Sunday, October 31, 2010

Imajinasi Berwujud Ilustrasi

-- Syifa Amori

MIMI harus berlatih piano, namun ia sedang bosan. Di tengah kemalasannya itu, tiba-tiba ia mendengar alunan lagu riang bersamaan dengan kemunculan anak laki-laki dengan pakaian aneh dan wig putih dari bagian atas piano. Anak laki-laki itu kemudian memainkan piano seperti kesurupan tanpa sedikit pun melihat pada not nada. Musik yang dimainkannya benar-benar jernih dan tanpa kesalahan.

Kisah Mimi und Mozart atau Mimi dan Mozart terpilih sebagai 100 besar karya yang mampu memperluas perspektif anak dan mendorong berkembangnya imajinasi mereka. Dalam buku ini, anak-anak diajak berimajinasi soal petualangan Mimi bersama Mozart dalam dunia musik (piano).

Begitu juga dengan buku cerita penulis Doris Dörrie lainnya, Mimi entdeckt die Welt (Mimi Discovers the World), yang kaya fantasi dan imajinasi. Kekayaan imajinasi ini begitu mengemuka ketika gambar dalam bukunya, yang menggunakan ilustrasi karya Julia Kaergel, terasa begitu "bercerita" dengan cara yang memanjakan.

Mimi digambarkan melewatkan waktu sore dengan ayahnya dalam petualangan berkeliling dunia yang hanya diawali dari selembar kertas kosong. Mimi menggambar awan, kemudian matahari, kemudian ia membayangkan piknik bersama dan menikmati banyak makanan enak.

Uniknya, buku cerita ini memberikan informasi penting mengenai segala hal yang mengelilingi Mimi. Misalnya ketika Mimi memakan puding cokelat, maka di dalamnya ia melihat adanya susu (bahan pembuat puding) dan sapi (dari mana susu berasal). Begitulah perjalanan yang saling terkait itu membawa Mimi ke Afrika. Di situ, Mimi membayangkan dirinya menaiki seekor zebra.

Digambarkan dengan warna yang kalem dan agak pucat, perjalanan Mimi terasa seperti sebuah mimpi manis yang begitu lembut. Dengan karakter gambarnya, Kaergel memperlihatkan bahwa dunia imajinasi memang bervariasi dan bisa menjadi begitu menggoda dengan paduan harmoni warna yang dipilih seniman ini. Apalagi bentuk hewan-hewan Afrikanya yang komikal ini dihadirkan pula di tempat tidur Mimi. Yaitu dalam bentuk barang-barang yang menyerupai hewan di mimpinya. Kaergel berhasil meyakinkan pembacanya bahwa petualangan Mimi memang hebat.

Ilustrator asal Jerman ini berusaha mempertahankan orisinalitas dalam pengalaman dari penglihatan seorang anak. Meski bicara mimpi, ia tak mencoba mengukir terlalu detail ataupun terlalu kuat berusaha mencari formula absurd.

Sudah Berkembang

Semuanya hadir natural, pada level penerimaan kanak-kanak dalam keseharian. Termasuk bagaimana Kaergel mendukung penceritaan penulis soal puding cokelat atau keju yang dibuat begitu menyenangkan, karena anak-anak bisa begitu emosional pada hal-hal seperti ini. Makanya, kemudian lembar-lembar cerita bergambar ini jadi teramat menghibur.

Julia Kaergel telah mendapatkan berbagai penghargaan. Hasil karya ilustrasinya dapat ditemukan di berbagai buku cerita bergambar dan sampul buku.

Pameran Julia Kaergel, Ilustrasi Buku Cerita Bergambar (mulai 20 Oktober hingga 3 November) ini adalah bagian dari rangkaian pameran Ilustrasi Buku Cerita Bergambar Kontemporer Jerman yang telah diselenggarakan oleh Goethe-Institut Indonesia pada tahun 2009. Bersama Goethe-Institut, Kaergel mengadakan workshop dan pameran karyanya di beberapa negara pada beberapa tahun terakhir ini, yang diikuti dengan pameran hasil karyanya.

Selain itu, Julia Kaergel juga membuat film kartun, patung binatang bernuansa fantasi, serta ukiran kayu berukuran besar. Dalam pameran di Goethe-Institut kali ini diperlihatkan karya ilustrasi Julia Kaergel dari sejumlah buku cerita bergambar yang diterbitkan berbagai penerbit, termasuk ukiran kayunya.

Beberapa ilustrasinya di buku lain, dipamerkan dalam bentuk gambar mandiri, tidak dalam jalinan buku, seringkali tampil dengan sentuhan kedewasaan yang lembut. Misalnya pada karya ilustrasi untuk buku im Büro terbitan Ravensburger (akrilik-mixteknik, 29x24cm) dan juga sebuah karya gambar yang memperlihatkan dua sosok siluet manusia di atas perahu di tengah danau hijau-biru-keemasan di bawah langit jingga yang luas.

Pada gambar-gambar tersebut, ia menggunakan tarikan garis yang lebih pasti dalam mendiferensiasi antara bidang-bidang gambarnya.Warna yang dipakai juga cenderung lebih gelap dan kental meski teknik pewarnaannya tetap mengaplikasikan sapuan kuas yang mirip dengan hasil warna pada cat air.

Sementara karyanya, The Selfisch Giant (objek-kubus, 15x15 cm) dan Just Something (objek-kubus, 8x8 cm), ilustrator ini menampilkan gaya yang lebih artistik. Ciri goresannya lebih figuratif dengan pewarnaan semi-abstrak. Kemungkinan karya ini adalah karya pribadi Kaergel, meski pada kenyataannya seni ilustrasi buku cerita anak bergambar kontemporer internasional, termasuk Jerman, memang sudah berkembang jauh melewati batas-batas karya seni yang dianggap kekanakan.
Dengan adanya perkembangan pesat inilah makanya kemudian digagas Pameran Ilustrasi Buku Cerita Bergambar Kontemporer Jerman yang sudah mulai diselenggarakan Goethe-Institut Indonesia sejak tahun 2009. Ketika itu pameran yang dikonsep bekerja sama dengan museum buku-bergambar Troisdorf ini memberikan pandangan sekilas dunia penciptaan seniman-seniman Jerman dalam bidang buku-bergambar yang diwakili oleh 13 seniman.

Kecenderungan Baru

Di samping seniman-seniman yang sudah punya nama dalam bidang ini, dipamerkan juga karya dari seniman-seniman muda yang karyanya mencerminkan kecenderungan terbaru dalam bidang ilustrasi buku-bergambar.

"Pameran Ilustrasi Buku Anak Kontemporer Jerman ini memperlihatkan kualitas tinggi ilustrasi buku cerita anak di Jerman. Ilustrasi lukisan cat air, kolase, sampai gambar digital yang ada dalam pameran ini memberikan spektrum luas dari seni buku-bergambar modern," kata ilustrator Indonesia Mohammad Taufik yang membuka pameran di Goethe tersebut.

Menurut pria yang dikenal dengan panggilan Emte ini, pandangan seniman ilustrator yang naif, skeptis, sureal, abstrak, absurd, atau sangat pandai, membiarkan anak-anak untuk bermain dengan dunia imajiner dan mimpi. Sama halnya dengan beberapa seniman lainnya yang memilih untuk menyalahtafsirkan kenyataan secara riang dan aneh.

Pameran ini memperlihatkan pada kita kualitas yang tinggi dan keanekaragaman yang luar biasa dari ilustrasi buku-bergambar Jerman. Ilustrasi lukisan cat air, kolase sampai gambar digital yang ada dalam pameran ini memberikan spektrum yang luas dari seni buku-bergambar modern. Kadang pandangan sang seniman sangat naif, kadang skeptis, kadang kurang ajar atau sangat pandai. Beberapa seniman bermain dengan dunia imajiner dan mimpi, yang lainnya menyalahtafsirkan kenyataan secara riang dan aneh. Gambar-gambar yang ekspresif dengan warna-warna yang kuat berdiri berseberangan dengan ilustrasi-ilustrasi yang halus dan rumit.

Ilustrasi buku anak kini sudah jadi bentuk seni sekaligus bagian intergral komposisi literer dalam buku sebagai sebuah karya seni. Untuk menghargai lebih lanjut (bukan sekadar mengagumi) seluruh gaya, media, dan teknik yang dipakai dalam ilustrasi buku anak, tentu saja pembacanya juga mesti paham soal komposisi dan desain buku. Inilah mengapa ilustrasi buku anak ternyata juga merupakan "santapan" segala usia.

Awalnya, ilustrasi untuk buku anak-anak hanya sekadar menguatkan isi cerita dan menjelaskan maksud dari teks dalam bukunya, namun kemudian seniman di abad ke-19 memberikan dimensi baru untuk ilustrasi, yang memproduksi buku cerita dengan gambar yang tidak terikat dengan teks, dan bahkan memiliki peran bercerita yang sama dengan tulisannya sendiri.

Ilustrasi buku anak tumbuh semakin menakjubkan mulai era 70-an dan berkembang menjadi sebuah seni yang kaya, ekspresif, dan menghadirkan ragam kreativitas luas. Tahun 80-an, 90-an, hingga saat ini, para penerbit telah memproduksi buku cerita anak bergambar dengan ilustrasi yang menarik perhatian dunia.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 31 Oktober 2010

Detektif di Ladang Sastra

-- Khudori Husnan

DARI cara pandang Binhad Nurrohmat kritik sastra selalu perspektif ("Kritik dan Hama Sastra", Pikiran Rakyat, 19 September 2010). Menurut dia, "perspektif selalu punya batas; dan kritik sastra dibatasi perspektifnya. Tiada perspektif total-sempurna." Dua pekan dari tulisan tersebut Maman S. Mahayana menjawab "perspektif dalam kritik sastra bukanlah pendekatan ... Dalam kritik sastra, ada tiga jenis penilaian, yaitu penilaian absolut, relatif, dan perspektif." ("Seolah-olah Kritik Sastra", Pikiran Rakyat, 3 Oktober 2010). Dua tulisan tersebut berhasil memicu hasrat untuk memikirkan kembali peran kritik dan kritikus sastra.

