Monday, January 31, 2011

[Sosok] Mary Hunt Kahlenberg: Menduniakan Keindahan Kain Indonesia

-- Ninuk Mardiana Pambudy

SUDAH banyak buku ditulis mengenai tekstil Indonesia, tetapi kain Nusantara seperti sihir yang mendorong banyak orang terus menggali dan menuliskan tentangnya. Begitu juga dengan Mary Hunt Kahlenberg.

MARY HUNT KAHLENBERG (KOMPAS/NINUK MARDIANA PAMBUDY)

Dia memilih judul The Mary Hunt Kahlenberg Collection, Five Centuries of Indonesian Textiles (2010), karena di antara kain asli Nusantara koleksinya, terdapat tenun dari abad ke-15. Umumnya kurator dan kolektor kain skeptis terhadap kemampuan kain Nusantara bertahan ratusan tahun, karena dibuat lokal dan dikenakan sehari-hari, kain dapat diganti setiap saat begitu lapuk.

”Banyak orang meragukan kain asli Indonesia dapat bertahan dalam waktu panjang, mengingat udara yang panas dan lembap, serta cara penyimpanannya,” papar Kahlenberg di Museum Tekstil Jakarta, Desember lalu.

Kahlenberg yang tinggal di Santa Fe, AS, datang ke Jakarta bersama suaminya, Robert T Coffland, untuk diskusi buku yang diadakan antara lain oleh Museum Tekstil dan Perhimpunan Wastreprema. Ia merasa tertantang membuktikan usia kain Nusantara dengan lebih akurat. Selain memakai metode sejarah-seni, yaitu membandingkan corak atau tenunan dengan monumen arsitektur dan lukisan manuskrip sezaman, juga dengan uji karbon C-14.

Tahun 2003, ia mengirim contoh benang tenun dari tiga kain koleksinya, masing-masing dari Poso, Sulawesi Tengah; Komering di Sumatera Selatan; dan Timor di NTT, untuk uji karbon di Swiss.

Hasilnya, kain Komering berasal dari tahun 1403-1501 dengan kemungkinan 98,5 persen. Benang lungsi terbuat dari sutra dan benang pakannya katun bercorak ikat pakan cukup rumit. Kain ini juga memakai benang emas di tepinya. Sedangkan kain dari Poso diduga berasal dari tahun 1419-1627 dengan peluang 95 persen, sementara kain dari Timor diperkirakan berasal dari tahun 1419-1520.

”Uji tersebut membuktikan kain Indonesia dapat bertahan melalui waktu karena dijaga sebagai benda berharga milik keluarga. Kualitas kain-kain tersebut masih bagus. Tradisi menjaga kain sebagai benda berharga harus dipertahankan,” paparnya.

Cinta

Pertanyaan yang sering ditujukan kepada Kahlenberg, mengapa mencintai kain, terutama kain Indonesia? Ia bercerita, tumbuh besar dalam keluarga yang mengoleksi aneka pita dan perca kain yang dianyam para perempuan di keluarga besarnya. Hal itu memesona Kahlenberg, apalagi kemudian neneknya memberi pita-pita koleksinya untuk dia.

Tentang kain Indonesia, ia mengaku alasannya tak rasional. Dia jatuh cinta begitu saja saat pertama kali melihat foto kain Indonesia yang dikirim ahli dan penjual kain asal Belanda, Laurens Langewis. Pertengahan tahun 1960-an itu, Kahlenberg adalah kurator Museum Tekstil, Washington, AS. Foto-foto tersebut mendorongnya membaca lebih dalam buku tulisan Langewis dan Frits A Wagner, Decorative Art in Indonesian Textiles (1964). Dia paling tertarik pada tapis Lampung yang belakangan dia tahu bercorak cumi-cumi.

”Saya terpukau kerumitan corak dan kualitas pembuatannya. Juga kain Indonesia lain, seperti teknik rintang warna pada batik dan berbagai teknik tenun. Itu titik balik penting dalam hidup saya. Sayangnya, tak satu pun dari kain yang ditawarkan itu dibeli museum,” kenangnya.

Rasa penasaran Kahlenberg terobati ketika tahun 1969 pindah ke Los Angeles County Museum of Arts (LACMA) dan menjadi kepala bagian kostum dan kain. Dalam posisi itu, dia terbang pertama kali ke Kalimantan pada 1973. Tahun 1977, dia menyelenggarakan pameran ”Textile Traditions of Indonesia” di LACMA dan menjadi pameran besar pertama di AS khusus tentang kain Indonesia.

Selama 35 tahun sesudahnya, ia menjelajahi pulau-pulau Indonesia. Posisi suami pertamanya sebagai diplomat memberinya kesempatan belajar tekstil di Eropa dan mengunjungi museum untuk mempelajari kain Indonesia, sampai sempat terkunci sendirian. ”Saya tak ingin menyebut nama museumnya,” katanya diiringi tawa.

Di Indonesia, Kahlenberg membangun hubungan dengan orang-orang yang dia temui di desa dan kota, serta membentuk pengetahuan tentang lapis-lapis rumit pemahaman masyarakat Indonesia mengenai kehidupan religius dan sejarahnya yang berkaitan dengan fungsi kain dalam kehidupan.

”Bertemu dengan orang-orang yang membuat dan memakai kain itu sangat menarik, cara menenun dan menangani kain, juga detail kehidupan lainnya,” katanya.

Dia menemukan kesamaan dengan pengalamannya masa kecil, yaitu tradisi pembuatan dan perawatan kain diturunkan dari ibu kepada anak perempuan.

Ia berharap masyarakat dapat menjaga kualitas kain Indonesia karena berhubungan erat dengan tradisi yang dihidupi masyarakat sendiri. Terutama kini, ketika kain diperdagangkan dan kualitas ditentukan pembeli. ”Tentu, kain harus berkembang mengikuti perubahan waktu. Tetapi, sebagai pembeli, kita harus berusaha membeli kain yang bagus,” tandasnya.

Mengenalkan Indonesia

Meskipun kini tak terlalu kerap ke Indonesia, dia mengaku terus meriset kain. Bukunya, setebal 398 halaman termasuk indeks, bercerita tentang masyarakat pembuat kain-kain tersebut. Koleksinya lebih berdasar kualitas istimewa kain daripada kumpulan kain karena komunitas pembuatnya.

Melalui koleksi 350 lebih kain dan penjelasan yang ditulis beberapa ahli kain, antara lain Ruth Barnes dan Rens Heringa, pembaca diajak mengenal cara masyarakat Nusantara memandang dunia dalam dan dunia luar, yang bahkan bagi banyak pembaca Indonesia sekali pun merupakan pengetahuan baru.

Sebagai sarjana sejarah seni, Kahlenberg mendekati kain Indonesia melalui kacamata antropologi, seperti umum dilakukan para ahli kain, serta pendekatan seni dan sejarah. ”Menulis dari sisi seni lebih sulit karena menyampaikan apa yang kita rasakan, bagaimana pengaruh emosionalnya ketika kita melihat (kain),” ungkapnya.

Tantangan lain, meyakinkan masyarakat dunia, terutama di Barat, kain Indonesia adalah karya seni, bukan sekadar kriya. Oleh karena itu, dia berusaha membuat buku ini indah. ”Untuk membuat orang membaca dan melihat, lalu berpikir, oh (kain-kain) ini indah,” ungkap Mary Hunt Kahlenberg.



***


Mary Hunt Kahlenberg


• Lahir: Wollingford, Connecticut, AS, 19 Oktober 1940

• Pendidikan: Boston University (S-1, sejarah seni); Academy of Fine Arts (Wina), Fine Arts School dan Master School of Crafts (Berlin)

• Aktivitas: TAI Gallery, kolektor dan kurator kain, penulis buku antara lain "Five Centuries of Indonesian Textiles”, ”Walk in Beauty: The Navajo and Their Blankets” (1977), ”Textile Traditions of Indonesia” (1977), ”A Book About Grass: Its Beauty and Uses” (1983), ”Extraordinary in the Ordinary” (1998), ”Asian Costumes and Textiles: From the Bosphorus to Fujiyama” (2001)

Sumber: Kompas, Senin, 31 Januari 2011

Penerbitan Buku Lesu

Jakarta, Kompas - Penerbitan buku di Indonesia sepanjang 2010 tidak beranjak dari tahun sebelumnya, tetap lesu dan suram. Penerbit sulit berkembang karena terbebani tingginya biaya produksi dan distribusi, lemahnya daya beli masyarakat, serta tak adanya dukungan pemerintah.

Sejumlah penerbit yang dijumpai di sejumlah kota mengatakan, rata-rata produksi buku dan angka penjualan buku terus turun. Sementara biaya produksi justru naik tajam karena harga kertas membubung tinggi dan ongkos distribusi mengalami kenaikan.

Rasyid Harry, Direktur Penerbit Hambali Swadaya Putra (HSP), di Jakarta, mengatakan, pihaknya selaku penerbit kecil berupaya menerbitkan 10 judul buku per tahun. Namun, penjualannya sangat sulit.

”Untuk mencapai penjualan 1.000 eksemplar per judul buku, butuh waktu sekitar satu hingga dua tahun,” ujarnya, pekan lalu.

Untuk ikut proyek pengadaan buku pun, kata Rasyid, bukan hal mudah karena harus memiliki lobi kuat dengan birokrasi pemerintahan.

”Dulu, penerbit kecil juga mendapat kesempatan untuk dibeli bukunya sehingga sangat membantu permodalan,” kata Rasyid.

Kurangi produksi

Di Yogyakarta, sejumlah penerbit terpaksa mengurangi produksi agar tetap bisa bertahan. Penerbit dan Percetakan Galang Press, misalnya, produksinya turun sekitar 30 persen ketimbang tahun 2009. Sementara Penerbit dan Percetakan Navila mengurangi produksi buku hingga 75 persen untuk mengatasi biaya produksi yang terus naik.

”Tahun 2010 merupakan masa kelabu untuk penerbitan buku,” kata Direktur Penerbit dan Percetakan Navila Sholeh UG.

Pengurus Forum Editor Pusat yang juga pemilik penerbitan dan percetakan Galang Press, Julius Felicianus, mengatakan, penerbit dan percetakan hanya memperoleh 7 persen dari total harga jual buku. Sebagian besar biaya, sebanyak 50 persen, terserap untuk biaya distribusi buku ke toko-toko buku. Beban biaya terbesar lainnya adalah tingginya harga kertas dan pajak kertas yang mencapai 15 persen dari harga produksi buku.

Di sisi lain, belum ada keberpihakan pemerintah untuk perbukuan di luar buku-buku pelajaran. ”Penerbitan buku masih dilihat sebelah mata oleh pemerintah. Padahal, perbukuan sangat penting untuk membentuk masyarakat yang berwawasan,” ucap Julius.

Direktur Penerbitan Total Media Sobirin Malian mengatakan, penerbit kecil juga sulit menembus sistem tata niaga perbukuan. Selain itu, jaringan distributor buku enggan mengantar sampai ke daerah terpencil untuk mengurangi biaya.

”Toko-toko buku pun membatasi waktu pajang buku hanya tiga pekan. Padahal, masyarakat Indonesia belum tentu sebulan sekali ke toko buku,” tuturnya.

Kondisi yang sangat memberatkan penerbit kecil ini dikhawatirkan membuat kualitas buku di Indonesia menurun. Saat ini, penerbit memilih mengikuti tren buku yang laku di pasaran dan menomorduakan kualitas.

Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Lucya Andam Dewi mengatakan, penerbit buku di Indonesia menghadapi banyak problem yang butuh peran pemerintah dan masyarakat. Persoalan harga dan pajak kertas untuk buku juga belum mendapat solusi yang memuaskan.

Dharma Hutauruk, Ketua Kompartemen Buku Ikapi, mengatakan, saat ini buku yang diterbitkan 1.500-2.000 judul per bulan. (ELN/IRE)

Sumber: Kompas, Senin, 31 Januari 2011

Sunday, January 30, 2011

[Buku] Kisah Indonesia Lewat "Goyang Dangdut"

-- Idi Subandy Ibrahim

• Judul: Dangdut Stories: A Social and Musical History of Indonesia’s Most Popular Music
• Penulis: Andrew N Weintraub
• Penerbit: Oxford University Press
• Cetakan: I, 2010
• Tebal: ix + 258 halaman
• ISBN: 978-0-19-539567-9

Analisis tentang musik dangdut tak sesemarak kontroversi yang menyertai beberapa pertunjukannya. Hingga kini baru sedikit penerbitan yang menyoroti aspek-aspek musik yang disebut paling populer di Indonesia ini.

Di antara yang secuil itu adalah Dangdut Stories karya Andrew N Weintraub, profesor musik dari Universitas Pittsburgh, Amerika Serikat. Seperti dikatakan Andrew, meski sudah populer, dangdut masih jarang meraih perhatian kritis (hal 13). Sejak pertama muncul dan dikenal lewat pemunculan Ellya Khadam, bintang pada era 60-an, dengan hitnya ”Boneka dari India”, baru ada beberapa kajian akademis tentang dangdut, di antaranya dari disiplin sejarah (Frederick 1982; Lockard 1998), musik (Hatch 1985; Yampolsky 1991; Wallach 2008), antropologi (Simatupang 1996; David 2009), dan kajian Asia (Pioquinto 1995 dan 1998; Sen dan Hill 2000; Browne 2000).

