Sunday, October 30, 2011

Mendengar Suara-suara Melayu

-- Rida K Liamsi

KOREA-ASEAN Poets Literature Festival (KAPLF) I yang diadakan di Seoul, Korea Selatan, Desember 2010, selain diisi dengan kegiatan pembacaan puisi dan esai juga menerbitkan beberapa buku sastra. Antara lain, kumpulan puisi yang berisi puisi-puisi penyair ASEAN yang ikut festival (ada 12 penyair) di mana masing-masing penyair menyertakan 4 puisinya, yang diberi judul: Becoming (sesuai dengan tema festival). Lalu sebuah kumpulan puisi dan esai yang dibacakan para peserta yang selama festival, baik dari ASEAN maupun dari Korea Selatan, yang juga berjudul Becoming (meskipun buku ini juga berisi tentang agenda acara festival, jadi juga menjadi semacam buku panduan ancara), dan sebuah kumpulan puisi dalam bentuk edisi khusus Majalah Sastra Sipyung, yang berisikan 2 puisi para penyair ASEAN dan Korea Selatan selain yang sudah masuk dalam kumpulan puisi Becoming dan kumpulan puisi dan esai yang dibacakan.

Memang, tiap peserta, khususnya yang dari ASEAN, diminta mengirimkan 8 puisinya yang telah diterjemahkan ke bahasa Inggris, karena bahasa resmi festival tersebut. Tapi, seluruh puisi yang masuk Edisi Khusus Sipyung ini, diterjemahkan ke dalam bahasa Korea, karena memang di sanakan tempat majalah ini beredar. Sebuah tradisi telah dimulai!

Pada acara Korea-ASEAN Poets Literature Festival (KAPLF) II di Pekanbaru, Riau (Indonesia), Oktober 2011 ini, tradisi yang mengharuskan para peserta yang diundang untuk mengirimkan 8 puisi, diteruskan. Dan, tradisi menerbitkan karya-karya yang dikirimkan itu ke dalam dalam bentuk antologi, baik itu untuk karya puisi saja, atau karya campuran (puisi dan esai) yang dibacakan para peserta, juga diteruskan. Kali ini sesuai dengan tema festival KAPLF II: Sound of Asia: Malay as World Haritage, maka ada tiga buku yang diterbitkan. Untuk antologi puisi para penyair yang memuat 4 puisi masing-masing peserta, diberi nama Sound of Asia. Untuk kumpulan puisi dan esai yang dibacakan para peserta bersama panduan acara, diberi judul Malay as World Haritage on Stage, dan yang antologi puisi ketiga diberi judul Becoming After Seoul.

Antologi Puisi Sound of Asia, sebagaimana antologi Becoming yang diterbitkan pada KAPLF I 2010, adalah kumpulan karya para penyair peserta KAPLF 2011. Festival kali ini cukup ramai. Dari Korea Selatan ada 10 peserta yang datang, 9 di antaranya adalah peserta aktif. Sedang peserta khusus adalah Kho Hyeong Ryeol, Presiden The Poets Society of Asia (TPSA), yakni komunitas para penyair Asia yang ada di Korea yang menjadi penggagas KAPLF. Dari negara-negara ASEAN, selain Indonesia, ikut serta 2 penyair dari Vietnam, 3 dari Thailand, 2 dari Myanmar, 4 dari Malaysia, 1 dari Brunei Darusallam, 1 dari Singapura, dan 2 dari Filipina. Sedangkan dari Indonesia, sebagai tuan rumah, ikut 20 penyair. Ada 5 penyair yang berasal dari penyair yang berdomisili di luar Sumatera, lalu ada 9 penyair yang mewakili provinsi di Sumatera, di luar Riau, dan Riau sendiri diwakili 5 penyairnya.

Karya-karya mereka inilah yang dikumpulkan dalam antologi itu, yang dipilih oleh tim editor yang ditunjuk panitia pengarah masing-masing 4 puisi dari tiap penyair, kecuali peserta Korea Selatan yang menyertakan hanya 3 puisi mereka. Untuk memberi nuansa Asia yang gemuruh, penuh warna, dan lentikan bahasa yang menembus batas, maka panitia memang memberi ruang untuk tampil utuh puisi-puisi peserta dalam bahasa ibunya. Memang, karena bahasa resmi pada festival ini adalah Inggris, maka sebahagian peserta juga mengirimkan terjemahan puisi-puisi mereka dalam bahasa Inggris. Tapi dapat dimaklumi, karena keterbatasan waktu dan puisi-puisi adalah karya yang sangat imajinatif, maka terjemahan-terjemahan itu belum tentu dapat menyerap seluruh denyut, degup dan geliat roh puisi para peserta. Karena itu, puisi-puisi peserta juga tampil dalam bahasa dan aksara negara asalnya. Maka, seorang penyair dari Korea Selatan akan juga hadir dengan puisi-puisi bahasa Korea. Aksara Korea. Sehingga gaung Asia itu menjadi sangat semarak dan gemuruh. Demikian halnya dengan Vietnam, Thailand, Myanmar, dan tentunya Singapura, Filipina, Brunei Darussalam, dan Indonesia dengan aksara latinnya.

Panitia memang sengaja membiarkan antologi ini membuat tafsiran mereka sendiri tentang keragaman Asia itu. Keanekaragaman kultur dan interpretasi para penyairnya terhadap kehidupan, persaudaraan dan kreativitas. Sound of Asia itu juga dapat diterjemahkan dengan pengertian: Menyuarakan Asia. Menggaungkan Asia. Dan di dalamnya suara-suara dan denyut kebudayaan Melayu sebagai bagian dari kebudayaan Asia dan dunia ikut terdengar. Gemuruh dan menjentikkan kesadaran-kesadaran tentang kehidupan rumpun bangsa yang pernah demikian jayanya di kawasan ini.

Sound of Asia, adalah sebuah upaya untuk memberi laluan kreativitas para penyairnya untuk dipahami dan diberi tempat dalam kehidupan kebudayaan di negeri-negeri tempat mereka tumbuh,berkembang, dan memberi makna. Sound af Asia adalah jejak-jejak Asia dalam lintasan dunia.

Seperti juga antologi puisi Becoming yang diterbitkan pada KAPLF 2010 di Seoul yang esensi temanya mempertanyakan: “Dari mana kita datang, di mana kita sekarang, dan ke mana kita akan pergi”, maka di KAPLF 2011 di Riau ini juga pertanyaan itu muncul, dan karya-karya dalam antologi ini mencoba menjawab dan menantangnya!***

Rida K Liamsi
, Director Korea-ASEAN Poets Literature Festival (KAPLF) II Riau. Tulisan ini merupakan pengantarnya untuk buku Sound of Asia: Korea-ASEAN Poets Literature Festival Anthology II 2011.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 30 Oktober 2011

Pengakuan Seorang Penyair tentang Dua Masa dan Sekarang

-- Ko Hyeong Ryeol

PADA Tahun 1970-an masyarakat Korea berada dalam penderitaan di bawah pemerintahan otokrasi. Pada masa itu, segalanya tersumbat, tidak ada pintu keluar. Ketika itulah, seorang penyair muda yang tinggal di rumah petak yang kumuh, menderita. Harga dirinya terluka. Setiap malam, dia dihantui mimpi buruk. Saat itu, dia menulis puisi di negaranya sendiri yang penuh dengan senjata nuklir. Itulah potret saya sebagai seorang penyair saat berusia 20-an tahun.

Pada masa rezim otokrasi itu berkuasa, para penyair tidak diizinkan untuk menulis puisi dengan segala kebebasannya. Tidak ada komunikasi antara dunia sastra dan politik. Para penyair yang bertanggung jawab atas profesinya, para penyair yang menjunjung moralitas, merasa segalanya kacau. Mereka kemudian mengurung diri: berhenti menulis puisi. Masyarakat Korea yang telah terlepas dari penjajahan Jepang, kini berada di bawah kurungan pemerintahan otokrasi. Para penyair merasa malu menghadapi situasi buruk yang seperti itu.

Kemudian muncullah beberapa sastrawan yang berpikiran maju. Mereka mengajar dan mendorong angkatan kami agar berdiri tegak. Mereka menghasilkan karya-karya mereka di alun-alun, di lapangan, dan bukan di sanggar-sanggar mereka. Mereka, antara lain Ko-Eun, Shin Kyung-Rhim, Kim Ji-Ha, Baek Nak-Cheong dan beberapa penyair lainnya. Mereka menyatakan pandangannya, mengumumkan sikap kepenyairannya, bahwa sastra tidak mungkin tidak terkait dengan politik. Penyair harus terjun ke dalam kemelut. Sosok mereka penuh dengan resistensi dan kesedihan.

Bagi seorang penyair, sejarah dan masa lalu merupakan tantangan untuk masa depan. Sejauh ini, masyarakat Korea ada di dalam pusaran yang berkenaan dengan modernisasi, demokratisasi, otokrasi, dan industrialisasi. Sekarang pun, masyarakat Korea penuh dengan kontradiksi. Terlalu banyak yang kehilangan, sehingga kami menuju ke depan dengan berusaha mencari dan menemukan kembali kehilangan kami. Orang Korea selalu bermimpi tentang keikutsertaan; keterlibatan. Masalahnya, lantaran selama ini Korea terlalu sering diserang oleh kekuasaan dari luar. Keberadaan puisi adalah resistensi terhadap penindasan kekuasaan, sekaligus usaha untuk mendengarkan suara dari lubuk hati yang terdalam; juga laksana sebuah tarian untuk nyawa yang berkembang.

Tuntutan masyarakat Korea terhadap demokratisasi dimulai pada tahun 1960-an yang lalu menurunkan layarnya 10 tahun kemudian. Pada senja abad ke-20, saya diundang ke Jepang. Di Tokyo, saya sempat bertemu dengan para penyair Jepang, yaitu Hoda Hisasi, Sibata Sankichi, Sagawa Aki, dan Suzuki Hisao. Dalam perjalanan pulang ke Korea dari Jepang, pikiran saya kembali tertuju pada sejarah sastra Korea yang kemudian, saya merasa, itu merupakan sesuatu yang sulit diterangkan. Sebenarnya, pada masa penjajahan Jepang, para penyair Korea membuat majalah sastra yang bernama Chang-Jo yang terbit di Jepang. Betapa sedih dan menderitanya hati mereka, menciptakan karya-karya mereka di negara penjajah, di negara yang menjadi musuh kami.

Sambil terus berpikir tentang hal tersebut, saya memandang ke luar. Pesawat yang menerbangkan saya sedang melewati udara Laut Timur. Pada saat itu, di tengah udara Laut Timur, sejenak sebuah gagasan terlintas dalam benak saya. Gagasan itu adalah membuat jurnal puisi Asia. Entah mengapa, begitu tiba-tiba saja saya mempunyai gagasan yang seperti itu. Sampai ketika itu saya hidup sederhana; hanya menulis puisi, dan tidak ingin muncul di depan. Tetapi, mengapa saya mendadak saja ingin melakukan sesuatu yang rumit? Secara tak sadar, saya telah membayangkan The Poet Society of Asia, sebuah wajah yang saya pun sesungguhnya tidak kenal. Kemudian, pada akhirnya, saya menerbitkan majalah Sipyung yang terbit pertama pada musim gugur tahun 2000.

Dengan majalah Sipyung, saya bertemu dengan penyair Cina (Linmang), penyair Mongol (Ayurzana), dan penyair Vietman (Nguyen Quang Thieum). Sampai sekarang, saya sudah memperkenalkan sekitar 300 orang penyair Asia kepada pembaca Korea melalui Majalah Sipyung. Saya juga sudah menerbitkan antologi puisi beberapa penyair Asia. Selain itu, atas nama The Poet Society of Asia (TPSA), saya sudah tujuh kali mengundang para penyair Asia untuk acara baca puisi. Sudah 11 tahun berlalu sejak Sipyung terbit pertama kali, dan selama masa itu, sudah 45 edisi Sipyung diterbitkan sampai sekarang. Dalam perjalanan itu, ada banyak yang menemani Sipyung, antara lain, sastrawan Choi Seung- Ho, Kim Hye-Sun, Kim Sa-In, Profesor Kim Tae-Sung, Bae Yang-Soo, dan Lee Yeon. Penerbitan sebuah majalah tentu saja bukanlah performance seorang diri, melainkan hasil dari kerja sama sebuah tim.

Melalui Majalah Sipyung, saya selalu berusaha tidak melupakan semua keterpencilan dan kesengsaraan dalam kehidupan ini; sekalian juga bermimpi untuk pergi bersama semua penyair dari jauh. Saya berpikir, bahwa puisi mementingkan (mengutamakan) perwujudan, menghargai bahasa, dan rindu pada dunia asing. Bagi, saya, Asia adalah satu, dan sekaligus juga bukan satu. Jika kita menghadapi kenyataan Asia, bagi kita, Asia adalah kesengsaraan sekaligus firdaus; kehidupan sekaligus juga pekuburan.

Benua Asia adalah tempat rahasia Timur, dari sanalah setiap pagi dimulai. Dunia bahasa leluhur yang bijaksana masih berada nun jauh di sana dan terlalu tinggi bagi kita. Kita semua mengalami sejarah penjajahan yang sama. Mari kita membuka pintu. Mari kita saling mendekat. Saya yakin, bahwa kita dapat menanggulangi sesuatu yang tersumbat dan kemudian bisa saling membantu mengarahkan puisi kita ke mana. Kita tidak boleh membiarkan seorang pun terpencil dari zaman ini ke zaman yang berada di depan.

Majalah Sipyung tidak punya kantor. Sejak dulu, tidak pernah ada kantor, bahkan sampai sekarang pun tak ada. Seluruh Asia adalah kantor Majalah Sipyung. Di segenap pelosok Asia, itulah kantor redaksi Sipyung. Meja kerja saya berada di langit Asia. The Poet Society of Asia pun, sama sekali tidak punya kantor. Memang seharusnya begitu. Itu pantas dan penuh harapan.