Atas pernyataan Nurrohmat di atas Mahayana wajib resah karena bila penyataan tersebut diterima sepenuhnya kemungkinan besar kurikulum sastra dan kritik sastra semakin jauh terabaikan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Jika ruang lingkup kritikus sastra direduksi menjadi sekadar ilmu perspektif maka semua orang, dengan kekayaan sudut pandang (baca perspektif) masing-masing dapat dengan mudah menjadi seorang kritikus. Lalu bagaimana peran program studi ilmu sastra? Uraian saya tak akan melebar ke arah sana.

Kajian atau kritik sastra merupakan bidang penulisan yang berupaya memberikan dasar rasional atas keyakinan bahwa kajian-kajian sastra mampu menciptakan pengetahuan yang bernilai dan bermakna secara akademik. Sementara itu, perspektif, yang dipahami Nurrohmat, tampaknya serupa teropong. Jika kita mengamati pohon cemara dengan menggunakan teropong dari jarak tertentu, yang tampak hanyalah bagian tertentu dari cemara. Dalam arti ini, perspektif nyata benar keterbatasannya karena keseluruhan cemara tak seluruhnya mampu teramati. Akan tetapi, bukankah pada hampir benak semua orang dengan kelengkapan pancaindra tercetak gambar bahwa cemara adalah sejenis pohon yang memiliki batang, dahan, daun, ranting, akar, dan lain sebagainya?

Keterbatasan yang melekat dalam perspektif tidak pernah terbatas secara total. Potensi untuk melampaui keterbatasan tersebut tetap ada. Mengikuti argumentasi kaum eksistensialis ketika seseorang seperti kritikus, seniman, penyair, ilmuwan, dan lainnya, mengetahui keterbatasannya, ia sesungguhnya memiliki potensi untuk melampaui keterbatasannya. Aktualisasi dari potensi tersebut terwujud melalui apa yang disebut sebagai pemaknaan.

Cemara di tangan Chairil Anwar misalnya melahirkan baris puisi Derai-derai Cemara yang anggun dan memesona; Cemara menderai sampai jauh/terasa hari akan jadi malam/ada beberapa dahan di tingkap merapuh/dipukul angin yang terpendam. Pemaknaan serupa juga dilakukan oleh kritikus sastra yang bersahaja yakni yang dapat memaparkan secara argumentatif penilaiannya atas karya sastra dan karya yang dihasilkan kritikus mampu melahirkan pengetahuan dan pemahaman baru baik dari segi khazanah sastra sendiri maupun dari aspek sosialnya yaitu mampu menggerakkan pembacanya.

Penyataan Nurrohmat bahwa "kritik sastra yang baik adalah laku komunikasi yang memperkaya pemahaman dan pemaknaan karya sastra" baru efektif jika sebelumnya melibatkan apa yang disebut Mahayana sebagai apresiasi.

**

SESEDERHANA itukah persoalannya? Tidak. Hubungan antara kritikus sastra dan karya sastra pada mulanya adalah hubungan antarbahasa jadi merupakan peristiwa bahasa. Bahasa yang dimiliki kritikus sastra di satu sisi dan bahasa, yang merupakan perluasan dari jati diri pengarang, yang tertuang dalam karya sastra di sisi lain. Pertanyaannya, yang dimaknai itu apakah bahasa-bahasa spesifik dan khas dari karya sastra atau sebaliknya sebelum mengulas karya sastra kritikus terlebih dahulu harus memahami kerangka konseptual (bahasa-bahasa umum) tentang bahasa yang kelak digunakannya untuk menganalisis karya sastra?

Ilmu bahasa mengalami perkembangan pesat. Dalam bahasa (pasca-Ludwig Wittgenstein) berlaku apa yang disebut tekstur terbuka dari bahasa (open texture of language). Frasa ini mau memperlihatkan bahwa bahasa selalu terbuka bagi kemungkinan tafsir-tafsir baru sehingga mengakibatkan tak adanya ketunggalan definisi dan pemahaman yang akurat tentang bahasa sebagaimana contohnya dapat kita simak pada pertikaian di wilayah tafsir atas pasal-pasal hukum di muka pengadilan dan tafsir terhadap risalah-risalah suci yang terkadang berujung pada pengusiran, pengejaran, dan penumpasan.

Sementara itu, Paul de Man dalam apa yang dikenang sebagai perdebatan Baltimore 1966 secara sinis menyatakan, sejarah sastra sebagai disiplin ilmu didominasi oleh konsep-konsep dengan watak dasar melakukan alegorisasi atas periode-periode dan tren-tren (Jean-Michel Rabaté, 2003:93). Artinya, konsep-konsep dipahami terlebih dahulu baru kemudian melakukan pemahaman dan pemaknaan atas karya sastra. Atas dasar ini hubungan kritik sastra dan karya sastra berpotensi mengarah pada gejala seperti tecermin pada ungkapan pagar makan tanaman. Kritikus dengan aneka konsep dan definisi dengan meyakinkan mengobjekkan karya sastra.

Dalam mengapresiasi karya seni, tulis Walter Benjamin (1969:69), pertimbangan si penerima tak pernah dijamin berhasil. Ketidakberhasilan terjadi karena pertama sedari mula telah ditetapkan khalayak yang jadi pembaca. Kedua, pada sesat representasi, apa yang diimajinasikan pengarang berbeda dengan yang dibayangkan kritikus. Ketiga, konsep "yang ideal" menurut si penerima merugikan pertimbangan teoretik tentang seni yang pada keseluruhan aspeknya mengasumsikan eksistensi dan hakikat manusia. Demikian pula halnya seni. Seni mengandaikan eksistensi spiritual dan fisikal manusia. Benjamin menambahkan bahwa tak satu pun dari karya-karya seni berhubungan langsung dengan tanggapan-tanggapan atasnya.

Tak perlu cemas. Terlepas dari persoalan-persoalan di atas nyata bahwa tugas yang dipikul kritikus sastra, dengan berguru pada Benjamin, sekurang-kurangnya ialah ia dituntut untuk dapat menyeimbangkan tegangan antara aspek teoritik di satu sisi dan unsur puitik di sisi lain. Tingkat kesulitan dalam tugas seperti itu serupa dengan kerja seorang detektif swasta yang berniat menangkap pelaku pembunuhan berantai.

Seorang detektif berupaya memecahkan teka-teki dengan cara melakukan penelusuran atas jejak-jejak, mengumpulkan barang bukti, menanyakan pada saksi-saksi dan seterusnya untuk sekadar mencari tahu pola umum di balik kasus pembunuhan yang tengah dihadapi dan membekuk pelaku tetapi di saat bersamaan ia juga dituntut untuk selalu mewaspadai serangan tiba-tiba dan mematikan yang dilancarkan pelaku pembunuhan yang diburunya.

Khudori Husnan, pengkaji seni dan filsafat

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 31 Oktober 2010

Balada Wawan Juanda

-- Herry Dim

KETIKA video musik semacam "Keong Racun" tiba-tiba meledak dan/atau mendapat pengakuan publik, ada dua hal sesungguhnya bisa kita lihat, yaitu (1) dunia teknologi dan daya sebar informasi telah membuktikan kedigjayaannya dalam membentuk opini dan bahkan menyetir cita rasa publik. Sihir informasi bahkan terbukti pula mampu membolak-balik atau paling tidak memburamkan batas-batas antara baik dan buruk, benar dan salah, bermutu dan tidak bermutu, dan seterusnya. (2) Sadar atau pun tidak kita sadari bahwa saat itulah terjadinya keruntuhan tata nilai dan/atau media tempat beredarnya informasi telah menjadi dunia tanpa nilai. Terbukti bahwa seni artifisial, bersifat manipulatif, atau kasarnya tipu-tipuan (teknik lip sync) tak dipedulikan lagi sebagai dusta atau kebohongan melainkan diterima sengan suka cita.

Itulah dunia kita di dalam media (terutama televisi dan internet) saat ini, yaitu dunia yang sebagian besarnya adalah dunia artifisial atau dunia yang bukanlah kenyataan yang sebenarnya, melainkan dunia yang telah di/terekayasa, diutak-atik, bahkan dijungkir-balik demi kepentingan tertentu yang adakalanya pula demi kepentingan berlipat gandanya modal dan keuntungan.

Musik yang juga mendapatkan porsi cukup besar di dalam dunia informasi televisi dan kemudian internet, sebagian besarnya bisa dikatakan tak terbebas dan bahkan justru menjadi bagian dari dunia artifisial serta manipulatif tersebut. Fenomena `keong racun` seperti disebutkan di awal tulisan, ini adalah salah satu bukti puncak kedigjayaan dunia informasi di satu sisi, di sisi lainnya adalah bukti keruntuhan dimensi dan apalagi kedalaman musikalitas.

Di pengujung lain sesungguhnya sulit (untuk tidak mengatakan sama sekali tidak ada) bagi kita untuk mendapatkan nilai-nilai di dalam televisi dan internet sebagai salah satu penghantar informasi, yang ada adalah lautan atau gelombang yang bertumpuk, tumpang tindih, saling desak hingga saling banting antara satu simulacrum dengan simulacrum lainnya.