Berbeda dari semua kajian tersebut, Dangdut Stories merupakan kajian musikologis pertama yang menganalisis perkembangan stilistika musik dangdut. Dengan memanfaatkan gaya vokal, melodi, irama, harmoni, bentuk, dan teks lagu, seperti diyakini penulisnya, dangdut bisa mengartikulasikan pergulatan simbolis atas makna dalam realitas kebudayaan Indonesia.

”Prisma” masyarakat

Dalam sebuah artikel, sejarawan William H Frederick (1982) menyatakan bahwa dangdut bisa merepresentasikan ”prisma yang peka dan bermanfaat untuk melihat masyarakat Indonesia”. Mantan Menteri Sekretaris Negara Mooerdiono pada pertengahan 1990-an menyatakan, ”Dangdut membuat kita lebih empati satu sama lain.” Sementara Emha Ainun Nadjib pada awal 2000-an menyatakan, ”Pantat Inul adalah wajah kita semua.” Moerdiono mewakili pandangan dari ”atas” (negara) yang mengidealkan peran dangdut dalam budaya nasional. Emha mewakili pandang dari ”bawah” (rakyat) mencermati realitas sosial yang tercermin lewat dangdut.

Namun, menurut Weintraub, dangdut tidak hanya refleksi yang hidup dari budaya dan politik Indonesia, tetapi juga sebagai praktik ekonomi, politik, dan ideologis yang membantu membentuk gagasan masyarakat mengenai kelas, jender, dan etnisitas dalam negara- bangsa Indonesia modern. Itulah sebabnya, Goenawan Mohamad memuji karya Weintraub karena kontribusinya dalam perdebatan tentang konstruksi identitas nasional lewat musik yang sungguh orisinal. Musik dangdut adalah bagian dari formasi diskursif tentang memiliki komunitas nasional. Dan, membayangkan diri kita sebagai bagian dari komunitas.

Sebagai etnomusikolog, analisis Andrew bertumpu pada kecermatan pengamatan dan kekayaan data yang dihimpun dalam studi lapangannya di Indonesia antara tahun 2005 dan 2007. Dia mewawancarai musisi, komposer, pengaransemen, produser, dan penggemar musik dangdut; menganalisis media cetak populer; belajar dengan musisi; melakukan analisis musikologis; dan pengamatan terlibat. Menggunakan pendekatan antardisiplin yang memadukan analisis etnomusikologis, antropologi media, dan kajian budaya, pendiri grup ”Dangdut Cowboys” ini menghubungkan properti estetik dan penggunaan efek musik dangdut dengan kondisi sosial dan material Indonesia modern. Bagi Weintraub, lagu-lagu dangdut itu sendiri membentuk cerita-cerita (hal 16) tentang Indonesia. Cerita musik dangdut dibingkai dalam sembilan bab yang menggambarkan perkembangan dangdut dari tahun 1945 hingga kini.

Pada Bab 3, Weintraub mengisahkan generasi pertama bintang dangdut, seperti Ellya Khadam, Munif Bahasuan, dan A Rafik, untuk mengilustrasikan hubungan antara orkes Melayu dan dangdut selama 1950-an. Pada Bab 4, konstruksi makna ”rakyat” dalam dangdut menjadi sorotan. Artikulasi dangdut dan rakyat bekerja dalam tiga level: (1) dangdut adalah rakyat; (2) dangdut untuk rakyat; dan (3) dangdut sebagai rakyat. Figur ”raja dangdut” Rhoma Irama adalah representasi dari pandangan ”dangdut untuk rakyat”. Mulai dari gaya musik hingga penggemar Rhoma dikupas secara cermat. Bab 5, mengisahkan ekspansi dan perluasan pasar musik dangdut menjadi ’musik nasional’ yang memunculkan genre, seperti ”sweet dangdut”, ”pop dangdut”, ”rock dangdut”, dan ”Mandarin dangdut”, disertai grup dan penyanyi pendukungnya.

Selanjutnya, dikisahkan pula bahwa berkat televisi pada 1990-an, bangsa ini menjadi ”bangsa dangdut”. Televisi membawa dangdut ke ruang keluarga kelas menengah-atas sehingga mengangkat popularitas dangdut dan penyanyinya, dan bahkan mulai go international (bab 6). Tetapi, kemudian dangdut mulai terlibat dalam wacana moralitas dan bentuk Islam yang semakin terpolitisasi dalam kontroversi goyang ngebor yang melejitkan nama Inul Daratista (bab 7). Perkembangan lain yang menarik, munculnya goyang ”dangdut daerah” disorot dalam bab 8.

Sepanjang karyanya, Weintraub menafsirkan dangdut sebagai representasi dan formasi diskursif (Foucault 1972). Tetapi, cerita tentang dangdut yang ditampilkan Dangdut Stories sudah tentu dibatasi oleh pengalaman hidup penulisnya. Posisi subyek sebagai pria heteroseksual kulit putih, warga negara AS, staf universitas, musisi, dan penggemar musik tak lepas dari bias. Pembaca kritis bisa jadi memiliki perspektif berbeda yang dibentuk oleh posisi ideologis dan kepentingan personalnya sendiri. Sebagaimana diakui Weintraub, setiap orang memiliki cerita untuk dikisahkan meski mungkin tak seorang pun pernah mendengarnya. Cerita-cerita itulah yang dinarasikan dalam karyanya yang penting bagi pengkaji budaya dan musik ini.

Idi Subandy Ibrahim, Peneliti Media dan Budaya Populer

Sumber: Kompas, Minggu, 30 Januari 2011

Kritik Seni: Popularisme atau Paralogisme?

-- Budiarto Danujaya

DALAM perkara politik atau ekonomi, corak pandang paling mewarnai masyarakat kita dewasa ini bukanlah liberalisme, sosialisme, ataupun sosialisme-demokrat, melainkan popularisme. Begitu pula, dalam sengkarut seni dan budaya, bukanlah secorak postrukturalisme, bukan pula secarik postmodernisme, melainkan juga popularisme.

Inilah nalar di balik kesibukan rezim penguasa kita belakangan ini lebih mengurusi segala rupa indikator ekonomi demi pencitraan ketimbang pengurangan pengangguran dan mengatasi kemiskinan nyata rakyatnya. Ini pulalah nalar di balik pengakuan atas kedaulatan SMS dalam penentuan pelbagai lomba di televisi maupun pengagulan atas merebaknya segala rupa corat-coret para blogger di internet yang coba dimaknai sebagai kegairahan sastrawi.

Sedemikian merisaukan gejala ini, sampai-sampai dalam penjurian sebuah lomba tarik suara di televisi Melly Goeslaw berkata, kalau orang Indonesia memang maunya begitu, mulai besok dia akan menyanyi dengan false (sumbang). Kegeraman ini jelas mewakili gerundelan banyak pihak sebelumnya karena melihat banyak peserta yang tampil baik justru terpental, sementara yang tampil buruk justru bertahan lantaran mendapatkan cukup SMS.

Memang, seperti pernah diwacanakan JF Lyotard (2001), performativitas akibat keacapan kehadiran kerap silap kita pahami sebagai ”kebenaran”. Repetisi presensi, yang menjadi semakin mudah dan murah akibat kemajuan teknologi media dan komunikasi mutakhir, seperti televisi, internet, atau SMS, menimbulkan penumpukan ekstensif efek penghadiran diri sehingga mudah silap kita pahami sebagai legitimasi.

Rupanya, kesilapan serupa memantik pergunjingan berkepanjangan seputar krisis kritik seni pada lembaran Kompas Minggu beberapa pekan belakangan. Kesilapan memahami performativitas keacapan kehadiran sebagai kenyataan ”kebenaran”. Kesilapan memahami repetisi presensi sebagai multilegitimasi—laiknya pengakuan keabsahan atas keragaman tatanan-nilai, logika, maupun sudut pandang pada parakritisisme Ihab Hassan (1975) ataupun paraestetika David Carroll (1989).

Mendaku paralogisme

Gejala popularisme lebih pantas dipahami sebagai pengakuan ketakberdayaan atas supremasi kuantitas ketimbang legitimasi ”kualitas”. Dalam hal ini, ”orang banyak” lebih diterima sebagai faktisitas kejamakan yang tak tertampikkan ketimbang sebagai konstitutivitas keragaman yang secara sadar dipilih sebagai orientasi ideologis dalam proses keputusan-nilai apa pun, termasuk kritik seni.

Alih-alih bersitumpang-tindih maknawi dengan paralogisme—pengakuan keragaman legitimasi akibat penerimaan ketakterreduksian segenap masing-masing keliyanan (the others) dalam entitas jamak bertajuk ”orang banyak” pada kompleksitas proses keputusan-nilai—popularisme malah bisa kebablasan menjadi semacam anarkisme diferensiasi partikular. Relativisasi legitimasi justru potensial terjadi karena perbedaan segenap masing-masing keliyanan lalu mentah-mentah diterima sebagai identitas partikular yang final sehingga tak perlu diskrutinisasi lagi dan tinggal dijumlahkan saja.

Dalam konteks ini, sungguh mengherankan perebakan corat-coret para blogger sampai perlu demikian serius diperdebatkan posibilitasnya sebagai kondisi anteseden bagi krisis kritik seni kita; apalagi sampai dihubung-hubungkan dengan diskursus ”kematian pengarang” dari Roland Barthes. Logika sirkular di balik dakwaan bahwa kematian kritikus sastra merupakan konsekuensi logis diskursus ”kematian pengarang”—lantaran segenap pembaca lalu dianggap berpeluang menjadi kritikus—menyamakan secorak relativisme indifferentis dengan pluralisme legitimasi; mencampurbaurkan secorak popularisme dengan paralogisme.

Dengan diskursus ”kematian pengarang”, Barthes (1977) sesungguhnya lebih ingin memperlihatkan bahwa sesegera sebuah ”karya” (work) hadir, sesegera itu pula dia berhenti menjadi karya sang pengarang ”semata” lantaran telah menjadi ”teks” pula. Tandas Barthes, ”karya merupakan sebuah fragmen substansi”, sedangkan ”teks merupakan sebuah medan metodologis.” Jadi, bedanya, ”karya dapat digenggam dalam tangan, teks tergenggam dalam bahasa” sehingga ”teks hanya dialami dalam sebuah kegiatan produksi.” Dalam pengertian itulah, ”teks tak dapat dihentikan”, dan ”gerak mengadakan dirinya adalah dengan terus memilah diri.” Pada Barthes, teks bukanlah obyek mati, melainkan seolah ”subyek” yang terus-menerus memproduksi makna.

Meskipun begitu, pernyataan kemandirian teks dalam memproduksi makna tersebut tentulah bersifat metaforis. Pada kenyataannya, tanpa pembacaan, tanpa ketegangan noema-noesis, tanpa proses hermeneutik, realisasi produksi makna takkan terjadi. Proses produksi makna baru dimulai ketika persekongkolan antara anasir-anasir subyektif pada segenap tiap-tiap pembaca dan anasir-anasir ”subyektif” pada teks terjadi.

Gamblanglah, Barthes bermaksud sekadar menegaskan bahwa penafsiran maknawi teks tak lagi harus bergantung pada niat ”semula” pengarangnya ”semata”. Ini berbelakangan dengan hermeneutika klasik yang justru mewajibkan penelusuran maksud pengarang, seluk-beluk kehidupan, serta latar sosio-historis karyanya demi mengejar kesaksamaan metodologis dalam merebut makna teks. Pasca-Barthes, makna sebuah teks lalu seolah-olah berada di persimpangan jalan antara para pembaca dan teks.

Melalui diskursus ini, posibilitas paralogisme tafsir menjadi terbuka karena keliyanan segenap masing-masing pembaca lalu diterima sebagai bagian tak tertampikkan dalam pemaknaan teks. Dalam kerangka tekstualitas sebuah karya, pembaca lalu bahkan menjadi anasir struktural tak terreduksikan dari teks karena—meminjam istilah J Derrida—menjadi constitutive outside dari teks; menjadi ”seluar yang membuat ada” teks; menjadi seluar ”sekitar teks” (kon-teks).

Mengelit relativisme

Terus terang diskursus ”setiap orang kritikus” segera mengingatkan pada deretan panjang epigon banal dan berlebihan atas ”anything goes” dari Against Method P Feyerabend (1975). Ketimbang dipahami sungguh-sungguh sebagai anjuran untuk memercayai relativisme indifferentis, apalagi dalam konteks metodologis, seperti banyak tafsir salah kaprah atas postmodernisme, diskursus semacam ini barangkali lebih tepat kita terima sebagai anjuran untuk melawan keyakinan berlebihan atas posibilitas keserbatunggalan dalam kerangka teori, perspektif, dan metodologi.

Dalam hal ini, meskipun dengan tegas merayakan paralogisme tekstual, Barthes sendiri juga dengan gamblang berusaha menghindarkan diri dari jebakan anarkisme diferensiasi partikular semacam itu. Mirip dengan penempatan etos pluralisme sebagai koridor dalam diskursus demokrasi, Barthes mencoba menyusun kembali koridor aksiologis yang lebih bisa menampung pluralisasi legitimasi pemaknaan teks.

Salah satunya dengan membedakan antara ”teks pembaca” (readerly text) dan ”teks penulis” (writerly text). Bagi Barthes (1974), perbedaannya terletak pada kapasitas potensial mereka dalam memproduksi makna. Teks penulis merupakan ”kehadiran berkelanjutan” lantaran merangsang ”kebelumtampilan” maknawi sebuah teks. Jadi, kalau teks pembaca lebih merupakan ”produk”, teks penulis lebih merupakan |”produksi”. Dalam kerangka inilah ia berkata, ”Semakin plural sebuah teks, semakin sedikit ia ditulis sebelum kubaca.”

