Sunday, August 28, 2011

Mozaik Puisi Lebaran

-- Bandung Mawardi

LEBARAN sebagai kisah dan peristiwa menjadi acuan selebrasi imajinasi. Penyair dalam laku kreatif memiliki sekian ekspresi demi mengisahkan Lebaran dengan orientasi religius, filosofis, sosial, atau kultural. Lebaran dalam puisi adalah perayaan mengenang dan membayangkan biografi manusia dari genesis sampai eskatologis. Samadi dalam puisi Berkabung di Hari Raya (1941) mengisahkan duka karena kematian seorang ibu. Suasana kontras terasakan dalam puisi itu dengan imaji-imaji sunyi dan ramai. Kematian ibu itu sunyi di saat Lebaran berarti ramai dengan bunyi beduk, petasan, dan sorak sorai.

Lebaran sebagai puncak kenikmatan dari ritual Ramadan menjelma puncak duka dan akhir sebuah kisah hidup. Kematian ibu menjadi pembalikan situasi karena makna kelahiran kembali tergantikan dengan kembali kepada Tuhan. Lebaran jadi dilema untuk perayaan hidup atau perayaan mati. Penyair menuliskan puncak duka dan luka: Semua makhluk bersuka ria/ Tapi aku akan membarut dada/ Dengan mencucurkan air mata .... Imajinasi Lebaran adalah imajinasi duka: keberterimaan atas takdir Tuhan.

Jejak imajinasi Lebaran juga dituliskan Sitor Situmorang dalam puisi Malam Lebaran (1954). Puisi itu dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern kerap membuat kerepotan dalam interpretasi. Pembaca dan kritikus sastra repot untuk membaca dan menilai puisi Malam Lebaran karena konstruksi teks pendek dan simbolis. Puisi itu hadir dalam sebuah kalimat pendek: Bulan di atas kuburan. Lebaran memberi kesadaran bahwa hidup dan mati manusia memiliki sekian simbol dan interpretasi. Lebaran mungkin menjadi titik penting untuk kembali membaca dan menilai manusia.

Ajip Rosidi pada tahun 1960-an menulis puisi Hari Lebaran dengan pemaknaan religius, tradisi, dan eksistensi. Puisi reflektif itu menjadi momentum untuk mengingat makna hidup, mati, dan waktu. Ajip Rosidi menulis: Hari ini hari hati percaya/ Akan arti hidup dan mati, yang cuma sempat/ Direnungkan setahun sekali. Lebaran dalam puisi itu memiliki puncak pemaknaan eksistensi manusia.

Lebaran adalah titik balik kesadaran manusia sebagai makhluk Tuhan dengan titah dan lakon hidup. Pengalaman merayakan Lebaran melahirkan tobat dan pengakuan atas kenaifan manusia. Ajip Rosidi menulis: Hari ini hari pertama ‘kan menjalani/ Hidup antara manusia, sedangkan diriku sendiri/ Makin sepi terasing, lantaran mengerti/ Kelengangan elang di langit tinggi.

Arifin C. Noer (1966) menulis Sajak Lebaran untuk merayakan Lebaran sebagai kisah dan peristiwa religius. Puisi itu menjadi reprentasi perayaan imajinasi untuk mengungkapkan makna-makna religiositas manusia. Pemaknaan mendalam tentang Lebaran terasakan dalam bait awal: Inilah saat pertemuan kita semua/ Kita yang sekarang/ Kita yang dulu kala/ Kita yang akan datang.

Arifin C. Noer dengan kalem menemukan kesadaran religius bahwa Lebaran menjadi titik pertemuan lakon-lakon manusia. Titik pertemuan mencakup fragmen-fragmen biografi manusia dalam waktu. Lebaran sebagai hari kelahiran kembali atau manusia kembali suci menjadi refleksi religius: mengonstruksi eksistensi dan esensi sebagai manusia.

Arifin C. Noer dalam bait terakhir membuat kesadaran religius semakin mengental: Inilah waktu Tuhan mengembalikan ciptaan-Nya/ pada ujud semula yang bernama cinta. Lebaran adalah puncak pertemuan dan manifestasi perayaan cinta manusia pada Tuhan (vertikal) dan manusia dengan manusia lain (horizontal). Religiositas dalam Sajak Lebaran adalah kesadaran hidup dan ibadah cinta untuk menemukan hakikat dan fitrah manusia. Lebaran menjadi perayaan imajinasi transenden dan imanen.

Ahmadun Yosi Herfanda menulis puisi Catatan Idul Fitri (1981) untuk mengungkapkan sisi-sisi liris dalam merealisasikan makna kelahiran kembali manusia. Idulfitri adalah puncak dari perayaan religius dengan suasana nikmat dalam silaturahmi: indah dan intim. Ahmadun Yosi Herfanda mengisahkan Lebaran dalam laku pengakuan salah dan dosa demi peleburan dan penghapusan pada hari suci: tiada kedamaian sedalam pagi ini/ angin berjabat hangat dengan pohonan/ kita pun saling berjabat tangan/ menyatukan getar rindu/ segala alpa runtuh jadi debu. Puisi liris itu menjadi representasi dari tradisi silaturahmi manusia dalam cinta, damai, dan persaudaraan. Lebaran adalah perayaan religiositas dan humanitas.

Sutardi Calzoum Bachri dalam puisi Idul Fitri (1987) pun mengungkapkan jejak-jejak biografis dan kesadaran religiositas. Puisi Idul Fitri merangkum biografi manusia untuk mengenangkan masa lalu sebagai fragmen lalai dan sia-sia. Idulfitri atau Lebaran menjadi momentum untuk pertobatan dan merumuskan kembali biografi dalam doa dan cinta. Sutardji Calzoum Bachri menulis: O lihat Tuhan, kini si bekas pemabuk ini/ ngebut/ di jalan lurus/ Jangan Kau depakkan lagi aku ke trotoir/ tempat usia lalaiku menenggak arak di warung dunia/ Kau biarkan aku menenggak marak cahaya-Mu/ di ujung usia.

Bait itu mengesankan alur hidup manusia sampai pada kesadaran merumuskan kembali iman dan menentukan jalan menuju Tuhan. Masa lalu dalam lalai dan jalan bengkok adalah kesalahan dan kekalahan. Lebaran memberi pencerahan untuk tobat dan mencari cinta Tuhan. Niat dan laku tobat itu semakin menguat dalam bait akhir: Maka pagi ini/ Kukenakan zirah la ilaha illallah/ aku pakai sepatu siratul mustaqiem/ aku pun lurus menuju lapangan tempat shalat ied/ Aku bawa masjid dalam diriku/ Kuhamparkan di lapangan/ Kutegakkan shalat/ dan kurayakan kelahiran kembali/ di sana. Sutardji Calzoum Bachri dengan puisi merayakan Lebaran sebagai kelahiran kembali manusia untuk sampai kepada Tuhan.

Lebaran menjadi perayaan estetika dengan muatan-muatan kompleks untuk mengungkapkan religiositas sampai pada fenomena kultural. Puisi-puisi Lebaran adalah teks inklusif untuk membaca dan menilai lakon-lakon manusia. Lebaran dan puisi adalah perayaan interpretasi tak usai. Begitu.

Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo dan Penulis Buku Macaisme.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 28 August 2011 00:00


[Buku] Nostalgia Kata

Judul : Renjana

Penulis : Fanny Chotimah dkk.

Penerbit : Pengajian Senin dan Jagat Abjad Solo

Cetak : 2011

Tebal : 100 halaman


"Maka nostalgia adalah ingatan yang memperindah ingatan. Sebab itu kita tak perlu mencemoohnya: ia bagian yang memperkaya hidup kita sekarang" (Goenawan Mohamad, 2011).

KUTIPAN ini menjadi awalan bagi pembaca untuk mengetahui dan mengapresiasi bahwa buku berjudul Renjana ini menjadi nostalgia bagi penulis. Ikhtiar para penulis yang tergabung dalam sebuah Pengajian Senin dalam mengabadikan tulisan mulai mengalami titik terang. Tulisan-tulisan telah terbukukan. Dan, buku ini akan menyapa pada pembaca atau bagi penulis sendiri.

Barangkali buku ini yang akan mengantarkan kepada pembaca untuk bernostalgia dengan para penulis juga. Sebab, tulisan-tulisan yang terbukukan, sebagian besar telah termuat di berbagai media cetak, baik lokal maupun nasional. Akhirnya, buku menjadi sebuah nostalgia terhadap kata. Nostalgia kata memberi gairah pada pembaca untuk memasuki ruang tanpa batas dan mengimajinasikan dalam tataran tertentu.

Nostalgia pembaca terhadap tulisan itu termulai dari esai milik Fanny Chotimah. Esai berjudul Sejarah Surat, Sejarah Diri merupakan esai yang paling prestisius bagi pembaca. Sebab, selain pernah termuat di media cetak nasional, esai ini memberi gerak reflektif pada pembaca untuk lebih tahu dan sadar tentang arti pentingnya surat.

Bagi Fanny Chotimah, surat bukan hanya persoalan sebagai lembaran kertas penyampai pesan. Surat mampu memberi ruang bagi kita untuk menilik sejarah diri bangsa, peradaban, dan sejarah pada diri kita. Surat bagian terkecil dari tindak manusia, yang sebenarnya juga untuk memartabatkan diri sekaligus keeksistensian manusia itu sendiri. Kemahfuman terhadap surat inilah, pembaca dan penulis merasai bahwa surat menjadi bagian hidup kita yang tak boleh terabaikan.

***

Pembaca bernostalgia kata terhadap esai dari Sartika Dian Nuraini yang berjudul Penghormatan Buku. Dari esai ini, bila pembaca tahu dan pernah membaca dalam salah satu media cetak di Lampung, akan teringat dengan esai yang berjudul Hormat pada Buku. Namun, perbedaan terhadap judul esai itu tentu tak akan menghilangkan isi dari esai itu sendiri.

Seperti kita ketahui, bahwa buku menjadi suatu kitab yang berharga untuk kemajuan dan kecerahan peradaban. Namun, dari pernyataan yang telah menjadi repetisi bagi kita semua itu, ternyata pembaca akan terperanjat atau akan merasai bahwa buku tak sekadar menjadi simbolitas yang begitu formal dan agak wagu. Maka, esai Sartika yang termaktub dalam buku ini ingin menambahi atau memperluas pengetahuan bagi pembaca.

Secara eksplisit, ia mengungkapkan bahwa buku menjadi bagian sakralitas dalam kehidupan kita. Kesakralan itu tentu juga diimplementasikan bagaimana pembaca mau memperlakukan buku seperti kitab suci atau tubuh manusia sendiri. Lebih lanjut, Sartika memberi suatu pertanyaan yang mungkin menantang dan menjadi gerak reflektif diri pada pembaca. Begini bunyinya: “Akankah buku-buku yang turut membesarkan kita, mengajari kita segala hal, dan menjadi teman kita dalam segala hal, telah membuat kita peduli kepadanya?”

Pertanyaan tersebut membuktikan bahwa buku kumpulan esai ini selain menjadi nostalgia, juga menjadi sebuah pemantik bagi pembaca untuk melakukan refleksi diri. Ini pula yang membuat pembaca untuk mengidentifikasi bahwa sebagian besar dari esai para penulis ini selalu diakhiri dengan pertanyaan reflektif. Esai-esai yang selalu terbingkai oleh tanda tanya inilah, yang membuktikan bahwa “…tanya bukanlah semata aktivitas yang didasari ketidaktahuan, melainkan juga berangkat atas kemengertian demi tersingkapnya lebih dalam kemengertian tersebut. Singkatnya, tanya sama dengan belajar. Semacam kehausan untuk mengetahui secara lebih, lebih, dan lebih lagi,” kata Mohammad Afifuddin (2009). Inilah yang menjadikan bukti manusia akan lebih "berada" dan "mengada".

***

Serpihan nostalgia dari kelima penulis (Fanny Chotimah, Asni Furaida, Mohamad Fauzi Sukri, Puitri Hati Ningsih, dan Sartika Dian Nuraini) di buku ini memberi suatu kegenitan dan kelucuan tersendiri. Ini terbukti dari mereka yang menyertakan esai biografi diri terkait dengan kegiatan menulis.

Pembaca akan mengetahui bagaimana M. Fauzi Sukri dalam esai pribadinya membanggakan diri sebagai "Fauzi bodoh" tapi... sering terlalu bersemangat mengungkapkan pikirannya". Lalu, ada Puitri Hati Ningsih yang mengeluhkan bahwa dalam kegiatan dalam Pengajian Senin— menjadi hari di mana kegiatan duniawi berhenti, tidak on line, tidak pacaran bagi yang punya pacar, tidak makan enak karena di taman itu tidak ada makanan enak, kecuali satai yang tak bersambal, teh yang rasanya gagal, yang selalu dipesan karena saya tidak minum Coca Cola seperti Kabut" (nama sebutan untuk Bandung Mawardi). Inilah, beberapa serpihan nostalgia yang bisa jadi rujukan bagi pembaca untuk merasai segala tindak yang dilakukan para penulis itu dalam kegiatan Pengajian Senin, pengajian menulis.

Akhirnya, nostalgia kata dari penulis, salah satunya yang disuguhkan Asni Furaida justru memperkuat pembaca untuk memberi konklusi bahwa buku ini mengikat makna. Suguhan kata dari Asni merujuk pada kata-kata Socrates dalam Phaedrus yang berbunyi, “Begitu sebuah kata ditulis, kata itu menggulung semua, mendatangi siapa saja yang memahaminya, dan siapa yang sama sekali tidak memahaminya.”

Budiawan Dwi Santoso, pengelola Komunitas Tanda Tanya

Sumber: Lampung Post, Minggu, 28 August 2011

Saturday, August 27, 2011

Hardi: Banyak Budayawan Jadi "Durno"

INDONESIA memang punya sosok budayawan cukup banyak. Tidak sedikit diantara budayawan itu kini menebar pesona, berjuang menjadi politisi. Bahkan ada yang sudah berhasil menjadi wakil rakyat, dan sangat menikmati kursi empuk yang didudukinya di gedung parlemen.