Lantas, kita pun mungkin selanjutnya bertanya; di manakah kiranya tempat hadirnya musik yang masih memperlihatkan dan memperdengarkan alamiahnya? Di manakah tempat kita masih bisa menemukan kehangatan cinta antarsesama manusia?

Jawabnya, ada banyak musisi, kelompok, atau komunitas musik yang beredar di luar televisi dan kecanggihan informasi. Mereka itu tidak antiinformasi dan tidak pula antitelevisi, tetapi galibnya tidak memberhalakannya dan/atau mengagungkannya secara berlebihan. Mereka lebih memilih ruang-ruang yang alami, ruang tempat bertemunya hubungan antarmanusia, tempat saling bersapanya dunia bunyi sekaligus keheningan.

**

PERISTIWA musikal yang bertajuk "Balada Wawan Juanda" yang berlangsung Rabu malam, 20 Oktober 2010, di Bumi Sangkuriang adalah salah satu dari sekian banyak "ruang" yang dihubungkan oleh hati dan cinta tersebut.

Seperti halnya ruang tempat makan, kafe sederhana, sedikit lahan komunitas, bahkan kini banyak pula musik (bagus) yang bertebar di trotoar jalanan; malam itu tampillah dengan bersahaja tetapi penuh kehangatan cinta sekaligus daya musikalitas hingga teatrikalitas berupa monolog dari Yusef Muldiyana, permainan biola Amy Chepy Kurniawan yang saling hantar dengan pembacaan puisi Kyai Matdon, duet Mukti-Mukti dan Siska, Komunitas Musik Jatiwangi Art Factory, Rizal Abdulhadi, Laskar Panggung, Matdon & Majelis Sastra Bandung, tampilan Ferry Curtis (bersama Ary Viool, Amy), Kapak Ibrahim, Tiga Perempuan (Ken Atik, Vinny Damayanti, Ine Arini), Ganjar Noor, KAiYA, Martha Topeng & Siska, Duo Cermin, dan ditutup penampilan Egi Fedli yang ditemani Ary Viool, Adi, serta Siska.

Selama empat jam lebih, publik yang hadir hampir sepenuhnya dijamu musik-musik balada yang bisa dikatakan sepenuhnya pula tak pernah kita jumpai di televisi kecuali di komunitas-komunitas. Akan tetapi di sini pula kita bisa menyaksikan kepiawaian Amy bermain biola adalah kepiawaian yang niscaya, nyata, dan bisa disentuh tubuhnya kala main atau pun seusai ia bermain. Nomor "song of the wind" yang dirangkai dengan puisi Matdon dan ditutup dengan salah satu nomornya Didier Lockwood, itu terasa sekali sebagaimana requiem yang malam itu memang ditujukan bagi almarhum Wawan Juanda.

**

MUSIK balada sebagaimana lazimnya musik bertutur, musik yang juga bersandar kepada kekuatan kata-kata selain musikalitasnya itu sendiri; kemudian meluncurlah dari Mukti-Mukti. Seperti juga penampil-penampil lain semisal Ferry Curtis, Ganjar Noor, Egi Fedli; kekuatan lirik pada musik Mukti-Mukti terasa sekali bukan sekadar syair tempelan melainkan sesusunan struktur kata-kata yang jika dilepas dari musiknya pun bisa berdiri sendiri sebagai puisi dengan daya puitisnya.

Ini pula yang hampir tak bisa kita temukan lagi pada musik-musik sajian televisi atau pun kategori musik industri lainnya. Pada musik dan lirik yang mereka mainkan malam itu di Bumi Sangkuriang, sungguh kita masih bisa menemukan nilai, rasa betapa mulianya kata-kata, hingga kita (sebagai penonton/pendengar) bisa membangun kembali impresi bahwa betapa mulianya kita menjadi manusia. Lirik dan musik balada yang "kuat" tersebut antara lain bisa pula kita jumpai pada nyanyian "Sahabat Cahaya" dan "Ilalang Terbakar"-nya Ferry Curtis, lirik balada dengan sentuhan warna musik psychedelic terasa pula pada nyanyian "Ini Langkahku" dan "Kemuning" yang dimainkan oleh kelompok KAiYA.

**

PENGAGUNGAN kepada musikalitas, lirik, atau dunia kata-kata, serta sekaligus kebersahajaan keseluruhan acara, kemungkinan besar disadari serta dirasakan pula oleh seluruh yang hadir itu menjadi semacam hymne yang memang hendak disampaikan demi menghormati almarhum Wawan Juanda (1958-2010).

Sang presiden Republic Entertaintment itu memang telah pergi, tetapi malam itu pula masih dirasakan kehangatan, cinta, dan persahabatannya dengan sejumlah seniman Bandung. "Semangat almarhum sepatutnya kita lanjutkan," ujar Dadang Jauhari, adik almarhum Wawan Juanda, di awal hymne yang ternyata berlangsung sampai lebih dari empat jam tersebut.

Sepertinya kita pun menyaksikan Wawan Juanda tersenyum di alam sana, alam yang sudah terbebas dari dunia artifisial, alam tanpa kepura-puraan, alam harum mawar yang disertai lagu cinta kawan-kawannya.***

Herry Dim, seniman.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 31 Oktober 2010

Konsumerisme Dalam Penunjuk Jalan

-- Jejen Jaelani

JIKA kita pergi ke jalan raya, kita mungkin terbiasa melihat papan penunjuk jalan. Papan penunjuk jalan merupakan alat yang digunakan untuk mempermudah pengguna jalan dalam menempuh perjalanan. Ketika kita akan mencapai suatu tujuan, acap kali kita melihat penunjuk jalan sebagai panduan. Hal itu untuk mempermudah kita mencapai tujuan tersebut, tentu saja dengan tanpa harus repot-repot membuka peta.

Di papan penunjuk jalan, lazimnya kita menemukan nama-nama daerah seperti: Dago, Dipatiukur, Alun-alun, pusat kota, Cicaheum, Ciumbuleuit, Cicadas, Antapani, Kopo, Leuwipanjang, Cidurian, Ujungberung, Margahayu, Ciwastra, Kiara Condong, Cihampelas, Ledeng, Geger Kalong, dan lain-lain.

Akan tetapi, selain penunjuk jalan yang berisi nama-nama daerah tersebut, acapkali kita juga menemukan penunjuk jalan yang berupa nama mal, restoran, factory outlet, toko-toko, hotel, apartemen, bank, tempat rekreasi, dan lain-lain.

Tentu saja penunjuk jalan semacam ini dibuat untuk mempermudah pengguna jalan dalam menjangkau tujuan mereka, yang mungkin kebetulan tempat-tempat komersial tersebut, atau hanya berdekatan dengan tempat tersebut, atau mungkin hanya satu arah dengan tempat tersebut. Namun, jika ditelaah dengan saksama, sesungguhnya penggunaan penunjuk jalan ini adalah bentuk dominasi wacana ideologi.

Dalam masyarakat modern, salah satu bentuk penguasaan suatu masyarakat sesungguhnya dilancarkan melalui penguasaan wacana dalam masyarakat tersebut. Siapa pun yang memenangkan wacana dalam masyarakat tersebut, niscaya dialah pemenang yang akan berkuasa dalam masyarakat itu, baik berkuasa dalam arti fisik maupun simbolik.

Penguasaan wacana dalam ranah linguistik semacam penunjuk jalan adalah penguasaan simbolik suatu golongan terhadap masyarakat. Kuasa simbolik dalam penunjuk jalan dengan nama-nama tempat-tempat komersial sesungguhnya dilakukan dengan mekanisme yang sangat halus. Ia menjadi semacam "kejahatan" terselubung yang tidak disadari masyarakat.

"Kejahatan" semacam ini sejalan dengan apa yang disebut Bourdieu sebagai kekerasan simbolik (symbolic violence). Bourdieu menyatakan bahwa ada bentuk yang tersembunyi dalam kehidupan sehari-hari, termasuk di dalam bahasa. Kekerasan simbolik adalah kekerasan dalam bentuknya yang sangat halus, kekerasan yang dikenakan pada agen-agen sosial tanpa mengundang resistensi, sebaliknya, malah mengundang konformitas sebab sudah mendapat legitimasi sosial karena bentuknya yang sangat halus (Harker, et.al., 2009: xxi).

Fairclough (2003) menyatakan bahwa peristiwa (bahasa) bukan sesuatu yang sederhana atau efek langsung dari struktur sosial yang abstrak. Ada relasi yang termediasi-ada satuan jarak (intermediate) terorganisasi antara struktur dan peristiwa. Pembuatan penunjuk jalan tempat-tempat komersial sesungguhnya bukan hal yang begitu saja terjadi. Ia memiliki hubungan yang signifikan dengan berbagai kuasa yang kapitalis yang telah merasuki masyarakat. Kuasa kapitalis ini telah mendominasi dengan caranya yang sangat halus dan tersamar sehingga mayarakat tidak menyadari hal ini.

Sebagaimana dikatakan Piliang (2005: 202) bahwa dalam proses dominasi tersebut, sebetulnya terjadi sebuah bentuk pemaksaan simbolik yang sangat halus. Akan tetapi orang yang didominasi tidak menyadari adanya pemaksaan atau menerima pemaksaan tersebut sebagai suatu common sense.

Kuasa simbolik melalui penunjuk jalan tempat-tempat komersial ini dibentuk dalam sebuah wacana yang dikatakan John B. Thompson sebagai "wacana penipuan". Dalam hal ini ideologi mengambil alih fungsi tanda dari sesuatu yang baru dan konflik serta membentuknya dalam "wacana penipuan" (Thompson, 2007: 48).