Rekonstruksi aksiologis ini bertujuan untuk menata kembali semacam ”kriteria” untuk ”mengklasifikasi” teks, tetapi yang lebih paralogis, agar tak terjebak pada relativisme indifferentis. Gamblangnya, sebagai teks, karya sastra lalu tetap bisa kita ”kualifikasikan”, tetapi kali ini lebih dalam kerangka perbedaan kapasitas potensialnya merangsang imajinasi pembaca melahirkan makna teks.

Dengan demikian, kiranya jelas keperluan menghindari jebakan diskursus berbau popularisme semacam itu. Pengagulan popularisme sebetulnya cuma penerimaan total supremasi kuantitas belaka. Inilah ideologi SMS, internet, dan, dengan kadar sedikit lebih mendingan, juga televisi: anything goes asalkan ”orang banyak” suka.

Budiarto Danujaya, Pengajar Diskursus Politik dan Ideologi Departemen Filsafat FIB UI

Sumber: Kompas, Minggu, 30 Januari 2011

[Kehidupan] Ketika Musim "Membolos" Tiba

PAK Guru Jamaluddin menatap langit yang mendung dengan wajah cemas. Ketika hujan mulai merintik, dia masuk ke kelas VI dan berkata, ”Anak-anak yang rumahnya di dalam (hutan) lekas pulang.” Budi Suwarna

Desi (12) yang sedang asyik belajar Matematika dengan alat peraga kartu remi segera mengemasi buku. Sejurus kemudian, dia dan lima murid lainnya dari kelas berbeda setengah berlari pulang menuju dusunnya, Tatibajo, yang berada di tengah hutan.

Setiap hujan turun, hampir semua orang di Sekolah Dasar 27 Tatibajo di Dusun Manyamba, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, menjadi cemas. Betapa tidak, limpahan air hujan membuat Sungai Manyamba meluap. Saat itulah jalan setapak di sisi sungai sebagian tenggelam. Padahal, itu adalah jalan pergi-pulang satu-satunya bagi sebagian murid yang tinggal di Dusun Tatibajo di tengah hutan.

”Kalau sungai meluap, saya tidak bisa pulang. Jalan setapak tidak kelihatan lagi,” ujar Salim (10), murid kelas IV asal Dusun Tatibajo, yang hanya bisa dijangkau dengan jalan kaki selama 1-2 jam dari sekolahnya di Manyamba.

Pada musim hujan, kelas pun berubah menjadi sepi. Pasalnya, sebagian besar murid yang tinggal di permukiman di tengah hutan tidak berani datang ke sekolah. Tidak heran angka membolos sekolah pun menjulang tinggi. Pada Kamis (20/1) siang hanya enam dari 13 murid kelas IV yang masuk sekolah. Di kelas VI hanya lima dari 13 siswa yang datang.

”Setahun, rata-rata ketidakhadiran siswa 30 persen. Sebenarnya, seminggu saja tidak masuk tanpa kabar, siswa bisa kami berhentikan. Tapi, kalau aturan itu dipakai, bisa habis murid saya,” ujar Jamaluddin.

Musim hujan juga merepotkan para guru yang tinggal jauh dari sekolah. Jamaluddin yang menjabat Kepala SD 27 menceritakan, setiap hari dia harus melalui jalan tanah berbatu menuju sekolah sejauh 6 kilometer dari rumahnya di daerah pantai. Jalan itu diapit tebing yang mudah longsor dan sungai yang airnya mudah meluap. Jika jalan tenggelam, dia tidak bisa ke sekolah.

Pada musim hujan, jalan menuju tempatnya mengajar menjadi sangat licin. Sebagian bahkan jadi aliran sungai. Batu-batu besar setiap saat menggelinding dari atas bukit. ”Saya jatuh beberapa kali dari motor ketika berangkat kerja. Sekarang saya memilih memarkir motor di pinggir tebing, kemudian saya jalan kaki ke sekolah,” katanya.

Jamaluddin juga pernah tidak bisa pulang ke rumah karena jalan yang biasa dia lalui tersapu banjir. ”Terpaksa saya menginap di rumah warga Dusun Manyamba.”

Kisah seperti itu juga dialami guru-guru lain yang bertugas di daerah-daerah terpencil di Battutala, Passau, dan Lombang. Untunglah, sekarang ada para pengajar muda dari Gerakan Indonesia Mengajar (GIM) yang umumnya tinggal di dekat sekolah. Jika bapak/ibu guru berhalangan hadir, mereka siap menggantikannya.

”Saya pernah jadi satu-satunya guru yang datang ke sekolah. Terpaksa saya mengajar kelas I sampai kelas VI sekaligus,” ujar Soleh Ahmad Nugraha, pengajar muda GIM yang bertugas di SD 25 Lombang, Malunda, Majene.

Murid bisa habis

Alam hanya satu faktor. Ada faktor lain yang membuat murid SD di sana sering membolos, yakni kebiasaan tinggal di ladang ketika panen. Yani, guru SD 25 Passau, mengatakan, warga Passau, misalnya, umumnya memiliki ladang di tengah hutan yang jauh dari dusun. Bahkan, sebagian punya ladang di kabupaten lain, seperti Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah, yang ditempuh dalam perjalanan dua hari dua malam dengan kapal laut.

Ketika musim panen atau pembukaan ladang baru tiba, mereka membawa anak-anaknya tinggal di ladang. ”Kalau sudah begitu, mereka bisa bolos dua bulan,” ujar Yani.

Tahun lalu, ujar Yani, ada enam muridnya yang ”menghilang” karena ikut orangtuanya panen cengkeh di Tolitoli.

Yani juga pernah mengalami hal itu ketika duduk di bangku SD. Orangtuanya mengajak Yani tinggal di Tolitoli selama musim panen cengkeh. Di sana Yani tinggal enam bulan. Selama itu dia bolos sekolah.

Bagaimana jadinya dengan proses belajar-mengajar? Pastinya putus-nyambung. ”Tidak heran jika kami masih sering menjumpai murid yang belum lancar membaca meski telah duduk di kelas V,” kata Agung Firmansyah, pengajar muda GIM di SD 27 Tatibajo.

”Mereka juga belum menguasai bahasa Indonesia dengan baik. Akibatnya, proses belajar-mengajar sering enggak nyambung. Saya tanya, sebutkan rumah-rumah adat di Indonesia? Mereka jawab, ’rumah harus rapi dan bersih’. Pusing, kan?” kata Erwin Puspaningtyas Irjayanti, pengajar muda GIM di SD 25 Passau.

Dengan situasi seperti itu, pihak sekolah hanya berani menetapkan angka standar kelulusan ujian akhir sekolah berstandar nasional (UASBN) rata-rata 2-2,5, atau hanya dua poin lebih besar dari nol!

Begitulah wajah pendidikan dasar di Majene yang bisa jadi mencerminkan situasi pendidikan di daerah terpencil lain di Tanah Air. Barangkali, tidak semua problem itu diketahui para pejabat pemerintah yang beberapa tahun terakhir terlalu sibuk mengotak-atik formula ujian nasional.

Sumber: Kompas, Minggu, 30 Januari 2011

[Kehidupan] Tamu dari Kota

FIRMAN Budi Kurniawan, pengajar muda GIM, adalah tamu istimewa. ”Dia orang asing pertama yang mau tinggal lama di dusun ini,” ujar Saparuddin (38), Kepala Dusun Beroangin, Battutala, Malunda, Majene.

Dusun ini terletak di tengah hutan, diapit bukit-bukit. Dulu, kata Saparuddin, tidak ada orang yang berani datang ke sini. ”Ini dianggap daerah keramat dan banyak hantunya.”

Dia bercerita, penduduk Beroangin sebelumnya tinggal di Ulumanda, desa yang katanya paling ujung di Majene. ”Untuk menjual dua pikul biji cokelat saja, kami harus jalan kaki 1 hari 1 malam menembus hutan menuju Pasar Malunda.”

Tahun 1989, mereka bedol desa ke Beroangin. Di hutan yang dianggap keramat itu, mereka membuka ladang, menanam sayur, kakao, dan kemiri. ”Kami sempat kelaparan sebelum masa panen tiba,” ujar Badarawi (50).

Kini, Beroangin mulai ramai. Ada 66 keluarga tinggal di sini. Mereka hidup dari kebun kakao, kemiri, dan langsat (semacam duku) yang tumbuh subur. Namun, persoalan yang mereka hadapi masih sama: tidak ada akses listrik dan jalan mulus ke kota kecamatan. Yang ada hanya jalan setapak berbatu dan membelah rimba. Hampir mustahil melalui jalan setapak itu dengan mobil.

Selasa (18/1) malam, Arman, warga Beroangin yang baru pulang merantau dari Balikpapan, terserang malaria. Tubuhnya tergolek lemah tak berdaya. Warga berencana akan memikulnya—seperti memikul biji cokelat—ke puskesmas di kota kecamatan. Itulah satu-satunya cara yang bisa dilakukan warga untuk membawa orang yang sakit ke kota.

Pukul 03.00, teriakan keras menggema di dusun itu, ”Arman mate... Arman mate (meninggal).” Ya, nyawanya melayang tanpa sempat tersentuh tangan dokter.

Firman, si tamu asing pertama di dusun itu, jadi saksi setumpuk kesulitan hidup di daerah terpencil. ”Saya tidak mungkin lupa,” katanya.

Penggagas GIM, Anies Baswedan, mengatakan, selain mengisi kekosongan guru, program ini bermaksud memberikan pengalaman hidup kepada sarjana peserta. ”Mereka tidak akan lupa dengan kehidupan di desa meski mereka telah menjadi CEO atau menteri, sebab mereka punya akar di sana.” (BSW)

Sumber: Kompas, Minggu, 30 Januari 2011

[Kehidupan] Pengajar: Menyatu dengan Rakyat Jelata

-- Myrna Ratna dan Try Haryono

”IZINKAN anak-anak SD di pelosok itu mencintai, meraih inspirasi, dan berbinar menyaksikan kehadiranmu. Dan yang terpenting, Anda sebagai anak terbaik telah ikut—sekecil apa pun—mendorong kemajuan, mengubah masa depan mereka menjadi lebih cerah....”

Itu adalah sepenggal isi e-mail dari Anies Baswedan yang merupakan kata-kata perpisahannya mengantar keberangkatan 51 pengajar muda ”Indonesia Mengajar” menuju dusun-dusun di pelosok Indonesia, awal Desember lalu. Dalam suratnya yang menyentuh itu, Anies menyebutkan bahwa mereka adalah anak-anak usia muda yang meninggalkan kenyamanan hidup.

Ke-51 pengajar muda itu merupakan orang-orang muda terpilih, bahkan mungkin yang terbaik di generasinya. Banyak di antara mereka yang telah hidup mapan dengan gaji yang sangat memadai. Tetapi mereka kemudian banting setir, untuk sebuah mimpi bersama: ingin mengabdi kepada negeri tercinta, ingin menyatu dengan rakyat jelata. Mereka memutuskan menjadi guru SD di desa-desa tanpa listrik.

”Saya terinspirasi oleh ucapan Pak Anies dalam sebuah seminar bahwa fresh graduate saat ini cuma punya indeks PK (prestasi kumulatif) tinggi, tetapi cara berpikirnya tidak terstruktur, cara bicaranya tidak sistematis. Pas denger itu, saya berpikir, loh kok kayak saya banget,” kata Nesia Anindita, anak Jakarta yang tinggal di kawasan elite di Kebayoran Baru dan memperoleh penempatan mengajar di Balai Pungut, Kecamatan Pinggir, Bengkalis.

Nesia kemudian mendaftarkan diri menjadi kandidat Indonesia Mengajar, bersama sekitar 1.382 pelamar lainnya. Dari jumlah ini, yang tersaring hanya 51 orang, termasuk dirinya.

Digembleng

Namun, perjuangan berat itu barulah dimulai. Selama delapan minggu mereka digembleng mental, fisik, intelektual, di sebuah wisma pelatihan di Desa Pancawati, Ciawi, Jawa Barat. Dari pukul 04.00 subuh sampai pukul 22.00 malam. Untuk membiasakan diri di tempat terpencil yang dipastikan tidak ada aliran listrik, tidak ada sinyal telepon, tidak ada internet itu, sejak pukul 22.00 sampai menjelang subuh, listrik di tempat pelatihan dimatikan dan semua telepon genggam diserahkan kepada panitia.

Betul, penggemblengan mental dan disiplin selama pelatihan sangat keras. Para calon pengajar itu bahkan harus lulus pelatihan survival di hutan dan rimba di bawah bimbingan Rindam (Resimen Induk Kodam).

”Di sini mereka yang takut ketinggian, takut air, akan ditangani, karena medan yang akan mereka hadapi membutuhkan persyaratan ini. Untuk yang takut air, misalnya, ada pelatihan renang, termasuk survival di sungai. Mereka juga diajari bagaimana bikin air jernih sampai air yang bisa diminum. Mereka juga belajar 12 daun yang bisa dimakan di hutan, bisa hidup dengan berbekal gula merah,” kata Ahmad Sjhahid, fasilitator program ini yang sekaligus menjadi ”bapak asuh” para calon pengajar muda.

Tantangan terberat tentulah proses transformasi ilmu, karena para calon pengajar ini bukan saja harus mengikuti panduan kurikulum nasional, tetapi juga harus menggabungkannya dengan cara mengajar yang kreatif. ”Apalagi mereka sama sekali tidak punya pengalaman mengajar sebelumnya,” tambahnya.