Sekarang, masyarakat sering mempertanyakan mereka. Apa saja yang dikerjakan para budayawan yang sudah duduk di DPR itu? Sudahkah mereka memberi perhatian terhadap potensi seni budaya kita yang kini banyak terbengkalai? Mengapa mereka baru berlomba-lomba jadi pahlawan setelah menyadari tidak sedikit potensi seni budaya kita dicaplok negara asing?

Kenapa pula wakil-wakil rakyat - dari kalangan budayawan di DPR - itu cenderung diam dan tidak punya kepedulian membantu pemerintah dan sekelompok warga yang berjuang di badan dunia agar angklung, wayang, keris dan lain-lain menjadi warisan budaya dunia?

Hardi, salah seorang budayawan yang dimiliki Indonesia hanya tertawa ketika disinggung hal itu. Diwawancarai Suara Karya di Jakarta, Kamis lalu, maestro lukis kelahiran Blitar 26 Mei 1951 - bernama asli R Suhardi Adimaryono - ini mengaku sedih melihat banyak potensi seni budaya kita tidak terurus. Untuk menangani potensi seni budaya kita yang terbengkalai, memang ada instansi teknis yang ditugasi mengurus hal itu. Tetapi fungsi sebagai budayawan juga harus punya tanggungjawab moral bagaimana mendorong pemerintah agar potensi tersebut bisa dibangkitkan, ditangani secara benar dan kemudian menjadi kebanggaan masyarakat dunia.

"Tetapi saya lebih sedih lagi karena belakangan ini bermunculan sosok budayawan jadi durno. Mereka muncul di televisi, dan dengan gagahnya mendiskreditkan sesama manusia, bahkan pimpinannya sendiri. Budayawan macam apa itu? Kok budayawan tidak berbudaya? Lha orang macam itu yang namanya durno, dan sekarang bermunculan di televisi, menjual pesona durno..." ujar Hardi sambil geleng-geleng kepala.

Durno dalam cerita pewayangan adalah sosok pendeta yang dihormati karena kharismanya sebagai seseorang yang punya pengaruh dan kemampuan menjadi pimpinan. Tetapi durno juga punya kekurangan, yakni berhati busuk, suka menzolimi sesamanya.

Hardi kemudian meminta wartawan serta para budayawan lainnya mencermati penampilan Slamet Rahardjo dan Butet Kertaradjasa di Metro TV, kemudian Arswendo Atmowiloto serta Sujiwo Tedjo di TV One.

Menurut penilaian Hardi, penampilan empat budayawan itu di televisi sangat memprihatinkan. Melalui acara yang mereka pandu, Slamet dan Butet kerap menelanjangi habis-habisan pimpinan negeri ini tanpa memberikan solusi bagaimana sebaiknya menjadi pimpinan yang disukai masyarakat.

Sekarang ini, kata Hardi, siapa pun yang jadi Presiden Indonesia akan serba salah kok. Sebagai budayawan yang lahir dari dunia perfilman dan pentas teater, mestinya Slamet dan Butet dalam mengeritik pimpinan atau siapapun juga selalu menawarkan sejumlah solusi. "Jangan jadi durno dong. Kalau hanya melihat sesuatu dari sudut jeleknya saja itu gampang. Tapi kalau mereka bisa menawarkan solusi, kemudian ketika diterapkan solusi itu tepat, mereka kan akan jadi hebat. Nah kenyataannya itu tidak mereka tampilkan. Cuma mengeritik saja bisanya. Itu sosok budayawan yang tidak berbudaya. Malu maluin saja," ujar Hardi.

Begitu juga dengan Arswendo Atmowiloto dan Sujiwo Tedjo. Tiap tampil di TV One selalu menjelek-jelekkan pejabat negara, bahkan Ibu negara. "Memangnya Arswendo dan Sujiwo Tedjo itu siapa? Karya mereka sudah sehebat apa? Saya mengusulkan sudahilah bersikap ala durno dan kembali bertobat. Arswendo kembali bikin naskah film yang bagus, karya-karya sastra yang bisa mendunia. Sujiwo Tedjo juga kembali mendalang. Jadilah dalang yang benar yang karyanya menginspirasi masyarakat ke jalan benar. Jangan biasakan diri menjelek-jelekkan orang, karena itu bukan jatidiri seorang budayawan. Budayawan haruslah orang yang tahu budaya. Tetapi sikap Arswendo dan Sujiwo Tedjo, juga Butet dan Slamet Rahardjo hanya malu-maluin sosok budayawan. Tulis begitu agar mereka sadar," jelas Hardi lagi.

Hardi mengungkapkan, keprihatinannya melihat sekarang bermunculan budayawan jadi durno, kemudian berdiskusi dengan wartawan, semata-mata karena ingin mengajak teman-temannya (Slamet Rahardjo, Butet Kartarajasa, Arswendo Atmowiloto dan Sujiwo Tedjo) itu kembali ke jalan yang benar. "Soalnya, jangan-jangan mereka mencaci maki pejabat negara di televisi hanya karena honor Rp 500 ribu. Duh, kasian banget kalau begitu..." kata pelukis yang pernah dipenjara gara-gara bikin lukisan dirinya menjadi Presiden 2001.

Hardi kemudian memberikan contoh Taufik Rahzen dan beberapa nama budayawan lain seperti Emha Ainun Nadjib dan Kiai Haji Mustofa Bisri. Mereka itu,menurut pelukis yang bulan lalu memamerkan karya-karya retrospeksi di Taman Ismail Marzuki ini, terus produktif berkarya tanpa membiarkan mulutnya nyinyir mencaci oranglain.

"Kita harus malu kepada Mochtar Lubis dan Pramoedya Ananta Toer. Mereka terus menciptakan karya-karya besar yang akhirnya dibanggakan masyarakat dunia. Padahal mereka juga mengalami tekanan hebat di dalam negeri," lanjut Hardi.

Kepada Slamet Rahardjo, Butet Kartaradjasa, Arswendo Atmowiloto, Sujiwo Tedjo dan sejumlah budayawan lainnya yang lebih suka "diam" di gedung DPR, Hardi mengingatkan, bahwa salah satu ketertinggalan Indonesia saat ini adalah lemahnya dalam semangat menjaga dan memajukan potensi seni budaya Indonesia. Dalam soal film, teater dan pedalangan misalnya, Hardi sangat yakin, Arswendo, Slamet, Butet dan Sujiwo Tedjo punya kemampuan untuk mengangkat potensi seni budaya Indonesia di forum dunia. Dan menurut Hardi, menjual potensi seni budaya Indonesia ke forum dunia jauh lebih bermartabat dan membanggakan sosok budayawan ketimbang teriak-teriak memamerkan mulut nyinyir di televisi.

"Sekali lagi saya ngomong begini hanya untuk mengajak teman-teman saya itu kembali ke jalan yang benar. Mereka paham kok jadi Durno itu tidak sepantasnya mereka lakukan... " tutur Hardi sembari mengakhiri perbincangan ini. (Ami Herman)

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 27 Agustus 2011

Sunday, August 21, 2011

Tuhan yang Dibayangkan

-- Beni Setia

SEORANG teman yang gemar mengumpulkan dan mendalami bacaan tentang sufisme mengirim sebuah SMS selepas tengah malam. Pendek isinya: "Di alam kubur Rabi'ah al-Adawiyah didatangi dua malaikat, ditanya ‘Man Rabbik?—siapa Tuhanmu?’. Rabi'ah menangis dan balik berkata, ‘Masya Allah ... tanya Tuhan, siapakah Rabi'ah.’"

Saya tersenyum. Teringat akan dua anekdot lain.

Pertama, seorang penjaja buah di bus, yang berpindah dari satu bus ke bus lain di jalan antara A—B, terlelap kecapekan di bangku bus kosong dalam bus yang melaju nyaris tak berpenumpang. Kondisi tidak nyaman yang membuat sopir muring-muring dan melaju tanpa kendali, salah mengukur tikungan dan tercebur masuk jurang setelah menabrak pagar jembatan. Si penjaja buah itu menjadi korban meninggal, tanpa sadar bila ia itu mengalami kecelakaan, dikuburkan, dan terjaga ketika didatangi dua malaikat.

“Man Rabbik?” hardiknya. Si penjaja itu tersentak, gelagapan mencari dagangan, serta spontan berteriak “Seribu tiga...!”

Dengan kata lain, seseorang terjaga dan tertidur dengan obsesi serta asumsinya sendiri, sekaligus tetap tranced dalam obsesi dan asumsi itu ketika mendadak ia terjaga lagi setelah tidur panjang. Maka jawaban khas Rabi'ah al-Adawiyah itu amat terkait dengan pilihan, cara hidup, serta obsesi sufistik yang kental dipraktekkannya. Identik dengan problem sosial, impian riil yang terkait dengan kenyataan sehari-hari, dan aksi pragmatik dalam berjuang menjajakan dagangan dan mencari laba yang khas dari si penjaja buah-buahan. Jadi tidak heran kalau ada lelucon, penjaja minyak tanah yang meneriakkan “Minyak!”, ketika ia sekarat dan ditantang dengan acuan keimanan oleh keluarganya. Ide mencari kematian beriman jadi kematian tragis kapitalistik.

***

ITU berkesejajaran dengan isu atheistisasi dengan pola dialektika materialisme ala PKI di paruh awal dekade 1960. Ketika seorang guru doktriner memimpin doa pada Tuhan dengan pamrih akan ada potlot begitu si anak didik minta potlot. Satu hal yang sia-sia karena Tuhan tak pernah bertindak secara riil pragmatik, dan karennya akan kalah ketika semua murid diminta sungguh-sungguh meminta potlot pada si guru, yang dengan segera membagikan potlot yang memang telah disediakan. Tuhan yang selalu transenden nun di entah akan kalah oleh tindakan praktis yang telah disiapkan dan direncanakan. Sekaligus: apa yang bisa dilakukan manusia ketika bertemu dengan masalah yang ada di luar rencana dan perhitungannya?

Itu kisah kedua yang muncul ketika menerima SMS sufistik tadi. Satu kisah yang menggigilkan si pengirim karena itu menunjukkan tingkatan majenun dari orang yang begitu khusyuk dan total mengamalkan amalan sufistik. Dan karenanya menjadi idola dan teladan, sebuah pola yang ingin ditirunya agar ia juga sampai pada tahapan lebur antara hamba—al-Chalik, hingga yang tertusuk padamu jadi luka padaku, dan sekaligus apa yang Aku ketahui adalah apa yang kamu ketahui. Satu tingkatan yang jauh amat tinggi ketimbang hanya ada di tahan aku hanya tahu yang duniawi dan terperangkap dalam labirin keduniawian—atau terperangkap oleh asumsi Tuhan itu hanya dirasakan ada dan karena itu tak akan bisa bertindak praktis dalam memenuhi harapan dan doa arang kebanyakan yang bergelut di tataran fisik dan praktis hal keduniawian.

Sekaligus juga semacam sengatan bagi level kesadaran kepapaan: diri hanyalah seorang abid—hamba ciptaan yang melulu hanya sahaya yang diwajibkan beribadat. Jadi alih-alih dari komplain si bersangkutan yang diharuskan mengajukan semacam proposal tentang kualitas dan mihrab keimanan pada Tuhan (Yang Maha Esa), tapi coba cek dahulu rekomendasi Tuhan (Yang Maha Esa) tentang kualitas dan mihrab keimanan si bersangkutan. Karena seorang ciptaan tetap hanya seorang ciptaan, yang meski amat diistimewakan dan disukai Tuhan, tapi cinta dan suka itu tak menyebabkan mereka jadi dua subyek yang sebanding.

***

POSISI mereka tetap ada di level peta hubungan kreasi antara Pencipta dengan ciptaan. Ada gradasi kualitas dan kehendak. Sesuatu yang menyebabkan seseorang harus tetap rendah hati dan tahu diri sebagai seorang ciptaan, hamba, serta sahaya—yang mengada di dunia ini dengan beban takdir sebagaimana digariskan oleh Tuhan. Tapi bisakah kita mengatakah hal yang formalistik itu pada orang yang tranceddalam kondisi majenun suifistik? Sesuatu yang membuat saya tidak tahu harus bagaimana menjawab SMS pagi buta itu—dan karenanya hanya bisa menghindar dengan membuat lelucon kisah seribu tiga si penjaja buah yang mati dalam kondisi tertidur rohaninya.

Sekaligus sadar: banyak kondisi rohani yang tertidur yang berbeda di antara satu orang dan orang lain—meski si bersangkutan merasa terjaga seperti guru yang sedang melakukan atheistisasi dialektika materialisme. Memang!

Beni Setia, pengarang

Sumber: Lampung Post, Minggu, 21 Agustus 2011


[Buku] Semangat Hidup Berawal dari Keanehan

Judul : Madre

Penulis : Dewi "DEE" Lestari

Penerbit : Bentang Pustaka

Terbit : Juli 2011

Tebal : XIV + 120 halaman


SEBUAH kisah bisa lahir dari keganjilan. Tokoh-tokoh bisa saling bertemu tanpa perlu riwayat hubungan sosial yang panjang. Logika cerita bisa dibuat tanpa rumusan yang rumit. Begitulah prosa berjudul Madre ini dibangun. Ya, membaca Madre kita seperti dibisikkan bahwa terkadang semangat hidup itu berawal dari keanehan.

Kisah Madre berawal dari warisan yang diberikan kepada Tansen, seorang anak muda bohemian yang menerima sebuah adonan biang roti yang dinamakan Madre. Warisan ini ia terima tiba-tiba tanpa terlebih dahulu ia tahu siapa pemberinya. Awalnya ia tak percaya sama sekali, bahkan sempat menganggapnya sebagai lelucon terbesar dalam hidupnya, sehingga ia tidak memedulikan warisan yang sangat berharga itu. Namun, penjelasan Pak Hadi, orang yang menyimpan teguh warisan untuk Tansen itu, telah menyadarkan Tansen bahwa ini adalah takdir Tuhan yang harus diterimanya.

