, ada makna filosofis terkandung di dalamnya.

Di bagian terakhir, sisipan sejumlah lokus menarik di Banten yang disebut dalam novel. Misalnya, Sumur Tujuh yang pernah disinggahi Sultan Maulana Hasanuddin, seorang pendiri Kesultanan Banten. Sumur yang berada di bukit Puncakkarang dipercaya sebagai pusarnya Banten. Sumur itu diyakini sebagai bekas kemunculan Syekh Mansur dari dalam bumi setelah melakukan perjalanan ke tempat jauh, termasuk Mekah.

Bagaimana akhir perjuangan Jaka, Badai, dan para pendekar mencari kitab Serat Cikadueun? Apa sebenarnya keistimewaan kitab itu hingga diperebutkan banyak orang? Siapa atau apa sebenarnya Angkara? Semua pertanyaan itu akan terungkap di akhir cerita. Puisi-puisi hadir di awal setiap bab dalam novel ini mengingatkan pada Balada si Roy-nya Gola Gong, bisa dimaknai sebagai interpretasi atau intisari atas isi bab bersangkutan. Ada juga puisi Sapardi Djoko Damono dan Sutardji Calzoum Bachri.

Imajinasi dan energi penulis dalam mendeskripsikan adegan-adegan silat di novel ini cukup terjaga. Adegan perkelahian terasa filmis menarik dinikmati. Dengan bahasa komunikatif, novel yang memadukan cerita silat, sejarah, dan budaya ini layak dibaca semua kalangan.

Akhirnya, tokoh Janari hanya muncul di bab pertama dan bab terakhir, secara implisit menjadi penanda bahwa sejarah memang acap berulang. Secara kontekstual ulama dan jawara masih kerap diperalat oleh sejumlah kalangan untuk mencapai kepentingan tertentu.

Arman A.Z.
, Pembaca buku

Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 Januari 2012

Melayu dan Gempuran Globalisasi dalam Catatan Budaya

-- Edi Sarjani

BUDAYA Melayu vs Budaya modern tak dapat dihindari. Ini adalah konsekuwensi dari globalisasi dan Pekanbaru sebagai kota perdagangan metropolis. Budaya Melayu ‘’terpaksa’’ mengizinkan masuknya kebudayaan modern, hanya seberapa besar filterisasi yang mampu dilakukan oleh pelaku budaya (catatan budaya).

Globalisasi merupakan suatu fenomena khusus dalam peradaban manusia yang bergerak terus dalam masyarakat global dan merupakan bagian dari proses manusia global itu. Kehadiran teknologi informasi dan komunikasi mempercepat akselerasi proses globalisasi ini. Globalisasi menyentuh seluruh aspek penting kehidupan. Globalisasi menciptakan berbagai tantangan dan permasalahan baru yang harus dijawab, dipecahkan dalam upaya memanfaatkan globalisasi untuk kepentingan kehidupan.

Globalisasi sendiri merupakan sebuah istilah yang muncul sekitar dua puluh tahun yang silam, dan mulai begitu populer sebagai ideologi baru sekitar lima atau sepuluh tahun terakhir. Sebagai istilah, globalisasi begitu mudah diterima atau dikenal masyarakat seluruh dunia. Wacana globalisasi sebagai sebuah proses ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga ia mampu mengubah dunia secara mendasar. Globalisasi sering diperbincangkan oleh banyak orang, mulai dari para pakar ekonomi, sampai penjual iklan. Dalam kata globalisasi tersebut mengandung suatu pengertian akan hilangnya satu situasi dimana berbagai pergerakan barang dan jasa antar negara diseluruh dunia dapat bergerak bebas dan terbuka dalam perdagangan. Dan dengan terbukanya satu negara terhadap negara lain, yang masuk bukan hanya barang dan jasa, tetapi juga teknologi, pola konsumsi, pendidikan, nilai budaya terkhususnya budaya Melayu.

Konsep akan globalisasi menurut Robertson (1992), mengacu pada penyempitan dunia secara insentif dan peningkatan kesadaran kita akan dunia, yaitu semakin meningkatnya koneksi global dan pemahaman kita akan koneksi tersebut. Di sini penyempitan dunia dapat dipahami dalam konteks institusi modernitas dan intensifikasi kesadaran dunia dapat dipersepsikan refleksif dengan lebih baik secara budaya. Globalisasi memiliki banyak penafsiran dari berbagai sudut pandang. Sebagian orang menafsirkan globalisasi sebagai proses pengecilan dunia atau menjadikan dunia sebagaimana layaknya sebuah perkampungan kecil.

Sebagian lainnya menyebutkan bahwa globalisasi adalah upaya penyatuan masyarakat dunia dari sisi gaya hidup, orientasi, dan budaya. Pengertian lain dari globalisasi seperti yang dikatakan oleh Barker (2004) adalah bahwa globalisasi merupakan koneksi global ekonomi, sosial, budaya dan politik yang semakin mengarah ke berbagai arah di seluruh penjuru dunia dan merasuk ke dalam kesadaran kita. Produksi global atas produk lokal dan lokalisasi produk global.

Globalisasi adalah proses dimana berbagai peristiwa, keputusan dan kegiatan di belahan dunia yang satu dapat membawa konsekuensi penting bagi berbagai individu dan masyarakat di belahan dunia yang lain. (A.G. Mc. Grew, 1992). Proses perkembangan globalisasi pada awalnya ditandai kemajuan bidang teknologi informasi dan komunikasi. Bidang tersebut merupakan penggerak globalisasi. Dari kemajuan bidang ini kemudian mempengaruhi sektor-sektor lain dalam kehidupan, seperti bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain. Contoh sederhana dengan teknologi internet, parabola dan TV, orang di belahan bumi manapun akan dapat mengakses berita dari belahan dunia yang lain secara cepat. Hal ini akan terjadi interaksi antar masyarakat dunia secara luas, yang akhirnya akan saling mempengaruhi satu sama lain, terutama pada kebudayaan daerah, seperti kebudayaan gotong royong,menjenguk tetangga sakit bahkan dalam beradap sekalipun. Globalisasi juga berpengaruh terhadap pemuda dalam kehidupan sehari-hari, seperti budaya berpakaian, gaya rambut, sopan santun di tanah melayu ini.

Dalam catatan budaya mengadai melayu menjemput mimpi penulis Tatang Yudiansyah mengemukakan dua statemen yang menarik untuk dicermati. Pertama : Pekanbaru dikepung oleh fasilitas hiburan modern yang berpotensi menjadi pemangsa budaya Melayu di kota bertuah ini. Prakteknya kebudayaan modern cenderung negative dan bertentangan dengan prilaku budaya Melayu yang religious. Riau salah satu provinsi di nusantara yang tunak mengumandangkan Melayu mempersilahkan Pekanbaru pada barisan terdepan, mengawal marwah gerbang budaya. Taklah cukup hanya dengan bangunan dengan selembayungnya saja, namun nilai Melayu dalam aplikasi performance, mental dan bahasanya.

Kedua, Pekanbaru hari ini seperti sudah direncanakan sebelumnya menjadi kota pusat perdagangan dan jasa. Sultan Siak ke-4, Sultan Abdul Jalil Alamudin Syah pernah memimpikan hal itu, karena ia menjadikan Senapelan sebagai basis perdagangan Kerajaan Siak. Seperti mengabulkan mimpi, Senapelan yang berganti nama menjadi Pekanbaru benar-benar menjadi pusat perdangangan dan jasa, dengan pertumbuhan ekonomi yang tertinggi di Indonesia, lalu diamana budayanya?

Budaya Pekanbaru
Budaya terpaksa berubah seiring keinginan waktu. Manusia sebagai pelaku budaya, secara lahiriyah tak mampu menghadang derasnya budaya baru yang masuk. Inilah fenomena kota besar dengan sejuta budaya yang berbaur di dalamnya. Jakarta dan Pekanbaru merupakan dua kota yang besar dan hamper merip nasibnya. Jika di Jakarta orang Betawi harus rela menjadi kaum maeginal, orang Melayu di Pekanbaru masih bisa berjuang menghambat gempuran budaya modern walaupun harus merangkak tertatih-tatih.

Tantangan fasilitas hiburan yang menyuguhkan budaya modern semakin menjamur. Diskotek, bar, cafi dan karoke yang notebanenya adalah budaya modern ala barat menjadikanPekanbaru sebagai pasar potensial. Menjamurnya bisnis hiburan ini merupakan peringatan dari budaya modern kepada budaya melayu untuk siap pada tinggkat waspada. Sebegitu hangatnya kebudayaan modern ini diterima oleh masyarakat Pekanbaru. Pemerintah seperti membuka telapak tangan menyambut hal demikian. Masyarakatpun sangat antusias menikmatinya, seakan tak menyadari pahitnya keruntuhan budaya masa akan datang. Akankah masyarakat atau pelaku budaya menyerah begitu saja menyikapi perubahan ini?

Sejarah Pekanbaru
Kota Pekanbaru, siapa yang tak kenal dengan Pekanbaru saat ini? Pekanbaru merupakan ibukota Provinsi Riau yang oleh masyarakat Indonesia dikenal dengan hasil buminya yang melimpah dan daerah yang kental akan tradisi nilai-nilai kemelayuannya. Keberadaan Kota Pekanbaru yang ramai dan maju inipun menyimpan sejarah dan cerita tersendiri bagi masyarakat Riau. Ada dua versi mengenai asal-mula kota ini yaitu versi sejarah dan versi cerita rakyat.

Menurut versi sejarah, pada masa silam kota ini hanya berupa dusun kecil yang dikenal dengan sebutan Dusun Senapelan, yang dikepalai oleh seorang Batin (kepala dusun). Dalam perkembangannya, Dusun Senapelan berpindah ke tempat pemukiman baru yang kemudian disebut Dusun Payung Sekaki, yang terletak di tepi Muara Sungai Siak. Perkembangan Dusun Senapelan ini erat kaitannya dengan perkembangan Kerajaan Siak Sri Indrapura. Pada masa itu, raja Siak Sri Indrapura yang keempat, Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah, bergelar Tengku Alam (1766-1780 M.), menetap di Senapelan, yang kemudian membangun istananya di Kampung Bukit berdekatan dengan Dusun Senapelan (di sekitar Mesjid Raya Pekanbaru sekarang). Tidak berapa lama menetap di sana, Sultan Abdul Jalil Alamudin Syah kemudian membangun sebuah pekan (pasar) di Senapelan, tetapi pekan itu tidak berkembang. Usaha yang telah dirintisnya tersebut kemudian dilanjutkan oleh putranya, Raja Muda Muhammad Ali di tempat baru yaitu di sekitar pelabuhan sekarang.

Selanjutnya, pada hari Selasa tanggal 21 Rajab 1204 H atau tanggal 23 Juni 1784 M., berdasarkan musyawarah datuk-datuk empat suku (Pesisir, Lima Puluh, Tanah Datar dan Kampar), negeri Senapelan diganti namanya menjadi Pekan Baharu. Sejak saat itu, setiap tanggal 23 Juni ditetapkan sebagai hari jadi Kota Pekanbaru. Mulai saat itu pula, sebutan Senapelan sudah ditinggalkan dan mulai populer dengan sebutan Pekan Baharu. Sejalan dengan perkembangannya, kini Pekan Baharu lebih populer disebut dengan sebutan Kota Pekanbaru, dan oleh pemerintah daerah ditetapkan sebagai ibukota Provinsi Riau.

Jauh sebelum Sultan Abdul Djalil Alamuddin Syah, putra Sultan Abdul Djalil Rahmat Syah memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Siak dari Sungai Mempura ke Senapelan pada 1763 Masehi, Petapahan dan Teratak Buluh juga menjadi pusat perdagangan yang cukup ramai pada saat itu. Kedua daerah ini tempat berkumpulnya para pedagang dari pedalaman Sumatera membawa hasil pertanian, hasil hutan, dan hasil tambang.