Sebagai contoh, para pengajar ini harus mampu menerjemahkan kurikulum dengan metode yang mendukung konsep multiple intelligences. Kalau disederhanakan kira-kira, bagaimana agar kurikulum itu membuat murid jadi senang belajar. Misalnya saja untuk menjelaskan konsep keseimbangan, salah satu pengajar membuat boneka yang baru bisa berdiri bila pembagian beban di kedua sisinya tepat.

Tetapi tentu saja setiap wilayah tantangannya berbeda. Begitu terjun ke lapangan, mereka harus berdiskusi dengan pihak daerah untuk menyesuaikan ”kebutuhan” para murid. Misalnya saja, di pelosok Halmahera tak jarang murid-murid kelas I dan II SD masih belum bisa membaca sehingga untuk mereka, pelajaran baca tulis lebih diutamakan daripada pelajaran IPA.

Mengubah sudut pandang

Setelah melewati empat minggu penggemblengan, para calon pengajar ini kemudian datang ke sekolah-sekolah di sekitar Desa Pancawati untuk mengajar. ”Yang menarik, mereka datang kembali ke sekolah yang sama dengan cara pandang yang berbeda. Misalnya saja, mereka tidak lagi memfokuskan pada soal ’apa yang kurang di sekolah’, tetapi datang dengan semangat ’apa yang bisa kita bantu’,” kata Sjhahid.

Di minggu keenam, para pengajar muda ini dikelompokkan menjadi lima orang dan setiap kelompok wajib memegang satu sekolah selama satu minggu, dengan diawasi pengajar dari Universitas Negeri Jakarta. ”Setelah tujuh minggu, kemampuan berbicara saya berubah pesat, saya lebih percaya diri berbicara di depan forum. Tetapi yang paling membuat saya bahagia, begitu program mengajar satu minggu selesai, saya dikerubuti anak-anak, dan ada yang meluk saya sambil nangis. Wah itu hadiah yang spesial banget...,” tambah Nesia.

Siang itu, satu per satu pengajar muda membereskan kopernya dan menyeretnya ke beranda depan. Itu adalah hari terakhir mereka berada di wisma pelatihan. Bagi Adeline Magdalena Sutanto yang lulusan Geologi ITB, itu adalah ”dua bulan yang hebat”, karena ia berjuang bersama rekan-rekan yang punya mimpi tentang Indonesia yang lebih baik.

”Indonesia harus optimistis, masih ada teman-teman saya yang semuanya wow.... Orang-orang bisa berdebat tentang pendidikan di televisi, di koran, tetapi itu tak akan mengubah apa pun, karena gurulah yang paling berperan mengubah kualitas pendidikan,” kata perempuan yang ditempatkan di Desa Totolisi, Kecamatan Senggara, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, ini.

Sebagai warga keturunan, Adeline justru makin bersemangat. ”Dari kecil saya selalu memiliki pengalaman sebagai minoritas. Soal ini Pak Anies pernah bilang, biarlah kamu menjadi hal baru bagi mereka (murid-muridnya). Menurut saya, akan sangat mungkin mereka baru pertama kali melihat sosok putih bermata sipit di desanya. Semoga ini membuka pandangan mereka bahwa Indonesia itu penuh warna,” katanya.

Sumber: Kompas, Minggu, 30 Januari 2011

[Kehidupan] Indonesia Mengajar: Menebar Mimpi ke Pelosok Desa

-- Budi Suwarna

ANAK-ANAK muda itu memiliki hampir semua prasyarat untuk hidup nyaman dan sejahtera di kota. Namun, mereka memilih jadi guru di pelosok-pelosok dusun negeri ini. Inilah kisah kaum muda yang berkomitmen untuk mencerdaskan rakyat.

Sejumlah siswa SD belajar menggambar dan Bahasa Inggris di sebuah bukit di tengah hutan di Dusun Beroangin, Malunda, Majene, Sulawesi Barat, Selasa (18/1) sore. Meski fasilitas pendidikan minim, mereka tetap semangat belajar. (KOMPAS/BUDI SUWARNA)

Firman Budi Kurniawan (24) memindahkan gigi sepeda motornya ke gigi satu dan menarik gas dalam-dalam. Sepeda motor bebek itu pun melaju pelan meniti jalan setapak yang menanjak hampir 45 derajat.

Suara knalpot yang tadinya menyalak tiba-tiba mengedan. Rintangan pertama dengan susah payah bisa dilalui, selanjutnya sepeda motor itu meluncur bagai roller coaster di jalan penuh batu besar.

Kami tiba satu jam kemudian di sebuah dusun tanpa listrik di tengah hutan. Di antara pepohonan hutan, berdiri rumah-rumah panggung sederhana. Inilah Dusun Beroangin, Kecamatan Malunda, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, tempat Firman tinggal dan bertugas sebagai guru sejak dua bulan lalu.

Firman adalah sarjana Teknik Geofisika Institut Teknologi Bandung yang bersedia bergabung dalam Gerakan Indonesia Mengajar (GIM), sebuah gerakan nonpemerintah yang menantang para sarjana berprestasi mengabdi sebagai guru di daerah terpencil selama satu tahun.

Selain Firman, ada 50 sarjana berprestasi lainnya yang ditempatkan di pelosok dusun di Majene, Bengkalis (Riau), Tulang Bawang Barat (Lampung), Paser (Kalimantan Timur), dan Halmahera Selatan (Maluku Utara). Mereka disiapkan secara serius agar bisa hidup di daerah terpencil. Mereka juga dibekali teknik mengajar secara kreatif.

Erwin Puspitaningtyas Irjayanti (24), sarjana dari Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, ditempatkan di Passau. Dusun tanpa listrik itu menjorok 5 kilometer ke dalam hutan dari jalan poros Makassar-Mamuju. Rabu (19/1) malam, kami bertandang ke sana. Suasana hutan begitu meraja. Suara kera dan lolongan anjing liar terdengar bersahutan hingga tengah malam.

Meski demikian, Wiwin—begitu dia disapa—masih menikmati beberapa ”kemewahan”. Setidaknya, di kampung itu ada sinyal telepon dan genset milik warga. Ketika genset itu dinyalakan, Wiwin bisa menumpang mengisi baterai laptop dan telepon selulernya.

”Kemewahan” itu tidak dinikmati Agung Firmansyah (24) yang bertugas di Dusun Manyamba, Majene. Sekadar untuk menelepon atau mengisi baterai, Agung harus turun gunung sejauh 6 kilometer ke permukiman di pinggir pantai melalui jalan terjal.

Persoalan lain, tidak satu pun rumah di dusun itu yang memiliki fasilitas mandi, cuci, dan kakus. Alhasil, sarjana Ilmu Komputer Universitas Indonesia itu pun harus membiasakan diri bangun pada pagi buta untuk mandi di Sungai Manyamba, yang sampai awal tahun 1980-an masih dihuni buaya.

Dukun sakti

Kondisi alam hanya satu dari seabrek tantangan yang harus mereka taklukkan. Mereka juga harus menghadapi murid-murid yang tidak lancar membaca meski telah duduk di kelas III atau IV. Fasilitas sekolah juga amat minim.

Di tengah kondisi seperti itu, Firman mencoba membuat terobosan. Selasa (18/1) petang, ia mengajak muridnya di SD 33 Battutala mendaki bukit Beroangin yang curam. Di bukit itu, ia mengajar Bahasa Inggris. ”Matahari... sun, langit... sky,” kata Firman sambil menunjuk matahari dan langit yang memerah di ufuk barat.

Di kelas VI SD 27 Titibajo, Agung mengajar Matematika dengan menggunakan kartu remi sebagai alat bantu pelajaran berhitung. Pelajaran itu jadi terasa lebih mudah dan menyenangkan. Selain kartu remi, Agung kerap memanfaatkan benda-benda yang mudah ditemukan di sekitar dusun, seperti batu, pasir, kayu, sampai kompor sebagai alat peraga mata pelajaran IPA.

Tantangan lainnya, sebagian warga dusun menganggap para guru muda itu ”manusia super” yang bisa melakukan apa saja. Firman beberapa kali dimintai tolong untuk mengobati orang yang digigit anjing gila. Lain waktu, dia diminta membetulkan mesin diesel, bahkan memberi nama bayi yang baru lahir. ”Saya dikira dukun sakti, ha-ha-ha,” ujarnya.

Wiwin pernah diminta mencari cara efektif untuk mengusir babi hutan. ”Seumur-umur, baru kali ini mikirin bagaimana mengusir babi hutan,” ujarnya.

Membangun mimpi

Anak-anak muda itu sebenarnya memiliki hampir semua prasyarat untuk hidup mapan di kota besar. Mereka punya prestasi akademik yang baik, jaringan, karier, dan penghasilan sangat lumayan.

Wiwin, misalnya. Sebelumnya, ia adalah karyawan sebuah bank terkemuka. Penghasilannya per bulan belasan juta rupiah, bonus tahunan puluhan juta rupiah, dan punya kesempatan jalan-jalan ke luar negeri. Semua itu dia tinggalkan demi GIM.

Peserta GIM lainnya tidak kalah hebat. Sebagian ada yang bekerja di perusahaan multinasional atau telah mendapat beasiswa ke luar negeri. Lantas, mengapa mereka rela menanggalkan itu semua?

”Saya merasa, gerakan ini cocok dengan panggilan hati saya. Saya bercita-cita menjadi kaya raya agar bisa mendirikan sekolah buat orang tidak mampu. Sekarang belum kaya sudah bisa menolong,” ujar Wiwin.

Soleh Ahmad Nugraha, pengajar muda di Dusun Lombang, Malunda, melihat, program ini memungkinkan dia belajar dari kearifan orang desa. ”Ini (pendidikan) S-2 dari alam,” ujar sarjana Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran yang menanggalkan kariernya sebagai dosen demi GIM ini.

Agung ikut GIM karena ingin hidupnya bisa menginspirasi orang lain. ”Saya ingin membangkitkan mimpi tentang masa depan yang lebih baik kepada anak-anak di daerah terpencil,” katanya.

Penggagas GIM, Anies Baswedan, sepakat, mimpi untuk menjadi orang terdidik harus dibangkitkan hingga ke pelosok dusun yang keberadaannya sering kali diabaikan lantaran selama ini kita terlalu berorientasi ke kota.

”Mimpi itu penting. Ketika mereka punya mimpi jadi orang terdidik, mereka akan sekolah. Dan, kita sebagai orang terdidik punya tanggung jawab menularkan virus pengetahuan kepada mereka,” lanjutnya.

GIM memang belum banyak membuahkan hasil. Namun, setidaknya, kini, di sebuah dusun di tengah hutan Battutala, Aliman (32) bermimpi bisa menyekolahkan anak laki-lakinya hingga sarjana. ”Dia tidak boleh bodoh seperti saya,” katanya.

Sebuah mimpi yang indah....

Sumber: Kompas, Minggu, 30 Januari 2011

[Buku] Membaca Jejak Paus Teknologi Indonesia

Judul buku : Jejak Pemikiran B.J. Habibi; Peradaban Teknologi untuk Kemandirian Bangsa

Editor : Andi Makmur Makka

Cetakan : 1, 2010

Penerbit : Mizan Pustaka

Tebal : 350 Halaman

SEJAK B.J. Habibi dilantik sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi (1978), banyak terjadi perubahan fundamental pada kegiatan penelitian-penelitian di Indonesia. Penelitian diarahkannya agar lebih terfokus untuk menghasilkan teknologi yang diterapkan bagi pembangunan. Awal tahun 1983 lahir gagasan Habibie tentang konsep transformasi industri nasional. Gagasan ini muncul pertama pada ceramah umum di Bandung, yang kemudian resmi dipublikasikan pada 14 juni 1983 di Bonn, Jerman, dengan judul Beberapa pemikiran tentang strategi transformasi industri suatu negara sedang berkembang.

Habibie mambangun konsep transformasi industri dengan "mulai dari akhir dan berakhir di awal". Artinya, bahwa akhir berarti tahap akhir dari suatu proses penahapan secara evolutif pengembangan produk teknologi yang secara klasik telah ditempuh oleh industri negara-negara maju, proses mulai dari tahap awal berupa penelitian dasar sampai dengan tahap akhir berupa perakitan dan pemasaran produk. Jadi, konsep Habibie berupa proses transformasi teknologi nasional dimulai dari perakitan dan pemasaran produk untuk dan kembali untuk pengembangan dan inovasi produk industri.

Dalam transformasi ini, Habibie membuat tahapan yang disebut satuan mikro evolutif yang dipercepat atau micro accelerated evolution unit (MAEU). Ia sering menggelorakan pembaruan terhadap teknologi dengan slogannya, "Kita tidak bisa membuat sebuah penemuan ulang suatu teknologi yang sudah lama ditemukan bangsa lain, karena kita akan tertinggal."

Pemikiran dasar Habibie untuk membangun teknologi Indonesia, terwujud dalam empat tahap penting. Pertama, pemasaran produk dengan pemasaran jaringan produk support atau "purnajual" sampai jumlah tertentu yang memungkinkan memproduksi produk tersebut. Kedua, produksi dengan lisensi, dimulai dengan mengembangkan jaringan "pengendalian dan pengamanan mutu" atau quality control and quality assurance dengan penekanan biaya dan peningkatan kualitas produk.

Ketiga, pengembangan teknologi dengan memanfaatkan disiplin Ilmu Pengetahuan Terapan atau applied science yang tepat dan berguna untuk menciptakan produk baru. Keempat, melaksanakan riset dalam ilmu dasar dan ilmu terapan yang biasanya dilaksanakan di universitas atau lembaga penelitian atas beban pemerintah.