Sekejap hidup Tansen pun berubah. Ia harus meninggalkan kehidupannya yang senantiasa dianggapnya sebagai surga. Ia harus meninggalkan Bali. Ia harus kehilangan kebebasan hidup. Ia harus tinggal di Jakarta, kota yang sungguh tidak ia sukai. Dan tentunya kini ia harus menjalani bisnis yang telah diwariskan kedua orang tuanya.

Sebagai prosa, Madre begitu lugas, lincah, dan ringan. Membuat pembacanya senantiasa tak perlu berkerut kening untuk merangkai logika cerita dan menyelami karakter tokoh-tokohnya. Namun, bukan berarti prosa ini tidak memikat dan tidak menyihir. Bila kita menemukan gagasan dalam prosa ini, seluruh intrinsik yang tersaji dan dianggap ngegampangintersebut akan menjadi termaafkan.

Gagasan dalam prosa ini memang cukup besar. Madre ingin menyampaikan tentang bagaimana semestinya seorang anak muda menerima warisan kultural dari nenek moyangnya, meskipun warisan itu sama sekali asing dan enggak gue banget. Dengan Madre, anak muda terkini seolah diingatkan bahwa warisan kultural tidak selalu kuno, tidak kontekstual, dan tidak mempunyai masa depan. Warisan kultural harus diterima, dan ia akan menjadi berharga bila kita menyikapinya dengan jernih dan optimistis.

Selain itu, Madre juga hendak menyampaikan arti penting dari passion dalam pekerjaan seseorang. Passion yang tumbuh dalam diri seseorang akan membawa pada kecintaan seseorang terhadap pekerjaannya, dan ini adalah the power of natural spirit yang kelak akan membuat seseorang berhasil dalam kariernya. Berbagai kendala dan ujian yang terbentang di hadapan seseorang, tak akan membuatnya menyerah dan kecil hati. Karena ia bekerja bukan semata untuk penghasilan yang tinggi atau sebab materi lainnya, melainkan karena ia ingin terus menyinari lentera jiwanya.

Pemahaman arti penting passion ini dapat kita cermati dari tokoh Pak Hadi, yang hidupnya habis bergelut dengan adonan roti. Dengan bercermin kepada Pak Hadi, kita diberi pemahaman bahwa kekuatan passion yang ada di dalam diri seseorang akan memunculkan energi positif hingga mampu membentuk lingkungan kerja yang optimistis.

Selain tema yang diangkat tema yang tidak biasa, nilai-nilai inspirasi seperti yang disebutkan di atas adalah poin yang senantiasa memberi kesan mendalam bagi pembaca Madre. Bukan mustahil, novel pendek ini akan mampu menggerakkan pembacanya dalam menemukan jati diri.

Sungguh, meskipun novel ini hanya setebal 72 halaman, ia telah mampu menyajikan gagasan dan pesan penting untuk anak muda Indonesia hari ini. Dan barangkali karena penulis cenderung hanya ingin menyampaikan semangat inspiratif itu, penulis jadi abai untuk membangun jalinan kisah tokoh-tokoh dalam novelnya ini menjadi lebih sempurna. Hingga rasanya novel ini hanya menampilkan satu fragmen. Beberapa jalinan kisah masih berpotensi untuk dilanjutkan.

Seperti yang dituliskan Tansen dalam blogpribadinya dan belum sempat ia terbitkan:

"... Keluarga ini bernama Tansen de Bakker yang artinya Tansen si pembuat roti. Ya, sekarang nama saya bukan nama satu orang, melainkan enam. Dan seorang peri senantiasa berdiri di sebelah kami. Ia bernama...."

Tulisan tokoh utama dalam novel ini seperti menyiratkan bahwa novel ini belumlah selesai. Benar, peluang kisah Madre ini terajut lebih panjang sangatlah besar. Toko roti bernama Tansen de Bakker belum dituturkan kisahnya. Perjalanan Tansen bersama Mei dan kawan-kawan Pak Hadi yang jompo itu dalam membangun Tansen de Bakker tentu akan menjadi kisah yang menarik dan penuh kejutan.

Bagaimana dengan perubahan karakter yang dialami Tansen sendiri, dari seorang pemuda bohemian yang tak mengenal perencanaan dan tenggat waktu, menjadi seorang pebisnis muda yang harus disiplin, mampu membaca peluang bisnis, dan harus memperhitungkan risiko. Kisah ini juga tentu memiliki daya pikat yang patut disempurnakan.

Lalu, kisah manis yang senantiasa akan ditunggu dari novel Madre ini tentu adalah sensasi romantis yang mungkin terjadi antara Tansen dan Mei. Benarkah keduanya akan menjadi sepasang kekasih, atau justru hubungan keduanya hanya sebatas sebagai rekan bisnis. Entahlah.

Sungguh, jalinan kisah dalam novel pendek ini menuntut penyempurnaan. Dan pihak yang mampu menjawab semua itu tentu saja hanya penulisnya. Benarkah Madre adalah unfinished novel?

Ratno Fadillah
, pembaca buku

Sumber: Lampung Post, Minggu, 21 Agustus 2011


Bermain-main dengan Bahasa dan Imajinasi

(Membaca Kembali Cerpen-cerpen Fariz Ihsan Putra)


-- Marhalim Zaini


JAUH-JAUH hari, di media ini juga (Riau Pos, 23 April 2006), saya pernah menelaah beberapa cerpen yang ditulis oleh seorang anak muda Riau, yang masih duduk di bangku SMA bernama Fariz Ihsan Putra. Setahun setelah itu, saya dikabari bahwa Fariz akan menerbitkan buku kumpulan cerpennya yang pertama. Dan lalu, saya diminta memberikan semacam kata pengantar untuk buku itu. Namun, sampai saat ini, belum datang kabar pada saya apakah buku cerpen itu jadi terbit atau tidak.

Karena saya menganggap bahwa sebuah “kata pengantar” adalah juga sebuah cara meresepsi sebuah karya, dan dengan begitu pula penting untuk diuji hasil pembacaan itu sebagai bahan diskusi lebih lanjut, maka tidak ada salahnya jika “kata pengantar” itu (dengan beberapa penyuntingan) kini saya suguhkan ke publik. Selain, bahwa sesungguhnya saya demikian peduli bagaimana agar regenerasi sastra Riau terus tumbuh sehat, di antaranya dengan memberi perhatian dan ulasan terhadap karya-karya penulis pendatang baru yang potensial.

Kenapa saya tergerak untuk menulis tentang cerpen-cerpen Fariz? Sebab cerpen-cerpennya “mengganggu” saya. Apa pun, setiap yang datang mengganggu saya, maka kerap membuat saya terdorong untuk menulis. Ya, saya memang berangkat menulis dari ketergangguan. Artinya, di sana ada problem. Setiap problem (lazimnya) menyembunyikan sejumlah potensi untuk berkembang menjadi ketak-terdugaan. Apa yang saya sebut “ketak-terdugaan” itu kemudian kerap menjadi pemicu untuk melahirkan berbagai suspen, kejutan, sentakan, untuk dapat masuk ke dalam sebuah wilayah yang kadang tak dapat diraba bentuknya, tersebab ia begitu kompleks, multi-dimensi, multi-interpretasi, yang pada saat-saat seperti itu ia kemudian mengalir untuk menemukan “ruang hidup”-nya sendiri. Sebuah ruang asing, tapi memikat. Rumah sunyi, tapi menyimpan misteri. Dan itulah (dunia) fiksi, itulah (juga) sastra.

Kenapa cerpen-cerpen Fariz mengganggu saya? Dalam perasaan saya yang sempat agak frustasi ketika menengok perkembangan (re)generasi sastra (di) Riau, apalagi ketika itu diikuti oleh booming kategori cerita teenlit juga chicklit menyerbu rak-rak toko buku kita, kemunculan cerpen-cerpen Fariz bagi saya “menyempal” dan otomatis “mengganggu”. Sebelum ini, di awal-awal saya menetap di Pekanbaru, memang sempat saya membaca sebuah novel berjudul “Labirin” karya seorang muda yang masih duduk di bangku SMA bernama Nalendra. Bagi saya, karya itu luar biasa, terutama dalam konteks keliaran kreativitas bahasa yang ditawarkan serta pemikiran-pemikiran yang terkandung di dalamnya. Menjadi kian luar biasa tersebab dia masih belia dan menulis dengan konstruksi pemikiran (juga ideologi) “orang dewasa”. Ia seperti sedang bermain-main dengan potensi bahasa sebagai sebuah ruang luas yang menyembunyikan banyak kemungkinan atas tafsir makna, sekaligus agaknya menawarkan ruang re-kreasi atas kesumpekan ruang kelas di sekolah.

Dan demikianlah, saya kira, hendaknya yang terjadi di dunia pendidikan (Bahasa Indonesia dan Sastra) kita, memberikan seluas-luasnya ruang untuk “bermain-main” bagi siswanya, sehingga pendidikan tak justru membuat terali-terali penjara bagi perkembangan imajinasi mereka, dan kemudian pelajaran bahasa dianggap “tak berguna” sehingga selalu saja ter(di)pinggirkan, sekaligus tak bermasa depan, dan tentu saja kemudian membuat bahasa jadi mandul, kaku, dan tampak tak memiliki daya hidup. Dan sebagaimana Nalendra dalam novel, demikian pula Fariz yang “bermain-main” dengan eksploratif dalam bahasa cerpen-cerpennya.

Agaknya, saya adalah salah satu penganut paham bahwa bahasa adalah yang paling utama dalam sastra, sebab ia adalah tubuh sastra. Isi atau pesan, akan selalu hadir mengikuti bahasa. Pesan tak perlu dicari-cari hingga jadi klise, jadi menceramahi, hingga bahasa pun hanya jadi kendaraan peot yang kelelahan mengusung muatan. Budi Darma (2005) mengatakan, “...bahwa seandainya tidak ada bahasa, mungkin sastra, termasuk cerpen, tidak akan ada.” Sebab bahasa, kata Budi Darma lagi, “bukan hanya berfungsi sebagai alat ekspresi, namun sekaligus refleksi logika itu sendiri.” Bahkan ada ungkapan dalam bahasa Inggris berbunyi begini, “open your mouth, and I’ll know who you are,” yang bermakna bahwa bahasa adalah cermin diri dari seseorang, “bukalah mulutmu, dan aku akan tahu siapa Anda.” Maka peciptaan karya sastra, dalam genre apa pun, akan selalu berhadapan dengan perjuangan menemukan bahasa. Dan yang gagal, boleh jadi, dia juga gagal jadi pengarang.

Hemat saya, bermula dari perspektif bahasa pulalah agaknya kita mencoba menelisik masuk ke dalam cerpen-cerpen Fariz. Sebab tampaknya, Fariz memang betul-betul lasak “memainkan” kata-kata dalam cerpen-cerpennya. Bahasa, bagi Fariz, tampaknya adalah juga imaji-imaji yang terserak, sehingga dia dengan sangat lincah memungutinya, kemudian memasangnya dalam bingkai cerita, membangun peristiwa-peristiwa dalam plot yang kadang tak utuh, melompat-lompat, yang sekaligus membuat jejak-jejak peristiwa yang baru pula. Sehingga, kadang-kadang, pembaca dibuatnya berkerut kening karena bingung, atau tersentak, atau justru ikut menikmati ‘permainan’ Fariz.

Ketika saya melakukan pembacaan awal terhadap sejumlah cerpen Fariz, saya perlahan-lahan mencari alternatif cara baca saya sendiri. Artinya ada konvensi yang harus saya langgar, terutama dengan melepaskan diri dari kerangka berfikir normatif-konservatif, dalam upaya menemukan simpulan-simpulan eksperimentasi dari setiap peristiwa yang dibangun dalam sebuah cerpen. Dan gaya bahasa non-realis, yang dipakai Fariz, dapat pula kita pakai sebagai titik berangkat untuk dapat sampai pada sebuah pemahaman tentang alur/plot, konflik-konflik, tematik, karakter-karakter tokoh, juga berbagai formulasi tentang ideologi yang tersembunyi. Soal logika, tentu saja akan kerap berbenturan dengan realita, ada yang dikorbankan di sana, sebab bahasa puitik memang jadi pilihan Fariz untuk ‘mengganggu’ empati pembaca, dan dengan begitu, bahasanya emotif (meminjam istilah Budi Darma), “bahasa yang dipergunakan pengarang untuk menarik empati pembacanya.”

Apa yang dapat kita tangkap, kira-kira, ketika Fariz membuka cerpennya berjudul “Feminis” dengan kalimat berikut:

“Yang kutahu hanyalah napas dan udara. Bersatu dalam ritme yang begitu mempesona, menggali api yang haus akan keseimbangan dalam-dalam atau mengubur kemarahan di atas puncak bukit sana. Mereka berdua masuk bergantian melalui lubang udara, bergesekan dengan aliran darah, memacu hormon dan meletakkan bantalan kapas dingin di permukaan otak. Membuatnya temaram, mendatangkan kantuk, lalu pergi menikmati kedamaian. Menjelajah alam luas dan terbang tanpa batas. Sama sekali tak kukuh dalam ingatan, dia menerobos apa-apa tanpa aba-aba. Dia meloncat-loncat. Menggeliat-geliat. Penuh gairah. Di meditasi.”