Di luar puisi, ada kenyataan politis yang dihadapi negara masing-masing, ada kehidupan sehari-hari, ada alam dan juga, ada kerja keras. Asia adalah chaos dan daerah suci yang tidak dapat ditentukan. Kelompok berada sekaligus tidak berada. Asia adalah awan pengembara. Namun para penyair Asia adalah tokoh utama dalam The Poet Society of Asia.

Sekali-kali saya mengalami kesulitan dalam menerbitkan Sipyung, karena kerja itu memerlukan banyak waktu dan uang. Akan tetapi, sekarang saya merasa sangat berbahagia, karena di Riau sini, saya berjumpa lagi dengan para penyair yang pernah jumpa saya di Korea. Korea-ASEAN Poets Literature Festival (KAPLF) yang diadakan pada tahun lalu di Korea memberikan kenangan yang sangat berharga kepada kita semua. Sekarang, kita berkumpul sekali lagi di Indonesia. Dalam kesempatan ini, kami, rombongan penyair Korea, ingin menyampaikan sesuatu kepada Yayasan Sagang dan Bapak Rida K Liamsi sebagai tanda persahabatan.

Kita akan menemukan Asia sebagai dunia sendiri. Puisi kita bermimpi untuk menanggulangi sejarah yang penuh dengan penguasaan dan eksploitasi. Apa yang diharapkan kita semua adalah saling mendekat. Mungkin seorang penyair adalah tukang jam yang pekerjaannya seperti memeriksa dan merawat bahasa. Saya mendengar bunyi waktu berlalu di Pekanbaru. Saya membayangkan wajah para penyair Asia yang tidak ada di sini.

Sekarang saya ingin meninggalkan sesuatu di Indonesia, sekaligus mengambil sesuatu dari Indonesia.

Ko Hyeong Ryeol, Presiden The Poet Society of Asia (TPSA) dan Director Korea-ASEAN Poets Literature Festival (KAPLF) I di Korea Selatan 2010. Tulisan ini adalah pengantarnya untuk buku Malay As World Heritage on Stage: Directory Book Korea-ASEAN Poets Literature Festival II 2011.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 30 Oktober 2011

[Refleksi] Pakaian

-- Djadjat Sudradjat


“BAHASA adalah pakaian bagi pikiran,” kata penyair Samuel Johnson. “Jika pikiran merusak bahasa, maka bahasa juga dapat merusak pikiran,” lanjut George Orwell.

***

“SAMPAI sekarang,“ kataku, “ bahasa Indonesia hanya dipergunakan di kalangan atas. Tidak oleh rakyat biasa. Sekarang, mulai dari hari ini, menit ini, marilah kita putuskan untuk belajar berbicara dalam bahasa Indonesia.

“Hendaknya rakyat Marhaen dan kaum bangsawan berbicara dalam bahasa yang sama. Hendaknya seseorang dari satu pulau dapat berhubungan dengan saudara-saudaranya di pulau lain dalam bahasa yang sama. Bagi kita, yang beranak-pinak seperti kelinci, untuk menjadi satu masyarakat, satu bangsa, kita harus memiliki bahasa persatuan–bahasa dari Indonesia yang baru.”

Bung Karno menceritakan apa yang kerap ia pidatokan pada 1926 kepada Cindy Adams, penulis buku Sukarno, an Autobiograhpy as Told to Cindy Adams. (1965). Biografi ini diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1966). Dalam edisi bahasa Indonesia terdapat dua alinea tambahan yang intinya meniadakan peran penting Bung Hatta dan Sutan Syahrir dalam perjuangan Indonesia. Untuk meluruskannya tahun ini, Yayasan Bung Karno menerbitkan edisi revisi. “Rekayasa tambahan dua alinea yang mengadu domba antara Sukarno dengan Hatta dan Syahrir tentu perlu diselediki,” tulis sejarawan Asvi Warman Adam dalam pengantar edisi revisi itu.

Saya tak hendak membicarakan kontroversi itu. Saya hanya ingin melihat pilihan bahasa Melayu yang dikembangkan menjadi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, dan bukan bahasa Jawa yang dipakai oleh mayoritas penduduk atau bahasa Sunda, tetaplah sesuatu yang luar biasa. Terlebih lagi para penganjur utamanya adalah tokoh-tokoh dari Jawa sendiri seperti Ki Hajar Dewantara dan Bung Karno. Dua tokoh itu pula yang memelopori membuang gelar kebangsawanan (Jawa) yang mereka miliki.

Jika melihat latar waktu, pada 1926 Bung Karno lulus sebagai insinyur sipil dari Institut Teknologi Bandung. Ia merasa agak terbebas dari keharusan “berlaku tertib” sebagai mahasiswa kepada pemerintah. Tesisnya tentang konstruksi pelabuhan dan jalanan air adalah sesuatu yang langka. Sebab itu, profesor pembimbingnya, Wolf Schoemaker, meminta Soekarno bekerja sebagai asisten dosen atau tenaga ahli di pemerintahan kota. Imbalan gaji besar, tentu saja.

Bagi seorang yang tengah terbang tinggi bersama mimpi persatuan dan spirit melawan “yang bukan Indonesia” (penjajah Belanda) dengan segala hormat kepada profesornya yang “baik hati”, ia menolak tawaran hidup mapan itu. Sebab, jika bekerja di pemerintahan, ia tak akan bisa membuat “pakaian bagi pikiran” Indonesia merdeka.

Bung Karno tidak saja tengah melawan pikiran dan sterotipe yang terus dihembuskan: Indonesia tak pernah bisa lepas tanpa Eropa, tapi juga melawan kultur lama bangsanya: feodalisme. Jika pilihannya bahasa Jawa sebagai bahasa persatuan, ia tidak saja kian mengukuhkan feodalisme, tapi juga tak akan bisa dengan cepat sebagai alat pemersatu. Sebab, bahasa Jawa tak punya pengalaman sebagai lingua franca dan tak bisa membangun kesetaraan.

Hanya bahasa Melayu yang punya potensi tertinggi dikembangkan sebagai bahasa Indonesia, menjadi “pakaian bagi pikiran” besar Bung Karno dan pendiri bangsa yang tengah meyakinkan rakyatnya tentang kesetaraan. Tidak hanya itu, jika kita merunut pada realitas sosial pada masa 1920-an, memang para elite Indonesia masih banyak yang berbicara dengan bahasa Belanda, pun pasca-Sumpah Pemuda.

Dalam novel-novel Nur Sutan Iskandar, khsususnya Tjinta Tanah Air (1944) misalnya, laku para elite itu dilawan dengan semangat kaum muda yang mulai antusias memakai bahasa Indonesia yang dipidatokan Bung Karnio itu. “Laki-laki dan perempuan bercakap dalam bahasa Indonesia…. Pandai jua kiranya gadis-gadis berbahasa sendiri,” kata tokoh utama novel itu, Amiruddin, ketika mendengar percakapan anak-anak muda di dalam trem.

***

BUNG Karno memang tengah membuat “pakaian bagi pikiran-pikiran” kebangsaan. Bagi kesetaraan. Bagi sebuah bangsa yang beratus tahun dibalut halimun tebal ketidakpercayaan diri karena pikiran-pikiran bangsa jajahan terus dirusak oleh bahasa kolonial. Akibatnya mental rendah diri terus terpatri.

Sumpah Pemuda adalah deklarasi tentang restorasi bagi pikiran-pikiran yang gamang, juga yang lempang, tapi tak tahu arah “berjuang”. Bung Karno dan kaum nasionalis terpelajar tentu tak hendak membuang bahasa daerah yang, pada masa itu dipakai kalangan mayoritas, tetapi karena bahasa-bahasa daerah itu pastilah “pakaian” yang terlalu sempit bagi pikiran Indonesia yang luas, besar, dan kompleks itu, dan tengah digemakan ke seluruh negeri.

Bung Karno, H.O.S. Cokroaminoto, Ki Hajar Dewantara, Mangunsarkoro, Ciptomangunkusumo, dan kaum pergerakan yang berasal dari Jawa, Sunda, ternyata lebih mampu mengungkapkan pikiran-pikiran besarnya dalam bahasa baru itu. Kaum terpelajar seperti Hatta, Tan Malaka, Sjahrir, Dr. Amir, Moh. Jamin, yang berasal dari Sumatera, pastilah tak punya problem budaya menggunakan bahasa Indonesia yang dikembangkan dari bahasa Melayu itu. Tetapi, bagi mereka yang berasal dari Pulau Jawa, perlu mengubah mental dan budaya yang tak sederhana.

Kini pakaian besar yang nyata-nyata mampu menyatukan seluruh rakyat Indonesia itu memang tengah dikecilkan oleh pikiran-pikiran yang kotor dari elitenya sendiri. Bagaimana bahasa Indonesia yang digunakan Bung Karno dengan penuh motivasi, inspirasi, kreatif, indah tapi bergelora itu, seperti tengah direndahkan. Terlebih lagi setelah para “penjaga gawangnya” seperti Sutan Takdir Alisyahbana, Yus Badudu, dan Anton Moeliono, tiada.

Bahasa Indonesia yang dilahirkan untuk meneguhkan kesetaraan, martabat, dan kemandirian itu, kini kotor karena menjadi representasi atau pakaian bagi pikiran yang melingkar-lingkar. Pikiran-pikiran yang kian menjauh dari kejujuran mengelola negara. Bahasa Indonesia di mulut para elite kini menjadi banal dan dangkal. Ia kehilangan seluruh elan vitalanya sebagai pemersatu.

Johnson dan Orwell benar. Pikiran-pikiran para elite yang distortif, destruktif, hipokrit, dan saling menelikung, telah memunculkan bahasa yang penuh tipu daya. Kini bahasa Indonesia adalah “pakaian” yang tengah dirobek-robek oleh diri sendiri.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 Oktober 2011

Sumpah Pemuda: Dulu dan Sekarang

-- Bandung Mawardi

REFERENSI-REFERENSI mengenai Sumpah Pemuda kalah jumlah dengan jejak-jejak sejarah Budi Utomo, Sarekat Islam, Proklamasi, DI/TII, atau PKI. Kisah pendek sekadar hadir dalam buku-buku teks pelajaran di sekolah atau buku-buku sejarah. Buku A History of Modern Indonesia (1981 dan 2001) garapan M.C. Riklefs tidak memberi penjalasan panjang dan representatif mengenai Sumpah Pemuda. Riklefs sekadar menulis tentang Sumpah Pemuda dalam satu alinea.

Sartono Kartodirdjo (1990) dalam Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional (Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme) pun tidak memberi pembahasan representatif mengenai Sumpah Pemuda. Sartono justru memiliki tendensi untuk mementingkan Manifesto Politik 1925 oleh Perhimpunan Indonesia ketimbang Sumpah Pemuda (1928) sebagai kontributor penting nasionalisme Indonesia.

Sumpah Pemuda dalam studi bahasa dan sastra pun mengalami kesepian. Ajip Rosidi dalam Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1969) sekadar menghadirkan peristiwa Sumpah Pemuda dalam jumlah kalimat kecil untuk mengungkapkan sejarah sastra modern abad XX.

Pengabaian itu justru mendapatkan tebusan dari E. Ulrich Kratz (editor) dalam buku Sumber Terpilih Sastra Indonesia Abad XX (2000). Ulrich Kratz menghadirkan dua versi teks Sumpah Pemuda dengan referensi buku 45 Tahun Sumpah Pemuda (1974) dan buku Sumpah Indonesia Raya (1955) garapan Muhammad Yamin. Peletakan itu eksplisit hendak menjadi klaim dalam rentetan sejarah kesusastraan Indonesia modern.

Keith Foulcher dalam Sumpah Pemuda: Makna & Proses Penciptaan Simbol Kebangsaan Indonesia (2008) menemukan dan mencatat ada tafsir-tafsir ideologis-politis terhadap Sumpah Pemuda pada masa kolonialisme, Orde Lama, dan Orde Baru. Tafsir-tafsir itu muncul dengan sekian dalil dan pamrih mengacu pada kondisi politik dan arus kesadaran sejarah. Teks Sumpah Pemuda mengalami perubahan-perubahan dalam sekian versi. Perubahan itu mungkin takdir dari sejarah sebagai cerita mengenai perubahan.

Perubahan kerap terjadi pada kalimat ketiga Sumpah Pemuda. Inilah versi 1928: "Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia." Kalimat itu kerap mengalami perubahan semantik dan konsekuensi politik.

Perubahan yang lazim dikonsumsi publik: "Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia." Perubahan kalimat itu merepresentasikan keteledoran dan kesengajaan dalam tegangan historis dan politis. Bahasa sebagai simbol komunikasi politik mengalami reduksi dalam konteks pemaknaan dan implikasi.

Bahasa dan Ideologi

Bahasa mengandung ideologi untuk merumuskan identitas politik dan nasionalisme. Isi Sumpah Pemuda mengenai bahasa membuktikan ada kesadaran politis kaum intelektual pada tahun 1928 dalam merealisasikan imajinasi nasionalisme.

Kesadaran itu perlahan mengalami kebangkrutan karena ulah rezim Orde Lama dan Orde Baru. Jejak historis Sumpah Pemuda dalam perkara bahasa mulai dilupakan dan digantikan dengan interpretasi politis. Perubahan itu menunjukkan “kenakalan” penguasa terhadap referensi sejarah dan relevansi sejarah secara kontekstual.

Sumpah Pemuda pada rezim Soekarno menjadi senjata revolusi dan konfrontasi. Konstruksi nasionalisme dan peran politik bahasa memusat pada agenda-agenda revolusi dan integrasi. Koran Bintang Timur (1960) dengan lugas menyatakan, "Soekarno me-Manipol-Usdek-kan Hari Sumpah Pemuda". Soekarno kurang bisa intensif dalam perumusan dan pergumulan politik bahasa karena repot dengan perkara-perkara politik praktis.