Karya nyata dari proses yang digambarkan Habibie tepat dan dapat dibuktikan dengan Proyek Pembangunan Industri Dirgantara IPTN dan Prasarananya di Puspiptek, ITB, dan IPTN. Proses tahap pertama dan kedua termanifestasi dalam CASA 212, CN-235. Tahap kedua, untuk N-250 dan N-2130. Tahap ketiga, dilaksanakan di IPTN untuk N-250 dan N-2130. Terakhir, dilaksanakan di IPTN, Puspiptek, BPPT, LIPI, ITB, dan sebagainya. Meskipun memakan waktu seperempat abad, karya nyata dapat diberikan Bangsa Indonesia dengan terbang perdananya N-250 pada 10 Agustus 1995.

Di antara pemikiran Habibie yang menonjol adalah gagasan link & match. Sebuah usaha menciptakan sinergi antara kurikulum pendidikan dan kebutuhan praktis dunia industri. Dari ide itu, ia berhasil menciptakan sinergi IPTN dengan ITB Bandung dalam teknologi Dirgantara, PT PAL Surabaya bersinergi dengan ITS Surabaya dalam bidang perkapalan dan kelautan. Institut dan Teknologi Indonesia (ITI) Serpong, bersinergi dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek). Semua ini adalah upaya agar lembaga penelitian dan perguruan tinggi sebagai mitra usaha, dapat mempercepat difusi kemajuan teknologi serta kemampuan inovasi.

Salah satu pasal dalam hidup Habibie, bahwa iptek pada gilirannya dapat selalu berada pada posisi strategis dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Habibie juga merealisasikan gagasan “kota berbasis ilmu pengetahuan atau science based city (SBC)” untuk meningkatkan kemitraan antara Puspiptek dengan lembaga iptek di luar Puspiptek. Begitu pula science based industrian park (SBIP), dirancang untuk meningkatkan kemitraan Puspiptek dengan sektor swasta (industri) guna mengatasi masalah industri dalam pengembangan inovasi.

Buku yang ditulis oleh seorang negarawan dan "paus" teknologi ini, merupakan hasil refleksi, kajian, serta gambaran mengenai potensi teknologi yang dapat digunakan bagi kemajuan, serta upaya kemandirian bangsa. Pembaca dapat lebih paham mengenai pemikiran serta kontribusi B.J. Habibie terhadap peradaban teknologi di Indonesia. Sesungguhnya teknologi mempunyai posisi dan peran yang strategis bagi suatu bangsa, apabila teknologi tersebut dimanfaatkan secara efektif dan efisien.

Poin penting yang ditekankan Habibie, ia ingin mengembangkan kekayaan Indonesia yang paling berharga, yaitu sumber daya manusia yang terbarukan. Untuk mengembangkan keterampilan SDM, mereka tidak cukup hanya disosialisasikan ke dalam proses-proses padat karya, tetepi juga harus diperkenalkan dengan proses-proses produksi yang berteknologi tinggi.

F. Hasan, Pegiat Pers Paradigma UIN Sunan Kalijaga

Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 Januari 2011

Pameran: Menggambarkan Jiwa Zaman

-- Putu Fajar Arcana

RUMUSAN tentang kecenderungan karya seni dalam periode tertentu bisa terjadi melewati dua hal. Bisa saja rumusan-rumusan itu berupa narasi yang dirancang sebagai strategi membaca zaman atau sebaliknya kecenderungan yang dirumuskan kemudian setelah karya-karya terlahir.

Pengunjung menyaksikan lukisan berjudul "Merapi" karya Rustamadji dalam pameran seni lukis Indonesia periode 1940-1960 di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (28/1). (KOMPAS/PRIYOMBODO)

Meski tidak berasal dari karya-karya terbaik para pelukisnya, pameran ”Koleksi Bentara Budaya Seni Lukis Indonesia Periode 1940-1960” setidaknya ingin menangkap semangat zaman itu. Pameran yang berlangsung 20-30 Januari 2011 itu menampilkan 42 karya yang dikerjakan oleh para pelukis, seperti Affandi, Agus Djaja, Basuki Abdullah, Basuki Resobowo, Rustamadji, Barli, Dullah, Hendra Gunawan, S Soedjojono, Sudarso, serta beberapa pelukis lainnya.

Sebagian dari para pelukis ini berasal dari perkumpulan Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) yang dicetuskan oleh S Soedjojono tahun 1937. Kelahiran Persagi inilah yang sampai sekarang dianggap sebagai momentum kelahiran seni lukis Indonesia modern, meskipun pendapat lain bersikukuh menganggap kelahiran Raden Saleh (1807-1880) lebih tepat dipakai sebagai pedoman untuk melihat bentangan seni lukis modern Indonesia.

Namun, satu hal yang terus-menerus dipegang sebagai acuan, kelahiran Persagi menandai perubahan cara pandang para seniman terhadap realitas. Kurator Bentara Budaya, Ipong Purnama Sidhi, mengutip S Soedjojono begini, ”Siapa pelopor seni lukis Indonesia? Saya jawab tegas, tak ada seorang pelukis yang dianggap sebagai perintis seni lukis Indonesia yang menggambarkan pahlawannya ditahan oleh musuh. Lagi pula sosok pahlawan yang digambarkan dengan cara anatomi yang pendek, dengan cara yang jelek.”

Kutipan itu jelas membersitkan betapa jiwa Persagi selaras dengan menggelegaknya semangat nasionalisme yang ingin melihat kenyataan berpihak kepada anak-anak negeri. Ipong bahkan melihat periode ini penuh dengan dinamika, hiruk-pikuk, dan para pelukis ingin mengungkapkan pengalaman hidup manusia secara apa adanya.

Romantisme

Periode sebelumnya, yang sampai sekarang kita belum berhasil menyusun gambaran yang lebih utuh, seni lukis Tanah Air diisi gambar-gambar naturalistis yang memandang realitas secara romantik. Raden Saleh, meski tidak lagi melukis pemandangan (ia banyak melukis potret), tetap dimasukkan sebagai seniman yang banyak dipengaruhi romantisme di dalam mengekspresikan karya-karyanya.

Kehadiran S Soedjono, Affandi, Hendra Gunawan, dan Basuki Abdullah, seolah melenyapkan seluruh kecenderungan membaca realitas sebelumnya. Kalau toh menggambar lanskap, Soedjojono meletakkan gambar-gambarnya sebagai realitas yang keras. Itu misalnya terdapat pada karyanya ”Bukit Gersang”.

Sementara Hendra Gunawan mengangkat kehidupan rakyat jelata sebagai hal yang karikatural. Misalnya terlihat pada karya yang berjudul ”Bakul Wayang” atau ”Topeng”. Affandi bahkan lebih ekstrem dalam berhadapan dengan realitas dan kanvasnya. Ia tidak saja memiliki cara ”unik” dengan pelototan-pelototan cat langsung dari tube yang kemudian disapu dengan jari-jarinya, tetapi juga memandang realitas sebagai hal yang penuh kekerasan.

Bahkan, ketika ia melukis ”Potret Diri” tampak benar bagaimana ia memandang dan kemudian menerjemahkan wajahnya sendiri ke atas kanvas. Goresan-goresan tangannya penuh tenaga dan sangat ekspresif. Berbeda sekali dengan Raden Saleh ketika menggambar potret para penguasa kolonial yang penuh dengan wibawa dan jumawa dengan tanda kepangkatan itu.

Pameran ini boleh dikata telah mencoba mengabarkan kepada kita bahwa kelahiran sebuah kesenian hampir selalu menjadi tanda dari semangat zamannya. Seni lukis tak sekadar kanvas yang digantung, tetapi juga menjadi artefak untuk membaca kecenderungan cara berpikir manusia pada suatu periode tertentu. Di situlah pameran koleksi ini menemukan pemaknaannya...

Sumber: Kompas, Minggu, 30 Januari 2011

Fotografi: Cerita Su Ai Ying

-- Ilham Khoiri

BETAPA segarnya gadis berusia belasan tahun itu. Kulit wajahnya kencang, bahkan agak merona. Rambut hitam-tebalnya dikepang dua. Senyum lebar memamerkan gigi-geliginya yang rapi.

Pameran fotografi "Memoar Orang-orang Singkawang" di Galeri Foto Jurnalistik Antara, Jakarta Pusat. (KOMPAS/PRIYOMBODO)

Kontras dengan kemudaan itu, ada wajah perempuan tua, mungkin berusia 70-an tahun. Kulit mukanya kendur dan keriput. Rambut menipis. Dua potret itu sama-sama merekam wajah Su Ai Ying, seorang perempuan berdarah China. Gambar pertama diambil saat dia masih gadis. Foto kedua dijepret ketika dia sudah tua.

Gadis Su masih menjadi warga negara Indonesia dan tinggal di Singkawang, kawasan pecinan di Kalimantan Barat. Tahun 1953, dia bersama banyak keluarga China lain harus hijrah ke negeri asalnya. Saat foto kedua dibuat akhir tahun 2010 lalu, perempuan itu sudah menjadi warga negara China.

Reproduksi foto lama Su Ai Ying saat gadis dan potret masa tuanya itu hasil karya John Suryaadmadja, seorang fotografer lepas (freelance). Ini salah satu karya menarik dalam pameran ”Memoar Orang-orang Singkawang” di Galeri Foto Jurnalistik Antara, Pasar Baru, Jakarta Pusat, 22-31 Januari. Pergelaran diikuti sejumlah fotografer, yakni John Suryaadmadja, Oscar Motuloh, Jay Subyakto, Yori Antar, Syaiful Boen, Enrico Soekarno, Astafarinal St. Rumah Gadang, dan Julian Sihombing. Mereka tergabung dalam Liga Merah Putih, kelompok forum fotografi nirlaba untuk kebudayaan terbuka Indonesia.

Pameran dibagi dalam dua ruangan. Satu ruangan diisi sekitar 42 foto karya John dan Syaiful saat mengunjungi warga asal Singkawang yang tinggal di pinggiran Guangdong, China, dan Hongkong, November 2010 lalu. Ruang lain dipenuhi karya semua fotografer yang membidik saat perayaan Cap Go Meh dan kehidupan warga keturunan China di Singkawang tahun 2009.

Apa menariknya pameran ini? Coba kita kembali pada kisah Su Ai Ying tadi. Dua potretnya, baik saat gadis maupun saat tua, menandai dua babak penting dalam sejarah hidupnya. Di antara dua babak itu, terbentang drama yang panjang.

Drama itu terekam dengan baik lewat foto-foto lama koleksi Su—yang juga dipajang melengkapi dua potretnya. Ada foto kapal laut yang melayarkannya dari Singkawang menuju China, foto saat dia menikah, ketika mengunjungi Beijing, juga foto kupon-kupon kebutuhan pokok di China pada masa Revolusi Kebudayaan.

Semua itu mengisahkan betapa Su menempatkan penggalan kehidupannya sebagai warga negara Indonesia di Singkawang sebagai sejarah penting. Kenangan itu disimpan baik. Begitu pula ketika dia harus pulang kembali ke China tahun 1953 karena alasan-alasan politik di negeri ini.

Kembali ke China tak serta- merta memberi dia kehidupan nyaman. China di bawah rezim komunisme Mao Zedong kala itu tengah menerapkan politik tertutup yang mencengkeram semua sendi kehidupan warga. Nasib orang-orang pelarian dari Singkawang itu juga tergantung pada negara, bahkan kebutuhan sehari-hari harus ditentukan oleh bermacam kupon.

Selaras dengan kisah Su Ai Ying, manis-pahit-getir kehidupan juga terbaca dari foto-foto warga China asal Singkawang lain yang kini menetap di China dan Hongkong. Ada Tsu Suk Fa (81 tahun), perempuan yang hidup sendiri di Lufeng. Sie Mei Cay yang masih fasih berbahasa Indonesia. Hong Nan Zong (93) yang membangun Stadion Kridasana di Singkawang dan pulang ke China tahun 1956.

Semua itu adalah narasi kecil dari pengalaman orang per orang. Namun, ketika dijejerkan bersama, terajutlah narasi besar tentang bagaimana rumitnya membangun masyarakat dari berbagai etnis. Warga China yang sudah menetap selama beberapa generasi di Singkawang terpaksa hengkang pada dekade 1950 dan 1960-an karena masalah politik.

Begitu tiba di negeri asalnya, mereka harus berjibaku lagi untuk membangun kehidupan baru, sebagian dari nol. Meski minim penjelasan (dan ini menjadi kekurangan utama pameran ini), foto-foto John Suryaadmadja dan Syaiful Boen bicara cukup kuat soal itu.

Kebhinekaan

Di ruangan lain, foto-foto perayaan Cap Go Meh dan kehidupan warga keturunan China di Singkawang menyodorkan kehidupan lebih riang. Dengan ceria, warga menikmati kebebasan menghidupkan kembali tradisi China. Berbagai bentuk seni yang berakar dari Negeri Tirai Bambu leluasa bersanding dengan tradisi etnis lain.

Singkawang yang berada di Pulau Kalimantan itu menjelma bak sebuah kota di China. Ada lampion besar yang berdiri gagah di tengah kota. Kelenteng dengan jurai atap melengkung. Konvoi para tatung berbalut busana gemerlap. Tentu saja, terpampang wajah-wajah berkulit kuning langsat dan bermata sipit yang bebas berekspresi.

Lebih dari itu, sebagian foto bisa mengabadikan spirit kebhinekaan yang membumi. Salah satunya, foto Oscar Motuloh berjudul ”Bhineka Indonesia”, tergambar ada puluhan lampion berwarna merah menyala yang tergantung di dekat kubah dan menara masjid. Indah sekali bukan?