Saya kira sulit bagi pembaca untuk secara tiba-tiba menyimpulkannya dalam sebuah pemahaman tentang sebuah peristiwa tanpa membaca cerpen ini sampai tuntas. Apakah cerpen ini berkisah tentang sebuah prosesi persetubuhan? Boleh jadi, ya, jika fantasi kita bergerak dari judul, kemudian masuk ke idiom-idiom yang disuguhkan Fariz. Persetubuhan yang seperti apa? Mungkin sebuah persetubuhan yang nikmat dengan “ritme yang begitu mempesona” sebab ia bagai “api yang haus akan keseimbangan”. Tapi antara siapa? Entah. Siapa yang dimaksud dengan “mereka berdua”? Apakah “nafas dan udara”? Mungkin. Jawaban-jawabannya menjadi tak mutlak. Karena memang bahasa Fariz “terbang tanpa batas” lalu “menerobos apa-apa tanpa aba-aba” kemudian “meloncat-loncat” dan “menggeliat-geliat penuh gairah”. Meski, andai pembaca jeli, maka segera dapat ditemukan sebuah pintu masuk di ujung paragraf untuk menjelajahi kelanjutan cerpen ini, yakni pada kata “meditasi”.

Dengan media “meditasi”, sang tokoh kemudian terbang, tubuhnya ringan “hingga kakiku yang bersila terangkat jauh beralaskan udara. Keduanya, tak berjejak lagi.” Bukankah dengan terbang maka kebebasan dapat digapai? Kebebasan yang seperti apa yang hendak disampaikan dalam cerpen ini? Kebebasan yang dapat menyaksikan dirinya sendiri dinikmati dan dimaknai oleh seluruh komponen alam, oleh rumput yang bebas menyerap cahaya matahari, begitu pula dengan matahari sendiri yang dengan bebas menumpahkan “berbiliun foton cahaya”-nya. Meski kemudian di tengah realitas kebebasan itu masih juga tersembunyi realitas lain, yang mengungkung, yang berkutat dalam sebuah labirin. Fariz kini lebih tampak sedang mengusung ideologinya, keberpihakannya terhadap sosok perempuan.

Sehingga, hemat saya, artikulasi yang paling jelas tampak mewakili adalah pada kalimat, “Aku marah. Marah begitu kuat. Aku hanya melihat sedikit wanita yang berdiri memegang bendera atas nama intelijensi…” Dan akhir dari cerpen ini, adalah akhir dari sebuah perjalanan panjang untuk dapat keluar dari penjara waktu, maka “aku menangis”. Apakah Feminis identik dengan menangis?

Saya akan menunjukkan kalimat pembuka cerpen Fariz yang lain, yang saya kira, kita akan segera bersepakat untuk mengatakan bahwa Fariz sengaja ‘menyembunyikan’ berbagai peristiwa dalam cerpennya di balik selimut kata-kata puitik yang agak tebal, dengan menderaikan berbagai jebakan cecabang imaji juga reranting logika di dalamnya.(Bersambung)


Marhalim Zaini, sastrawan. Sedang studi S-2 Antropologi di Program Pascasarjana UGM.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 21 Agustus 2011


Hubungan Melayu-Tionghoa dalam "Tak Sampai Bersampan ke Kampung Kusta"

-- Yulita Fitriana


1. Pengantar


Masyarakat Riau adalah masyarakat yang heterogen. Berbagai suku dan etnis ada di daerah ini. Salah satunya adalah etnis Tionghoa. Etnis ini ada di hampir semua daerah di Riau. Biasanya mereka berdiam di ibu kota provinsi atau kabupaten. Populasi yang terbanyak terdapat di Bagan Siapi-api, Kabupaten Rokan Hilir. Mereka diperkirakan datang ke Bagan Siapi-api sekitar tahun 1820. Jadi, sebenarnya, orang Tionghoa mempunyai sejarah yang cukup panjang di Riau.

Hubungan antara masyarakat Melayu sebagai penduduk asli Riau, dengan orang Tionghoa tergolong unik. Walaupun mereka dapat hidup berdampingan, ketegangan-ketegangan kecil kadang menghiasi pergaulan mereka. Pandangan-pandangan stereotip yang melekat pada masing-masing etnis, membuat penyatuan (akulturasi) keduanya tidak berjalan mulus. Akan tetapi, jarang sampai terjadi konflik besar seperti yang pernah terjadi di Bagan siapi-api pada tahun 1946.

Sebagai sebuah karya yang merefleksikan kehidupan, karya sastra dianggap dapat memperlihatkan sebuah gambaran situasi yang terjadi dalam masyarakat, seperti yang cerpen “Tak Sampai Bersampan ke Kampung Kusta” yang berupaya melukiskan hubungan etnis Melayu dan Tionghoa ini.

Cerpen yang ditulis oleh Marhalim Zaini ini dimuat di Jawa Pos, 19 Desember 2010. Cerpen ini bercerita mengenai Kongkam, seorang mantan penderita kusta yang bermaksud kembali ke Kampung Kusta, tempat dia dan para penderita kusta pernah diasingkan. Kampung itu terletak di sebuah pulau yang jauh dari masyarakat lain.

Ketika Kongkam sembuh dari penyakitnya, dialah yang membantu menjualkan ayak-ayak (tapisan) dan tangkapan hasil laut para penderita kusta ke kampung seberang. Uangnya dipergunakan untuk membeli segala keperluan mereka di Kampung Kusta. Di kampung itu, Kongkam hidup dengan penderita kusta lainnya, yang beretnis Tionghoa.

Mereka hidup saling membantu. Akan tetapi, tanpa direncanakan sebelumnya, Kongkam meninggalkan kawan-kawannya yang belum sembuh dari penyakit kusta karena tergiur ajakan kawan lamanya. Dua tahun kemudian Kongkam berniat kembali ke Kampung Kusta. Namun, keinginan itu tidak terwujud karena sampan mereka kandas sebelum mencapai kampung tersebut. Sebuah cicin belah bambu yang disediakan untuk Amoy, batal diberikan.

2. Kegagalan Akulturasi Melayu dan Tionghoa

Cerpen ini menguak hubungan etnis Melayu dan Tionghoa yang ada di Riau, khususnya. Pada dasarnya mereka mempunyai hubungan yang baik. Mereka dapat bekerja sama dan hidup berdampingan. Namun hubungan kedua etnis ini tidak pernah benar-benar bisa berbaur.

Di dalam cerpen ini diungkapkan hubungan Kongkam yang orang Melayu, dan para penderita kusta lainnya, Amoy, Limhong, Akiong, Atho, dan Aheng yang orang Tionghoa. Sebagai orang yang diasingkan karena penyakit yang mereka derita, perasaan senasib membuat mereka belajar untuk bekerja sama. Tampaknya, masing-masing tidak lagi memperdulikan etnis mereka yang berbeda. Mereka merasa satu, tidak punya perbedaan.

Memang ada beberapa unit rumah panggung dari kayu, beratap daun rumbia, berukuran sepetak ruang kamar sederhana, berdiri di sekitar pulau yang berukuran 2-3 kilometer ini. Tapi tak semua dapat dihuni. Selain sudah banyak yang lapuk dan senget hampir tumbang, juga tak mungkin hidup berjauhan dengan kondisi serupa itu. Jadilah mereka berlima lebih sering hidup satu atap… (Zaini, 2010)

Kedekatan hubungan mereka ditandai pula dengan “menyatunya” selera mereka mengenai makanan. Perhatikan ketika Atho yang orang Tionghoa menjadi penyuka belacan dan cencalok yang dikenal sebagai makanan orang Melayu itu.

Sudah tak heran, hampir tiap kali Kongkam berangkat Atho pasti memesan belacan. Sebetulnya tak cuma belacan yang orang tua ini suka. Ada satu lagi: cencalok. Keduanya sama-sama buat penyedap makan. (Zaini, 2010)

Namun, kedekatan kedua etnis ini tidaklah sepenuhnya dapat diterima. Kongkam yang berupaya menjembatani kedua etnis ini mendapat tantangan. Demi pembauran ini, Kongkam juga harus terasing dari masyarakatnya yang di dalam cerpen diwakili oleh “perpisahan” Kongkam dengan sang istri. Halangan tersebut ditandai lagi dengan ketidakteguhan Kongkam yang terbujuk kawan lamanya untuk berbisnis sehingga dia meninggalkan kawan-kawan Tionghoanya dalam keterpencilan dan keterasingan, bahkan penderitaan. Ajakan kawan lama ini dapat diartikan sebagai pengaruh atau sejarah masa lalu yang masih kuat membelenggu cara berpikir dan bersikap masyarakat Melayu dan Tionghoa yang kemudian berimbas pada hubungan keduanya. Penanda lain, letak Kampung Kusta di sebuah pulau yang jauh dari perkampungan masyarakat lainnya menjadi tanda bagi jarak antarkedua etnis ini. Hal ini menunjukkan bahwa penyatuan dua etnis ini tidak berjalan mulus.

Ketidakmungkinan penyatuan kedua etnis ini kian jelas ketika Amoy yang jatuh cinta tidak mendapat sambutan dari Kongkam. Alasannya bukan karena Kongkam tidak tertarik kepada Amoy. Menurut Kongkam, Amoy cantik dan berbaik hati melayani kebutuhan makan-minum Kongkam. Akan tetapi, Kongkam adalah suami orang dan Amoy berbeda dengannya.

Kongkam adalah laki orang. Meski sejak ia terbuang ke Kampung Kusta, bininya tak pernah berkunjung. Tiga tahun berkawin belum juga punya anak. Selain itu, agaknya soal agama. Kongkam satu-satunya orang Melayu. Orang Islam. Amoy, Konghucu. (Zaini, 2010)

Dari cerita ini dapat dilihat bahwa hubungan etnis Melayu dan Tionghoa sulit untuk mencapai hubungan yang romantis. Mereka tidak benar-benar bisa dekat walau bisa saling bekerja sama. Di dalam cerpen ini, ditandai dengan Kongkam yang orang Melayu dan Amoy yang orang Tionghoa yang tidak diperkenankan untuk bersatu. Etnis dan agama yang dianut keduanyalah yang menjadi alasan. Selain itu, Kongkam yang digambarkan sudah beristri, walaupun hidup terpisah, memperlihatkan bahwa Kongkam terikat oleh sesuatu yang sulit dilepaskannya.

Hal ini berarti bahwa terlalu banyak halangan yang menghambat akulturasi kedua etnis ini. Marhalim menggambarkan upaya yang terasa sia-sia tersebut dengan ungkapan ….”pentingkah cinta, perkawinan, atau entah apalah namanya di saat hidup telah demikian dinanti oleh kematian?”

3. Simpulan

Cerpen ini menggambarkan keadaan etnis Melayu dan Tionghoa dapat bersama, tetapi tidak dapat berbaur mesra. Perbedaan budaya dan agama adalah penyebab yang didengung-dengungkan sebagai penyebabnya. Upaya yang dilakukan untuk menjembatani perbedaan tersebut tampaknya belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Etnis Tionghoa terlanjur “dikustakan” dan diasingkan dari orang Melayu untuk (barangkali) kepentingan-kepentingan tertentu. Bisa jadi, luka sejarah di masa lalu akibat perang etnis pada tahun 1820 itu juga masih membekas sehingga menjadi batu sandungan bagi hubungan kedua etnis. Keprihatinan terhadap kondisi itulah yang diceritakan dalam cerpen “Tak Sampai Berkayuh ke Kampung Kusta” ini. ****


Yulita Fitriana, peneliti sastra di Balai Bahasa Provinsi Riau. Sedang studi dan tinggal di Jogjakarta

Sumber: Riau Pos, Minggu, 21 Agustus 2011


Saturday, August 20, 2011

Realitas dalam Fiksi

-- Sunaryono Basuki Ks

DI dalam sebuah karya pendeknya berjudul "Malam Terakhir", Yukio Mishima menokohkan seorang perempuan tua yag bernama Komachi dan seorang penyair muda yang sangat mencintainya. Penyair tersebut adakah pacar ke seratus Komachi, dan kepada pemuda yang mencintainya itu dia berpesan bahwa sembilan-puluh sembilan lelaki yang mencintainya itu seorang demi seorang meninggal dunia setelah mengucapkan kata-kata : Kamu cantik, Komachi. Ini adalah realitas empiris yang hanya terjadi di dalam kisah tersebut.

Pada pergelarannya beberapa tahun yang lalu di pelataran Fakultas Bahasa dan Seni (waktu itu bernama Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni) Hardiman, sang Sutradara memulai pergelaran itu dengan tampil di tengah lingkaran dan menghitung batang korek api dari satu sampai sembilan dan kemudian kembali satu . Ini memberi sugesti bahwa peristiwa yang digelar itu akan berulang dan berulang kembali. Saya katakan menggelar bukan dipentaskan sebab drama itu memang digelar di atas halaman tengah fakultas di bawah sebuah pohon kamboja raksasa yang penuh ditumbuhi bunga-bunga kamboja berwarna putih bagaikan rambut beruban Komachi, tokoh utama drama itu. Saat bunga-bunga kamboja putih itu berguguran pas melukiskan rambut Komachi yang terurai.

Sentuhan cinta kasih keduanya dilukiskan dengan baik oleh kedua mahasiswa Jurusan Seni Rupa itu, demikian mesra hubungan kasih keduanya sampai pada akhirya sang penyair yang terpukau oleh kecantikan Komachi dan tak tertahan lagi dia mengucapkan kalimat terlarang itu : Kau cantik, Komachi. Baik Komachi maupun sang penyair tak bisa berkutik. Sang penyair pun memegang dada kirinya dan jatuh terjungkal ke tanah digotong dua polisi ke luar arena pergelaran. Tepuk tangan penonton, namun Hardiman sang sutradara kembali ke pelataran dan menghitung-hitung batang korek api di tanah untuk memberi sugesti bahwa peristiwa itu akan berulang dengan pacar Komachi yang ke seratus satu, seratus dua dan entah sampai ke berapa.

Di dalam acara diskusi seorang mahasiswa sastra memprotes bahwa sandiwara itu tidak masuk akal, sebab mustahil seseorang yang karena mengucapkan : Kau cantik Komachi bisa mati. Tentu saja dia benar kalau seseorang di luar sandiwara itu akan mati kecuali mungkin lantaran dia tertawa terbahak-bahak karena realitas itu dianggap lucu sampai dia kehabisan napas dan mati sungguhan. Disini dia mencampur adukkan antara realitas di dalam fiksi dengan realitas di dalam realitas kehidupan yang sesungguhnya.

