Sunday, May 29, 2011

Para Pengisah Soeharto

-- Bandung Mawardi

SEJARAH itu belum terlampau jauh dari ingatan, masih terang untuk dibeberkan dan dikenangkan. Soeharto menoreh sejarah, 21 Mei 1998. Pengunduran diri sebagai presiden memberi lega, peristiwa ganjil dari seruan mengubah Indonesia. Sejarah pun melintasi kita dengan euforia dan angan tentang nasib (kekuasaan) Indonesia.

Sosok Soeharto terlalu lama mendefinisikan Indonesia, mencipta kepatuhan ideologis, dan mengurung rakyat dalam bahasa, senyum, dan bedil. Kita mengenangkan sosok Soeharto, pembawa suluh Orde Baru, sebagai manusia fenomenal dan kontroversial.

Kita bakal mengenangkan Soeharto melalui jejak-jejak pembacaan sebelum dan usai kejatuhan Orde Baru. Seorang kritikus sastra, A. Teeuw (1994), melakukan pembacaan dan analisis tekstual atas Pidato Kenegaraaan 1988 oleh Soeharto. Pidato ini mengandung pandangan atas berbagai kebijakan rezim, representasi dari kekuasaan untuk menginformasikan dan menjelaskan segala ihwal kondisi Indonesia. Soeharto membacakan pidato sebagai simbol penguasa, penentu nasib, dan pemegang otoritas politik.

Soeharto menampilkan diri dalam olah bahasa, peristiwa membacakan pidato, dan penghadiran ekspresi tubuh. Bahasa dalam pidato menandai politik linguistik dan sebaran makna, mekanisme untuk mengendalikan, menertibkan, dan kontrol kekuasaan. Bahasa dijadikan kunci, pusat dari selebrasi politik. A Teeuw malah menganggap pembacaan pidato oleh Soeharto menentukan kondisi Indonesia, bergerak antara kelisanan dan keberaksaraan. Bahasa dan isi pidato itu baku tapi ada tendensi-tendensi bahwa politik Indonesia mengalir dalam kultur lisan. Ihwal ini kerap dimunculkan oleh sosok Soeharto. Keberaksaraan belum utuh jadi pusat dari pendefinisian Soeharto dan Indonesia.

Pembacaan itu berbeda dengan nalar-imajinasi anak-anak saat menuliskan surat dan puisi untuk Soeharto. Kita bisa membuka ulang dokumen teks itu dalam buku Anak Indonesia dan Pak Harto (1991) dan Surat dan Puisi Anak-Anak untuk Pak Harto (1992). Dua buku menghimpun ratusan surat dan puisi anak-anak dari berbagai penjuru daerah di Nusantara, dieditori G. Dwipayana dan S. Sinansari Ecip. Teks-teks ini mengandung kenaifan, pengultusan, kelakar, dan ketakutan. Segala kesan terasakan dalam racikan bahasa dan suguhan muatan pesan di tulisan.

Seorang bocah asal Cianjur, T. Ganda Sugito, menuliskan surat pendek tapi impresif. Ia memanggil Soeharto dengan kata “kakek”, sapaan akrab dan familiar. Pilihan kata ini menandai sosok Soeharto melekat dan mendekam pada diri anak-anak. Soeharto adalah teladan, idola, pujaan. Kita simak sepenggal puisi Orang Besar (23 September 1985) dari bocah itu untuk si kakek: Ada seorang anak petani yang bernama Soeharto./ Dia anak yang berkemauan keras dan sangat berbakti pada orangtua./ Karena tekadnya yang kuat dan jiwanya yang telah diisi iman yang kuat pula./ Dia dapat mencapai cita-cita yang diinginkannya. Sosok presiden masa Orde Baru itu sihir untuk anak-anak. Mereka pun membahasakan kagum dengan lugu dan mengesankan.

Bahasa anak, nalar-imajinasi anak kadang menggemaskan dan mengejutkan. Pembacaan dan pengisahan mereka terhadap Soeharto mungkin dipengaruhi oleh indoktrinasi di sekolah, televisi, atau partai. Hal ini tidak mengurung dalam definisi tunggal karena mereka masih bisa membelok dengan fantasi (imajinasi) dan bahasa khas anak-anak. Simaklah nukilan surat Monita Olivia asal Riau: “Kok Bapak pinter amat, sih, sehingga Bapak diberi nama Bapak Pembangunan. Saya sih bodoh.” Pernyataan ini begitu enteng, cair, dan kontras. Si bocah mengabaikan formalitas bahasa kendati sosok Soeharto adalah pengajur dari penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Pemujaan atas Soeharto itu pintar dan pengakuan diri sebagai anak bodoh adalah kontras keluguan, representasi beraroma politis.

Kita mengenangkan itu kala Orde Baru menebar pengaruh politis melalui bahasa, imajinasi, ekspresi. Anak-anak menerima sebagai suatu narasi besar, menerima imperatif dalam kelembutan dan kelaziman. Politik bergerak halus, kekuasaan diresapkan dengan santun, pemitosan Soeharto disuguhkan sebagai pikat biografis. Membaca ulang puisi dan surat mereka jadi notalgia historis untuk pengisahan Soeharto, dokumen atas penggalan sejarah Orde Baru. Kita menerima pengisahan itu seolah Orde Baru bersih dari sangkaan dan kritik.

Pengisahan itu adalah jejak lama. Kita bisa membandingkan dengan pembacaan mutakhir melalui analisis psikologis melalui pidato tanpa teks, pembacaan untuk menguak kepribadian Soeharto dalam ekspresi tubuh dan bahasa. Niniek L. Karim dan Bagus Takwin dalam tulisan Di Balik Senyum Sang Jenderal (2000) mengartikan Soeharto sebagai manusia langka. Soeharto dianggap memainkan politik simbol secara intensif, memberi makna-makna politis melalui ungkapan: inkonstitusional, tidak Pancasilais, tidak sesuai kepribadian bangsa, atau mengancam stabilitas bangsa. Produksi ungkapan ini adalah senjata untuk menampik protes, kritik, dan perlawanan atas berbagai kebijakan Orde Baru. Teror untuk rakyat disimbolkan juga dengan "senyum (sinis) sang jenderal". Indonesia, kala itu, terdefinisikan dalam produksi bahasa dan senyum.

Sejarah Soeharto masih disusun sampai hari ini. Kita pun masih mengenangkan, membaca kisah-kisah Soeharto. Pengisahan Soeharto memang mozaik, menghadirkan fakta dan imajinasi di segala lini. Sosok ini memang legendaris, pusat narasi kekuasaan selama puluhan tahun. Kita membuka lembaran-lembaran lama dan menanti narasi baru atas pengisahan Soeharto. Pembacaan kritis dan reflektif bakal memberi terang tentang misteri dan aib Orde Baru. Kita juga bakal bisa memunguti hikmah, secercah "kebaikan" dan kebermaknaan Soeharto untuk sejarah kekuasaan di Indonesia. Begitu. n

Bandung Mawardi
, Pengelola Jagat Abjad Solo

Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 Mei 2011

[Buku] Egosentris yang Tumbuh di Kota Urban Jakarta

Judul : Ego.Centris: embrio

Penulis : Novanka Raja

Penerbit : Genta Pustaka, 2011

Tebal : xii + 216 Halaman


JIKA cinta adalah permainan, maka aku pemain yang hebat...

Buku ego.centris merupakan kumpulan cerita pendek karya Novanka Raja yang memuat 45 judul cerita. Membaca ego.centris ini, saya seperti menyimak dan merenungi kisah cinta dengan segala macam problematika yang diserta dengan kesimpulan-kesimpulan sementaranya si penulisnya.

Buku setebal 216 halaman ini membawa pembacanya ke dalam sebuah dunia yang penuh dengan pertanyaan, pertanyaan tentang hubungan yang terjalin antara laki-laki dan perempuan. Benarkah setiap orang mampu setia berada di jalannya, akankah orang yang setia di samping kita akan terus menemani kita menempuh perjalanan yang tak kunjung sampai ini.

Harus kita akui bahwa Jakarta adalah sebuah kota yang sibuk dengan segala macam problematikanya, demikian sibuknya sehingga untuk merasakan ruang sunyi pun amatlah sulit, di sela-sela itulah Novanka mencoba menawarkan sesuatu yang berbeda melalui ego.centris ini, hadir di sela-sela kesibukan dan mencoba menghadirkan ruang sunyi bagi segelintir orang yang pasti pernah mengalami kegagalan dalam menjalin hubungan asmara.

Kehendak membangun dunia baru dalam kumpulan kisah ego.centris ini tampaknya masih membutuhkan ketelitian yang serius sebab pergulatan melahirkan karya sastra mestinya tak melulu menghadirkan realitas yang sudah ada, tetapi mencoba menciptakan realitas baru yang barangkali saja melampaui realitas yang sudah ada/umum.

Meskipun terobosan yang dihadirkan Novanka Raja bukanlah sesuatu yang baru dalam tradisi sastra (populer) di negeri ini, dalam kumpulan cerita ini Novanka mencoba membangun kegamangan dan realitas yang pahit dari sudut pandang yang samar.

Seperti dalam kisah Atap Malam Jakarta, kegamangannya adalah saat si tokoh berada di atap sebuah gedung, menyaksikan Kota Jakarta selepas hujan dan menyadari bahwa ada orang lain yang tengah mengalami realitas pahit yang pernah ia jalani, si tokoh seperti menyaksikan dirinya berada dalam diri orang tersebut. Kisah ini menyiratkan bahwa kisah percintaan terkadang seperti lingkaran yang tak kunjung usai. Meskipun masing-masing cerpen berdiri sendiri-sendiri, di dalamnya tersirat satu benang merah yang ingin disampaikan penulisnya, pilihan.

Buku ini juga mencoba menghadirkan sisi spiritual dari si pencari cinta sejati, Novanka menyodorkan pandangannya mengenai cinta sebagai bakti, seperti ditulisnya pada Jalan Cinta Pengembaraan Menuju Hakikat, pergantian musim akan melahirkan kehidupan yang baru. Selalu ada kematian dan kelahiran. Keduanya tak akan terhenti sebelum cinta memanggilnya. Gunung akan kokoh berdiri selama ada cinta di dalamnya, maka dakilah gunung dan temukan harta yang terpendam di dalamnya: kepatuhan.

Kodrat manusia adalah lahir dengan kehendak. Sebagian akan menjadi hak dan sebagian akan menjadi kewajiban. Akan selalu ada bukti untukmu sebab sifat cinta adalah bukti (bakti). Bagitulah karakteristik yang khas dalam cerpen-cerpen Novanka Raja, ia tidak mementingkan rima atau kuatnya latar dan penokohan. Meskipun demikian, karakter Novanka tetap bisa ditemukan, ia sendiri meneguhkan dirinya dalam memburu apa yang disebut dunia imajinasi.

Karakternya terlihat dalam lewat kehadiran kebingungan menghadapi realita, suatu kondisi tarik ulur antara harapan dan keputusasaan, antara kebencian dan rasa cinta, antara tubuh dan jiwa, perjumpaan dan juga perpisahan yang pilu. Dan tentu saja itu semua bukanlah harga mati dalam perjalanan panjang ini.

Hampir separuh dari kisah yang disuguhkan buku ini menyiratkan semacam keidealan sebuah hubungan antara laki-laki dan perempuan. Cara bercerita Novanka memang tidak terlalu berlebihan, datar dan biasa saja, alurnya gampang ditebak, temanya tidak berat, penuturannya pun lugas dan terang benderang sehingga buku ini tak hanya dinikmati peminat sastra saja, tapi juga diminati peminat buku-buku fiksi umumnya, di situlah keistimewaan ego.centris ini lahir.

Fitri Yani
, penulis, tinggal di Bandar Lampung

Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 Mei 2011

Realisme-Mitos dalam Cerpen-cerpen Benny Arnas

-- Hary B Kori’un

1
BAGI sebuah karya kreatif (dalam hal ini prosa [cerpen]), pengarang adalah “tuhan” yang bisa menentukan semuanya: mulai dari hidup-mati sang tokoh, nasib, jalan hidup, menderita-bahagia, jatuh cinta-patah hati, kaya-miskin, dan sabagainya. Pengarang punya hak mengatur semuanya, dengan karakter tokoh masing-masing, di mana setting-nya, bagaimana wajah tokoh, bagaimana prilakunya, apa yang hendak dan telah dibuatnya, termasuk sebab-akibatnya. Sebagai “tuhan” bagi karyanya, pengarang harus cerdas menciptakan tokoh-tokohnya, agar kekuatan yang dibangun dalam karya fiksinya juga terasa “hidup”.

Menurut Nietzsche, manusia adalah dewa terakhir yang masih hidup setelah Tuhan diberi batu nisan. Baginya, manusia harus mencipta tak henti-hentinya, karena ketika Tuhan telah mati, tak ada lagi yang bisa menciptakan kecuali manusia. Penciptaan merupakan pelunasan terhadap penderitaan dan cahaya yang kian terang dalam kehidupan (creation, that is the great redemption from suffering, and life’s growing light).1

Menurut JW Goethe, karya sastra harus memiliki arah. Kehidupan dunia yang eksoteris (menekankan kepuasan aspek lahiriah) telah meracuni kehidupan modern, yang mengesampinghkan esoteris, tabu, dan sakral, sehingga arahan dunia batin manusia yang suci telah terjerembab akarnya, dan kenyataan inilah yang menjadi sumber inspirasi karya-karya modern. Untuk itulah, sastrawan dalam menciptakan karya harus memiliki komitmen dimensi batin, esoteris yang bersih dan suci. Sebab karya sastra adalah bentuk pengungkapan batin yang paling dalam tentang keberadaan, eksistensi manusia sebagai ciptaan Tuhan.2

Di bagian lain, TS Elliot, seorang penyair Inggris yang dianggap sangat berpengaruh di zamannya hingga sekarang, mengatakan, ukuran nilai suatu karya sastra harus dilihat dari aspek etika dan keagamaan. Bila ada gagasan atau semacam kesepakatan dalam suatu masyarakat tentang etika keagamaan, maka karya sastra haruslah ‘baik’ sesuai dengan etika keagamaan. Sumber etika maupun budaya (dalam karya sastra) adalah agama.3 Dan dalam hal ini, Islam ternyata merupakan salah satu faktor penentu yang paling penting bagi terciptanya iklim sosial-budaya Indonesia modern. Seorang pengarang diharapkan mendalami agama sesuai dengan kepercayaan masing-masing secara intens, atau teologi sebagai inspirasi.4

Menciptakan karya yang tak henti-henti seperti Nietzsche; karya yang memiliki arah ke lebih baik seperti dalam pikiran JW Goethe; dan karya yang memiliki aspek etika dan agama seperti TS Elliot, terlihat dalam cerpen-cerpen Benny Arnas (BA) dalam buku kumpulan cerita pendek Bulan Celurit Api (BCA [Koekoesan, Jakarta: 2010]). Hampir di semua cerpen-cerpennya dalam kumpulan ini, ketiga unsur itu terlihat lekat. BA berhasil memainkan dirinya sebagai seorang penutur, tukang cerita, yang bisa membius audiensnya, dengan bahasa akar rumput –bahasa yang digunakan sehari-hari oleh masyarakat di mana cerita itu berasal– meskipun mungkin banyak tak dimengerti atau harus membuka kamus bagi pembaca umum yang tak berasal dari akar cerita itu tumbuh. Di sinilah letak kekhasan dan keunikan cerpen-cerpen BA, yang kadang centil, berhura-hura dengan kata-kata, namun menukik tajam membidas hati kita saat menjelaskan ada realitas-mitos masyarakat yang dibangunkan. Realisme-mitos, inilah yang membedakan BA dengan tukang cerita lainnya –maksudnya para cerpenis lainnya.