Pameran ini menjadi penting karena bisa memotret harapan akan tumbuhnya masyarakat yang majemuk, beragam, dan toleran di Nusantara. Proses demokratisasi pasca-Reformasi 1998, terutama setelah Presiden KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, mendorong politik keterbukaan terus berjalan. Pengotakngotakan masyarakat berdasar suku, agama, ras, dan antargolongan atau SARA ala rezim Orde Baru sudah diterabas.

Semoga semangat kebersamaan dan saling menghargai ini tak berhenti sebagai foto kenangan, melainkan terus mengalir dalam denyut kehidupan nyata sehari-hari bangsa Indonesia.

Sumber: Kompas, Minggu, 30 Januari 2011

Cerita-cerita tentang Kita (Pembacaan Kumcer Bulan Celurit Api)

-- Ita Siregar

APA yang akan terjadi ketika kita menceritakan cerita kita, tetangga kita, kampung kita? Mungkin kita akan saling mengenal dengan baik.

Tony Pollard, penulis asal Australia, menuturkan kegentarannya –-meski dia telah melakukan dengan baik– ketika menerjemahkan cerpen “Batubujang” karya Benny Arnas ke bahasa Inggris. Cerpen itu termasuk dalam antologi dua bahasa bersama 12 pengarang Indonesia yang diundang ke acara UWRF (Ubud Writers and Readers Festival) di Ubud, Oktober lalu.

Medy Lukito, penyair yang pernah diundang ke International Writing Program di Universitas Iowa Amerika Serikat tahun 2001, menuturkan pengalaman seorang penulis dari satu negara (saya lupa namanya) yang hati-hati dalam “menerjemahkan” bahasa puisi dari satu budaya negara tertentu ke bahasa lain sesuai budayanya. Artinya, memindahkan satu cerita budaya dengan cara bercerita budaya lain. Misalnya, letusan senapan Barat berbunyi bang, bang, bang!, bila diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi dor, dor, dor!

Cok Sawitri, penyair Bali, menyatakan kegembiraannya menemukan seorang gadis asli Papua mau mengikuti latihan menulis. Dia memberi semangat kepada si gadis untuk menulis tentang dirinya, keluarga, teman-teman, tanah kelahirannya, dari perspektif dan pengalamannya sendiri. Pertama gadis bersemangat tetapi kemudian dia mendatangi Cok dan berkata, “Bu, saya tidak ingin meneruskan menulis. Saya ingin berlatih tinju saja.”

Apa kaitannya ketiga cerita di atas dengan kumpulan cerita ini?

Identitas Tokoh

Bahasa menunjukkan identitas. Saya tidak bisa selintas membaca kumpulan cerita dalam buku ini, karena terhalang aksen, pilihan diksi yang tidak biasa buat saya, istilah-istilah cakap Melayu, yang memaksa saya membuka kamus dan tergeli-geli karena ingat bacaan semasa sekolah dasar dulu. Bahwa ternyata tidak mudah menjadi orang desa. Mereka mempunyai masalah sendiri yang hanya bisa didekati dengan cara tersendiri pula.

Ketika mendiskusikan novel 9 dari Nadira karya Leila S. Chudori, Agus Noor memaparkan apakah tokoh Nadira dapat mewakili karakter manusia (perempuan) Indonesia modern dengan beragam atribut yang menempel pada dirinya dalam cerita? Sebuah isyarat yang mengatakan bahwa seorang pengarang seyogyanya bertanggung jawab dalam menggambarkan karakter-karakter tokoh yang mewakili manusia-manusia dalam dunia nyata.

Lalu, apakah kegelisahan tokoh Mak Muna dalam cerpen “Bulan Celurit Api” mewakili kekhawatiran orang-orang tua desa ketika melihat anak-anak muda mereka mulai menamai bayi-bayi mereka dengan nama-nama asing seperti di sinetron-sinetron? Fakta bahwa sajian media televisi menghibur dan mengedukasi masyarakat desa sekaligus mengubah keseharian dan melupakan kebiasaan sembahyang di masjid.

Dalam cerita “Perkawinan Tanpa Kelamin”, pengarang mengungkap cara anggota warga desa yang mempunyai kelainan orientasi seks. Mereka setengah mati mengatasi keinginan yang meletup-letup di dalam diri dengan cara yang tidak berbenturan dengan nilai-nilai masyarakat desa. Karakter manusia desa digambarkan di buku ini adalah masyarakat yang memelihara adat keluarga dan tradisi agama, cepat menjadi hakim atas tindakan buruk orang lain, bukan karena senang mengurus urusan pribadi orang lain atau kurang hiburan tetapi lagi-lagi soal budaya.

“Malam Rajam”, cerpen surealis yang sarat ketegangan, berbicara bahwa di tengah masyarakat yang belum menerima arti kesetaraan dalam urusan pribadi dan cinta, mempunyai cara sendiri untuk membalas dendam. Dengan memanfaatkan tokoh aku perempuan, pengarang membentangkan nilai-nilai normatif desa, bahwa kejahatan apa pun bentuknya, akan selalu mendapat ganjaran setimpal. Dengan cara yang diluar pikiran manusia sekali pun.

Bahasa dan Cerita Sendiri

Dalam satu masa beberapa tahun lalu, penyair asal Batam mulai mempesona orang-orang ibukota dengan sejuta puisinya yang tak berhenti mengalir, hingga seorang bertanya, “Kapan pindah ke Jakarta?” Menanggapi itu seorang wartawan dengan cepat menjawab, “Jangan pindah. Biar rasa daerah itu tetap terjaga dan memberi rasa yang tepat.”

Salah satu keistimewaan buku yang mengusung cerita-cerita lokal ini adalah karena ditulis oleh pengarang yang tinggal dan bergumul dengan masyakarat desa dan menjadi saksi mata pertama. Rasa ini akan tampak dari keluwesan menceritakan, menggunakan bahasa ungkap, dan memanfaatkan nilai-nilai yang hendak dibawa dalam cerita. Maka tersajilah rasa yang tak biasa karena khasanah aksen, langgam bahasa, atmosfer desa, karakter-karakter manusia yang unik. Semua cerita ini untuk diterima bukan untuk dipermasalahkan, bagaimana seharusnya.

Saya kira cerita-cerita seperti inilah yang dinantikan dari seluruh penjuru tanah air. Cerita tentang kita. Bukan cerita rekayasa lalu mendramatisir habis-habisan. Berhentilah mencari cerita, kembali ke akar kita sendiri, cerita di sekitar kita.

Akhirnya, selamat berkelana dalam cerita-cerita yang menarik ini. Bila nanti berkesempatan mengunjungi Sumatera Selatan, Anda sedikitnya tahu cerita mereka dan bagaimana untuk bertahan hidup di sana. Bahwa cerita tidak untuk didakwa salah benar atau diwakilkan oleh orang lain. Cerita itu kepunyaan cerita itu sendiri dan yang si empunya ceritalah yang paling cocok menceritakannya.

Ita Siregar, penikmat sastra, mantan wartawati sebuah majalah wanita. Tinggal di Jakarta.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 30 Januari 2011

Sagang dan Eksistensi Kerja Budaya

Catatan Rida K Liamsi

KETIKA menerbitkan Majalah Sagang 10 tahun lalu, saya menyadari bahwa penerbitan ini bukan penerbitan komersial. Ini lebih bersifat komitmen Riau Pos di mana saya berada ingin ada yang memperhatikan tentang pengembangan kebuadayaan, khususnya sastra, dalam bentuk publikasi yang lebih teratur. Meskipun di Riau Pos waktu itu sudah ada halaman budaya, tiap minggu sekali, satu atau dua halaman, tapi sebuah majalah yang serius dan ditangani secara sungguh-sungguh, terutama kualitas isinya, tetap diperlukan.

Tidak cukup hanya ada sebuah Majalah Horison di Jakarta, tapi di Riau, di pusat kebudayaan dan kesusasteraan Melayu ini, harus tetap ada sebuah majalah yang setara dan sekelas Horison itu. Maka wujudlah Majalah Sastra dan Budaya Sagang itu, yang diterbitkan oleh Yayasan Budaya Sagang yang sudah lebih dahulu ada. Kebetulan ketika itu sedang terjadi reformasi dunia pers, maka SIUPP Majalah Sagang hanya hitungan bulan sudah keluar dan Sagang terbit sebagai produk media khusus.

Jika majalah itu tetap bertahan sampai sekarang, meski ada kalanya nomornya rangkap, atau telat, tapi oleh tim redaksinya di bawah komando Hasan Junus, tetap terus dipetahankan kelangsungannya. Sekali lagi adalah semata-mata didukung oleh komitmen Riau Pos sebagai salah satu perusahaan media yang menjadi penyangga perbangunan kebudayaan itu. Secara komersial, memang sangat sulit. Bahkan penyebarannya pun hampir tak terurus. Di gudang bertumpuk-tumpuk hasil cetak yang tidak tersebar. Suatu ketika ada program Hibah Sejuta Buku, maka Majalah Sagang yang tersisa itu dapat dikirim ke berbagai daerah, ke perpustakaan desa/kecamatan, dll. Juga ada yang berhasil dijilid dan dijadikan dekumentasi, dan arsip lainnya.

Kelemahan dalam penyebaran itu, meskipun hampir-hampir gratis itu, membuat gaung Sagang tidak begitu terasa dalam belantara sastra dan budaya Indonesia, dan bahkan di Riau. Pikiran itulah yang kemudian mendorong Armawi KH (yang sekarang jadi pemimpin umum/penanggung jawab ) majalah itu mencari cara bagaimana agar Sagang tetap eksis, mudah didapat, dan tidak terlalu membebani biaya, baik oleh Riau Pos, maupun para pembaca yang suka sastra dan budaya.

Maka kini, Sagang punya tiga versi: versi majalah yang dicetak di kertas HVS yang baik, cover yang berwarna dan tajam, tapi terbatas. Yang memerlukan dalam jumlah besar bisa memesannya. Lalu ada versi CD. Yang tak mau baca pakai bahan kertas, bisa baca di laptop-nya, dan media lain. Lalu ada versi online-nya, sialakan klik di http://majalahsagang.com dan www.sagangonline.com. Versi ini sudah agak lama ada di bawah kendali Fedli Azis, wartawan Riau Pos yang juga seniman itu. Dan bisa juga diakses melalui blog saya: www.erdeka.com.

Yang paling bersejarah dari Majalah Sagang ini adalah kerja keras Hasan Junus sebagai pemimpin redaksinya bersama Zuarman Ahmad, Dantje S Moeis, dan beberapa teman lainnya memelihara semangat dan pengawalan kualitasnya. “Dari sinilah mengalir sastra dunia”, itu kata-kata yang dititipkan Henri Chambert-Loir, budayawan asal Prancis yang sempat berkunjung ke Kantor Majalah Sagang yang kecil dan sempit itu. Hasan dan teman-teman berhasil menjadikan majalah ini bahagian dari sastra dunia, meski baru terbaca dan diakses para peminat secara terbatas. Tapi Sagang sudah melakukan sesuatu, mewariskan sesuatu, yang sewaktu-waktu menjadi bahan rujukan, menjadi referensi, dan sekali-sekali menjadi bahan skripsi para mahasiswa dari berbagai universitas.

Ini, mengutip kata budayawan Amarzan Lubis (juga wartawan majalah TEMPO) adalah sebuah tindakan kebudayaan. Sebuah kerja, sebuah kesetiaan, sebuah sumbangan. Betapapun kecilnya. Keep Spirit Sagang!

Sumber: Riau Pos, Minggu, 30 Januari 2011

Paradigma Baru Majalah Sagang

TEROBOSAN baru dilakukan Majalah Budaya Sagang. Memasuki usia tahun ke-13, Sagang melakukan terobosan dalam beberapa hal. Yang pertama adalah perubahan desain sampul dan isi, yang sudah dilakukan sejak edisi Oktober 2010 (N0 147). Ada perbedaan signifikan dibanding edisi-edisi sebelumnya dalam hal tata letak, termasuk pemilihan font (jenis huruf). Jika sebelumnya memakai huruf tradisional dan standar, yakni Time News Roman, kini huruf Georgia yang dipakai. Jenis huruf ini belakangan menjadi salah satu pilihan banyak penerbit karena terkesan lebih “jantan” namun lentur dengan spesifikasi pada penulisan bentuk angka (1, 2, 3 dan seterusnya). Baik body text maupun judul.

Kemudian, dari sisi tata letak (layout) juga terjadi perubahan (perbaikan) yang lumayan. Jika selama ini cenderung konvensional, Sagang mulai berani bermain dengan tata letak dan tidak terpaku pada satu ide yang sama. Terobosan dari sisi ini paling tidak telah memperlihatkan bahwa Sagang ingin terus melakukan perbaikan, baik dari sisi konten (isi) maupun penampilan.

Yang paling revolusioner adalah perubahan dari sisi distribusi. Selama ini, Sagang didistribusikan ke toko buku atau pengecer majalah dan koran di hampir semua daerah di Riau. Sistem distribusi seperti ini ternyata kurang menarik minat para peminat sastra dan budaya, baik itu budayawan atau sastrawan sendiri. Tidak jelas apakah ini persoalan majalah ini kurang menarik bagi pembacanya, atau karena mereka yang selama ini berkutat dalam kebudayaan dan kesusasteraan tak peduli.