Oleh para pedagang, hasil pertanian, hasil hutan dan hasil tambang tersebut mereka bawa ke Singapura dan Malaka mengunakan perahu. Untuk jalur perdagangan Sungai Kampar, pusat perdagangannya terletak di Teratak Buluh. Sedangkan pusat perdagangan jalur Sungai Siak terletak di Petapahan. Perdagangan jalur Sungai Kampar kondisinya kurang aman, perahu pedagang sering hancur dan karam dihantam gelombang (Bono) di Kuala Kampar dan sering juga terjadi perampokan yang dilakukan oleh para lanun. Sedangkan Sungai Siak termasuk jalur perdagangan yang cukup aman.

Senapelan ketika itu hanya sebuah dusun kecil yang letaknya di kuala Sungai Pelan, hanya dihuni oleh dua atau tiga buah rumah saja (sekarang tepatnya di bawah Jembatan Siak I). Pada saat itu di sepanjang Sungai Siak, mulai dari Kuala Tapung sampai ke Kuala Sungai Siak (Sungai Apit) sudah ada kehidupan, hanya pada saat itu rumah-rumah penduduk jaraknya sangat berjauhan dari satu rumah ke rumah lainnya. Ketika itu belum ada tradisi dan kebudayaan, yang ada hanya bahasa, sebagai alat komunikasi bagi orang-orang yang tinggal di pinggir Sungai Siak.

Bahasa sehari-hari yang mereka pakai adalah bahasa Siak, bahasa Gasib, bahasa Perawang dan bahasa Tapung, karena orang-orang inilah yang lalu-lalang melintasi Sungai Siak. Pada saat itu pengaruh bahasa Minang, bahasa Pangkalan Kota Baru dan bahasa Kampar belum masuk ke dalam bahasa orang-orang yang hidup di sepanjang Sungai Siak.

Setelah Sultan Abdul Djalil Alamuddin Syah memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Siak dari Sungai Mempura ke Senapelan, pembesar-pembesar kerajaan serta orang-orang dalam kerajaan serta keluarganya ikut pindah ke Senapelan. Dan pada saat itulah tradisi serta budaya, bahasa sehari-hari terbawa pindah ke Senapelan. Di Senapelan, sultan membangun istana (istana tersebut tidak terlihat lagi karena terbuat dari kayu). Sultan juga membangun masjid, masjid tersebut berukuran kecil, terbuat dari kayu, makanya masjid tersebut tidak bisa kita lihat lagi sekarang ini. Dari dasar masjid inilah menjadi cikal bakal Masjid Raya Pekanbaru di Pasar Bawah sekarang ini.

Sultan juga membangun jalan raya tembus dari Senapelan ke Teratak Buluh. Sultan Abdul Djalil Alamuddin Syah membangun pasar, yang aktivitasnya hanya sepekan sekali. Belum sempat Senapelan berkembang, Sultan Abdul Djalil Alamuddin Syah wafat pada 1765 masehi dan dimakamkan di samping Masjid Raya Pekanbaru, sekarang dengan gelar Marhum Bukit.

Pasar pekan dilanjutkan oleh putranya Raja Muda Muhammad Ali yang dibantu oleh ponakannya Said Ali (Anak Said Usman). Di masa Raja Muda Muhammad Ali inilah Senapelan mengalami kemajuan yang sangat pesat. Pasar yang dibangun yang pelaksanaannya hanya sekali sepekan melahirkan kata Pekanbaru. Pekan (berarti pasar sekali sepekan). Baru (baru dibangun saat itu). Saat itulah nama Senapelan lama kelamaan semakin menghilang, orang lebih banyak menyebut Pekanbaru.

Setelah Pekanbaru menjadi ramai maka muncullah para pendatang dari pelosok negeri mulai dari Minang Kabau, Pangkalan Kota baru, Kampar, Taluk Kuantan, Pasir Pengaraian, dan lain-lain. Awalnya mereka berdagang, lama kelamaan mereka menetap. Dengan menetapnya para pedagang tersebut di Pekanbaru lalu mereka melahirkan generasi (anak, cucu, cicit). Anak, cucu, dan cicit tersebut menjadi orang Pekanbaru. Masing-masing pedagang yang datang dan menetap di Pekanbaru membawa bahasa serta tradisi dari asal daerah mereka masing-masing. Lalu mereka wariskan kepada anak cucu dan cicit mereka. Dari situlah mulai kaburnya bahasa, tradisi asli Pekanbaru yang berasal dari Kerajaan Siak.

Dalam catatan Anas Aismana, seniman, Budayawan Kota Pekanbaru beliau mengatakan. Kalau ingin tahu lebih jelas lagi mengenai sejarah, bahasa serta tradisi asli Pekanbaru, tanyakan kepada orang-orang Pekanbaru yang nenek moyang mereka berasal dari Siak, atau nenek moyang mereka orang-orang yang hidup di dalam lingkungan Kerajaan Siak. Mustahil para pedagang yang datang dan menetap di Pekanbaru menceritakan kepada anak cucu mereka tentang sejarah dan tradisi Pekanbaru.

Yang pasti mereka tanamkan ke dalam pikiran anak cucu mereka bagaimana cara berdagang yang baik dan sukses. Dalam hal ini peran Lembaga Adat Kota Pekanbaru sangat penting sekali, untuk meluruskan dan menjelaskan sejarah dan tradisi asli Pekanbaru. Maka dari itu pengurus Lembaga Adat Kota Pekanbaru mau tak mau harus tahu sejarah serta adat istiadat asli Pekanbaru. Karena Lembaga Adat tempat orang minta petunjuk, minta pendapat dan minta petuah. Smoga kehidupan ini tidak terkikis oleh modernisasi.

Edi Sarjani, mahasiswa jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Riau, nominator puisi Nasional tingkat Mahasiswa se- Indonesia 2010 di Purwokerto. Peserta Training Kritik Sastra se- Indonesia bersama Joni Ariadinata di Jogjakarta 2011. Bergiat di komunitas Peradaban dan FLP Riau. Tinggal di Kota bertuah.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 29 Januari 2012

Teknologi dan Tanda Zaman Senirupa

-- Dantje S Moeis

PENONTON dan pemerhati, juga adalah konsumen dunia seni rupa. Konsumen pada dunia senirupa tidak selalu berarti pembeli atau kolektor karya seni jenis ini, tapi juga mereka yang memperkaya pemahaman atau yang menggunakan daya aksesnya secara aktif maupun pasif terhadap segala sisi, baik perkembangan maupun keberadaan dunia seni rupa, terutama yang berada di ruang pamer. Kerena setakat ini, ruang pamerlah yang dianggap layak dan efektif sebagai jembatan komunikasi antara karya senirupa dengan konsumennya (dalam konteks ini penonton dan pemerhati).

Lazim sebagai upaya memperkaya pemahaman serta keadaan karya seni di Riau (Pekanbaru) atau di mana saja, selalu diwakili oleh tulisan-tulisan kritik seni di media-media massa terutama yang menyediakan ruang khusus seni. Tentunya kadar tulisan yang ada di sana adalah tulisan-tulisan yang serius, dibuat oleh para kritikus/pemerhati seni, berisi analisa dan kajian tertentu atas fenomena seni terkini. Tulisan ini dibuat untuk mendengar ucapan-ucapan, pendapat, komentar dari sisi kritikus/pemerhati mengenai acara seni yang disambanginya.

Dalam urusan terkait senirupa, minimnya (hampir tidak ada) tulisan yang diharap dapat jadi jembatan komunikasi, baik tentang kualitas, perkembangan yang dapat mengisi pemahaman masyarakat tentang karya senirupa yang dihasilkan oleh seniman perupa Riau. Sedangkan proses perkembangannya di luar sana terus berlanjut, baik dari sisi teknik, kualitas serta penyelarasan dan pemanfaatan teknologi yang berkembang pesat. Nah disinilah peran pemerhati aktif diharapkan. Namun apabila pameran senirupa secara berkala atau temporer pun tak mampu hadir di ruang pamer, tentu jembatan pemahaman tentang nilai praktis, teoritis teknis maupun nilai-nilai lainnya dari sebuah karya senirupa aktual tentu takkan pernah ada pula.

Secara faktual, perkembangan senirupa di Indonesia cukup berkembang pesat dan mampu memanfaatkan teknologi yang berkembang laju. Gaung kecanggihan software yang berbagai nama terus menggema di seluruh dunia. Digitalisasi berkembang subur bak jamur di musim hujan dan secara multidimensi, tak terkecuali pada bidang seni lukis. Sebelum lahirnya teknologi software ini, banyak orang beranggapan bahwa tidak mungkin dapat melukis atau membuat gambar dengan komputer. Anggapan itu lenyap seketika setelah muncul beberapa software yang mampu berperan sebagai bidang kanvas yang digital.

Seperti diketahui, hingga kini sudah tak terhitung lagi berapa jumah software yang berkembang sebagai sarana pengolah gambar secara digital. Meski begitu, Adobe Photoshop adalah pilihan yang setakat ini pas dan memiliki ranking tertinggi sebagai satu-satunya software untuk keperluan pemaduan gambar rencana, photography, memoles gambar, manipulasi photo, disain grafis, lukisan digital, dan masih banyak lagi keperluan lain yang mengandalkan program yang terkenal cerdas dan handal itu.

Wajah senirupa (lukis) Indonesia sudah berubah. Pemahaman terhadap senirupa belakangan ini sudah bukan lagi sebatas kanvas, kuas bulu dan cat, melainkan sudah merambah ke berbagai media, alat dan pewarna yang tidak terbayangkan sebelumnya.

Para seniman (pembaharu) yang menggunakan media baru ini, ibarat Gallileo yang menemukan teropong. Teropong itu tidak hanya memberikan ‘’pemandangan baru’’ namun, teropong itu juga, telah memberikan kontribusi bagi reinterpretasi cara pandang terhadap media dalam sebuah karya. Sementara beberapa seniman menggali kedalaman media baru, sementara yang lain juga hadir dengan memanfaatkan kepekatan nilai interaktif antara karya dengan penontonnya. Karya ini tentu saja tidak hanya dapat dilihat dari sudut tertentu, namun juga memberikan kesempatan bagi penonton untuk berinteraksi dengan karya itu.

Karya lukis yang kemudian dengan kata sepakat diberi nama dan berjenis lukisan digital (digital painting), adalah bentuk seni yang muncul di mana teknik melukis tradisional seperti cat air , cat minyak, acrilyc, tempera dan lain sebagainya akan diterapkan dengan menggunakan perangkat digital melalui sebuah komputer. Lukisan digital berbeda dari bentuk-bentuk seni digital, khususnya yang dihasilkan seni komputer, dalam hal ini tidak melibatkan komputer rendering (salinan) dari model. Seniman menggunakan teknik melukis untuk menciptakan lukisan digital secara langsung pada komputer. Semua program lukisan digital mencoba untuk meniru penggunaan media fisik melalui berbagai efek kuas dan cat. Terlalu tehnis sifatnya apabila tahapan-tahapan yang merupakan proses pengerjaan sebuah karya digital painting kalau saya sampaikan di sini. Karena pengalaman yang bersifat empirik dan kecenderungan individu perupa sangat berlaku di sini seperti juga pada proses pengerjaan karya seni-lukis konvensional.

Sosok perempuan bernama Magdalena (Rotua Magdalena P. Agung) adalah salah satu dari sekian banyak perupa Indonesia masa kini yang cenderung berkiprah melalui karya ekspresi seni digital painting (contemporer), Magda dikenal sebagai perupa yang awalnya memilih bidang seni grafis dalam dekade hampir bersamaan dengan rekannya sesama perupa Almarhumah Marida Nasution & Anna Zuchriana, mereka sama-sama telah menempuh kuliah dan memilih bidang seni grafis, dan Magda tercatat sebagai Mahasiswi Angkatan 1990 jurusan seni murni, program study seni grafis di Fakultas Seni Rupa dan Desain IKJ (FSRD IKJ).