Munculnya berbagai penunjuk jalan ini tentu saja tidak serta merta. Penunjuk jalan semacam ini bermunculan seiring dengan pembangunan kota yang terus-menerus dilakukan. Hal ini mengimplikasikan visi pembangunan kota yang diusung pemerintah. Semakin banyak bermunculannya penunjuk-penunjuk jalan tempat-tempat komersial menunjukkan bahwa pembangunan kota yang selama ini berjalan--dan akan terus berjalan--mengarah pada pembangunan fasilitas-fasilitas komersial. Hal ini mengimplikasikan betapa pembangunan kota tempat kita tinggal disetir oleh kekuatan-kekuatan kapitalis.

Kuasa simbolik melalui penunjuk jalan menjelma sedemikian rupa sehingga ia seakan-akan hal yang sangat wajar dalam kehidupan masyarakat. Ia muncul sebagai bagian tak terpisahkan dalam keseharian masyarakat. Ia dilihat di mana-mana. Tanpa disadari merasuk ke dalam pikiran masyarakat hingga akhirnya merasuk ke alam bawah sadar masyarakat.

Pada akhirnya, masyarakat menganggap tempat-tempat komersial tersebut sebagai hal yang sangat biasa bahkan tanpa mereka sadari, menjadikan tempat-tempat komersial tersebut sebagai bagian dari hidupnya. Masyarakat menikmati kehadirannya sebagai pengguna dan pengunjung tempat-tempat tersebut. Pembiasaan ini selanjutnya menghadirkan pola hidup konsumtif.

Penunjuk-penunjuk jalan ini pada akhirnya menunjukkan bahwa kekerasan telah merasuk ke dalam tubuh dan pikiran masyarakat. Penunjuk-penunjuk jalan ini menunjukkan betapa teperdayanya kita oleh konsumerisme!***

Jejen Jaelani, mahasiswa S-2 Linguistik Umum, Ilmu-ilmu Sastra Universitas Padjadjaran, dosen luar biasa di Kelompok Keahlian Ilmu-ilmu Kemanusiaan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 31 Oktober 2010

Deklarasi Bogor

DEKLARASI ini disusun oleh satu tim yang mewakili beberapa kelompok pada masyarakat Sunda, yang berkesempatan hadir di dalam kegiatan International Conference on Sundanese Culture. Deklarasi ini juga telah mendapat dukungan penuh dari Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO, Kementerian Pendidikan Nasional, dan duta besar/Wakil Republik Indonesia untuk UNESCO.

Deklarasi Bogor ini dirumuskan pada kegiatan "International Conference on Nature, Philosophy and Culture or Ancient Sunda Civilization 2010, Nyukcruk Galur Kasundaan". Intinya sebagai berikut.

1. Harus ada upaya untuk penelitian yang lebih mendalam, komprehensif, dan menginformasikan lebih lengkap dan jelas mengenai hasil-hasil pemikiran dan budaya masyarakat Sunda masa silam, baik yang kongkret maupun yang abstrak di dunia pendidikan, melalui sistem pendidikan berbasis budaya lokal (kearifan lokal).

2. Perlu pengelolaan yang lebih terstruktur dan terorganisasi mengenai keberadaan situs-situs peninggalan budaya dengan cara konservasi (pelestarian), merekonstruksi dan atau merestorasi agar menjadi tempat yang menarik minat bagi tujuan penelitian ilmiah, wisata, dan pendidikan. Diupayakan juga, untuk diusulkan menjadi warisan dunia UNESCO, antara lain kawasan percandian Batu Jaya, Situs Gua Pawon, Situs Gunung Padang, dan Kawasan Komunitas Masyarakat Adat Sunda.

3. Perlu dibangun lokasi yang berbentuk sentra budaya Sunda, di pintu masuk ke wilayah Jawa Barat, yaitu di Kota Banjar dan Kabupaten Karawang, atau pada salah satu kawasan komunitas adat yang ada di Jawa Barat.

4. Mendorong agar media massa (cetak dan elektronik) serta lembaga pendidikan (dari tingkat pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tingggi), turut serta secara proaktif mempromosikan, melakukan pembinaan, dan pengembangan, serta pelestarian budaya Sunda termasuk kesenian yang ada dan tumbuh di Jawa Barat.

5. Mendorong generasi muda melalui pendidikan untuk menumbuhkembangkan kecintaan terhadap budaya daerah.

6. Perlu dibentuk penerbitan khusus dalam bentuk jurnal dan situs web internasional yang berbahasa Sunda, Indonesia, dan Inggris, berisi kajian tentang kebudayaan Sunda dalam kaitannya dengan; filsafat, politik, ekonomi, dan sosial.

7. Mengajukan usulan kepada pemerintah Provinsi Jawa Barat dan semua pemerintah kabupaten/kota di Jawa Barat, agar mangalokasikan dana untuk keperluan berbagai kegiatan pelestarian dan pengembangan potensi di atas, minimal 2 persen dari total APBD Jawa Barat. Hal itu sebagai bentuk realisasi komitmen pemerintah dan DPRD Provinsi Jawa Barat juga pemerintah kabupaten/kota di wilayah Jawa Barat.

8. Mendorong para pelaku ekonomi di Jawa Barat, agar ikut serta mendukung program pembinaan, pengembangan, dan pelestarian kebudayaan Sunda.

9. Peserta konferensi sepakat untuk merealisasikan deklarasi ini.

Deklarasi yang disusun oleh tim perumus diketuai Arthur S. Nalan dengan anggota Tresna Dermawan Kunaefi, H. Herdiwan, Dindin Wahyudin, Gugun Gunardi, Ahmad Y. Samantho, dan Oki Oktariadi itu, kemudian disampaikan kepada pemerintah eksekutif dan legislatif juga lembaga terkait. (Disarikan dari Deklarasi Bogor, sumber Disparbud Jabar)

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 31 Oktober 2010

Tragedi, Inspirasi, Kreativitas

-- Silvester Petara Hurit

MANUSIA tak luput dari ancaman kebinasaan. Alam dan waktu menjadi realitas yang kadang begitu mencekam. Psikoanalis Otto Rank bicara tentang ketakutan manusia. Bahwa seluruh hidup manusia terombang-ambing di antara dua ketakutan yaitu ketakutan kehidupan dan ketakutan kematian.

Piramid Mesir atau obsesi bangsa Maya terhadap astronomi termasuk ritus pengorbanan besar manusia misalnya menyiratkan ketakutan atau kecemasan tertentu terhadap kebinasaan. Hasrat untuk meraih kekekalan adalah dambaan besar manusia.

Kecemasan tersebut kemudian membuat kisah tragedi menemukan eksistensinya di dalam kehidupan manusia. Jatuhnya pahlawan di dalam kisah tragedi klasik memberi penguatan bagi manusia dan masyarakat. Pengertian atau penyadaran sang tokoh (pahlawan) terhadap kejatuhan atau takdirnya memberi efek peneguhan. Model yang ideal dari bagaimana menyikapi kenyataan tragis dari hidup. Upaya pemaknaan membantu meredakan ketegangan akibat kecemasan dan keputusasaan hidup.

Tragedi dan kisah tragedi lantas menjadi alat ampuh dalam proses transformasi manusia dan masyarakat. Tragedi merangsang kewaspadaan dan kreativitas. Memaksa manusia menggali kemungkinan-kemungkinan kreatif, memikirkan langkah-langkah antisipasi dan tindakan-tindakan penguatan diri.

Kebudayaan Yunani klasik dirawat oleh drama-drama tragedinya yang memukau. Kisah perang Troya, tragedi Padang Kurusetra di dalam kisah Mahabrata menjadi acuan dan arah pandang sampai saat ini. Kisah akhir zaman, kiamat dan ramalan 2012 misalnya, meminjam Rollo May, "ibarat layar yang merupakan kutub obyektif untuk membangkitkan proses subjektif kesadaran". Rangsangan bagi individu untuk melihat ke dalam, menggerakkan imaji kreatifnya. Berbicara dengan diri, berkonsultasi dengan intuisi dan kebijaksanaannya ketika menghadapi kejadian-kejadian tragis yang membayang di depan matanya.

Kisah tragedi merupakan sajian dramatis yang memantik kreativitas. Lukisan dinding prasejarah di Gua Lascaux Prancis dan lukisan Surga Tlalok memperlihatkan bagaimana manusia Cro-Magnon dan bangsa Maya Kuno memandang ke masa depan secara kreatif. Monumen-monumen seperti Piramid Matahari di Amerika Tengah, Gerbang Singa di Mycena, Stonehenge di Inggris, Kuil Hindu di Neasden, Masjid Kubah Emas di Yerusalem merekam dambaan dan kreativitas manusia merengkuh keagungan dan kekekalan.

Kisah tragedi senantiasa lahir dari kenyataan sosial (obyektif). Negara Kota Yunani yang senantiasa bergejolak kemudian melahirkan banyak karya agung. Patung Apollo dengan mata awas, mata waspada menjadi salah satu contohnya. Perang Troya yang panjang dan mengerikan telah menjelma menjadi puisi indah di tangan seorang Homerus.

Tragedi aktual

Republik ini adalah sebuah panggung tragedi. Bencana alam, tragedi kemanusiaan, kebudayaan, sosial, politik jadi realitas keseharian kita. Mentalitas dan praktik buruk pengelolaan negeri ini mewabah, menjangkiti semua bidang kehidupan. Ironisnya realitas objektif (aktual) tersebut tidak malah menumbuhkan etos kreatif tetapi sebaliknya memperlihatkan konsumerisme dan selingkuh kepentingan yang terus menguat di kalangan elite pengelola negeri ini.