2
Pramoedya Ananta Toer mengusung realisme dalam sastra yang menjanjikan pembebasan bagi sastrawan dan publik dari belenggu pemikiran, paham, tradisi, mitos, dan legenda yang tidak manusiawi. Dengan mengedepankan fakta-fakta sosial, berarti publik diberi hak untuk memberikan penilaian terhadap sesuatu hal tanpa merasa didikte.5 Pijakan inilah, dulu, yang dipakai Pramoedya bersama Lekra-nya, dalam wujud realisme sosial yang menjadi kabar petakut bagi sastrawan non-Lekra (yang kemudian bergabung dalam Manikebu).

Lalu, ada aliran surialisme dan realisme-magis. Istilah ini biasanya dipakai di dunia sastra untuk menyebut karya penulis seperti Gabriel-Garcia Marquez (ingatlah novel dahsyatnya, One Hundred Years of Solitude [Cien aƱos de soledad, 1967] yang diterjemahkan menjadi Seratus Tahun Kesunyian), Jose Louis Borges, atau Ben Okri. Dalam film, kritikus sastra Wendy B Faris menyebut film The Withes of Eastwick dan Field of Dreams, misalnya, sebagai film realisme-magis. Apa sebenarnya realisme-magis ini? Penggunaan istilah realisme-magis dipelopori oleh kritikus seni Franz Roh pada tahun 1925 untuk melihat kembalinya banyak pelukis kepada realisme sesudah banyak sekali yang berkarya dengan lukisan-lukisan abstrak. Roh melihat pada karya-karya pelukis seperti Dix Otto dan Giorgio di Chirio, realisme tidak tampil sebagai realisme semata, tetapi ada elemen magis di dalamnya. Elemen magis ini intuitif dan tak terjelaskan.

Dalam surealisme dan realisme-magis, respons kita seharusnya tidak sama. Manusia, ruang, waktu, dan peristiwa tak berjalan dalam logika internal yang padu layaknya film realis. Surealisme sempat menjadi gerakan seni yang penting tahun 1930-an yang dipelopori oleh Andre Breton. Kalau mengikuti sejarahnya, surealisme merupakan kelanjutan dari dadaisme yang merupakan gerakan yang mengabaikan rasionalisme dalam berkarya. Tak perlu ada alasan-alasan masuk akal dalam berkarya. Pada dasarnya dadaisme adalah sebuah gerakan anti-art, gerakan anti seni yang melecehkan rationale dalam berkarya.6

Lalu, bagaimana dengan realisme-mitos? Tak jauh berbeda dengan pemahaman kita tentang realisme-magis, realisme-mitos yang ingin saya sampaikan tentang cerpen-cerpen BA, adalah sebuah upaya menjadikan mitos sebagai bagian penting dalam karya sastra (cerpen) modern. Mitos atau mite (myth) adalah cerita prosa rakyat yang tokohnya para dewa atau makhluk setengah dewa yang terjadi di dunia lain pada masa lampau dan dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita atau penganutnya. Mitos pada umumnya menceritakan tentang terjadinya alam semesta, dunia, bentuk khas binatang, bentuk topografi, petualangan para dewa, kisah percintaan mereka dan sebagainya.7 Namun dalam hal ini, BA tidak hanya menjadikan cerita rakyat yang memang sebuah mitos menjadi dongengan modern dalam cerpen-cerpennya, tetapi juga kisah-kisah realis yang justru menjadi mirip mitos.

3
HARUS diakui, akhir-akhir ini nama BA sangat fenomenal dalam dunia cerpen Indonesia, terutama cerpen koran. Hampir tidak ada redaktur budaya di media-media Indonesia yang “berani” menolak cerpen-cerpen BA. Bahkan, ada sebuah media yang sampai harus antri kepada BA untuk bisa memuat cerpennya, padahal biasanya justru penulislah yang antri untuk mendapatkan kesempatan karyanya dimuat. Fenomena ini hampir sama dengan pertengahan tahun 2000-an ketika nama Raudal Tanjung Banua mencuat ke permukaan jagad cerpen Indonesia. Ketika itu, hampir tak ada media –baik media mainstream atau media biasa— yang menolak cerpen Raudal. Atau jika diurut lagi ke belakang, nama Gus Tf Sakai juga sempat menjadi fenomena cerpen koran Indonesia yang namanya hampir setiap pekan menghiasi halaman budaya media-media di Indonesia.

Yang menarik adalah, dua nama tersebut “sangat dikenal” oleh BA. Dalam catatan pengantarnya, selain beberapa nama yang menjadi teman diskusinya, Raudal dan Gus Tf adalah dua di antaranya. Entah faktor kebetulan atau tidak, ada ikatan emosional yang menghubungkan BA dengan Raudal atau Gus. Meskipun lahir dan besar di Lubuklinggau –sebuah kota di pinggir Jalan Lintas Barat Sumatera— BA menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Pertanian Universitas Andalas, Padang. Aroma ranah Minangkabau sangat berpengaruh dalam gaya cerita BA, dan –semoga tesis ini tidak salah— ada kecenderungan gaya tidak jauh beda antara gaya bertutur BA dengan Raudal8 maupun Gus Tf.9 Saya tidak ingin mengatakan bahwa BA punya kecendrungan mimikri gaya Raudal dan Gus Tf, tetapi secara tidak langsung, kesamaan alam yang membesarkan ketiganya, di beberapa sisi, menjadi latar belakang yang membuat cerpen-cerpen ketiganya memiliki benang merah. Karya sastra lahir tidak dari kekosongan. Kredo ini berlaku bagi siapa saja, bahwa sebelum karya itu ada, sudah ada karya-karya lainnya.

Namun, di luar persoalan itu, BA telah mampu mengembalikan sebuah cerpen benar-benar menjadi sebuah cerita asalnya yang dekat dengan penuturnya. Berbeda dengan Seno Gumira Ajidarma10 –salah satu cerpenis kuat Indonesia— atau Hamsat Rangkuti, Yanusa Nugroho, Triyanto Triwikromo, Linda Christanty, dll, yang banyak mengupas persoalan manusia modern dengan segala problematikanya, BA justru mengambil cerita-cerita masyarakatnya, masyarakat di mana dia hidup dan tinggal yang juga mempengaruhi secara pribadi dirinya.

Dalam cerpen “Bulan Celurit Api” yang menjadi judul kumpulan ini, BA berkisah tentang kepercayaan masyarakat tempatan tentang sesuatu yang akan terjadi ketika bulan merah berbentuk celurit (bulan baru atau bulan akhir?) yang seolah-olah menantang atap sebuah rumah limas. Mak Muna, sang tokoh utama, memiliki firasat bahwa akan ada hal buruk yang akan terjadi di kampungnya. Masyarakat sudah lupa akan tanda-tanda itu, tetapi Mak Muna masih ingat, meski akhirnya dia harus menghadapi kenyataan ketika justru rumahnya yang menjadi korban amukan massa ketika anak kandungnya melakukan perzinahan. Kisah cerpen ini amat sederhana dengan bahasa sehari-hari penuturnya. Kemampuan BA menyerap bahasa penutur inilah yang tak banyak dikuasai oleh cerpenis lainnya yang terbiasa dengan bahasa dan diksi lebih modern. Kita akan menemukan bahasa-bahasa renyah, termasuk bekacuk, misalnya, bahasa kasar masyarakat Lubuklinggau dan lebih luas masyarakat Sumatera Selatan dan Jambi. Ada nilai-nilai religius yang disampaikan BA dalam cerpen ini, termasuk kritik terhadap masyarakat pedesaan yang sok modern. Dalam pemilihan nama anak-anak mereka misalnya.

BA juga sangat fasih sebagai tukan cerita dalam cerpen “Hari Matinya Ketip Isa”. Di luar serapan lokalitas yang diambil BA, pilihan karakter antagonis sebagai tokoh utama (Mak Zahar), juga suatu hal yang menarik. Banyak cerpenis kita yang tak suka memakai tokoh utamanya karakter antagonis. Mak Zahar dalam cerpen ini mewakili sisi hitam karakter masyarakat pedesaan yang berpura-pura lugu, tapi judes, suka berutang, dan gagal memberikan nilai dan etika dalam mendidik anak-anaknya, padahal dia istri seorang ketib, seorang tokoh masyarakat yang amat dihormati. Mak Zahar menjadi prototipe masyarakat kelas bawah, yang selama ini dianggap sebagai masyarakat yang santun, lugu dan jujur.

Cerpen lainnya, “Kembang Tanjung Kelopak Tujuh”, adalah sebuah cerpen yang diserap dari mitologi masyarakat tentang munculnya hantu perempuan, dengan latar belakang bunga tanjung yang ditakuti orang. Jelas, dalam cerpen ini, BA tidak hanya sekadar menjadi tukang cerita, tetapi melakukan riset yang baik ketika mampu mengembangkan tokoh-tokoh berbau mitos dan mistis seperti Dayang Torek, Putri Selendang Kuning, Dayang Jeruju, dll. Banyaknya catatan kaki dalam cerpen ini, memperlihatkan bahwa BA sangat serius menggarap mitos ini.

Sementara dalam “Malam Raja”, BA juga tak bisa lari dari mitos tentang perempuan hantu yang bisa membunuh mantan kekasihnya. Sebenarnya, cerpen ini agak keluar dari mainstream BA dalam buku ini. Dia bercerita tentang keperawanan yang hilang akibat kerja keras, terjerengkang, terpeleset dan sebagainya, sama seperti manusia modern yang kehilangan keperawanannya karena menjadi atlet senam atau sering naik sepeda. Mitos tentang keperawanan dalam cerpen ini, sebenarnya amat sederhana dan sudah banyak ditulis banyak pengarang. Tentang tokoh “kau” yang anak tunggal orang kaya di mana si “aku” yang miskin dan papa bekerja sebagai pembantu, dengan gambaran keluarga rusak, mulai dari sang ayah yang haji berkali-kali tapi suka meremas (maaf) pantat si “aku”, juga seorang ibu yang pemarah, khas cerita sinetron kita hari ini. Tetapi BA berhasil mengubahnya menjadi cerita yang menarik dengan teknik yang berbeda dan membuat kita jadi memahami sisi-sisi lain dalam dunia yang melibatkan mitos keperawanan itu.

Cerpen-cerpen lainnya, seperti “Tukang Cerita”, “Surat-sajak yang Mengantarmu Pulang”, “Bujang Kurap” dan yang lainnya, memiliki rasa yang sama: tentang kearifan lokal yang dikisahkan dengan penuturan tempatan sehingga ada kekayaan bahasa dan kerenyahan bertutur yang pasti jarang kita temui dalam cerpen-cerpen pengarang lainnya. Saya menduga, gaya bertutur inilah yang disukai banyak editor/redaktur sastra kita saat ini, karena gaya seperti ini banyak ditinggalkan. Juga penyerapan mitologi lokal, menjadi daya tarik tersendiri.

Hanya saja –untuk yang ini saya harus meminta maaf kepada BA— bahwa di luar segala keseriusan dan menariknya cerpen-cerpennya, kadang-kadang setelah selesai membaca cerpen-cerpen tersebut, tak banyak yang istimewa yang tertinggal di ingatan kita. Ini jamak terjadi, karena cerpen-cerpen yang bercerita seperti ini memang gampang dilupakan, meskipun tak bisa dilupakan.

Saya tak bisa mendedah terlalu panjang-lebar cerpen-cerpen BA dalam ruang yang pendek ini. Tetapi, seperti di awal saya jelaskan, bahwa cerpen-cerpen BA mewakili pemikiran Nietzsche, JW Goethe, dan TS Elliot. Bahwa karya sastra mestinya dibuat serius, memiliki makna, dan berguna bagi kebaikan.***

Catatan:

1. Lihat Supaat I Lathief, Sastra: Eksistensialisme-Mistisisme Religius (Pustaka Ilalang, Lamongan: 2008), hal. 165.
2. Ibid, hal. 166.
3. Opcit, hal.166.
4. Hal ini diungkapkan oleh seorang Belanda non-muslim, J Harris Proctor. Lihat Supaat I Lathief, Opcit, hal. 166-167.
5. “Realisme dalam Sastra Janjikan Pembebasan”, http://www.kompas.com/, Sabtu, 3 Januari 2004.
6. Eric Sasono, “Banyu yang Takut Air”, http://manuskripdody.blogspot.com, Rabu, 7 Mei 2008
7. Lihat id.wikipedia.org.
8. Raudal Tanjung Banua adalah salah satu cerpenis terbaik Indonesia yang kahir di ranah Minangkabau, yakni di Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Salah satu kumpulan cerpen penting yang pernah diterbitkan oleh Raudal adalah Parang Tak Berulu (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 2005).
9. Gus Tf Sakai adalah sastrawan kelahiran Payakumbuh, Sumatera Barat, yang juga alumni Fakultas Perternakan Unand. Salah satu buku cerpen Gus Tf adalah Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (Grasindo, Jakarta: 1998) yang memenangkan SEA Write Award 2001 dari Kerajaan Thailand. Dalam sebuah obrolan, Benny Arnas pernah menjelaskan bahwa Gus pernah mengatakan beberapa cerpennya jelek, namun justru cerpen-cerpen itu mampu menembus media nasional seperti Koran Tempo, Kompas, Jawa Pos, Jurnal Nasional, Republika, dll.
10. Cerpen-cerpen Seno Gumira Ajidarma seperti “Paus Merah”, “Patung”, “Sepotong Senja untuk Pacarku”, “Saksi Mata”, “Tujuan: Negeri Senja”, atau “Partai Pengemis” banyak mempengaruhi cerpenis Indonesia lainnya. Bahkan salah seorang cerpenis yang dianggap papan atas di Indonesia saat ini, Agus Noor, dalam buku Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia (Bentang, Jogjakarta: 2010), banyak terpengaruh oleh cerpen-cerpen Seno. Lihat cerpen-cerpen itu dalam beberapa bukunya, antara lain Saksi Mata (Bentang, Jogjakarta: 1999), Sepotong Senja untuk Pacarku (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 2002), Iblis Tak Pernah Mati (Galang Press, Jogjakarta: 2001), atau Dunia Sukab (Kompas, Jakarta: 2001), dll.

