Sunday, July 31, 2011

Ironi Manusia Berutang

-- Budiawan Dwi S.

MANUSIA tidak bisa terlepas utang. Utang membuat hidup manusia terasa terhantui, sengsara, dan memilukan. Namun, utang yang sebagian besar menjadi momok dan dijauhi oleh mereka, ternyata merupakan bagian hidup yang tidak terlepas dari mereka. Artinya, manusia sebenarnya telah mengakrabi utang.

Soren Kierkegaard, filsuf dari Denmark (1813—1855) telah mengalami hal seperti itu. Sejak kecil ia bersama keluarganya telah hidup dalam kemelaratan yang pahit. Maka, untuk mengurangi beban dari keluarga, Kierkegaard mulai meninggalkan rumah keluarganya saat berumur sekitar 24 tahun. Pada saat itu, ia tinggal dan pindah dari satu kamar sewaan ke kamar lainnya. Kehidupannya pun tidak menentu, bahkan bisa dikatakan berantakan.

Ia hidup dalam tumpukan utang.

Namun, utang yang ia tanggung sebagian besar digunakan untuk membeli buku-buku. Dari buku-buku yang ia beli, hidup Kierkegaard tidak merasa berkurang. Ia justru dapat menyelesaikan kuliahnya. Biografi utang Kierkegaard menunjukkan bahwa hidupnya tidak mengalami kekurangan atau penyusutan, tapi malahan sebaliknya. Kierkegaard menjadi kaya akan makna hidup dan keintelektualannya. Bahkan, dari kolektivitas hidupnya, ia mampu memberikan sumbangsih berupa gagasan-gagasan yang berharga bagi umat manusia.

Kisah lain dialami oleh Hussein. Hidup keluarganya sengsara dan dililit utang. Hussein sadar bahwa untuk mengurangi beban orang tuanya, ia harus bekerja. Hussein pun mendapat pekerjaan, tapi permasalahan timbul lagi. Ia harus bekerja di tempat yang jauh dari rumahnya. Ini memerlukan biaya lagi. Mau tak mau ia tetap mencari utang. Dari keadaan itu, maka ia berinisiatif untuk ke tempat kakaknya, Hasan, untuk berutang.

Lalu, Hussein berangkat ke tempat kakaknya. Setelah mengetahui tempat tinggal kakaknya dan bertemu, ketakutan melandanya. Interaksi berjalan alot, penuh kebimbangan dan rasa malu. Inilah kutukan bagi orang yang berutang. Orang akan menjadi lebih inferior. Namun, di sisi lain orang yang diutangi justru menyadari kesulitan orang yang berutang. Hal ini seperti yang terjadi pada kakaknya. Akhirnya Hasan merelakan kalung emas istrinya untuk dipinjamkan pada adiknya. Inilah kisah yang diceritakan oleh Naguib Mahfouz dalam cerpen berjudul Kalung Emas (2002).

Meskipun kisah ini fiktif, dari proses utang inilah rasa kekeluargaan, kepedulian, keakraban, dan sensibilitas seseorang justru terbentuk dan terjalin erat. Kisah Hussein menyimpan berbagai makna dalam kehidupan.

Di sisi lain, gara-gara utang, manusia bisa menjadi serakah, bahkan kehilangan eksistensinya sebagai manusia. Bila merujuk kata-kata Sartre, keadaan itu merupakan maut bagi manusia. Pernyataan itu dapat diketahui lewat sebuah roman berjudul Sitti Nurbaya karya Marah Rusli (1889-1968).

Intisari dari roman Sitti Nurbaya mengisahkan tentang keserakahan Datuk Maringgih yang kurang suka dengan keberhasilan usaha milik Baginda Sulaiman, ayah dari Sitti Nurbaya. Maka, dengan segala upaya Datuk Maringgih menjatuhkan usaha Baginda Sulaiman dengan cara menyuruh orang untuk membakar tokonya sehingga ia menjadi miskin. Keserakahan Datuk Maringgih tak berhenti begitu saja.

Ia berpura-pura baik untuk meminjami uang pada Baginda Sulaiman dengan persyaratan, harus bisa melunasi utangnya dalam waktu tiga bulan. Namun, Baginda Sulaiman gagal melunasi utang. Ancaman penjara pun ia tujukan padanya. Sampai akhirnya Datuk Maringgih menginginkan Sitti Nurbaya untuk dijadikan istri mudanya. Ayah Sitti Nurbaya pun merelakan anaknya untuk diperistri Datuk Maringgih. Sitti pun mengikuti perintahnya, walaupun dalam keadaan terpaksa, bimbang, dan ragu.

Dari sekelumit kisah itu, dapat tergambarkan bahwa permasalahan utang membawa bencana. Pemberi utang semakin semena-mena dan serakah pada yang diutangi. Ayah Sitti Nurbaya secara tidak sadar telah menghilangkan eksistensi anaknya. Manusia telah disamakan barang. Keadaan itu juga mengidentifikasikan bahwa secara tidak sadar, Sitti Nurbaya telah menjadikan dirinya sebagai barang.

Tindakan Sitti Nurbaya itu juga mengalami kontradiksi bila dipandang secara teologis. Di satu sisi, ia merasa mendapat “pahala” karena patuh pada orang tua. Di sisi lain keraguannya itu yang membuat dia secara tidak sadar melanggar ajaran agamanya. Ini dapat diketahui sabda Muhammad saw.: "Tinggalkan hal yang masih meragukan bagimu menuju hal yang tidak meragukan bagimu."

Kini, biografi-biografi utang telah tergantikan dengan kartu kredit. Utang yang tak berbentuk uang inilah yang telah membentuk ilusi-ilusi tidak manusiawi. Angka-angka yang tercetak dalam kartu kredit seperti menjadi daftar angka-angka kematian saja. Eksistensi manusia hilang karena tak ada interaksi. Kereligiusan angka dan sensibilitas terhadap orang telah tiada juga. Maka, biografi utang yang dulunya mengandung etis, kekuasaan, intelektualitas, filsafat, dan religiusitas, kini telah terhempas atau terhilangkan. Ironis!


Budiawan Dwi S., Pengelola Komunitas Tanda Tanya Solo

Sumber: Lampung Post, Minggu, 31 Juli 2011

[Buku] Riwayat Lelaki Ajaib

Judul : Tawanan Benteng Lapis Tujuh
Penulis : Husayn Fattahi
Penerjemah : Muhammad Zaenal Arifin
Penerbit : Zaman, Jakarta, 2011
Tebal : 295 halaman

DUNIA mencatat nama Ibnu Sina sebagai filsuf besar Islam dan dokter moncer. Ibnu Sina atau Avicenna (980—1037) hidup dalam kegandrungan literasi dan represi pelbagai rezim politik. Detik-detik kehidupan seolah dijalani dengan serba ajaib: sekolah, pekerjaaan, dan jodoh.

Tanda-tanda intelektualitas sudah dikenali sejak bocah. Ibnu Sina tekun belajar pelbagai hal melampaui kelaziman usia. Pelajaran agama dan umum diselesaikan dengan enteng. Ibnu Sina memerlukan guru-guru mumpuni agar nalar, imajinasi, dan gairah spiritualitas tak macet.

Biografi Ibnu Sina pun riuh keajaiban, konflik, dan pengharapan. Kesanggupan mengobati Raja Nuh II jadi permulaan lakon hidup Ibnu Sina dalam kubangan politik. Ibnu Sina tidak menghendaki, tapi politik memang susah dielakkan.

Penghormatan sebagai dokter dan intelektual justru menjadi alasan meladeni politik. Kondisi ini bukan mengartikan politik sebagai kehendak bebas. Politik mirip jebakan-jebakan getir. Ibnu Sina menghendaki hidup dalam antusiasme filsafat dan ilmu kendati harus melalui lorong-lorong politik dan popularitas.

Teknik pengobatan modern menimbulkan sangkaan dari para ahli pengobatan lawas. Ibnu Sina dicurigai sebagai penyihir: labelitas murahan untuk menjatuhkan martabat keintelektualan. Ibnu Sina tidak minder.

Pengetahuan kedokteran modern justru dipraktekkan dengan optimistis dan pembuktian bisa diakui publik. Ibnu Sina tampil sebagai doker moncer. Risiko ironis adalah intrik-intrik dari kalangan dokter dan politisi untuk menjatuhkan Ibnu Sina.

Kehadiran dan kemonceran Ibnu Sina menjadi momok bagi mereka karena urusan jabatan, gaji, dan popularitas. Ibnu Sina menghadapi intrik ini sepanjang hidup di pelbagai rezim kekuasaan. Ibnu Sina menjalani takdir dalam konflik tanpa ujung.

Novel ini meriwayatkan Ibnu Sina secara naratif dan bertaburan informasi untuk pembacaan historis. Pembaca disuguhi episode-episode kehidupan menegangkan. Ibnu Sina adalah sosok intelektual mumpuni tapi kontroversial di sebuah zaman dalam kungkungan politik pragmatis.

Nalar modern masih mengalami keterpencilan karena bersinggungan dengan agama, tradisi, dan pemikiran tradisional. Ibnu Sina ingin merombak dan membuat rumusan tentang filsafat, keilmuan, dan kedokteran dengan kekuatan nalar tanpa mengabaikan kebenaran dalam doktrin-doktrin Islam. Laku ini mengantarkan Ibnu Sina sebagai filosuf muslim besar karena sanggup membangun sistem filsafat lengkap dan terperinci.

Filsafat Ibnu Sina memberi pengaruh besar di dunia Islam dan Eropa. Geliat filsafat modern di Eropa memiliki hutang besar atas kerja filosofis Ibnu Sina. M.M. Syarif dalam Para Filosuf Muslim (1985) mengakui Ibnu Sina sebagai warga dunia intelektual-spiritual: hellenis dan islami.

Pengaruh besar Ibnu Sina di Eropa dibuktikan dengan penerjemahan buku-buku ke dalam bahasa Latin di Spanyol sepanjang abad XII. Rembesan filosofis Ibnu Sina tampak dalam pemikiran St. Thomas Aquinas.

Buku Summa Theologica dan Summa Contra Gentiles ditengarai mengandung pokok-pokok pemikiran Ibnu Sina. Pembacaan dan tafsir atas filsafat Ibnu Sina di dunia Islam bertahan dari abad ke abad karena ada pikat filosofis-teologis. Ibnu Sina ikon dari gairah filsafat abad pertengahan.

Husayn Fattahi dalam novel Tawanan Benteng Lapis Tujuh memang tidak membuat uraian historis itu, tapi memberi jejak-jejak awal petualangan intelektual Ibnu Sina. Interaksi Ibnu Sina dengan elite politik, agama, dan intelektual membuka jalan pembesaran pengaruh pemikiran ke pelbagai penjuru negeri. Hasrat pengetahuan dijegal oleh kepicikan politik.

Ibnu Sina kerap “ditundukkan” oleh rezim dengan sanksi dan limpahan harta. Ibnu Sina menyiasati kondisi dilematis dengan mengarahkan diri untuk pembelajaran dan penulisan risalah filsafat, ilmu, dan kedokteran. Hidup dari istana ke istana tidak meruntuhkan gairah keintelektualan.

Hukuman penjara, siksaan, dan pengasingan oleh sekian intrik politik tidak menjadikan Ibnu Sina kapok mengabdikan hidup demi menguak kebenaran melalui jalan filsafat dan derma dalam praktek kedokteran modern. Buku ilmu kedokteran bertajuk Al-Qanun fi at-Thibb dan As-Syifa adalah persembahan agung untuk dunia.

Jabatan, harta, dan keluaraga selalu dipertaruhkan Ibnu Sina saat mengalami represi-represi politik. Novel ini dengan apik meracik sekian konlfik dalam biografi Ibnu Sina untuk memunculkan impresi atas ketangguhan dan kebersahajaan seorang filsuf kondang. Pengarang sadar tentang peran tokoh Ibnu Sina sebagai pusat penceritaan.

Ibnu Sina tidak tampil di jalan lurus. Belokan-belokan karena perbenturan masalah keluarga, komunitas intelektual, laku spiritualitas, persahabatan, dan pekerjaan disajikan sebagai gambaran manusiawi Ibnu Sina.

Rasa takut, kebersalahan, sesalan, sakit, dan impian bertumpuk dalam adonan kisah impresif. Novel ini jadi narasi historis-imajinatif untuk mengenangkan Ibnu Sina tanpa sakralisasi. Begitu.

Bandung Mawardi
, Pengelola Jagat Abjad Solo

Sumber: Lampung Post, Minggu, 31 Juli 2011

Islam, Pasantren, dan Solusi

-- Alvi Puspita

AHMAD Fuadi, seorang anak kampung dari ceruk Maninjau Sumatera Barat, menuliskan novel Negeri 5 Menara. Dalam waktu dua tahun, novel tersebut telah mengalami sepuluh kali cetak ulang. Mengapa dan ada apa dengan novel ini?

Islam, Pasantren dan Solusi (Ideologi Utama)
Tidak ada tulisan yang non-ideologis. Segala macam bentuk tulisan adalah sebuah bentuk pembuatan, sebuah cara penyusunan, yang karenanya tidak bisa menghindari tanda-tanda pembuatan atau gaya tersebut (Barthes via Strinati, 2010). Sependapat dengan apa yang disampaikan Barthes, maka membaca novel Negeri 5 Menara adalah membaca ideologi-ideologi tertentu. Ideologi secara sederhana dapat dipahami sebagai pengetahuan tentang gagasan yang berkaitan dengan sistem pemikiran, sistem kepercayaan, dan sistem tindakan. Dalam sistem pemikiran, ideologi sering dijadikan alat legitimasi terhadap kebenaran. Dalam sistem kepercayaan, ideologi dijadikan landasan keyakinan. Adapun dalam sistem tindakan, ideologi dijadikan pedoman perilaku manusia. Dengan demikian, ideologi dijadikan acuan berpikir, berkeyakinan, dan bertindak (Harsono, 2009). Lalu, ideologi apakah yang terkandung dalam novel Negeri 5 Manara?