Maka, kini sistem distribusinya diubah total. Menurut Pemimpin Umum Sagang, Armawi KH, sejak Edisi 148 Januari 2011 ini, edisi hard copy (dalam bentuk majalah) dicetak terbatas. Antara 50 hingga 100 eksemplar saja. Jumlah itu dikirim kepada para penulis dan orang-orang yang memang memerlukan hard copy untuk berbagai kepentingannya.

Masyarakat nanti bisa mengakses edisi virtualnya dalam bentuk E-Magazine di website dengan alamat http://majalahsagang.com. Selain itu, pihak distribusi juga sedang mengumpulkan e-mail sekolah-sekolah yang ada di Riau untuk dikirim edisi virtual ini dan diberikan secara gratis. Masyarakat yang ingin mendapatkannya melalui e-mail dan cakram (CD), bisa menghubungi redaksi.

Model distribusi seperti ini, jelas Armawi, adalah untuk memudahkan masyarakat mendapatkan Sagang. Artinya, majalan ini akan sampai kepada pembaca yang benar-benar menginginkannya dan memerlukan bacaan budaya ini.

“Dari awal, sebenarnya penerbitan Majalah Sagang bukan untuk mencari laba. Jika untuk mendapatkan keuntungan, bukan majalah budaya yang kami buat. Ini adalah bentuk kepedulian dan tanggung jawab kami terhadap kebudayaan dan sastra di daerah ini,” jelas Armawi.

Dengan cara ini, siapapun bisa membaca Sagang dengan mudah dan cepat, di manapun berada. Jika selama ini edisi hard copy-nya hanya bisa didapat di Riau, maka mereka yang berada di Jawa dan bagian lainnya di Indonesia, atau luar negeri seperti Singapura, Malaysia dan sebagainya, bisa mengaksesnya di website atau lewat e-mail. “Bagi kami yang penting isi majalah ini sampai ke pembacanya dengan cara yang mudah,” jelas Armawi lagi.

Meski akan dinikmati pembaca secara gratis, bukan berarti pengelolaan majalah budaya terlama yang terbit di Riau ini tidak serius. Justru Sagang akan dikelola dengan serius dengan konten yang lebih berkualitas. Beberapa wartawan Riau Pos Grup yang selama ini tunak dalam ranah kebudayaan juga ikut mengelola Sagang. Sebelum ini, nyaris hanya begawan sastra Riau, Hasan Junus (pemimpin redaksi), yang dibantu oleh Zuarman Ahmad dan Dantje S Moes yang mengelola redaksinya. Kini, selain Armawi KH, beberapa sastrawan/budayawan seperti Sutrianto, Kazzaini Ks, Murparsaulian dan Fedli Azis juga ikut bekerja keras untuk memperbaiki konten.

“Kami malah lebih serius mengelolanya. Bukan berarti sebelum ini kurang serius,” ungkap Zuarman Ahmad yang kini menjadi wakil pemimpin redaksi.

Di luar itu, Sagang juga menjadi pendukung iven sastra Asia, yakni ASEAN-Korea Poets Literature Festival yang akhir 2011 ini akan diadakan di Pekanbaru. Tahun 2010 lalu, penyelenggaraan pertama dilakukan di Korea Selatan. Helatan ini dibawa ke Riau atas prakarsa perintis Sagang, Rida K Liamsi, yang bersama sastrawan Nirwan Dewanto diundang ke Korea Selatan, November 2010 lalu.

Untuk itu, di setiap edisinya nanti, Sagang akan memuat puisi-puisi penyair dari berbagai negara ASEAN dan Korea Selatan yang selain akan dimuat dalam versi bahasa aslinya, juga dalam bahasa Inggris dan terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia. Di Edisi Januari 2011 ini, Sagang telah memuat puisi-puisi Mai Van Phan (Vietnam) dan Muhammad Haji Saleh (Malaysia), dua penyair ASEAN yang juga diundang ke ASEAN-Korea Poets Literature Festival pertama di Korea Selatan.

Armawi berharap, perubahan-perubahan yang dilakukan ini selain semakin memudahkan pembaca untuk mendapatkan Majalah Sagang, juga menjadi pelecut untuk terus memperbaiki isi dan tampilan.(hary b kori’un)


Sumber: Riau Pos, Minggu, 30 Januari 2011

Saturday, January 29, 2011

[Teroka] Kebaharian Nusantara, Kebaharian Kita

-- Munawir Aziz

NUSANTARA atau Indonesia, bagi rakyat yang berdiam dan merasa memilikinya, hadir secara imajiner berkaitan dengan realitas dan dasar eksistensialnya pada masa silam, masa kini, dan tentu proyeksinya di masa depan. Namun, ia bukan hanya sekadar metamorfosa imajis atau dalam ungkapan Ben Anderson, imagined community dari masyarakat yang ada di dalamnya. Nusantara juga sebuah fakta, sebuah realitas konkret, yang pada masa lalu ditandai kuat—antara lain—oleh keberadaannya yang tangguh dan mendunia sebagai negeri atau bangsa bahari.

Namun dengan berbagai sebab, yang kebanyakan tidak disadari oleh kita sendiri, realitas masa lalu itu kini seperti punah. Ungkapan ”nenek moyangku seorang pelaut”, kini bukan lagi sebuah ekspresi eksistensial, tetapi seakan jadi seruan dengan jarak historis, kultural, dan eksistensial yang hampir juga tak terjembatani.

Identitas sebagai negara maritim telah lenyap tak berbekas, berganti dengan kekuasaan berbasis kekuatan darat, dengan pertanian dan perkebunan sebagai tumpuan. Sementara di laut kita hanya tertegun menyaksikan nelayan Indonesia dan patroli aparatnya bertekuk lutut di hadapan kekuatan negeri lain.

Padahal, jejak kuasa Indonesia sebagai negeri maritim— yang mengandalkan kekuatan laut sebagai perisai utama—terlacak dari pelbagai sumber yang memberi gambaran nyata.

Arysio Santos (2009) yang melacak jejak negeri Atlantis—merujuk dari teks Plato—meyakini Indonesia adalah negeri mitologis itu, di mana peradaban tinggi, teknologi maju, hingga sumber daya manusia unggul menjadi ciri kemajuan kebudayaan maritimnya.

Imaji Nusantara

Riset Santos mencoba membuka singkap misteri konsep negeri Atlantis yang sering dinukil Plato dalam beberapa risalahnya, terutama Republic.

Penjelasan Santos tentang Indonesia sebagai Atlantis menghadirkan banyak fakta tentang potensi kekuatan laut yang dilupakan manusia Indonesia. Begitupun Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya, Arus Balik, menulis tentang pengaruh kekuatan armada laut Nusantara di hadapan kapal-kapal kolonialis asing.

Bernard HM Vlekke (1961) menggambarkan keunggulan angkatan perang laut Nusantara, seperti Sriwijaya dan Majapahit, saat berhadapan dengan kekuatan-kekuatan laut dari negeri-negeri luar.

Robert Dick-Read di sisi lain melacak jejak armada laut Nusantara bahkan hingga Madagaskar. Dalam karya The Phantom Voyagers: Evidence of Indonesian Settlement in Africa in Ancient Times (2005), Dick-Read melakukan riset mendalam tentang jejak peradaban bahari nenek moyang manusia Indonesia.

Data arkeologis dan historis yang menjadi catatan Dick-Read: di perairan sekitar Kalimantan dan di selat antara Singapura dan Sumatera terdapat sejumlah besar orang laut, alias suku bangsa yang hidup dan kulturnya sangat dekat dengan laut, seperti orang Tambus, orang Mantang, orang Barok, orang Galang, orang Sekanak, orang Posik, orang Moro, dan orang Sogi.

Dick-Read menulis, di antara Sulawesi dan Mindanao, terdapat suku Somal yang gemar berperang yang memiliki perahu jenis kora-kora. Pada 1847, kapal uap Inggris, Nemesis, berjumpa dengan armada yang terdiri dari 40-60 kapal perompak berjenis itu. Kapal tersebut digambarkan memiliki panjang 24, 384 meter dengan awak berjumlah 80 orang, sedangkan yang lain memiliki panjang sekitar 21,336 meter, lebar 3,657 meter, dengan awak hingga 40 orang. Kemudian, terdapat orang Bajo yang terkenal, yang sangat mungkin menjadi angkatan laut Sriwijaya.

Kekuatan bahari

Riset Dick-Read di atas menunjukkan secara faktual-historis bagaimana manusia Indonesia pada masa lalu membangun kekuatan, negara, dan kebudayaannya berdasarkan pada kemampuannya menguasai lautan. Namun entah kenapa, potensi luar biasa itu seolah terlupakan.

Sebuah usaha atau perjuangan baru perlu dilakukan untuk mengenal dan mengidentifikasi kembali kekuatan dan kelebihan-kelebihan yang sesungguhnya dimiliki oleh ”nenek moyangku seorang pelaut” itu.

Konflik kepentingan mungkin saja terjadi. Namun, itu tak perlu dikhawatirkan bila kita mampu memilin konflik tersebut menjadi semacam dialektika positif dan konstruktif yang mengintegrasikan kedua kekuatan peradaban itu: darat dan laut. Jika dapat itu terjadi, siapa bisa menghalangi bangsa ini untuk maju? Untuk menjadi kekuatan dunia baru? Tak ada. Kecuali kepicikan diri sendiri.

Munawir Aziz
, Peneliti di CRCS; Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Sumber: Kompas, Sabtu, 29 Januari 2011

Kreasi: "Crop Circle", Karya Seni di Ladang

-- Yuni Ikawati

PENEMUAN crop circle di persawahan di Sleman dan Bantul baru-baru ini menggegerkan masyarakat. Fenomena baru di Indonesia ini menimbulkan banyak spekulasi. Namun, penyelidikan tim Lapan membuktikan itu hanyalah kreasi manusia. Nyatanya sebagian besar crop circle yang ditemukan di banyak negara adalah salah wujud karya seni lingkungan.

Kemunculan crop circle, yaitu pola lingkaran yang dibentuk di ladang pertanian, seperti padi, gandum dan jagung, tujuannya untuk menghasilkan gambar seni dalam ukuran raksasa. Sebagian besar gambar yang diciptakan berbentuk lingkaran sesuai namanya.

Belum diketahui awal munculnya fenomena ini. Namun, pola lingkaran di ladang, disebut sebagai ”Mowing Devil”, muncul pada ukiran kayu dari Hertfordshire, Inggris, pada tahun 1678.

Pada akhir abad lalu, temuan crop circle meningkat, yaitu sejak 1970 berdasarkan laporan dari 26 negara. Lou Greub, pakar agronomi dari Universitas Wisconsin Amerika Serikat, seperti diberitakan oleh LA Crosse Tribune edisi 13 Januari 2011, mengatakan, ditemukan sekitar 10.000 crop circle di seluruh dunia sejak 1980, 80 persen diantaranya berada di Inggris. Tim investigator yang dipimpin Barbara Lamb menemukan delapan formasi crop circle di Inggris yang dibentuk dalam waktu 12 jam hingga dua minggu.

Menurut Greub, crop circle di Inggris biasanya dibuat malam hari. Saksi mata melaporkan melihat cahaya terang atau bola cahaya di ladang, tempat formasi itu ditemukan esok harinya.

Crop circle di Inggris dibentuk dengan metode tertentu, yaitu mengikatkan tali pada papan dan kemudian memutarkannya pada sebuah tiang yang dijadikan pusat putaran, hingga terbentuk pola lingkaran.

Dua pria asal Inggris, Doug Bower dan Dave Chorley, mengungkapkan, pada 1991, mereka membuat banyak crop circle sejak 1978 dengan cara tersebut.

Belakangan ini terbentuk kelompok Circlemakers dan diadakan kompetisi pembuatan crop circle pada 11-12 Juli 1992 di Berkshire, Inggris. Pembuatan crop circle dimenangkan oleh tiga insinyur dari Westland Helicopters menggunakan tambang, pipa PVC, dan tangga.

Keindahan karya seni ini menjadi obyek yang menarik untuk dinikmati. Karena itu, fenomena ini kemudian menimbulkan bisnis baru bagi para petani pemilik ladang di Inggris, yang memasang tarif bagi para pengunjung.

Seni tanbo

Seni gambar di ladang ternyata bukan hanya berkembang di Benua Eropa. Dengan teknik lain, bangsa Jepang pun menggunakan ladang untuk ”melukis”, disebut tanbo.

Tanbo merupakan karya seni bangsa Jepang yang menggunakan hamparan persawahan sebagai media dan menggunakan berbagai jenis padi untuk mewarnainya hingga tercipta gambar raksasa.

Pada tahun 1993, penduduk di Inakadate, Perfektur Aomori—di bagian utara Pulau Honshu—menggunakan daerah persawahan sebagai kanvas dan empat jenis padi, baik yang tradisional maupun strain baru untuk menghasilkan gambar raksasa di ladang tersebut.

Untuk melihat gambar secara utuh, mereka membangun menara setinggi 22 meter di kantor desa itu. Pada tahun 2006, lebih dari 200.000 orang telah mengunjungi desa itu untuk melihat karya seni penduduk di Inakadate.

Pada sembilan tahun pertama, para petani menciptakan gambar yang sederhana, seperti Gunung Iwaki sebelum kemudian mendesain gambar yang lebih rumit. Mengikuti langkah Inakadate, penduduk desa lainnya antara lain Yonezawa di Perfektur Yamagata, yang berada di selatannya.