Fiksi memang ditulis berdasarkan realitas kehidupan sehari-hari, namun harus diingat kata berdasarkan itu, sebab demikian realitas kehidupan itu sudah diolah menjadi karya fiksi, maka dia harus tunduk pada hukum fiksi tersebut yang terpisah sama sekali dari hukum realitas kehidupan sehari-hari. Maka sia-sialah mencari hubungan antara tokoh di dalam sebuah karya fiksi dengan tokoh nyata yang terdiri dari darah dan daging di dalam realitas kehidupan sehari-hari. Sia-sia mencari hubungan antara Nunun seorang tokoh di dalam sebuah karya cerita pendek yang diceritakan sedang sakit dan bersembunyi di luar negeri dengan Nunun senyatanya yang terlibat di dalam sebuah kasus korupsi yang disangkakan padanya.

Realitas di dalam fiksi tunduk pada aturan-aturan yang diletakkan di dalam karya tersebut oleh pengarangnya. Tokoh Superman di dalam karya fiksi harus diterima sebagai sebuah realitas mengenai bayi yang dikirim dari luar ruang angkasa di dalam sebuah tabung dengan disertai kristal-kristal untuk mendukung kehidupannya. Saat ditemukan oleh kedua orang kedua orang tua asuhnya, si kecil ini sudah mampu mengangkat sebuah mobil dan kemudian berpacu lari dengan sebuah kereta api. Ketika menjadi dewasa dia dapat pula terbang dan untuk membaca buku, dia mampu men scan seluruh buku di perpustakaan dalam sekejap.

Jadi dia tidak perlu bersekolah. Jangan memprotes hal ini sebab yang diberikan pada kita untuk kita percaya agar bisa menikmati kisahnya yang tidak masuk akal. Demikian pula yang terjadi dengan kisah pewayangan dan semua kisah fiksi yang lain yang harus dibaca dalam bingkai karya fiksi. Maka ketika di dalam pementasan Semar Gugat Teater Koma menampilkan si Gatotkaca kecil melipat selendangnya ( selendang untuk melukiskan bahwa dia terbang) saat di langit dia melihat pesawat terbang buatan Habibie yang diberi nama Tutuka penonton yang tahu tentang realitas pewayangan tertawa, sebab Gatotkaca muda memang bernama Tutuka).

Contoh lain misalnya cerpen "Tiga Orang Pertapa" karya Leo Tolstoi yang berkisah tentang seorang pendeta Kristen yang singgah di sebuah pulau terpencil untuk mengajari tiga orang pertapa cara berdoa secara benar menurut agama Katolik. Ketiga pertapa itu memuja Tuhan tidak dengan kata-kata tetapi dengan seluruh hati dan jiwanya. Kata-kata hanyalah sekedar syarat, maka ketika dia diajari cara berdoa yang benar, dia selalu lupa, walau pun intinya sudah mereka ucapkan sehari-hari. Tiga pertapa yang menjadi simbol tiga larik doa menggambarkan trinitas ketuhanan akhirnya mampu menghafal doa itu. Namun setelah sang pendeta meninggalkan mereka, mereka lupa lagi dan mengejar kapal yang ditumpangi pendeta itu dengan cara berlari di atas air bagaikan seorang pendekar yang punya ilmu meringankan tubuh atau ginkang.

Realitas di dalam fiksi merupakan realitas independent hanya di dalam karya fiksi tertentu. Terkadang realitas ini dihubungkan dengan realitas di dalam fiksi yang lain. Kasus menarik di dalam hal intertekstualitas terjadi pada tiga buah karya yang berbeda genrenya. Pertama novel Heart of Darkness karya Joseph Conrad, kedua puisi The Hollow Men karya TS Eliot, dan ketiga sebuah karya film Apocalypse Now. Puisi The Hollow Men merujuk pada novel Heart of Darkness. Pembukaan puisi tersebut berbunyi Miftah Kurtz-he dead . Kurtz adalah tokoh di dalam novel Heart of Darkness yang menelusuri sungai Congo di jantung Afrika yang gelap.

Menurut Edwar Said di dalam bukunya Dunia, Teks, dan (Sang) Kritikus ( Bali Media dan Pustaka Larasan, 2011) menyebut bahwa Conrad muda tergila-gila dengan peta dunia dan dia memerhatikan sungai Congo di dalam peta yang bagaikan seekor ular yang menjalar di Afrika. Ketika telah menjadi seorang pelaut, dia benar-benar menelusuri sungai itu dan mewujudkannya di dalam karya sastranya. Di dalam film yang bersetting perang Vietnam, seorang kolonel yang diperankan oleh Marlon Brando, di tengah hutan di Vietnam di dalam komunitas tertentu tiba-tiba terdengar melantunkan puisi The Hollow Men. Realitas di antara tiga karya fiksi tersebut jalin-menjalin di dalam intertekstualitas yang padat. Dan kita tak perlu mencari hubungan antara realitas di dalam ketiga karya tersebut dengan realitas kegidupan sehari-hari. Pengarang tetap bertanggung jawab terhadap realitas yang diciptakannya, bukan lepas tangan sebab realitasnya tidak berkenaan dengan realitas fisik sehari-hari.

Sunaryono Basuki Ks, sastrawan tinggal di Singaraja

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 20 Agustus 2011

[BUKU] Bukan Sekadar Teori

Judul: Keep Your Hand Moving: Panduan Menulis, Mengedit, dan Memolesnya

Penulis: Anwar Holid

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2010

Tebal: 131 halaman


TELAH banyak terbit buku-buku kiat-kiat menulis yang bercampur dengan motivasi kepenulisan. Sejumlah sastrawan ternama malah pernah menulisnya dan rata-rata mendapat sambutan positif ketika diterbitkan.

Mulai dari Arswendo Atmowiloto, Mohammad Diponegoro, Sides Sudyarto DS, AS Laksana, dan Eka Budianta. Kalau yang bukan sastrawan bisa disebut Andreas Harefa, Bambang Trim, Gundar Banjarnahor, sampai Edy Zaqeus. Tentunya daftar ini masih panjang, belum ditambah beberapa judul buku terjemahan yang marak menghiasi rak-rak toko buku.

Buku-buku jenis ini terbilang sukses karena masuk kategori buku how to dan self help (motivasi diri) yang mudah dicerna. Lucunya karena buku jenis ini terbilang “gampang dijual” dalam dunia penerbitan buku Indonesia, banyak terbit buku-buku sejenis dengan nama pengarang yang karya-karya tulisnya tidak termuat di media massa.

Buku ini dibuka pada bab Pengantar: Berbagi Ilmu Penulisan yang berkisar soal pengalaman penulis yang sering diminta menjadi fasilitator berbagai lokakarya penulisan.

Penulis sering menyaksikan peserta yang mengeluh betapa sulitnya memulai menulis meskipun banyak ide, atau ada juga peserta yang banyak membaca buku tapi tidak bisa menulis. Rata-rata peserta yakin bahwa sebagian besar karya tulis seolah lahir dari keadaan “terpaksa”, kalau bukan memang sudah dirancang seperti itu.

Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Sejumlah buku atau karya tulis lainnya justru lahir dari mulut pengarangnya, bukan dari ide yang langsung dituliskan begitu saja, satu hal yang sering dibayangkan kebanyakan orang.

Beberapa contoh khotbah Jalaluddin Rakhmat banyak yang kemudian didokumentasikan lalu diterbitkan menjadi buku, pun khotbah A A Gymnastiar. Menurut Roy Peter Clark dalam bukunya Writing Tools, menulis seperti halnya ilmu lain yang bisa dipelajari. Clark mengungkapkan gagasannya antara lain “kamu hanya butuh alat, bukan aturan”.

Jadi dalam buku ini penulis seolah mengungkapkan bahwa kegiatan menulis tidak harus “menunggu wahyu” atau si penulis harus menjadi seorang begawan dulu. Yang penting mau belajar, tak penting bagus atau jelek nantinya. Umur pun tidak menjadi masalah berapa pun harus memulai.

Salah satu keunggulan buku ini, sang penulis justru mampu mengungkap spirit menulis sebenarnya yang bisa lahir dari dalam, bukan dengan melulu mengungkapkan sejumlah teori ataupun kaidah penulisan baru ke tingkat menumbuhkan motivasi seperti lazimnya buku-buku sejenis.

Aturan mungkin perlu sebagai landasan, tapi jangan biarkan aturan itu malah membuat kita ragu-ragu. Satu hal yang sering terjadi pada akibatnya kebanyakan aturan membuat seseorang sialnya malah jadi mandek lantaran “takut” pada pelbagai teori yang membelenggunya.

Satu hal yang menarik, dalam buku ini penulis mengungkapkan beberapa alasan mengapa sebuah karya tulis ditolak di media massa (hlm 46). Salah satunya kebanyakan karya yang ditolak hasilnya seolah mrucut begitu saja dari benak penulisnya, sehingga alurnya menjadi tak beraturan akibat penulisnya tergesa-gesa untuk segera mengirimkannya kepada redaktur.

Selain itu banyak hal yang sadar maupun tidak disadari para penulis adalah terlalu banyak menggunakan istilah asing yang hasilnya terlihat hanya untuk “mempercantik”, bukan menjelaskan. Akibatnya tulisan jadi kurang fokus, argumen yang ditawarkan lemah alih-alih malah membingungkan pembaca.

Di bab lain yang rupanya penting dan perlu diketahui para penulis pemula maupun yang sudah tenar sekalipun adalah motivasi menulis harus jujur (hlm 9). Menulis karena uang, seperti yang pernah diungkapkan jurnalis senior Farid Gaban kepada penulis, tidaklah salah karena hal tersebut harus sesuai dengan kecenderungan masing-masing.

Tapi yang terpenting menurut Anwar, menjadi penulis merupakan tujuan ultima yang rela dibayar dengan segala cara, dan itu bisa jadi tak berhubungan dengan kaya, terkenal, atau bahkan karyanya dibaca banyak orang (hlm14).

Hal lain yang menarik, satu hal yang jarang diungkapkan dalam buku-buku panduan menulis yang pernah terbit, dalam buku ini juga tercantum tip untuk editor yang menghadapi tipe penulis sombong, tipe penulis yang terlalu yakin pada keunggulan naskah yang ditulisnya jika enggan disebut “gila” terhadap naskahnya sendiri.

Untuk menghadapi tipe penulis macam begini, penulis mengungkapkan kiatnya agar sang editor harus jujur dan kuat berargumen. Bila perlu pujilah keunggulan naskah tersebut, apalagi jika sudah dibaca pembaca ahli atau orang terkemuka di bidangnya, selain mampu menunjukkan kelemahan, misalnya argumen kabur atau salah logika (hlm 102).

Selain itu dalam buku ini penulis juga mengungkapkan “permata-permata” naskah yang yang semula ditolak penerbit dengan menyebut berbagai contoh buku yang justru menjadi best seller setelah diterbitkan sendiri oleh penulisnya atau diterbitkan penerbit lain, sehingga pembaca yang notabene ingin jadi penulis tetap yakin akan kekuatan yang ada dari naskahnya, tapi karena belum dilirik, belum bisa terbit.

Sekadar contoh, buku sukses Harry Potter atau kalau di Indonesia buku Laskar Pelangi yang konon semula ditawarkan kepada beberapa penerbit banyak ditolak. Korps editor boleh tinggi, tapi jangan memandang profesi ini terlalu agung. Sewajarnya kadang editor bisa salah spekulasi (hlm 103).

Dengan mencontohkan buku Love Medicine karya Louise Erdrich yang semula dianggap aneh nyatanya begitu terbit malah berhasil meraih penghargaan Books Critics Circle Award.

Satu hal penting dari buku ini juga mencantumkan kiat-kiat sehingga pembaca mampu mengedit tulisannya sendiri berbekal dari saran bahwa “ambil masukan dari kritik yang paling pahit Anda terima” (hlm 76).

Dengan adanya kiat ini, buku ini mampu menguak tabir kepenulisan yang kerap kali muncul karena kebanyakan penulis hanya menerima saran yang umumnya mengandung pujian, bukan kritik pedas yang semula membuat sakit hati.

Walau buku mungil ini rata-rata punya banyak keunggulan yang belum dicapai buku-buku sejenis, bukan berarti tidak ada kekurangan. Dalam buku ini penulis tidak mengemukakan tipe penulis yang “bukan pembaca”.

Memang, tipe penulis macam ini (rata-rata penulis puisi, cerpen, dan novel) memang sebenarnya membaca juga, tapi sejatinya ia menulis sebagai katarsis (sebagai penyembuhan diri dari luka batin). Akibatnya walau hasil tulisannya bisa dimaklumi sebagai penyembuhan diri, rata-rata kurang memiliki daya persuasi yang memikat pembaca lantaran terlampau personal.

Mungkin jika digali lebih dalam perlu ada bab khusus menyoroti tema ini, karena tipe penulis macam ini memang ada, bahkan ada pula yang menjadi selebritas tatkala bukunya terbit, walau harus diakui buku yang lahir dari penulis yang kurang membaca ini mampu menjadi perbincangan bukan dari kekuatan naskahnya, melainkan dari sosok penulisnya yang kebetulan punya banyak relasi dengan orang-orang terkenal (prominence).

Padahal sejatinya ada “hukum” yang dilakukan penulis jenis tulisan apa pun, baik fiksi maupun nonfiksi, sastra maupun nonsastra, yaitu sebelum menulis banyak membaca buku-buku penting sebagai referensi sesuai bidang yang ditekuni.

Tema lain yang belum tergarap adalah menyoroti tipe penulis yang justru akibat “terlalu banyak membaca” sehingga hasil tulisannya kurang mencerminkan pikiran penulisnya sendiri.