Kesadaran untuk memainkan politik bahasa justru kentara pada rezim Orde Baru. Sumpah Pemuda adalah "mantra sakti" politik Orde Baru atas nama disiplin, stabilitas, dan pembangunan. Ikhtiar tendensius dilakukan Soeharto dengan memberikan sponsor-sponsor untuk studi Sumpah Pemuda dalam konteks historis dan politis.

Ikhtiar instruksi dan imperatif dari Orde Baru itu terjadi sejak tahun 1970-an dengan publikasi laporan penelitian sejarah, artikel, fiksi, biografi, dan memoar. Bukti monumental adalah penerbitan buku Bunga Rampai Sumpah Pemuda (1978) dalam rangka peringatan 50 tahun Sumpah Pemuda. Buku itu mengandung tendensi untuk standarisasi sejarah dan legitimasi politisasi sejarah-politik bahasa.

Bahasa Indonesia sebagai resistensi pada masa kolonialisme perlahan mengalami kodifikasi sebagai bahasa dengan ideologi penundukan dan kontrol melalui otoritas kekuasaan. Ironi Sumpah Pemuda selama Orde Baru adalah formula baku-keliru: "Satu bangsa, satu tanah air, satu bahasa".

Keith Foulcher (2008) menuduh formula itu sebagai realisasi visi tripartit kesatuan tanpa kompromi oleh kepentingan rezim Orde Baru dalam mekanisme sentralisasi dan kontrol. Formula "satu bahasa" itu menjadi kunci untuk operasionalisasi politik bahasa versi Orde Baru.

Formula "satu bahasa" mendapat kritik keras dari Ariel Heryanto dalam esai Sumpah Plesetan (1995). Ariel Heryanto curiga bahwa perubahan itu karena alasan prinsip kesimbangan dalam keutuhan teks ketimbang motif politik. Keith Foulcher (2008) justru mahfum bahwa perubahan kata itu masuk perkara simbol dan makna nasionalisme.

Interpretasi

Sumpah Pemuda tahun ini merupakan sambungan dari kisah-kisah getir dalam masa kolonialisme, Orde Lama, dan Orde Baru. Sumpah Pemuda membutuhkan interpretasi mutakhir untuk relevansi dan kontekstualisasi dengan kondisi Indonesia hari ini.

Interpretasi itu mengacu pada fakta historis dan fakta empiris untuk menghindari sakralisasi atau inferiorisasi. Substansi Sumpah Pemuda dalam pengertian nasionalisme memerlukan revitalisasi untuk acuan dalam panggung politik hari ini yang ramai dengan pamrih-pamrih kekuasaan. Sumpah Pemuda adalah spirit atas nama pluralitas dan orientasi menjadi Indonesia.

Peringatan 83 tahun Sumpah Pemuda (1928—2011) menjadi momentum inspiratif untuk lekas menata dan membenahi seribu satu perkara mulai dari korupsi sampai kemiskinan. Peringatan jangan sekadar jadi stereotip sakralitas atau ritual politis untuk mengenangkan sejarah dengan mencari hikmah-hikmah klise. Peringatan Sumpah Pemuda mesti dilandasi dengan orientasi perubahan kontruktif dan positif untuk kemaslahatan rakyat. Begitu.

Bandung Mawardi
, Pengelola Jagat Abjad Solo

Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 Oktober 2011

[Buku] Melodrama Orientalis Naik Haji

Judul: Orang Kristen Naik Haji

Penulis: Augustus Ralli

Penerbit: Serambi Ilmu Semesta

Cetakan: I, Agustus 2011

Tebal: 371 halaman


IBADAH haji adalah salah satu adat kebiasaan bangsa Arab Pagan yang sudah ada sejak lama sebelum Muhammad datang. Orang dari pelbagai penjuru dunia membeludak dengan satu tujuan: mengunjungi baitullah (rumah Allah).

Pada masa lampau, banyak jamaah haji yang dideportasi karena mencoba melakukan perjalanan ke Mekah tanpa memiliki biaya yang cukup. Yang menarik, ternyata banyak orang Kristen juga berlomba-lomba untuk datang ke Mekah.

Apa motivasi mereka dan apa yang ingin mereka dapatkan? Padahal, setiap musim haji pasti terjadi eksekusi mati bagi beberapa orang Kristen yang terbukti masuk ke Tanah Suci secara ilegal.

Buku ini hadir untuk mengungkap dan mengisahkan para petualang sejumlah orang Eropa yang pernah berkunjung ke Mekah (sekitar abad 15 hingga 19). Eksekusi mati bagi orang Kristen yang mengunjungi Mekah ternyata tak membuat mereka kelalapan. Mekah tetap menjadi magnet yang menarik minat para petualang orang Eropa.

Dengan segala cara mereka bersembunyi: menyamar dengan mengenakan pakaian orang-orang muslim, serta melakukan tradisi-tradisi dan ritual Islam. Mereka mengalami kesulitan dalam perjalanan, menantang darat atau laut yang ekstrem, dan kemudian pulang ke negara masing-masing setelah bersusah payah mendapatan pengetahuan di pusat Islam.

Agustus Rulli, penulis sejarah-sejarah Mekah, dalam buku ini hendak membentangkan seluk beluk Kota Suci pada masa silam. Dengan gaya penulisan enak dan muda dicerna, Rulli membeberkan betapa perjalanan haji pada masa itu sungguh menegangkan, penuh rintangan, ujian, marabahaya, dan menggetarkan.

Mekah menjadi impian bagi para petualang dan orientalis Eropa untuk menyingkap rahasia-rahasia tersembunyi di dalamnya. Ternyata, bukan hanya umat muslim yang menjalankan syariat Islam keempat itu, orang Kristen dengan serba keterbatasan dan penuh ketakutan juga rela menjadikan nyawa sebagai taruhannya.

Menurut Rulli, para pengenala Kristen ke Mekah bisa dikategorikan dalam tiga kelompok. Pertama, dimulai dari Ludovico Bartema (1503) hingga Joseph Pitts (1680), mereka mengalami pertikaian kecil.

Kedua, mereka yang datang ke Mekah bertujuan memperoleh pengetahuan dan demi kebutuhan ilmiah seperti Badia Y. Leblich (1807), Ullrich Jasper Seetzen (1810), John Ludwig Burckhardt (1815), dan Christian Snouck Hurgronje (1885).

Ketiga, mereka yang sangat suka pada petualangan atau keingintahuan, seperti Heinrich Freiherr Von Maltzan (1860), Herman Bicknell (1862), John Fryer Keane (1877), dan Gervais Courtellemont (1894).

Dalam konteks dunia Islam, ada empat tokoh terkemuka penjelajah Mekah, yaitu Badia, Burckhardt, Burton, dan Hurgronje. Badia adalah orang pertama dengan kapasitas kelimuannya yang bisa menginjakkan kaki di Kota Suci. Pengetahuan yang dihasilkan Badia kemudian dikoreksi dan diperdalam oleh Burckhardt. Kemudian Burton yang kemudian diikuti oleh Hurgronje dengan kajian-kajian sosial yang ia peroleh dari Mekah.

Tujuan perjalanan Hurgronje semata untuk objektivitas dan ilmu pengetahuan. Ia ingin mempelajari pengaruh Islam terhadap sosial-politik dalam masyarakat yang belum tersentuh oleh peradaban Barat. Buku ini dengan tajam mengisahkan perjalan Hurgronje melalui Jeddah—Haddah—Mekah. Hurgronje awalnya menyamar sebagai seseorang yang belajar Alquran.

"Aku berkenalan dengan sebuah komunitas modern di Mekah secara langsung. Aku mendengar dengan kedua telingaku apa dan bagaimana mereka mendiskusikan pengetahuan Islam. Aku telah mempelajari harapan-harapan dan realitas-realitas, keyakinan yang berani dan perjuangan eksistensi masyarakat yang paling banyak tersebar di dunia. Aku belajar ini semua dari masjid, majelis, dan kedai kopi di Mekkah," tulis Hurgronje (hlm. 292).

Mekah oleh para orientalis Eropa disebut sebagai "kota menakutkan" dan memberikan tantangan. Menakutkan karena jika identitasnya terbongkar, ancaman pembunuhan akan menghampirinya. Menegangkan karena mereka adalah petualang-petualang dunia yang ingin mengetahui sendiri pusat spiritual Islam.

Buku ini menjadi penting untuk memotivasi siapa pun menjalankan ibadah haji, menginjakkan kaki di Tanah Suci, menyaksikan keagungan Kakbah, dan mengunjungi makam Rasulullah.

Wildani Hefni, Pengelola Rumah Baca Pesma Darun Najah IAIN Walisongo

Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 Oktober 2011

Saturday, October 29, 2011

Realitas dalam Fiksi

-- Sunaryono Basuki Ks

DI dalam sebuah karya pendeknya berjudul "Malam Terakhir", Yukio Mishima menokohkan seorang perempuan tua yag bernama Komachi dan seorang penyair muda yang sangat mencintainya. Penyair tersebut adakah pacar ke seratus Komachi, dan kepada pemuda yang mencintainya itu dia berpesan bahwa sembilan-puluh sembilan lelaki yang mencintainya itu seorang demi seorang meninggal dunia setelah mengucapkan kata-kata : "Kamu cantik, Komachi". Ini adalah realitas empiris yang hanya terjadi di dalam kisah tersebut.

Pada pergelarannya beberapa tahun yang lalu di pelataran Fakultas Bahasa dan Seni ( waktu itu bernama Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni) Hardiman, sang Sutradara memulai pergelaran itu dengan tampil di tengah lingkaran dan menghitung batang korek api dari satu sampai sembilan dan kemudian kembali satu. Ini memberi sugesti bahwa peristiwa yang digelar itu akan berulang dan berulang kembali. Saya katakan menggelar bukan dipentaskan sebab drama itu memang digelar di atas halaman tengah fakultas di bawah sebuah pohon kamboja raksasa yang penuh ditumbuhi bunga-bunga kamboja berwarna putih bagaikan rambut beruban Komachi, tokoh utama drama itu. Saat bunga-bunga kamboja putih itu berguguran pas melukiskan rambut Komachi yang terurai.

Sentuhan cinta kasih keduanya dilukiskan dengan baik oleh kedua mahasiswa Jurusan Seni Rupa itu, demikian mesra hubungan kasih keduanya sampai pada akhirya sang penyair yang terpukau oleh kecantikan Komachi dan tak tertahan lagi dia mengucapkan kalimat terlarang itu : Kau cantik, Komachi. Baik Komachi maupun sang penyair tak bisa berkutik. Sang penyair pun memegang dada kirinya dan jatuh terjungkal ke tanah dan digotong oleh dua orang polisi ke luar arena pergelaran. Tepuk tangan penonton, namun Hardiman sang sutradara kembali ke pelataran dan menghitung-hitung batang korek api di tanah untuk memberi sugesti bahwa peristiwa itu akan berulang dengan pacar Komachi yang ke seratus satu, seratus dua dan entah sampai ke berapa.

Di dalam acara diskusi seorang mahasiswa sastra memprotes bahwa sandiwara itu tidak masuk akal, sebab mustahil seseorang yang karena mengucapkan : Kau cantik Komachi bisa mati. Tentu saja dia benar kalau seseorang di luar sandiwara itu akan mati kecuali mungkin lantaran dia tertawa terbahak-bahak karena realitas itu dianggap lucu sampai dia kehabisan napas dan mati sungguhan. Disini dia mencampur adukkan antara realitas di dalam fiksi dengan realitas di dalam realitas kehidupan yang sesungguhnya.

Fiksi memang ditulis berdasarkan realitas kehidupan sehari-hari, namun harus diingat kata berdasarkan itu, sebab demikian realitas kehidupan itu sudah diolah menjadi karya fiksi, maka dia harus tunduk pada hukum fiksi tersebut yang terpisah sama sekali dari hukum realitas kehidupan sehari-hari. Maka sia-sialah mencari hubungan antara tokoh di dalam sebuah karya fiksi dengan tokoh nyata yang terdiri dari darah dan daging di dalam realitas kehidupan sehari-hari. Sia-sia mencari hubungan antara Nunun seorang tokoh di dalam sebuah karya cerita pendek yang diceritakan sedang sakit dan bersembunyi di luar negeri dengan Nunun senyatanya yang terlibat di dalam sebuah kasus korupsi yang disangkakan padanya.

Realitas di dalam fiksi tunduk pada aturan-aturan yang diletakkan di dalam karya tersebut oleh pengarangnya. Tokoh Superman di dalam karya fiksi harus diterima sebagai sebuah realitas mengenai bayi yang dikirim dari luar ruang angkasa di dalam sebuah tabung dengan disertai kristal-kristal untuk mendukung kehidupannya. Saat ditemukan oleh kedua orang kedua orang tua asuhnya, si kecil ini sudah mampu mengangkat sebuah mobil dan kemudian berpacu lari dengan sebuah kereta api.

Ketika menjadi dewasa dia dapat pula terbang dan untuk membaca buku, dia mampu men-scan seluruh buku di perpustakaan dalam sekejap. Jadi dia tidak perlu bersekolah. Jangan memprotes hal ini sebab inilah yang diberikan pada kita untuk kita percaya dan agar bisa menikmati kisahnya yang tidak masuk akal. Demikian pula yang terjadi dengan kisah pewayangan dan semua kisah fiksi yang lain yang harus dibaca dalam bingkai karya fiksi. Maka ketika di dalam pementasan Semar Gugat Teater Koma menampilkan si Gatotkaca kecil melipat selendangnya (selendang untuk melukiskan bahwa dia terbang) saat di langit dia melihat pesawat terbang buatan Habibie yang diberi nama Tutuka penonton yang tahu tentang realitas pewayangan tertawa, sebab Gatotkaca muda memang bernama Tutuka).