Hary B Kori’un, wartawan Riau Pos. Telah menerbitkan beberapa novel dan menulis cerpen. Tinggal di Pekanbaru.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 29 Mei 2011

Saturday, May 28, 2011

Perpustakaan, Siapa Peduli?

-- Dwi Rohmadi Mustofa

SIAPA peduli perpustakaan? Pertanyaan ini tak berlebihan jika kita menelisik lebih jauh terhadap aktivitas di perpustakaan dan apa yang ada dalam perpustakaan. Secara esensial, jika kita ingin memotret pendidikan dan segala dinamikanya, salah satunya dapat dilakukan dengan meninjau kondisi perpustakaan. Artinya, perpustakaan adalah medium yang strategis bagi pemajuan pendidikan.

Tepat kiranya jika ada suatu dinas di daerah yang menggabungkan pendidikan dengan perpustakaan. Maksudnya, agar perpustakaan mendapat porsi perhatian yang lebih. Dengan melihat kondisi dan aktivitas dalam perpustakaan suatu institusi pendidikan, kita akan mendapat gambaran bagaimana proses pendidikan berlangsung, seberapa signifikan bagi perubahan sikap, pengetahuan, dan keterampilan peserta didik. Setidaknya kita dapat membuat kesimpulan sementara tentang peserta didik, menyangkut aktivitas positif, tingkat kreativitas, dan wawasan mereka.

Dewasa ini, kemajuan dan perkembangan yang terjadi di dalam perpustakaan agaknya kalah dengan dinamika yang terjadi di luar perpustakaan. Artinya, peserta didik memiliki beragam kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan baru melalui penggunaan media teknologi komunikasi dan informasi.

Peduli perpustakaan yang juga berarti peduli terhadap pendidikan harus ditumbuhkan di semua kalangan. Peduli perpustakaan bukan hanya tanggung jawab pustakawan atau pimpinan instutusi pendidikan. Peserta didik dan orang tua serta masyarakat juga memikul tanggung jawab untuk memajukan pendidikan melalui perpustakaan.

Kalangan penerbit dan toko buku selain berkepentingan, juga memiliki tanggung jawab moral untuk mewujudkan perpustakaan yang representatif. Kaum profesional, pengusaha, kalangan media dan sebagainya, perlu memberikan atensi bagi kemajuan perpustakaan. Orang tua siswa juga perlu memberikan pemahaman tentang makna pentingnya perpustakaan. Hal ini dapat dilakukan dengan menanamkan sikap cinta buku. Membiasakan anak-anak membaca di rumah. Meluangkan waktu mengunjungi toko buku, atau pamaeran buku. Menyediakan alokasi anggaran rumah tangga untuk hal-hal yang berkaitan dengan buku.

Jika anak-anak di rumah telah dibiasakan dengan buku, niscaya mereka akan gemar belajar di perpustakaan. Perpustakaan di sekolah atau di kampus menjadi tempat favorit untuk belajar. Mereka akan mudah mengeksplorasi pengetahuan, mengekspresikan kemampuan, dan sekaligus menjadikan perpustakaan sebagai sarana rekreasi ilmiah yang sangat positif.

Jika kita menyelami permasalahan yang dihadapi pada beberapa sekolah terkait minimnya perpustakaan, umumnya adalah masalah ketersediaan ruangan yang dikhususkan untuk perpustakaan, kurangnya koleksi buku-buku, dan pengetahuan serta personil pengelolaannya. Hal ini tentu mengundang keprihatinan tersendiri.

Idealnya, semua pihak memiliki atensi, partisipasi, dan dukungan bagi perpustakaan yang baik. Sebenarnya, sudah ada amanah dalam UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan bahwa tiap institusi pendidikan memiliki tanggung jawab menyediakan sarana perpustakaan yang memadai. Tapi implementasi UU 43/2007 ini belum maksimal. Belum ada aturan pelaksanaan yang dapat dijadikan dasar baku bagi pembangunan perpustakaan yang baik, yang memiliki sanksi yang mengikat. Sampai saat ini rancangan peraturan pemerintah masih dalam tahap pembahasan.

Akibatnya, perpustakaan berjalan secara natural, apa adanya, dan menggantungkan pada komitmen pimpinan institusi pendidikan dan integritas suatu institusi pendidikan terhadap peserta didiknya.

Dalam hemat penulis, masih banyak pihak yang memandang perpustakaan hanya memainkan peran instrumental atau bahkan hanya sebagai pelengkap persyaratan formal. Peran perpustakaan secara substantif sering dilupakan. Padahal, perpustakaan adalah medium peneguhan peradaban umat manusia. Perpustakaan dapat menjadi wahana menyemai generasi muda yang cerdas, inovatif, bermoral, menghargai keberagaman, dan memiliki kemampuan-kemampuan yang penting bagi kehidupannya sendiri maupun bagi masyarakatnya. Melalui buku dan perpustakaan siswa dapat belajar banyak hal.

Dengan memanfaatkan perpustakaan, guru lebih mudah memberikan materi pembelajaran. Buku-buku atau perpustakaan merupakan sarana belajar utama bagi siswa, mahasiswa, atau bagi setiap orang.

Pasal 2 UU No. 43/2007 menyebutkan bahwa perpustakaan diselenggarakan berdasarkan asas pembelajaran sepanjang hayat, demokrasi, keadilan keprofesionalan, keterbukaan, keterukuran, dan kemitraan. Selanjutnya Pasal 3 dinyatakan perpustakaan berfungsi sebagai wahana pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi untuk meningkatkan kecerdasan dan keberdayaan bangsa.

Memang ada sebagian perpustakaan telah dikelola dengan visi yang jauh ke depan dan menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan perpustakaan yang baik. Sepanjang pengetahuan penulis, dampak langsung dan hasil dari UU tersebut belum begitu dapat dirasakan.

Perpustakaan Ideal

Melalui pendidikan suatu bangsa memelihara dan mewariskan peradabannya. Medium pendidikan itu salah satunya adalah perpustakaan. Dengan kata lain, nilai-nilai luhur budaya, keyakinan, pengetahuan, dan khazanah bangsa diwariskan melalui perpustakaan. Faktanya, data, informasi, dan ilmu pengetahuan, disimpan, diolah, dikembangkan, dimanfaatkan, disebarluaskan, melalui perpustakaan. Dalam suatu institusi pendidikan, perpustakaan merupakan media belajar.

Untuk meningkatkan peran perpustakaan bagi kelangsungan suatu peradaban, dibutuhkan partisipasi aktif banyak pihak. Pemerintah, masyarakat, dunia usaha, dan para pengguna perpustakaan itu sendiri memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menyelenggarakan perpustakaan yang memadai. Perpustakaan yang ideal adalah perpustakaan yang mampu memberikan pelayanan melebihi harapan (persepsi) para penggunanya. Ini tentu sesuai dengan jenis dan layanan yang diberikan oleh masing-masing perpustakaan.

Bagi suatu sekolah, perpustakaan tentu saja menjadi media belajar yang sangat penting. Perpustakaan merupakan pusat sumber belajar yang memiliki banyak makna. Buku dan koleksi yang ada di perpustakaan menjadi bahan belajar. Petugas perpustakaan dan setiap orang yang ditemui di perpustakaan merupakan sumber belajar berupa orang. Setting perpustakaan merupakan sumber belajar yang berupa lingkungan.

Pengakuan akan peran perpustakaan dalam menunjang suatu kegiatan belajar, sering diungkapkan dalam slogan “Perpustakaan adalah jantungnya pendidikan”. Jadi, idealnya perpustakaan mendapat perhatian yang lebih dari pemerintah, pemerintah daerah, maupun institusi induk penyelenggara perpustakaan itu sendiri. Perhatian itu harus dalam bentuk komitmen yang diwujudkan dalam perencanaan dan implementasi pengembangan bagi pemanfaatan perpustakaan yang optimal.

Dwi Rohmadi Mustofa, Mahasiswa Magister Teknologi Pendidikan FKIP Unila

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 28 Mei 2011

Mala Zaman Uang

-- Mohamad Fauzi Sukri

KITA terjebak dalam zaman uang. Sebuah zaman di mana segala-galanya dari, demi, dan untuk uang. Dua sisi mata uang mengimpit kehidupan kita tanpa bisa mengelak: Kemakmuran dan kemungkaran termanifestasi dalam watak uang.

Dari para ekonom kita mengetahui arti penting uang dalam kehidupan kita. Saat Adam Smith mengeluarkan bukunya yang masyhur The Wealth of Nation, 1776 atau 235 tahun yang lalu, dia mengusulkan penggantian uang logam dari perak atau emas jadi uang kertas untuk memperlancar jalannya perekonomian. Smith sangat mengandalkan uang untuk proyek pasar bebas dan utopia masyarakat bersahabatnya (the friendly society), meskipun tidak seekstrem kaum moneteris dalam menyikapi uang.

Pemikiran Smith ini didukung oleh John Stuart Mill dalam pengantar bukunya Principles of Political Economy yang terbit pertama kali tahun 1848. Mill menulis bahwa uang adalah kekuasaan yang dimiliki seseorang agar ia dapat memperoleh apa yang ia inginkan, konsep utilitarianisme.

Kemudian, kita juga melihat arti penting uang dalam pemikiran ekonomi makro dari John Maynard Keynes dalam buku The General Theory of Employment, Interest and Money yang terbit tahun 1936. Uang adalah mesin raksasa yang akan mengggerakkan perekonomian suatu bangsa yang sedang krisis. Secara umum, para ekonom berpandangan optimistik tentang uang, termasuk Karl Marx. Kita bisa membuat kesimpulan: kemakmuran, kedaulatan, dan keruntuhan negara berada dalam lembaran uang.

Manusia Uang

Sekarang, uang begitu dominan dan hegemonik dalam kehidupan kita. Tak seorang pun yang bisa mengelak kehadiran uang, dari manusia pertama kali lahir sampai kelak mati. Kehidupan kita berjalan di atas jalur lembaran uang. Uang telah menjadi ego-diri manusia sekarang.

Uang adalah manifestasi paham utilitarianisme. Tapi jauh melebihi yang dipikirkan oleh ekonom utilitarianisme Jeremy Bentham, guru Mill, yang mengatakan bahwa semuanya bisa diukur dengan uang. Sekarang, uang adalah roh kehidupan masyarakat. Masyarakat sudah menganggap bahwa seakan-akan mereka bisa mati tanpa uang. Kencing saja harus bayar apalagi yang lain. Tidak ada yang gratis di dunia ini. Semua ada harganya.

Uang menjadi tujuan tertinggi laku hidup dan bekerja. Ini adalah semacam aksioma yang tidak perlu dibuktikan. Orang bekerja bukan untuk beramal, beribadah, melakukan aktivitas kemanusiaan, atau katakanlah kerja untuk kerja. Tapi kerja untuk mencari uang. Uang menjadi hewan perburuan dan medan petualangan massal manusia sekarang, tapi semacam hobi absurd pengoleksi uang kuno.

Dalam dunia pendidikan, manusia mencari uang bukan ilmu apalagi kearifan akal-budi. Semua jurusan di perguruan tinggi adalah jurusan uang. Tujuan pertama-tama pendidikan adalah bagaimana supaya kelak bahkan sejak sekarang bisa mudah mendapatkan uang. Orang tua begitu dominan mengarahkan anaknya supaya masuk jurusan yang bisa memudahkan mencari uang. Nalar uang mengalahkan nalar kependidikan, kearifan, dan kemanusiaan.

Kita memasuki zaman uang di mana manusia tidak hanya mata duiten, tapi juga manusia yang berhati uang, dan manusia yang berpikiran uang yang pada akhirnya mendeterminasi perilaku manusia. Maka lahirlah puluhan bahkan mungkin ratusan uang: uang politik, uang kritik, uang taktis, uang dengar, uang hadir, uang diam, uang tutup mulut, uang keamanan, uang gosip, uang pengertian, uang pujian, uang cinta, uang demonstrasi, uang keadilan, uang lelah, uang dengar, uang penghargaan, uang malas, uang sedekah, uang tebusan, uang korupsi, belum lagi nama-nama uang yang dihadirkan oleh ilmu ekonomi, perbankan, dan uang-uang lainnya.

Mala Uang

Dari zaman uang dan manusia uang lahir mala uang. Di mana pun dipakai, uang bisa menjadi perantara dari hal yang berlawanan, menjungkirbalikkan kepribadian dan memaksa hal-hal yang bertentangan untuk dirangkul.

Skandal gelap politik uang, skandal suap di bank sentral, pembobolan bank atau ATM, korupsi di mana-mana yang tiada henti, muslihat akuntansi, penggelapan dana nasabah, penyuapan berbagai instansi penegak hukum, pencucian uang, permusuhan, pembunuhan, dan seterusnya. Semua ini seperti cerita seribu satu malam yang tidak pernah menemui ujung akhir cerita.

Mala uang yang mengemuka sekarang ini adalah buah dari internalisasi persepsi-ideologis kita terhadap uang. Terjadi radikalisasi gawat dalam diri bangsa ini untuk memuja-muji uang secara fanatik tragis. Tanpa uang, rumah tangga, negara, partai politik, agama, pendidikan, ilmu pengetahuan, kemanusiaan bisa hancur dan runtuh. Atau, dengan uang semua itu barangkali bisa diselamatkan dan diutuhkan.