Tragedi aktual belum sepenuhnya ditransformasikan menjadi karya bagi penguatan dan kebangkitan mentalitas manusia dan masyarakat. Kehancuran dahsyat tsunami Aceh beberapa tahun lalu belum sampai mencuatkan karya kreatif individu yang membetot hati dan pikiran, menyeruakkan kegentaran, mencekam dan menghujam ke inti kemanusiaan dan dasar kesadaran terdalam.

Tragedi atau irasionalitas buruk dari kenyataan aktual justru kerap melahirkan respons sentimentil yang banal dan bahkan destruktif. Saling umpat, menghujat, tuding-menuding, proyeksi kesalahan sering dipertontonkan bahkan oleh para petinggi di negeri ini. Pembakaran, perkelahian, dan pengrusakan sudah merupakan bahasa protes yang lazim dalam demonstrasi-demonstrasi kita. Pengejaran, penggusuran terhadap kaum kecil seperti pedagang asongan sudah jadi kamus solusi pelbagai permasalahan sosial kita.

Kebutuhan hidup konkret sehari-hari, ketakutan akan ketidakmampuan meraih hidup yang lebih layak mendatangkan semacam rasa frustrasi. Identifikasi dengan figur-figur gemerlap seperti para selebriti dengan menduplikasi segala atributnya adalah sebentuk tindakan moderasi agar terhindar dari rasa putus asa. Ketidakmampuan mengelolah kenyataan konkret yang aktual lantas membuat orang menghablur ke kerumunan, memadati mal belanja, menggandrungi tayangan gosip dan lagu-lagu cengeng, membentuk kelompok geng tawuran dan aneka bentuk tindakan konsumtif-destruktif yang lainnya.

Inspirasi kreatif

Di Eropa pasca-Perang Dunia I ketika industrialisme dan kondisi mekanik (dunia mesin) menjadi sangat kuat, muncul gerakan ekspresionisme di bidang kesenian. Manusia ekspresionis bangkit mengawal dunianya, melakukan oposisi diametral terhadap dampak degradasi akibat dari mekanisasi yang melanda kehidupannya. Mencuat nama-nama seperti: Georg Kaiser, Ernst Toller, Bertolt Brecht, Karl Capek dan Sean O` Casey dengan karya-karyanya yang mendunia.

Idealnya, cekaman kesulitan dan kekacaubalauan realitas kita menjadi medan dan inspirasi pergumulan kreatif bagi lahirnya karya-karya besar. Tragedi aktual belum dapat dimanfaatkan dan ditransformasikan menjadi kisah atau monumen tragedi. Acuan bagi bangkitnya keterjagaan kolektif. Keterjagaan yang memantik aksi dan geliat kreativitas karya.

Malah sebaliknya kecemasan dan ketakutan terhadap hidup membuat kita begitu mudah marah dan mengagresi orang lain. Bahkan bunuh diri menjadi fenomena yang kian marak belakangan. Ini mengindikasikan lemahnya imaji kreatif kita. Bangsa yang lemah imaji kreatifnya, tidak punya daya hidup, cenderung menjadi konsumtif, sadistik, dan gampang putus asa.

Kisah tragedi adalah salah satu produk kreativitas yang memperlihatkan suatu visi hidup ke masa depan. Ia bukan respons sesaat melainkan kristalisasi dari pergulatan yang intens terhadap bencana, malapetaka, kengerian, dan kegetiran. Transendensi dan refleksi yang panjang dari ketidakutuhan hidup. Kisahnya adalah ramuan pahit yang berkhasiat menyembuhkan. Memberi cahaya kesadaran dan pengetahuan. Insight baru lewat cerita-cerita kejatuhan atau malapetaka.

Pada kisah tragedi ada tantangan, perjuangan, keteguhan, pengertian, dan kesadaran. Kegetiran, kejatuhan, dan bencana membuat berpikir, merangsang imaji, dan daya bayang. Menagih keberanian untuk cemplung ke dalam penderitaan. Menggeluti supaya bisa melihat esensi makna yang tersembunyi di baliknya. Aristoteles menyebut akhir dari kejatuhan sang pahlawan di dalam tragedi klasik sebagai "perubahan dari ketidaktahuan menuju kesadaran atas ikatan cinta dan benci".

Multidimensi krisis, bencana bertubi-tubi dapat mengawali sejarah baru kebangkitan. Kita bisa punya disposisi batin dan ketahanan mental yang lebih kuat menghadapi aneka persoalan yang menghadang di depan. Asal tidak lari dari dari realitas keterpurukan. Senantiasa bergairah menyetubuhinya. Menghasrati kedalamannya sehingga dapat melampauinya. Setiap individu punya tugas menarik ke dalam dirinya segala persoalan obyektif (eksternal), menginternalisasi, memberinya bentuk agar kemudian mengembalikannya sebagai acuan. Sumbangan atau kontribusi individu bagi arah pandang manusia dan masyarakat.

Silvester Petara Hurit, esais, pengamat seni pertunjukan

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 31 Oktober 2010

Konferensi yang Kehilangan Fokus

BERGERAK di antara kompleks percandian Batujaya Karawang dan Benua Altantik, membuat konferensi internasional ini kehilangan fokus isu yang hendak diangkatnya ke permukaan. Batujaya adalah permasalahan yang konkret, sedangkan Benua Atlantis tetaplah merupakan sesuatu yang abstrak. Di antara kedua itulah konferensi ini berlangsung. Terlebih lagi, format konferensi yang tidak membagi dirinya ke dalam berbagai sidang komisi ini, akhirnya kurang bisa menjadi ruang bagi empat ratus peserta konferensi untuk memaparkan pandangannya.

Demikian sejumlah pandangan mengemuka dari budayawan Endo Suanda, Anis Djatisunda, dan sejarawan Sobana Hardjasaputra. Dalam pandangan Endo, tema besar yang diusung oleh "Internasional Conference on Sundanese Cultural" (ICSC) bukanlah tidak penting. "Tapi buku benua Atlantik itu isu besar, lalu ada candi. Mengapa konferensi ini tidak concern dan fokus saja pada apa yang dipaparkan oleh Dr. Hasan Djafar tentang kompleks percandian di Batujaya? Konferensi yang begini terlalu abstrak dan berapa lama orang yang bisa menanggapi. Isu, audiens, tidak jelas ukurannya," ujar Endo Sunda.

ICSC, menurut dia, sama sekali tidak merefleksikan apa yang pernah digagas oleh Ajip Rosidi dengan Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) tahun 2010. Dalam pandangannya, ini yang menjelaskan bahwa berbagai event pertemuan budaya di Jabar tidak memiliki master plan yang jelas, sehingga fokus tema, konsep atau strategi, dan pengembangan yang dilakukan tidak memiliki benang merah, yang akhirnya tidak bisa dievaluasi pencapaiannya.

"Sebaliknya, kalau ada master plan yang jelas pilihan tema, kurasi para peserta, dan langkah-langkah konkret yang akan dilakukan menjadi bisa dievaluasi. "Yang lebih penting buat saya bukan seminar dan konferensi, tapi mengadakan work shop sebagai langkah pada apa yang mesti dilakukan. Misalnya, pendataan riil tentang khazanah budaya Sunda," tambahnya.

Oleh karena itulah, Endo menilai, bagaimana mungkin isu kesundaan bisa diangkat jika tanpa data yang riil. Sebenarnya apa yang dilakukan oleh Dr. Hasan Djafar menyimpan banyak data yang bisa ditindaklanjuti sebagai sebuah isu yang konkret ketimbang tergoda oleh isu-isu yang kelewat abstrak.

"Sekarang banyak orang dan pihak yang memiliki data. Tapi bagaimana mengolah seluruh data itu sehingga bisa diakses oleh publik. Dan saya pikir, itu jauh lebih perlu dipikirkan ketimbang mengusut secara emosional peristilahan yang tak ada hubungannya dengan merevitalisasi budaya Sunda. Apakah jika peristilahan itu dipakai budaya Sunda akan terangkat kembali? Romantisme itu penting, tapi soalnya, bagaimana menerjemahkannya menjadi energi yang konkret, " ujarnya.

Pandangan tentang fokus konferensi juga muncul dari budayawan Anis Djatisunda dan sejarawan Sobana Hardjasaputra. Anis Djatisunda merasa bingung dengan arah konferensi dan fokus yang disasarnya. Ia mempertanyakan hubungan antara membicarakan Benua Atlantis dan percandian Batujaya. Sedang Sobana Hardjasaputra menyoroti format konferensi yang hanya memiliki satu sidang pleno, tanpa adanya pembagian komisi menurut topik yang dipilih. "Konferensi ini jadi terkesan ngarawu ku siku," ujarnya.

Akan tetapi apa pun konferensi itu telah melahirkan apa yang disebut dengan "Deklarasi Bogor" (lihat hal. 20). Deklarasi ini terdiri dari sembilan poin, yang di antaranya menyangkut upaya penelitian lebih intens tentang pemikiran masyarakat Sunda masa silam demi meningkatnya kesadaran pada kearifan lokal. Deklarasi ini disebutkan telah mendapatkan dukungan penuh dari Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO, Kementerian Pendidikan Nasional, dan duta besar/wakil Republik Indonesia untuk UNESCO. Deklarasi ini disusun oleh satu tim yang mewakili beberapa kelompok pada masyarakat Sunda, yang berkesempatan hadir di dalam kegiatan International Conference on Sundanese Culture. (Ahda Imran)

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 31 Oktober 2010

Dari Batujaya Sampai Atlantik

DALAM pengertian harfiahnya, reinventing adalah menemukan kembali. Ketika dijadikan frasa "reinventing Sunda" untuk keperluan sebuah konferensi dalam konteks budaya, maka konferensi tersebut hendak diandaikan sebagai upaya untuk mencari dan menemukan kembali sejarah atau identitas budaya Sunda yang (dibayangkan) hilang. Meski disadari bahwa hasrat besar semacam itu terlalu sederhana dicapai hanya dengan sebuah konferensi. Akan tetapi paling tidak, konferensi tersebut bisa dianggap sebagai permulaan untuk menggagas kesadaran ihwal perlunya dilakukan proses pencarian, demi menemukan kembali sesuatu yang hilang itu. Sesuatu yang menjadi hasrat setiap komunitias budaya, yang menganggap bahwa ada sesuatu yang lenyap dalam sejarah dan jati diri budayanya.