Contoh lain misalnya cerpen "Tiga Orang Pertapa" karya Leo Tolstoi yang berkisah tentang seorang pendeta Kristen yang singgah di sebuah pulau terpencil untuk mengajari tiga orang pertapa cara berdoa secara benar menurut agama Katolik. Ketiga pertapa itu memuja Tuhan tidak dengan kata-kata tetapi dengan seluruh hati dan jiwanya. Kata-kata hanyalah sekedar syarat, maka ketika dia diajari cara berdoa yang benar, dia selalu lupa, walau pun intinya sudah mereka ucapkan sehari-hari.

Tiga pertapa yang menjadi simbol tiga larik doa menggambarkan trinitas ketuhanan akhirnya mampu menghafal doa itu. Namun setelah sang pendeta meninggalkan mereka, mereka lupa lagi dan mengejar kapal yang ditumpangi pendeta itu dengan cara berlari di atas air bagaikan seorang pendekar yang punya ilmu meringankan tubuh atau ginkang.

Realitas di dalam fiksi merupakan realitas independent hanya di dalam karya fiksi tertentu. Terkadang realitas ini dihubungkan dengan realitas di dalam fiksi yang lain. Kasus menarik di dalam hal intertekstualitas terjadi pada tiga buah karya yang berbeda genrenya. Pertama novel Heart of Darkness karya Joseph Conrad, kedua puisi The Hollow Men karya TS Eliot, dan ketiga sebuah karya film Apocalypse Now. Puisi "The Hollow Men" merujuk pada novel "Heart of Darkness". Pembukaan puisi tersebut berbunyi Miftah Kurtz-he dead.

Kurtz adalah tokoh di dalam novel Heart of Darkness yang menelusuri sungai Congo di jantung Afrika yang gelap. Menurut Edwar Said di dalam bukunya "Dunia, Teks, dan (Sang) Kritikus" (Bali Media dan Pustaka Larasan, 2011) menyebut bahwa Conrad muda tergila-gila dengan peta dunia dan dia memerhatikan sungai Congo di dalam peta yang bagaikan seekor ular yang menjalar di Afrika. Ketika telah menjadi seorang pelaut, dia benar-benar menelusuri sungai itu dan mewujudkannya di dalam karya sastranya. Di dalam film yang bersetting perang Vietnam, seorang kolonel yang diperankan oleh Marlon Brando, di tengah hutan di Vietnam di dalam komunitas tertentu tiba-tiba terdengar melantunkan puisi The Hollow Men. Realitas di antara tiga karya fiksi tersebut jalin-menjalin di dalam intertekstualitas yang padat.

Dan kita tak perlu mencari hubungan antara realitas di dalam ketiga karya tersebut dengan realitas kegidupan sehari-hari. Pengarang tetap bertanggung jawab terhadap realitas yang diciptakannya, bukan lepas tangan sebab realitasnya tidak berkenaan dengan realitas fisik sehari-hari.

Sunaryono Basuki Ks, sastrawan tinggal di Singaraja

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 29 Oktober 2011

Mencari Suara Lain di Dalam Sastra

-- Sihar Ramses Simatupang

PEMBICARAAN antara pengamat sastra Manneke Budiman dan penyair Afrizal Malna yang mengetengahkan persoalan negara, khususnya kekuasaan, memperlihatkan bahwa negara telah menempatkan warga negara dan rakyat dalam posisi yang ambigu.

Manneke, misalnya, melihat bahwa warga negara, termasuk sastrawan, pun merupakan bagian dari sistem negara. Dari Afrizal, dapat kita tangkap pengertian bahwa negara sebagai lembaga legitimasi kekuasaan cenderung berada di luar masyarakat bahkan negara untuk kepentingan politik dan telah memainkan estetikanya lewat strategi narasi yang berakar pada budaya lisan.

“Budaya lisan merupakan tradisi naratif yang bermain di tingkat reproduksi isu dengan memainkan kode-kode hidup di sekitarnya,” papar Afrizal dalam seminar Temu Sastra Indonesia 4 yang digelar di Ternate, 25-29 Oktober 2010.

Topeng sejarah politik lewat strategi narasi itu, tegas Afrizal, sesungguhnya telah dirobek dan diserpih oleh fenomena seperti Reformasi 1998, penerbitan antologi puisi penyair Lekra, novel atas kekerasan Orde Baru, misalnya.

Sekarang, generasi saat ini bahkan telah mematahkannya lewat perluasan dunia maya yang bukan lagi mengikuti alur strategi narasi penguasa, tapi mengikuti “jalan pikirannya” sendiri dan “membaca tubuhnya sendiri”.

Di luar pendapat Afrizal itu, internet telah memberikan banyak bahasa lain sebagai tandingan, antara lain dengan banyaknya generasi muda yang membawa narasi dengan mereproduksi tubuhnya sendiri.

Kembali ke pendapat Afrizal, lewat sajak “aneh" dan "unik”, para blogger yang tak hanya berbahasa puitis atau bernuansa sosial, tapi juga mengisahkan pribadinya sendiri, mengungkapkan kode mesin dan internet dalam puisi.

Generasi kini dan mendatang bahkan cenderung lebih terbuka dengan berbagai arus pikiran dunia maya yang dibangun lewat internet, menjadi imaji tersendiri.

Negara, dalam kehidupan rakyat—bahkan dalam pikiran sastrawan—tampaknya adalah suatu yang asing namun siap dengan ragam strategi narasinya.

Sastrawan dan penulis kemudian akan memilih sikap. Sikap berbeda terhadap institusi negara ini setidaknya terpaparkan dalam sebuah bincang serius antara pembicara, para sastrawan Azhari, Bandung Mawardi, Firman Venayaksa, hingga Sofyan Daud ketika mereka berkomunitas dengan sastrawan lainnya.

Komunitas itu ada yang cenderung anti pada negara, mandiri, dan memisahkan negara dalam dunia tempat dia berekspresi dan berkomunitas di sastra.

Sebagian lain memilih menanggapi dukungan, misalnya dana, namun tetap bergerak tanpa peduli pada negara. Sebagian lain malah memilih masuk ke dalam bagian dari sistem negara dan merebut agenda untuk kepentingan komunitasnya serta sastra.

Komunitas juga dipandang sebagai bagian penting untuk bergerak membantu masyarakat di luar negara, seperti bersosial, berinteraksi, bahkan membantu sesama manusia melalui bantuan material langsung, membagikan buku, membuat perpustakaan, hingga program membaca.

Namun, sebagaimana diungkapkan Azhari, pembicaraan bagaimana mempertahankan sebuah komunitas sastra untuk waktu yang lama, bukan sesuatu yang penting. “Kenapa juga komunitas harus bertahan lama, yang terpenting adalah pada sastrawannya. Bagaimana dia memelihara komitmen sosial,” ujar penulis yang berdomisili di Banda Aceh ini.

Komitmen Sosial

Lantas, bagaimanakah komitmen sosial itu? Apakah komitmen sosial itu dapat terlihat dari sebuah teks karya sastra, baik cerpen, puisi, atau novel? Ataukah sikap hidup sastrawan di tengah lingkungan masyarakatnya? Seorang peserta mengatakan bahwa sastrawan, sebagaimana manusia lain, adalah individu lain di dalam masyarakat, sementara komitmen sosial adalah suatu keniscayaan.

Menurutnya, tentu yang dimaksud komitmen sosial adalah teks karyanya. Namun, bagaimana karya itu memiliki komitmen sosial yang kuat bila ternyata orang itu kurang atau menghindarinya karena lebih cenderung tertutup, introvert, bahkan eksklusif?

Hal yang menarik adalah bagaimana juga novelis Eka Kurniawan dan pengamat sastra Hilmar Farid berbeda pandangan soal strategi teks para penulis menghadapi kondisi bangsa di saat ini. Fay, sapaan Hilmar Farid, menyatakan bahwa karya sastra jangan menjadi sesuatu yang sulit untuk dimaknai masyarakat.

Dia mencontohkan karya Saut Sitompul atau pun Wiji Thukul misalnya yang “berbunyi” ketika disuarakan di antara demonstrasi bahkan di kalangan rakyat kecil. Karya mereka bisa jadi berbeda ketika dibacakan oleh penyair yang berbeda, namun tetap saja "berbunyi" bagi pendengarnya.

Eka malah berpendapat bahwa teks yang verbal dan ekspresif justru tidak efektif saat ini (setelah reformasi). Dengan kata lain, Eka tampaknya ingin mengatakan bahwa diperlukan strategi bagi para sastrawan untuk estetika dan teknik penyajian yang berbeda, terutama menghadapi masyarakat yang sekarang bergelimang bahasa verbal dari kaum demonstran, aksi partai politik, ulah aparat negara, hingga teriakan dan protes dari bahasa di media massa.

Lepas dari semua pendapat itu, strategi para pengarang untuk menyajikan karya, sikap terhadap negara, komitmen sosial, dan visi di dalam karya adalah keniscayaan yang harus dijawab setiap sastrawan.

Kenyataan bahwa karya-karya akan terus lahir akan menjawab apakah karya sastra Indonesia dapat diperhitungkan dengan lahirnya penulis, gagasan, teks, dan tawaran yang serba baru.

Hal ini tentunya tak hanya berguna bagi dirinya sendiri atau bagi “tubuh sastra”, tapi juga terasa dan berguna di tengah kondisi masyarakat dan bangsa yang makin terpuruk oleh isu korupsi, lemahnya sistem peradilan, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga kekuasaan, bahkan terhadap parlemen yang kerap melukai perasaan rakyat.

Seperti salah satu lirik lagu Iwan Fals, “… di hati dan lidahmu kami berharap, janganlah takut engkau sampaikan..”, tampaknya sastrawan pun patut membaca fenomena dan “membuka hati” terhadap kondisi saat ini.

Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 29 Oktober 2011

Cerita Negeri Koruptor

-- Nofanolo Zagoto

JAKARTA – Pementasan seni "Indonesia Kita" sampai pada pemanggungan terakhirnya pada 2011. Tetap berusaha merefleksikan persoalan kebangsaan, pertunjukan berjudul "Kadal Nguntal Negoro" dimunculkan sebagai menu penutup di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat, 28-29 Oktober 2011. Kali ini tema yang dimainkan menyangkut fenomena korupsi.

KADAL NGUNTAL NEGORO. Butet Kartaredjasa (3kanan) beraksi bersama Indro Warkop (3kiri) dalam tonil musikal "Kadal Nguntal Negoro" (Korup Siji Korup Kabeh) di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (28/10). Pentas itu merupakan seri ke enam pertunjukan Indonesia Kita dengan lakon kisah satir korupsi yang digarap sutradara Agus Noor dengan musik Orkes Sinten Remen. (ANTARA/FANNY OCTAVIANUS)


Aksi panggung pertunjukan yang melibatkan Butet Kartaredjasa, Agus Noor, dan Djaduk Ferianto sebagai tim kreatif tersebut memang berupaya mendialogkan bahwa korupsi bukanlah sebuah budaya. Jadi sudah seharusnya jangan ada pembiaran. Semangat melawan keganasan dan keserakahan harus terus digulirkan, salah satunya lewat jalan kebudayaan.

Usaha itu tampak disampaikan secara terbalik. Di atas panggung dikisahkan tentang sebuah negeri yang akrab dengan korupsi. Dalam keadaan yang "aman dan tentram" itu, tiba-tiba muncul kehebohan. Seorang gubernur (Susilo Nugroho) terang-terangan mengaku jika dirinya seorang koruptor.

Dia mendatangi kantor polisi dan secara sukarela meminta agar menjalani proses hukum. Hanya saja, tindakan si Gubernur ternyata dianggap mengada-ada dan hanya sekadar mencari sensasi oleh para polisi (Gareng Rakasiwi, Joned, dan Wisben).

Namun karena tetap ngotot, si Gubernur menjalani proses hukum seperti yang diinginkannya. Akan tetapi perlakuan terhadapnya tetap istimewa. Sel tempatnya menunggu proses persidangan berhias fasilitas mewah. Tindakannya membuat para koruptor lainnya gerah. Gubernur dianggap telah menyalahi kode etik koruptor yang ada.

"Koruptor yang menjunjung tinggi kode etik korupsi pantang mengakui perbuatannya sampai titik darah penghabisan," kata pengacara si Gubernur (Indro Warkop), yang juga koruptor, saat menjenguk kliennya itu di penjara.

Sambil menunggu proses persidangan, pengacaranya mengingatkan agar si Gubernur untuk berpura-pura lupa ingatan terhadap siapa pun yang bertanya kepadanya.

Tampak seperti sudah terjadi pengaturan, semua fakta pun kemudian diputarbalikkan. Saat persidangan baru berlangsung saja, jaksa penuntut (Wisben) malah langsung menyarankan agar hakim ketua (Gareng) membebaskan Gubernur yang menjadi terdakwa.

Alasannya karena dia tidak menemukan ada pasal yang dilanggar. Pada situasi yang sama, pengacara Gubernur mengungkapkan bahwa kliennya tersebut memiliki kepribadian ganda.

Lantaran si Gubernur tetap ngotot ingin dipenjara sebagai koruptor, kasus pun kemudian dialihkan menjadi kasus perselingkuhan. Lalu sengaja dimunculkan saksi (Merlyn Sofjan) yang bekerja sebagai seorang caddy.

Karena sudah disuap oleh asisten pengacara (Dibyo Primus), sang saksi lantas berucap jika dirinya berselingkuh dengan Gubernur. Pada akhirnya karena kasus perselingkuhan inilah Gubernur dinyatakan bersalah. Kasus korupsinya malah didiamkan aparat hukum.

"Pak hakim, saya tidak pernah selingkuh. Saya ini koruptor!" si Gubernur berteriak. Namun pengakuannya itu hanya dianggap angin lalu. "Inilah hukum ketika dikuasai para kadal," katanya di balik jeruji penjara. Namun karena bukan bersalah sebagai koruptor, sel miliknya tak lagi wah.

Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 29 Oktober 2011

Thursday, October 27, 2011

Penduduk Miskin Naik 2,7 Juta

JAKARTA (Lampost): Jumlah penduduk miskin di Indonesia meningkat sekitar 2,7 juta orang dalam kurun dua tahun atau sejak 2008 hingga 2010.

Pada 2008 jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 40,4 juta orang dan pada 2010 menjadi 43,1 juta orang.

Demikian data yang dikeluarkan Perkumpulan Prakarsa, Rabu (26-10), di Jakarta. Data tersebut berbanding terbalik dengan data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS).

BPS mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia justru turun sekitar empat juta orang sejak 2008 hingga 2010, atau dari 35 juta orang menjadi 31 juta orang. "Melihat data tersebut bisa dikatakan pemerintah melakukan kebohongan dalam data statistik," ujar Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa, Setyo Budiantoro.

Setyo melanjutkan Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara yang kemiskinannya meningkat. Bahkan, Indonesia dalam hal mengurangi angka kemiskinan, lebih buruk ketimbang Laos dan Kamboja. "Ini menunjukkan pemerintah gagal dalam memerangi kemiskinan," ujar Setyo.

Menurut Setyo, lemahnya akses atau pengucilan sosial ekonomi menjadi penyebab sulitnya masyarakat bawah untuk berkembang. Penguatan ekonomi rakyat tanpa memperbaiki akses pada aset-aset produksi tidak akan membuat ekonomi beranjak terlalu jauh.

Pada kesempatan itu, peneliti Perkumpulan Prakarsa, Luhur Fajar Martha, juga mengungkapkan selain angka kemiskinan yang semakin meningkat, kesenjangan sosial juga semakin melebar.

"Penguasa ekonomi kini makin terkonsentrasi pada kelompok superkaya yang jumlahnya sangat kecil," ujar Fajar.

Indikasi kesenjangan, antara lain terlihat dari data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Data LPS pada Juli 2011 menyebutkan jumlah dana pihak ketiga perbankan mencapai Rp2.400 triliun yang disimpan hampir 100 juta rekening nasabah. Namun, 40% atau sekitar Rp1.000 triliun dari jumlah tersebut dikuasai oleh 0,04% nasabah atau 40 ribu rekening.

Pemeringkatan Investasi

Sementara itu, ekonom Econit, Hendri Saparini, menilai wacana pemeringkatan investasi merupakan strategi instan. Menurut dia, yang harus dilakukan pemerintah adalah menyusun strategi industri komprehensif ketimbang sekadar memeringkat investasi.

Ia mencontohkan sektor pertambangan dan pertanian. Pemerintah semestinya membangun industri hilir yang mampu menyerap dan mengolah bahan mentah yang dihasilkan kedua sektor hingga menjadi barang jadi.

"Jadi bukan dengan rating, pemerintah harus punya strategi, tidak hanya dilihat manfaatnya saja. Tapi yang dibicarakan dalam invetasi adalah strategi industri yang komprehensif," kata dia. (MI/U-4)

Sumber: Lampung Post, Kamis, 27 Oktober 2011

Wednesday, October 26, 2011

Kebudayaan akan Masuk Kurikulum Pendidikan

YOGYAKARTA -- Kebudayaan yang membangun karakter bangsa akan dimasukkan dalam kurikulum pendidikan, kata Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wiendu Nuryanti.

"Hal itu perlu dilakukan karena minimnya muatan kebudayaan yang terserap siswa dalam kegiatan pendidikan," katanya usai bertemu Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X di Yogyakarta, Rabu.

Menurut dia, penerapan kurikulum kebudayaan menjadi penting karena selama ini muatan kebudayaan yang masuk dalam pendidikan masih sangat terbatas.

"Minimnya akses muatan kebudayaan dalam kegiatan pendidikan tampak dari tidak adanya pilihan dalam pelajaran untuk mengambil mata pelajaran bahasa Batak dan Jawa. Begitu pula dalam ekstrakurikuler untuk menari juga belum disediakan di semua sekolah," katanya.

Oleh karena itu, pihaknya menyambut baik penyatuan pendidikan dengan kebudayaan, karena antara kedua bidang tersebut bisa terintegrasikan.

"Jika kebudayaan masuk ke kurikulum harus bersinergi dengan pendidikan. Kebudayaan dalam hal ini berarti nilai dan peradaban untuk membangun karakter bangsa dan manusia berkarakter," katanya.

Ia mengatakan untuk merealisasikan hal itu yang perlu diupayakan adalah payung yang tertinggi, yakni Undang-undang Kebudayaan, termasuk cetak biru pembangunan kebudayaan yang memuat kebijakan, strategi, dan program pembangunan kebudayaan lima tahun ke depan.

"Saya berharap cetak biru pembangunan kebudayaan 2012 sudah bisa masuk ke direktorat pendidikan. Nanti jika kebudayaan masuk dalam kurikulum, kekuatan lokal akan tumbuh subur," katanya.

Menurut dia, pada tahap awal akan dilakukan pengkajian apakah kebudayaan akan masuk dalam pelajaran pilihan atau wajib melalui kegiatan lintas budaya.

Selain itu, juga akan dikaji adanya kemungkinan pertukaran dari satu etnik ke etnik lain, dan adanya rancangan bagi siswa wajib mengunjungi museum.

"Kemungkinan yang bisa direalisasikan lebih dulu dan bisa terintegrasikan adalah siswa wajib mengunjungi museum," katanya.

Sumber: Antara, Rabu, 26 Oktober 2011

Tuesday, October 25, 2011

Wamendikbud Diminta Rumuskan Cetak Biru Kebudayaan

JAKARTA -- Anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi PKS Rohmani mendesak Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bidang kebudayaan untuk merumuskan cetak biru pembangunan budaya bangsa melalui pendidikan.

"Kami menginginkan Wamendikbud bidang kebudayaan segera bekerja merumuskan pembangunan budaya bangsa," katanya dalam penjelasan melalui surat elektronik di Jakarta, Senin.

"Selama ini kita prihatin lemahnya budaya dan karakter bangsa seperti kejujuran, etos kerja, toleransi dan lain sebagainya. Ini terjadi karena kita belum memiliki cetak biru pembangunan budaya bangsa," tambahnya.

Ia mengemukakan bahwa cetak biru pembangunan budaya bangsa itu harus memiliki target jangka pendek dan jangan panjang.

Menurut dia, jangka pendek untuk rentang waktu tiga tahun ke depan, yakni seperti apa rumusan pemerintah dalam pembanguanan karakter dan budaya bangsa.

Sedangkan untuk cetak biru budaya yang bersifat jangka panjang dibutuhkan karena pembangunan budaya bangsa itu tidak bisa instan.

"Harus melalui proses yang didukung arah dan strategi yang jelas," kata anggota DPR yang membidangi masalah pendidikan, olahraga dan kebudayaan itu.

Ia mengatakan, tugas dan tanggung jawab Wamendikbud bidang kebudayaan Wiendu Nuryanti sangat berat, terutama merumuskan strategi pembangunan budaya bangsa melalui pendidikan.

Untuk melaksanakan tugas tersebut, kata dia, Wamendikbud bidang kebudayaan harus memiliki tim kerja yang handal dan menguasai persoalan kebudayaan nasional.

Melihat rekam jejak Wamendikbud, Rohmani khawatir bila tugas tersebut tidak bisa dilaksanakan dengan baik.

"Kami sudah pelajari dan diskusikan tentang peran starategis tugas Wamendikbud ini. Bukan persoalan yang mudah dan sederhana. Untuk itu perlu aktor yang menguasai persoalan dan mampu berpikir strategis merumuskan solusinya," ujarnya.

"Kami sudah mendapat masukan bila jam terbang beliau masih minim dalam perumusan budaya nonfisik. Selama ini beliau lebih banyak berkiprah pada pengembangan budaya dalam artian fisik. Padahal ketertinggalan kita ada pada budaya non-fisik. Logis bila kami ada kekhawatiran bila tugas merumuskan dan membangun budaya bangsa tidak bisa diselesaiakan," ucapnya.

Rohmani mengatakan bahwa selama ini pemerintah belum memiliki strategi yang tepat dalam membangun karakter dan budaya melalui pendidikan.

"Selama ini budaya dipahami sangat sempit oleh pemerintah. Bahkan beberapa waktu lalu budaya hanya dijadikan objek untuk kepentingan ekonomis. Sehingga perhatian pemerintah hanya pada budaya-budaya fisik seperti karya seni, bangunan dan benda-benda purbakala," katanya.

Sumber: Antara, Selasa, 25 Oktober 2011

[Obituari] Titie Said: "Saya Harus Meresensi Buku Puisimu, Linda!"

-- Linda Djalil

KATA-KATA adalah niat, dan janji. Titie Said, penulis handal, wartawan dan sempat pula menjadi ketua Badan Sensor Film Indonesia itu, kira-kira satu setengah bulan lalu berkata kepada saya, “Luar biasa puisi-puisi kamu. Saya harus meresensi buku puisimu, Linda! Tapi harus dengan versi saya ya? Nanti tante kirim ke koran Kompas saja ya Lin?” ujarnya.

Titie Said

Saat itu kami duduk bersebelahan di Bentara Budaya seberang kantor Kompas, saat ada acara peluncuran buku. Saya peluk lengannya yang gempal. Dia memeluk saya lama sekali. Entah mengapa, ibu yang satu ini tiba-tiba saja memberikan kehangatan yang luar biasa siang itu. Ada perasaan berkecamuk di dada, yang entah apa namanya, saya sendiri tidak bisa mengartikannya.

Lalu, Titie Said kembali membuka-buka buku kumpulan puisi jurnalistik saya, “Cintaku Lewat Kripik Blado” yang diterbitkan oleh penerbit Kompas bulan Juni silam. Beberapa judul dibaca cepat. Lalu geleng-geleng kepala. “Kamu betul-betul sastrawan, Linda. Permainan katamu luar biasa. Tante pikir, kamu hanya wartawan jagoan. Tahunya kamu penulis fiksi yang sangat baik,” ujarnya lagi.

Saya cubiti lengannya berkali-kali. “Uh, bisanya ya ngono, tante! Asal muasal saya kan memang dari Fakultas Sastra UI, Sastra Indonesia. Lagipula, sastrawan apa’an tante? Sastrawan ngasal? Jadi wartawan kan karena kesasar lho..hahahaa…!”

Lalu kami tergelak bersama. Saya juga menganjurkan Titie Said untuk sesekali menulis di Kompasiana. Saya jelaskan juga buku kumpulan puisi jurnalistik itu adalah hasil tulisan saya sehari-hari dari dunia maya Kompasiana. “Masuknya bagaimana? Syaratnya apa?” tanyanya penuh minat.

Lalu saya ceritakan mudahnya masuk, dan beranekanya kita bisa menulis topik apa saja. ”Banyak anak muda pandai-pandai di Kompasiana. Dari luar kota, bahkan luar negeri. Mereka menulis dengan semangat. Kalau tante masuk, tentu kami banyak belajar dari tante. Tidak dibayar, dan tidak membayar” ujar saya lagi panjang lebar. Lalu kami tertawa-tawa lagi bersama. Katanya lagi, “Ok..ok… Kompasiana ya Lin? Ntar tante buka deh di rumah!”

Beberapa minggu setelah itu, saya sempat terpikir, apa kabar Titie Said? Kapan resensi buku itu akan dikirim ya? Tapi untuk menghubunginya rasanya terbesit segan. Nanti dikira saya terlalu mendorongnya menodong naskah itu. Untuk meresensi hasil karya sendiri, yang dilakukan oleh orang lain, tentu harus mengikuti situasi kondisi orang yang bersangkutan. Tidak boleh dipaksa.

Lalu muncul berita itu. Titie Said, yang saya sebut selalu ‘tante’ itu, dipanggil Sang Kekasih. Rumah Sakit Medistra adalah tempat nafas terakhirnya, dari awal perjalanan hidupnya sejak 11 Juli 1935. Ia meninggal karena stroke. Terlintas dalam bayangan saya, saat di Bentara Budaya ia mengambil makan siangnya dalam satu piring penuh, ditambah kue-kue manis sebagai pelengkapnya. Sempat saya tanya, “Hayo tante…, umur segini makan dibatasi lho…!” - ia hanya tertawa lebar sambil menikmati isi piringnya.

Titie Said adalah aset Indonesia. Betapa tidak. Hidupnya senantiasa disumbangkan bagi kecerdasan bangsa. Berapa banyak sudah wanita Indonesia yang membaca majalah Kartini, hampir tiap penerbitannya membaca berbagai hasil karya Titie Said. Cerita bersambungnya, ”Jangan Ambil Nyawaku” selalu ditunggu-tunggu kaum wanita, dan membuat bulu kuduk merinding. Saya ingat, sebelum karya itu dibukukan sebagai novel, saya membacanya di Rumah Sakit Carolus sambil terbaring di tempat tidur. Betapa cerita “Jangan Ambil Nyawaku” mengerikan, menyedihkan, tapi sekaligus memberikan semangat bagi orang-orang yang sedang menderita sakit. Air mata saya bergulir di dalam kamar Rumah Sakit yang hening. Majalah Kartini itu saya simpan di samping bantal. Saya juga ingat bagaimana seorang suster Rumah Sakit memergoki saya sedang menangis membaca cerita Titie Said itu, lalu saya katakan, “Iya suster…, yang ngarang cerita ini luar biasa sekali. Sepertinya cerita ini betulan. Padahal ini kan hanya fiksi”

Novel hasil karya wanita yang nama aslinya Sitti Raya Kusumawardani ini memang sudah puluhan yang diterbitkan. Tahun ‘60 an juga sudah muncul kumpulan cerpennya. Sebagian naskahnya sempat musnah bersama harta berharga, mangkok antik, dokumentasi pribadi, foto-foto kenangan, saat rumahnya yang luas di atas tanah 1200 m2 itu dilalap api beberapa tahun silam. Sebagaimana penggambaran tokoh hebat dalam novel “Jangan Ambil Nyawaku”, Titie Said menghadang petaka itu dengan ketegaran yang mencengangkan. Ya, ia memang wanita Indonesia yang luar biasa. Janjinya kepada saya, untuk meresensi buku puisi saya, entah sudah sempat dibuat atau belum, buat saya tidak masalah. Yang penting, makna terbesar adalah ia sempat memberikan apresiasi atas hasil karya saya dengan tulus, dan menginginkan sebuah resensinya dari tangannya sendiri. Bahwa itikad itu tak tersampaikan, tentu semua karena ketentuan Allah semata-mata.