Kita terjerembap dalam sebuah zaman yang selalu menuntut legalitas dan utilitas segalanya melalui/dengan uang. Tak salah jika kita mengatakan, uang sebegitu kuat merasuk-menguasi manusia: Daulat uang! Hal ini karena adanya kesadaran akut akan kekuasaan uang. Uang memiliki logika kekuasaan yang sangat ampuh: sejumlah uang mampu untuk mendapatkan kekuasaan; kekuasaan akan menghasilkan uang lagi; dan uang itu untuk memproteksi kekuasaan, mengendalikan kekuasaan, mengokohkan kekuasaan, dan pada akhirnya mengekalkan kekuasaan.

Ini didukung oleh watak uang dan sistem peruangan dalam kehidupan kita. Uang memiliki watak khas, seperti dikatakan Karl Marx, yang mampu “menerobos setiap rintangan alami dan tantangan moral”. Uang sangat bersifat abstrak yang memungkinkannya untuk menjadi sekadar angka-angka di sebuah proposal proyek pembangunan, nota pembelian, cek perjalanan, angka digital di anjungan ATM atau komputer, dan seterusnya. Sifat abstrak ini memungkinkannya memiliki mobilitas yang sangat tinggi. Berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain, bahkan antarnegara dan antarbank yang terkadang tidak bisa dikontrol oleh otoritas keuangan satu negara.

Dalam diri uang tersimpan epidemi kemungkaran dan kebusukan manusia. Tapi, seperti dua sisi mata uang, juga tersimpan kebaikan dan kemakmuran bangsa. Uang sebagai solusi yang ilusif?

Mohamad Fauzi Sukri, Bergiat di Bale Sastra Kecapi dan Pengajian Senin, Solo

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 28 Mei 2011

Ketika para Seniman Mencermati Acara Hiburan di Teve

-- Linda Sarmili

BARU-BARU ini, Departemen Susastra dan Pusat Penelitian Kajian Budaya (PPKB) Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia (FIB-UI), mengadakan seminar bertajuk "Anak dan Televisi" di auditorium Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok.

Dimoderatori Sunu Wasono, staff pengajar FIB-UI, sesi pertama yang sangat singkat ini menghadirkan Riris K. Toha Sarumpaet (Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya & Pengajar Pengkajian Cerita Anak), Paulus Wirutomo (Sosiolog), dan Eko Handayani (Psikolog) sebagai pembicara.

Acara tersebut mendapat respon cukup bagus dari berbagai kalangan, termasuk sejumlah cerpenis, para penyair dan seniman lainnya yang belakangan tertarik mencermati acara-acara hiburam untuk anak-anak di televisi.

Dalam materi seminarnya, Riris mengupas tayangan Opera van Java (OVJ) milik Trans 7 dan sinetron SCTV Islam KTP, yang setelah diteliti, ternyata berdampak negatif terhadap pertumbuhan anak-anak.

OVJ dinilai banyak mengandung kekerasan, kata-kata kasar, serta menampilkan peristiwa tidak pantas seperti ngompol. Begitupun Islam KTP, yang memang ingin memberikan pendidikan agama dan moral, namun justru sang tokoh teladan di dalamnya sering mengeluarkan ejekan yang tidak pantas dicontoh anak-anak.

Menurutnya, kedua tayangan ini jelas bukan tontonan anak. Namun kenyataannya, kedua stasiun TV tetap menayangkan program tersebut saat anak-anak masih bisa menonton TV, yaitu pada pukul 20.00-22.00 untuk OVJ, dan pukul 18.00-21.30 untuk Islam KTP.

"Jika kita bicara tentang tontonan anak, maka tontonan itu seharusnya mengasyikkan", tutur Riris. Jika tayangan tersebut mengandung kekerasan, atau malah berisi terlalu banyak konflik manusia dewasa, tontonan itu tidak akan mengasyikkan bagi anak. Artinya, tayangan tersebut bukanlah tontonan untuk anak.

Lain lagi dengan Paulus Wirutomo yang bahasannya mengenai "Media dan Masyarakat Indonesia".

Paulus mengatakan bahwa terhadap teknologi yang terus berevolusi, masyarakat belum mampu berevolusi dari aspek sistem nilai, sikap, perilaku, pranata sosial, dan yang lainnya, sehingga masyarakat Indonesia, selain menjadi pemanfaat teknologi, juga turut menjadi korban teknologi tersebut.

"Bukan media yang sebenarnya menjajah kita, tetapi orang-orang di baliknya.," ujar Paulus penuh semangat.

Sebagai pengakhir sesi, Eko Handayani hadir dengan paparannya, "Dampak Tayangan TV Terhadap Anak". Ia mengatakan bahwa televisi merupakan salah satu jendela awal bagi anak untuk mengenal dunia. Sayangnya, tidak semua tayangan berdampak positif. Meski televisi membantu meningkatkan daya imajinasi anak sehingga anak bebas berkreasi, namun televisi juga dapat mengakibatkan berbagai gangguan, baik dari gangguan fisik dan kesehatan, hingga gangguan mental dan kognisi anak.

Tak lupa Eko juga memberikan beberapa tips kepada orangtua, seperti, (1) jangan menaruh TV di kamar anak, (2) melakukan pendampingan ketika menonton, (3) memilah dan memilih apa yang layak ditonton anak, serta (4) menambah lebih banyak alternatif kegiatan bagi anak selain menonton TV.

Satu tips yang menarik dan perlu diingat oleh orangtua adalah, jangan egois, karena anak meniru orangtuanya. Jika orangtua melarang anak menonton, namun ternyata orangtuanya menonton, itu sama saja memberi contoh buruk bagi anak. Di akhir materi, ia mengingatkan peserta seminar, terutama para orangtua, jangan sampai anak lebih memilih TV sebagai sahabat, ketimbang orangtuanya sendiri.

Sesi kedua yang dijadwalkan akan dibawakan oleh Arist Merdeka Sirait (ketua Komnas Perlindungan Anak) dan Titin Rosmasari (Pemimpin Redaksi Trans 7) mendadak berubah. Arist tidak dapat hadir, sehingga waktu diserahkan sepenuhnya kepada Titin sebagai pembicara tunggal.

Dalam hampir seluruh isi pembicaraannya, sayangnya Titin hanya berbicara mengenai program-program anak Trans 7 dan membandingkannya dengan program-program anak di stasiun TV lain.

"Masih ada yang tertarik untuk bekerja di stasiun televisi?" tanya Titin di akhir pembicaraannya. Menurutnya akan sangat baik jika banyak orang yang terjun langsung di industri pertelevisian, sebab hanya dengan cara itulah kita dapat membuat suatu perubahan.

Menanggapi "tawaran" Titin itu, para seniman kemudian ikut bicara. Dwi Rejeki yang selama ini dikenal sebagai penyair misalnya,mengingatkan bahwa mungkin saja para seniman yang selama ini banyak menghasilkan cerita pendek layak ikut "campur tangan" membidani acara-acara siap tayang di televisi. Tentu saja dalam membidani itu tidak saja menyangkut acara-acara khusus untuk anak, tetapi juga acara untuk dewasa agar tidak melulu didominasi warna kekerasan.

Landung, penyair dan cerpenis dari Yogyakarta juga mengingatkan acara hiburan (musik) untuk anak-anak di teve membawa keanehan. Bisa disebut begitu karena musik yang disajikan justru musik untuk orang dewasa. Tetapi kenapa dinyanyikan oleh anak-anak? Jelas itu tidak mendidik.

Belum lagi tayangan kartun untuk anak-anak namunisinya kebanyakan menyuarakan kehidupan orang dewasa. Dalam kaitan itulah, Landung berpikiran, andai para seniman dilibatkan dalam proses penciptakan tayangan untuk anak, mungkin kualitas acara untuk anak itu benatr-benar akan pas untuk anak. Kapankah pihak teve melibatkan para seniman untuk menghasilkan tontonan yang lebih berwarna dan berkualitas?

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 28 Mei 2011

Tuesday, May 24, 2011

Evaluasi: Bahasa Indonesia Dinilai Terlalu Sulit?

-- Indra | Latief

JAKARTA, KOMPAS.com — Rendahnya angka kelulusan mata pelajaran Bahasa Indonesia pada ujian nasional 2011 jenjang SMA/MA dinilai akibat soal terlalu sulit. Naskah soal tergolong sulit karena lebih mengutamakan soal yang bersifat penalaran.

Demikian penilaian Sekretaris Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional Yeyen Maryani terkait rendahnya nilai ujian nasional Bahasa Indonesia. Berdasarkan data Kemdiknas, Bahasa Indonesia menempati urutan kedua dengan angka tidak lulus terbanyak setelah Matematika. Tahun ini sekitar 1.786 siswa (38,43 persen) SMA/MA tidak lulus ujian nasional Bahasa Indonesia.

"Banyak faktor yang memengaruhi rendahnya nilai ujian nasional Bahasa Indonesia. Dari informasi yang saya terima, rendahnya nilai Bahasa Indonesia akibat soalnya tergolong sulit dan lebih mengutamakan soal yang sifatnya nalar," kata Yeyen kepada Kompas.com, Selasa (24/5/2011).

Akibatnya, lanjut Yeyen, siswa sulit memahami beberapa paragraf yang disajikan dalam soal ujian nasional. Sementara ketika mereka belajar atau bimbingan belajar, guru ataupun instruktur tidak memfokuskan pada soal-soal semacam itu.

"Karena dibagi dalam beberapa materi, seperti pemahaman EYD dan lain-lain," ujarnya.

Meski sampai saat ini belum bisa memastikan indikator utama penyebab rendahnya angka kelulusan pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, Yeyen mengungkapkan, ada laporan dari daerah bahwa konsentrasi siswa saat mengerjakan soal Bahasa Indonesia terganggu karena sistem yang diterapkan.

"Ada laporan di daerah bahwa sistemnya juga mengganggu. Terutama karena Bahasa Indonesia diujikan pada hari pertama, banyak pejabat yang meninjau, jadi siswa-siswi menjadi tegang, mengganggu konsentrasi. Saya pikir itu hal lain yang juga memengaruhi," kata Yeyen.

Komponen lainnya, kata Yeyen, adalah kemampuan siswa secara pribadi terhadap mata pelajaran Bahasa Indonesia yang mungkin memang rendah.

"Tetapi, jika jebloknya nilai ujian nasional terjadi secara umum (banyak), berarti bukan karena pribadi, tetapi mungkin memang soalnya benar-benar sulit. Proses pembelajaran di kelas kurang efektif, kurikulum yang disajikan, atau faktor buku, dan bisa saja kemampuan gurunya yang kurang," ujar Yeyen.

Sumber: edukasi.kompas.com | Selasa, 24 Mei 2011
|

Evaluasi: Bahasa Indonesia Kalah Gengsi...

JAKARTA, KOMPAS.com — Sekretaris Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional Yeyen Maryani menilai, rendahnya sikap positif masyarakat terhadap mata pelajaran Bahasa Indonesia membuat mata pelajaran tersebut menjadi kalah bergengsi dengan mata pelajaran Bahasa Inggris.

Itu terkait dengan sikap positif masyarakat yang masih rendah terhadap Bahasa Indonesia. Masyarakat lebih prestisius menggunakan bahasa asing.
-- Yeyen Maryani


Sebagai bahasa sehari-hari, bahasa Indonesia seharusnya terus berkembang pesat, terutama yang terkait dengan proses pembelajaran. Atas dasar itu, para siswa dan tenaga pengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia harus terus diberikan buku-buku yang mendukung proses pembelajaran dan pemahaman pada mata pelajaran tersebut.

"Itu terkait dengan sikap positif masyarakat yang masih rendah terhadap bahasa Indonesia. Masyarakat lebih prestisius menggunakan bahasa asing. Memang tidak dilarang, tetapi dalam berbicara kita harus mengutamakan bahasa Indonesia. Sepertinya orang menganggap bahasa Indonesia kurang menjual, padahal bahasa Indonesia lambang jati diri. Kalau begini, bagaimana kita menggunakan bahasa Indonesia sebagai bentuk jati diri bangsa," ujar Yeyen kepada Kompas.com, Selasa (24/5/2011).

Yeyen menambahkan, pemahaman dan penggunaan bahasa Indonesia harus diutamakan, terlebih semua telah diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang bagaimana kita harus mengutamakan jati diri dengan menggunakan bahasa Indonesia.

Seperti diberitakan, berdasarkan data Kementerian Pendidikan Nasional, Bahasa Indonesia menempati urutan kedua dengan angka tidak lulus terbanyak setelah Matematika. Tahun ini sekitar 1.786 siswa (38,43 persen) SMA/MA tidak lulus ujian nasional Bahasa Indonesia.

Sumber: edukasi.kompas.com | Selasa, 24 Mei 2011
|

Kebangkitan Kaum Intelektual

-- Faizi

TANGGAL 20 Mei selalu kita peringati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Kebangkitan Nasional merupakan masa bangkitnya semangat nasionalisme, persatuan, kesatuan, dan kesadaran untuk memperjuangkan kemerdekaan negara Indonesia, yang sebelumnya tidak pernah muncul selama penjajahan 350 tahun oleh negara Belanda. Kebangkitan nasional ditandai dua peristiwa penting, yaitu berdirinya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 dan Ikrar Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.

Masa ini merupakan salah satu dampak politik etis yang sudah mulai diperjuangkan kaum pribumi. Bangkit dan bergerak menyongsong Indonesia baru bebas dari segala bentuk penindasan fisik dan mental merupakan misi besar kaum intelektual muda yang terkumpul dari berbagai elemen yang ada tanpa membedakan ras, suku, agama, dan lain sebagainya. Sejak itu, tanggal 20 Mei kita tetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional sebagai titik perjuangan melawan penjajah dengan mempergunakan kabangkitan politik dan organisasi.

Ada banyak hal yang bisa kita refleksikan pada Hari Kebangkitan Nasional tahun ini, terutama yang berkaitan dengan persoalan kebangsaan kita. Mulai dari kemiskinan, pengangguran, jaminanan sosial yang layak, kebodohan, keterbelakangan, keadilan, dan semacamnya. Ternyata harus diakui bahwa kita masih “terjajah” dan belum merdeka sepenuhnya. Romantisme kabangkitan nasional hanya sebatas masa lalu yang tidak memiliki hubungan korelatif dengan kondisi ril bangsa kita hari ini. Semuanya masih jauh dalam alam imajinasi abstrak para pendiri bangsa ini, yakni bangsa yang bebas, berdaulat, dan kuat.