Perupa Indonesia lainnya yang juga berkiprah dengan karyanya melalui tehnik digital antara lain perupa seperti FX. Harsono, salah satu sosok perintis perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia, yang telah banyak menghasilkan karya seni digital dan menunjukkan kemampuan memadu teknologi fotografi dan idiom computer imaging, juga perupa Devy yang lama berkecimpungan didunia seni grafis konvensional terutama kemahirannya dibidang tehnik etsa dan telah turut andil dalam mengenalkan seni digital baru melalui proses pengembangan dibidang seni grafis dengan cara memperdalam bidang seni digital di dinegara barat diantaranya di Canada, Jerman. Devy dikenal juga sebagai salah satu pendiri Studio dan Galleri Red Point. Bandung sumbangsihnya yang besar untuk turut andil dalam memberi apresiasi seni didunia seni grafis khususnya pada masyarakat pencinta seni serta kiprahnya sebagai perupa seni Grafis.

Kita di Riau juga memerlukan sosok-sosok perupa yang rajin bereksplorasi dari berbagai aspek sehingga melahirkan sesuatu karya senirupa yang baru dan selalu terus membaharu hingga tercatat zaman. Namun semua itu menjadi tak berarti apa-apa tanpa dukungan dan perhatian pihak berkompeten, apalagi pihak yang sebenar-benarnya ditugasi untuk mengurus itu, untuk memberikan kesempatan dan sarana berpameran sebagai laluan konsumen untuk ditonton, diamati, ditulis dan dikritisi sehingga kita seniman Riau menjadi tak tertinggal sangat.

Dantje S Moeis, Seniman perupa, redaktur majalah budaya Sagang, dosen luar-biasa pada Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR).

Sumber: Riau Pos, Minggu, 29 Januari 2012

Sekolah RSBI Dinilai Gagal

-- Ester Lince Napitupulu & Marcus Suprihadi

JAKARTA, KOMPAS.com — Sorotan terhadap keberadaan sekolah berstatus rintisan sekolah bertaraf internasional terus menguat. Desakan kepada pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan ini juga terus mencuat.

Dalam konferensi kerja nasional Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di Bandung yang berakhir pada Minggu (29/1/2012), PGRI mendesak pemerintah menindaklanjuti hasil evaluasi penyelenggaraan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI/SBI) yang dinilai gagal.

"Kebijakan soal RSBI ini menimbulkan diskriminasi dalam pelayanan pendidikan dan biaya pendidikan," kata Ketua Pengurus Besar PGRI Sulistiyo.

Anggota Komisi X DPR, Raihan Iskandar, mengatakan, pemerintah mestinya fokus pada pemerataan peningkatan mutu pendidikan. "Tanpa label-label internasional yang membuat sekolah unggulan justru jadi eksklusif," ujar Raihan.

Menurut Raihan, DPR berinisiatif merevisi UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Termasuk juga soal pasal yang mengatur RSBI/SBI yang justru menyimpangkan arah pendidikan nasional.

"Pendidikan bermutu seharusnya dinikmati semua anak bangsa dan tidak diskriminatif seperti sekarang ini," ujar Raihan.

Sumber: Edukasi, Kompas.com, Minggu, 29 Januari 2012

Ujian Nasional: Tuhan Sedang Sibuk

-- Ester Lince Napitupulu & Marcus Suprihadi |

JAKARTA, KOMPAS.com- Fenomena irasionalitas dalam pendidikan semakin memprihatinkan. Fenoma ini tidak hanya ditemui di kalangan siswa atau guru, tetapi juga banyak ditemui dalam kebijakan pendidikan nasional.

Persoalan irasionalitas yang merebak dalam pendidikan tersebut antara lain disorot dalam buku karya Ahmad Rizali, anggota Dewan Pembina Ikatan Guru Indonesia (IGI) yang diluncurkan dalam rapat kerja nasional IGI. Buku kedua Ahmad Rizali berjudul "Catatan Waktu; Tuhan Sedang Sibuk" ini berisi kritik sosial dan pendidikan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Ahmad Rizali, Minggu (29/1/201) menjelaskan, tulisan dalam buku ini mengkritik kebijakan pendidikan yang menyebabkan jutaan siswa menjadi irasional. Sebagai contoh dalam pelaksanaan ujian nasional (UN).

Tuhan Sedang Sibuk merupakan salah satu judul tulisan yang berisi betapa sibuknya Tuhan ketika jutaan siswa beramai-ramai istighosah meminta Tuhan meluluskannya dalam menghadapi UN, tanpa ikhtiar, tanpa belajar.

Ahmad juga menyebut program rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI/SBI) juga irasional. Program ini menciptakan manusia-manusia yang terasing dengan negerinya sendiri, menumbuhkan kecemburan sosial, dan kastanisasi pendidikan.

"Pendidikan nasional semestinya kembali kepada pendidikan bernalar dan bermoral," kata Ahmad.

Hasil survei asesmen siswa usia sekolah menengah pertama oleh lembaga dunia menempatkan Indonesia pada level terendah hanya karena siswa Indonesia dianggap lebih banyak menghafal, tetapi tidak bernalar. Akibatnya siswa Indonesia dinilai tidak bisa berkompetisi di era global.

"Karena itu, IGI yang fokus pada peningkatan kualitas dan profesionalisme guru, merekomendasikan pentingnya pendidikan bernalar," papar Ahmad.

Sumber: Edukasi, Kompas.com, Minggu, 29 Januari 2012

Saturday, January 28, 2012

Jadikan TIM Pusat Kesenian yang Sesungguhnya (2-Habis)

-- Arie F. Batubara

TIM sendiri jelas-jelas sejak awal dirancang sebagai "pusat kesenian". Hal ini tertuang secara eksplisit dalam Memori Penjelasan Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. Ib.3/2/19/1968 tahun 1968 tentang Pembentukan Dewan Kesenian Jakarta, yang antara menyebutkan: ...Jadi, Pusat Kesenian Jakarta merupakan semacam "pemberi ijazah" kepada kegiatan-kegiatan kesenian yang ada di luar Pusat Kesenian tersebut. Diharapkan dia akan merupakan titik pusat perhatian dari semua kegiatan yang ada di Jakarta... (ejaan disesuaikan, pen).

Akan tetapi, seperti kita ketahui, belakangan ini posisi TIM sebagai "titik pusat perhatian dari semua kegiatan (kesenian)" tidak lagi seperti dulu. Dalam dua dekade terakhir terasa benar, pamor sebagai "pusat" tersebut perlahan tapi pasti terus memudar, sehingga ia tak lagi dianggap sebagai "barometer" bagi kegiatan berkesenian baik itu di Jakarta, lebih-lebih untuk Indonesia seperti di era sebelumnya kendatipun hingga kini TIM masih menyebut dirinya sebagai Pusat Kesenian Jakarta.

Memang, bila kitatelusuri, ada banyak faktor yang menjadi penyebab kemerosotan itu. Di satu siai, misalnya, ada suatu masa di mana ada semacam upaya yang dilakukan termasuk oleh kalangan masyarakat kesenian sendiri untuk mendeligitimasi TIM. Upaya ini cukup terasa berlangsung sepanjang dekade 1990-an. Lalu, di sisi lain, ada pula yang berpendapat bahwa kemerosotan TIM adalah keniscayaan yang harus terjadi karena di luar TIM mulai bermunculan "tempat-tempat pertunjukan lain" yang bisa dijadikan sebagai alternatif oleh para seniman.

Namun, sebenarnya, merosotnya pamor TIM tidaklah semata-mata karena kedua faktor tersebut. Ada faktor lain yang jauh lebih penting dan sangat berpengaruh, yakni menyangkut "perhatian" dari Pemerintah Daerah/Provinsi DKI Jakarta. Memang, sampai saat ini pun, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih tetap memberi "perhatian" terhadap TIM.

Tetapi, "kualitas" perhatian itu makin jauh menurun, dibanding, misalnya ketika Jakarta masih di bawah kepemimpinan Ali Sadikin.

Seperti diketahui, salah satu bentuk perhatian paling kongkrit Pemerintah Daerah DKI Jakarta terhadap TIM adalah menyangkut pemberian bantuan dana (subsidi) dari APBD untuk membiayai berbagai kegiatan yang ditampilkan di TIM.

Dalam hal ini, jika kita lihat data-data yang ada, saat Ali Sadikin masih memimpin Jakarta, jumlah dana yang digelontorkan dari APBD DKI Jakarta untuk TIM rata-rata per tahunnya adalah sekitar 0,05% dari total APBD Jakarta masa itu.

Namun, seiring dengan lengsernya Ali Sadikin dari kursi Gubernur DKI Jakarta, angka itu ikut pula melorot hingga mencapai titik paling nadir pada dekade 1990-an yang hanya rata-rata 0,01%.

Memang, pada dekade 2000-an, khususnya antara tahun 2003 hingga 2007, angka itu sempat membaik (mencapai rata-rata 0,04%). Tetapi, setelah itu kembali melorot lagi hingga di bawah 0,01%. Bahkan, untuk tahun 2012 ini, jumlah bantuan yang akan diterima TIM dari APBD konon hanya mencapai 0,0069% dari total APBD DKI Jakarta yang mencapai angka Rp 36 triliun.

* * *

SANGAT boleh jadi, memang, makin berkurangnya "perhatian" Pemprov DKI Jakarta terhadap TIM sebagai "pusat kesenian" pada satu sisi bisa dipandang sebagai sebuah keniscayaan di tengah era otonomi, demokratisasi, serta globalisasi sekarang ini.

Sebab, dalam konteks ini, memang senantiasas kita rasakan selalu ada kecenderungan untuk lebih memberi perhatian terhadap hal-hal yang sifatnya fisik dan memberi kontribusi langsung pada peningkatan pendapatan daerah.

Sementara itu, kita tahu, segala sesuatu yang berkaitan dengan kesenian, utamanya kesenian nonpopuler yang tidak bersifat industri, pastilah tidak memiliki kontribusi apalagi dalam jumlah besar dan langsung pula kepada pendapatan daerah maupun sebagai parameter untuk keberhasilan pembangunan. Karenanya sangat wajar jika kesenian tidak akan pernah menjadi salah satu prioritas yang harus mendapat perhatian.

Tetapi, pada sisi lain, adalah sebuah kekeliruan yang sangat besar bagi sebuah kota metropolitan yang sekaligus menyandang predikat sebagai Ibukota Negara seperti Jakarta, manakala kota itu menganggap urusan kesenian bukan prioritas sehingga lantas "menelantarkan" pusat kesenian yang dimilikinya.

Sebab, sebagaimana sudah dikemukakan di bagian awal tulisan ini, sebuah kota yang maju dan modern, sesungguhnya belumlah lengkap bisa menyatakan dirinya sebagai kota manakala kota itu tidak memiliki "pusat kesenian" yang repsentatif dan berwibawa.

Atau, dengan perkataan lain, prasyarat atau penanda bagi sebuah kota untuk bisa dikatakan sebagai kota yang maju dan modern, sesungguhnya bukanlah kehadiran bangunan megah dan mewah seperti hotel, mall, pusat perbelanjaan, apartemen, dan sebagainya.

Melainkan, apakah kota memiliki sebuah "arts center" yang berwibawa atau tidak. Selama kota itu belum memilikinya, maka kota itu belumlah dipandang sebagai sebuah kota kendatipun hotel, mall, pusat perbelanjaan, apartemen, serta gedung-gedung perkantoran lain yang dimilikinya bertabur begitu banyak dan megah. Singapura adalah contoh yang paling pas untuk ini, Sebelum kota itu memiliki Esplanade, Singapura sama sekali tak dipandang sejajar dengan kota-kota besar seperti London, New York, Paris, bahkan Hongkong sekalipun.

Jadi, dalam konteks posisi Jakarta sebagai kota metropolitan yang juga Ibukota Negara, keberadaan sebuah pusat kesenian yang berwibawa sesungguhnya adalah sebuah keniscayaan. Kota ini belumlah lengkap bisa dikatakan sebagai sebuah kota manakala ia tidak belum memiliki sebuah pusat kesenian yang repsentatif dan berwibawa. Karena itu, menjadi semacam keniscayaan pula apabila keberadaan pusat kesenian yang sekarang ini ada (baca: PKJ-TIM) dikembalikan posisinya sebagai sebuah "pusat kesenian" yang sesungguhnya sebagaimana yang pernah dimainkannya di masa-masa awal kehadirannya.