Selamat jalan, tante Titie Said…….. , peluklah dia ya Allah…. peluklah dia dengan segenap cinta….

Sumber: Oase Kompas.com, Selasa, 25 Oktober 2011

Monday, October 24, 2011

Pemuda Indonesia Harus Kuasai Tiga Bahasa

JAKARTA -- Pemuda Indonesia diharapkan menguasai paling tidak tiga bahasa untuk dapat bersaing di dunia internasional.

Hal tersebut disampaikan oleh Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan dalam acara penganugrahan Beasiswa BMW di Kampus Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta, Senin.

"Anak-anak muda Indonesia paling tidak harus bisa tiga bahasa. Bahasa daerah, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris, atau bahasa asing lainnya seperti Bahasa Mandarin atau Arab," kata Anies.

Menurut Anies, dengan menguasai tiga bahasa tersebut, pemuda Indonesia tidak akan kehilangan akar budayanya sekaligus mempunyai alat untuk menjadi bagian dari dunia.

"Kita mempunyai potensi untuk itu karena orang Indonesia bisa berbahasa banyak (bahasa daerah) sebetulnya," kata Anies.

Jika mempunyai kompetensi bahasa, maka kemampuan yang dimiliki pemuda Indonesia bisa dieskpresikan, kata Anies.

"Coba pemuda tidak bisa Inggris dibawa ke Singapura. Tidak akan kelihatan kalau dia pintar. Tidak akan kelihatan potensinya. Oleh karena itu, saya menganggap kenapa tiga bahasa itu sangatlah penting." Kata Anies setelah menyerahkan beasiswa BMW kepada tiga mahasiswa Universitas Paramadina.

Dalam kesempatan itu, BMW menganugrahkan beasiswa kepada Tiga mahasiswa pascasarjana Program Studi Komunikasi dan Studi Bisnis Universitas Paramadina terpilih dalam program BMW Indonesia Research and Technology Scholarship (Beasiswa Riset dan Teknologi)

Beasiswa selama empat semester tersebut diserahkan kepada Dyah Sulistyorini (LKBN ANTARA) dan Muhammad Nurgahmi Budiarto (Tribunnews) yang berprofesi sebagai wartawan, serta Muhammad Makmun di Kampus Pasca Sarjana Universitas Paramadina, Jakarta, Senin.

"Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan daya saing merupakan salah satu pilar Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia yang diumumkan pemerintah awal tahun ini. BMW, sebagai produsen mobil mewah terbesar di dunia dalam enam tahun terakhir, sangat memahami apa yang diperlukan sebuah perusahaan untuk tetap berada sebagai yang terdepan, yakni sumber daya yang terampil dan profesional," kata Presiden Direktur BMW Indonesia Ramesh Divyanathan.

Program beasiswa ini bertujuan untuk memupuk bakat para generasi muda yang merupakan calon pemimpin bangsa, bukan hanya sebatas membekali mereka untuk bisa tampil di skala nasional melainkan juga memiliki rasa percaya diri serta ketrampilan yang diperlukan untuk menghadapi persaingan global, kata Divyanathan.(Antara)

Sumber: Antara, Senin, 24 Oktober 2011

Bahasa Indonesia Berpeluang Jadi Bahasa ASEAN

KEMUNGKINAN Bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi kedua di lingkup ASEAN setelah bahasa Inggris semakin membesar dengan semakin banyaknya peminat bahasa ini di ASEAN, termasuk Filipina.

"Selamat pagi bapak-bapak dan ibu-ibu, selamat datang di Filipina. Apa kabar anda semua?" kata Sekretaris Kepresidenan Filipina untuk Bidang Komunikasi, Herminio B. Coloma, Jr. saat membuka Forum Media BIMP-EAGA (Brunei-Indonesia-Malaysia-Philippnies/East Asia Growth Area) di Cagayan de Oro, Mindanao, Flipina Selatan, baru-baru ini.

Coloma melontarkan kalimat-kalimat tersebut dalam Bahasa Indonesia yang fasih sebelum menggunakan Bahasa Inggris kepada para peserta forum dari Brunei, Indonesia, Malaysia dan Filipina yang diselenggarakan paralel dengan pertemuan tingkat menteri ke-16 BIMP-EAGA di kota ini.

Coloma yang jabatannya setingkat menteri dalam kabinet Pemerintah Filipina itu menyatakan BIMP-EAGA yang dibentuk pada 1994 itu akhir-akhir ini semakin berbentuk sebagai sebuah pusat pertumbuhan bersama bagi negara-negara yang terlibat di dalamnya.

BIMP-EAGA adalah mata uji bagi sukses integrasi ASEAN secara keseluruhan sehingga diharapkan wadah kerjasama ini berjalan baik.

Dalam penjelasannya kepada ANTARA, Drs. Soehardi MBA dari Kantor Informasi Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Davao, Provinsi Mindanao, akhir-akhir ini jumlah warga Filipina yang datang ke KJRI untuk belajar Bahasa Indonesia semakin meningkat.

Soehardi menyatakan ada kesadaran di kalangan warga Filipina, khususnya kawasan selatan negara ini, bahwa Bahasa Indonesia dimengerti dan digunakan oleh sedikitnya empat negara anggota ASEAN, yaitu Brunei, Malaysia, Singapura dan Thailand (selatan).

Selain iktu, warga Kamboja, Laos dan Vietnam dari suku Champ juga memahami bahasa Melayu.

"Bahasa Indonesia dipandang menarik dan penting karena penggunanya berkisar 350 juta orang di kawasan ASEAN," kata Soehardi. n

Sumber: Antara, Senin, 24 Oktober 2011

Novelis Titie Said Meninggal

-- Jodhi Yudono

JAKARTA, KOMPAS.com--Penulis novel dan mantan Ketua Lembaga Sensor Film Titie Said wafat, Senin (24/10) malam. Titie meninggal di RS Medistra Jakarta pada pukul 18.45 WIB.

Titie Said

Menurut rekan sejawat almarhumah yang juga anggota Lembaga Sensor Film, Firman Bintang, Titie masuk rumah sakit Medistra tanggal 9 Oktober lalu dan langsung masuk ICU, karena stroke.

Di mata Firman, Titie Said bukan hanya sebagai kawan, tapi juga sebagai seorang ibu dan kakak yang menyenangkan. Menurut Firman, ada satu permintaan almarhumah kepadanya. "Ibu Titie Said meminta saya untuk membuat film dari novel karya beliau, "Jangan Ambil Nyawaku". Karena menurut Bu Titie, ceritanya aktual, mengenai penyakit kanker. Tapi beliau keburu sakit, beliau langsung strooke dan langsung koma," ujar Firman saat dihubungi melalui telepon, Senin malam.

Saat ini, almarhumah Titie masih berada di RS Medistra dan menurut rencana akan dibawa ke rumah duka di Jalan Pejaten Raya Nomor 28 Jakarta Selatan.

Titie Said lahir di Bojonegoro, Jawa Timur, 11 Juli 1935. Penrah menjabat sebagai Ketua Lembaga Sensor Film dua periode 2003-2006, 2006-2009). Tahun 2009 hingga sekarang, Titie tercatat sebagai anggota Lembaga Sensor Film. Lulusan sarjana muda Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1959 ini pernah menjadi redaktur majalah Kartini dan memimpin majalah Famili.

Titie telah menulis 25 novel hingga tahun 2008. Beberapa novel karya Titie, antara lain Jangan Ambil Nyawaku (1977), Reinkarnasi, Fatima, Ke Ujung Dunia, dan Prahara Cinta (2008). Sedangkan kumpulan cerita pendeknya adalah Perjuangan dan Hati Perempuan (1962).

Sumber: Oase Kompas.com, Senin, 24 Oktober 2011

Sunday, October 23, 2011

[Buku] Menakar Optimisme Hitler

Judul Buku: Ardennes 1944, Pertaruhan Terakhir Hitler

Penulis: James R. Arnold

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta

Cetakan: Pertama, September 2011

Tebal: VIII + 120 halaman

AWAL Perang Dunia II, nama Hitler moncer. Eropa mampu ia kuasai. Sumber daya Lembah Ruhr yang legendaris itu mampu ia sulap menjadi pabrik yang tak henti beroperasi. Sistem persenjataan yang baik didukung kampanye keunggulan ras Arya membuat Hitler menjadi penguasa baru Eropa.

Nama-nama jenderal perangnya pun terkenal dan menggentarkan lawan-lawan di medan laga. Dari jago tank dan penemu blitzkrieg Jenderal Heinz Guderian sampai rubah gurun dalam perang di Afrika Utara, Jenderal Erwin Rommel.

Sekutu-sekutunya semisal Italia dan Jepang juga menjadi sejawat yang karib demi menjaga kaisar dunia. Hitler memang luar biasa. Tekadnya yang kuat menjadi penguasa baru dunia tecermin dalam optimismenya dalam setiap strategi.

Sayang, menjelang akhir Perang Dunia II, roda pedati terbalik. Tidak ada lagi kisah pasukan akbar Hitler merangsek ke tanah Eropa sampai ratusan ribu tentara Inggris terbirit-birit pulang dari pelabuhan Dunkirk. Tak ada juga kehebatan tank Jerman sehingga dijuluki bak sekelebatan sinar blitz. Hitler pongah.

Optimismenya berlebihan. Semua saran panglima perangnya tak ia hiraukan. Ia bahkan paranoid dengan orang-orang dekatnya sampai seorang Erwin Rommel ia paksa minum racun sampai mati.

Ardennes

Di Ardennes inilah titik balik Hitler berlaku. Di saat setiap hari 7.000 pasukannya gugur di medan tempur, ia masih optimistis Jerman masih bisa bertahan. Di tengah pemaparan Generalfieldmarschall Gerd von Rundstedt sebagai komandan front Barat, Hitler tak ambil pusing.

Hitler malah mengambil alih. Inilah gaya konservatif seorang Fuehrer. Hitler menginstruksikan untuk membawa pasukan menyerang Ardennes. Rundstedt diam. Dalam hati ia berujar, "Antwerp? Kalau bisa mencapai Meuse saja, kita harus berlutut dan berterima kasih kepada Tuhan."

Namun, Hitler bergeming. Ia percaya naluri militernya mengatakan kemenangan masih bisa diperoleh. Hitler mengatakan penyerangan yang dilakukan pada cuaca buruk untuk menetralkan serangan udara Sekutu.

Hitler yakin Sekutu akan lambat membalas karena the allies mesti mengatur rencana terlebih dulu. Hitler merasa yakin serangan kilat kejutan yang didukung satuan komando khusus akan menyebabkan teror dan menghancurkan Sekutu di Ardennes. Dan yang terjadi pun antiklimaks.

Tanggal 26 Desember 1944 adalah titik balik. Jerman beruapa mengisolasi Bastogne, tapi usaha Von Manteuffel gagal. Ia mau mundur. Kelambanan cara bertindak Hitler membuat pasukan baru mundur pada 8 Januari tahun berikutnya. Pasukan Sekutu terus masuk.

Pasukan Ketiga Patton dan Pasukan Pertana Hodges bertemu di timur laut Bastogne. Mereka kemudian masuk ke Rhein di Remagen. Korban pertempuran Bulge di pihak Amerika lebih dari 10 ribu tewas, 47 ribu luka-luka, dan 23 ribu hilang. Di Jerman, jelas lebih banyak. Pasukan Amerika cepat menggantikan yang hilang, sementara Jerman tidak bisa melakukan itu.

Welly Adi Tirta, pembaca buku

Sumber: Lampung Post, Minggu, 23 Oktober 2011

Sumpah Pemuda sebagai Pucuk Kebudayaan

-- Musa Ismail

MARI kita memahami kembali Sumpah Pemuda!!

Kami putra dan putri Indonesia
Mengaku berbangsa satu, Bangsa Indonesia
Kami putra dan putri Indonesia
Mengaku bertanah air yang satu, Tanah Air Indonesia ,
Kami putra dan putri Indonesia
Menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia

Negara merupakan organisasi besar. Sebagai organisasi, negara harus memiliki visi agung. Nah, secara organisasi, Sumpah Pemuda adalah visi agung itu. Secara sastra, penulis setuju dengan pandangan Sutardji Calzoum Bachri bahwa Sumpah Pemuda merupakan karya sastra berbentuk puisi yang luar biasa. Metafora, kepadatan makna, nilai-nilai, diksi, dan persajakan bergejolak penuh semangat dalam teks bersejarah tersebut. Lahirnya puisi dan visi agung ini berlatar sejarah penderitaan bangsa Indonesia. Pemuda ketika itu memahami dengan sekali akan latar belakang kemajemukan bangsa ini. Mereka pun mengerti benar dengan kekuatan multikultural sehingga berhasil menghimpun energi pergolakan dan pendobrakan yang cerdas.