"SIDE a-b #3" akrilik di atas kanvas, karya Agus Triyadi.*

Demi memulai kesadaran inilah sebuah konferensi diadakan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Jawa Barat. Tak tanggung-tanggung, konferensi ini berskala internasional dengan mengundang sejumlah pembicara dari Amerika Serikat, Australia, Prancis, dan Indonesia. International Conference on Sundanese Culture (ICSC) ini digelar di Hotel Salak Bogor, 25-27 Oktober 2010.

Seperti tajuknya, "Reinventing Sunda in Strengthening the National Culture and Promoting Cultural Diversity", konferensi ini membayangkan dirinya menjadi permulaan bagi kesadaran untuk mencari dan menemukan kembali jati diri budaya Sunda, demi memperkuat budaya nasional dan keberagaman budaya. Inilah konferensi internasional versi berikutnya setelah Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) di Gedung Merdeka Bandung yang digagas oleh Ajip Rosidi, 22-25 Agustus 2001.

Berbeda dengan KIBS yang berangkat dari berbagai isu dan fenomena budaya Sunda, konferensi internasional budaya Sunda versi Disparbud Jabar ini membatasi dirinya ke dalam dua isu. Kedua isu tersebut tak hanya menjadi pintu masuk untuk menemukan kembali budaya Sunda, tetapi juga yang menjanjikan semacam kebanggaan pada jati diri budaya Sunda. Pertama, artefak peradaban budaya Sunda yang dihasratkan bisa menjadi warisan dunia, yang direpresentasikan oleh kompleks percandian Batujaya di Karawang.

Kedua, isu yang dihembuskan oleh terbitnya dua buku yang dianggap fenomenal, yakni, "Atlantis the Lost Continent Finally Found" karya Prof. Arysio Santos dan "Eden in East" karya Stephen Oppenheimer. Kedua buku yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ini menyebutkan bahwa Indonesia atau paparan Sunda (Sunda Land) bukan hanya benua yang hilang, tetapi juga disebut sebagai asal mula peradaban manusia.

Konferensi yang dibuka oleh Gubernur Jabar Ahmad Heryawan ini berangkat dari kedua isu tersebut. Antara kehendak dan mengikhtiarkan kompleks percandian Batujaya diakui sebagai warisan dunia oleh Unesco, dan keinginan memeriksa kebenaran bahwa Sunda Land adalah benua Atlantik yang hilang, kawasan yang dipercaya menjadi asal mula peradaban manusia.

**

DI antara kedua isu yang ditating oleh konferensi terdapat sejumlah cara pandang yang berbeda. Tak hanya di antara para pembicara, tetapi juga di sebagian peserta konferensi yang diikuti oleh kalangan seniman-budayawan, sejarawan, dan para tokoh adat. Umumnya perbedaan itu bergerak di seputar isu atau dugaan benar tidaknya bahwa Paparan Sunda adalah benua Atlantik yang hilang yang jadi awal peradaban manusia, seperti disebutkan oleh kedua buku karya Prof. Arysio Santos dan Prof. Stephen Oppenheimer. Sedangkan ihwal kompleks percandian Batujaya nyaris tidak menawarkan perbincangan apa pun, kecuali penjelasan Dr. Hasan Djafar dan kunjungan peserta konferensi ke kompleks percandian, yang dianggap sebagai candi Budha Mahayana tertua di Pulau Jawa, yakni Candi Jiwa dan Candi Blandongan.

Perbincangan seputar isu Paparan Sunda sebagai pusat peradaban manusia sayup-sayup telah muncul sejak hari pertama. Lebih jauh, isu melebar ke wilayah identifikasi budaya (etnis) Sunda sebagai identifikasi nusantara, bahkan seluruh sejarah manusia. Argumen yang mendasarinya adalah penamaan Sunda Besar dan Sunda Kecil dalam peta nusantara terdahulu. Terlebih lagi pandangan ini seolah memeroleh pembenaran dari kedua buku karya Prof. Arsio Santos dan Prof. Stephen Oppenheimer. Bahkan lebih jauh, lenyapnya penamaan Sunda Besar dan Sunda Kecil dari peta nusantara, disinyalir merupakan upaya sistematis untuk melenyapkan sejarah dan identitas budaya Sunda.

Sedangkan argumen sebaliknya muncul dari Dr. Junus Satrio Atmojo dan Prof. Edy Sediawati. Dalam pandangan keduanya, identifikasi kawasan geografis (Sunda Besar dan Sunda Kecil), identifikasi etnis, dan identifikasi budaya. Menyatukan ketiganya dalam satu identifikasi akan menimbulkan kekisruhan.

"Kemungkinan pertama yang memperkenalkan istilah itu adalah Ptolomeus, orang asing pertama yang datang dan membuat peta di gugusan nusantara. Penamaan suatu kawasan geografis mendasar pada pertemuannya dengan orang-orang yang ada di situ. Mungkin saja ketika itu ia bertemu dengan orang Sunda dan lantas menggunakan kata Sunda sebagai indikasi tempat, sedangkan sekarang sudah jadi indikasi etnik, sehingga terjadi kekisruhan antara pengertian etnik, kawasan, dan budaya," papar Edy Sediawati.

Meski demikian, pandangan yang disebut Edy Sediawati sebagai kekisruhan antara ketiga pengertian ini muncul kembali ke permukaan pada sesi kedua, sebagaimana mengemuka dalam uraian Hidayat Suryalaga, ketika tampil sebagai pembicara bersama Dede Yusuf dan Radhar Panca Dahana. Dalam telaahnya atas beberapa fase perjalanan sejarah Sunda, Hidayat Suryalaga melakukan pembagian dari fase Sunda bihari (masa silam), kamari (belum lama berlalu/kemarin), kiwari (sekarang), dan baring supagi (yang akan datang). Akan tetapi pada permulaan seluruh fase itu ada juga disebutnya masa prahistoris, yakni Paparan Sunda yang diidentifikasi sebagai Atlantis yang hilang disebut dalam buku karya Prof. Arysio Santos.

Pada bagian ini, Hidayat Suryalaga juga menuturkan pengalamannya dengan seorang kepala suku dayak ihwal asal-usul mereka. Konon, mereka berasal dari sebuah dataran yang subur dengan sebuah sungai yang bermuara di Manila. Sungai itu ditenggarai sebagai apa yang kini bernama Sungai Citarum. Tentang penyebutan lenyapnya penamaan Sunda Besar dan Sunda Kecil, ia mengatakan, satu-satunya kini yang tersisa hanya Selat Sunda. "Dan mungkin nama Selat Sunda pun akan lenyap kalau nanti dibangun jembatan yang menghubungkan Pulau Jawa dan Sumatra," ujarnya.

Jika kompleks percandian Batujaya nyaris tanpa perbincangan, maka konferensi ini memberi porsi perbincangan yang lebih besar untuk mengurai isu perihal Paparan Sunda sebagai yang dipercaya menjadi tempat asal peradaban kuno umat manusia. Stephen Oppenheimer percaya bahwa nenek moyang bangsa Polynesia bukanlah berasal dari mereka yang menyebar keluar dari Taiwan sebagaimana diyakini. "Bukti-bukti baru yang saling terkait menunjukkan bahwa gen-lines yang ditemukan di Polynesia diturunkan dari Paparan Sunda lebih dari lima ribu tahun yang lalu," katanya.

Senada dengan Oppenheimer yang menjelaskan sejumlah bukti antropologis, baik Arysio Santos, Ian Peterson, atau Hans Berek Oven meyakini hal yang sama. Bahwa Sunda Land adalah benua Atlantik yang hilang dan yang menjadi asal peradaban kuno manusia. Kajian lebih jauh, baik dari pendekatan geologi dan geografi diuraikan oleh Prof. Dr. R.P. Koesoemadinata dan Prof. Dr. Adjat Sudradjat. Berbeda dengan Prof. R.P. Koesoemadinata yang uraiannya lebih terfokus pada sejumlah temuan geologis di cekungan Bandung, Prof. Adjat Sudrajat memaparkan sejumlah pandangannya ihwal terbentuknya kawasan Sunda Land yang subur.

Secara geologis, banyak fakta yang memberi petunjuk bahwa Sunda Land memang pernah ada pada masa zaman es. Paparan Sunda ini merupakan kesatuan dari sejumlah gugusan pulau yang kini dikenal sebagai Asia Tenggara. Paparan ini demikian subur dan kaya dengan flora fauna. Ini bisa dibuktikan dalam penyelidikan geologi terdapatnya sungai panjang di dasar laut, yang oleh banyak peneliti kemudian dikenal dengan The Great Sunda River.

Akan tetapi, guru besar geologi Unpad Bandung ini tidaklah setuju jika disebut bahwa Sunda Land adalah Benua Atlantik, seperti yang disebut dalam buku "Atlantis the Lost Continent Finally Found" karya Prof. Arysio Santos. Paparan Sunda bukanlah Atlantic Continent yang hilang, sebab tak ada bukti-bukti geologis yang memberi petunjuk ke arah itu. Bahkan dalam pandangannya, benua Atlantik lebih merupakan sesuatu yang abstrak, imajinasi kaum filsuf dalam mencari kebijakan.