Berdasarkan pembacaan pada keseluruhan novel, maka menurut penulis setidaknya ada dua ideologi utama yang ingin disampaikan oleh novel ini. Ideologi tersebut adalah ideologi keislaman dan ideologi kepasantrenan. Ideologi keislaman yaitu ideologi tentang nilai-nilai dan prinsip Islam yang terselip pada apa yang diterima dan diyakini tokoh utama dari persentuhannya dengan tokoh-tokoh lain, mulai dari lingkup keluarganya hingga lingkungan pasantren. Nilai-nilai itu misalnya tentang keharusan umat nabi Muhammad menjaga ukhuwah (hal 137-138), tentang pilihan dan konsekuensi (hal. 39), perjuangan membela kebenaran dan kejujuran (hal.140), kewajiban menuntut ilmu agama dan ilmu dunia hanya karena Allah, tentang keyakinan pada Islam, Allah dan Nabi Muhammad, tentang istiqamah, qanaah, tawakal, ikhtiar dll. Adapun yang dimaksud dengan ideologi kepasantrenan yaitu penanaman pikiran-pikiran tertentu yang berhubungan dengan pasantren sebagai sebuah institusi pendidikan yang berbasis Islam. Dengan kata lain, pasantren adalah sebuah pendidikan alternatif yang mampu memberikan sumbangsih besar untuk sebuah perubahan keadaaan yang lebih baik dengan mencetak individu-individu yang baik secara intelektual baik pula secara spiritual.
Sebuah petikan pidato tokoh Alif dalam novel yang berjudul The Decandence of the World, How Islam Solves It menurut penulis adalah ideologi utama dari novel ini. Berikut kutipannya:

“My beloved Madanian, Assalammualaikum Warahmatullahhi Wabaraaatuh!..... Do you know why are you stupid?... Do you know? aku ulang lagi Do you know?.... Because you forget the alhadist and Koran. Because you forget what Allah and his prophets taught us!” (hal. 154-155).

Keras dan menyentak. Dunia sedang mengalami dekadensi dan Islamlah solusinya. Namun orang-orang islam itu sendiri tidak menyadari itu dan malah larut dalam kepintaran yang bodoh karena hanya memikirkan dunia dan materi saja. Dua pedoman keselamatan dunia dan akhirat, hadis dan Alquran dilupakan bahkan dibuang. Diganti dengan televisi serta referensi-referensi Barat yang diterima begitu saja tanpa dikritisi. Kira-kira hal itulah yang ingin disampaikan dari pemilihan judul dan petikan pidato Alif tersebut. Dan penulis pikir hal itu pula yang sedang diresahkan Ahmad Fuadi selaku penulis novel sehingga ia menciptakan novel Negeri 5 Menara beserta triloginya.

Namun, menurut hemat penulis, Islam yang dimaksud Fuadi di sini tentu bukanlah pemaknaan islam yang sempit dan cupit, fanatik, keras dan anarkis. Boro-boro menyelesaikan masalah malah membuat masalah baru yang semakin jauh dari hal substansial. Semestinya, seperti yang penulis pikir dari novel ini, hal yang paling dasar untuk dilakukan adalah bagaimana agar nilai-nilai islam dan bentuk pengajarannya mampu merasuk dan membentuk individu-individu dengan mentalitas yang kokoh. Individu-individu yang cerdas secara intelektual dan spiritual, sehingga mampu menjadi agent of change. Capaian semestinya, Islam adalah individu itu sendiri.

Nilai-nilai yang bagus sering diabaikan bahkan ditentang karena cara penyampaian yang tak bagus. Doktrinisasi ortodoks sudah basi dan tak memberi solusi malah menjadi biang keladi. Maka mensiasiati adalah salah satu jalan. Bagaimana caranya? Yaitu dengan penaman nilai-nilai keislaman mulai dari keluarga dengan cara-cara yang arif dan bijak bukan dengan dogmatisasi yang kaku. Pasantren merupakan salah satu solusi, namun solusi itu akan sia-sia saja jika si anak tidak dibekali terlebih dahulu dengan pendidikan keluarga. Jadi, idealnya Islam yang menjadi solusi adalah Islam yang mengglobal dengan nilai-nilai universal yang mendarah daging pada diri individu yang merupakan hasil dari kesadaran individu itu sendiri karena persentuhan terus-menerus dengan nilai-nilai keislaman. Islam yang menjadi solusi adalah Islam yang bukan sebatas ritual dan kefanatikan semata melainkan Islam yang membuka diri seluas-luasnya sekaligus mawas diri sebetul-betul awas. Islam yang sebetul-betul lembut dan Islam yang sebetul-betul tegas.

Persoalan kita, persoalan negara bahkan persoalan dunia semakin menumpuk. Hal mendasar dari semua itu adalah soal mentalitas dan persoalan nilai-nilai. Kurang apalagi nilai-nilai Islam dan nilai-nilai dari agama lain? Kurang apa lagi nilai-nilai dalam tradisi-tradisi kita? Kemudian sastra, karya seni juga pendidikan, apakah memang telah betul-betul kering nilai sama sekali? Lalu, mengapa masih ada permasalahan yang menunjukkan kebobrokan moral manusia? Sudah tidak bergunakah agama? Sudah tidak bergunakah Islam? Novel Negeri 5 Menara mencoba mengajak kita berpikir dan menjawab tentang itu. Islam, pasantren dan solusi. Namun, hal paling awal dari semua menurut penulis adalah pasantren dalam keluarga. Ya. pasantren dalam keluarga!

Alvi Puspita, lahir di Desa Teratak, Kampar. Sedang menyelesai S-2 di Fakultas Ilmu Budaya UGM Jogjakarta.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 31 Juli 2011

Saturday, July 30, 2011

Hiperealitas Otonomi

-- Raudal Tanjung Banua

OTONOMI daerah merupakan impian untuk meretas kehidupan sosial-politik yang lebih adil dan bermartabat. Tak kurang 30 tahun lamanya Indonesia pernah merasakan sumpeknya sistem sentralistik. Maka, dalam era reformasi sistem desentralisasi dianggap tepat mengatasi dampak-dampak yang memusat, mulai tak meratanya pembangunan, luputnya pengadaan infrastruktur penting suatu kawasan, kecilnya anggaran belanja daerah, sampai soal posisi dan daya tawar kepala daerah yang selalu didrop dari “atas”. Akibatnya, putra daerah dianggap tak dapat tempat. Padahal mereka diasumsikan lebih memahami seluk-beluk daerah bersangkutan. Dengan demikian, otonomi sekaligus menjadi pemantik bangkitnya kepemimpinan daerah (politik lokal).

Kini, otonomi daerah bukan lagi mimpi, melainkan realitas tak terbantahkan. Uniknya (atau ironis?), saat impian itu terwujud, lengkap dengan undang-undang, aturan, dan sistemnya, justru pada saat itu pula kita seperti kembali bermimpi!

Rupa-rupanya otonomi sudah memasuki fase “hiperealitas”: sesuatu yang dirayakan secara eforia, terus-menerus, nyaris tanpa refleksi sehingga sukar membedakan apakah otonomi sebuah proyek visioner, atau sekadar simulasi yang melenakan.

Mengutip glosarium cultural studies yang disusun Yasraf Amir Piliang (2004), "hiperealitas" (hyper-reality) merupakan istilah Jean Baudrillard (tokoh penting kajian pascamodernisme asal Prancis) untuk menjelaskan keadaan runtuhnya realitas, karena diambil-alih oleh rekayasa pelbagai model (citraan, halusinasi, simulasi) yang dianggap lebih nyata daripada realitas itu sendiri, sehingga perbedaan keduanya menjadi kabur.

Mari kita lihat misalnya kasus pencitraan. Penampilan (calon) pemimpin merupakan faktor utama dalam konsumsi publik. Pemimpin atau pejabat yang "santun", punya retorika dalam isu-isu mutakhir, seperti pemberantasan korupsi, selalu siap mengumbar janji untuk menyenangkan hati orang banyak, niscaya akan mendapat tempat. Ditambah lagi jika sang pemimpin punya sedikit bakat untuk memuaskan selera massa, seperti bernyanyi, maka mendadak ia didapuk menjadi seorang bintang (selebritas) yang mendatangkan histeria. Selebritas politik sebagai modal pencitraan tentu sanggup menghipnosis massa cair atau mengambang untuk terjun bebas menjadi konstituen partai sang bintang, atau memilih sang bintang tanpa perlu banyak pertimbangan (rasionalisasi).

Gaya hidup yang bersifat fisik tentu juga tak kalah penting dalam menunjang pencitraan. Sikap "pemurah" bagi-bagi logistik, khususnya dalam masa kampanye, kadang menjadi poin tersendiri. Tanpa mengabaikan bahwa publik tidak bodoh, toh kenyataan menunjukkan figur yang berhasil membangun pencitraan sebagai “dermawan” sering menangguk sukses besar. Lagi pula, bukankah politik identik dengan modal finansial? Hanya figur yang memiliki banyak modal yang umumnya dipinang partai politik. Akibatnya, sang figur harus menguras pundi-pundi kekayaannya sampai minus bahkan benar-benar bangkrut. Bagaimana mengembalikan modal politik yang demikian besar? Tak jarang dengan balik mengeruk keuntungan dari jabatan yang disandangnya!

Berikutnya kita lihat dalam hal halusinasi sekaligus simulasi. Salah satu bisa diwakili narasi berikut ini: Pilkada langsung yang diharapkan membawa perubahan, sebenarnya masih belum diterima secara meyakinkan. Kini misalnya, muncul wacana tandingan dari Depdagri, bahwa gubernur sebaiknya tidak dipilih langsung, tapi kembali dipilih DPRD. Sebab “rasa-rasanya” gubernur harus berkoordinasi dengan presiden.

Belakangan muncul lagi usul, pasangan calon gubernur, bupati/wali kota sebaiknya tak dipilih satu paket. Posisi wakil dipilih pihak yang jadi (menang) saja. Alasannya, gubernur/bupati/wali kota sering bersaing dengan wakilnya sendiri untuk maju dalam pilkada berikutnya, sehingga melupakan tugas pokok mereka sebagai pemimpin rakyat. Ini memang proses, tapi kentara proyek “rasa-rasanya.” Terasa ada permainan yang tak kunjung usai. Melelahkan bagi rakyat, tapi mengasyikkan bagi elite. Eksprimentasi politik? Boleh jadi!



Hiperealitas

Dalam situasi seperti itu, Anda lihatlah hiperealitas otonomi kini bertebaran di depan mata: (1) Otonomi daerah bukan hanya di tingkatan provinsi, tapi tak kalah penting di tingkat kabupaten/kota, dan jika perlu sampai ke tingkat kecamatan, dengan konsekuensi; (2) pemekaran wilayah bukan lagi persoalan administrasi negara, tapi keniscayaan politik yang dapat ditarik-tarik sesuai dengan kepentingan politik. Otonomi identik dengan pemekaran: jumlah daerah terus membengkak, meskipun tata-kelolanya banyak gagal, tetap saja pada ngantre mengajukan “kapling baru”. Sebab; (3) pemilihan kepala daerah dapat langsung dilakukan masyarakat meskipun figur yang dipilih sebenarnya tetap berdasar “rekomendasi politik” oleh partai politik di tingkat Pusat, kadang disertai “politik uang”, atau modal politik yang diartikan sebatas finansial.

Selanjutnya, pencitraan calon pemimpin, halusinasi kejayaan wilayah sendiri serta asyiknya simulasi politik, membawa dampak: (4) munculnya figur-figur baru masyarakat tempatan sebagai pemimpin untuk menjawab tuntutan “putra daerah”. Namun tak ada jaminan ia lebih paham daerahnya, alih-alih menjelma “orang kuat” di wilayah bersangkutan lantaran tidak adanya undang-undang yang tegas mengatur akses seseorang sehingga terjadilah dinasti politik yang bersifat akumulatif (5). Inilah simalakama demokrasi yang ditelan mentah-mentah: apa saja sah dan kita kehilangan logika-timbangwirasa dalam berpolitik. Betapa biasanya suami menjadi bupati digantikan anak atau istri; ayah menjadi bupati, anak kepala legislatifnya, bahkan ada suatu daerah di mana suami, istri, dan sang adik maju sebagai calon gubernur! Di daerah lain, bupati incumbent maju bersama dua istrinya!

Akibat dari semua itu adalah (6) keberpihakan politik lokal terhadap kemajuan daerah kadang juga sami mawon (sama saja) dengan saat terjadinya politik sentralistik! Walahualam.

Raudal Tanjung Banua
, Sastrawan

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 30 Juli 2011

Mengorek Mistisme Jawa

-- Beni Setia

AFRIZAL MALNA, via "Sebuah Novel dalam 11 Cerpen dan Politik Imajinasi Jawa dari "dia-yang-bercerita"-Kata Pengantar di dalam kumpulan cerpen Fahrudin Nasrulloh, Syekh Bejirun dan Rajah Anjing (Pustaka Pujangga, Lamongan, 2011)-, menggarisbawahi tiga entitas pendukung cerita: obyek yang diceritakan, subyek sang pencerita, dan penerima cerita. Sedang Fahrudin Nasrulloh (FN), sebagai sang subyek pencerita, menulis pengantar yang menggarisbawahi peranan penting dari bahan yang mendorongnya bercerita, dengan merunut asal-usul dari semua bahan cerita yang kini berujudkan 11 cerpen. Lantas bagaimana nasib pembaca cerita yang meresepsinya?

Ketika FN bercerita tentang santri yang kerasukan dan tidak bisa disembuhkan oleh kiai di manapun karena kalah bertanding dengan jin. Bagian teks ini merupakan rujukan riil cerpen "Arung Beliung", yang bercerita tentang santri yang secara batinia diajari ilmu sesat oleh kelompok malaikat pendosa dan jin terkeji, dan mendapat ikon tato rajah puting beliung, dan menjadi problem besar akidah di Indonesia cq sembilan "wali kutub". Dan meski si santri mengorbankan dirinya dengan dikubur hidup-hidup, tapi rajah puting beliung-ikon nash-nash sesat-tak bisa ditaklukkan, bahkan bangkit dari kuburan, berupa ratusan cacing merah dan lintingan rajah api yang mengganyang kiai Bahlawi. Manifestasi magic's thriller yang mencekam seperti serial Supernatural.