Sistem demokrasi yang diidealkan menjadi solusi efektif dalam tata negara ternyata jauh panggang api. Elite masih menyibukkan diri dengan kepentingan pribadi dan golongan serta menjauhklan diri untuk sekadar memikirkan persoalan ril di lapangan yang dihadapi bangsa ini. Ada semacam disparitas yang begitu kuat dalam hubungan antara wakil rakyat dan rakyat biasa yang memberikan mandat. Wakil rakyat bertindak sesuai dengan insting kepentingan pribadinya, sedangkan rakyat dibiarkan dengan logika yang dipegangnya. Kalau sudah demikian realitasnya, hendak ke mana rakyat kecil mengadu semua persoalan krusial yang dihadapinya.

Bangkitnya Kaum Intelektual

Harus diakui persoalan bangsa yang besar tidak bisa dipasrahkan sepenuhnya pada pemegang kebijakan politik yang direpresentasikan melalui partai politik semata. Selama ini terbentuk pemahaman yang salah dalam konteks pengelolaan dan penyelesaian problem kebangsaan yang hanya berharap banyak pada elite pemegang kekuasaan. Padahal ada elemen penting lain yang justru bisa diharapkan suara kritisnya, yaitu kaum intelektual.

Kaum intelektual merupakan elemen penting yang dibutuhkan suatu bangsa untuk memajukan peradaban bangsa tersebut dalam segala hal. Tak bisa dimungkiri peran kaum intelektual sangatlah diperlukan sesuai dengan kapasitas dan spesifikasi keilmuan yang dimilikinya. Tentunya dengan memadukan secara harmonis antara pengetahuan yang ada dalam alam ide dengan problem sosial yang ada di lapangan. Hanya dengan mamadukan dua wilayah tersebut, eksistensi kaum intelektual akan diuji dengan sempurna. Apakah ia mampu menjadi seorang intelektual organik atau intelektual oportunis?

Intelektual organik, meminjam istilahnya Antonio Gramsci adalah sebutan bagi kaum intelektual-akademisi yang mendedikasikan proses pembelajarannya sebagai upaya membuka ruang atas terjadinya gap antara teori dan praktek. Bagi mereka tidak cukup peran intelektual jika hanya diapresiasikan lewat buku semata. Sebaliknya, lebih dari itu, perannya bagi pemberdayaan masyarakat adalah satu kewajiban yang mutlak. Modal intelektual seperti inilah yang dibutuhkan bangsa ini untuk kemudian bangkit dari keterpurukan menuju kebangkitan yang sesungguhnya.

Sebaliknya, intelektual oportunis adalah mereka yang menyibukkan diri dengan rutinitas ilmiahnya tanpa menoleh sedikit pun akan realitas sosial di sekelilingnya. Saking apatisnya, seolah hati mereka talah buta dengan kesibukan individualismenya tanpa memedulikan apa sebenarnya yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Berbagai persoalan sosial yang nyata di depan mata kita, mestinya menjadi semacam peringatan serius bagi semua pihak. Bukan hanya dimaknai sebatas wacana penghias media massa. Sebab, menumpuknya problem sosial hanya akan melahirkan kebimbangan-kebimbangan yang tidak tentu arah yang ujung-ujungnya membingungkan rakyat itu sendiri. Kaum intelektual mengembang tanggung jawab dan fungsi sosial besar yang harus diimplementasikan dalam masyarakat. Hal sederhana yang mungkin bisa kita lakukan dalam rangka mengembalikan khitah kaum intelektual di atas adalah dengan cara mengubah pola pikir apatis dan oportunis menuju pola pikir kritis-konstruktif dan kontributif.

Jauh lebih penting dari gagasan di atas adalah keterlibatan aktif kaum intelektual di tengah-tengah masyarakat dengan memberikan pencerahan pada sekian persoalan yang ada sehingga mampu memecahkan sekian problem sosial dengan tuntas dan cerdas. Tentunya sesuai dengan kapasitas dan spesifikasi keilmuan masing-masing. Semoga momentum perayaan Kebangkitan Nasional tahun ini akan dibarengi dengan kabangkitan kaum intelektual.

Faizi, Humas Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga, mahasiswa Master of Islamic Studies UII Yogyakarta

Sumber: Lampung Post, Selasa, 24 Mei 2011

Monday, May 23, 2011

Evaluasi UN Bahasa: Badan Bahasa Berjanji Akan Proaktif

-- Indra | Latief

JAKARTA, KOMPAS.com — Badan Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional berjanji akan turun tangan memperbaiki mata pelajaran Bahasa Indonesia. Hal ini dilakukan mengingat banyaknya siswa SMA/MA tak lulus ujian nasional mata pelajaran Bahasa Indonesia tahun ini.

Kurikulum Bahasa Indonesia dibuat di bawah Balitbang dan Pusat Kurikulum. Kami tidak pernah diajak duduk bersama untuk membahas ini.
-- Yeyen Maryani

Berdasarkan data Kemdiknas, Bahasa Indonesia menempati urutan kedua dengan angka tidak lulus terbanyak setelah Matematika. Sekitar 1.786 siswa (38,43 persen) SMA/MA tidak lulus UN bahasa Indonesia.

Sekretaris Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Yeyen Maryani mengakui, penyusunan kurikulum mata pelajaran Bahasa Indonesia sepenuhnya dilakukan oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan beserta Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemdiknas. Sejauh ini, pihaknya tak pernah dilibatkan dalam penyusunan kurikulum tersebut. Meski begitu, ia akan proaktif memberikan masukan agar kurikulum Bahasa Indonesia dapat lebih mudah dipahami siswa sehingga hasil akhir UN untuk Bahasa Indonesia akan lebih baik.

"Sementara ini kurikulum Bahasa Indonesia dibuat di bawah Balitbang dan Pusat Kurikulum. Kami tidak pernah diajak duduk bersama untuk membahas ini. Tapi, kami akan proaktif memberikan masukan pada kurikulum," kata Yeyen, Senin (23/5/2011), melalui telepon.

Menurut Yeyen, kurikulum Bahasa Indonesia sejauh ini sudah baik. Ia akan meneliti lebih dalam letak kesalahan yang terjadi pada guru atau siswa yang sulit memahami sehingga angka ketidaklulusan mata pelajaran tersebut sangat tinggi.

"Saya kira kurikulum Bahasa Indonesia sudah bagus. Mungkin saja ada pola pengajaran yang tidak nyambung dari bahasa itu antara guru dan murid," ujarnya.

Sumber: edukasi.kompas.com | Senin, 23 Mei 2011

Bahasa Indonesia: Badan Bahasa Tidak Ikut Bikin Kurikulum

-- Indra | Latief

JAKARTA, KOMPAS.com — Sekretaris Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Yeyen Maryani mengakui, penyusunan kurikulum mata pelajaran Bahasa Indonesia selama ini dilakukan sepenuhnya oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan beserta Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemendiknas. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa tak pernah dilibatkan dalam penyusunan kurikulum tersebut.

Namun, kata Yeyen, pihaknya akan proaktif untuk memberi masukan agar kurikulum Bahasa Indonesia dapat lebih mudah dipahami siswa sehingga hasil akhir UN untuk Bahasa Indonesia akan lebih baik.

"Sementara ini kurikulum bahasa Indonesia dibuat di bawah Balitbang dan pusat kurikulum, kita tidak pernah diajak duduk bersama untuk membahas ini. Tapi, kami akan proaktif memberi masukan kepada kurikulum," kata Yeyen saat dihubungi Kompas.com, Senin (23/5/2011).

Menurutnya, kurikulum Bahasa Indonesia sejauh ini sudah baik. Ia akan meneliti lebih dalam apakah letak kesalahan terjadi pada guru atau siswa yang sulit memahami sehingga angka ketidaklulusan mata pelajaran tersebut sangat tinggi.

"Saya kira kurikulum Bahasa Indonesia sudah bagus, mungkin saja ada pola pengajaran yang tidak nyambung dari bahasa itu antara guru dengan murid," ujarnya.

Sebelumnya diberitakan, Badan Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) berjanji akan turun tangan memperbaiki mata pelajaran Bahasa Indonesia. Hal ini dilakukan mengingat banyaknya siswa jenjang SMA/MA yang tak lulus ujian nasional (UN) pada mata pelajaran Bahasa Indonesia.

Berdasarkan data Kemendiknas, Bahasa Indonesia menempati urutan kedua dengan angka tidak lulus terbanyak setelah Matematika. Tahun ini, sedikitnya sekitar 1.786 siswa atau (38,43 persen) SMA/MA yang tidak lulus UN Bahasa Indonesia.

Sumber: edukasi.kompas.com | Senin, 23 Mei 2011

Sunday, May 22, 2011

[Buku] Kembang Matahari Perpuisian Kita


Judul : Memburu Matahari

Pengarang : A. Faruqi Munif, dkk

Editor : Eko Putra

Pengantar : Wayan Sunarta

Penerbit : Bisnis, Maret 2011

Tebal : vi + 124 halaman

PUISI ibarat matahari dengan teriknya yang panjang, garang, yang berbeda dengan fajar dan senja yang memancarkan cahaya singkat. Sebagai matahari, maka terdapat puisi yang abadi, yang gema dan pengaruhnya sangat panjang. Maka tak heran jika banyak yang gerah terhadap kehadiran makhluk bernama puisi, terutama mereka yang terbiasa berhadapan dengan kata-kata biasa, bukan kata-kata yang memburu, membakar, memanggang serta menghanguskan sekujur tubuh mereka hingga terkulai tak berdaya.

Puisi juga ibarat pusat gravitasi yang mampu menjadi daya penarik bagi matahari-matahari kecil di sekitarnya. Ia bisa mewujudkan dirinya sebagai sesosok cumi-cumi yang memiliki seribu tangan dan kaki untuk menangkap setiap hal yang berkelebat di sekitarnya. Ia bisa amat sangat berbahaya kendati terasa amat sangat sederhana.

Maka, kalau di zaman yang supersibuk oleh tetek-bengek perekonomian dan politik nasional dan internasional yang aneh ini masih ada penyair yang bergelut dengan perih untuk menghadirkan sesosok makhluk bernama puisi, di saat ketika sebagian besar rekan mereka memburu pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil dengan gaji yang mantap dan stabil sehingga sangat dibangga-banggakan orang tua dan kekasih mereka, lidah saya terasa kelu dan sekujur tubuh saya merinding. Bukan saja karena saya mengamini apa yang diucapkan Oktavio Paz yang dikutip Wayan Sunarta dalam pengantar buku antologi puisi Memburu Matahari (Bisnis2030, 2011) yang akan menjadi fokus pembicaraan saya kali ini, bahwa puisi adalah puncak pencapaian derita para penyair, tapi banyak hal yang tak kuasa saya lukiskan.

Terus terang, saya iri dengan kemampuan 20 penyair yang mencatatkan diri dalam buku bunga rampai ini. Bukan karena usia mereka rata-rata masih 20-an tahun telah menghasilkan sejumlah sajak yang mantap, tapi pencarian yang mereka lakukan dan kemampuan untuk menuliskannya. Tidak hanya mantap dilihat dan dirasakan dari segi larik, tapi juga irama, pilihan kata dan tema. Bahkan di antara mereka tampak memiliki bakat sebagai penyair besar untuk ukuran nasional.

Masalah usia saya kira tak perlu lagi dipersoalkan, karena matang-tidaknya sebuah sajak sama sekali tak terpaut dari segi usia. Ada penyair yang menulis puisi sangat bagus dalam usia kanak-kanak atau remaja, tapi juga bakat-bakat sebagai penyair yang tangguh sering juga muncul di usia yang dianggap tidak muda lagi. Chairil dan Sapardi serta masih banyak lagi, mampu menghasilkan puisi dahsyat dalam usia relatif muda. Dulu Ahmad Yulden Erwin memublikasikan sejumlah sajaknya dengan pengucapan filosofis yang cantik ketika masih duduk di bangku SMP. Tapi Sutardji Calzoum Bachri justru menghasilkan puisi bagus di saat usia menjelang 30, bahkan di usia 35 tahun. Kategori tua-muda juga mesti segera ditangguhkan karena ini sering menyakitkan, juga menyesatkan.

Apresiasi pertama yang mesti disampaikan di sini, dan untuk buku himpunan puisi ini, saya tujukan kepada editor yang dengan tekun dan cerdas memilih sajak yang untuk kumpulan ini. Sekalipun ada satu-dua sajak yang masih tampak goyah dan kedodoran dari banyak segi, tapi secara keseluruhan telah menunjukkan usaha yang keras untuk menghadirkan para pemburu kedalaman kata dan makna.

Bolehlah kita sedikit lega dengan perkembangan perpuisian kita saat ini, dan menaruh harapan yang besar kepada beberapa penyair di masa mendatang untuk mencatatkan dirinya sebagai virtuoso di lapangan perpuisian kita, setidaknya untuk ukuran nasional.

Memang ada sedikit kecemasan, kalau bukan kekhawatiran, yang tampaknya telah menjadi gejala umum bagi perkembangan puisi kita, yakni keseragaman bentuk pengucapan dan pilihan pada bentuk lirik yang konvensional. Tapi kekhawatiran ini bisa segera ditepis sejauh mereka jujur dan memang sungguh-sungguh bergulat, bukan sebagai pengekor atau epigon yang memalukan. Jika terdapat kemiripan satu-dua sajak dari sajak para pendahulu, hal itu sangat lumrah tejadi kepada siapa pun, dan tak usah jadi beban bagi generasi kini.

Sajak-sajak yang saya anggap sudah selesai dari urusan teknis perpiuisian, dan terasa mantap dan menggugah ruang batin saya sebagai penikmat puisi lirik, dapat disebut, di antaranya sajak Anne Frank (Ammad Subki). Sebab Matahari Tak Pernah Bisa Menghapus Kesedihan (Dea Anugrah), Pada Sebuah Taman (Dwi S. Wibowo), Kampung Keramat, Desaku (Eko Putra), Padma Suci (Faisal Syahreza), Di Malam Purnama (Moh. Nurul Kamil), Percakapan (Muhammad Amin), Berkunjung ke Desamu (Na Lesmana), Ingatanku, Bayangan Sebuah Negeri (Pranita Dewi), Surat Dari Bandung (Zulkifli Songyanan), dan masih beberapa yang luput disebutkan.

Mungkin hanya kebetulan saja kalau sebagian besar puisi dalam buku ini yang berhasil justru ketika bicara soal matahari. Ada matahari dengan cahayanya yang kelewat panas, tapi ada yang sedang dan tak terlampau menyengat tapi bisa membuat tubuh tetap berkeringat. Ada yang terasa asing, aneh, lebai, tapi ada yang unik dan cantik menawan hati.