Bahkan, dalam konteks keinginan untuk semakin mengembangkan ekonomi kreatif yang belakangan ini digencarkan pemerintah, kebutuhan terhadap kehadiran sebuah "pusat kesenian" yang berwibawa sebagaimana yang pernah diperankan TIM di era 70-an hingga 80-an, adalah sebuah keharusan. Sebab, seperti kita tahu, salah satu "komoditas" penting dan paling diandalkan dalam kegiatan ekonomi kreatif justru adalah kesenian. Maka, dalam konteks ini, keberadaan sebuah "pusat kesenian" yang berwibawa adalah infrastruktur utama yang mutlak sangat diperlukan untuk melahirkan dan menampilkan karya seni-karya seni yang mumpuni.

Pada tataran pemahaman semacam ini, maka sangatlah wajar kiranya apabila kita berharap atau bahkan mendesak agar Pemprov DKI Jakarta selaku "pemilik" PKJ-TIM kembali memberi perhatian kepada PKJ-TIM dan mengembalikan posisinya benar-benar sebagai "pusat kesenian" yang sesungguhnya....


Sumber: Suara Karya, Sabtu, 28 Januari 2012

Friday, January 27, 2012

Judicial Review UU Sisdiknas: MK Gelar Sidang Perdana soal RSBI

-- Indra Akuntono & Inggried Dwi Wedhaswary

JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan atas judicial review Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) pasal 50 (3) terhadap pasal 31 UUD 1945 tentang dasar hukum Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI/SBI), Jumat (27/1/2012), di Gedung MK, Jakarta.

Dalam sidang perdana ini, hakim yang memimpin jalannya persidangan meminta pemohon, yaitu Koalisi Anti Komersialisasi Pendidikan (KAKP) untuk menambah beberapa materi yang akan diuji.

"Ini sidang pembukaan. Hakim meminta kami memenuhi beberapa materi, seperti misalnya filosofi pendidikan nasional dengan adanya RSBI," kata anggota KAKP, Jumono kepada Kompas.com, siang ini.

Jumono menjelaskan, alasan hakim meminta penambahan materi adalah untuk dipelajari lebih jauh mengenai UU Sisdiknas dan keberadaan RSBI. Sebab, hakim merasa masih perlu menguasai lebih dalam tentang hal-hal yang akan dibahas dalam persidangan.

Ia menambahkan, sidang lanjutan akan digelar pada dua minggu ke depan. Rencananya, sejumlah saksi ahli akan dihadirkan, baik dari kalangan akademisi mau pun pemerhati pendidikan. Di antaranya, Darmaningtyas, HAR Tilaar, Winarno Surachman, dan Sugiarto.

Sumber: Edukasi, Kompas.com, Jumat, 27 Januari 2012
|

Thursday, January 26, 2012

Ketidakadilan RSBI/SBI

-- Elin Driana


TANGGAPAN Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh terhadap uji materi Pasal 50 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 terkait rintisan sekolah berstandar internasional yang diajukan oleh Koalisi Antikomersialisasi Pendidikan patut dicermati.

Ia menyatakan bahwa rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) merupakan wadah atau layanan khusus bagi anak-anak pintar (Kompas, 30/12/2011).

Selanjutnya, ”Jika semua anak-anak pintar harus bersekolah di sekolah yang reguler, dikhawatirkan tidak ada kesempatan untuk berkembang,” kata Mendikbud.

Pendidikan khusus

Ada kerancuan yang berpotensi menimbulkan multitafsir dalam pernyataan Mendikbud. Ia mencampuradukkan antara RSBI/sekolah berstandar internasional (SBI) yang diatur dalam Pasal 50 Ayat (3) UU No 20/2003 dengan pendidikan khusus yang diatur dalam Pasal 32 Ayat (1) UU yang sama.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan ataupun Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan SBI pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah juga tidak menyebutkan peran RSBI/SBI sebagai pendidikan khusus bagi anak-anak dengan kemampuan akademik lebih tinggi daripada siswa-siswa pada umumnya.

Jadi, apakah dalam pandangan Mendikbud RSBI/SBI juga merupakan realisasi Pasal 32 Ayat (1) UU No 20/2003? Jika RSBI/SBI adalah pendidikan khusus, mengapa perlu ada pasal terpisah dari pasal pendidikan khusus?

Dalam pandangan penulis, pendidikan khusus yang dimaksudkan dalam Pasal 32 tentunya berbeda dari RSBI/SBI. Pendidikan khusus tersebut ditujukan, antara lain, untuk anak-anak yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa yang hingga kini belum jelas pula konsep pembinaan dan pelaksanaannya pada tataran praktis.

Persyaratan-persyaratan khusus dalam penerimaan peserta didik di RSBI/SBI yang tercantum pada Pasal 16 Ayat (1) Permendiknas Nomor 78 Tahun 2008 berlawanan dengan semangat Pasal 5 Ayat (1) UU No 20/2003. Bunyinya, ”Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.”

Selanjutnya Pasal 11 Ayat (1) menegaskan pula bahwa ”Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.”

Sekolah untuk siapa?

Kenyataannya, peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang berlaku mensyaratkan, antara lain, prestasi akademik untuk dapat mengakses pendidikan bermutu melalui mekanisme penerimaan siswa ke jenjang yang lebih tinggi di pendidikan dasar dan menengah. Konsekuensinya, yang memiliki peluang mendapatkan pendidikan lebih bermutu adalah siswa dengan prestasi akademik yang lebih tinggi.

Ketidakadilan ini tidak hanya terjadi di sekolah-sekolah negeri dengan label RSBI/SBI—yang telah memenuhi Delapan Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan kurikulum negara-negara OECD ataupun negara maju lainnya—tetapi juga di sekolah-sekolah yang berada pada level di bawah RSBI/SBI berdasarkan kategorisasi yang dibuat oleh pemerintah.

Nilai UN, misalnya, digunakan sebagai dasar seleksi dari SD ke SMP/setingkat dan dari SMP ke SMA/setingkat sebagaimana tercantum pada Pasal 68 PP Nomor 19 Tahun 2005. Siswa dengan nilai UN lebih tinggi berpeluang lebih besar untuk diterima di sekolah-sekolah yang masuk dalam kategori sekolah standar nasional (SSN). Siswa yang memiliki nilai UN lebih rendah harus menerima kenyataan bersekolah di sekolah-sekolah dengan mutu lebih rendah.

Setiap anak memang memiliki minat, bakat, dan kemampuan yang berbeda-beda. Meskipun demikian, anak-anak dengan kemampuan akademik yang kurang sekalipun memiliki peluang yang lebih besar untuk mencapai potensi tertinggi yang dimiliki apabila mereka berada di lingkungan belajar yang lebih kondusif. Lingkungan belajar dengan guru-guru yang memiliki kecintaan tinggi pada profesi yang ditekuninya dan berbagai sarana-prasarana penunjang yang diidealkan bagi RSBI/SBI.

Sangat disayangkan jika anak-anak dengan kemampuan akademik kurang tereliminasi oleh peraturan-peraturan yang sebenarnya bertentangan dengan hak warga negara untuk memperoleh pendidikan bermutu.

Di lain pihak, keterkaitan antara prestasi akademik dan status sosial ekonomi orangtua telah mendapatkan dukungan bukti-bukti empiris yang meyakinkan (Dee & Jacob, 2006).

Diane Ravich, seorang profesor sejarah pendidikan dari New York University, yang awalnya mendukung ”No Child Left Behind” (tidak seorang anak pun boleh ditinggalkan) dengan kebijakan-kebijakan yang didasarkan pada standardisasi dan akuntabilitas pendidikan yang didasarkan pada hasil-hasil tes, kini berbalik menentang.

Faktor kemiskinan

Ravich menegaskan bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap rendahnya prestasi akademik siswa adalah kemiskinan. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila siswa dari kalangan lebih mampu secara ekonomi yang mendominasi sekolah-sekolah berlabel RSBI.

Kuota minimal 20 persen yang diberikan bagi anak-anak berkemampuan akademik tinggi, tetapi berasal dari keluarga tidak mampu, jelas tidak memadai dan tidak adil. Anak-anak dengan kemampuan akademik lebih tinggi dari keluarga yang tidak mampu harus bersaing lebih ketat dibanding anak-anak dari keluarga yang lebih mampu.

Mempertahankan RSBI/SBI dan sistem penerimaan siswa baru di sekolah-sekolah negeri pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang ada saat ini berpotensi memperlebar kesenjangan prestasi akademik berdasarkan status ekonomi siswa.

Dengan demikian, evaluasi terhadap RSBI/SBI dan sistem penerimaan siswa baru menjadi mendesak. Ini sesuai perintah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait gugatan 58 warga negara terhadap ujian negara, Presiden, Wakil Presiden, Mendikbud, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan untuk meninjau kembali sistem pendidikan nasional.

Elin Driana, Dosen Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka; Salah Satu Koordinator Education Forum


Sumber: Kompas, Kamis, 26 Januari 2012
|

Sunday, January 22, 2012

Obsesi Seksual Sangkuriang

-- Beni Setia

LEGENDA Sangkuriang terkadang hanya dirujukkan pada fakta ruang (gunung) Tangkuban Parahu—selain Burangrang dan Patuha—, lantas (Sungai) Citarum, danau purba Bandung yang surut, dan Sanghyang Tikoro. Titik di Rajamandala, di mana air mengabrasi lapisan lahar dingin pembendung Citarum, dan jadi terowongan liar yang mengeringkan danau purba Bandung. Fakta sanksi etis dari pelampiasan seksualitas di luar ritual pernikahan diabaikan, dan karenanya banyak pihak melupakan inti ajaran konvensional untuk menahan diri liar melampiaskan obsesi seksual.

Prolog teks Sangkuriang terkadang dilupakan. Cerita tentang seorang penguasa (Sungging Perbangkara) yang senang berburu serta hedonis menghabiskan hari di pedalaman diabaikan. Terutama fakta kencing sembarangan, sehingga air kencingnya yang tertampung kelopak daun dijilati babi liar (Wayungyang), dan menyebabkannya hamil tak dibaca sebagai simbol sembarang wanita dari kelas bawah. Dayang Sumbi lahir, diasingkan di pedalaman sebagai wanita trah yang tidak punya hak buat ada di istana diabaikan. Fakta hidup mapan hanya hidup santai menenun—lalu alat tenunnya jatuh, diambilkan si Tumang dan bercinta dengan anjing, lambang pria pengawal.

Ada obsesi seksual yang timpang, majikan memanfaatkan bawahan dan si orang sembarang. Terjadi gradasi pengamalan etika dan peningkatan agresi (obsesif) seksual yang tidak dikekang kesewajaran moral. Dayang Sumbi itu degradasi etika Sungging Perbangkara, dan Sangkuriang itu tingkat terendah degradasi itu—membunuh si ayah, menggejar ibu sebagai objek pelampiasan (obsesi) seksual, persis yang diisyaratkan Freud. Tapi apa degradasi etika dan peningkatan agresi (obsesif) seksual itu tereduksi dengan Dayang Sumbi melakukan pertobatan dan menyepi di (gunung) Patuha? Apa obsesi seksual dan keinginan untuk melampiaskan insting syahwat itu mereda dengan ketiadaan mereka?

Soni Farid Maulana (SFM) menjawab: Tidak!