Hal ini juga perlu ditinjau lebih lanjut karena tipe penulis macam ini juga cukup banyak, sehingga hasil karyanya tampak seperti “pamer bacaan” sehingga seperti halnya penulis yang kurang membaca tidak mampu memikat pembaca yang semula hendak disergapnya, kalangan intelektual misalnya pembaca filsafat, peminat kebudayaan, atau pembaca sastra.

Terlepas dari segala kekurangannya buku ini penting untuk dibaca, baik oleh penulis pemula bahkan yang sudah jadi untuk mempertanyakan kembali untuk apa menulis itu: untuk cari nama supaya terkenal, ingin berbagi ide atau sekadar rekreasi diri?

Dengan tak lupa mencantumkan berbagai contoh juga teori yang tak terkesan menggurui, buku ini mampu memunculkan motivasi sesungguhnya yang punya nilai lebih dari sekadar mempelajari teori atau kiat, yaitu menulis dengan hati.

Donny Anggoro, wartawan. Ia bergiat di komunitas Meja Budaya.

Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 20 Agustus 2011

Indonesia, Puisi, dan Teks Sejarah

-- Sihar Ramses Simatupang

BANGSA yang kehilangan teks sejarah dan puisinya tak lepas dari kondisi warga negara yang saat ini kehilangan nurani dan akal sehatnya.

Teks sejarah dan puisi sangat paralel dengan nurani serta akal sehat. Ketika masyarakat kerajaan dan tiap suku di daerah mengalami tekanan penjajahan oleh Belanda, sikap kebersamaan untuk menyatukannya sangatlah diperlukan.

Sumpah Pemuda, sekalipun banyak versi, naskahnya ternyata beriring dengan teks ikrar, teks lagu, hingga teks puisi para penyair di masa itu. Sumpah Pemuda menjadikan semua gugusan pulau yang dipisahkan oleh bentangan laut itu menjadi senasib dan sepenanggungan.

Ikrar pertama ini terjadi di tengah tekanan fisik, penjajahan, dan dentum perang yang masih menerjang. Untuk itu, muncullah ikrar kedua, kali ini merupakan sebuah format kedaulatan dan kemerdekaan berbangsa.

Semangat bersama itu mendapatkan formatnya. Lalu, Chairil Anwar melontarkan kegembiraan, keyakinan, juga sambutan kemerdekaan yang egaliter. Teks lainnya yang kemudian menjadi dasar negara adalah Pancasila.

Sumpah Pemuda, lagu “Indonesia Raya” dan Pancasila, tiga pernyataan yang pernah lahir di dalam sejarah bangsa itu, seperti teks yang lahir dari semangat bersama, beriring dan bersambut dengan puisi, lagu, syair dari seniman mewakili masyarakat di peradaban zamannya.

Bahkan, Sumpah Pemuda hingga Pancasila, papar penyair Sutardji Calzoum Bachri kepada SH beberapa tahun silam, "adalah puisi sakral yang menggema dari jiwa bangsa Indonesia".

Dari bait-bait yang ada, terlihat semangat, optimisme, kebersamaan, kejelasan terhadap tujuan dan keyakinan. Selain tiga teks besar itu, teks lain adalah teks Pembukaan (Preambule) hingga ayat-ayat di UUD 1945.

Teks lain yang ruang lingkupnya lebih kecil berupa kelompok atau komunitas tertentu di dalam sejarah negeri kita, sebutlah Tritura, Trikora, atau Surat Kepercayaan Gelanggang oleh kalangan budayawan Manifestasi Kebudayaan atau pernyataan kaum Lekra.

Dua terakhir lahir dari kalangan budayawan. Kesemuanya berupa pernyataan kebersamaan, semangat, perlawanan, sikap bersama dari komunitas bangsa Indonesia. Kini, teks apakah yang awet dan bertahan bahkan mengundang sikap para seniman, musikus, sastrawan, hingga budayawan?

Ke manakah semangat, pernyataan bersama, perlawanan Indonesia terhadap bangsa penjajah, para imperialis sebangsa, dan imperialis internasional di era global saat ini?

Tidak jelasnya masalah, tidak jelasnya musuh bersama, serta tidak jelasnya konsep berbangsa, kepemimpinan yang tak kuat, membuat teks yang besar dan berwibawa itu tak pernah lagi ternyatakan serta tertulis di kalangan masyarakat, menengah ke bawah atau intelektual sekalipun.

Masalahnya kemiskinan, kebodohan hingga perpecahan. Apa lagi penyebabnya? Tak ada sektor kerja yang riil, tidak mandirinya ekonomi rakyat, dipicu penguasaan investasi asing, tak adanya kebijakan pemerintah, korupsi para pejabat, pencurian terhadap APBN dan uang negara lainnya, subsidi semakin dipotong di tiap sektor, dan proteksi negara terhadap perekonomian rakyat membuat rakyat tak lagi mandiri.

Perubahan UUD 1945 yang dulunya melindungi rakyat bahkan telah diamendemen untuk lebih terbuka pada swasta dan investor asing. Lantas, kenapa tak bersuara, karena kemiskinan perut sehingga tak sempat berpikir politik dan kebangsaankah, atau karena miskin wacana, terlebih lagi miskin imajinasikah?

Pemandulan Makna

Teks lahir bukan dari masyarakat semata, tapi dari pemimpin, kelompok intelektual, budayawan, tokoh agama, pemimpin suku, atau daerah atau marga/klan. Sementara itu, teks kekinian yang lahir dari kelompok penting itu kini tak sesuai dengan kenyataan.

Rakyat tak lagi percaya bahwa teks yang selama ini telah dilahirkan, itu berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Di sisi lain, kemiskinan, penderitaan, beratnya harga bahan pokok, sandang, pangan, dan papan pun mahal, tabungan yang cekak, mewarnai kelas piramida terbawah rakyat Indonesia di negeri ini.

Kelas di piramida terbawah yang nyatanya paling dominan dari jumlah seluruh penduduk Indonesia. Yang repot, tak hanya teks yang lahir, tapi juga pemandulan makna dari teks-teks lama.

Yang muncul belakangan ini justru semuanya adalah teks dari setiap kelompok rakyat, berupa gugatan, lirih, dan pasrah, tanpa semangat, teks yang tak memberikan semesta tujuan dan harapan kecuali menyatakan kegelisahan. Tak ada teks yang sakral dan berwibawa.

Apalagi semacam teks pernyataan “menjaga amanat kemerdekaan”. Yang ada justru gugatan, kritik, makian dari tulisan tiap pribadi demonstran di karton atau spanduk. Teks itu tak pernah berubah menjadi ikrar bersama, karena begitu banyaknya kelompok demonstran.

Ke manakah makna teks itu pergi, atau kapankah teks itu bisa lahir lagi lengkap dengan maknanya, seperti sejarah teks Sumpah Pemuda, Proklamasi, dan Pancasila? Setidaknya, masyarakat dapat kembali membuka harapan yang terkandung dari tiga ikrar bersejarah ini.

Teks yang bermakna, berwibawa, dalam konsep dan praktiknya. Bahkan koran, televisi, telepon genggam, internet, pun tak mampu menjawab teks dengan substansi yang mengena. Jadi, sekarang, jangan cuma di kepala dan wacana saja, mari lahirkan segera teks bersama, yang juga sakral, konkret, dan berwibawa!

Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 20 Agustus 2011




Monday, August 15, 2011

Krisis Pelajaran Bahasa Indonesia

-- Junaidi Abdul Munif


BAHASA sejatinya adalah menunjukkan bangsa. Melihat tingkat kemajuan bangsa bisa dilihat dari bagaimana sebuah bahasa tersebut hidup dan menjadi elan (semangat) suatu masyarakat. Bangsa-bangsa yang maju di dunia adalah bangsa-bangsa yang memegang teguh bahasa asli (bahasa ibu) sebagai bahasa yang diperlakukan secara bermartabat. Eksistensi dan kemajuan suatu negara ditentukan dari kultur berbahasa (literasi) masyarakatnya.

Krisis berbahasa ibu merupakan imbas dari globalisasi dan teknologi. Pola hidup masyarakat bergantung dan terpengaruh keseringan (intensitas) dalam menggunakan teknologi. Menurut pakar bahasa Inggris dari University of Oxford, Inggris, Suzanne Romaine, masyarakat lokal, terutama kelompok minoritas, akan tergilas roda pembangunan jika mereka masih saja terhambat urusan bahasa. Jika pemerintah mau peduli untuk mempertahankan bahasa ibu, taraf hidup masyarakat dipastikan akan membaik.

Bahasa Indonesia mengalami krisis, salah satu indikatornya adalah minimnya penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar. Dalam lingkup pergaulan masyarakat, bahasa hadir secara serentak (simultan) di setiap percakapan. Urbaniasi membawa bahasa menjadi sejajar. Orang bisa saja berbicara dengan bahasa yang campur aduk.

Tahun 2010 disebutkan bahwa sebanyak 73% ketidaklulusan siswa SMA/MA/SMK disebabkan siswa tidak lulus pelajaran Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia tidak lagi diakrabi siswa sebagai pelajaran yang bergengsi karena sifatnya sebagai alat komunikasi sehari-hari. Pelajaran Bahasa Indonesia menjadi sekadar kumpulan rumus untuk menghasilkan kalimat yang sesuai Ejaan yang Disempurnakan (EYD) tapi gagal menyentuh psikologis siswa. Mengarang tidak lagi diajarkan kepada siswa-siswa di sekolah.

Krisis bahasa Indonesia menemui titik nadirnya ketika Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin yang berdiri sejak 1977 terancam ditutup karena pemerintah DKI Jakarta abai pada dunia sastra. PDS H.B. Jassin hanya mendapat bantuan dana dari pemerintah DKI Jakarta sebesar Rp50 juta per tahun. Anggaran ini tak cukup untuk operasional dan perawatan naskah-naskah kuno di PDS H.B. Jassin yang menyimpan ribuan naskah karya sastra Indonesia dari berbagai masa.

Berawal di Sekolah

Dalam kondisi krisis bahasa Indonesia, penting untuk melihat sejauh mana pelajaran Bahasa Indonesia yang kini diajarkan di sekolah berkontribusi terhadap laku berbahasa kita saat ini. Pelajaran Bahasa Indonesia meskipun masuk dalam pelajaran wajib UN, tampaknya belum memberikan pengaruh berarti terhadap perkembangan kebahasaan anak didik.

Kesalahan paling dasar dalam kurikulum pelajaran Bahasa Indonesia adalah membebani bahasa Indonesia sebagai bahasa yang sarat dengan aturan-aturan. Hal ini tertuang dalam materi buku ajar di sekolah. Buku-buku pelajaran Bahasa Indonesia hadir dengan rumus-rumus membuat kalimat yang benar, deretan kata baku-tak baku, dan hal-hal lain yang bersifat teknis.

Buku pelajaran Bahasa Indonesia laksana kumpulan rumus eksakta linguistik dan hafalan nama sastrawan dan karyanya, tapi tak merangsang apresiasi siswa terhadap karya sastra. Saya tak bisa membayangkan jika untuk berkomunikasi yang merupakan bagian fitrah asli manusia sebagai makhluk sosial (homo socius) demikian sulitnya, makin banyak anak yang “kabur” dan teralienasi dari bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Bahasa Indonesia adalah pelajaran yang berkembang dan diajarkan sesuai kondisi psikologis siswa. Bahasa Indonesia itu pelajaran berjenjang mengikuti alur psikologi siswa. Kita tak bisa menjejali murid SD dengan jargon nasionalisme bahasa Indonesia. Mereka harus dibuat senyaman mungkin dengan pelajaran bahasa Indonesia. Ketika siswa telah merasa nyaman, cinta, dan memiliki semangat untuk akrab dengan bahasa Indonesia, teori-teori kebahasaan yang baik dan benar sesuai EYD akan mudah diserap oleh siswa. Kultur membaca pun tumbuh. Mereka belajar bahasa Indonesia tidak hanya di jalur resmi bernama sekolah, tapi bisa melalui koran, buku dan lain sebagainya.

Bahasa tak pernah lepas dari keterkaitannya dengan kekuasaan yang beroperasi di baliknya (Piliang, 2005: 197). Kurikulum pelajaran Bahasa Indonesia menjadi kepanjangan tangan (aparatus hegemoni) dari penguasa Orde Baru untuk mendoktrin anak didik agar tunduk pada penguasa. Kepentingan penguasa menunggangi bahasa, sehingga muncul kekerasan simbolik-linguistik. Pola demikian membuat penguasa membuat diferensia bahasa untuk menimbulkan faksi-faksi di masyarakat yang saling menegasi.

Karena itu suara-suara lain yang muncul dari bahasa yang tak sesuai dengan versi pemerintah akan dianggap sebagai pelanggaran. Hal ini karena pendidikan juga menjadi proyek hegemoni Orde Baru yang menihilkan kebudayaan sebagai anasir penting indikasi kemajuan, di banding kemajuan ekonomi. Proyek besar bagi dunia pendidikan bagi bangsa ini untuk membebaskan bahasa dari beban relasi kuasa.



Bahasa: Entitas Kemajuan

Narasi peradaban bangsa jangan sampai meninggalkan bahasa sebagai pembentuk identitas. Bikhu Parekh (2008) menjelaskan bahwa identitas bermula dari perbedaan (otherness) dan persamaan (selfness). Bahasa Indonesia telah mengandung perbedaan sekaligus persamaan akibat persentuhannya dengan bahasa lain (asing maupun lokal). Strategi yang diambil bahasa Indonesia (dulu Melayu) adalah sinkretisme bahasa. Sinkretisme bahasa ini menjadi bumerang ketika bahasa yang datang dari luar justru lebih familiar, dan lebih terasa mengindonesia daripada bahasa Indonesia sendiri. Pada titik seperti ini, identitas ikut lebur dan hancur gara-gara bahasa telah terhegemoni bahasa asing. Celakanya, para tokoh publik kita latah "mengasingkan" bahasa Indonesia di rumahnya sendiri.