Sedangkan pengalamannya mempelajari ilmu tarekat dan sufisme Jawa terbuhul dalam cerpen "Surabawuk Megatruh". Kisah tentang hamba rasionalitas yang mampu menguasai pengetahuan murni karena benang ruh bisa menghubungkan sukma, nalar murni dan kesadaran hening. Tokoh yang bertualang demi debat dengan sembarangan kiai agar mendapatkan kepastian tentang ada Tuhan-sekaligus menafsikan keimanan yang tidak didukung bukti keberadaan Tuhan. Akhirnya Surabawuk bertemu dengan Kiai Hasan Besari, dari Ponorogo-guru pujangga besar Jawa, Ranggawarsita. Terjadi debat tentang keberadaan Tuhan, antara rasionalitas yang amat membutuhkan rujukan bukti riil dengan si yang menghayati dan merasakan keberadaan-Nya ketika didatangi (kerasukan) Tuhan.

Debat soal keimanan yang disampaikan nyaris datar, tapi sengaja dibuhul dalam pengalaman Surabawuk berada dalam ketiadaan karena munculnya keberadaan-Nya- yang mutlak meniadakan segala ada yang diadakan. Aroma spiritual ini nyaris sejajar aura batini dalam cerpen "Abu Zardak", yang bersicerita tentang mengalami alam ada dan tiada tapi tidak kerasukan "yang mengadakan" sebab berangkat dengan ilmu sesat yang mengadaikan ketiadaan. Sehingga kita tak tahu: Abu Zardak dicerahkan seperti Surabawuk, atau tersesat seperti murid kiai Bahlawi, Ali Subaka. Ini berbeda dengan cerpen "Syekh Bajirum dan Rajah Anjing", yang bersicerita tentang kitab Arabi yang berisi aneka ajaran takhayul yang sengaja dioplos dengan ilmu sekuler, yang dipesan Majapahit untuk menjinakkan Demak (baca: Islam). Teks sinkretisme sesat yang tidak diridlai Allah, yang dieliminasi-Nya dengan bencana badai yang memusnahkan kapal pembawa kitab Arabi pesanan Majapahit.

Syeikh Bajirun-kurir penjemput-mati, teks kitab Arabi pesanan-berikon rajah anjing-musnah, karenanya babon ajaran sesat itu tak sampai di Jawa dan dipakai oleh Majapahit buat mengacaukan hakekat Islam kaffah. Sayangnya pihak yang tak punya latar pesantren tak hapal akan etos validisasi menulis buku kuning di pesantren, yang harus selalu bertolak dari ikhlas dan berharap agar kuasa Allah SWT mengujud ketika menguji yang ditulis itu merupakan ilmu yang bermanpaat. Caranya kitab yang selesai ditulis itu dimasukkan ke dalam air (al-maa'un) dan kalau saat diangkat tintanya tidak luntur maka buku itu legal dianggap Allah SWT bermanpaat. Dan bila hilang tintanya dan pembawanya mati dalam bencana laut?

Dan bagaimana Serat Centini-versi prosa Elizabeth D Inandiak-mempersona si pengarang, dan mendorongnya untuk membuat cerita rekaan bebas, sempalan dari pakem Centini. Fiksionalisasi fakta (fiktif) seperti terlihat di cerpen "Montel", "Abu Zardak", "Prahara Giri Kedaton", dan "Huru-Hara Babarong". Montel itu sisi lain dari Abu Zardak, si yang terpilih jadi sang pengemban mistisisme Jawa setelah Giri Kedaton dimusnahkan Sultan Agung dan Pangeran Pekik Seiring Amongraga dan Tambangraras jadi ulat yang dilahap oleh Sultan Agung dan Pangeran Pekik, seperti yang ditekankannya pada cerpen "Prahara Giri Kedaton". Sekaligus cerpen "Duel Dua Bajingan" jadi versi kembang paling sekuler, melulu soal kanuragaan para murid mistisme (Jawa) dari Giri Kedaton-bersisejajar dengan cerpen "Huru-Hara Babarong" dan cerpen "Puputan Walanda Tack" yang berinterteks dengan pemberontakan Surapati di masa Amangkurat II. Sedang dua cerpen lain, "Memburu Maria van Paousten" dan "Nubuat dari Sabrang" murni fiksi. Dan meski bertolak dari si pemburu kitab kuning dan ilmu mistik Jawa sehingga si tokoh dihantui kebenaranan lain, dan bagaimana kebenaran itu bisa digunakan untuk menolong yang dikutuk oleh kejahatan masa lalu-cerpen "Memburu Maria van Paosten"-, tetapi tekanannya tetap pada cerita, usaha, rasa bersalah, dan takdir yang tidak bisa ditolak.

Cerpen "Nubuat dari Sebrang" berkisah tentang kitab Nubuat dari Sabrang yang tampaknya sengaja ditulis Snouck Hurgrunje untuk memecahbelah Islam, meski teks itu seperti ditulis bersama asistennya: Teungku Husein Goeje-sehingga isinya sama dengan Hikajat Pejalan dari Sabrang yang ditulis dan didedikasikan Teungku Husein Gouje buat Snouck Hurgronje.

Tapi, seiring dengan informasi Teungku Husein Goeje itu penganut Hamzah Fansury, si penganut dan pengamal mistisme, maka penyesatan dalam teks Nubuat dari Sabrang itu bermotif apa? Apa si Snouck Hurgronje memang sengaja menuliskan ilmu sesat sementara mereka-bersama si tokoh cerpen, Teungku Hasan Musthapa, yang dikenal sebagai mistikus Sunda-pernah bersitualang ke Jawa Timur dan Madura, dan mendapatkan hadiah kitab-kitab tentang mistisme Islam dari pesantren-pesantren di Jawa Timur dan Madura?

Apakah sosok Snouck Hurgronje itu seperti Ali Subaka atau seperti Surabawuk? Tapi untuk apa ikut memahami hal yang hakiki itu kalau Snouck Hurgronje itu hanya Orientalis yang bertugas-melakukan riset partisipasif-memahami apa landasan nash dari jihad Islam di Aceh, sehingga dengan mengetahuinya Belanda merasa akan kuasa memotong motif jihad dengan nash yang menentang anjuran jihad? Sayang pengarang merasa lebih berkepentingan dengan fakta jiwa Snouch Hurgronje itu telah dicerahkan secara mistis, sehingga (agaknya) tidak mungkin menyampaikan ajaran sesat-dengan menunjukkan kesesatan dan penyesatan itu mungkin berasal dari asistennya, Teungku husen Goeje.

Fakta-fakta itu-banyak yang dikuatkan dengan catatan kaki, yang bisa mencapai satu halaman, dan juga rujukan referensial yang menunjuk ke kitab kuning tertentu- membuat kita berkutet dengan tanya: apa yang diceritakan itu berdasar data rujukan yang valid. Karena catatan kaki itu terkadang tempat si pengarang menuliskan lanturan fiksi kecil yang imajinatif, tapi pengembangan fantasia itu tetap berlandaskan asumsi mistisme yang menuntut pengalaman dan pengetahuan mistisme Jawa tertentu.

Tanpa itu kita akan tersesat dalam ketidakpahaman. Dan lebih rumitnya, semua yang merujuk ke mistisme Jawa itu diungkapkannya dengan gaya sastra tutur berbasis diksi bersanjak ala ludruk, simbolika refresentatif yang esotermik, dan idiom berkosa kata Jawa yang dituliskannya tanpa bercatatan kaki. Rumit serta menuntut penafsiran yang lebih. Sekaligus teks (FN) jadi varian dan sisi lain sastra berbasis mistisme Jawa Danarto-sebuah varian genre sastra lokal dari sastra Indonesia modern.

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 30 Juli 2011

Monday, July 25, 2011

Jenazah Wartawan Senior Syu'bah Asa Dimakamkan

TEMPO Interaktif, Pekalongan - Jenazah wartawan senior sekaligus aktor Syu'bah Asa dimakamkan di Taman Pemakaman Pringlayu, Pekalongan, Jawa Tengah, Senin 25 Juli 2011, setelah sebelumnya disalatkan di Masjid Asy Syafii, pukul 12.00 WIB.

Syu'bah mengembuskan napas terakhirnya Ahad petang, 24 Juli 2011, di Rumah Sakit Pusat Islam Muhammadiyah, Pekajangan, Pekalongan, Jawa Tengah. Beberapa kali sastrawan ini keluar-masuk rumah sakit akibat penyakit diabetes dan parkinson--bukan stroke seperti yang diberitakan kemarin. Kondisinya memburuk, hingga dilarikan ke ICU pada Kamis pekan lalu.

“Sejak masuk ICU, ia sudah tidak bisa berkomunikasi,” kata Naila Firdausi, 34 tahun, putri Syu'bah. Kondisi aktor pemeran Dipo Nusantara Aidit pada film kolosal Pemberontakan G-30 S PKI ini sempat membaik pada Jumat, sehingga dipindah ke bangsal.

Syu'bah meninggalkan 4 anak: Fitri Dianasari, Atifa Isanti, Naila Firdausi, dan Lazuardi Firdausi.

Lahir di Pekalongan, 21 Desember 1941, sosok Syu'bah dikenal membangun karier kewartawanannya di Majalah Tempo. Meskipun, akhirnya ia memilih berpisah dengan Gunawan Mohammad dan Fikri Jufri pada 1987 dan menjadi Pemimpin Redaksi Editor, lalu ke Panji Masyarakat pada 1988.

Syu'bah juga aktif di Teater Muslim dan Bengkel Teater di Yogyakarta pada 1950-1969. Pada 1970-an, ia pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta.

Syu'bah juga menulis sejumlah novel, di antaranya Cerita di Pagi Cerah pada 1960. Selain itu, ia juga banyak menulis kolom, termasuk puitisasi ayat-ayat Al-Quran dan menerjemahkan karya klasik Arab ke bahasa Indonesia, di antaranya Asraful Anam dan Qasidah Barzanji.

Sebagai seniman, Syu'bah juga pernah menghiasi layar perak saat ia diminta Arifin C. Noer menjadi pemeran tokoh PKI Aidit dalam film kolosal Pengkhianatan G-30 S PKI pada 1982.

Menurut wartawan senior Bambang Bujono, Syu'bah adalah redaktur pelaksana seni selain agama, sejak awal Tempo berdiri sampai mengundurkan diri pada 1987. Ia penyunting naskah yang membuat tulisan menjadi lancar dibaca dan masuk akal.

Syu'bah juga dikenal sebagai penyunting naskah yang bisa membuat tulisan menjadi mengharukan, ”serius”, atau jenaka. Tulisan juga bisa membuat pembaca seolah berhadapan langsung dengan peristiwa. “Misalnya laporan dari Iran, dekat setelah Khomeini berkuasa, 1979,” kata Bambang.

Kerja “seniman” Syu'bah sangat dominan. Skripsinya di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tak selesai, meski ia diberi cuti sebulan lebih oleh Tempo. “Sesungguhnya Syu'bah adalah seniman yang menjadi wartawan,” ucap Bambang yang mantan wartawan Tempo ini. Ketika menjadi Pemimpin Redaksi Editor, Bambang meneruskan sahabatnya itu. Sebenarnya Syu'bah tak ingin meninggalkan Tempo. Tapi, ia ingin “beristirahat” dan “tidak kerja serius”.

WDA | JOBPIE | BERNARDA RURIT

Sumber: Tempo Interaktif, Senin, 25 Juli 2011

Syubah Asa Tutup Usia

-- Erdy Nasrul, Ichsan Emrald

JAKARTA -- Sastrawan dan wartawan senior Syubah Asa tutup usia pada pukul 17.00 WIB di sebuah rumah sakit di Pekalongan, Jawa Tengah, pada Ahad, 24 Juli 2011. Syubah sebelumnya telah lama terserang stroke dan sudah beberapa kali menjalani pengobatan.

Syubah, lelaki yang terlahir di Pekalongan, 21 Desember 1941, ini juga dikenal sebagai seniman. Dia menyelesaikan pendidikan sarjana muda di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dia menjadi redaktur Tempo sejak 1971 hingga 1987 sebelum hijrah ke Editor pada 1987 dan 1988 dan Panji Masyarakat. Dia dikenal sebagai seniman dan aktif di Teater Muslim dan Bengkel Teater di Yogyakarta pada 1950 - 1969. Pada era 1970-an. Dia juga pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta.

Aktingnya pernah menghiasi layar kaca saat ia diminta Arifin C Noer menjadi pemeran tokoh PKI Aidit dalam film kolosal Pengkhianatan G-30 S PKI, pada 1982. Syubah juga menulis sejumlah novel, di antaranya Cerita di Pagi Cerah tahun 1960. Selain itu, ia juga banyak menulis kolom, termasuk juga puitisasi ayat-ayat Alquran dan menerjemahkan karya klasik Arab ke bahasa Indonesia, di antaranya Asraful Anam dan Qasidah Barzanji.

Wartawan senior Republika, Alwi Shahab, mengatakan Syubah kala itu dikenal sebagai wartawan yang dekat dengan dua organisasi massa keagamaan terbesar di Indonesia, Nahdathul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. "Beliau itu dikenal dekat dengan kedua ormas tersebut," ujar pria yang seringkali dipanggil Abah Alwi ini.

Hanya saja, lanjut Abah, Syubah Asa juga dikenal menulis berbagai hal bernuansa Islam dan juga seni. Dalam dunia seni dan Islam, ia pernah membuat puitisasi ayat-ayat Alquran dan menerjemahkan Qasidah Barzanji. Republika sendiri pernah memiliki kesan mendalam soal Islam dan seni di mata Syubah Asa. Hal ini ketika Syubah diwawancara wartawan Republika, Fery Kisihandi, beberapa tahun silam.

Syubah kala itu mengatakan agama dan seni akan bersilangan dalam sebuah kata yang disebut religiositas. Bagi Muslim menurutnya ketika pertemuan keduanya, agama dan seni, akan memiliki nilai estetika tersendiri seperti halnya bagi seseorang dalam berkesenian. Ia pun menyatakan bahwa berkesenian itu harus ada nilai religiositas di dalamnya. Meski bukan berarti harus selalu mengeluarkan ayat-ayat dalam kitab suci dalam karya seni.