***

BUKU kumpulan cerpen SFM, Empat Dayang Sumbi (Komunitas SLS, 2011), terdiri dari dua bagian. Pertama, Empat Dayang Sumbi, yang terdiri dari dua cerpen ditulis 2002, yakni Kafe Cicak Terbang dan Aku, Tias, dan Secangkir Kopi, lantas cerpen Panggil Saya Aura (2003) serta Pisau Berkilat di Tangan Ning (2005). Semua cerpen itu diawali dengan kehadiran ajaib Dayang Sumbi di masa kini—dan ini yang akan jadi fokus dari telaah singkat ini. Lantas ada sepuluh cerpen-puisi mini yang diberi judul Merindu Wulan dalam Hujan, semacam anekdot yang puitis, beraspek sugesti seksual dan berkadar humor, yang ditafsirkan berdasar fokus telaah.

Cerpen pertama, Kafe Cicak Terbang, bercerita tentang pertemuan gaib antara seorang wartawan-budayawan dengan seorang perempuan misterius, yang mengaku bernama Tias dan tapi kemudian menyatakan diri sebagai Dayang Sumbi. Ada kencan singkat, ada dialog, dan sekaligus ada ketakutan si Dayang Sumbi kalau Sangkuriang masih memburunya dan akan terus memburunya—dengan membabi buta membunuh si tokoh cerita—, karenanya ia menghilang dengan ruap aroma bunga yang khas. Cerpen kedua, Aku, Tias, dan Secangkir Kopi, ditulis di tahun yang sama, bercerita tentang si tokoh pulang kehujanan, bergegas mandi, dan ketika ia bersarung handuk masuk ke kamar: ada Tias yang Dayang Sumbi. Ada dialog, ada kencan, dan ada janji si Dayang Sumbi akan datang sebagai Tias, dan mereka itu yang berjodoh di alam nyata.

Cerpen ketiga, Panggil Saya Aura, merealisasi janji Dayang Sumbi itu, lewat kehadiran Tias untuk si tokoh secara ajaib. Terjadi kencan yang dihiasi reruap aroma bunga yang khas, sebelum kemudian Tias—yang minta dipanggil: Aura—menghilang, karena diungsikan orang tuanya, yang tidak mau anaknya berkencan dengan lelaki tak jelas dan hamil dengan lelaki tak keruan. Cerpen keempat, Pisau Berkilat di Tangan Ning, bercerita tentang kehilangan si tokoh, kebertemanan dengan gadis Ning yang unggul berkesusastraan, dan kencan di kamar Ning. Di sana si tokoh mengakui bila ia yang bercinta dengan Aura—sehingga hamil dan mati saat melahirkan, lalu si anak itu juga mati, dan mereka dikuburkan di Cieunteung, Tasikmalaya. Si tokoh tercenung.

Di tengah ruap aroma bunga yang khas, Ning mengatakan akan mengantarkan si tokoh berziarah, dengan menghunus pisau yang akan mengupas mangga di celana si tokoh. Simbolisme puisi khas SFM, sekaligus itu kata penutup konvensional khas dari seorang SFM: obsesi seksual yang liar dan pelampiasan yang membabi buta hanyalah pantas diakhiri dengan pengebirian. Dan pembunuhan, barangkali, realisasi kehadiran Sangkuriang, yang cemburu karena si tokoh bercinta dengan penjelmaannya Dayang Sumbi. Apa pun, ambiguitas nilai antara konvensionalisme nilai kelurga dan cemburu obsesif seksual yang agresif dari Sangkuriang, menjadi masalah tak penting, karena yang digarisbawahi justru: obsesi seksual yang liar dan pelampiasan syahwat yang agresif itulah yang tidak disukai SFM.

***

KONTROL moral konvensional SFM atas obsesi seksual itu bisa dilihat juga di cerita-puisi mini yang ditulis 2011, dan kini relatif menjadi ekspresi terkini beberapa sastrawan Indonesia. Kita lihat reaksi marah atas perlakuan tak senonoh pada cerpen-puisi mini Belut, semacam agresivitas khas si Ning. Lantas intertekskan itu dengan cerita-puisi mini Lintah—seorang model lukisan menuntut bayaran yang lebih tinggi kepada si pelukis yang saat itu membayarnya murah dan ada memegang-megangnya, yang ada di alur Ning tapi dengan perhitungan dagang. Dan tendens ekonomi itu ada di Rumah Tangga Penyair, meskipun pendekatan yang obsesif seksual ada di Pukulan Telak dan Putri Sepatu Kaca, sedangkan motif campuran ekonomi dan seksual ada di Iklan dan Bajing.

Puncak obsesi seksual dengan target pernikahan sah—meskipun (mungkin) itu hanya penguasaan objek seksual secara posesif seorang Rahwana—di satu sisi, dengan hanya petualangan seksual untuk pelampiasan syahwat dari Sita yang merasa nyaman dalam rumah tangga dengan Rama, ada dalam cerita-puisi mini Sita. Di titik ini saya tidak tahu, apa SFM masih menginginkan realisasi moral konvensional pernikahan atau tak ingin jadi si objek pelampiasan syahwat liar yang merugi karena banyak memberikan hadiah barang. Tidak jelas—terlalu ringkas. Kita butuh cerpen lain—bahkan mungkin novel. Memang.



Beni Setia
, Pengarang

Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 Januari 2012

[Buku] Usai Ojong, Sendirilah Jakob

Judul: Syukur Tiada Akhir, Jejak Langkah Jakob Oetama

Penyusun: St. Sularto

Penerbit: Kompas

Cetakan: I, September 2011

Tebal: vii + 660 halaman

KESUKSESAN grup Kompas-Gramedia seperti sekarang lahir dari tangan dingin duet ini: P.K. Ojong dan Jakob Oetama. Merekalah yang mendirikan Kompas dengan basis keimanan sesuai dengan agama dan keyakinan mereka.

Peran Ojong lebih banyak di sektor usaha dan pengembangan perusahaan meskipun basis Ojong pun jurnalis yang andal. Terlebih Jakob yang memang berkonsentrasi penuh di ranah jurnalistik. Keduanya sepaham meskipun Jakob lebih luwes. Ini kentara saat Kompas termasuk koran yang diberedel pemerintah. Dan saat ada tawaran untuk terbit lagi dengan sejumlah noktah kesepakatan, lubuk hati Ojong tak sepakat. Namun, dengan beragam pertimbangan, termasuk dapur dari karyawan perusahaan yang mesti tetap mengepul, Kompas akhirnya "tunduk" dan terbit lagi. Sampai sekarang. Sampai menjadi raksasa media. Pun ke daerah-daerah dengan koran "murah" berbasis nama Tribun.

Usai Ojong mangkat pada Mei 1980, Jakob mengurus semuanya. Konsentrasinya kini tak cuma pada redaksi. Ia mesti pintar mengelola aset perusahaan dan mencari terobosan agar koran dan grup usahanya itu makin hari makin bagus performanya.

Sesuatu yang sangat menarik dari cara bertindak Jakob adalah mendasari kerjanya dengan basis keimanan. Ia percaya jika bekerja dengan iman yang baik, yang transendental, hasilnya juga bagus. Jakob, sebagaimana sudah dimulakan Ojong, sangat memanusiakan semua karyawannya. Jakob menjadi ayah sekaligus bos besar mereka dalam ranah korporasi.

Buat Jakob, sekolahnya di seminari ternyata menjadi basis terkuat dalam cara berpikir dan bertindaknya. Meskipun kemudian "menyimpang" dengan bekerja sebagai wartawan, Jakob tetap punya idealisme seorang seminari. Itu bahkan tecermin dalam sikap hidupnya dalam memimpin korporasi.

Titik balik itu barangkali terlihat saat Kompas diberedel dan ditawarkan untuk terbit lagi. Di halaman 31 buku yang disusun St. Sularto ini kita bisa menyimaknya.

"Malam itu, tanggal 20 Januari, Jakob segera menuju ke kantor, lokasi redaksi Kompas di Palmerah Selatan. Rumah tinggalnya di Pejompongan, hanya sekitar lima kilometer. Mobil Fiat warna cokelat susu itu dalam beberapa menit sudah menvapai halaman kantor. Jakob menyapa wartawan dan karyawan yang sedang tugas malam. Mereka tetap tekun bekerja walaupun sebagian tampak dengan tatapan kosong. Sebagian ada yang tertawa-tawa, menutupi kebingungan dan kecemasan dengan kebanggaan mengalami dan menyaksikan diri sebagai bagian dari korban pemberedelan penguasa atas media. .... Jakob mendekati mereka sambil merasakan beratnya rasa kehilangan pekerjaan. Swantoro—adik kelasnya di seminari, setahun bekerja bersama di Intisari sebelum akhirnya dia tarik ke Kompas tahun 1967—bertindak cepat. Swantoro meminta agar pekerjaan diteruskan...."

Buat Jakob, Ojong adalah guru sekaligus rekan kerja yang menyenangkan. Jakob tahu persis bagaimana keseriusan Ojong dalam menekuni bidang kewartawanan. Maka itu, tak heran, kalau Jakob—seperti testimoni banyak pihak—tetap sederhana. Kalaupun ada rasa bangga, itu menjadi kekuatan buat korporasi yang ia pimpin.

Tahun ini Jakob pas berusia 80 tahun. Usia yang matang. Ia lahir di Desa Jowahan, dekat Candi Borobudur, Jawa Tengah, 27 September 1931. Dan sampai sekarang masih berdiri sebagai "orang tua" untuk semua karyawannya di grup korporasinya yang besar itu.

Nunung Nurdiah, praktisi pendidikan, pembaca buku

Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 Januari 2012

Sastra yang Menggurui, Anak Cacat?

-- Musa Ismail

SASTRA dan filsafat memang berbeda. Muatan-muatan sastra - sebagian besar - adalah muatan-muatan penuh filsafat. Sebaliknya, inti filsafat tidak bisa kita katakan sebagai (teras) sastra. Karya sastra yang lahir merupakan refleksi mendalam tentang makna kehidupan sebagai cakupan dari filsafat kehidupan. Dari karya sastra, filosof bisa mengkaji nilai-nilai sebagai inti filsafat. Antara sastra dan filsafat memiliki keterkaitan walaupun berbeda. Sebagai suatu hasil kreativitas manusia, sastra mampu memberikan tunjuk ajar. Inilah yang bakal menjadi dasar bahwa sastra itu bersifat didaktis.

Ahmad Syamsu Rizal, Dosen Filsafat UPI, mengatakan bahwa hubungan filsafat dengan sastra adalah berkenaan dengan muatan itu. Filsafat akan bermakna dalam sastra kalau sastra diisi dengan nilai-nilai karena merupakan filsafat hasil perenungan manusia untuk menemukan jatidirinya. Jadi, di sini sastra berfungsi mengkomunikasikan nilai-nilai tersebut sedemikian rupa berdasarkan karakter sastra. Sastra mengandung unsur hiburan sehingga nikmat dibaca. Keuntungan filsafat dengan sastra yaitu pemikiran kefilsafatan jadi tidak terasa. Sastra tidak menggurui beda dengan filsafat yang murni. Filsafat disebut sebagai pengetahuan lapis kedua bahkan ketiga.

Sastra memang tidak bisa dilepaskan dari filsafat. Jika dipisahkan, sastra akan dilanda kegersangan yang dahsyat. Alasannya, sastra yang bermutu adalah sastra yang bernilai, memproses pemikiran, dan membawa perkembangan bagi kualitas kehidupan. Salah satu nilai tersebut adalah beraneka hal yang berkelindan dengan dunia filsafat. Proses-proses edukatif dalam sastra akan memberikan nilai berharga bagi perkembangan manusia. Nilai-nilai tersebut akan menjadi pelatihan mental bagi pembacanya. Dalam hal ini, sastra melibatkan dirinya ke situasi yang akan membangun perikehidupan dan perikemanusiaan.

Beberapa kali pertemuan (perbincangan) sastra yang pernah diikuti, saya sering mendengar pesan bahwa sastra itu berada antara gelap dan terang. Sastra itu samar-samar. Filsafat yang disusupkan dalam sastra mestilah tidak menggurui. Hal ini disebabkan perihal menggurui tersebut akan melahirkan kebosanan-kebosanan, kelelahan-kelelahan, mungkin juga kebodohan-kebodohan. Sastra yang menggurui terlalu menganggap bahwa pembacanya itu bodoh. Mochammad Asrori mengatakan pula, karya sastra yang baik selalu mengajak pembaca untuk menjunjung tinggi norma-norma dan moral. Melalui karya sastra, seorang pengarang mampu menyisipkan nilai-nilai moral yang tidak bersifat menggurui atau memberatkan sehingga pesan-pesan moral itu dapat ditangkap penikmat sastra dengan baik.