Selain peristiwa bersejarah dan heroik, kelahiran Sumpah Pemuda juga merupakan pucuk kebudayaan Indonesia. Pucuk kebudayaan Indonesia yang energik dari peristiwa ini adalah nilai persatuan. Akumulasi kultur etnik yang terhimpun melalui gejolak kebudayaan ketika itu merupakan hasrat untuk mengubah peradaban bangsa. Peradaban ini tentunya melalui proses panjang perjuangan. Semangat politik dari peristiwa 28 Oktober 1928 itu sekaligus merupakan suatu peristiwa kebudayaan. Peristiwa inilah sebenarnya merupakan sagang utama dalam membentuk dan menghidupkan aktivitas kebudayaan dalam peristiwa-peristiwa penting pada tahun-tahun berikutnya. Inilah tonggak politik dan budaya dalam mendirikan Indonesia. Mahayana mengatakan, selepas peristiwa itu, berbagai puak dengan keanekaragaman kultur dan bahasanya, dipersatukan melalui klaim kesadaran adanya persamaan tanah air (wilayah), persamaan nasib bangsa yang terjajah, dan persamaan menggunakan alat komunikasi antar-etnik (bahasa). Klaim kesadaran keindonesiaan para pemuda itu dalam konteks kebangsaan yang lebih bersifat politis. Dalam lampiran hasil keputusan kongres itu, dinyatakan bahwa dasar persatuan Indonesia itu dilandasi kesamaan semangat �kemauan, sejarah, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan.�

Bertanah air Indonesia, berbangsa Indonesia, dan berbahasa Indonesia bukan hanya konteks politis. Jauh dari itu, sebenarnya, inilah pucuk kebudayaan yang patut kita kontemplasi kembali nilai-nilai karakternya. Inilah jatidiri bangsa Indonesia yang tidak sepantasnya hanya menghiasi dinding-dinding sekolah. Jatidiri inilah yang kian tergerus oleh terjangan globalisasi. Namun, kita tidak patut menyalahkan globalisasi, tetapi harus dijadikan peluang besar untuk memperkuat kembali jatidiri tersebut. Inilah pucuk kebudayaan Indonesia yang patut dipertahankan, dibina, dan dikembangkan.

Bahasa (Melayu) Indonesia
Secara historis, etnis Melayu Riau berperanan sangat penting dalam khazanah pucuk kebudayaan. Bahasa Indonesia sebagai salah satu pucuk kebudayaan Indonesia itu lahir, tumbuh, dan berkembang dari Riau. Artinya, Riau sebagai pusat kebudayaan sekaligus sebagai pucuk kebudayaan yang berfungsi pula sebagai perekat demi keutuhan tanah air. Jauh sebelum Sumpah Pemuda, bahasa Melayu telah menjadi lingua franca bagi penduduk di wilayah Nusantara. Secara de facto, bahasa Melayu sudah menjadi alat komunikasi antar-etnis, sekaligus juga sebagai sarana untuk saling mengenal keberagaman kultur etnik. Bahasa Melayu Riau dalam Sumpah Pemuda telah terbukti dan teruji berhasil menyebatikan hakikat multikultur di negara ini.

Dalam perjalanan kesastraan, peranan bahasa Melayu tidak bisa ditepis. Catatan kebudayaan, khususnya kesastraan tersemat bergeliga di ujung pena para pujangga Melayu ketika Kerajaan Johor-Riau-Lingga. Ini merupakan bukti bahwa bahasa Melayu sangat dinamis dalam permainan estetika kesusastraan. Bahasa yang sederhana ini mampu masuk menusuk sehingga diterima oleh nusantara, bahkan mancanegara. Karya-karya besar dalam sejarah Melayu menjadi monumen yang tidak bisa digerus zaman. Hingga kini, perbincangan sastra Melayu terus saja menghangat.

Ketika bahasa Melayu berubah menjadi bahasa Indonesia, karya-karya besar berbahasa Indonesia pun mengusung resa. Keranggian bahasa Melayu tetap saja menghiasi diksi-diksi penulisan kesastraan. Lalu, kedudukan bahasa Indonesia ini pun melangit. Namun, sebagian besar bangsa ini terkesan masih gengsi untuk berbahasa (Melayu) Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kita berada di pasar, baik di desa maupun di kota, terkesan bahwa kita bukan berada di desa atau di kota tanah air, tetapi seperti berada nun jauh di Eropa. Bahasa bernuansa Eropa sudah mengotori kesucian bahasa (Melayu) Indonesia. Bahkan, tidak sedikit pejabat negara atau negeri ini justru dengan bangga berbahasa asing gado-gado daripada berbahasa Indonesia secara utuh. Fenomena ini perlu diantisipasi dengan cepat agar jatidiri dan identitas bangsa ini tidak semakin luntur.

��Menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia�� merupakan suatu kesetiaan, kebanggaan, karakter, dan sikap terpuji. Inilah suatu tanda bahwa bangsa Indonesia patut membangun kebudayaan sendiri dengan nilai-nilai bangsanya sendiri. Penekanan bahasa Indonesia pada teks Sumpah Pemuda merupakan suatu visi agung yang belum tercapai secara bulat. Di sana sini, keberadaan bahasa Indonesia masih dililit dilema, baik dari segi pemakaian, pemakai, EyD, maupun sikap bangsa ini. Makna ini sesungguhnya menyanggah apa yang dikatakan Sutan Takdir Alisjahbana dalam Polemik Kebudayaan, bahwa kebudayaan tradisional mesti ditempatkan sebagai masa lalu. Secara eksplisit dikatakannya: masa lalu sudah mati semati-matinya!

Bahasa Indonesia adalah kebudayaan bernas bangsa Indonesia. Sebagai wahana kebudayaan, bahasa Indonesia lahir untuk pemersatu bangsa. Hingga kini, keberadaan bahasa ini sudah teruji. Melalui sifatnya yang dinamis dan adaptif, bahasa Indonesia mampu menyesuaikan diri dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Dengan demikian, sudah tentu akan mampu juga dalam hal mengembangkan dan membina dinamika kebudayaan Indonesia secara universal. Di sinilah letak fungsi Sumpah Pemuda sebagai pucuk kebudayaan Indonesia.

Banyak sekali polemik tentang kebudayaan Indonesia. Kita masih saja berkutat pada hakikat kebudayaan nasional Indonesia. Pucuk-pucuk kebudayaan Indonesia dapat kita gali melalui visi agung Sumpah Pemuda dengan penjabaran yang sistematis dan terperinci. Nilai teragung sebagai hati dari kebudayaan nasional Indonesia adalah persatuan dan kesatuan. Nilai inilah yang diamanatkan dalam teks Sumpah Pemuda itu. Bahasa Indonesia tetaplah sebagai bahasa Indonesia, bukan lagi bahasa Melayu dalam arti sempit. Eksistensi bahasa Indonesia terus saja beradaptasi dengan ilmu dan teknologi.

Bangsa ini harus segera bangun dari ketidaksadarannya. Kita merupakan bangsa yang multikulturalisme. Karena itu, kita hidup dalam keanekaragaman ideologi, agama, suku bangsa, dan budaya. Melalui pemahaman dan kesadaran visi agung itu, kita seharusnya dapat menempatkan perbedaan dalam kerangka kesetaraan derajat. Semangat multikulturalisme selayaknya mengobarkan resa kebhinnekatunggalikaan seperti termuat dalam jiwa teks bersejarah itu. Kenyataan terkini, justru tidak sedikit dari kita termakan sumpah sendiri.

Kita kembali mempersoalkan kepedulian terhadap bahasa Indonesia. Sudah seperti apa upaya pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia? Seperti apa pula sikap bangsa ini terhadap bahasanya sendiri? Jika kita kaitkan dengan kenyataan, maka akan kita temukan realitas-ironis terhadap bahasa Indonesia. Media massa (elektronik maupun cetak) pun masih merasa bangga menggunakan judul utama dengan bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Kalau sikap orang terdidik saja kurang peduli dengan hal ini, apalagi masyarakat umum seperti para pedagang? Di media elektronik, hanya ada dua acara berkaitan dengan bahasa Indonesia, yaitu kuis Main Kata di teve Global dan Binar (Bahasa Indonesia yang benar) di TVRI. Namun, dua program ini tidak seimbang jika dibandingkan dengan sikap kekurangpedulian media cetak dan elektronik terhadap pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia. Sementara itu, di koran/majalah masih banyak mengutamakan judul utama dengan bahasa Inggris. Misalnya, Save the Earth.

Momen Anugerah Sagang dan Festival Penyair
Konsistensi Yayasan Sagang memberikan Anugerah Sagang kepada yang terpilih setiap tahun merupakan salah satu bentuk sokongan terhadap pucuk kebudayaan. Demikian pula dengan Festival Penyair Korea-ASEAN 2011 (Korea-ASEAN Poets Literature Festival 2011) yang dilaksanakan di Pekanbaru, Riau. Saya katakan ini sebagai momen penyokong pucuk kebudayaan nasional Indonesia karena helat ini bisa menjadi punca kegairahan resa-budaya. Para penyair terpilih, penyair/sastrawan/seniman partisipan, dan budayawan berperan penting dalam helat ini dalam kaitannya dengan pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional Indonesia. Helat ini juga bisa menjadi wahana promosi terhadap kebudayaan nasional Indonesia, terutama melalui sisi kesastraan dan seni pada umumnya.

Sebagai Bulan Bahasa, Oktober bersejarah ini sudah selayaknya dikemas kembali dengan praktikum sastra. Sekedar bernostalgia. Ketika saya masih kuliah (antara 1990 -1995) kegiatan praktikum sastra masih bergema pada setiap Oktober. Beberapa universitas di bumi Melayu ini menghidupkan dengan berbagai kegiatan sayembara seperti pembacaan syair dan puisi, penulisan puisi dan cerpen serta diskusi ilmiah mengenai kesusastraan. Tradisi yang sangat efektif dan membangun ini mengapa hilang ditelan waktu. Apakah ini suatu pertanda bahwa generasi bangsa ini sudah kurang peduli dengan kesastraan? Akan menjadi sangat aneh jika terjadi generasi tanpa sastra!

Sumpah Pemuda yang dilahirkan pada masa perjuangan bukanlah sekedar semboyan usang. Nilai-nilai patriotis, persatuan, dan kebersamaan di dalamnya begitu berharga jika kita bandingkan dengan kondisi Indonesia saat ini. Di beberapa daerah, nilai-nilai tersebut mulai tercabik-cabik. Keberadaan nilai-nilai Sumpah Pemuda sama halnya dengan Pancasila yang mulai terlupakan sebagai karakter bangsa Indonesia. Namun, jika dibandingkan intensitasnya, nasib Pancasila masih lumayan elok karena selalu dibacakan pada setiap Senin meskipun dengan jiwa yang kosong. Sedangkan Sumpah Pemuda?

"Berbangsa yang satu, bertanah air satu, dan berbahasa satu" bukan hanya dasar pembangunan. Bukan pula puncak kebudayaan. Namun, nilai-nilai di dalamnya merupakan pucuk-pucuk kebudayaan. Dikatakan demikian karena dari peristiwa bersejarah inilah seharusnya kita mengangkat, membina, dan mengembangkan kebudayaan nasional Indonesia secara menyeluruh. Sudah saatnya kita, terutama generasi muda berbalik ke titik awal untuk mengimplikasikan sumpahnya dalam tatanan kebudayaan nasional Indonesia.

Musa Ismail, guru Bahasa Indonesia SMAN 3 Bengkalis, sedang belajar di Pascasarjana Manajemen Pendidikan Universitas Riau.

Sumber: Riau Pos, 23 Oktober 2011

Tolstoy dan Refleksi Ketuhanan

-- Delvi Yandra


"Ketika sastra memiliki seorang Tolstoy, menjadi penulis itu mudah dan menyenangkan; bahkan bila kita tahu bahwa kita sendiri tidak mencapai hasil apa-apa, itu tidak menjadi masalah karena Tolstoy yang berprestasi untuk kita semua. Apa yang dilakukannya berguna untuk membenarkan semua harapan dan aspirasi yang ditanamkan dalam sastra." (Anton Chekhov)


Di Mana Ada Cinta, di Sana Tuhan Ada
. Begitulah Lev Nikolayevich Tolstoy atau dikenal sebagai Leo Tolstoy (1828-1910), seorang sastrawan Rusia abad ke-19 menuliskan ceritanya yang penuh dengan nuansa religius dan sarat dengan perenungan moral dan filsafat di dalam sebuah buku kumpulan cerita pendek.

Banyak karyanya bercorak realis. Pemikir sosial dan moral yang terkenal pada masanya ini, memiliki gagasan-gagasan yang kontroversial dan tak lazim. Dia sering dicap sebagai anarkis oleh kaum puritan.

Yang paling fenomenal adalah dua bukunya yang mencapai puncak fiksi realistik yaitu Perang dan Damai dan Anna Karenina. Selanjutnya, melalui karyanya Kerajaan Allah Ada di Dalam Dirimu, dia memberikan gagasan-gagasan tentang perlawanan tanpa kekerasan yang pada gilirannya memengaruhi tokoh-tokoh abad ke-20 seperti Mahatma Gandhi dan Martin Luther King Jr.

Di dalam kumpulan Di Mana Ada Cintad di Sana Tuhan Ada terdapat sebanyak lima cerita terbaik yang nyaris semuanya bernuansa religius. Pencarian Leo Tolstoy dalam menuliskan cerita sangat menyentuh dan penuh cinta spiritual. Di dalamnya, dijelaskan betapa mengasihi sesama adalah kebajikan mulia dan hanya melalui pengabdian tulus kepada sesama-lah manusia dapat meraih kebahagiaan sejati.

Lihat saja cerita berjudul Di Mana Ada Cinta, di Sana Tuhan Ada. Melalui Martin Avdeich si perajin sepatu yang tinggal di sebuah ruang bawah tanah dengan satu jendela, Tolstoy menunjukkan kecamuk dalam diri Martin yang tidak dapat menerima keadaan Kapiton yang meninggal setelah jatuh sakit dan merana selama seminggu. Dia mengeluh kepada Sang Pencipta dan berharap agar nyawanya saja yang diambil ketimbang anaknya, Kapiton.