Wartawan Senior Tempo, Amarzan Lubis, memiliki kesan tersendiri tentang Syubah Asa. Dia menilai Syubah sebagai editor terbaik, karena mampu mengubah tulisan yang bagus gagasannya, namun buruk penulisannya. Di tangan Syubah, tulisan itu menjadi enak dibaca. "Bahkan, dialah editor terbaik se-Indonesia," ungkap Amarzan. Tak terhitung berapa banyak tulisan yang dieditnya.

Amarzan juga menilai Syubah sebagai penulis resensi terbaik, terutama untuk karya seni, karena bukan hanya bermain perasaan, melainkan juga seni. Padahal, Syubah berlatar belakang pendidikan agama, bukan seni. Dia menguasai musik klasik Barat dan mampu menuangkannya dalam tulisan yang mampu dipahami pembaca dengan mudah. ed: joko sadewo

Sumber: Republika, Senin, 25 Juli 2011

Sunday, July 24, 2011

Goenawan, Penyair, Pemikir

-- Asarpin

GOENAWAN Mohamad adalah nama yang tak mungkin dilupakan dalam dunia penulisan sastra dan jurnalistik. Dalam usianya yang ke-70 pada bulan ini, cukup banyak sumbangan yang telah ditorehkannya terhadap dua hal tersebut. Namun, Goenawan bukan sekadar sastrawan dan wartrawan. Lebih dari itu, ia adalah seorang penyair sekaligus pemikir.

Sebagai penyair, Goenawan telah menghasilkan lebih dari tiga buku kumpulan sajak dengan pengucapan lirik yang khas. Sebagai pemikir, selain buku serial Catatan Pinggir, buku Kata, Waktu, dan Eksotopi adalah bukti tak terbantahkan kalau Goenawan adalah pemikir langka di negeri ini, yang dapat pula disejajarkan dengan pemikir dunia sekelas Octavio Paz.

Dalam sebuah esainya, Goenawan pernah bilang: ada dua hal akan dengan gampang dikorbankan dalam krisis ekonomi yang seberat ini, di samping tenaga buruh, itu adalah seni dan pemikiran. Keduanya sudah pasti bukan termasuk bahan pokok. Keduanya juga lebih sering memakan biaya ketimbang menjadi sumber dana. Keduanya tak jarang merisaukan.

Seorang penyair dan pemikir tentu berbeda dengan para ideolog atau pengajar agama, dan sudah sewajarnya jika ia menjelmakan dirinya sebagai seseorang yang hidup di rumah sunyi, kata Goenawan dalam cacatan pinggir Perempuan. Para pemimpin agama selalu punya kecenderungan untuk menyusun rasa takut dan membuat manusia tak bisa sepenuhnya merdeka.
Padahal, sebagaimana diisyaratkan oleh penyair kelahiran Batang 29 Juli 1941 ini, seorang yang merdeka seharusnya ia berangkat dari nol, terbang dengan kemerdekaan yang penuh, justru karena tak ada radar pengontrol, tak ada juga pangkalan untuk kembali, bahkan tak ada pelabuhan yang sudah dirancang pasti akan dimasuki.

Dengan kata lain, kemerdekaan adalah semacam momen di tengah gurun: di sana tak ada rambu, perbatasan yang dijaga, bendera yang ditaati, kesempitan yang mengapit. Pada titik ini, ambisi untuk sesuatu yang pasti terjaga, pasti goyah. "Ada yang brutal dalam ambisi kepastian, tertib, dan otoritas," tulis Goenawan dengan cukup berani hingga kata-katanya terasa ketus dan bisa membuat merah telinga orang yang suka dengan kata-kata halus dan lembut.

Tapi, pilihan kata brutal yang keras semacam itu sungguh kena, terutama ketika kemunafikan masih merajalela, pretensi mempertahankan kehalusan berbahasa hanya akan menjadi dalih bagi eufemisme yang sudah kelewatan.

Atas dasar itu, kita memang layak bertanya. Apa sesungguhnya pemikiran itu hingga sebagian orang tua begitu khawatir jika anaknya menjadi pemikir yang bebas? Adakah memang pemikiran itu begitu berbahaya dan mengancam generasi muda?

Stephen Hirtenstein, yang sangat mengagumi Ibn Arabi, pernah mengutip ucapan tokohnya tentang pemikiran adalah ibarat tamu dari langit yang melintasi ladang hati. Dalam hal ini, pemikiran tak cuma mengacu pada proses otak, atau sesuatu yang dapat kita pikirkan, atau kita renungkan. Pemikiran mengindikasikan sesuatu yang muncul dari keheningan batin, setiap saat dalam diri kita, di dalam kesadaran batin kita.

Dengan sikap batin semacam itu, tak heran jika Goenawan akan terus menampik setiap kebenaran yang dinyatakan final dan mutlak. Sebab, ia akan menjadi gangguan terhadap kisah-kisah yang lurus, ia akan merayakan perdebatan, menjunjung ketidakpastian, menyemangati gairah perbedaan dalam perbedaan. Hal-hal semacam ini mungkin tak menyelesaikan perkara dalam diri dan dunianya seratus persen. Tetapi, ia menjadi manusia yang berhak hidup dan menentukan pilihan-pilihan sendiri dengan bebas, dengan merdeka.

Maka, saya tak pernah merasa cemas dan waswas setiap kali berhadapan dengan sikap kepenyairan Goenawan yang kelewat terbuka dan menantang. Saya bahkan mengagumi sikap Goenawan yang meletakkan puisi tidak melulu dilihat dari guna dan manfaat.
Kalau boleh mencari pembenaran lewat kata-kata bijak Romo Dick Hartoko, sifat keterbukaan Goenawan ibarat suatu kerja yang senggang: yakni sikap spiritual untuk bisa mendengarkan, semacam kemampuan jiwa untuk tanggap terhadap kenyataan dunia yang tidak melulu dilihat dari guna dan tujuan. Atau dalam bahasanya Ayu Utami dan Sitok Srengenge ketika mengumpulkan sajak-sajak lengkap Goenawan: itulah "sebentuk penghargaan pada kesetian untuk menciptakan sanktuari: sebuah wilayah di mana bahasa, ciptaan, dan karya tak harus ‘berguna’, di mana sebuah arti tak sama dengan guna."

Pada momen ini, filosofi kepenyairan Goenawan mirip Wu-wei yang mengambil falsafah air. Dibandingkan dengan segala sesuatu, air merupakan hal yang paling lemah, tetapi air mampu menjebol karang yang paling keras sekalipun. Lao Tzu pernah mengatakan: "Dunia dikalahkan dengan tidak berbuat apa-apa (Wu-wei)". Maju terus berarti berbalik. Tapi justru karena wataknya itu, pasivitas Wu-wei nyaris membekukan waktu.

Hal ini terlihat secara samar-samar dalam ajaran Taoisme yang menekankan kebebasan individu dan Wu-wei sebagai jalan menuju perdamaian dunia. Dalam Wu-wei ada kecenderungan anarki dan individu yang radikal dalam menekankan kebebasan. Hal ini berdampak adanya sikap antisosial, antikultural, antifilsafat, dan antisistem. Segala yang dianggap berguna mesti dipertanyakan. Sebab, dalam suatu dunia yang hanya mementingkan kegunaan, kata Dick Hartoko dalam esai Keadaan Senggang sebagai Dasar Kebudayaan, memang tak ada tempat dan waktu untuk ritual dan kebaktian. Padahal, religi dan puisi yang sejati justru tak mementingkan faktor kegunaan, bahkan berani mengorbankan barang-barang berguna demi sesuatu yang lebih menggairahkan iman dan pemahaman.

Senggang adalah dasar bagi sebuah puisi. Tak ada puisi yang baik yang tidak kontemplatif. Dasar sebuah puisi adalah semadi, sunyi, hening, bisu. Karena wataknya yang nyaris tak bergerak, tak heran jika sampai hari ini masih ada yang beranggapan kalau Goenawan hanya mengotak-atik kata atau bahasa, dan pemikirannya cuma asyik dengan dirinya sendiri. Masih juga kita temukan orang yang nyinyir memandang puisi, dengan mengatakan: puisi tak lebih dari pergulatan atau permainan dengan daya khayal kata dan maknanya (kalau ada). Mungkin lantaran karena puisi pada dasarnya sebuah wilayah yang terpencil, atau melulu bergerak dalam keadaan tanpa gema, atau bunyi yang lain dari tepian kecil yan tak kunjung jelas itulah, seperti kata Goenawan ketika bicara tentang H.B. Jassin, maka puisi bisa membebaskan kita dari hidup yang jadi komoditas; hidup yang diinstrumentalisasi.

Asarpin, esais dan peninjau buku

Sumber: Lampung Post, Minggu, 24 Juli 2011

[Buku] Kajian Agama dalam Perspektif Sosiologi


Judul : Sosiologi Agama: Esai-Esai Agama di Ruang Publik

Penulis : Dr. Zuly Qodir

Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Cetakan : I, 2011

Tebal : xi, 258 hlm.

SELAMA ini, dalam khazanah politik Islam konvensional, senantiasa menempatkan antara agama dan negara selalu berbeda-beda secara yuridis. Padahal dalam kenyataannya agama selalu hadir dalam ruang publik politik. Sehingga memerlukan sebuah konstruksi baru tentang agama dan negara secara memadai. Pemisahan secara tegas antara agama dan negara hampir tidak dikenal di mana pun di seantero dunia.

Di jagat mana pun agama selalu hadir dalam negara dan negara berkepentingan dengan agama.
Meminjam istilah Abdul Aziz Sachedane, kekukuhan proposisi "penguraian kemapanan" yang hendak memprivatisasi agama dan menyingkirkan agama dari kancah publik sekuler, menjadi hambatan utama dalam memahami masyarakat di mana kewajiban agama menjadi unsur utama dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial dan menyokong kebersamaan masyarakat. Model sekularis, meskipun ia menolak adanya dominasi satu agama terhadap agama lainnya, ia juga bisa meminggirkan umat beragama. Sehingga bisa mendorong mereka menjadi militan, agresif, dan separatis.

Dalam suatu masyarakat politik di mana tidak ada pembatasan yang jelas antara agama dan negara (sebagaimana terjadi dalam beberapa rezim Islam), wacana publik bukannya menuntut adanya dominasi politik terhadap agama atau sebaliknya, melainkan menekankan peranan pemerintahan untuk mewujudkan hubungan dan tanggung jawab yang mengikuti tuntutan nilai-nilai yang berlandaskan kehidupan spiritual.

Kita perlu melakukan reposisi atau menata kembali bagaimana mestinya hubungan agama dan negara. Dalam konteks seperti itu pula kita harus melihat bahwa agama adalah hak paling asasi dari umat manusia yang harus dilindungi oleh siapa pun, termasuk negara. Sebab itu, agama diposisikan sangat penting oleh negara dan oleh umat yang menempati sebuah negara. Agama akan memberikan beberapa kemudahan bagi penganutnya. Sekalipun tentu saja akan memberikan kerumitan-kerumitan yang tidak jarang menjengkelkan.

Ada beberapa pihak yang kadang merasa paling dominan terhadap agama sehingga dengan semena-mena menafsirkan siapakah yang disebut beragama dan siapa pula yang disebut tidak beragama, atau bahkan penganut setan sehingga perlu diluruskan (dipertobatkan kembali). Fenomena-fenomena kekerasan atas nama agama sebenarnya memberikan penjelasan lain bahwa agama dipandang sebagai sesuatu yang penting (sekalipun) dalam maknanya yang lebih destruktif dan amarah. Sementara pesan agama-agama profetik adalah menjadikan agama sebagai rahmat seluruh umat manusia.

Di mana tempat agama ketika globalisasi dan neoliberalisme menghantam Indonesia? Pertanyaan ini akan mengundang banyak jawaban yang dapat dikemukakan. Menurut penulis buku ini, sekurang-kurangnya ada tiga jawaban yang dapat disampaikan dalam konteks ini. Dan tentu saja jawaban yang disampaikan masih dapat berkembang dan dijejer menjadi lebih banyak lagi.

Pertama, agama akan menjadi penghalang utama adanya globalisme dan neoliberalisme karena pada prinsipnya agama tidak mengajarkan adanya hidup berlebihan. Berlebihan dalam konsumsi dan berkarakter yang menjadi ciri khas globalisme dan liberalisme merupakan musuh utama agama (Islam)

Kedua, agama akan bersifat kritis atas globalisme dan neoliberalisme, karena agama sebenarnya memilik elan vital untuk melakukan perlawanan atas hal-hal yang dianggap kurang berpihak pada kelompok terpinggirkan, mustad’afin dan tidak beruntung. Paham ini meyakini bahwa agama dengan kekuatan revolusionernya akan mampu melakukan kritik atas perkembangan globalisme dan neoliberalisme dalam dunia ini, termasuk di Indonesia.
Ketiga, agama (Islam) di Indonesia akan mendukung laju globalisme dan neoliberalisme karena agama yang berkembang adalah pahama agama yang menempatkan bahwa globalisme dan neoliberalisme merupakan bagian dari sunatullah alias tidak mungkin ditolak kehadirannya. Persis sebagaimana dalil kaum globalis dan neolib memberikan doktrin pada kaum agamawan bangsa ini yang tengah sekarat dan semoga segera siuman.

Buku ini, sebagaimana dikatakan penulisnya sebagai salah satu upaya untuk menjadikan agama dalam kajian sosiologi agama. Dalam makna yang lain menempatkan agama dalam praksis kajian sosial (sosiologis). Sebab, menurut penulis buku ini, betapa sedikitnya karya dalam bidang sosiologi agama yang ditulis oleh sarjana Indonesia.

Imron Nasri, pembaca buku

Sumber: Lampung Post, Minggu, 24 Juli 2011

Membumikan Cerita ala Saut Poltak Tambunan

-- Benny Arnas

SAMPAI sekarang, saya masih belum mampu mendefinisikan “sastra”. Dari apa yang saya gumuli selama ini, saya baru (sampai) pada tingkat pemahaman bahwa “sastra” adalah karangan yang mampu meng-upgrade kemampuan pembaca dalam memaknainya.

Artinya, saya percaya bahwa ada definisi lebih tepat yang (mungkin) sudah dicetuskan oleh orang-orang terdahulu. Bukan berarti saya tak ingin membuka-buka referensi. Tapi, saya percaya bahwa dalam dunia noneksak semacam sastra; pembacaan, penerjemahan, bahkan pendefinisian, sangat tak bisa lepas dari sudut pandang dan konteks.