Cap negatif terhadap sastra yang menggurui tentu berkaitan dengan nilai-nilai/etika yang dikandungnya. Menurut Hans Kung (1991) dalam bukunya Global Responsibility In Search of a New World Ethic, untuk menghindari bencana yang barangkali akan semakin membesar ini tidak bisa tidak harus ada suatu pergeseran nilai dalam paradigma kehidupan manusia. Pergerakan dari nilai-nilai modernitas ke ‘’paska modernitas’’ ini meliputi hal-hal berikut. Pertama, perubahan dari masyarakat yang bebas etik menuju masyarakat yang bertanggung jawab secara etis. Kedua, dari budaya teknokrasi yang mendominasi manusia menuju teknologi yang melayani manusia. Ketiga, dari industri yang merusak lingkungan menuju industri yang ramah lingkungan. Keempat, dari demokrasi legal menuju demokrasi yang berkeadilan dan berkebebasan.

Untuk mengatasi bencana itu, karya sastra merupakan salah satu cara terabit karena wajah didaktis yang dimilikinya. Pertanyaannya yakni apakah memang benar bahwa sastra yang menggurui itu akan memberatkan, membosankan, atau melelahkan. Apakah memang benar bahwa sastra itu berada antara terang dan gelap seperti yang disampaikan Alber Camus. Ungkapan Camus ini pernah disampaikan Zuarman Ahmad pada penyerahan Ganti Award di Galeri Ibrahim Sattah, Bandar Serai, Maret 2009. Dia mengatakan bahwa salah satu novel nominator ketika terlalu menggurui. Apakah sastra yang menggurui merupakan karya sastra yang kurang baik sehingga beberapa pakar dan sastrawan sekalipun sering mencemoohkan kehadirannya di tengah denyut dunia sastra kita.

Kepribadian kita tidak sama. Karakter kreativitas sangat berbeda. Latar belakang pun akan mempengaruhi karakter penulisan kreativitas sastra. Patutkah kita berpendapat bahwa Gurindam Duabelas (sekedar menyebutkan salah satu contoh) karya Raja Ali Haji itu membosankan atau melelahkan karena terlalu banyak menggurui? Kalau kita kaji secara saksama, karya sastra lama merupakan karya sastra yang kaya dengan aspek didaktis-eksplisit. Baik prosa maupun puisi dalam sastra lama, memperlihatkan kecondongan-kecondongan ke arah yang dikatakan sebagai yang menggurui tersebut. Pertanyaannya sekarang, tidak menarikkah karya-karya seperti itu? Lantas, mengapa pula karya sastra demikian mampu menembus batas dan ruang waktu?

Kita sebaiknya tidak larut dalam opini - yang seakan-akan - berpandangan bahwa sastra yang menggurui itu kurang layak untuk ditampilkan. Bahkan, tidak sedikit pula yang menilai bahwa sastra yang menggurui itu sungguh memalukan. Inilah opini yang sadis. Selain masalah latar belakang dan karakteristik penulis, ini juga berkaitan dengan selera dan latar belakang pembaca. Situasi dan kondisi sosial pembaca akan mempengaruhi selera dalam menyikapi suatu karya sastra.

Sastra merupakan wadah untuk mengkomunikasikan, memperjelas, dan mengekspos nilai-nilai kemanusiaan. Mengapa sastra yang menyampaikan nilai-nilai secara gamblang tersebut dikatakan kurang menarik dan melelahkan? Bagi saya, ini suatu kemasan. Apapun bentuknya, jika dibungkuskan dengan sastra, dia tidak akan menjadi kitab kutbah karena sastra memang tidak identik dengan sifat retorika. Karena itu, sastra sebagai alat bisa dijadikan apa saja. Sastra bisa dijadikan alat pembangkit pemberontakan. Sastra bisa mempengaruhi pembaca tanpa terasa atau propaganda. Sastra juga bisa secara terang-terangan dan sarat dalam memprovokasi pembaca.

Kritikan-kritikan yang menghantam lebih mengarah pada ketidakinginan untuk menerima kelahiran sastra yang menggurui. Sastra yang menggurui dianggap anak cacat dari penulisnya. Anggapan-anggapan miring seperti ini justru memperparah eksistensi karya sastra. Seakan-akan, karya sastra ini menanggung beban dosa yang mahaberat di tangan, hati, dan otak pembaca yang anti atau mengalami gangguan jiwa. Dikotomi seperti ini sebenarnya tidak perlu terjadi. Biarkan saja eksistensi sastra yang menggurui itu kita kembalikan sebagai karya sastra saja.


Musa Ismail
, guru SMAN 3 Bengkalis dan sedang belajar di Prodi Manajemen Pendidikan Universitas Riau

Sumber: Riau Pos, Minggu, 22 Januari 2012

Identitas dan Etnisitas (Melayu)

-- Agus Sri Danardana


PERBINCANGAN, bahkan perbalahan, mengenai (ke)melayu(an) belakangan ini marak kembali. Di harian ini, misalnya, setidaknya telah dimuat empat tulisan: 2 tulisan Marhalim Zaini (Riau Pos, 13 November 2011 serta 8 dan 15 Januari 2012), 1 tulisan Syaukani Al-Karim (Riau Pos, 20 November 2011), dan 1 tulisan Alvi Puspita (Riau Pos, 25 Desember 2011) yang meramaikan perbincangan itu. Esensi keempat tulisan itu adalah mempertanyakan apakah identitas etnis Melayu (kemelayuan) itu sudah pasti: bersifat tetap, tertutup, dan tak tergantikan atau sebaliknya, tidak pasti: bersifat berubah, terbuka, dan tergantikan (mengada).

Tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan sebagai konklusi atas perbalahan (?) yang terjadi itu, tetapi sekadar dimaksudkan sebagai urun rembuk yang insyaallah konstruktif untuk meramaikan perbincangan.

Identitas dan Etnisitas
Konon, konsep identitas dan etnisitas adalah konsep tentang identifikasi diri dan asal-usul sosial yang bersifat relasional. Menurut Fredrik Barth (1969), etnisitas dapat dikatakan eksis ketika orang mengklaim identitas tertentu bagi dirinya dan didifinisikan oleh orang (yang) lain juga dengan identitas yang diklaimnya itu. Etnisitas, dengan demikian, harus dimaknai sebagai identifikasi seseorang dalam berafiliasi dengan kelompok sosialnya. Sementara itu, Schultz & Lavenda (2001) berpendapat bahwa identitas dan etnisitas sesungguhnya merupakan sebuah konsep yang dikontruksi secara budaya. Identitas dan etnisitas diciptakan oleh proses sejarah yang menggabungkan kelompok-kelompok sosial yang berbeda ke dalam struktur politik yang tunggal di bawah kondisi-kondisi sosial tertentu. Selanjutnya, Schultz & Lavenda memberi penjelasan sebagai berikut.

Identitas dan etnisitas merupakan hasil konstruksi (proses) sosial yang lazim disebut askripsi (ascription). Askripsi, proses penandaan sekelompok orang/masyarakat tertentu dengan sembarang: apa pun tandanya (sebagai ciri khas, labelling kelompok tertentu), umumnya berlangsung hingga berabad-abad lamanya. Dalam proses itu terjadi interaksi orang dari aneka latar belakang di berbagai bidang kehidupan. Artinya, proses askripsi tidak akan berlangsung/terjadi justru ketika orang-orang benar-benar menyendiri, tidak berinteraksi. Itulah sebabnya, dalam banyak hal, seseorang sering tidak diperlakukan sebagai pribadi yang mandiri, tetapi diperlakukan sebagai anggota atau wakil kelompok/masyarakat tertentu dengan askripsi tertentu pula.

Senada dengan pendapat itu, Phinney dan Alipora (1990) pun menulis bahwa identitas etnik adalah sebuah konstruksi yang kompleks yang mengandung sebuah komitmen dan rasa kepemilikan (sense of belonging) pada kelompok etnik, evaluasi positif pada kelompok, berminat di dalam dan berpengetahuan tentang kelompok, dan turut serta terlibat dalam aktivitas sosial kelompok. Identitas itu berkaitan dengan masa lalu dan aspirasi masa depan yang berhubungan dengan etnisitas. Jadi, identitas etnik akan membuat seseorang memiliki harapan akan masa depan yang berkait dengan etnisnya.

Dari berbagai pendapat itu, dapat diketahui bahwa identitas etnik seseorang ternyata tidak berhenti ketika seseorang itu ditasbihkan sebagai anggota etnik tertentu melalui bukti darah/garis keturunan. Identitas terbentuk melalui sosialisasi, baik dalam keluarga maupun masyarakat lingkungannya. Seorang yang terlahir sebagai keturunan Jawa, misalnya, tidak akan merasa memiliki identitas etnis Jawa jika sebelumnya tidak ada sosialisasi identitas terhadapnya. Hal ini dikuatkan oleh Weinreich (1985) yang berpendapat bahwa identitas sosial (termasuk identitas etnik) merupakan penggabungan ide-ide, perilaku, sikap, dan simbol-simbol bahasa yang ditransfer dari generasi ke generasi melalui sosialisasi.

Begitulah, faktor utama yang mendorong terbentuknya identitas etnik adalah adanya kesamaan-kesamaan besar (seperti pengalaman, latar belakang, adat-istiadat, bahasa, dan perilaku) antaranggota kelompok masyarakat (etnik) yang terbentuk melalui sebuah proses (sosialisasi). Kesamaan-kesamaan itu pada awalnya akan menumbuhkan perasaan seidentitas dan pada gilirannya akan menumbuhkan pula kesadaran bahwa mereka adalah kelompok yang berbeda dengan kelompok lain. Dengan kata lain, terbentuknya identitas etnik ternyata juga memerlukan kehadiran entitas atau etnik lain sebagai komparasi dan penegas identitas etnik yang bersangkutan. Hal ini menegaskan kembali bahwa identitas etnik merupakan hasil dari interaksi sosial. Kelompok yang tidak berinteraksi dengan kelompok lain mungkin tidak akan menyadari bahwa mereka memiliki kesamaan-kesamaan yang besar. Hanya dengan interaksi dengan kelompok lain identitas etnik mereka terbangun, dan semakin intens interaksi itu, semakin berkembang pula identitas etniknya.

Identitas dan Etnisitas Melayu
Sebagai sebuah proses sosial, dalam kenyataannya, indentitas dan etnisitas tidak selalu dapat diperlakukan sebagai fenomena objektif, tetapi juga subjektif (Hocoy, 1996). Artinya, indentitas dan etnisitas seseorang tidak hanya dapat diukur melalui kriteria-kriteria tertentu yang pasti (secara objektif), tetapi juga harus diukur derajat perasaan kepemilikan (sense of belonging) akan kelompok etniknya (secara subjektif). Dalam perspektif inilah persoalan indentitas dan etnisitas itu sering timbul. Seseorang bisa saja sangat memuja etniknya karena sense of belonging-nya tinggi. Pun dapat terjadi sebaliknya: seseorang yang menurut kriteria umum diakui sebagai anggota kelompok etnik tertentu (karena keturunan misalnya), dengan berbagai penyebab/alasan, justru menolak untuk memakai etnik itu sebagai identitasnya.

Bagaimana dengan indentitas dan etnisitas Melayu (kemelayuan) yang belakangan ini kembali ramai diperbincangkan? Titik berat perbincangan itu, menurut penulis, lebih mengarah pada persoalan keobjektivitasan daripada kesubjektivitasannya. Kriteria umum yang digunakan untuk mengidentifikasi seseorang sebagai Melayu atau bukan Melayu itulah yang dipersoalkan.