K.H. Abdul Wahid Hasyim menulis makalah yang berjudul Kemadjuan Bahasa Adalah Kemadjuan Bangsa yang menarik dan menjadi permenungan (reflektif) ketika kita dihadapkan pada krisis bahasa Indonesia. Kegelisahan Wahid Hasyim karena saat itu banyak orang Indonesia yang enggan menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari dan lebih senang menggunakan bahasa asing, bahasa Belanda atau Inggris. Ini menunjukkan bahwa terjadi ketidakpercayaan diri masyarakat Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai nasional. Jika terus dibiarkan, pembentukan karakter kebangsaan dan kemajuan bangsa akan terhambat.

Wahid Hasyim mengatakan mempelajari bahasa melayu (Indonesia) sangat penting karena itu berarti membangun kemajuan bangsa. Kendati menyatakan bahasa Indonesia sangat penting dalam menuju proses kemajuan bangsa Indonesia, beliau tidak menampik bahwa mempelajari bahasa asing juga penting. Dia menginginkan ada keseimbangan (sinergitas) antara bahasa Indonesia dan bahasa asing. Bahasa Indonesia adalah perkara identitas kebangsaan, sedangkan bahasa asing berada pada wilayah pencarian pengetahuan baru. Memahami dua hal ini adalah kunci yang ditawarkan oleh Wahid Hasyim dalam merumuskan strategi yang harus dilakukan untuk memajukan bahasa dan bangsa Indonesia.

Pelajaran Bahasa Indonesia sejatinya bukanlah semata pelajaran memahami dan menggunakan bahasa Indonesia sesuai kaidah yang benar (EYD), melainkan juga berkaitan erat dengan pembentukan budaya keberaksaraan (literacy culture), yang di dalamnya memuat unsur membaca, menulis, dan memahami sebuah teks. A Teeuw (1988) menyebutkan keberaksaraan menjadi syarat penting untuk maju dalam teknologi.

A Teeuw membagi tingkat peradaban kebudayaan menjadi empat. Pertama adalah kelisanan murni, khirografik (manuskrip), tipografik, dan elektronik. Yang paling banyak kita alami saat ini adalah munculnya generasi elektronik, tapi tanpa pembatinan atau pencernaan tahap membaca yang sungguh-sungguh. Masyarakat kita menjadi masyarakat konsumen teknologi yang masif tapi tanpa didasari fondasi tradisi tradisi membaca dalam tingkatan khirografik yang kuat.

Ketika fondasi awal, yakni budaya baca-kertas (khirografik), itu belum terbangun dengan baik, tapi sudah mesti mengalami tingkatan peradaban nirkertas, yang muncul adalah kecanggungan dengan memanfaatkan teknologi tidak pada tempat yang semestinya. Kehadiran internet yang tidak didukung budaya baca-kertas yang kuat justru membuat masyarakat mengakes hal-hal yang remeh temeh dan melanggar moralitas.

Sejarah menunjukkan bahwa bangsa yang memiliki tingkat keberaksaraan yang tinggi akan menjadi pemenang. Konsep maupun praksis literasi fungsional baru dikembangkan pada dasawarsa 1960-an (Sofia Valdivielso Gomez, 2008). Literasi dipahami sebagai "seperangkat kemampuan mengolah informasi, jauh di atas kemampuan mengurai dan memahami bahan bacaan sekolah" (A. Campbell, I. Kirsch, A. Kolstad, 1992). Melalui pemahaman ini, literasi tidak hanya membaca dan menulis, tetapi juga mencakup bidang lain, seperti matematika, sains, sosial, lingkungan, keuangan, bahkan moral (moral literacy).

Membangun masyarakat dengan budaya keberaksaraan adalah menjadikan bahasa sebagai entitas utama, yang diimbangi dengan membaca dan menulis. Sekolah dan (kurikulum) pelajaran Bahasa Indonesia layak berdiri di garda depan untuk mengikis krisis bahasa-bangsa Indonesia ini.

Junaidi Abdul Munif, Peneliti el-Wahid Center Universitas Wahid Hasyim Semarang

Sumber: Lampung Post, Senin, 15 Agustus 2011

Sunday, August 14, 2011

Melihat Peta Penyair Perempuan Riau

-- Junaidi

APAKAH ada dikotomi sastra berdasarkan jenis kelamin? Mengapa lahir pula istilah feminisme, sastra perempuan, atau penyair perempuan? Anehnya tidak ada istilah maskulinisme, sastra laki-laki, atau penyair laki-laki yang berkembang. Lahirnya istilah perempuan dalam dunia sastra, baik dalam kritik sastra mapun penciptaan karya sastra disebabkan mitos inferioritas perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Adanya polarisasi laki-laki dan perempuan merupakan realitas penciptaan yang harus diterima. Kisah Adam dan Hawa merupakan bukti utama adanya dua dikotomi jenis kelamin manusia, yakni Adam simbol dari laki-laki yang perkasa, kuat, pemimpin, imam sedangkan Hawa mewakili identitas perempuan sebagai makhluk lemah, pengikut, dan makmum. Laki-laki memainkan peran dominasi sedangkan perempuan memainkan peran subordinasi. Bahkan ada yang mitos yang menyatakan bahwa Hawa itu diciptakan dari tulang rusuk Adam. Ini tentu saja semakin memberikan legitimasi lemahnya perempuan dibandingkan laki-laki. Pendek kata, perempuan itu bagian dari laki-laki sehingga mitos inferioritas perempuan terus berkembang dan bahkan dianggap sebagai ideologi dalam memahami hubungan laki-laki dan perempuan.

Berbicara tentang sastra perempuan atau penyair perempuan, sebaiknya diawali dengan memahami istilah emansipasi dan gender sebab aliran atau pandangan sastra perempuan didasari oleh konsep itu. Kata emansipasi berasal dari bahasa Latin emancipatio, bermakna “persamaan hak dalam berbagai kehidupan”. Sedangkan gender diartikan sebagai lawan dari kata seks. Gender bersifat psikologis kultural, sebagai pembeda antara masculine-feminine sedangkan seks bersifat boilogis (Ratna, 2007:219). Selanjutnya kata feminis berasal dari kata femme yang bermakna perempuan atau woman. Dalam bidang kebudayaan dibedakan istilah male dan female untuk menunjukkan perbedaan yang bersifat biologis atau hekekat penciptaan dan masculine dan feminine yang bersifat psikologis dan kultural (Ratna, 2009:184). Ini bermakna bahwa secara biologis memang ada perbedaan fisikal antara laki-laki dan perempuan. Tetapi yang lebih difokuskan kaum feminisme bukanlah perbedaan fisikal tetapi perbedaan yang bersifat kultural dengan mengatakan bahwa seseorang tidak dilahirkan sebagai perempuan tetapi menjadi perempuan. Ini bermakna bahwa lingkungan sosial atau masyarakat yang menjadikan seseorang sebagai seorang perempuan.

Salah satu media yang dapat digunakan perempuan untuk memperjuangkan gagasan emansipasi, persamaan hak, dan kebebasan adalah karya sastra. Karya sastra yang ditulis kaum perempuan diarahkan untuk mengangkat suara perempuan sehingga perempuan tidak lagi menjadi subordinasi laki-laki. Perempuan pun berhak membuat cerita dan sejarahnya sendiri. Sehingga tidak hanya ada his-story tetapi juga ada her-story. Perempuan berhak memaknai dunia mereka sendiri dengan cara-cara mereka sendiri. Segala tafsir dunia yang dimonopoli laki-laki ingin didekonstruksi oleh perempuan. Laki-laki dianggap telah membuat kesalahan besar dengan menafsir sesuatu dengan cara mereka sendiri sehingga posisi perempuan terus inferior dalam pandangan laki-laki. Lebih parahnya lagi, perempuan dipaksa untuk menerima keadaan bahwa perempuan itu memang lemah. Sehingga pada akhirnya ada inferior complex dalam diri perempuan sendiri. Perempuan menerima mereka sebagai kaum lemah sehingga mereka menyatakan bahwa laki-laki berhak mengatur mereka dan mereka harus tunduk kepada laki-laki. Pembedaan sastra perempuan terus dikembangkan dan memunculkan ungkapan penolakan terhadap dominasi tafsir oleh laki-laki, seperti androcentric (berpusat pada laki-laki), phallocentric (kelamin laki-laki, berpusat pada laki-laki), androtext (ditulis oleh laki-laki), gynotext (ditulis oleh perempuan) dan gynocritic (kritik sastra oleh perempuan).

Semangat kebebasan dan persamaan hak itulah yang menjadi dasar perjuangan feminisme dalam dunia sastra, terutama dalam kebudayaan Barat. Dalam dunia sastra rivalitas antara laki-laki dengan perempuan dapat dilihat dari segi penulis, penokohan, pembaca, dan gagasan utama yang terdapat dalam karya sastra. Dalam karya sastra lama Indonesia sering ditemukan tokoh utama yang mewakili dominasi laki-laki seperti Rama, Arjuna, Sutasoma, Hang Tuah, Rajapala dan Jayapran (Ratna, 2009: 193). Di Indonesia, gagasan feminisme sudah terlihat sejak zaman Balai Pustaka, yakni dengan hadirnya novel-novel yang mengangkat masalah kawin paksa seperti Siti Nurbaya dan Layar Terkembang. Kuatnya ideologi maskulinitas memang terlihat dalam dunia penulisan di Indonesia. Jumlah penulis perempuan tidak sebanyak penulis laki-laki. Beberapa penulis perempuan yang terkenal diantaranya Sariamin, Hamidah, Maria Amin, Nursyamsu, Waluyati, Ida Nasution, S Rukiah, Sitti Nuraini, Suwarsih Djojopuspito, Nh Dini, Titie Said, Tifis Aryati, Marianne Kattopo, Maria A Sarjono, Yati M Wiharja, Oka Rusmiani, Ayu Utami, Dewi Lestari (Dee), dll (Ratna, 2009: 193).

Selain dilihat dari segi penulisnya, emansipasi perempuan juga dilihat dari tokoh perempuan yang diangkat dalam cerita seperti tokoh Hamidah dalam novel Kehilangan Mestika karya Hamidah dan Yusnani dalam novel Pengaruh Keadaan karya Selasih. Ternyata tokoh fiksi perempuan tidak hanya diangkat oleh penulis perempuan tetapi juga dianggat oleh penulis laki-laki seperti Siti Nurbaya dalam novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli dan Tuti dalam novel Layar Terkembang karya Sultan Takdir Alisjahbana.

Bagaimana dengan Penyair Perempuan di Riau?
Adanya identitas tersendiri bagi para perempuan Riau terlihat dari kelompok penyair perempuan. Para penulis puisi perempuan memiliki hak untuk mengidentifikasi diri mereka sebagai penyair perempuan Riau. Mereka ingin membedakan dirinya dengan para penyair yang bukan perempuan. Mudah-mudahan munculnya identitas penyair perempuan tidak memunculkan kelompok penyair laki-laki Riau sebab itu sangat tak lazim. Para penyair laki-laki cukup mengindentifikasi diri mereka sebagai “penyair” sedangkan penyair perempuan boleh mengidentifikasi mereka dalam dua identitas, yakni sebagai “penyair” dan “penyair perempuan.” Identitas sebagai “penyair” tentu saja bersifat universal atau tidak ada pembedaan jenis kelamin sehingga gagasan yang disampaikan tidak dilihat dari sisi jenis kelamin penulisnya. Tetapi ketika identitas “penyair perempuan” digunakan maka identitas penulisnya tidak universal lagi atau tidak netral lagi melainkan harus dilihat dari sisi jenis kelamin perempuan. Ada nilai khusus yang ingin ditampilkan dalam identitas penyair perempuan.

Identitas penyair perempuan Riau dibuktikan dengan adanya tiga buku (sejauh yang saya baca) yang secara sengaja diterbitkan untuk mewakili suara perempuan Riau dan perempuan lainnya dalam dunia sastra, yakni Musim Bemula: Kumpulan Puisi Penyair Perempuan se-Sumatera (2001). Dalam buku ini terdapat 7 penyair perempuan Riau, yakni Ar Kemalawati, Cecen Cendrahati, DM Ningsih, Herlela Ningsih, Kunni Masrohanti, Tien Marni, dan Zainurmawaty. Selanjunya dalam Kemilau Musim: Kumpulan Puisi Penyair Perempuan Indonesia (2003) ada 15 penyair perempuan Riau: Asnah Dumasari, Budy Utamy, Cecen Cendrahati, DM Ningsih, Endang Indrayani Ramlan, Hamidah, Herlela Ningsih, Kunni Masrohanti, Murparsaulin, Natalia Lili, Nurhayati, Qori Islami Aris Abeba, Tien Marni, Verrin YS, dan Zainurmawaty. Dalam buku Pesona Gemilang Musim: Kumpulan Puisi Penyair Perempuan Indonesia II (2004) terdapat pula 19 penyair perempuan Riau: Asnah Dumasari, Budi Utamy, Cecen Cendrahati, DM Ningsih, Endang Indrayani Ramlan, Fatmawati, Hamidah, Herlela Ningsih, Ita Maatas, Kunni Masrohanti, Murparsaulin, Natalia Lili, Novi Yanti, Nurhayati, Qori Islami Aris Abeba, Rina N Entina, Tien Marni, Verrin YS , dan Zainurmawaty. Ketiga kumpulan puisi tersebut diterbitkan oleh Himpunan Perempuan Seni Budaya Pekanbaru. Meskipun kumpulan puisi tersebut meliputi penyair dalam kawasan Sumatera dan Indonesia, buku tersebut lebih merepresentasikan suara penyair perempuan di Riau sebab diterbitkan oleh kelompok penyair di Pekanbaru.