Ya, ketika Socrates menyatakan bahwa sastra itu mimesis—tiruan kehidupan, sah-sah saja, bahkan cukup relevan dengan perkembangan sastra hingga hari ini. Pun, ketika Helvy Tiana Rosa (HTR) mengatakan bahwa sastra (menulis) itu adalah berjuang, tentu tak dapat dinafikan ketika pengertian tersebut disandingkan dengan beberapa karya sastra —apalagi karya HTR sendiri.

Dan, apakah seorang Saut Poltak Tambunan (SPT) sudah memiliki definisi sastra dalam versinya atau belum atau tidak mau peduli dengan hal-hal seperti itu, entahlah. Yang terang, lewat karya-karyanya, SPT sedang bilang kepada khalayak pembaca bahwa mengarang baginya bukan untuk mendapat label sastra/tidak, tapi ia ingin menciptakan keintiman psikologis dengan pembaca! Hmm, sebuah visi kepengarangan yang sudah mulai jarang ditemukan dalam ranah sastra.

Dewasa ini karya karangan lebih banyak menerjemahkan estetika ke dalam teknik bermain bahasa. Sebenarnya tak ada masalah bila keinginan untuk menjamah wilayah (teknik berbahasa) tersebut diikuti dengan kematangan bermain diksi dan ketepatan dalam meramunya. Namun yang kerap terjadi adalah (khususnya pada pengarang-pengarang pemula) keasyikan mengeksplorasi bahasa kerap kebablasan. Alih-alih menghasilkan cerita yang bernas dengan estetika yang mumpuni, justru menghasilkan cerita yang susah dimengerti; pembaca lelah menerjemahkan metafora yang asal ramu, diksi yang tidak tepat letak dan tepat guna, bahkan yang lebih parah adalah: cerita kehilangan arah.

Membincangkan SPT, tentu terlalu ingusan kiranya, bila membincangkan perkara teknis mengarang. Ia sudah malang melintang di dunia itu jauh sebelum saya lahir. Saya lebih tertarik membincangkan visi kepengarangannya. Bagi saya, SPT layak dijadikan (salah satu) cermin dalam menjelajahi dunia mengarang. Ia dapat “hidup” dari hasil karangannya. Tentu, tulisan ini akan sangat melenceng bila saya jelaskan panjang lebar perihal “fakta” tersebut. Namun begitu, tentu ada alasan mengapa saya perlu mengungkapkannya. Ya, raihan tersebut tak dapat dilepaskan dari visi kepengarangannya.

Dari pembacaan saya, karangan SPT selalu berusaha melibatkan pembaca dalam ceritanya. Tidak hanya mampu membuat pembaca memahami apa yang tengah ia ketengahkan, namun lebih essensial dari itu. Membaca karangan-karangan SPT membuat kita dapat ikut serta memahami gejolak emosi si tokoh, membayangkan tinggi-rendahnya nada yang dibidik dalam dialog-dialog, bahkan mampu memeragakan gerakan-gerakan tubuh atau elemen pembentuk cerita lainnya (seperti benda, setting, dan suasana) dengan baik. Ya, karangan-karangan SPT sangat filmis. Dan, malangnya, sastra(wan) dewasa ini, sering gagal menampilkan sisi filmisnya. Mungkin juga termasuk saya. Padahal, bagi saya, itu adalah parameter sejauhmana sebuah karya mampu ’mengunjungi’ pembacanya, bukan hanya “dikunjungi” pembacanya.

Beberapa cerpen dalam buku terbarunya, Sengkarut Meja Makan (Selasar Pena Talenta, 2011), membuat pikiran saya langsung connect untuk ’menuduh’ si Romli (Kampung Tamim), Dany (Tas untuk Pak Bakri), Si Anggota (Meja Makan), Ayah Yane (Si Nur), Amang (Berdamai Sesore Itu), Hambali (Mutasi), dan Papa Prita (Aku Punya Papa), adalah tak lain SPT sendiri. Dalam konteks kepengarangan (sastra), bagaimana saya harus membahasakan ini? Apakah SPT gagal menjadi orang lain dalam karya-karyanya? Atau ia justru sukses menerjemahkan karakternya dalam cerita yang beragam? Ah, saya pikir, itu bukan perkara penting, bila dihadapkan pada kenyataan betapa karya-karya SPT mampu membuat pembaca terperangkap dalam kesan yang diproduksi cerita-ceritanya. Ya, pembaca dapat saja tiba-tiba semringah dengan air mata yang hampir jatuh di kelopak mata ketika menyelesaikan Tas untuk Pak Bakri, Berdamai sesore Itu, dan Aku Punya Papa, atau geregetan sambil mengepalkan tangan dan menggerutupkan gigi ketika mengakhiri Meja Makan, Si Nur, dan Primadona.

Bagaimana cerita-cerita lainnya? Kesan apa yang ditangkap saya? Atau tak ada kesan sedikit pun?

Hmm, baiklah, saya akan terpancing oleh pertanyaan yang saya buat sendiri rupanya. Saya ingin mengatakan bahwa Sebentar Lagi 2011!, cerita pembuka dalam kumpulan cerpen ini, sebagai wujud bahwa SPT mampu menggarap cerita tidak seperti yang selama ini ia lakukan. Dalam Sebentar Lagi 2011! SPT membagi ceritanya dalam beberapa fragmen. Di akhir cerita, kita baru sadar bahwa masing-masing fragmen adalah puzzle yang masing-masing sisinya, bila disambungkan, akan menciptakan gambar yang utuh, cerita yang kuat! Cerpen ini pula yang membuat saya menunggu eksplorasi beliau selanjutnya.

Lalu, bagaimana bila direlevansikan dengan sastra dalam definisi saya; karangan yang mampu meng-upgrade kemampuan pembaca dalam memaknainya. SPT telah melakukannya. Up-grading yang dilakukan SPT adalah (mengajak pembaca) peka akan masalah-masalah rumah tangga, adat, dan sosial, yang sangat sering terjadi dan kita jumpai. Cerpen-cerpennya dalam buku ini mampu membuat kita belajar bagaimana membuat membuat setiap tema membumi dalam ceritanya.

Benny Arnas, cerpenis, tinggal di Lubuklinggau.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 24 Juli 2011

Samuel Beckett: Oh, Calcutta! (Menunggu Godot dan Hadiah Nobel)

-- Nelson Alwi

DI atas panggung orang-orang yang nyaris bertelanjang berbaur dengan tumpukan-tumpukan sampah yang membusuk. Penonton terkesima, hening dalam pesona magis ketemaraman (pen)cahaya(an). Keheningan itu kemudian berkembang, menegangkan, dipuntal dinamika ilustrasi serta sorot lampu yang kian dan semakin benderang. Mendadak, suasana pun jadi mencekam, sayup-sayup terdengar sipongang teriakan dan tangisan. Sesudah itu hening kembali, diam. Penonton menarik dan mengembuskan napas dengan desahan panjang, lantas, serempak memberikan applause.

Alinea di atas disarikan dari uraian pementasan berdurasi 35 detik (Deirdre Beir: 1980), sebuah prolog ciptaan Samuel Beckett, yang dia sumbangkan untuk produksi Musical Broadway: Oh, Calcutta! Adegan singkat yang disebut playlet ini merupakan testimony (dan) pandangan pribadi Samuel Beckett menyangkut kecentangperenangan dunia yang didiami umat manusia —suatu kehidupan yang memuakkan, di mana orang-orang menyaksikan istana-istana yang seronok tak ubahnya seperti tempat abu dan sampah.

Orang bilang bahwa Samuel Beckett, dramawan yang selalu tampak murung melankolis, secara habis-habisan telah menuangkan buah pikiran serta segenap potensi yang dimilikinya ke dalam kesadaran literatur modern. Untuk prestasinya yang luar biasa itu, penulis asal Irlandia yang lahir di Foxrock dekat Dublin pada tahun 1906 itu, dianugerahi Akademi Swedia Hadiah Nobel Sastra 1969.

Para kritisi dikabarkan merasa sangat puas (A History of France Literature: 1988). Sekaitan ini, seorang wartawan Perancis memberikan komentar, “Biasanya hadiah prestisius yang dihormati seluruh dunia itu seolah hanya untuk dipergilirkan. Akan tetapi Beckett, yang menulis dalam bahasa Perancis, telah membuktikan keunggulannya dalam menghayati kehidupan umat manusia. Satu-satunya saingan berat yang harus dihadapi Beckett adalah Andre Malraux, penulis Perancis yang terkenal dengan buku Mans Fate. Namun Beckett berhasil menarik simpati kedelapan-belas (dewan) juri, dengan demikian jatuhlah hadiah sebesar 73.000 dolar ke pelukannya.”

Di antara rekomendasi dan pernyataan dewan juri terselip kalimat: “Beckett berhasil menuangkan tragedi (ke)hidup(an) manusia zaman kita, yang sarat kepedihan, ke dalam drama baru yang berperan besar menunjang tumbuh-kembangnya kesusastraan.” Selain itu disebutkan, kecemerlangan puitiknya menonjol dan mampu menganalisa kesiasiaan umat manusia yang, secara mengejutkan dia belokkan menjadi semacam keberuntungan. Sementara nada ciptaannya yang tenang dan mengandung pengertian yang mendalam menjadi pemicu pembebas bagi mereka yang tertekan di samping berperan menghibur mereka yang dirundung duka.

Balik ke masa mudanya, hampir tak ada yang mengira kalau Beckett akan dapat mencapai sukses yang gilang-gemilang. Ketika pemuda Irlandia yang jangkung kurus itu tiba di Paris pada tahun 1920-an, dia, laiknya penulis yang berasal dari lingkungan kelompok seniman yang tersingkir(kan). Seakan tidak ada kemungkinan baginya untuk meraih kesempatan buat mempublikasikan karya-karyanya, baik sajak maupun novel (A Biography of Samuel Beckett: 1980).

Poggy Guggenheim, penerbit merangkap kolektor karya seni, mengatakan bahwa Beckett adalah seorang penulis yang (pe)murung, bukan seorang intelektual sejati. Senada dengan penglihatan Poggy, kawan-kawan dekatnya pun mengenal Beckett sebagai sosok yang suka menyendiri.

Kendati demikian, tatkala dunia dilanda duka dan derita —tahun-tahun menjelang Perang Dunia II— Beckett mulai menulis secara bersungguh-sungguh. Baginya, momen-momen bernilai sejarah kemanusiaan itu sangat penting artinya. Stylenya yang eliptis alias singkat tegas dan terus terang mengusung diksi yang memejalkan soliditas (peng)ekspresi(an) dan asides (dialog yang diucapkan oleh aktor untuk dirinya sendiri —bisikan) yang penuh misteri dan teka-teki. Dialog inilah konon yang menjadi kendaraan Beckett menuju kebenaran kemanusiaan, yang menggiring dia ke level sastrawan paling bermartabat di seantero jagat.

“Mari kita tunjukkan, walaupun cuma sekali, derita jahanam yang ditakdirkan secara kejam merayap dan menggerogoti hidup kita,” kata salah seorang pelaku dalam karya-dramanya yang paling masyhur, Menunggu Godot. Kalimat tersebut, sudah barang tentu merupakan bisikan hati Beckett sendiri. “Saya hidup liar dalam rimba yang gelap, tak menentu selama 20 tahun. Segalanya berakhir ketika ‘Godot’ menjelma menarik perhatian saya untuk pelaku utama karya-karya saya,” ujar Samuel Beckett pula.

Tetapi ketika “Godot” (En attendant Godot) dipentaskan di Paris pada tahun 1953, muncul tanggapan kontroversial. “Tidak menarik, dan membingungkan,” gerutu beberapa pengamat menyetujui pendapat penonton. Meski begitu, sejumlah pakar maupun kritikus (ke)seni(an) tetap mengotot, mengklaim bahwa drama itu merupakan sebuah masterpiece. Toh, akhirnya (naskah) En attendant Godot —alias Waiting for Godot, yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi Menunggu Godot— dipandang sebagai karya klasik dalam (per)teater(an) modern, diakui dan diterima secara bulat, melebihi keterkenalan karya-karya Beckett yang lain, seperti Endagme, Krapp’s Last Tape atau Happy Days.

Beckett sendiri tidak ambil pusing apakah karya-karyanya akan dihargai atau dibuang orang ke comberan. Kecuali itu, dia juga selalu menolak untuk membicarakannya. Dia tidak mau diganggu oleh hal-hal yang menurutnya tidak relevan alias kurang berkenan di hatinya. Demikian bergairah dia memanjakan privacynya, sehingga dia meninggalkan apartemennya di Paris ketika mendengar dirinya telah dinobatkan sebagai pemenang Nobel Sastra. Setelah sekian lama dan bersusah-payah mencari barulah orang-orang menemukannya di Nabeul, Tunisia.

“Kalau para ahli di Swedia telah memilih saya untuk menerima hadiah itu, apa boleh buat. Terserah sajalah…,” kata Beckett ringan. Sambutan Beckett benar-benar sejiwa dengan asides-nya dan, mengingatkan orang pada bagian akhir Waiting for Godot atawa Menunggu Godot.

Vladimir: Well! Shall we go? (Kita pergi, sekarang?).

Estragon: Yes, let’s go (Boleh saja).

Tetapi mereka tidak beranjak dari tempatnya. Sampai layar diturunkan.

Dan, Samuel Beckett yang pernah mengajar di Ecole Normale Superieure dan menjadi sekretaris pengarang James Joyce itu, meninggal di Paris pada tahun 1989.***

Nelson Alwi
, menulis esai sastra dan budaya, tinggal di Padang.

Sumber: Riau Pos, 24 Juli 2011

Saturday, July 23, 2011

Teks yang Meniru dan yang Berubah

-- Arif Hidayat

KETIKA kau menjumpai sebuah teks, maka sesungguhnya kau sedang membaca pengalaman: ide yang diabstraksikan melalui bahasa. Seorang pakar hermeneutika ilmu sosial, Paul Ricoeur, memandang "teks sebagai diskursus yang dibakukan". Diskursus itu sendiri memuat peristiwa bahasa melalui proses objektivikasi. Jelasnya—ini seperti juga kata Derrida—semuanya dapat menjadi teks: cara memilih baju, sepatu, dan makan adalah teks, terlebih lagi cara bertutur atau cara menulis puisi, juga teks. Apa yang akan kau pikirkan kemudian setelah tahu bahwa praktek sosial adalah juga teks?