Di Malaysia, konon, orang Melayu lazimnya diindentifikasi sebagai orang yang beragama Islam, berbahasa Melayu, dan mempraktikkan adat, kebiasaan, dan resam Melayu. Jika seorang Keling (Tamil, India) memeluk agama Islam, berbahasa Melayu, dan beradat Melayu, ia disebut orang Melayu. Seorang Arab, sekalipun bergama Islam, tetapi tidak berbahasa Melayu, tidak akan disebut Melayu (tetap Arab). Sebagai konsekuensinya, kriteria seperti itu jika diterapkan di Indonesia, akan secara otomatis menjadikan orang Papua yang bergama Islam dan berbahasa Melayu/Indonesia, misalnya, sebagai Melayu. Sebaliknya, orang keturunan asli Melayu (sekalipun berbahasa Melayu dan mempraktikkan adat dan resam Melayu), karena tidak beragama Islam, tidak dianggap sebagai Melayu.

Oleh banyak pihak, kriteria identitas dan etnisitas Melayu seperti itu (beragama Islam, berbahasa Melayu, dan mempraktikkan adat, kebiasaan, dan resam Melayu) dianggap tidak pas dan harus dipikirkan kembali karena mencidrai sejarah. Pendapat itu dapat dilihat, misalnya, pada tulisan Mahyudin Al-Mudra: Redefinisi Melayu: Upaya Menjembatani Perbedaan Konsep Kemelayuan Bangsa Serumpun (2008), Yusmar Yusuf: Langit, Melayu, dan Aras Mustari (2009), dan puisi Eddy Ahmad RM: Penat Tak Sudah Jadi Melayu (2011).

Lalu?

Nah, di sinilah jalan simpang itu terbangun. Ke arah mana orang akan menuju (menapakinya), bergantung pada pilihan/tujuan masing-masing. Orang boleh meneruskan perjalanannya dengan pilihan jalan yang lurus, boleh juga dengan pilihan jalan yang berbelok: ke kanan atau ke kiri. Bahkan, jika ada orang yang kelelahan dan tidak ingin melanjutkan perjalanan, berhenti pun tidak akan ada polisi yang melarangnya. Semua berpulang pada kehendak (baca: politik) dan pilihan. Apakah masalah identitas dan etnisitas akan tetap dibiarkan berkembang biak di habitatnya (dimaknai sebagai konsep sosial/budaya) atau diarahkan ke tujuan lain (dimaknai sebagai konsep politik/kekuasaan, misalnya), itu juga pilihan.

Sebagai penutup, secara berseloroh tulisan ini akan menjawab pertanyaan yang dilontarkan Alvi Puspita (Apa yang Sebenar, Apa yang Semesti?) begini: Yang sebenar itu pemaknaan (kemelayuan) secara sosial/budaya, sedangkan yang semesti itu pemaknaan (kemelayuan) secara politik/kekuasaan. Betulkah demikian? Wallahu alam bissawab.


Agus Sri Danardana
, penikmat sastra. Kepala Balai Bahasa Provinsi Riau. Bermastautin di Kota Pekanbaru.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 22 Januari 2012

Saturday, January 21, 2012

Jadikan TIM Pusat Kesenian yang Sesungguhnya (1)

-- Arie F. Batubara

SEBAGAI Kota Metropolitan yang menyandang predikat Ibukota Negara, Jakarta adalah sebuah "pusat" bukan hanya untuk aktivitas politik, pemerintahan, serta ekonomi; tapi juga untuk hampir seluruh aktivitas kehidupan di negeri ini, termasuk di dalamnya kesenian. Bahkan, dalam konteks sebagai "pusat" aktivitas kesenian tersebut, saat Jakarta berada di bawah kepemimpinan Ali Sadikin sebagai Gubernur, dalam Rencana Induk 20 Tahun DKI Jakarta yang dibuat ketika itu, dengan tegas dinyatakan: Jakarta adalah kota kebudayaan.

Memang, antara kedudukan sebagai kota kebudayaan dengan "pusat" aktivitas kesenian adalah dua hal yang berbeda. Namun, tentu tidak bisa dipungkiri kesenian adalah refleksi paling nyata dan dekat dari kebudayaan; sehingga ketika kita ingin menjadikan sebuah kota sebagai kota kebudayaan, maka yang pertama-tama harus disoal adalah bagaimana aktivitas kesenian berlangsung di kota itu. Tanpa adanya aktivitas berkesenian yang ajeg, kontinyu, serta bermutu, sebuah kota sesunguhnya tidak pantas diberi predikat apalagi mengklaim dirinya sebagai kota kebudayaan.

Begitu pun halnya dengan Jakarta. Karena itu, ketika suatu pagi di penghujung tahun 60-an, Ali Sadikin (alm) yang waktu itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, didatangi beberapa seniman yang mengajukan sebuah konsep mengenai pengembangan kesenian di Jakarta, serta-merta saja konsep itu diterima untuk selanjutnya diwujudkan. Salah satu di antaranya adalah dengan membangun sebuah pusat kesenian yang kemudian diberi nama Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM).

Tetapi, sesungguhnya, kalau ditelisik lebih lanjut, kehadiran sebuah "pusat kesenian" bagi sebuah kota tidaklah semata-mata karena adanya keinginan menjadikan kota itu sebagai kota kebudayaan. Di atas semua itu, adalah karena ia memang menjadi semacam tuntutan atau prasyarat bagi suatu kota yang hendak menjadikan dirinya sebagai sebuah kota modern yang paripurna. Itulah yang terjadi pada semua kota modern yang ada di dunia, mulai dari London, New York, Paris, Tokyo, Hongkong, bahkan hingga Singapura dan Guangzhou dewasa ini. Sebab, memang, sebuah kota modern belum dipandang sebagai sebuah kota yang lengkap sebelum kota itu memiliki sebuah pusat kesenian yang repsentatif.

Jadi, kehadiran sebuah pusat kesenian bagi sebuah kota bisa dikatakan adalah sebuah keniscayaan. Dan itu dipahami oleh Ali Sadikin sebagai gubernur yang memimpin Jakarta ketika itu. Sebab, memang, kita tahu, tugas yang dibebankan kepada pundak Ali Sadikin ketika ditunjuk menjadi Gubernur DKI Jakarta ketika itu adalah bagaimana membangun dan memodernisir Jakarta sebagai Ibukota Negara sehingga sejajar dengan kota-kota besar lain di dunia yang juga menyandang predikat Ibukota Negara. Dan salah satu esensi yang harus dipenuhi oleh Jakarta untuk itu adalah kehadiran sebuah pusat kesenian tadi.

* * *

TENTU saja, kebutuhan sebuah kota terhadap kehadiran sebuah "pusat kesenian" tidaklah cukup sekadar hadir. Melainkan, bagaimana pusat kesenian itu memaknai kehadirannya lewat penampilan serangkaian karya seni yang memang baik dan bermutu. Sebab, arti paling esensial dari keberadaan sebuah pusat kesenian pada hakikatnya tidaklah diukur dari kemegahan dan kementerangan bangunan fisik yang dimilikinya, tetapi terutama oleh kualitas karya seni yang lahir dan ditampilkan di dalamnya.

Itu pulalah yang kita saksikan pada PKJ-TIM pada awal kehadirannya utamanya pada sepuluh hingga duapuluh tahun pertama usianya. Sejarah kesenian Indonesia dengan baik mencatat, betapa dalam dua dekade itu, PKJ-TIM sungguh-sungguh menjadi pusat aktivitas berkesenian bukan hanya untuk kota Jakarta, tapi untuk seluruh Indonesia bahkan dalam beberapa hal tertentu kerap "dianggap" sebagai pusat aktivitas berkesian untuk kawasan Asia Tenggara (sampai-sampai, konon, UNESCO pernah menanyakan, apah TIM bisa menjadi pusat kesenian atau kebudayaan Melayu).

Anggapan tersebut cukup masuk akal, karena memang pada masa itu, bisa dikatakan hampir semua pertunjukan/ pergelaran karya kesenian terbaik Indonesia senantiasa ditampilkan dan lahir di TIM. Di sisi lain, berbagai seniman dan karya seni mancanegara yang tengah melakukan lawatan ke kawasan Asia Tenggara, ketika itu umumnya lebih cenderung memilih TIM sebagai tempat pertunjukan/ pergelarannya. Ditambah dengan daya kreativitas seniman-seniman Indonesia baik itu tari, musik, teater, hingga seni rupa yang ketika itu memang dahsyat untuk melahirkan karya-karya yang spektakuler, maka tidak heran jika TIM lantas diposisikan sebagai barometer dalam kesenian Indonesia.

Dan, memang, demikianlah mestinya sebuah pusat kesenian yang sesungguhnya bagi sebuah kota. Ia harus mampu menjadi barometer.

Sebab, di situlah pada dasarnya letak makna hakiki dari sebuah pusat kesenian: menjadi barometer bagi perkembangan kesenian. Sehingga, sebuah pusat kesenian yang gagal menjadi barometer, dengan sendirinya telah pula gagal memainkan perannya sebagai sebuah pusat kesenian, dan ia tak lebih dari sekadar sebagai tempat pertunjukan kesenian.


Sumber: Suara Karya, Sabtu, 21 Januari 2012

Friday, January 20, 2012

Pakar: Pemerintah Harus Serius Benahi RSBI

-- Benny N Joewono

SEMARANG, KOMPAS.com - Pemerintah harus serius membenahi pelaksanaan program rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) agar makin berkualitas, kata pakar pendidikan yang juga Rektor Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) PGRI Semarang, Muhdi.

"Pembenahan RSBI harus dilakukan secara serius, dengan cara segera memenuhi standar-standar mutu yang masih kurang. Saya kira RSBI tidak perlu dihapus, cukup dibenahi dan dievaluasi secara menyeluruh," katanya di Semarang, Jumat (20/1/2012).

Sebagai sekolah dengan ukuran standar pendidikan nasional (SNP) plus, kata dia, tentunya kualitas setiap RSBI tidak sama, termasuk pemenuhan standar-standar untuk naik status menjadi sekolah bertaraf internasional (SBI).

Ia mengakui, perkembangan kinerja hasil pembelajaran di RSBI memang belum semuanya menunjukkan hasil menggembirakan, sebab ada pula RSBI yang hingga saat ini belum menunjukkan peningkatan kualitas secara berarti.

Namun, kata Muhdi yang juga Sekretaris Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jawa Tengah itu, ada pula RSBI yang menunjukkan kemajuan berarti dan perlu keseriusan pemerintah untuk mendorong terus kualitas hasil pembelajarannya.

"Kalau memang RSBI yang potensial dikembangkan ya harus didorong, namun bagi RSBI-RSBI yang setelah dievaluasi kurang menggembirakan hasilnya ya diturunkan statusnya. Pemerintah harus bersikap tegas," katanya.

Menurut dia, pemerintah perlu melakukan pemetaan standar-standar apa yang belum bisa dipenuhi oleh RSBI, salah satunya aspek sumber daya manusia (SDM) guru yang dipersyaratkan harus berkualifikasi pendidikan strata dua (S2).

"Aspek SDM ini memang menjadi standar yang belum bisa dipenuhi. Kalau memang demikian, perlu ada langkah serius, terutama pemerintah daerah dengan cara rekrutmen guru baru atau mutasi guru antar-sekolah," katanya.

Ia mencontohkan, RSBI yang persyaratan guru berkualifikasi S2 kurang 10 persen, sementara kalau harus menugaskan gurunya menempuh studi lanjut memang tidak mudah, mulai faktor dana hingga keterbatasan tenaga guru sekolah itu.

"Kalau guru ditugaskan belajar, siapa yang mengganti mengajar? Ini memang tidak mudah, namun harus dilakukan. Bisa juga dilakukan mutasi guru-guru S2 dari sekolah-sekolah lain ke RSBI yang prioritas dikembangkan," katanya.