Berbagai spekulasi

Crop circle dapat terbentuk akibat fenomena meteorologi. Begitulah pendapat John Rand Capron pada tahun 1880, yang dipublikasi majalah ilmiah Nature. Ia menyimpulkan fenomena bentuk melingkar di ladang pertanian yang ditemukannya di bagian barat Surrey, Inggris, adalah dampak badai.

Sementara itu, juga muncul dugaan crop circle merupakan tanda adanya kekuatan paranormal. Hal itu dikaitkan dengan terbentuknya banyak crop circle dekat dengan situs purba, seperti Stonehenge, Barrows, dan Chalk Horses.

Pada tahun 2009, BBC melaporkan pendapat yang menyatakan bahwa hewan kanguru menjadi penyebab utama terbentuknya crop circle di Tasmania, Australia. Gerombolan hewan itu memakan tanaman sambil bergerak dalam bentuk melingkar.

Lalu ada temuan crop circle di Inggris yang masih misterius. Karena pola lingkaran itu mengandung isotop radioaktif (vanadium, europium, telurium dan terbium) yang meluruh dari tanah dalam waktu empat jam. Tanah di lokasi itu mengemisi sinar alfa dua kali lipat dibandingkan normalnya dan emisi beta meningkat 50 persen dan radioaktivitas tanah meningkat hingga tiga kali.

Dari tiga kejadian itu, memang menghasilkan bentuk lingkaran di ladang. Bentuk artistik jelas merupakan hasil kreasi tangan manusia.

Sumber: Kompas, Sabtu, 29 Januari 2011

Orang Miskin...!

-- Andi Suruji

BERBAGAI kalangan, terutama pemerintah dan organ-organnya, pada pengujung tahun lalu, menatap tahun 2011 dengan cerah, optimistis. Begitulah prediksi atau analisisnya. Terutama menyangkut perekonomian. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan masih berlanjut, bahkan bisa mencapai angka yang lebih tinggi dibandingkan dengan pencapaian tahun 2010.

Kita lantas bagai ”terhipnotis” dengan angka- angka yang disodorkan itu. Namun, kita pun bertanya, bagaimana bisa mencapainya. Lalu secara kritis kita juga menggugat, apalah arti angka-angka semacam itu?

Sejatinya, pertumbuhan ekonomi bukanlah semata-mata soal peningkatan angka total output perekonomian nasional. Jauh lebih substansial adalah bagaimana tingkat pengangguran bisa ditekan secara signifikan dan kemiskinan diturunkan secara dramatis.

Pengangguran dan kemiskinan pasti ada di mana pun. Di Indonesia, secara kuantitatif bisa jadi pengangguran dan kemiskinan terus menurun, sesuai dengan versi pemerintah. Akan tetapi, ketika kita lebih cermat mengamati sekeliling, mungkin cerita di kepala kita mengatakan lain.

Di setiap sudut jalan, misalnya, sangat mudah kita temukan orang-orang usia produktif bergerombol bersama sepeda motor mereka. Mereka itu adalah para tukang ojek. Ya, ngojek itulah pekerjaan yang paling mudah dimasuki setiap orang untuk mendapatkan uang. Hanya bermodal uang muka Rp 300.000, semua orang sudah bisa memiliki sebuah sepeda motor untuk menjadi tukang ojek.

Jika sekiranya ada lapangan pekerjaan yang lebih baik, tentu mereka tidak memilih ngojek dengan hasil yang tidak seberapa. Dan, tidak menentu pula. Kemiskinanlah yang menyeret mereka ke sudut-sudut jalan kota-kota besar itu.

Di pedesaan, yang berbasis pertanian, ceritanya lain lagi. Masyarakat menghadapi kenyataan sulitnya mencari nafkah untuk hidup sehari-hari. Masyarakat terimpit beban hidup yang sangat berat karena daya beli mereka tertekan pada titik terendah.

Tragedi tiwul beracun yang menewaskan enam warga Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, tak bisa dikatakan bukan akibat kemiskinan dan rendahnya daya beli. Harian ini pada awal tahun memberitakan, menghadapi kesulitan ekonomi yang masif akibat kenaikan harga bahan pokok, masyarakat menyiasatinya dengan berutang atau mengurangi makan, bahkan ada yang akhirnya mengambil jalan pintas dengan bunuh diri.

Itulah sebabnya, pada awal tulisan ini, saya menyodorkan gugatan antara pertumbuhan ekonomi versus pengangguran dan kemiskinan. Idealnya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan mengatasi persoalan pengangguran dan kemiskinan secara signifikan. Kenyataannya, meski pemerintah mengklaim keberhasilannya menjaga pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi tadi, tukang ojek, pedagang keliling, dan pengemis justru semakin berjubel.

Kita patut mempertanyakan ihwal penurunan tingkat kemiskinan itu dengan membandingkan uang belanja negara. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, misalnya, terus meningkat, termasuk di dalamnya anggaran untuk mengatasi kemiskinan yang sangat menyengsarakan rakyat.

Pajak yang ditarik dari rakyat juga terus meningkat. Namun, di sisi lain, nominal utang publik (pemerintah) juga terus meningkat, yang sebagian memang untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran.

Bagi orang miskin, kebutuhan hidup mereka sebetulnya sangat sederhana. Pangan, terutama. Sayangnya, banyak orang miskin, petani gurem, tak berhasil menuai tanaman karena gagal panen. Sialnya pula, tahun lalu harga pangan sangat ”jahat” dan sama sekali tidak berpihak kepada orang miskin. Harga pangan melonjak tak keruan, ya tentunya dengan berbagai faktor penyebab.

Cuaca sering dikambinghitamkan. Bagi pemerintah, menuding cuaca sebagai penyebab kegagalan produksi pertanian pangan adalah cara paling efektif. Seolah kesalahan hanya ada pada cuaca. Padahal, banyak juga pekerjaan rumah pemerintah yang tidak dilakukan.

Kalau sudah tahu cuaca berubah secara ekstrem, seharusnya sejak awal pula digenjot penyediaan bibit dan benih yang adaptif terhadap cuaca, lalu dibagikan kepada petani. Infrastruktur, terutama untuk ketersediaan air yang dibutuhkan petani, dibenahi secara masif.

Akan tetapi, semua itu seolah terabaikan. Pemerintah (kabinet) yang berisi para politisi rasanya lebih asyik memainkan kartu-kartu politik. Seolah permainan politik lebih mengasyikkan ketimbang membicarakan secara keras upaya mengangkat derajat kesejahteraan rakyat. Politisi di Senayan, misalnya, lebih ngotot membangun gedung baru ketimbang kerasnya suara mereka berjuang mengubah nasib dan kesejahteraan rakyat.

Kita sering terlalu fokus berbicara soal golongan orang miskin saja. Padahal, ancaman bagi orang-orang yang hampir miskin tak kalah mengerikan. Sedikit gejolak cuaca dan harga pangan, mereka sudah langsung jatuh miskin.

Kondisi itu rasanya tidak banyak berubah dalam tahun ini. Inflasi tinggi karena gejolak harga minyak mentah dan pangan menghantui perekonomian.

Karena itulah, kabinet dan politisi, kiranya berpolitik untuk memperjuangkan kemakmuran rakyat sekeras-kerasnya.

Inflasi pemerintah dan politisi sudah cukup tinggi! Dibayar mahal dari keringat rakyat, tetapi mereka ingkar kepada rakyat.

Sumber: Kompas, Sabtu, 29 Januari 2011

Andai Suratnya Apik

-- Rohyati Sofjan

MUNGKIN saya termasuk orang yang sangat terlambat mengetahui kabar buku baru apa saja yang terbit dan dianggap bermutu plus laris manis di pasaran. Keadaan membuat saya jarang bisa mengakrabi dunia perbukuan dan trennya. Tiada toko buku di kota kecil saya, hanya gerai Indomaret Limbangan yang setia menyajikan beberapa jenis bacaan yang masuk kategori pop. Itu pun sudah saya syukuri. Ongkos transportasi kian mahal sehingga mobilitas saya sebatas di kota kecil. Hanya bisa ngiler melihat iklan buku baru di internet. Tentu saya berharap buku yang dibeli di sana tak mengecewakan. Setidaknya sebanding dengan uang yang saya keluarkan.

Dan semua sebenarnya berpulang pada penulis dan penerbit. Bahwa selain isi yang layak dan menarik, juga sajian gramatika sampai pengetikannya cukup apik. Surat Kecil untuk Tuhan adalah buku yang sayangnya masuk kategori di atas, bagus namun isinya secara gramatika sangat menyedihkan. Buku yang terasa sempurna karya Agnes Davonar (www.agnesdavonar.net) itu mestinya harus disunting ulang secara kebahasaan. Apalagi jika telah mencapai cetakan ke-8.

Banyak sekali contoh kata dan kalimat yang tak efisien, panjang dan bertele-tele, juga membingungkan susunan kalimatnya ditambah bagi pembaca awam yang tak terbiasa dengan bahasa slank (baca: selingkung) khas anak muda masa kini (karena faktor pengetahuan, pergaulan, usia, sampai fisik), niscaya akan geregetan sebab tak bisa mengikuti atau sekadar menambah paham akan arti kosakata terkini.

Sepertinya Agnes dan Davonar (juga penerbit) harus bekerja keras untuk merevisi ulang secara lebih baik dan apik. Bukankah buku itu akan difilmkan ke layar lebar sekira 15 Januari 2011, pada hari kanker anak sedunia?

Alangkah menyedihkan jika informasi kebahasaannya malah menyebar ke mana-mana dan dianggap lumrah, padahal mereka telah meraih penghargaan sebagai penulis online terbaik se-Asia Pasifik. Alangkah membanggakan jika disunting lagi gramatikanya sehingga lebih apik dan tak melelahkan pembaca yang peduli pada kaidah berbahasa maupun awam yang tak tahu apa-apa.

Adalah Gita Sesa Wanda Cantika (Keke), gadis remaja ceria yang tabah dan tegar berjuang dalam hantaman badai tak terduga, badai itu kanker jaringan lunak yang kasusnya jarang ada.

Dan Keke harus menjadi yang pertama di Indonesia (dan harapannya, hanya ia saja, kalau bisa). Tim dokter angkat tangan menanganinya. Kanker ini tergolong ganas dan tidak memiliki tanda-tanda. Berkembang sangat cepat. Dalam waktu lima hari bisa dipastikan kanker itu mulai terlihat di bagian wajah Keke kalau segera tidak diantisipasi! (Halaman 41). Namun kekuatan cinta dari lingkungan keluarga dan kawan-kawannya membuat ia tetap tegar. Terutama dari ayahnya, Joddy Tri Aprianto. Figur yang sangat dekat dengannya.

Bagaimanapun, Keke, dalam usia belianya, 13 tahun, mampu bertahan melewati semua ujian-Nya, sekaligus menyelesaikan ujian sekolah pada usia 15 tahun. Dan kisah Keke, yang dirangkum Agnes Davonar dengan indah (meski tak mengenal Keke secara fisik), sebenarnya bisa sangat menginspirasi orang banyak agar tabah jika dihantam runtutan masalah.

Kita bisa berkaca pada pengalaman Keke dan apa yang dirasakannya. Hidup ini sebenarnya indah dan harus disyukuri, hidup yang singkat bagi Keke terasa begitu sangat berharga, ia mengajarkan banyak hal dalam deraan rasa sakitnya; mencoba kuat dan berdaya guna! Hingga ketika di penghabisan napasnya, pukul 11 malam, meninggalkan harum melati yang menguar, harum tak terlupakan bagi yang ia cintai dan mencintainya.

Jangan remehkan kekuatan bahasa! Ia bisa menjadi sesuatu yang jelas substansinya bagi penulis yang paham dan peduli, bisa juga malah mengaburkan makna menjadi sesuatu yang mubazir bagi penulis yang abai dan enggan belajar.

Paragraf kutipan dari halaman 41 sebenarnya terbalik, mestinya kalau tidak segera diantisipasi. Sebab segera tidak dan tidak segera tentu berbeda pemahamannya. Apakah Agnes Davonar sedang menulis dengan gaya penulisan asli berbahasa Inggris sehingga seolah tengah menerjemahkan kata per kata? Dan banyak sekali kata dan kalimat salah sampai mubazir yang bertebaran, bahasa Indonesianya terasa melelahkan.

Andai direvisi lagi barangkali bisa menciutkan jumlah halaman bukunya, namun itu tak masalah. Setidaknya tanda baca dan kaidah penulisan juga mendapat perhatian. Pun penggunaan bahasa selingkung yang lagi ngetren, bagi saya secara dan cara berbeda maknanya jika ditempelkan pada suatu kalimat.

Terlalu banyak orang menggunakan secara secara sewenang-wenang hingga menjadi sesuatu yang sebenarnya tak perlu. Apakah masyarakat sebenarnya tengah dibingungkan pengguna ragam bahasa demikian? Kalau begitu, bagaimana tanggung jawab penulis sampai penerbit untuk peduli dan meluruskan?

Tidak mengapa bahasa selingkung ada dalam tulisan, namun sebaiknya diberi catatan kaki, semacam penjelas agar awam bisa paham dan membedakan.

Pun penulisan kitab suci Al Quran sebaiknya konsisten dengan Al Quran saja (meski aslinya dari bahasa Arab, Al Quran), tidak mengapa jika Agnes Davonar tidak tahu hingga inkonsisten karena masalah perbedaan keyakinan, namun sebaiknya mendapat perhatian jika masih ingin belajar. Sebab, proses belajar (juga mengajar) itu sebenarnya indah dan bermanfaat. Kita bisa melihat hidup sebagai sesuatu yang kaya warna; mengisi dan diisi hingga berisi!

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 29 Januari 2011