Poskolonial

Sesuatu yang lain terjadi, saat para penyair kita, begitu bereuforia menyambut Haiku (puisi tradisonal Jepang yang mendunia, dengan 17 suku kata) sebagai cara berekspresi pula dalam bagian dari perpuisian Indonesia: takjub dan memandang sesuatu yang kecil, tapi terhormat. Jepang sendiri pernah menjajah Indonesia, walaupun seumur jagung. Kita tetap ingat itu karena sejarah mencatat. Namun, struktur sosial kita lebih mengacu pada Belanda ketika berbicara kolonial. Sekarang—entah dalam posisi lupa atau ingat—bahwa kita berada dalam peniruan (mimikri) pada Haiku dengan tak sama persis suku katanya. Kita telanjur berada dalam budaya meniru sesuatu yang sudah populer untuk memopulerkan diri.

Saya tidak membenci Haiku. Saya ingin menilik pada sebuah teks itu diproduksi oleh penyair sebagai fenomena sosial, sebagai entitas tersendiri. Tentunya, Anda akan marah ketika saya mengatakan bahwa menulis Haiku di Indonesia itu meniru, dan akan mengatakan “tidak”. Kita memiliki rasa nasionalisme, patriotisme, juga fanatisme terhadap keadaan sosial secara keseluruhan. Wajar jika penyangkalan itu terjadi karena, itu sebagai komitmen rasa kebangsaan kita yang memiliki tanah air.

Sejauh memang itu dapat merepresentasikan keadaan sosial kita sebagai bentuk estetik dan gagasan dunia yang cukup ditampilkan dengan susunan kata singkat, maka fragmentasi yang kita tampilkan memunculkan gaya (style) yang berbeda dengan Haiku sebagai puisi tradisional Jepang. Yang kita butuhkan adalah konsekuensi logis dari transformasi sosial untuk melakukan penandaan secara sublime terhadap teks-teks Haiku yang kita produksi dengan nilai khas nusantara, tanpa terikat lagi pada Jepang.

Ini tidak berlebihan karena kekayaan nusantara mengenai praktek sosial, prilaku budaya, dan berbagai relasi lain yang begitu bervariasi dapat menjadi gagasan teks yang lebih menjanjikan, ketimbang meniru suatu model. Suatu transformasi sosial yang beragam dari berbagai asal-usul sejarah dan budaya Indonesia sesungguhnya memiliki berbagai macam gerakan yang penuh dengan nilai dan konsep, yang terlahir dari kekuatan karsa dan rasa. Yang perlu dipahami adalah untuk mencapai konvensi, yakni agar dunia mengakui bahwa teks-teks yang kita produksi bukan sebatas tiruan, tapi ia bersumber dari kebeningan jiwa setiap insan yang merepresentasikan pengetahuan hakikat dan esensial.

Penciptaan teks bukan sebatas peniruan. Penciptaan teks harusnya kita pahami sebagai objektivikasi dari karakter internal struktur sosial. Dengan begitu, kehadiran sebuah puisi (ataupun teks sastra lainnya) bagi masyarakat akan lebih berguna daripada sebuah keindahan semata, yang lantas dilupakan seperti sinetron atau acara komedi.



‘Posmodern’

Beberapa akhir-akhir ini, saya juga mulai prihatin lagi dengan teks-teks mini, yang beredar melalui ruang maya. Ia diproduksi secara singkat dengan alasan bahwa masyarakat sudah tidak butuh nasihat yang panjang-panjang. Ruang maya menjadi mediasi untuk realitas, tapi itu tidak lebih dari sekadar ekspresi selintas sepintas secara spontan. Ia tidak diproduksi berdasarkan pengetahuan mendalam dengan melibatkan ide, kepekaan, nalar, intuisi, rasa, nilai, konsep, dan jiwa. Maka, teks-teks mini tersebut, telah mengubah pengetahuan tentang sastra yang disimulasikan dengan semacam petuah.

Saya yakin bahwa kehampaan manusia modern yang bosan dengan dogma-dogma bukan karena kehadiran dari teknologi semata. Namun, ini juga efek dari banyaknya teks-teks sastra yang diedarkan tanpa kualitas sehingga stigma masyarakat menjadi berubah. Kondisi ekonomi yang mengharuskan setiap individu melakukan konsumsi dari berbagai sisi menjadi bagian pelik yang jarang diungkap oleh teks sastra di masa sekarang. Teks-teks sastra sekarang lebih banyak didominasi dengan bicara tentang keindahan, paling bicara tentang kebaikan dan nasihat. Seandainya saja, ada teks sastra yang mampu mengungkap secara penuh praktek korupsi secara mendetail, mampu mengkritisi sebuah kepemimpinan, dan mampu memberikan kesan-kesan terbuka bagi masa depan dengan memberikan kesadaran femonenologis.

Teks sastra tidak perlu menjadi mini, tapi lebih menginginkan hadir dalam personalisasi dan proletarianisasi agar ia dapat hadir pada seluruh elemen masyarakat dengan melokalisasi fenomena kultural yang menjadi bagian hidup dari setiap individu. Masyarakat (dalam keadaan sekarang ini) masih peka mencermati kode-kode sosial yang melekat dalam setiap tulisan. Ketika masyarakat sadar bahwa teks sastra merupakan bagian dari dirinya yang penting dan selalu membawa kesadaran baru terhadap realitas, maka ia akan dicari tanpa bentuk yang diubah atau transformasi estetikanisasi.

Akan tetapi, kembali kita perlu ingat pada kata Paul Ricoeur dan Derrida, tentang teks, yang berarti kita sedang berhadapan dengan ide, maka dapat dimaknai bahwa kehadiran teks-teks sastra mini di sisi kita adalah kegagalan yang kurang cermat pada tatanan sosial yang berubah. Kegagalan menyisipkan pesan, kode, dan tanda pada setiap kata membuat mengerah begitu saja pada masyarakat yang bosan. Ini adalah momok kerapuhan yang mengancam. Kerapuhan itu berjalan di atas kegagalan sehingga harus mengubah pada cara ungkap. Ketika teks-teks sastra itu menjadi mini, maka akan ada yang berubah: sastra yang mulanya mengesankan melalui susunan peristiwa yang disajikan dengan bahasa unik (karena berbeda dengan bahasa sehari-hari), kemudian menjadi sangat pragmatis dengan selintas sepintas. Kita bukan hidup di negeri sunyi, di mana seluruh penghuninya adalah penernung, tetapi kita hidup dalam keberkesanan cerita (peristiwa) secara komunal.

Ketika kau menjumpai bahwa sebuah teks yang dengan nama sama itu berubah: wayang yang dulu semalam suntuk menjadi berduarasi dua jam, atau sastra yang menjadi mini, berarti ada yang goyah pada hubungan antar individu, goyah pada nilai dan pengertian, yang akhirnya tanpa kau sadari telah mengubah segalanya. n
|
Arif Hidayat, Mahasiswa Kajian Budaya UNS Solo

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 23 Juli 2011

Trisakti BK dan Antikorupsi

-- A.J. Susmana

DALAM soal keteladanan seorang pejabat publik untuk berani bertanggung jawab, misalnya dengan pengunduran diri ketika dianggap korup, Tajuk Kompas, Sabtu, 9 Juli 2011, dengan judul Sebuah Contoh dari Brasil menyampaikan bahwa Jepanglah juaranya. Tajuk ini lalu ditutup dengan pertanyaan yang dilatari pejabat publik Brasil, yaitu Menteri Perhubungan Alfredo Nascimento, yang juga mengundurkan diri terkait anggapan korupsi: Kalau di Brasil saja bisa, apakah kita tidak bisa?

Jawaban terkait pertanyaan tersebut adalah pasti tidak bisa selama keadaan Negara Republik Indonesia masih seperti saat ini, yakni ketiadaan untuk berani berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian di bidang kebudayaan sebagaimana dinyatakan Bung Karno puluhan tahun yang lalu dalam kerangka menghadapi penjajahan gaya baru: nekolim. Bila itu terjadi, bukanlah karena kebudayaan yang menjadi dasar, melainkan sekadar kekecualian saja di antara para pejabat publik yang sudah percaya bahwa korupsi adalah tindakan yang wajar-wajar saja dan bertanggung jawab adalah hal yang aneh.
Yang patut dikritik dalam memandang kasus korupsi akhir-akhir ini adalah pandangan bahwa korupsi semata-mata tindakan amoral dan tidak etis saja. Karena itu penyelesaiannya pun penuh dengan seruan-seruan moral dan etis, seperti perlunya kejujuran, tanggung jawab, dan penguatan iman atau nilai-nilai keagamaan. Padahal korupsi tentu saja bukan sekadar sikap moral yang buruk, penuh dosa, dan memalukan. Lebih dari itu, korupsi adalah sisa-sisa dari kebudayaan feodalisme yang masih berjaya di zaman modern. Pada masa feodal, korupsi berbentuk penyerahan upeti. Berkaitan dengan kepentingan kolonialisme, seperti Belanda di nusantara, sejauh budaya sisa-sisa feodal itu berguna untuk kelanggengan kolonialisme, ia akan dipertahankan dan tidak diberantas tuntas walaupun dari segi corak produksi kapitalisme sebenarnya tidaklah efektif dan efisien. Soal ini Eduard Douwes Dekker alias Multatuli, aku yang sudah banyak menderita, dengan apik, menyentuh dan jelas melukiskannya dalam Romannya yang terkenal: Max Havelaar.
Karena itu sungguh omong kosong bila pemberantasan korupsi itu tidak diletakkan dalam kerangka menghancurkan koruptor dan perampok sesungguhnya, yaitu neokolonialisme dan imperialisme. Jose Rizal, penulis roman, pejuang, dan pahlawan pembebasan nasional Philipina, memperingatkan situasi pelik ini dalam romannya yang berjudul El Filibusterismo yang berarti Merajalelanya Keserakahan. Secara singkat, Roman ini berkisah tentang keserakahan dan kesewenang-wenangan penjajah Spanyol yang setidaknya juga dibantu beberapa kalangan agamawan yang membuat rakyat Filipina makin miskin dan sengsara. Tapi kemiskinan rakyat, ternyata tak menumbuhkan perlawanan yang berkobar. Rakyat justru semakin apatis melihat keserakahan merajalela. Di samping itu kerusakan moral rakyat pun meluas: perampokan dan tindakan kriminalitas lainnya terjadi di mana-mana seiring dengan kekuasaan yang semakin tak bermoral dan serakah. Walaupun begitu, di El Filibusterismo masih ditunjukkan oleh Jose Rizal, bagaimana seorang yang serakah, Simoun, bisa menjadi seorang patriotis. Ia bertindak serakah untuk mengumpulkan dana melawan penjajah Spanyol dan berharap agar rakyatnya yang makin sengsara akibat merajalelanya keserakahan itu bangkit melawan penjajah Spanyol, sumber keserakahan dan kerusakan moral yang sebenarnya.
Apa yang disampaikan Bung Karno dengan Trisakti-nya itu, dengan begitu, sangat tepat dan itulah yang kini terjadi di Brasil dan beberapa negara Amerika Latin lainnya yang berhasil menolak kesewenang-wenangan penjajahan baru saat ini yaitu neoliberalisme. Indonesia saat ini justru semakin terjerumus dalam penjajahan baru neoliberalisme. Republik Indonesia hampir-hampir tak berdaulat dalam mengelola kekayaan alamnya sendiri dan membangun kebudayaan yang mencerminkan nilai-nilai luhurnya sendiri. Bagaimana bisa negara yang tak berdikari di bidang ekonomi, tapi terus bergantung pada modal asing dapat membangun kedaulatan politik lantas menghasilkan manusia baru yang berbudaya, jujur, seiya sekata dalam perbuatan dan bertanggung jawab, termasuk pada nilai-nilai luhur yang menjadi basis hidup kebudayaannya?
Mari kita lihat: akhir-akhir ini saja, dalam soal radikalisme yang begitu dipahami dengan baik oleh para ibu dan bapak pendiri bangsa justru direduksi pada tindakan teror dan kekerasan saja; itu pun lebih ditujukan pada golongan minoritas dan rakyat kecil-lemah. Padahal kalau kita memahami sejarah perjuangan bangsa, mana ada para ibu dan pendiri bangsa kita yang tidak radikal? Sampai-sampai para pendiri dan pejuang kemerdekaan bangsa itu menolak bila kemerdekaan negara itu tidak berbentuk Republik dan yang sering menjadi kebanggaan sampai sekarang: jangan sampai kemerdekaan itu merupakan hadiah dari Jepang: Negara yang sering dibanggakan dengan nilai dan laku “kesatria”-nya itu. Landasan untuk menjadi bangsa yang berdaulat dan merdeka itu pun diletakkan dalam hidup berbangsa dan bernegara di bawah konstitusi UUD 1945 yang berperspektif maju yaitu menuntaskan perjuangan nasional atau revolusi nasional.
Karena itu tidak tepat pula bila kita sering menilai bahwa UUD 1945 itu bukanlah berbasiskan kapitalisme pun bukanlah berbasiskan sosialisme/komunisme. Lantas sering disebut UUD yang bukan ini-bukan itu atau bukan-bukan. Padahal dengan jelas UUD 1945 sebagai hasil dari revolusi Kemerdekaan Agustus itu begitu membela kepentingan nasional dan berkehendak menuntaskan perjuangan nasional. Sebagai contoh Pasal 33 UUD 1945 mengharuskan kekayaan alam Republik Indonesia digunakan untuk memakmurkan rakyat negeri; lantas mereka-mereka yang selama penjajahan terdiskriminasi dan susah kehidupannya, dijamin dalam Pasal 34.
Selain soal radikalisme, begitu sering kini digunakan kata pluralisme untuk menunjukkan keberagaman dan wawasan kebangsaan. Mengapa bukan Bhinneka Tunggal Ika saja yang sudah terbukti dalam sejarah nusantara dan berbangsa kita bahwa keberagaman itu tidak menjadikan kita lemah dan terpecah-pecah, tapi justru menjadikan kita kuat dan bersatu melawan penjajahan dan untuk mewujudkan manusia baru yang luhur sebagaimana terkandung dalam Pancasila. Kecenderungan pluralisme seakan hanya mengedepankan keberagaman saja tanpa unsur persatuan, kesatuan, dan gotong royong.
Dasar kebudayaan yang berpijak pada kearifan leluhur dalam artian kearifan yang sudah menyejarah dalam rentang kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa perlu menjadi xenophobia tentu saja menjadi penting dalam kerangka membangun kebudayaan yang berkepribadian untuk mendukung mental berani dan tidak inlander di hadapan bangsa-bangsa lain. Bila jiwa-jiwa inlander, ketakmandirian dan politik yang lemah di hadapan modal asing masih bercokol, tentu saja kita tak akan bisa mengikuti Brasil. Politik kolonialisme yang masih bercokol di bumi nusantara itulah soal terpokoknya. n

A.J. Susmana, Anggota Divisi Sastra Sanggar Satu Bumi

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 23 Juli 2011

Pamerkan Lukisan Retrospektif: Memasuki Usia 60 Tahun Hardi Masih Kuat Berkarya

PELUKIS Hardi, ternyata masih kuat berkarya. Masih tetap melukis setiap hari, masih menghasilkan lukisan-lukisan retrospektif. Ketekunannya memainkan kanvas setiap hari membuktikan kesetiannya menekuni profesinya sebagai pelukis yang telah ia jalani sejak awal 70-an.