Dalam buku Komposisi Sunyi: Sajak Pilihan Riau Pos 2007 terdapat 2 penyair perempuan Riau: Dien Zhurindah dan DM Ningsih. Dalam buku Tamsil Syair Api: Sajak Pilihan Riau Pos 2008 terdapat 5 penyair perempuan Riau: Alvi Puspita, Budy Utamy, Dien Zhurindah, Musparsaulian, dan Wetry Febrina. Dalam buku Ziarah Angin: Sajak Pilihan Riau Pos tahun 2009 ada 4 penyair perempuan Riau: Alvi Puspita, Susi Susanti, Zurnila Emhar, Cahaya Buah Hati. Dalam Fragmen Waktu: Sajak Pilihan Riau Pos 2010 terdapat 6 penyair perempuan Riau: Cahaya Buah Hati, Dien Zhurindah, Cikie Wahab, Kunni Masrohanti, Srikartini Ningsih, dan Sugiarti.

Dalam buku kumpulan puisi lain, Mengucap Sungai Antologi Puisi Temu Budaya Nasional 2010 (2010), terdapat 2 penyair perempuan Riau: Alvi Puspita dan Cahaya Buah Hati. Dalam Selat Melaka: Antologi Puisi Pekanbaru-Johor terdapat pula 4 penyair perempuan Riau: Budyi Utamy, Dien Zhurindah, DM Ningsih, dan Herlela Ningsih.

Berdasarkan pembacaan atas karya-karya penyair perempuan di atas, ternyata tidak semua penyair perempuan Riau yang menulis gagasan perempuan. Kebanyakan dari mereka menulis tentang tema-tema umum seputar kehidupan, cinta dan isu-isu sosial lainya. Ini bermakna bahwa penyair yang termasuk penyair perempuan tidak selalu menulis tentang perempuan sebab tidak segala gagasan yang diangkat dalam puisi itu berkaitan dengan perempuan dan dilihat dari perspektif gender. Gagasan dalam dunia ini banyak yang bersifat universal sehingga tidak harus selalu dihubungkaitkan dengan perempuan. Jika demikian, tidak semua puisi atau sajak yang ditulis perempuan dilihat dari perspektif feminisme meskipun para penulisnya mengidentifikasikan dirinya sebagai penyair perempuan. Begitu juga dengan penulis laki-laki. Tidak semua karya penulis laki-laki yang bersifat bias gender dan memposisikan perempuan inferior.

Penyair perempuan Riau yang secara khusus menulis tentang perempuan adalah Tien Marni dalam puisinya yang berjudul “Ziarah”. Dalam puisi disebutkan nama tokoh-tokoh perempuan seperti Kemala Hayati, Cut Nyak Dien, dan Aisyah Sulaiman. Penyebutan ini bertujuan untuk mengingatkan besarnya peran perempuan dalam kehidupan ini. Pengangkatan tokoh perempuan dalam puisi ini tidak untuk membela inferioritas perempuan tetapi justru untuk menunjukkan kelembutan dan keibuan seorang perempuan.

Zainurmawaty menulis tiga puisi yang berkaitan dengan perempuan. Puisi pertama berjudul “Tetesan Berkah”. Puisi ini mengangkat proses penciptaan dan kelahiran yang dialami oleh seorang perempuan atas kerjasama perempuan dengan laki-laki. Hubungan kemitraan antara perempuan dan laki-laki menghasilkan seorang anak manusia yang merupakan berkah dari yang Maha Kuasa. Puisi kedua berjudul “Petuah Bunda”. Puisi ini berisikan pesan seorang ibu kepada anaknya dalam menjalani kehidupan. Peran perempuan sebagai seorang ibu sangat ditonjolkan dalam puisi ini. Sedangkan puisi ketiga berjudul “Bakti Seorang Istri”. Puisi ini mengangkat perasaan kekaguman, pengabdian dan bakti seorang istri kepada suami. Perempuan diposisikan sebagai seorang istri yang membaktikan dirinya kepada seorang suami.

Penyair perempuan lain yang mengangkat isu perempuan adalah Budy Utamy dalam puisinya yang berjudul “Perempuan yang Terlambat”. Puisi ini mengangkat pandangan seorang perempuan terhadap laki-laki yang berhubungan dengannya. Dalam puisi ini terlihat keluh-kesah seorang perempuan terhadap seorang laki-laki dan terhadap dirinya sendiri sebagai seorang perempuan.

Natalia Lili menulis dua puisi tentang perempuan, yakni “Serat-Serat Rindu Ketika Seorang Ibu Bercerita Kepada Kedua Anaknya”. Puisi ini mengisahkan bagaimana seorang Ibu bercerita kepada anak sebagai ungkapan kasih sayang. Sedangkan dalam puisi yang berjudul “Aku Putri Kelahiran Tepian Sungai Siak” diungkapkan protes seorang perempuan Riau atas tercemarnya sungai Siak sebagai sumber kehidupan bagi orang Riau. Kerusakan sungai dianggap mengancam kehidupan masyarakat di tepian sungai Siak. Sebenarnya puisi ini tidak secara khusus menyuarakan suara perempuan terhadap kerusakan lingkungan. Agaknya, identitas penulis sebagai perempuan mempengaruhinya untuk menggunakan “aku putri.”

Satu lagi penyair perempuan Riau yang menulis puisi tentang perempuan adalah Verrin YS dalam puisinya yang berjudul “Jilbab”. Puisi ini memang berkaitan dengan perempuan sebab kata jilbab sendiri berkaitan dengan tudung kepala yang digunakan perempuan untuk menutupi aurat. Pesan utama dari puisi ini adalah ajakan untuk membersihkan diri tidak hanya sebatas fisikal saja tetapi yang lebih penting adalah pembersihan hati atau secara spiritual yang terdapat dalam diri perempuan.

Berdasarkan gagasan utama tentang perempuan yang ditulis oleh beberapa penyair perempuan di atas tidak ditemukan gagasan yang mengarah kepada perjuangan perempuan membela persamaan hak mereka dengan laki-laki. Tidak ada keluh kesah atau protes terhadap eksistensi mereka sebagai perempuan. Para penyair perempuan Riau tidak merasakan posisinya sebagai perempuan yang didominasi oleh laki-laki. Mereka tampaknya nyaman dengan posisi mereka berdampingan hidup bersama laki-laki. Bahkan mereka cenderung untuk mengangat perempuan sebagai seorang ibu yang menjalankan perannya dalam merawat dan mendidik anak serta sebagai seorang istri yang berbakti kepada suaminya.

Isu emansipasi tampaknya tidak menarik bagi para penyair perempuan Riau. Agaknya, ini disebabkan oleh faktor budaya yang terdapat dalam masyarakat Melayu. Para penyair perempuan Riau tidak terlalu terpengaruh oleh gagasan emansipasi yang datang dari Barat. Identitas sebagai seorang perempuan bagi mereka telah diikat oleh kebudayaan Melayu yang bergerak dalam nilai-nilai Islam. Sehingga tampaknya tidak lazim bagi penyair perempuan Riau untuk menggugat laki-laki melalui puisi mereka. Bagi masyarakat Melayu seorang perempuan itu dicitrakan sebagai Emak atau Ibu yang penuh kasih sayang menjaga tatanan kehidupan ini. Pandangan ini sedikit banyaknya berpengaruh pada pandangan penyair perempuan Riau. Mengidentifikasi diri sebagai penyair perempuan tidak membuat penyair perempuan Riau terjebak dalam hubungan rivalitas antara laki-laki dan perempuan. Isu-isu yang bersifat universal dan humanis jauh lebih penting dari pada menggugat posisi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat.***


Dr Junaidi
, Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unilak dan Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Riau. Sudah menulis beberapa buku tentang budaya dan sastra. Tinggal di Pekanbaru.

Sumber: Riau Pos, 14 Agustus 2011

Saturday, August 13, 2011

Ketika Lukisan Kaligrafi Dipamerkan Selama Ramadhan

-- Chairul Abhsar

SEBANYAK 20 lukisan kaligrafi, karya seorang pelukis Kota Kembang Abu Djumhur dipamerkan di sebuah hotel berbintang di pusat Kota Bandung, Jawa Barat, Senin lalu.

Sebelumnya, saya juga menyaksikan pameran sejumlah lukisan kaligrafi di Taman Budaya Padang, Sumbar. Lu-kisan kaligrafi di Taman Budaya Padang menampilkan karya-karya AMY dt Garang dan Amir Syarif.

Dan, yang membuat saya terharu, adalah ketika saya mencermati lukisan tersebut dan siapa-siapa yang menonton lukisan tersebut. Saya menyaksikan beberapa penikmat pameran itu menangis terharu.

Kenapa menangis? "Saya terharu lukisan itu begitu dalam, sangat dalam memahami tentang Islam. Sementara saya, lulusan sebuah perguruan tinggi tentang Islam, merasa belum ada apa-apanya. Saya terharu melihat lukisan kaligrafi karya Pak Abu Djumhur," ujar Harminah yang mengaku lulusan S2 Institut Agama Islam Negeri Bandung.

Penegasan serupa juga diungkapkan Syahriar Usmah, seorang Dai di Kota Padang seusai melihat lukisan kaligrafi karya dua pelukis kaligrafi di Taman Budaya Padang. "Saya menangis terharu mencermati kedalaman pemahaman tentang Islam yang dituangkan AMY Dt Garang dan Amir Syarif dalam lukisan kaligrafinya," ungkap Syahrial.

Lukisan bernuansa Islami ini memang menarik perhatian warga maupun tamu hotel yang sedang menjalankan ibadah puasa. Pengunjung bisa menikmati berbagai lukisan kaligrafi sambil menunggu saat berbuka.

Lukisan kaligrafi itu, di antaranya merupakan kutipan doa, ayat suci Alquran, dan sejumlah kaligrafi lainnya yang dipadukan dengan warna pastel yang lembut. Dari hasil karyanya pelukis juga ingin mengajak umat manusia untuk selalu memelihara lingkungan. Ini tergambar melalui salah satu karyanya yang menggambarkan kedekatan manusia, alam, dan Tuhan.

Selain lukisan kaligrafi, pelukis Abu Djumhur juga menampilkan karya lukisan fine art dengan memanfaatkan bahan karung goni, anyaman, dan plastik sebagai bahan dasar karya seninya.

Upaya serupa juga ditempuh dua pelukis kaligrafi yang memamerkan karyanya di sekitar Taman Budaya Padang. Puluhan karya lukisan kaligrafi dua pelukis senior Sumatra Barat (Sumbar), AMY Dt Garang dan Amir Syarif, dipamerkan dan mendapat sambutan hangat oleh masyarakat Sumbar.

Taman Budaya Padang, yang menjadi lokasi pameran dikunjungi masyarakat sepanjang hari. Beberapa diantaranya menagis karena terharu begitu menyimak karya-karya tersebut.

"Ini adalah hasil karya lukisan saya selama 10 tahun terakhir," kata Amir Syarif di Padang, Senin. Sebelumnya ia hanya melukis biasa, seperti pemandangan dan manusia. Namun ada dorongan dari teman-teman seniman di Padang sekitar tahun 1990 sehingga Amir mulai menggeluti lukisan kaligrafi, kata pelukis kelahiran Lubuk Alung, Padangpariaman itu.

Karya-karya kaligrafinya itu, katanya, sengaja dipamerkan pada bulan ramadhan sekaligus mengajak penikmat lukisan untuk kembali ke surau.

"Yang Satu" tersebut menampilkan 25 lukisan kaligrafi karya Amir Syarif dan 23 karya AMY Dr Garang.

Uniknya, beberapa karya kaligrafi Amir Syarif memakai properti yang membuak kaligrafi tersebut berwujud tiga dimensi. Pada kaligrafi berjudul "Maha Melihat", Amir menempelkan dua bulatan kaca pantul berbentuk kacamata, yang menggambarkan Tuhan Maha Melihat.

Selain itu, pada lukisan lainnya berjudul "Maha Kaya", Amir menempelkan miniatur mobil di lukisannya tersebut yang menggambarkan sebuah kekayaan memiliki mobil.

Amir Syarif memiliki konsep berkesenian, yakni kitab suci Al-Quran yang agung kebenarannya, mutlak memiliki nilai tinggi dan penuh dengan keberkatan, sehingga menjadikannya sangat mulia, sempurna dan menakjubkan.

Kurator Lukisan Kaligrafi, Ady Rosa menyatakan, ada kerinduan pelukis terhadap "Yang Satu", yang memberikan pedoman hidup manusia.

Menurutnya, lukisan Amir Syarif umumnya didominasi melalui gradasi warna-warna biru sebagai salah satu "personality identity" dengan aksentuasi merah lembut.

Amir Syarif dan Dt Garang sama-sama pernah mengajar di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) di Padang dan hingga kini masih aktif dan produktif menciptakan karya lukis bernuansa Islami dengan gaya dan corak berbeda.

Banyak manfaat yang bisa dirasakan pengunjung dengan memperhatikan pameran kaligrafi selama bulan puasa. Memperhatikan lukisan kaligrafi karya Abu Djumhur yang dipamerkan di sebuah hotel berbintang di Kota Kembang Bandung misalnya, kita tidak sekadar diajakmendalami tentang Islam, tetapi juga diajak berkenalan dengan alam pikiran pelukis kaligrafi Abu Djumhur yang begitu luar bisa menafsirkan Allah ketika menurunkan ayat demi ayat Al Quran untuk semua umat Islam di muka bumi ini. Akibatnya, ketika pameran itu berhasil dicermati penonton, ada saja yang mengakibatkan penonton terharu, dan menagis.

Lukisan bernuansa Islami ini memang menarik perhatian warga maupun tamu hotel yang sedang menjalankan ibadah puasa. Pengunjung bisa menikmati berbagai lukisan kaligrafi sambil menunggu saat-saat berbuka.

Lukisan kaligrafi itu, di antaranya merupakan kutipan doa, ayat suci Alquran, dan sejumlah kaligrafi lainnya yang dipadukan dengan warna pastel yang lembut. Dari hasil karyanya pelukis juga ingin mengajak umat manusia untuk selalu memelihara lingkungan. Ini tergambar melalui salah satu karyanya yang menggambarkan kedekatan manusia, alam, dan Tuhan.

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 13 Agustus 2011