Selain itu, ia menyoroti kemampuan berbahasa Inggris guru, sebab selama ini banyak guru RSBI yang kemampuan bahasa Inggrisnya kurang, padahal bahasa Inggris menjadi keharusan pembelajaran yang diselenggarakan di RSBI.

Seseorang yang memiliki kemampuan berbahasa Inggris secara baik, kata dia, belum tentu mampu mengajarkan materi pelajaran secara baik dalam bahasa Inggris dan mampu diterima secara baik pula oleh siswa.

"Tujuan pembelajaran berbahasa Inggris di RSBI kan untuk menciptakan lulusan yang mampu berbahasa Inggris. Saya pikir itu bisa dilakukan dengan cara lain, misalnya menambah jam pelajaran bahasa Inggris," kata Muhdi. (ANT)

Sumber: Edukasi, Kompas.com, Jumat, 20 Januari 2012

Tuesday, January 17, 2012

RSBI Tidak Layak Dilanjutkan

-- Ratih Prahesti Sudarsono & Marcus Suprihadi

JAKARTA, KOMPAS.com — Kebijakan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) gagal meningkatkan mutu pendidikan nasional. Program tersebut justru memperburuk kondisi pendidikan nasional.

Demikian penilaian anggota Komisi X DPR, Rohmaini, yang disampaikan melalui surat elektronik, Selasa (17/1/2012) siang.

Sejak kebijakan RSBI diberlakukan, berbagai persoalan muncul, mulai dari pembiayaan yang harus ditanggung oleh siswa sampai mahalnya biaya pendidikan hanya karena ada label RSBI.

”Padahal, dalam konstitusi jelas disebutkan mencerdaskan rakyat adalah kewajiban negara,” katanya. Persoalan lainnya adalah RSBI telah memunculkan kasta dalam pendidikan nasional.

”Kita tahu, pendidikan untuk menyejajarkan seluruh anak negeri. Semua berhak mendapatkan pendidikan yang layak tanpa memandang status kemampuan ekonominya. Faktanya RSBI milik kelas ekonomi tertentu,” kata Rohmani.

Setelah 6 tahun berjalan, program RSBI belum menunjukkan kemajuan pembangunan pendidikan nasional. Bahkan, tujuan dari RSBI belum juga terwujud, yaitu mencetak sekolah bertaraf internasional (SBI).

Hal ini, menurut Rohmani, patut dipertanyakan karena sejak tahun 2005 hingga saat ini belum satu pun sekolah yang berstatus SBI.

”Anggaran yang dikeluarkan pemerintah miliaran rupiah untuk menjadikan SBI. Belum lagi dana yang dipungut dari orangtua murid. Namun, hingga hari ini hasilnya belum ada,” tuturnya.

Berdasarkan evaluasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), seluruh sekolah yang dikelola sebagai RSBI tidak satu pun layak menjadi SBI. Jumlah sekolah RSBI mencapai 1.305 sekolah yang terdiri atas SD, SMP, SMA, dan SMK.

”Ini ironi di tengah ekspektasi masyarakat memiliki pendidikan terjangkau dan berkualitas,” katanya.

Untuk itu, Rohmani kembali meminta pemerintah mengoreksi kebijakan RSBI. Menurut dia, semua sekolah berhak mendapat perlakuan yang sama layaknya fasilitas yang diterima sekolah RSBI, bukan sekolah yang berlabel RSBI saja.


Sumber: Edukasi, Kompas.com, Selasa, 17 Januari 2012

Sunday, January 15, 2012

Moralitas (dan) Kepengarangan

-- Nelson Alwi

PENDAPAT mereka yang telah berhasil memberi arti keberadaannya bisa jadi pedoman dalam upaya memformulasikan alternatif-alternatif baru menyangkut hidup dan kehidupan. Atau, setidaknya akan memperluas cakrawala pengetahuan generasi penerus yang tengah menapak mencari (ke)jatidiri(an). Pengertian demikian, tak termungkiri telah mendorong banyak penulis mempublikasikan sebutlah memoar atau (auto)biografi, yang menghimpun gagasan, visi, misi, motivasi dan atau perjuangan publik figur dalam dan luar negeri.

Nah, pada gilirannya saya pun merasa terpanggil mengetengahkan catatan-catatan yang pernah saya buat cuplikan wawancara, ceramah serta riwayat hidup berisi proses kreatif yang diperoleh dari pelbagai sumber yang untuk sekian lama tersimpan di arsip pribadi. Adapun catatan-catatan dimaksud mendedahkan moralitas (dan) kepengarangan sejumlah tokoh terkenal yang berkecimpung di arena olah sastra Indonesia.

Mochtar Lubis mengungkapkan bahwa dalam berkarya ia lebih fokus pada wawasan sastranya sendiri, masalah sosial-kemasyarakatan serta kemanusiaan zamannya. Hasilnya, secara sadar atau tidak sudah barang tentu akan dipengaruhi oleh pandangan hidup dan kepekaan hati nurani menangkap aktualitas persoalan-persoalan yang mengemuka.

Sedangkan Toeti Heraty menyatakan, eksistensinya membutuhkan kejujuran radikal dan posisi narsistik. Ia selalu bertolak dari berbagai kecemasan, karena merasa disingkirkan lingkungan ke sudut marginal. Rasa-rasa ini kemudian dikuasai oleh sarana pengaman yang lebih menonjol, dunia ilmu dan kepenyairan yang akhirnya, ternyata diterima khalayak.

Sementara N.H. Dini mengatakan, pengarang harus toleran terhadap alternatif bersikap yang diambilnya. Tersebab itu ia senantiasa berinisiatif mempertimbangkan segala sesuatu pengertian yang tidak terlalu berjarak dengan realita yang ada demi mencapai sasaran cerpen maupun novel-novelnya: masyarakat pembaca.

Tapi menurut Arifin C. Noer, yang penting ialah orientasi sastra itu sendiri. Orientasi dimaksud menyangkut arti serta guna sastra bagi manusia yang bermartabat demi hari depannya. Tak heran, pada gilirannya sebagian besar lakonnya ia stempel sebagai remah-remah masa silamnya, digantikan karya-karya yang ia pandang lebih dan semakin perkasa.

Melalui puisi, prosa atau drama W.S. Rendra berkomitmen merefleksikan kehidupan yang dihayatinya. Semua anak bangsa punya hak serta kewajiban untuk ikut menentukan kebijaksanaan sosial, politik dan ekonomi. Justru itu, ia melawan feodalisme dan memberontaki kepincangan-kepincangan yang terjadi di sekitarnya untuk kembali ke asas yang dianut bangsa: demokrasi.

Rada-rada senada dengan itu, Chairul Harun menuturkan bahwa cerita-ceritanya bertujuan mengontrol kasus penyalahgunaan kekuasaan, manipulasi informasi, kemunafikan, penipuan terhadap diri sendiri dan persoalan-persoalan sosial-kemasyarakatan lainnya. Tak pelak, karya sastra ia tahbiskan sebagai cermin diri dan masyarakat, di mana pembaca juga bisa mengenal diri maupun masyarakatnya.

Dalam pada itu Kuntowijoyo mengingatkan perlunya sastra transendental. Sastra transendental adalah kesadaran balik melawan arus dehumanisasi dan subhumanisasi. Untuk itu, yang pertama-tama harus dilakukan ialah melepaskan diri dari aktualitas yang dikemas oleh pabrik, birokrasi, kelas sosial dan kekuasaan yang mengakibatkan umat manusia tercerabut dari autentisitas peradaban dan atau eksistensinya.

Sementara Gerson Poyk meyakini bahwa sastra adalah sebuah alternatif bagi kesadaran ketika menghadapi dunia yang semakin penuh beban. Namun sastra harus ditinjau dari kadar atau tingkat integritas dan intensitas artistik yang diusungnya. Karenanya, sastra mesti terbuka untuk refleksi-refleksi Barat yang etis-moderat, agar aktivitas berlabel sastra tidak bersifat absolut kayak sastra LEKRA.

Laiknya seorang penyair yang tengah kasmaran menggarap puisi, Taufiq Ismail mengintroduksi kepiawaiannya memainkan kata-kata (bersayap) dan atau berargumentasi. Secara lugas ia mengisyaratkan bahwa urusan syair-menyair bagaikan berdiri di depan cermin goyang; sosok yang terpantul dari cermin ikut bergoyang serta tidak dapat diraba atau diajak ngomong.

Idiom paradoksal yang nyaris niskala nyatanya juga mencuat alias tersirat dari perumpamaan yang ditaja oleh seorang novelis seperti Putu Wijaya. Perihal karang-mengarang baginya bahkan jadi begitu menukik mendalam lagi aneh; ibarat menggorok leher sendiri dan atau siapa saja, tetapi tidak menyakiti bahkan kalau bisa tanpa diketahui oleh yang bersangkutan.

Lain pula dengan Leon Agusta, yang selalu merasa digerakkan oleh suatu panggilan buat mencipta. Tetapi ia menyadari, karyanya menjelma setelah adanya semacam rentangan benang-benang pengalaman yang saling menjalin. Kalaulah kehadiran puisi atau prosanya punya hubungan tertentu dengan sebuah konsep maka itu hanyalah merupakan faktor kebetulan belaka.

Dan persoalan yang kurang lebih sama seolah-olah dipertegas oleh Budi Darma, yang secara terang-terangan mengemukakan kekonvensionalannya. Bahan-bahan karangan, disadari atau tidak telah ada dalam benaknya sebelum dituliskan. Saat menulis bayang-bayang atau kejadian-kejadian sekian tahun yang lalu muncul begitu saja ke permukaan dan berkelojotan, mencari bentuknya.

Sedangkan Darman Moenir mengungkapkan, sungguh tak terbilang banyak momen yang bersumber pada suasana (alam) maupun lingkungan (pergaulan) yang membuat ia terangsang untuk berfantasi, dan itu harus diseleksi secara ketat. Karena menurutnya menulis karya sastra membutuhkan penalaran, inspirasi, kemauan serta imajinasi dalam mengonkretkan (ke)hidup(an) yang serba abstrak.

Bicara tentang kepenyairannya Rusli Marzuki Saria menengarai, meski merasa dikejar-kejar waktu dan atau dihantui kompleksitas keinginan manusiawi yang berwarna-warni, ia terus belajar, berkontemplasi dan bergulat mengasah kemampuannya. Membuat puisi toh ada suka-duka atau seninya, namun yang paling utama ialah ketekunan serta kesetiaan menggeluti apa yang telah menjadi pilihan hidup.

Adapun Umar Kayam justru mensinyalir bahwa pada mulanya, menulis adalah semata-mata menyangkut kemauan yang pribadi sekali sifatnya. Masalah determinasi, dan selanjutnya, apa saja boleh ikut terjadi. Dalam bahasa lain, perihal kepengarangan seseorang tak perlu diutik-utik, sebab kreativitas maupun produktivitas dalam berkarya sama afdalnya dengan situasi kemandekannya.

Dan dalam salah satu orasinya Subagio Sastrowardoyo menganalog(i)kan proses mengarang tak ubahnya dengan pengalaman seks atau pengalaman mistik, yang harus dirasakan dan dihayati secara individual untuk benar-benar dapat meyakinkan nikmat atau hambarnya. Pengalaman sejenis (mengarang) boleh jadi dialami oleh banyak orang, tapi intensitas serta cita-rasanya niscaya akan berbeda, tergantung kualitas kepekaan dan kedewasaan masing-masing pribadi yang menjalaninya.

Tak terbantahkan, bahwa yang mendasari aktivitas dan atau profesi mengarang adalah kemandirian seorang pengarang. Individualisme murni, yang tak bakalan disertai bayangan atau pengaruh apa dan dari siapapun kecuali ingin berlaku jujur terhadap diri sendiri. Soal penyajian tema, penggarapan tokoh, pemilihan diksi, pembentukan alur berikut lain sebagainya, jelas, merupakan sisi tersendiri yang seyogianya dapat meyakinkan pembaca. n


Nelson Alwi, Pencinta Sastra Budaya, Tinggal di Padang

Sumber: Riau Pos, Minggu, 15 Januari 2012