Dalam rangka memperingati usianya yang memasuki 60 tahun, pria kelahiran Blitar 26 Mei 1951 ini menggelar pameran lukisan dan peluncuran buku berjudul "Pameran Seni Rupa Retrospektif Hardi 60 Tahun", di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta.

Pameran tersebut dibuka secara resmi oleh Direktur Jenderal Nilai Budaya Seni dan Film Kemenbudpar, Ukus Kuswara, yang kehadirannya sekaligus mewakili Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik.

Disaksikan sejumlah undangan dan pecinta seni rupa, Ukus Kuswara kemudian menyampaikan pesan dan pujian Jero Wacik kepada Hardi.

"Saya mengenal Mas Hardi sebagaia salah satu tokoh seniman Indonesia yang berkarakter. Ia adalah salah satu dari sedikit seniman yang memiliki sikap fair dan objektif dalam mengamati perkembangan masyarakat dan bangsa ini dari waktu ke waktu," tulis Menbudpar Jero Wacik dalam buku katalog Pameran Hardi.

Jero Wacik juga menilai Hardi sosok yang tanpa gentar suka melontarkan pikiran dan komentar kritis bahkan seringkai tajam, jika melihat sebuah kekurangan. Tetapi, jika melihat sebuah upaya perbaikan yang mengarah pada kemajuan negeri ini, tanpa sugkan dan segan iapun siap mengakui, memuji dan mendukungnya secara total.

"Pesan saya pada Mas Hardi teruslah teguh bersikap seperti itu, fair dan objektif, dan jangan pernah berhenti berkarya sehingga kelak Anda menjadi salah satu budayawan dan seniman Indonesia yang akan mendapatkan tempat indah dalam kenangan masyarakat dan bangsa ini," lanjut Menbudpar.

Ukus Kuswara pun memuji setiap lukisan yang dipamerkan Hardi karena banyak menampilkan pemandangan dan manusia Indonesia secara asli. "Kesetiaan Hardi menghabiskan hari-harinya dengan melukis tentang keseharian Indonesia sungguh luar biasa," ujar Ukus Kuswara.

Pujian lain juga datang dari sahabat dekatnya, antara lain dari Fadli Zon, mantan wartawan yang kini menjadi Sekjen Partai Gerindra. Pelukis Hardi yang pernah populer berkat lukisan Presiden 2001, dan karena lukisannya itu dia pernah ditangkap dan dijebloskan ke penjara, menurut Fadli Zon, adalah sosok yang mempunyai kepercayaan diri sangat tinggi.

"Ia tak mau takluk pada industri lukisan yang kaya rekayasa. Namun, di usia menembus 60 tahun, saya melihat Hardi jauh lebih bijaksana. Pengalaman masa lalu yang penuh mozaik itu, menjadikannya seorang yang arif tentu saja bumbu kritik Hardi tetap terasa di sana sini", kata pemilik penerbit Fadli Zon Library, Fadli Zon, di Jakarta, Minggu. Dia menjelaskan, beberapa hari sebelum acara, Hardi menyerahkan dua buah koper kliping berisi tulisan-tulisannya dan berita peristiwa tentang aktivitas ataupun karya-karyanya. Dari dalam bundelan kliping tersebut, menurut Fadli, dapat diketahui bahwa Hardi bukan semata pelukis tapi juga penulis yang produktif dan tajam sehingga akhirnya menghasilkan dua buku yang berjudul " Seni & Politik" dan "Seni Uang Rakyat".

Hardi adalah juga seorang maestro di dunia seni rupa Indonesia. Fadli Zon menulis, pelukis Affandi bahkan menempatkan Hardi sebagai seorang pelukis terbaik Indonesia. Nama Hardi disejajarkan oleh Affandi dengan Sudjojono, Basuki Abdullah, Sudarso, Rusli, But Mochtar, Sadali, Srihadi dan Popo Iskandar.

"Saya yakin, selasa hayat di kandung badan, Hardi akan terus membuat jejak-jejak baru bagi sejarah seni rupa Indonesia," ujar Fadli Zon.

Bagaimana menurut kesan pengamat seni rupa Sri Warso Wahono? Sudah sepantasnya Hardi menggelar pameran retrospektif karena dari hampir 60 tahun usianya, 40 tahun diantaranya dia habiskan di dunia seni rupa. Karena itu, amat sepatutnya Hardi melakukan pameran retrospeksi.

Sebab, kata Sri Warso Wahono, dari pameran penting itu banyak pihak akan bisa menyaksikan totalitas kesenimanannya lengkap dengan karya seni yang telah diciptakanya seutuhnya.

"Hingga tahun 2011 ini, Hardi sebagai seorang pelukis profesional sudah mengarungi proses penciptaan berbagai gaya dan tema. Aktivitasnya dimana-mana menakjubkan. Sebagai contoh tahun 1976 pameran tunggal di Heerlen, Belgia. Tahun 1990 pameran tunggal di Ubud, Bali. Tahun 1999 pameran tunggal di Culture Centre, Tokyo, Jepang. Pameran bersama seniman-seniman lain sudah tak terhitung jumlahnya.

Karya Hardi beragam tema dan obyek dari yang bernilai filosofis, historis, religius dan yang bernilai sosial, humanistik, politik serta yang berkutat dengan anasir artistik estetik. Beberapa periode karya-karya Hardi diwujudkan dalam bentuk seni grafis. lukisan, kolase foto seni dan sketsa hitam putih.

"Pelukis Hardi sekarang ini telah menjadi ikon budaya Indonesia. Gaung berita tentang diri berikut karya-karyanya telah tersiar dimana-mana. Hardi mampu membuka ruang dan cakarawala kreativitas seni rupa di Indonesia", sambung Ketua BP TIM, Teguh Widodo. Teguh mengemukakan bahwa Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki amat bangga dan terkesan dengan pameran pelukis Hardi saat ini.

Hardi pun mengucapkan terima kasih atas kerjasama yang diberikannya, sehingga pameran yang berbobot dan berkualitas ini dapat terselenggara sukses seperti yang kita harapkan semua.

"Tema lukisan saya masih tetap berhubungan dengan sosial masyarakat. Karena itu sudah menjadi ciri khas saya", ungkap Hardi di sela-sela acara pameran.

Ia juga megatakan bahwa seni lukis di Indonesia sudah sangat berkembang dan mampu menjadi yang terbaik di dunia.

Hardi juga mengucapkan terima kasih kepada semua seniman dan semua pihak yang selama ini selalu mendukung karya-karyanya. Pemeran Hardi itu diselenggarakan sejak tanggal 17 dan berakhir 26 Juli 2011 mendatang di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki, Jakarta. (Ami Herman)

Sumber: Suara Karya
, Sabtu, 23 Juli 2011

Friday, July 22, 2011

Sulitnya Menjadi Orang Jujur

-- Abdul Roji

SANGAT memalukan! Barangkali ungkapan itu paling tepat untuk menggambarkan protes dan amuk massa orangtua murid kelas 6 SD Negeri Gadel 2 Kota Surabaya, beberapa waktu lalu. Seperti dilaporkan media massa, protes dan amuk massa dipicu oleh adanya laporan kecurangan dan aksi menyontek bersama di SDN Gadel 2 saat Ujian Nasional (UN) yang berlangsung pada tanggal 10-12 Mei 2011 oleh salah satu orangtua murid.

Kemarahan itu berimbas pada pengusiran orangtua murid dari rumahnya. Karena, dia dianggap telah mencemarkan nama baik guru dan sekolah. Beruntung, petugas segera mengamankan orangtua tersebut dari 'kebrutalan' massa yang memang sudah memendam rasa marah akibat pelaporan pencontekan tersebut.

Akibat lain dari kejadian di SDN Gadel 2 juga berujung pada pemecatan Kepala Sekolah dari jabatannya, dan pemberian sanksi kepada 2 orang guru kelas 6. Kedukaan akibat peristiwa di SDN Gadel 2 Surabaya itu terasa sangat memprihatinkan, bahkan bisa dikatakan menjadi pengalaman duka paling mendalam dalam dunia pendidikan nasional.

Amuk massa kepada keluarga korban yang telah melaporkan kecurangan dalam ujian nasional merupakan ironi dalam sistem pendidikan yang seharusnya menitikberatkan pada aspek kejujuran. Kemarahan masyarakat atas kejujuran pelapor itu dinilai sebagai pembuktian bahwa pendidikan bangsa ini masih rendah. Kejujuran yang semestinya menjadi roh dunia pendidikan malah dimusuhi. Seharusnya mereka mengerti bahwa tidak ada pendidikan tanpa kejujuran.

Gambaran perih, sedih, tragis inilah mungkin sedang dialami oleh keluarga korban. Amuk massa yang dilakukan orangtua murid telah meninggalkan luka yang mendalam bagi si korban. Padahal dia sudah memberikan pembelajaran yang sangat berharga tentang makna kejujuran kepada semua orang. Namun, yang diterima adalah hinaan dan caci maki. Mereka telah menjadi korban dari sistem pelaksanaan Ujian Nasional di Indonesia.

Ini merupakan peringatan serius kepada para penentu kebijakan pendidikan untuk mengoreksi kebijakan pendidikan yang belum mampu menjadikan kejujuran sebagai budaya di dalam penyelenggaraan Ujian Nasional setiap tahun.

Sungguh memprihatinkan. Satu aspek dasar yang seharusnya ditanamkan sejak dini, yakni tentang kejujuran dan rasa percaya diri akan kemampuan sendiri, justru dicabik-cabik oleh 'oknum' yang tidak bertanggung jawab. Jika sudah dididik untuk berbuat curang dalam ujian, bagaimana kelak mereka di dalam masyarakat?

Ini adalah contoh kasus dari sekian banyak kasus kecurangan dalam pelaksanaan Ujian Nasional. Mungkin masih banyak kasus-kasus kecurangan UN yang memang tidak diketahui atau didiamkan. Kecurangan dalam UN merupakan fenomena menarik di dalam sejarah dunia pendidikan. Pemerintah rupanya perlu meninjau kembali kebijakan pelaksanaan UN. Pemerintah harus membangun sistem UN yang ramah dan mengutamakan kejujuran.

Setidaknya ada 3 alasan yang harus dilakukan pemerintah dalam perubahan sistem UN. Pertama, hasil akhir pendidikan jangan hanya berorientasi pada hasil Ujian Nasional, melainkan juga harus memperhatikan proses belajar di kelas. Karena, kalau hanya nilai UN yang dijadikan dasar, maka banyak sekolah berusaha 'membantu' siswanya agar mendapatkan nilai yang tinggi. Walaupun, dengan cara-cara yang tidak jujur.

Kedua, penentuan kelulusan jangan ditentukan oleh pemerintah, tetapi diserahkan kepada sekolah. Karena, sekolahlah yang lebih mengetahui perkembangan siswa di kelas. Ketiga, hasil Ujian Nasional jangan digunakan sebagai penentu masuk ke sekolah negeri. Lebih baik siswa yang akan masuk ke SMP/ SMA Negeri diadakan tes. Karena, hasil UN selama ini banyak yang 'meragukan'.

Pelaksanaan UN yang selama ini berlangsung juga banyak disorot. Dalam kegiatan belajar-mengajar, guru hanya menekankan aspek pengetahuan semata, dan telah mengesampingkan aspek sikap dan ketrampilan siswa. Karena, guru dituntut untuk menyelesaikan materi pelajaran dengan segera, agar murid-muridnya mendapatkan nilai yang tinggi dalam UN. Akhirnya setiap hari, siswa dijejali dengan pembahasan soal-soal UN.

Hal lain yang menjadi sorotan adalah karena masih adanya kecurangan-kecurangan pada saat berlangsungnya UN itu sendiri. Kecurangan itu ibaratnya sudah menjadi budaya setiap dilaksanakannya UN yang dilakukan oleh 'oknum' yang tidak bertanggung jawab.

Mungkin masih banyak lagi cara-cara lain dengan modus berbeda yang dilakukan sekolah kepada anak didik yang dapat merugikan semua pihak. Dan, semua itu jelas-jelas mengajarkan perilaku ketidakjujuran kepada anak didik. Selain yang sifatnya 'insidental', namun di luar itu, ada kecurangan lain. Hal ini dilakukan, selain kurang rasa percaya diri, juga dilakukan untuk mempertahankan 'prestise' sekolah itu sendiri.

Melihat banyaknya kecurangan-kecurangan dalam UN, maka sangat relevan ditanyakan kembali apa urgensi dari penyelenggaraan ujian nasional. Siapa pun akan tersenyum sinis dan mencibir setiap kali menyaksikan 'oknum' pendidik yang melakukan perbuatan terlarang. Segumpal dosa dan keprihatinan mendalam atas 'pengkhianatan' dalam dunia pendidikan.