Martin juga mengeluh kepada seorang lelaki tua berperawakan kecil yang datang dari Biara Trinitas. Sekali lagi dia katakan bahwa dia ingin mati. Tetapi lelaki tua itu seperti seberkas cahaya penerang yang datang kepada Martin untuk menjelaskan betapa manusia harus hidup untuk Tuhan, Tuhan yang memberi hidup, demi kuasa Tuhan maka manusia hidup sehingga manusia tidak akan berduka demi apapun dan segalanya terasa mudah.

Setelah mendengarkan saran dari lelaki tua itu, Martin lantas membeli sebuah Alkitab dan membacanya. Dari sana, Martin menemukan perenungan dan hakikat keimanan yang sebenarnya. Kehidupannya menjadi semakin tenang, dan dia mulai ikhlas melepaskan Kapiton. Alkitab senantiasa dibaca dan dihayatinya dengan lebih dalam. Pada suatu kesempatan, Martin bermimpi. Di dalam mimpi tersebut, Martin mendengarkan sesuara yang menyerukan agar besok dia melihat ke arah jalan melalui jendela ruang bawah tanahnya.

Martin tidak mengerti maksud dari mimpinya itu. Hari berikutnya, pelbagai kejadian yang tidak disengaja membuat Martin semakin dekat dengan keimanan. Rasa kemanusiaan lekas ditunjukkannya kepada siapa saja yang mengalami kesulitan. Melalui jendelanya, Martin melihat orang-orang lewat silih berganti. Sambil mengerjakan sepatu, Martin melihat manusia yang sedang kesusahan, kejadian-kejadian itu muncul dalam pelbagai bentuk.

Karena hal itu, Tuhan secara tidak langsung memerintahkan agar berbuat baik kepada sesama jika ingin "bertemu Tuhan".

Demikian Leo Tolstoy, sangat piawai meramu kisah cinta spiritual. Kisah-kisah lainnya seperti Tuhan Tahu, tapi Menunggu, Tiga Pertapa, Majikan dan Pelayan, dan Dua Lelaki Tua terangkum dalam satu kumpulan cerita dengan judul yang sama, Di Mana Ada Cinta, di Sana Tuhan Ada.

Dikisahkan oleh maestro sastra dunia ini, tak hanya sebagai pelipur kesedihan tetapi juga mencerahkan jiwa, betapa Tuhan sangat dekat meraih tangan-tangan kita.

Selamat membaca!

Delvi Yandra, Penyuka buku, menulis puisi, cerpen dan sedikit terjemahan

Sumber: Riau Pos, 23 Oktober 2011

Saturday, October 22, 2011

Revolusi Membersit di Lembar Potret

OBJEK di dalam potret berkisah tentang segalanya. Kekuatan potret bahkan tak hilang ketika fotografernya tiada. Apalagi, bila si fotografer ikut memotret sebuah perubahan sosial dalam sebuah negara.

Seorang anak berdiri mengenakan topi berbalut kain khas Meksiko sedang berada di depan pohon kaktus. Seorang pengunjung bisa saja mengira kalau kaktus adalah salah satu tanda untuk sosio-geografi wilayah di Meksiko.

Kita bisa juga mengira kalau anak sebagai simbol yang coba didekatkan dengan kaktus. Namun, makna yang sebenarnya pun diungkapkan,

“Kaktus adalah makanan di Meksiko. Foto ini mengingatkan pada apa yang saya dan keluarga lakukan. Pohon kaktus enak dan bergizi tinggi,” papar Atase Kebudayaan dari Kedutaan Besar Meksiko, Jessy Otero, dalam percakapan beberapa jam menjelang pameran di Italiano di Cultura, Jakarta (18/10).

Duta Besar Meksiko untuk Indonesia H E Melba Pria mengatakan pada pameran ini, setiap orang dapat menemukan Meksiko dari cara pandang artis kelahiran Italia yang memulai lewat perjalanan pribadinya lengkap dengan objek, teknik, dan keterlibatannya di negeri itu.

Tina Modotti adalah warga Italia yang berimigrasi ke Amerika pada usia 17. Ia tinggal di Meksiko selama beberapa tahun dan berkarier sebagai fotografer. Tahun 1920-1930 adalah saat Tina Modotti tinggal sekaligus berpameran dalam nuansa hitam putih, namun ia tetap menampilkan segala bagian penting dalam sejarah Meksiko.

Hal yang paling terlihat adalah ketika pada 1923 dia pindah ke Meksiko, di mana dia memotret masa setelah revolusi Meksiko yang kemudian menjadi sebuah periode perubahan sosial dan budaya.

Karya fotografinya memperlihatkan suasana revolusi dalam snapshots yang tepat. Pameran foto tunggalnya yang pertama kali bertajuk “The First Revolutionary Photography Exhibit” pada 1929 merefleksikan gairah seninya pada masa revolusi. Dia berhubungan dengan para pelukis seperti Diego Rivera, Frida Kahlo, dan banyak pemural lainnya.

Tema Sosial

Suasana sosial dimunculkan oleh Modotti dalam karya-karyanya. Para perempuan pekerja di Juchitecas yang ditampilkan pada foto-foto tahun 1923-1927 memperlihatkan perempuan berjalan dengan barang di kepala atau tangannya.

Dia juga menampilkan suasana para pekerja dengan tangan yang memegang sekop, mencuci, dan memegang tali boneka—sebagai pekerja seni masa itu.

Dia pun memperlihatkan suasana paradoks antara kaya dan miskin melalui orang yang berpenampilan serta berpakaian mewah dengan orang berpakaian sederhana.

Selain itu, ada pula semacam plakat atau billboard bergambar orang yang untuk mengenakan jas pun harus dibantu stafnya, sedangkan di depannya seorang anak muda dengan pakaian seadanya terduduk di pinggir jalan.

Sebagaimana pendapat Duta Besar Italia untuk Indonesia HE Federico Failla, dalam foto Tina kita dapat melihat visinya tentang dunia. Foto Tina tak dapat dipisahkan dengan idealisme serta sensitivitasnya untuk menjadi saksi apa yang terjadi di masa silam hingga ke masa depan.

Di luar sejarah dan perubahan masyarakat di masa itu, selain latar dan fenomena sosial, foto-foto Tina Modotti terasa mengajak kita mendalami makna kemanusiaan. Sebagaimana pameran fotonya yang bertema “Tina Modotti: A New Vision”, pameran ini memberi visi baru tentang sebuah dunia, dunia sesama yang saling peduli dan berbagi.

Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 22 Oktober 2011

Ubud Festival 2011: Nanduring Karang Awak

-- Saut Poltak Tambunan

DI telapak jagad Ubud kita ditempatkan setara. Bersila sama rendah menengadah sama tinggi. Tak penting kau berarah dari benua kelingking atau jempol, jari tengah telunjuk atau jari manis. Sungguh di sini dunia tak berdinding berpintu. Pun mawar bermekaran tak berduri, lebah menyarung sengat, singa menyusut taring.

Di telapak jagad Ubud kita mengasah aji Nanduring Karang Awak bertanam pada diri sendiri, menandur kebajikan meladang ketulusan. Di bawah langit yang sama kita semai asa bahwa kelak akan tiba masa menuai damai dengan bernas terbaik. Tak perduli kau berlain ragam warna bentuk raga dan tutur bahasa. Di telapak jagad Ubud kita menari dalam kidung yang sama. Bersulang kita meng'issoi' - mengguncang hingga larut endapan kepelbagaian. Gilirganti kita lantun menjadi syair dan irama. Tetapi tak ada pesta tak bersudah. Sayupkan saja salam perpisahan itu, mari berlupa kita segera akan berjarak. Lalu biarkan dian ini terus bernyala.
Ubud, Menandur Kebajikan Meladang Ketulusan
Saut Poltak Tambunan, Okt 2011

Terror bom pertama di Bali tahun 2002 meluluhlantak citra Pulau Dewata sebagai destination brand wisata dunia. Bali mendadak lengang dari wisatawan asing. Tingkat hunian hotel menurun hingga tingkat paling rendah meski room rate sudah didiskon besar-besaran. Hotel dan usaha wisata lainnya terpaksa melakukan PHK atau merumahkan karyawan secara bergilir.

Kapal-kapal pesiar yang biasanya sarat memulangpergikan wisatawan antara Benoa-Nusa Penida, terangguk-angguk di dermaga. Ada yang mencoba mengoptimalkannya dengan menjual paket wisata sunset menyusur pantai Bali. Sunset, dinner dan pertunjukan kesenian khas Bali. Begitu pun tak tampak wisatawan kulit putih, hanya serombongan turis Asia berwajah kontinental.

Berbagai upaya digegas untuk recovery. Di antaranya, nama Ubud tiba-tiba mencuat dalam khasanah sastra. Ubud, kota kecil di perbukitan sebelah utara Denpasar itu, sejak tahun 2004 menjadi ajang festival sastra bergengsi setiap tahun hingga mendapat predikat sebagai 'Among the Top Six Literary Festival in the World's dari Harper Bazaar, UK.

Untuk tahun 2011 perhelatan akbar sastra internasional bertajuk Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) digelar tanggal 5-10 Oktober 2011. Dalam buku panduan acara UWRF ke-8 ini tercantum 132 pengarang dari hampir 30 negara, belum termasuk susulan yang tidak sempat tercantum dalam buku. Mencerahkan, karena sekurang-kurangnya 36 di antaranya berasal dari berbagai daerah di Indonesia, selain New Zealand, Argentina, India, Inggeris, Thailand, USA, Australia, Cambodja, Pakistan, Cuba, Japan, France, Egypt, Germany, Palestina, Hongkong, Denmark, Columbia, Ireland, Uganda, Singapura, Malta, Hongkong, Russia, Turkey, Nederlands, Malaysia, Sri Lanka dan Pakistan. Putu Wijaya, Andrea Hirata, Djenar Maesa Ayu, bahkan praktisi hukum Todung Mulia Lubis tampak hadir dalam beberapa sessi.

Para penulis berbaur dengan ribuan partisipan yang datang atas inisiatif sendiri, semarak dalam berbagai sessi yang diselenggarakan selama 6 hari pada 40 lokasi di kawasan Ubud. Hotel, cafe, museum, restoran, puri, villa, bale banjar, sekolah dan Universitas Udayana berubah menjadi ruang sastra bagi para penulis, budayawan, penikmat sastra dunia serta jurnalis. Hangat dalam debat-diskusi, performance and exhibition, film screening, literary feast, workshop, book launches, poetry slam, story telling dan lain-lain.

Panitia mengusung thema "Nanduring Karang Awak: Cultivate the Land Within", diangkat dari puisi Geguritan Salampahan Laku karya sastrawan Bali abad ke-20, Ida Pedanda Made Sideman. Thema ini sangat relevan dengan krisis global kesetaraan dan kerukunan yang berkeadilan. Bertanam pada diri sendiri, tetap optimis menandur kebajikan dan menyemai ketulusan dalam menggali potensi diri sendiri. Dalam konteks yang lebih luas menggagas gegas pada kearifan lokal ketika hukum dan moralitas kekinian tak lagi menjamin rasa adil dan damai.

Sejak 2008 UWRF telah menerbitkan empat antologi bilingual karya para penulis terpilih Indonesia, Reasons for Harmony (2008), Compassion and Solidarity (2009), Harmony in Diversity (2010). Untuk tahun 2011 UWRF menerbitkan antologi dengan judul sesuai thema: Nanduring Awak Karang, Cultivate The Land Within. Buku ini memuat petikan novel, essay, puisi, drama dan cerpen karya 17 pengarang Indonesia: Alan Malingi, Arafat Nur, Avianti Armand, Ida Ahdiah, Jaladara, Komang Ariani, Pinto Anugerah, Ragdi F Daye, Rida Fitria, Sandi Firly, Sanie B Kuncoro, Satmoko Budi Santoso, Saut Poltak Tambunan, Wahyu Arya, Budy Utamy, Fitri Yani dan Irianto Ibrahim.

Antologi ini dibiayai bersama oleh UWRF dan HiVOS, sebuah NGO nirlaba asal Belanda yang memperjuangkan nilai kemanusiaan terutama di negara-negara berkembang. HiVOS memandang seni dan budaya punya peran kunci dalam pembangunan demokrasi dan masyarakat pluralistis, mendukung UWRF sejak 2007 dan membuka kesempatan kepada para pengarang Indonesia untuk masuk tataran sastra internasional.

Janet De Neefe (Festival Founder And Direction) serta Kadek Purnami (Community Development Manager UWRF 2011) adalah dua nama yang sudah akrab dengan peserta sejak awal seleksi. Bersama Drs. Ketut Suardana, M. Phil (Chairman Mudra Swari Saraswati Foundation) serta ratusan peninjau dari ber bagai negara, media nasional dan internasional, para volunteer lokal dan asing serta dukungan masyarakat adat Ubud, festival dikemas dalam kesetaraan yang hangat.

Tidak seluruh penulis yang diundang menyandang predikat kelas dunia, sebagian justru berasal dari kelas 'emerging', apalagi kebanyakan pengarang dari Indonesia belum memiliki karya yang diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Tetapi justru itulah differensiasi festival ini. Terciptanya kesetaraan proporsional membuat semua peserta festival segera akrab bersapa serta berdebat-diskusi di cafe dan sudut-sudut ruang diskusi. "Beruntung bisa menghadiri festival ini," ungkap Horst Geerken, 79 tahun, Germany, tertua dari seluruh pengarang yang hadir. Pernah tinggal 4 tahun di Indonesia pada masa Bung Karno dan ikut membangun lapangan terbang. Horst meluncurkan salah satu bukunya dalam festival ini.

Aroma sastra menyebar di seluruh kawasan Ubud. Kecuali Sapta Nirwandar, Dirjen Pemasaran pada Kementeria Kebudayan dan Pariwisata (yang kini menjadi Wakil Menteri Pariwisa dan Ekonomi Kreatif) yang hadir membuka festival secara resmi, tidak terlihat kehadiran peran pemerintah.

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 22 Oktober 2011