Kita mungkin tak terlampau betah hidup selamanya di bawah kaki langit dengan matahari yang menyilaukan dan membakar sepanjang siang, apalagi di saat berada dalam perjalanan, tapi cukup dengan matahari yang sedang, yang memancarkan cahaya yang tak kelewat garang. Kita membutuhkan keseimbangan antara malam dan siang, hangat dan dingin sehingga menyejukkan. Seperti kata salah satu penyair dalam buku ini, yang mungkin tidakditujukan kepada keseluruhan penyair yang disapanya kita, dengan kehadiran buku puisi ini, semoga kolam di langit akan tumpah malam nanti, dan kita bisa menjenguk sejuk siang hari sambil menatap kembang matahari.

Asarpin, pembaca sastra

Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 Mei 2011

Kritik Sastra Bukan ”Menghakimi”

-- Junaidi

DARI berbagai literatur tentang kritik sastra atau ilmu sastra ditemukan makna kritik sastra sebagai kegiatan “menghakimi.” Bila dilihat dari kata “kritik” yang berasal dari Bahasa Yunani, kata kritik memang bermakna “menghakimi”. Mari kita lihat penjelasan Welek (1978: 22-36) tentang asal kata kritik, yakni krites (seorang hakim), krinein (menghakimi), criterion (dasar penghakiman), dan kritikos (hakim kesusastraan). Ini bermakna kerja seorang kritikus sastra seperti seorang hakim yang bertugas menghakimi atau “judge” karya sastra berdasarkan kriteria-kriteria tertentu yang telah menjadi konvensi dalam dunia sastra. Kegiatan kritik sastra sebenarnya telah dilakukan oleh orang Yunani, yakni Xenophanes dan Heraclitus untuk mengkritik seorang pujangga yang bernama Homerus yang menulis cerita tentang dewa-dewi secara tidak elok dan bohong. Setelah itu kegiatan kritik sastra dilanjutkan oleh Aristophanes, Plato, dan Aristoteles. Buku kritik sastra pertama ditulis oleh Julius Caesar Sealiger yang berjudul Criticus. Buku ini berisi perbandingan antara penulis Yunani dan Latin.

Istilah “menghakimi” ternyata juga digunakan untuk menjelaskan kegiatan kritik sastra di Indonesia. Pradopo (2002: 32) menyatakan dengan tegas “kritik sastra itu merupakan bidang studi untuk menghakimi karya sastra untuk memberi penilaian dan keputusan mengenai bermutu atau tidaknya suatu karya sastra”. Selanjutnya Pradopo (1988) juga menyatakan bahwa kritik sastra ialah pertimbangan baik buruk karya sastra. Dalam konteks bahasa Indonesia kata “menghakimi” tampaknya mempunyai makna terlalu berlebihan jika di bawa ke ranah kritik sastra. Seolah-olah karya sastra itu bersalah dan dianggap sebagai terdakwa sehingga ia perlu dihakimi oleh seorang hakim. Bila merujuk kepada makna menghakimi, penilaian baik/buruk, dan penilaian bermutu/tidak bermutu terhadap karya sastra, maka sangat berat beban kritikus sastra. Kritikus sastra diberikan super power untuk menentukan nasib karya sastra. Kritikus sastra bukan Tuhan. Ada makna keangkuhan dalam diri seorang kritikus bila ia diposisikan sebagai seorang hakim. Bagaimana mungkin seorang kritikus sastra benar-benar dapat menilai secara objektif sebuah karya sastra itu baik/buruk dan bermutu/tidak bermutu? Memang dalam kesusastraan ada konvensi-konvensi tertentu yang disepakati sebagai kriteria karya sastra. Tetapi kita harus ingat bahwa ekspresi yang terdapat dalam karya sastra bersifat khas atau invidual sehingga kita pasti menemukan kesulitan untuk menilai karya sastra secara benar-benar objektif. Kita memang sepatutnya memberikan penghargaan terhadap disusunnya konvensi-konvensi tentang karya sastra karena itu dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan dan peningkatan kualitas karya sastra. Yang perlu diingat adalah bahwa konvensi-konvensi itu bukan standar yang pasti yang harus dipatuhi. Konvensi-konvensi itu bersifat relatif dan kemungkinan tidak bisa diterapkan dalam semua karya sastra karena sifat khas karya sastra.

Membumikan Kritik Sastra

Mungkin salah satu penyebab kurang berkembangnya kritik sastra dibandingkan dengan kreativitas penulisan karya sastra adalah anggapan terlalu beratnya tugas seorang kritikus sastra. Orang takut bila berperan menjadi hakim, apalagi bila kita ingat anggapan yang mengatakan “sebelah kaki hakim di surga dan sebelah lagi di neraka”. Akibatnya, orang takut salah membuat tafsiran sendiri terhadap karya sastra sehingga ia pun enggan untuk menulis ulasan tentang karya sastra. Beberapa mahasiswa jurusan sastra juga sering menjawab mereka takut salah dalam memaknai karya sastra padahal mereka sebenarnya mampu memberikan ulasan.

Eloknya kegiatan kritik sastra tidak dipandang sebagai kegiatan yang eksklusif dan berat sehingga orang-orang tertentu saja yang mampu membuat kritik sastra. Setiap orang yang bersedia membaca karya sastra secara serius dan berulang-ulang mampu menulis karya sastra. Anggap saja kegiatan menulis kritik sastra sebagai respon, tanggapan, atau komentar setelah membaca karya sastra. Kita diberikan hak dan ruang untuk menginterpretasikan karya sastra berdasarkan pengetahuan dan pengalaman sejauh kita mempunyai justifikasi terhadap apa yang kita sampaikan. Karya sastra itu bukan kitap suci sehingga tidak perlu takut salah memaknainya. Penafsiran kitap suci saja bisa berbeda, apalagi penafsiran karya sastra. Karya sastra itu perlu diinterpretasikan. Jika tidak dinterpretasikan karya sastra itu menjadi tidak bermakna. Oleh karena itu, salah satu cara untuk menemukan makna yang terdapat dalam karya sastra adalah dengan melakukan “kritik” terhadap karya sastra.

Saya pikir yang terpenting dalam kritik sastra adalah memberikan tanggapan atau respon terhadap karya sastra dalam bentuk ulasan. Setelah kita membaca karya sastra, kita memberikan ulasan atau tanggapan yang merupakan bagian dari interpretasi. Ketika kita memberikan interpretasi terhadap karya sastra, sebenarnya kita telah melakukan aktivitas kritik sastra. Bekal pengetahuan tentang dasar-dasar kesusastraan, pengantar kritik sastra dan teori sastra memang akan lebih memperkuat analisis terhadap karya sastra. Tetapi itu bukan yang harus ditakuti. Keberagaman dan kompleksitas teori sastra bukan halangan untuk menulis kritik sastra. Biarlah orang-orang yang serius di kampus memikirkan itu secara lebih serius.

Kegunaan Kritik Sastra

Sama hal dengan karya sastra, kritik sastra tentu saja mempunyai manfaat sehingga ia perlu dikembangkan. Perkembangan kreativitas sastra seharusnya sejalan dengan perkembangan kritik sastra. Tetapi kenyataan menunjukan orang lebih banyak menulis karya sastra dibandingkan menulis kritik sastra. Ada orang yang memposisikan diri hanya menulis karya sastra. Ada juga orang mengambil dua peran, sebagai sastrawan sekaligus kritikus sastra. Ada lagi orang yang hanya berfokus menjadi kritikus dan tidak tergoda untuk menulis karya sastra. Itu adalah pilihan. Setiap orang mempunyai alasan untuk menempatkan posisinya dan tidak ada larangan untuk mengambil satu peran atau dua peran sekaligus.

Pilihan untuk menjadi kritikus sastra tentu saja ada dasarnya. Ini bisa dilihat dari fungsi kritik sastra yang dirumuskan oleh pakar ilmu sastra. Sarjono (1992: 48) menyimpulkan tiga kegunaan kritik sastra: (i) untuk pengembangan keilmuan sastra, (ii) untuk perkembangan kesusastraan, dan (iii) untuk kepentingan masyarakat yang menginginkan penerangan tentang karya sastra. Kegunaan pertama diarahkan pada perkembangan ilmu sastra yang lebih bersifat akademik, yakni menyusun dasar, konsep, dan teori yang berkaitan kesusastraan. Pengakuan kajian sastra sebagai ilmu perlu terus ditingkatkan agar ilmu sastra memberikan kontribusi bagi umat manusia. Pada kegunaan kedua kritik sastra diharapkan dapat mendorong dan meningkatkan perkembangan kreativitas sastra sehingga karya-karya sastra yang dihasilkan menjadi lebih menyentuh persoalan-persoalan kemanusian dan disampaikan secara lebih elok pula. Sedangkan kegunaan tiga lebih melihat peranan kritik sastra dalam membantu masyarakat untuk memahami pesan-pesan yang disampaikan dalam karya sastra. Tidak semua orang dapat memahami karya sastra dengan mudah sebab beberapa penulis menggunakan cara-cara khas untuk menyampaikan pesan melalui karya sastra. Kadang-kadang diperlukan pemahaman dan pemikiran mendalam untuk memahami karya sastra, seperti yang dilakukan oleh kritikus sastra. Kritik sastra bisa menjembatani pesan yang disampaikan pengarang kepada pembacanya sehingga karya sastra itu dapat lebih mudah dipahami oleh para pembaca.

Pendekatan Kritik Sastra

Paling tidak ada dua bentuk kritik sastra yang sering kita lihat: pertama, kritik sastra yang dilakukan di kampus oleh para dosen dan mahasiswa. Kritik sastra di kampus sering diklaim orang kampus sebagai kritik sastra yang bersifat akademis dan ilmiah karena disusun sesuai dengan konvensi-konvensi ilmiah. Kritik sastra di kampus ditulis sebagai persyaratan akademis untuk naik pangkat, tugas mata kuliah, dan tugas akhir (skripsi, tesis dan disertasi). Kritik sastra di kampus akan diuji oleh dosen yang bertindak sebagai hakim. Setelah diuji, akan dijilid dan disimpan di rak-rak perpustakaan. Para pembaca kritik itu biasa orang-orang kampus saja. Kedua, kritik sastra yang diterbitkan media massa seperti koran, majalah, dan buletin. Kritik sastra yang ada di media massa diklaim oleh sebagian orang kampus sebagai karya yang tidak ilmiah sebab tidak disusun memenuhi standar-standar ilmiah. Memang tidak cukup ruang untuk menggungkapkan kaedah ilmiah dalam kritik sastra yang diterbitkan di Koran. Ruangnya terbatas. Dikotomi ilmiah dan tidak ilmiah perlu direnungkan lagi sebab kritik sastra yang ditulis di media massa juga merupakan hasil perenungan dan pemikiran yang mendalam oleh seorang kritikus.

Sebagai pengetahuan dasar untuk memposisikan karya sastra dengan elemen lainnya, eloknya kita perhatikan pandangan Abrams (1958: 6) tentang total situation of a work of art. Ini bermakna bahwa karya sastra itu berada pada posisi sentral sedangkan elemen lain yang berkaitan dengan karya sastra adalah alam semesta, pengarang, dan pembaca. Keempat elemen itu saling berkaitan tetapi mengarah kepada karya sastra sehingga karya sastra itu sendiri menjadi pusat perhatian kajian sastra.

Berdasarkan konsepsi hubungan karya sastra, dirumuskan empat pendekatan dalam kritik sastra:

(i) objektif: pendekatan yang berfokus hanya pada karya sastra itu sendiri,

(ii) ekspresif: pendekatan yang memberikan perhatian lebih kepada penulis karya sastra,

(iii) mimetik: pendekatan yang lebih menitikberatkan pada alam semesta atau masyarakat, dan

(iv) pragmatik: pendekatan yang lebih memberikan perhatian kepada pembaca karya sastra. Keempat pendekatan inilah yang kemudian dikembangkan oleh para ahli sastra sehingga lahir berbagai pendekatan dan teori sastra dalam studi sastra. Berdasarkan konsepsi ini juga lahir kajian sastra yang bersifat instrinsik (unsur dalam karya sastra) dan ekstrinsik (unsur luar karya sastra).

Bagi kritikus sastra diberikan hak untuk memilih pendekatan mana yang akan digunakan. Setiap pendekatan yang dipilih tentu saja memiliki alasan-alasan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Karakteristik karya sastra yang akan dikritik juga akan mempengaruhi pilihan pendekatan yang akan digunakan. Misalnya karya sastra yang mengangkat persoalan-persoalan sosial yang terdapat dalam masyarakat lebih cocok didekati dengan pendekatan mimetik sebab karya sastra dianggap mencerminkan masyarakat. Sedangkan karya sastra yang lebih menonjolkan unsur bentuk, lebih cocok didekati dengan pendekatan objektif yang lebih memperhatikan relasi struktur dalam karya sastra. Karya sastra yang lebih menonjolkan ekspresi pemikiran dan pengalaman penulis lebih elok dilihat dengan pendekatan pragmatik. Selanjutnya, bila kita ingin melihat bagaimana tanggapan pembaca terhadap karya sastra, kita dapat memilih pendekatan pragmatik.

Memulai Kritik Sastra
Hal yang paling krusial dalam kegiatan kritik sastra adalah mulai melaksanakan tahapan-tahapan kritik sastra. Berikut beberapa tahapan yang dilewati:

(i) Memilih karya sastra yang menarik untuk untuk dikritik. Tidak semua karya sastra menarik untuk dikritik. Pilih karya sastra yang menarik minat Anda dan isu yang diangkatnya mempunyai nilai khas bagi orang lain. Misalnya karya sastra yang berkaitan dengan isu aktual yang berkembang dalam masyarakat. Atau bisa saja dipilih karya sastra yang sedang populer dan ditulis oleh pengarang terkenal.

(ii) Membaca secara serius. Membaca karya sastra untuk kepentingan penulisan kritik sastra perlu dilakukan berulang-ulang agar pemahaman kita mendekati pesan yang disampaikan pengarang. Bagian-bagian penting yang terdapat dalam karya sastra perlu ditandai secara khusus untuk memudahkan kita melakukan pendalam terhadap bagian itu.

(iii) Tentukan topik atau gagasan utama yang terdapat dalam karya sastra sebagai bahan yang akan dikritik. Cari gagasan yang khas, aneh dan dapat menarik perhatian orang.

(iv) Mulailah menulis sambil melakukan interpretasi dan pemaknaan terhadap bagian-bagian penting yang menjadi fokus pembahasan. Jika memungkinkan mencari referensi atau pendapat orang lain tentang gagasan yang terdapat dalam karya itu. Dalam melakukan proses interpretasi memang diperlukan perenungan untuk memaknai karya itu dan jangan takut membuat penafsiran.