"Jadi bagi saya, Atlantic Continent itu sesuatu yang abstrak. Lalu munculah banyak spekulasi di mana sebenarnya benua itu? Dan orang Sunda berharap itu adalah Sunda Land. Terlebih paparan Sunda adalah kawasan yang pernah ada pada zaman es dan sangat subur. Dan saya mendukung hal itu. Tapi bahwa itu adalah benua Atlantik, saya tidak mendukungnya," ujar Adjat Sudradjat, seraya mengurai hubungan Atlantik dengan percakapan antara Timaeus dan Critias dalam karya Plato serta penamaan Atlan putra Poseidon (Dewa Laut dalam mitologi Yunani).

"The Lost Atlantic sebagai negeri yang subur itu hanya imajiner dalam kerangka berpikir filsafat yang tak ditemukan di dunia, kecuali dalam hati masing-masing manusia," katanya.

Meski pada prinsipnya terdapat persamaan pandangan perihal Sunda Land sebagai tanah yang subuh, yang ada sebelum zaman es puluhan ribu tahun lalu, konferensi ini menyimpan sejumlah perbedaan. Sebagian kalangan percaya bahwa Sunda Land itu adalah Atlantic Continent seperti yang dimaksud oleh Prof. Arysio Santos, terlebih lagi berbagai cerita tradisional Sunda menyiratkan hal itu. Namun sebagian lain, seperti Prof. Adjat Sudrajat, mencoba lebih kritis dan berhati-hati. Demikian pula sejarawan Sobana Hardjasaputra. "Dalam ilmu sejarah, kalau fakta-fakta belum lengkap, jangan kita berani-beraninya mengambil kesimpulan," kata Sobana. (Ahda Imran)

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 31 Oktober 2010

Presisi Tinggi Suara Aning Katamsi

-- Salomo Simanungkalit

MERAYAKAN 25 tahun kiprahnya dalam musik klasik, soprano Aning Katamsi (41) menggugah keanggunan cinta lewat sepuluh tembang puitik dan empat aria opera. Dalam konser ”Benang Merah Cinta” yang berlangsung pada Rabu, 27 Oktober di Aula Usmar Ismail, Jakarta itu, Aning diiringi pianis berpengalaman internasional Levi Gunardi (34).

Baru tiga kali saya bercakap-cakap langsung dengan Aning Katamsi. Dan itu baru dalam enam bulan terakhir. Sedikit kaget mendengar suara bicaranya sebab ternyata kurang membahana dan amat jauh dari bunyi mikrofonik, jenis suara yang menjadi prasyarat bagi pembaca berita RRI dan TVRI tempo doeloe.

Kaget? Tentu sebab saya kerap mendengar Aning bernyanyi entah langsung entah melalui televisi. Merdu dan musikal! Namun, suaranya yang mencekam dan bikin merinding terdengar saat ia membawakan tembang puitik Indonesia di Bentara Budaya Jakarta, 20 Agustus 2008. Pada peluncuran buku Klasik Indonesia, Komposisi untuk Vokal dan Piano: Binsar Sitompul-FX Soetopo-Mochtar Embut itu, suara putri bungsu soprano Pranawengrum Katamsi ini membawakan ”Segala Puji” karya Mochtar Embut dan ”Elegie” FX Soetopo benar-benar bermuatan konduktivitas tinggi. Daya hantarnya sampai ke hati dan mengisi penuh seluruh pendengaran hingga perhatian hanya kepada nyanyiannya. Seingat saya, jarang-jarang Aning memproduksi sensasi semacam itu.

Oleh perbandingan yang jomplang dengan suara bicaranya, bolehlah diduga bahwa

suara nyanyinya yang bermutu tinggi dalam genre klasik Barat itu menemukan aktualitasnya terutama berkat belajar teknik vokal dan seni menyanyi dengan suntuk. Catharina W Leimena sebagai guru vokal dan kursus singkat dengan beberapa penyanyi, seperti Ruth Drucker, Andrea Ehrenreich, dan Rudof Jansen, tentu amat berperan dalam memompa modal alaminya itu.

Mulai terjun mengikuti jejak sang ibu pada 1985—ketika masih berusia 16 tahun—dengan mengisi acara ”Irama Seriosa” di TVRI Jakarta, juara pertama seriosa Lomba Bintang Radio dan Televisi 1987 ini tak pernah setahun pun lekang dari pentas musik klasik yang diadakan di Jakarta hingga tahun ini.

Dalam 25 tahun terakhir, tak kurang dari 92 resital dan konser yang melibatkan suaranya dengan teknik bernyanyi klasik Barat itu, baik di Jakarta maupun di mancanegara seperti Kanazawa, Jepang dan Praha, Ceko. Pada kesempatan itu ia membawakan tembang puitik (Indonesia, Inggris, Italia, Jerman, dan Perancis), aria opera, nomor-nomor solo oratorium dan missa, musikal, sesekali musik pop juga.

Panjang dan padat

Dengan historiografi yang panjang dan padat itu, Aning boleh dibilang satu dari sedikit penyanyi klasik kita yang tekun dan suntuk selama seperempat hidup—dan mendapat nafkah—dari bermusik. Perjalanan panjang itulah yang hendak ia ringkas dalam ”Benang Merah Cinta”, dalam usia 41 tahun ketika kondisi suaranya masih prima. Usia pada akhirnya akan mendegradasi mutu suara seorang penyanyi.

Konser ini diawali dengan pengantar sang ayah, Amoroso Katamsi. ”Dari kecil ketiga anak saya, termasuk Aning, berada dalam lingkungan yang berkesenian. Mereka menunjukkan keinginan tinggi mempelajari musik secara mendalam dan saat ini ketiganya hidup dari bermusik,” kata pemeran Soeharto dalam film Pengkhianatan G30S/PKI itu membuka konser bagi putrinya. ”Hanya Aning yang mantap memilih seriosa seperti ibunya. Mungkin pengaruh ibunya sangat besar karena saat itu karier ibunya tengah menanjak.”

Kemudian foto-foto kenangan keluarga ditayangkan di dinding panggung. Aning kecil dengan pakaian pramuka. Aning bersama ayah, ibu, dan kedua saudaranya. Aning bersama suami dan kedua anaknya. Yang bikin haru adalah foto Pranawengrum muda sedang menyuapkan nasi kepada Aning yang agaknya masih duduk di bangku sekolah dasar: amat simbolik mewakili keberlanjutan generasi dalam berkesenian. Penyanyi ini tumbuh dalam keluarga baik-baik. Pilihannya akan seni suara klasik, piano klasik, dan Jurusan Fisika Fakultas MIPA UI juga mencerminkan ”baik-baiknya” seorang anak.

Latar belakang ini agaknya yang membentuk Aning menjadi penyanyi yang patuh pada rambu-rambu bernyanyi yang benar sehingga suara yang terdengar lebih inteligen, terdengar bersih bening seperti bunyi instrumen musik yang dibawakan pemain ulung. Bermodalkan suara dari jenis soprano liris, seorang penyanyi yang ingin bersih menyanyi akan menghadapi kesulitan mengisi ruang yang relatif besar atau ruang yang tidak cukup besar, tetapi dengan kondisi akustik yang tidak prima.

Aula Usmar Ismail termasuk dalam jenis ruang pertunjukan yang disebut terakhir. Inilah yang membuat babak kedua pertunjukan ini, yang diisi dengan aria opera semacam ”Ebben! Ne Andro Lontana” dari Opera Le Nozze di Figaro (Alfredo Catalini) dan ”Un Bel Di, Vedremo” dari Opera Madama Butterfly (Giacomo Puccini), kurang pol terdengar. Suara dari jenis soprano dramatik mungkin akan kena membawakan kedua nomor tersebut pada ruang dengan kondisi akustik seperti Aula Usmar Ismail. Ini dibuktikan oleh solis Paduan Suara The Phillipine Madrigal Singers beberapa bulan lalu. Sayang sekali, suara merdu Aning dengan presisi yang tinggi membawakan kedua nomor itu tidak bisa kesampaian dengan baik ke seluruh penonton.

Untunglah pada babak pertama ing menyuguhkan tembang-tembang puitik yang pas dengan sopran lirisnya dan tidak menuntut energi yang berlebih. Efek bunyi puitik khas Jerman berhasil dilantunkannya dengan bagus pada ”Lachen und Weinen” dan ”Gretchen am Spinnrade” (keduanya karya Franz Schubert) dengan lirik berdasar puisi Friedrich Rückert dan Johann Wolfgang van Goethe. Demikian pula ”Vergeblisches Ständchen” (Johannes Brahms) dan ”Widmung” (Robert Schumann) berdasarkan syair Friedrich Rückert itu.

Mengenakan kebaya panjang merah hati, suji, dan jilbab pada babak tembang puitik, Aning yang malam itu rada langsing baru memperlihatkan keunggulannya dalam membawakan tembang puitik Indonesia—yang mungkin tertandingi pada era ini—saat melantunkan dua karya Mochtar Embut: ”Setitik Embun” dan ”Gadis Bernyanyi di Cerah Hari”.

Senantiasa ’kan terkenang jua, jangan merdumu mempesona, nyalakan gairah jiwaku di kala lesu, kukejar cahaya, kukejar cahaya bahagia.

Aning telah mempersembahkan sebagian besar hari-harinya untuk musik klasik, 25 tahun dari 41 tahun usianya saat ini. Pantaslah kalau malam itu ia bersama timnya mempersembahkan yang terbaik. Memilih pianis Levi Gunardi sebagai mitra puitiknya, menyerahkan kembang kepada sang guru, Catharina W Leimena, dan membagi satu per satu penonton setangkai bunga Gerbera jamesonii.