Kiranya, Mendiknas harus segera merubah sistem penyelenggaraan UN yang lebih bijak, agar tidak ada lagi yang jadi korban. Jika tidak ada langkah-langkah khusus, dikhawatirkan anak-anak Indonesia tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang tidak berkarakter jujur dan tidak percaya diri dengan kejujuran. n

Abdul Roji
, guru SD Budi Luhur, Karang Tengah, Tangerang, Banten.

Sumber: Suara Karya, Jumat, 22 Juli 2011

Korupsi dan Kehancuran Bangsa

-- Herman

TAMPAKNYA Indonesia sudah berada dalam ancaman kehancuran akibat tindakan korupsi yang semakin merajalela. Praktik korupsi terus menggerogoti para elite politik, bahkan merambah ke ranah hukum. Jika masalah ini dibiarkan, maka bukan tidak mungkin negara ini akan menemukan kehancuran kerena perbuatan yang dinamakan korupsi.

Kita semua tahu, beberapa kasus yang hingga kini belum terungkap dengan jelas, seperti kasus BLBI, Bank Century, mafia pajak, mafia hukum, kasus Sesmenpora yang melibatkan bendahara umum partai berkuasa dan masalahnya kian meluas manakala membawa-bawa nama-nama tokoh lain. Terakhir, kita juga dikagetkan dengan masalah 'kursi haram' DPR yang juga melibatkan politisi Partai Demokrat, Andi Nurpati. Betapa kompleks masalah korupsi di negeri ini yang membuat wajah negeri ini semakin suram dan semakin terancam di ambang kehancuran.

Penegak hukum juga tidak luput dari masalah korupsi. Penangkapan hakim Syarifuddin oleh KPK, belum lama ini adalah sebuah bukti nyata bahwa hukum kita bisa dibeli oleh siapa saja yang memiliki uang. Penangkapan itu semakin menambah buruknya citra penegakan hukum di negeri ini. Bagaimana bangsa ini bisa keluar dari ancaman korupsi apabila 'sapu' yang mereka miliki untuk membersihkan juga kotor.

Para penegak hukum yang seharusnya menjadi 'panglima' dalam pemberantasan korupsi malah ikut terjebak dalam kasus korupsi. Hal ini bisa jadi merupakan bukti ketidakseriusan penguasa dalam pemberantasan korupsi. Bagaimanapun bahaya korupsi yang telah mengakar harus mendapatkan perhatian serius dari pemerintah untuk menyelamatkan bangsa ini. Ketegasan hukum dan keadilan adalah syarat mutlak yang mesti dimiliki negara terutama penegak hukum.

Jika kita cermati, masalah korupsi sebenarnya sudah menjadi budaya di negeri ini, mulai dari tingkat daerah hingga pusat. Malah di era demokrasi saat ini tindakan korupsi sudah menjadi hal yang biasa dipraktikkan oleh para pemimpin bangsa. Dan, lucunya lagi para penegak hukum juga terlibat dalam praktik suap-menyuap.

Di samping itu, di lain pihak, pemerintah sendiri terkesan lamban, tebang pilih dan tidak tegas dalam memberantas korupsi. Ini sekaligus merupakan salah satu penyebab kenapa tindakan korupsi terus merajalela.

Kita lihat saja kasus yang menyeret salah satu kader Partai Demokrat, Mohammad Nazaruddin, yang terus mangkir menanggapi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan diduga kabur ke luar negeri. Ini pun tak terlepas akibat ketidaktegasan pemerintah dalam menangani kasus yang menimpanya. Ada kesan, tidak ada tindakan serius dari pemerintah untuk menangkap para koruptor. Pemerintah pun seakan tidak memiliki keberanian ketika berhadapan dengan para koruptor kelas kakap.

Tertangkapnya Hakim Syarifuddin, menambah potret buram penegakan hukum di Indonesia. Hakim Syarifuddin diduga telah membebaskan 39 terdakwa korupsi dan terakhir dia juga membebaskan Gubernur Bengkulu, Agusrin Najamudin. Membudayanya korupsi di negeri ini karena lemahnya penegakan hukum dan miskinnya keteladanan dari para pemimpin bangsa.

Ancaman korupsi harus mendapatkan perhatian serius dari semua kalangan, khususnya pemerintah. Ini penting agar bangsa ini tidak jatuh ke jurang kehancuran akibat ketidakadilan dalam penegakan hukum. Jika budaya korupsi ini tidak cepat diberantas, dikhawatirkan bangsa ini akan mengalami kemunduran dalam segala aspek kehidupan.

Kita masih ingat dengan Negeri Saba' yang hancur akibat korupsi yang merajalela. Memang, korupsi di negeri ini sudah lama membudaya. Sejak era Orde Lama, Orde Baru, hingga era Reformasi, tindakan korupsi semakin subur. Di era reformasi ini, penyakit korupsi tidak hanya menimpa elite pemerintahan saja, akan tetapi hampir semua elite pemerintahan sudah terjangkit penyakit korupsi.

Penegakan hukum seakan tumpul jika berhadapan dengan koruptor kelas kakap, seperti pejabat pemerintah. Ketegasan penegakan hukum juga menjadi penyebab tindakan korupsi semakin tumbuh subur di Republik ini. Negeri ini memiliki kekayaan alam yang melimpah, namun terancam hancur akibat ulah sebagian pemimpin yang sudah menjadikan korupsi sebagai tradisi.

Untuk mengantisipasi agar ancaman kehancuran bangsa akibat bahaya korupsi bisa dihindarkan, maka harus ada ketegasan dalam penegakan hukum dan keteladanan dari para pemimpin. Keteladanan merupakan keniscayaan yang mesti diberikan para pemimpin supaya tidak berperilaku KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) serta berani menindak tegas siapa saja yang tersangkut masalah korupsi.

Tenpa tekad ini dari para pemimpin, keadaan ini membuat masyarakat menjadi frustasi dan menambah image negatif terhadap keberadaan negeri ini. Masyarakat pun bisa hilang kepercayaan akan apa yang telah dilakukan pemerintah dalam pengembangan negara ini, di samping lagi karena penanganan kasus korupsi yang tidak pernah tuntas.

Menurut Direktur Pukat FH UGM Zainal Arifin Mochtar, tindak korupsi yang terjadi pada 2010 lalu masih memperlihatkan pola kecenderungan yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Begitu juga untuk tahun 2011 juga akan menunjukkan kecenderungan yang masih serupa.

Namun demikian, pada tahun ini kondisinya akan menjadi sangat mengkhawatirkan. Walaupun sama bahayanya dengan tahun 2010, tetapi pada 2011 kondisinya bisa lebih mengkhawatirkan seperti fenomena gunung es. Di tahun 2011, akan banyak timbunan kasus baru yang merupakan akumulasi dari tahun-tahun sebelumnya yang belum sempat terselesaikan.

Ancaman kehancuran bangsa akibat tindakan korupsi tergantung keseriusan pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Jika tidak ada komitmen, ketegasan, dan keteladan dari para pemimpin bangsa maka tindakan korupsi tidak akan pernah selesai dan mungkin akan semakin bertambah parah. Penegak hukum juga harus tegas dan menjadi 'panglima' agar kehancuran bangsa tidak benar-benar terjadi. n

Herman, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Jakarta, aktif di MMS (Moderate Muslim Society).

Sumber: Suara Karya, Jumat, 22 Juli 2011

Thursday, July 21, 2011

Puisi Diharapkan Masuk Kurikulum SMA

Bandarlampung, 21/7 (ANTARA) - Sastrawan Isbedy Stiawan ZS meminta Dinas Pendidikan di Indonesia dapat memasukkan pengajaran sastra, minimal puisi, ke dalam kurikulum di sekolah tingkat menengah atas (SMA) karena sangat membantu para siswa untuk bernarasi.

"Selain itu, mereka belajar mengemukakan pendapatnya secara demokratis setelah membaca karya puisi. Karya puisi melatih siswa bersikap humanis," katanya di Bandarlampung, Kamis.

Ia yang menghadiri Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) V di Palembang, 16-19 Juli 2011, mengatakan, salah satu butir rekomendasinya, memasukkan karya puisi dalam pelajaran di sekolah.

"Semestinya bukan ekstrakurikuler atau biasa disebut ekskul, tetapi dimasukkan dalam pelajaran seperti bahasa Indonesia, matematika, dan lain-lain. Kalau belum memungkinkan saat ini, pihak sekolah berinisiatif mengundang sastrawan masuk ke sekolah minimal dua minggu sekali," ujar dia.

Sastrawan Lampung itu pun mengkhawatirkan jika karya sastra, dalam hal ini puisi, kurang disentuh dalam pengajaran di sekolah maka lambat laun karya sastra akan ditinggalkan. Padahal, karya sastra adalah bagian dari kebudayaan Indonesia.

"Saya bisa bayangkan jika sastra, atau seni berbahasa, ini ditinggalkan atau pun dilupakan generasi muda. Anak-anak kita pada suatu masa akan kehilangan berbahasa yang indah dan runut," ujar dia.

Isbedy menjelaskan, masyarakat Thailand bagian Selatan kini nasibnya sangat menyedihkan. Politik di negara itu telah merambah ke bahasa.

"Kabar yang saya terima dari penyair berbahasa Melayu di bagian Selatan Thai, saat ini tidak boleh lagi memakainya di tempat-tempat umum. Saudara se-Melayu kita di Thai benar-benar menyedihkan, apakah kita akan seperti itu? Karena itu, sastra sangat penting masuk ke dalam kurikulum di sekolah," tambah Isbedy lagi.

Menyinggung PPN V di Palembang, dia menjelaskan, pelaksanaannya sangat bagus. Sulit mencari kelemahannya, meski diakuinya, pasti ada.

"Panitia mau menerima masukan tim pengarah, agar melibatkan pelajar dan mahasiswa. Sastrawan tak bisa lagi menunggu siswa atau mahasiswa, tapi kita yang harus mendatangi mereka. Kita yang perlu mnsosialisasikan puisi," katanya.

Sementara itu, soal PPN VI 2012 di Jambi, Isbedy berharap sistem kuratorial sebaiknya diteruskan agar mendapatkan para penyair yang "sudah jadi" dan "tidak main terabas" alias "main belakang" menemui panitia.

"Kenapa di seni rupa dan tangkai seni lainnya sudah biasa dengan kurator, sastra dianggap alergi," kata dia.

Sumber: Antara, Kamis, 21 Juli 2011

[Gagasan] Pendidikan Bangsa Kita yang ”Minder"

-- Melun Ruminten

MEMBICARAKAN pendidikan di Indonesia tiada habisnya, penuh tanda tanya dan kerumitan. Budaya asing dengan sedemikian mudah merasuk dalam kepribadian Bangsa Indonesia, sehingga lunturlah nilai-nilai luhur bangsa. Mengapa budaya asing yang positif lebih sulit berakulturasi? Kecenderungan meniru justru berdampak kurang bijak bagi generasi muda yang notabene adalah asset dan masa depan bangsa.

Harus diakui, pendidikan memang memegang peranan sangat penting dalam sendi kehidupan. Seseorang begitu dihargai karena jenjang pendidikan yang disandangnya. Mereka mendapat tempat yang cukup baik di tengah masyarakat. Lalu bagaimana dengan nasib rakyat miskin yang sulit mendapatkan pendidikan? Ironisnya bangsa ini memiliki jumlah orang miskin yang sangat banyak. Apakah ini berarti Indonesia adalah negara yang berpendidikan rendah di mata dunia?

Bahkan untuk sistem pendidikan saja kita banyak mengadopsi dari luar, mulai dari penamaan jenjang, yang SMP tidak lagi kelas 1, 2 dan 3, tetapi berubah menjadi 7, 8 dan 9. Begitu juga SMA kini berubah menjadi kelas 10, 11 dan 12. Juga dengan didirikannya kelas internasional. Tujuannya mencetak lulusan yang tak kalah kualitasnya untuk memasuki dunia kerja internasional. Padahal indikator kelulusan kelas internasional itu sendiri belum jelas.

Untuk kelas internasional seperti itu, biasanya hanya dibuka 1 atau 2 kelas. Nah..., sekarang ini banyak sekolah yang mulai merintis kelas internasional sebagai jurusaan tambahan. Mereka dengan bangga mengklaim diri sebagai sekolah bertaraf internasional, meski harus mengorbankan keefektifan belajar siswa itu sendiri, kemampuan para pengajar, serta orang tua. Seleksi masuk ketat, uang yang harus dikeluarkan pun lebih banyak. Sementara rata-rata yang terpilih justru siswa-siswa pintar, namun berasal dari keluarga kurang mampu. Ini justru menjadi beban para orang tua untuk merogoh kantong lebih dalam, bahkan kerja keras hanya untuk mendapat kebanggaan anaknya.

Alangkah baiknya jika tidak dipaksakan. Ini juga menjadi strategi sekolah, menyaring calon peserta didik yang berpotensi (pada dasarnya sudah ber-IQ tinggi) untuk mengisi kelas tersebut. Sehingga pada saat kelulusan hasil akhir akan memuaskan, dan pasti akan menarik lebik banyak lagi calon peserta didik di tahun berikutnya.

Apakah hanya karena gengsi semata atau pengakuan status sosial? Mari kita lihat faktanya, siswa justru merasa belajar lebih berat karena mereka harus menggunakan bahasa inggris dalam percakapan. Sedang selama ini mereka diajarkan bahasa ibu saja belum tentu paham, apalagi bahasa bangsa lain. Di tengah rasa tertekan para siswa, guru yang mengajar pun tidak kalah sibuk dengan harus mengejar kursus bahasa inggris untuk dirinya sendiri. Sehingga kegiatan belajar mengajar yang guru bawakan dengan lancar dan penuh percaya diri, tiba-tiba selalu merasa grogi jika berdiri di hadapan siswa sendiri, hanya karena pembeljaran harus sering tehenti akibat murid kerap menyela untuk mengoreksi grammar si guru.

Ini hanyalah sekelumit gambaran sebuah bangsa yang kehilangan kepercayaan diri terhadap jati diri yang dimiliki. Konsistensi dalam memegang kebenaranlah yang menjadi inti dari kewibawaan dan harga diri seseorang. Jadilah lilin yang rela membakar diri, untuk selalu menerangi kegelapan.

Melun Ruminten
Dusun Beseran 1
RT 01/01 Beseran
Kaliangkrik, Magelang

Sumber: Suara Merdeka, Kamis, 21 Juli 2011