(v) Lupakan beberapa saat draf tulisan yang telah ditulis untuk memberikan kesempatan kepada pikiran kita untuk memikirkan hal lain dengan harapan ada ide-ide baru yang muncul ketika mulai menulis atau memperbaiki draf awal.

(vi) Lakukan penyempurnaan, perbaikan, dan baca ulang.

(vii) Lakukan pengeditan bahasa dan ejaan.

(viii) Kirimkan ke media massa agar apa yang sudah ditulis dapat dibaca orang lain dan mudah-mudahan itu memberikan manfaat. Jangan pikirkan apakah tulisan kita dibaca atau tidak dibaca orang lain. Yang penting kita telah melakukan kegiatan kritik sastra dan itu tentu saja memberikan kontribusi bagi perkembangan kreativitas sastra dan kritik sastra.

Penutup

Anda tidak perlu menjadi hakim untuk menjadi kritikus sastra. Mulailah membaca, menafsir, memaknai, menulis dan menerbitkannya. Itulah proses menulis kritik sastra. Selamat menulis!***

Dr Junaidi, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unilak dan Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Riau. Tinggal di Pekanbaru.


Sumber: Riau Pos, Minggu, 22 Mei 2011

Saturday, May 21, 2011

Nasionalisme Mulai Luntur

-- Imron Nasri

APA seharusnya yang kita lakukan pada saat memperingati Hari Kebangkitan Nasional seperti halnya tahun ini? Mungkin salah satunya adalah merenung dan introspeksi diri. Apakah kehidupan bernegara kita selama ini sudah sesuai dengan cita-cita yang dideklarasikan oleh founding fathers, yakni sebuah negara yang berdaulat di atas kaki sendiri. Dalam perjalanannya ternyata banyak hal yang harus kita perbaiki.

Kita mestinya prihatin terhadap kondisi bangsa kita saat ini. Prihatin terhadap pelajar dan mahasiswa yang sudah tidak hafal dengan Pancasila. Prihatin terhadap pemuda-pemuda kita yang sudah mulai tidak tahu apa isi Sumpah Pemuda. Prihatin terhadap masyarakat kita yang sudah banyak tidak hafal lagi lagu Indonesia Raya. Masyarakat lebih bangga menikmati ayam goreng buatan Amerika ketimbang ayam goreng buatan sendiri. Kalau sudah seperti itu, di mana rasa nasionalisme yang selama ini kita dengung-dengungkan?

Banyak pengamat dan pakar masalah kenegaraan memperkirakan rasa nasionalisme terhadap negara dalam memasuki abad ke-21 ini akan mengalami kemunduran atau kemerosotan. Persoalan ini disebabkan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi di mana antara satu negara dan negara lain sudah tidak ada sekat pembeda sehingga sulit untuk membedakan antara produk negara yang satu dan negara lain.

Ketika kita dihadapkan dengan suatu pesoalan yang terjadi di sebuah negara, seolah-olah kita pun menjadi bagian dari negara itu. Sebagai akibat, sering tingkah laku kita secara tidak sadar sama dengan tingkah laku dari negara yang kita ikuti. Karena itulah para pakar dan pengamat berpendapat kemungkinan besar abad 21 ini terjadi pergeseran terhadap nilai-nilai nasionalisme.

E.J. Hobsbawm dalam sebuah bukunya mencoba menampilkan persoalan di atas berdasarkan pengamatannya terhadap beberapa negara yang menurut penilaiannya mengalami gejala kelunturan nasionalisme. Dia mengambil contoh runtuhnya Uni Soviet dan pecahnya Yugoslavia dan munculnya negara-negara baru yang sebelumnya tidak pernah diperkirakan. Dan itu dalam pandangan Hobsbawm benar-benar tak masuk akal. Bagaimana sebuah negara superpower dalam kurun waktu tertentu menjadi negara yang terpecah-pecah. Dan itu merupakan pertanda dari suatu perubahan sejarah yang maha besar. Dunia tidak pernah memperkirakan, tetapi harus menerima kenyataan.

Pecahnya Uni Soviet pada 1991 jauh lebih gawat daripada pecahnya Tsarist Rusia pada tahun 1918—1920 yang terbatas hanya pada daerah-daerah transkaukasia dan Eropa yang dikuasainya saat itu.

Nasionalisme dewasa ini, menurut Hobsbawm, mencerminkan suatu krisis ideologi. Banyak gerakan nasionalisme lama yang kuat dan gigih mulai sanksi mengenai kemerdekaan negara yang sebenarnya. Walaupun seandainya mereka mempertahankan tujuan separasi total dari negara yang saat ini merupakan negara mereka. Hobsbawm mencontohkan masalah Irlandia yang belum terpecahkan. Di satu sisi, Republik Irlandia yang merdeka, sementara memperoleh otonomi politik total dari Inggris—yang ditegaskan dengan sikap netral dalam Perang Dunia II—dalam prakteknya tidak menolak bekerja sama dengan Kerajaan Inggris.

Juga, nasionalisme Irlandia merasa sulit menyesuaikan dengan situasi di mana para warga negara Irlandia ketika berada di Inggris menikmati hak-hak terpisah dengannya, terbukti dengan nasionalisme ganda defacto. Sebaliknya kepercayaan kepada program klasik bagi adanya sebuah negara Irlandia merdeka dengan cepat telah mengendur. Demikianlah, maka barangkali baik Pemerintah Dublin maupun London akan sepakat bahwa ada baiknya kalau hanya terdapat satu negara Irlandia bersatu.

Namun, kebanyakan orang, bahkan di Republik Irlandia, akan melihat persatuan itu sebagai yang terbaik di antara sekian pemecahan yang buruk. Sebaliknya, jika Ulster dalam hal ini kemudian menyatakan merdeka dari Inggris maupun Irlandia, maka kebanyakan kaum Protestan akan melakukan penolakan.

Seperti dikemukakan Hobsbawm, "bangsa" dan "nasionalisme" bukan lagi merupakan istilah-istilah yang memadai untuk melukiskan, apalagi menganalisis, kesatuan-kesatuan politik yang seperti itu atau bahkan perasaan-perasaan yang pernah dilukiskan dengan kata-kata ini. Tidaklah mustahil bahwa nasionalisme akan mengalami kemunduran seiring dengan kemunduran bangsa-bangsa yang tanpa negara ini. Maka menjadi orang Inggris atau Irlandia atau Yahudi, atau gabungan dari kesemua ini hanyalah salah satu cara rakyat melukiskan identitas mereka di antara rakyat lain yang mereka gunakan tujuannya menurut keperluan di saat itu.

Adalah absurd untuk menyatakan saat seperti ini benar-benar sudah dekat. Namun, Hobsbawm berharap saat seperti ini setidak-tidaknya sudah dapat dibayangkan. Bagaimanapun kenyataan bahwa para sejarawan setidak-tidaknya telah mulai membuat sejumlah kemajuan dalam studi dan analisis mengenai bangsa dan nasionalisme yang menunjukkan gejala seperti sering terjadi. Fenomena bangsa dan nasionalisme sudah mulai menurun.

Imron Nasri
, Peminat masalah sosial, politik, dan keagamaan

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 21 Mei 2011

Nasionalisme, Etnisitas Perkotaan, dan Globalisasi

-- Hardi Hamzah

MEMBANGUN watak bangsa atau nation character building kerap kita dengar dari para founding father kita. Berbeda dengan era pergerakan, membangun watak bangsa lebih bersifat populis dan lebih mengena di hati rakyat karena kebangsaan sebagai suatu nilai perjuangan dihimpun dalam terminologi nasionalisme.

Nasionalisme sebagai paham telah merajut semangat perjuangan antara rakyat dan pemimpin. Maka, jadilah nasionalisme sebagai instrumen perjuangan paling strategis. Dengan pekik merdeka atau mati, ini menandai bahwa nasionalisme telah mengkristal sejak era 1930-an sampai prakemerdekaan. Berbeda dengan sekarang, membangun watak bangsa telah bergeser arahnya. Untuk itulah tulisan ini dibuat.

Pemahaman nation sebagai suatu unsur terpenting untuk membawa masyarakat untuk berjuang, sesungguhnya dimulai dari beberapa tokoh pergerakan mendirikan organisasi atau himpunan. Dr. Anhar Gonggong mencatat kemunculan Boedi Oetomo 1908, sebelum muncul SDI pada 1905, adalah fenomena rasa percaya diri dan mulai mengkristalnya solidaritas kebangsaan.

Kendati Anhar Gonggong tidak mencatat itu sebagai embrio, penulis meyakini bahwa apa pun pergerakan, himpunan atau organisasi yang muncul pada awal abad ke 20 itu, jelas merupakan embrio bagi terakumulasinya kekuatan nasionalisme lanjutan dalam bentuknya yang lebih riil. Berdirinya PNI pada 4 Juli 1927, dan beberapa partai lainnya di bawah komando tokoh-tokoh pergerakan, tentu merupakan pengejawantahan dari semakin menguatnya nasionalisme itu.

Kini, setelah kebangkitan nasional berusia 103 tahun, apa yang dapat dilihat dari perspektif jangka panjang di era globalisasi dewasa ini? Pertanyaan yang sekaligus pernyataan itu sukar untuk menjawabnya, tetapi dinamika internal kebangsaan di setiap negara memaksa kita untuk menjawab pertanyaan plus pernyataan tersebut.

Nasionalisme di era globalisasi selalu saja berbenturan dengan pemahaman yang keliru, baik dalam konteks nasionalisme maupun dalam konteks globalisasi. Keduanya tampak berjalan sendiri-sendiri. Sejarawan Dr. Taufik Abdullah melihat ada kesamaan yang dapat dipadukan antara nasionalisme dan globalisasi.

Nasionalisme, menurut sejarawan itu, lebih banyak mengembangkan nilai internal, seperti budi pekerti, keyakinan terhadap kesamaan pluralisme, dan kesatuan visi dalam memandang ideologi. Sementara globalisasi lebih banyak membangun transformasi nilai-nilai baru yang bisa saja berbenturan sehingga melahirkan implikasi negatif.

Kalau kita sepakat dengan asumsi di atas, tuntutan paling mutlak untuk mempertahankan nasionalisme yaitu kesadaran para pemimpin bangsa ini untuk mengaktualisasikan nilai-nilai yang relevan dengan integritas internal. Para pemimpin di seluruh jajaran dituntut ntuk mengaktualisasikan nilai-nilai lama, seperti kearifan lokal, menghidupkan kembali api ideologi, dan memahami pluralitas tanpa reserve.

Lebih jauh lagi, para elite politik di seluruh lini harus berkehendak membangun suasana yang transformatif bagi seluruh anak bangsa, yakni menekankan bahwa globalisasi yang tak tertolakkan tidak bisa hanya dibangun dan dikembangkan melalui jargon politik, tetapi ia harus ditumbuh kembangkan melalui frame work yang penetrasinya melampui rasionalitas seluruh anak bangsa, ini berarti titik tekannya, kita harus bermuara pada visi well educated.

Standar dan pilar penyangga paling arif bagi tumbuh dan berkembangnya nasionalisme di era globalisasi, selain meluruskan kembali pemahaman para pemimpin terhadap nilai-nilai yang telah disinggung di muka, lebih jauh lagi bila muaranya well educated yang merupakan tuntutan globalisasi.

Formula yang patut ditumbuh kembangkan adalah menghayati naturalisme bangsa dan memaknai etnisitas perkotaan secara lebih baik. Menghayati naturalisme bangsa adalah suatu upaya menggalakkan tradisi, budaya, dan berbagai aspek yang menyangkut pariwisata. Namun, upaya ini tidak didasarkan oleh semangat seremoni semata, sebagaimana yang dilakukan beberapa daerah, di mana tradisi, kebudayaan, dan prawisata bukan komoditas yang dieksploitasi untuk kemeriahan temporer.

Sementara memaknai etinisitas perkotaan, bukan masyarakat kota dibangun melalui industrialisasi dan pabrik pabrik, melainkan juga harus dimaknai sebagai etnisitas dengan wahana kehidupan yang mampu mereduksi kemiskinan di perkotaan. Artinya, para pemimpin dan atau para pembuat kebijakan harus mampu menjadi pilar penyangga dari ruang publik perkotaan melalui teknologi dan komunikasi. Lebih jauh lagi, para pemimpin dimaksud mampu menyelaraskan antara masterplan perkotaan, tingkat mortalitas, dan fertilitas dalam struktur demografi dan perubahan struktur geografis.

Model pembangunan nasionalisme kini memang telah berbeda. Era reformasi yang mengusung banyak permasalahan yang simultan pula membawa kekuatan baru melalui lembaga, seperti KPK, MK, KY, dan hidupnya berbagai LSM serta pers, pastilah membawa implikasinya sendiri. Namun, apabila era reformasi dikuatkan oleh kemampuan para pemimpin mewujudkan “ideologi baru”, yakni “ideologi well educated”, ruang lingkup pembangunan watak bangsa akan lebih luas lagi.

Dalam kaitan ini, penulis melihat ada sepuluh strategi penting untuk memperjuangkan nasionalisme dan atau watak bangsa di era tergerusnya semangat nasionalisme. Pertama, berdiri atas nama rakyat. Kedua, kearifan lokal harus tetap terjaga. Ketiga, pluralitas merupakan kekuatan. Keempat, ideologi Pancasila adalah harga mati. Kelima, seluruh institusi meletakkan dasar pedagogis pada setiap geraknya.

Keenam, perkawinan antara nasionalisme, rakyat, dan globalisasi harus ditata melalui penegakan hukum. Ketujuh, interaksi sosial dalam dimensi trias politika bukan sekadar angin lalu. Kedelapan, para pemimpin harus lebih tegas dan jauh dari keragu-raguan. Kesembilan, peran audio visual menjadi pertimbangan yang mutlak. Kesepuluh, kenyataannya kita harus kembali seperti era tujuh puluhan, anak didik pada tingkat SD—SMP bahkan SMA diwajibkan untuk mencintai dan memahami ideologi dan lagu-lagu kebangsaan.

Hardi Hamzah, Staf Ahli Mahar Foundation

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 21 Mei 2011

Llosa Menggairahkan Sastra

-- Bandung Mawardi

GABRIEL Garcia Marquez dalam pidato penerimaan Nobel Sastra 1982 mengabarkan bahwa Amerika Latin adalah dunia kekerasan, konflik ideologi, kemiskinan, perang saudara, politik diktaktor, dan rezim militeristik.

Dunia semrawut ini membuat Marques melawan dengan kata-kata. Sastra adalah pilihan untuk menguak labirin aib. Sastra menjalankan peran sebagai mikrofon pencerahan, penyadaran, dan pembebasan dengan pertaruhan bahasa, imajinasi, dan ideologis. Publik dunia pun menerima pukau dari kerja sastra Marquez.

Amerika Latin telah menjelma pancaran sastra untuk dunia. Marquez tampil dengan pergulatan estetika realisme-magis dan menebar sihir sastra bagi pembaca. Pikat sastra Latin mengenalkan dunia pada kerja sastra dari Pablo Neruda, Octavio Paz, Miguel Asturias, Jorge Luis Borges, Alejo Carpentier, Carlos Fuantes, dan Mario Vargas Llosa. Sastra Amerika Latin semakin memberi takjub pada dunia dengan penerimaan Nobel Sastra 2010 pada Mario Vargas Llosa. Momentum ini menandai geliat sastra dalam alur perubahan di Amerika Latin. Gambaran dunia Amerika Latin ala Marquez perlahan menemukan aksentuasi berbeda melalui lembaran-lembaran sastra produksi Llosa.

Nama Llosa mungkin masih agak asing di publik sastra Indonesia. Terjemahan-terjemahan sastra Amerika Latin ke dalam bahasa Indonesia memang melimpah tapi pilihan-pilihan pengarang terbatas. Buku-buku Gabriel Garcia Marquez merupakan jumlah terbesar ketimbang buku dari para pengarang Amerika Latin. Nama Llosa memang tidak sepopuler sosok Marquez. Para penikmat cerpen bisa membuka kembali lembaran-lembaran terjemahan sastra dunia untuk menemukan nama peraih Nobel Sastra 2010.

Nirwan Dewanto (1999) menyebut nama Llosa saat membincangkan ledakan sastra Amerika Latin bagi pembaca sastra dunia. Mario Vargas Llosa hidup dalam dunia represif kolonialis. Llosa mafhum fiksi mengandung watak subversif. Llosa pun menulis dengan kesusahan membedakan antara fiksi dengan realitas. Fiksi di dunia Amerika Latin menjangkiti dan meresap ke pelbagai ranah pengetahuan. Llosa memberi makna dunia Amerika Latin itu dengan kerja "novelisasi kehidupan."

Llosa semakin membesarkan pancaran sastra Amerika Latin. Pengarang kelahiran 28 Maret 1936 ini menjadi juru bicara perkembangan sastra Amerika Latin mutakhir. Sosok ini memiliki arti penting dalam pengisahan dunia Amerika Latin. Argumentasi dari Akademi Swedia menjadi ciri dari spirit sastra Amerika Latin:

"Llosa mampu membuat pemetaan struktur kekuasaan dan penggambaran tajam atas perlawanan, pemberontakan, dan kekalahan seseorang." Argumentasi ini mesti diletakkan dengan situasi politik, sosial, dan kultural di Amerika Latin seperti dikhotbahkan oleh Marquez sejak tahun 1980-an. Llosa juga diakui sanggup membebaskan diri dari rezim sastra realisme magis sebagai ciri terpenting sastra Amerika Latin pada periode 1960-an dan 1970-an dengan Marquez sebagai lokomotif.

Kemenangan Llosa juga menyeret sejarah ideologis para pengarang di Amerika Latin. Llosa pernah bermusuhan dengan Marquez secara ideologis dan manifestasi sastra. Sejarah itu menjadi impas dengan pengakuan kedua pengarang sebagai tokoh sastra dunia. Marquez menerima Nobel Sastra 1982 dan Llosa menerima Nobel Sastra 2010. Waktu memang terpaut jauh tapi buku-buku mereka adalah pancaran kegelisahan sastra Amerika Latin dalam jagat politik-kacau dari zaman ke zaman.

Sosok Llosa mungkin menandai peta sastra dunia secara baku dan fragmentatif. Corak sastra Amerika Latin seolah menebar sihir dalam menentukan kebermaknaan sastra dalam pergaulan global. Nobel Sastra sebagai legitimasi atas proyek sastra dunia memang tak sepi dari tendensi politik-ideologis. Pelbagai curiga telah dialamatkan pada Akademi Swedia tapi alur pemberian Nobel Sastra masih mencirikan tentang konsensus dan standarisasi sastra kelas dunia.

Pidato Gabriel Marquez dengan titel Kesunyian Amerika Latin (1982) mungkin bisa memberi penjelasan tentang kebermaknaan sastra Latin dalam kancah sastra dan politik-identitas di dunia. Marquez menjelaskan bahwa nasib manusia-manusia Amerika Latin terpengaruhi oleh kolonialisme dan resistensi secara politik-kultural. Biografi Amerika Latin seolah ingin dikonstruksi oleh Eropa. Perlawanan dengan sastra menjadikan dunia Amerika Latin merupakan dunia instabilitas. Marquez mengatakan: "...mereka (Eropa) berusaha mengukur kami dengan meteran mereka sendiri. Mereka lupa bahwa hidup itu tidak sama bagi semua orang. Pencarian identitas kami sendiri itu sangat meletihkan dan berdarah-darah..."

Biografi identitas dalam cengkeraman politik-kultural ala Eropa inilah penentu dari spirit sastra Amerika Latin mengandung perlawanan, pemberontakan, pembebasan, dan penyadaran. Llosa menyerap spirit itu untuk dikabarkan pada dunia kendati memakai sastra dalam genre dan pengucapan berbeda dari dominasi realisme-magis. Dunia telah menabalkan Llosa sebagai suara sastra dunia dengan kesejarahan dan biografi Amerika Latin. Pancaran sastra Amerika Latin dan kerja sastra para pengarang Amerika Latin telah ikut mengubah dan mendadani dunia dengan gelimang imajinasi dan olah bahasa. Llosa adalah suara dari dunia Amerika Latin untuk menggairahkan sastra di pelbagai negeri demi perayaan atas perubahan nasib dunia. Begitu.

Bandung Mawardi
, Pengelola Jagat Abjad Solo

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 21 Mei 2011

Bahasa Indonesia Bukan Lagi Bahasaku?

-- Abdul Malik dan Chandra HN


"Ini petaka bagi bangsa Indonesia"


Malang (ANTARA News) - "Kami putra-putri bangsa Indonesia, mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia".

Pawai Kartini (ANTARA/Ari Bowo Sucipto)


Itulah salah satu bunyi Sumpah Pemuda yang dibacakan serentak oleh para pemuda Indonesia pada 28 Oktober 1928.

Itu adalah janji pemuda senusantara untuk setia kepada Bahasa Indonesia yang dianggap bahasa Ibu Pertiwi.

Namun, melihat hasil Ujian Nasional yang serentak diumumkan Senin lalu, termasuk di wilayah Kota Malang, Jawa Timur, nilai Bahasa Indonesia para siswa rata-rata lebih rendah ketimbang nilai Bahasa Inggris.

Chantika Fatma Dewi (18) misalnya. Siswi SMKN 8 Kota Malang ini meraih hasil terbaik Ujian Nasional tingkat Provinsi Jawa Timur.

Nilai Ujian Nasional yang dicapai Chantika rata-rata 9,61 dari tiga mata pelajaran, yakni Bahasa Inggris 10, Matematika 9,75, sedangkan Bahasa Indonesia 9,60.

Dari hasil rata-rata yang diraih siswi berambut panjang itu, nilai paling sempurna adalah mata pelajaran Bahasa Inggris, sedangkan nilai paling rendah adalah Bahasa Indonesia.

Siswi Jurusan Teknologi Komputer ini mengakui, kurang sempurnanya meraih nilai Bahasa Indonesia akibat sulit menentukan titik koma. Selain itu, ejaan pada meteri soal sulit dipahami, termasuk menentukan huruf besar dan kecil.

Alasan lainnya, yakni pada mata pelajaran Bahasa Indonesia ini banyaknya soal cerita layaknya orang mendongeng.

Sedangkan nilai sempurnapada Bahasa Inggris dicapai karena bahasa asing itu dianggap mudah dipahami dan mudah pula dikerjakan sehingga anak pasangan Jonjang Himawan (49) dan Tutik Arumi (46), warga Desa Sumber Porong, Kabupaten Malang itu, mendapat nilai 10,0.

Anggapan sulit mempelajari Bahasa Indonesia ini diakui Pengamat Bahasa asal Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, Prof Dr H Mudjia Rahardjo, MSi. Menurutnya, bahkan itu sudah terjadi sejak dua tahun terakhir.

"Ini petaka bagi bangsa Indonesia, sebab harusnya pelajar saat ini bisa meraih nilai Bahasa Indonesia lebih tinggi dibanding bahasa asing, karena Bahasa Indonesia merupakan bahasa peradaban bangsa ini," katanya.

Dia mengkhawatirkan, tidak sempurnanya nilai Bahasa Indonesia yang dicapai pelajar, berakibat pada terancam hilangnya peradaban bangsa ini di masa mendatang, sehingga semangat sumpah pemuda untuk memperkuat persatuan itu perlahan akan hilang.

Jangan dibiarkan

Ancaman lain akibat serbuan bahasa asing adalah hilangnya bahasa asli sejumlah daerah.

"Sudah ada beberapa bahasa daerah yang hilang. Itu akibat para pemudanya kurang suka dengan bahasa daerahnya sendiri," kata Mudjia Rahardjo.

Rahardjo mengatakan, kalahnya nilai Bahasa Indonesia dari bahasa asing di kalangan pelajar, bukan akibat metode pengajaran guru Bahasa Indonesia yang kurang, namun karena kurangnya "Gerakan Mencintai Bahasa Indonesia" yang seharusnya dipromosikan pemerintah.

Selain itu, sejumlah pelajar terlalu menganggap remeh pelajaran Bahasa Indonesia lantaran merasa sering dipakai dalam kehidupan sehari-hari.

"Kalau pelajar sudah menganggap remeh maka berarti menganggap remeh pula bangsanya," tuturnya.

Raharjo mengatakan sudah sepatutnya Bahasa Indonesia dijadikan sebagai bahasa utama dan menempatkannya pada urutan pertama.

"Tidak salah pelajar saat ini lebih suka dengan pelajaran bahasa asing, namun seharusnya Bahasa Indonesia dijadikan yang utama dan pertama," katanya.

Dia juga ingin pemerintah mempunyai kebijakan agar pelajar dan pemuda menyukai Bahasa Indonesia, namun tetap bisa belajar bahasa asing.

"Harus ada bentuk-bentuk goodwill (itikad baik) dari pemerintah untuk mengatasi masalah ini. Jangan sampai dibiarkan," ujarnya.

Hal sama disampaikan Anggota Komisi D Bagian Kesejahteraan Rakyat, DPRD Kota Malang, Drs Sutiadji.

Dia ingin pemerintah membuat "Gerakan Cinta Bahasa Indonesia" dengan memulai aktivitas-aktivitas dengan menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

"Serbuan westernisasi dari jenis bahasa bisa membuat seseorang akan kehilangan jiwa nasionalismenya. Saya sepakat dengan adanya `Gerakan Cinta Bahasa Indonesia` dengan mengawali meng-Indonesiakan istilah-istilah asing," paparnya.

Tidak Semua

Selain pendidik, orang tua pun mengakui anak-anak mereka lebih "mampu" berbahasa Inggris, ketimbang berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

Misalnya Sinto Chandra yang menyekolah anaknya di sekolah RSBI.

Sinto mendapati anaknya yang bersekolah di salah satu SMP swasta RSBI, mendapatkan nilai untuk Bahasa Indonesia yang lebih rendah dibandingkan mata pelajaran lain.

Baik setiap ulangan maupun ujian di sekolahnya, anaknya itu selalu bisa mencapai nilai 90 ke atas untuk Bahasa Inggris, bahkan pernah sempurna 100, tapi nilai Bahasa Indonesia-nya tidak pernah bisa lebih dari 80.

"Chacha (anaknya), selalu ranking tiga besar di sekolahnya. Tapi bila dirinci, khusus setiap mata pelajaran Bahasa Inggris urutan pertama di sekolahnya, rata-rata nilai rapotnya 98," ungkapnya.

Namun Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah SMA se-Kota Malang, Tri Suharno mengatakan, tidak semua pelajar di Kota Malang meraih nilai Ujian Nasional dalam Bahasa Indonesia lebih rendah dari Bahasa Inggris, sebab jika dikalkulasi selisih nilai di antara dua mata pelajaran itu sedikit.

Kepala SMA Negeri 4 Kota Malang ini mengatakan, dari data Dinas Pendidikan Kota Malang, nilai rata-rata mata pelajaran Bahasa Indonesia yang diraih pelajar Kota Malang adalah 8,3, sedangkan Bahasa Inggris 8,5.

"Ini artinya selisih antara kedua bahasa hanya sedikit, dan jika dirata-rata, ada siswa yang Bahasa Indonesianya lebih tinggi dibanding Bahasa Inggris," katanya.

Selain itu, nilai di setiap sekolah juga berbeda-beda. Ada yang mayoritas siswanya meraih nilai Bahasa Indonesia tinggi, ada yang mata pelajaran lainnya lebih tinggi. Tergantung dari metode yang digunakan sekolah dalam mengajarkan mata pelajaran.

Meski demikian, Suharno mengakui sejumlah pelajar memang merasa lebih sulit mempelajari Bahasa Indonesia daripada bahasa asing.

Suharno juga menyoroti kemampuan guru dalam mengajarkan Bahasa Indonesia.

"Kalau di sebuah sekolah guru Bahasa Indonesianya enak dalam metode mengajarnya, mungkin siswa itu akan suka dan sangat berminat dalam mempelajari Bahasa Indonesia, artinya hal itu tergantung pula dari si guru," ujar Suharno.

Ujian Nasional di Kota Malang diikuti 5.704 siswa SMA dan 8.449 siswa SMK. Dari data itu, yang tidak lulus 10 siswa SMK negeri dan 9 siswa SMK swasta, sedangkan untuk SMA yang tidak lulus ada 14 orang, masing-masing tiga siswa SMA negeri dan 11 siswa SMA swasta.

Rata-rata nilai Ujian Nasional untuk SMA Negeri Kelas Bahasa adalah 53.00, Kelas IPA 56.70, sedangkan Kelas IPS 54.65. Untuk SMA swasta, NKelas bahasa mencapai 51.40, Kelas IPA 56.80, dan Kelas IPS 52.70. (*)

Editor: Jafar M Sidik

Sumber: Antara, Sabtu, 21 Mei 2011