Sumber: Kompas, Minggu, 31 Oktober 2010
[Buku] Penafsiran Demokrasi dalam Konstitusi
-- Rizka Ramadhani

MASALAH amandemen ataupun penyimpangan terhadap pelaksanaan konstitusi sering diributkan beberapa tahun terakhir. Banyak kontroversi terhadap kasus-kasus besar yang sulit ditangani meskipun dikembalikan lagi pada makna UUD 1945.

Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008, tanggal 18 Agustus ditetapkan sebagai Hari Konstitusi. Walau penetapannya terlambat, Hari Konstitusi menjadi penting dalam membangun kesadaran konstitusi dan demokrasi. Ini menyadarkan betapa konstitusi penting dalam sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama sejak UUD 1945 ditetapkan secara resmi pada 18 Agustus 1945.

Tafsir Konstitusi: Pergulatan Mewujudkan Demokrasi di Indonesia ini sepertinya diterbitkan untuk ikut mengingatkan masyarakat agar sadar konstitusi dan cermat menilai proses demokratisasi yang masih banyak kendala. Buku ini diangkat dari disertasi penulis, Aidul Fitriciada Azhari, di Universitas Indonesia yang dipromotori oleh Jimly Asshiddiqie dan ko-promotor Mahfud MD. Artinya, tema yang dikerjakan oleh Azhari tersebut penting sebab bertepatan dengan keinginan masyarakat untuk mewujudkan negara Indonesia yang demokratis berdasarkan konstitusi.

Buku setebal 516 halaman ini membahas masalah-masalah penting, antara lain demokrasi, otokrasi, penafsiran makna demokrasi dalam UUD 1945, perspektif dan pola penafsiran UUD 1945, serta implikasi penafsiran UUD 1945 terhadap pembentukan sistem demokrasi atau otokrasi. Banyak penjelasan yang memberi kesadaran bahwa pelaksanaan UUD 1945 sejak Orde Lama ternyata belum sepenuhnya dapat menciptakan demokrasi, supremasi hukum dan penegakan HAM. Apalagi untuk menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran. Karena itulah, buku ini bisa bermakna saat Mahkahmah Konstitusi dengan gencar melakukan sosialisasi sadar konstitusi dan telah berhasil dalam menangani banyak masalah terkait dengan konstitusi.

Perbedaan penafsiran

Azhari menyebutkan, demokrasi merupakan tema sentral dalam UUD 1945, tetapi dalam penerapannya oleh Orde Lama dan Orde Baru muncul perbedaan penafsiran dan aplikasi. Makna demokrasi yang berbeda-beda itu didasarkan pada legitimasi konstitusional atas sistem ketatanegaraan yang dibangunnya. Maka, dikenal pelaksanaan demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, dan demokrasi Pancasila yang semuanya merupakan cerminan penguasa dalam menafsirkan UUD 1945.

Untuk merunut sejarah penafsiran UUD 1945 dan pelaksanaan sistem demokrasi di Indonesia, Azhari memakai pendekatan dekonstruksi (Jaques Derrida) dan hermeneutik (Hans-Georg Gadamer). Metode penafsiran mutakhir tersebut dimaksudkan untuk dapat membongkar sistem penafsiran pada masa lalu. Jadi, masing-masing periode akan ditemukan bangunan tafsir dan cara memaknai demokrasi yang memiliki persamaan dan perbedaan.

Studi Azhari ini memberi kemungkinan masyarakat untuk tidak merasa takut atau terlalu mengultuskan UUD 1945 sebab konstitusi itu yang membuat adalah manusia. Sejarah politik telah dengan represif melindungi UUD 1945 dari berbagai usulan perubahan. Bahkan, untuk mengultuskannya, penguasa memunculkan tuduhan subversi, inkonstitusional. Inilah yang ingin disadari dengan keterbukaan untuk mengritisi UUD 1945 demi penegakan demokrasi.

Selanjutnya, Azhari menjelaskan makna demokrasi yang tercantum dalam teks Proklamasi dan UUD 1945. Intinya sama, yaitu negara Indonesia menganut asas-asas yang menjamin berlakunya sistem demokrasi partisipatoris, berorientasi pada terpenuhinya hak dan kebebasan warga negara secara positif, baik kebebasan politik maupun sosial dan ekonomi.

Dalam pelaksanannya, demokrasi ditentukan oleh penguasa yang menafsirkan UUD 1945 menurut pandangan politiknya meskipun dalam beberapa hal sebenarnya menyimpang dari makna demokrasi yang termuat dalam konstitusi tersebut. Usaha menjunjung tinggi UUD 1945 oleh Soekarno dan Soeharto pada kenyataannya sering menimbulkan perdebatan politik, hukum, dan ekonomi. Banyak pihak menganggap demokrasi yang dijalankan adalah demokrasi pincang sebab memanfaatkan UUD 1945 secara politis saja dan tidak membuktikan secara konsekuen.

Cara penafsiran Azhari inilah yang membuat Fransisco Budi Hardiman, pengajar filsafat di STF Driyarkara, Jakarta, memberi pujian meski dalam beberapa hal diakui ada titik-titik kelemahan yang harus dibenahi. Hardiman mengungkapkan, buku ini merupakan salah satu bukti bahwa penulis membuat tilikan kritis yang dikobarkan lewat teori-teori interpretasi terkini, yang dicakup dalam istilah postmodernisme (halaman 7). Pendirian penulis jelas, yaitu melawan kepentingan kekuasaan otoriter yang bercokol di balik kedok penjagaan kemurnian tafsir UUD 1945 yang telah lama ditafsirkan oleh Orde Baru.

Jadi, arti buku ini memang penting dalam membangun kesadaran kritis untuk membentuk masyarakat sadar konstitusi. Studi yang dilakukan Azhari tepat diapresiasi pada masa usaha-usaha mewujudkan demokrasi, supremasi hukum, dan penegakan HAM yang sedang digalakkan oleh pemerintah dan banyak pihak. Apalagi, untuk membuktikan kinerja DPR dalam legislasi ataupun Mahkahmah Konstitusi yang bekerja demi penegakan konstitusi.

Rekomendasi dari Azhari sepantasnya direnungkan oleh para pemangku kepentingan dan masyarakat, ”Secara teoretis penafsiran konstitusi atas UUD 1945 masih belum berkembang, padahal secara kelembagaan telah terbentuk Mahkamah Konstitusi, yang di antaranya memiliki wewenang melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945.” (halaman 490). Semoga segala usaha untuk membentuk masyarakat sadar konstitusi dapat terlaksana. Akhirnya, buku ini dapat dijadikan sebagai usaha yang ilmiah untuk sumbangan agenda mewujudkan demokrasi di Indonesia yang berdasarkan konstitusi.

Rizka Ramadhani, Bergiat di Forum Nalar Kita

Sumber: Kompas, Minggu, 31 Oktober 2010

Jalan Panjang Menuju Propaganda!

-- Putu Fajar Arcana

PADA produksi ke-120, Teater Koma tampil beda. N Riantiarno, sebagai sutradara, menggiring pementasannya ke jalan realisme sebagaimana kita lihat dalam drama-drama televisi. Jauh sekali dari pentas-pentas panggung sebelumnya yang memadukan antara dongeng dan sindiran terhadap realitas.

Negeri yang dikisahkan dalam lakon Rumah Pasir, 29 Oktober– 7 November 2010 di Teater Salihara, Jakarta, adalah negeri sehari-hari. Oleh sebab itu, Riantiarno menata kostum para pemain serta membangun setting pentasnya sebagaimana kenyataannya. ”Saya tidak menolak kalau ini dibilang sinetron,” ujar Riantiarno sengit ketika ditanya tentang pentasnya yang berbeda kali ini.

Pernyataan Riantiarno bukan tanpa alasan. Lakon-lakon mengenai HIV/AIDS, dengan tujuan propaganda, pada awalnya memang digarap sutradara ini untuk drama televisi. Tahun 1994, misalnya, kelompok ini pernah membuat tiga episode cerita tentang HIV/AIDS di TVRI berjudul ”Onah dan Impiannya”. Proyek serupa dilanjutkan pada tahun yang sama dengan judul ”Suryakanta Kala”.

Bahkan, tahun 1999 bersama sutradara Riri Riza, Hani Saputra, dan Nan T Achnas, Riantiarno membuat lakon ”Kupu-Kupu Ungu” dengan 13 tayangan di stasiun RCTI. Oleh sebab itu, jika Koma kemudian memproduksi Rumah Pasir, bukanlah sebuah kisah yang tiba-tiba. Hal yang baru, Riantiarno secara berani ”memindahkan” yang ia kerjakan di televisi ke atas panggung. ”Plotnya pun filmis sekali, kan?” ujar Riantiarno meyakinkan.


Kisah biasa

Rumah Pasir adalah kisah biasa dalam cerita-cerita seri HIV/AIDS. Seorang lelaki ganteng dan kaya bernama Galileo suka bertualang di dunia seks. Ia berganti-ganti pasangan sekehendak hati sampai akhirnya suatu hari jatuh sakit. Dan, kemudian terbukti ia mengidap AIDS. Tak seorang pun pacar-pacarnya yang berani mendekat, kecuali Wieske Gerung, sekretaris eksekutifnya yang benar-benar mencintai Leo. Pada saat-saat terakhir Leo ditemani oleh Bambang Nirwanto, seorang wartawan pemerhati HIV/AIDS dan Dokter Tatyana Ridanda, yang juga aktivis HIV/AIDS.

Kisah pun mudah ditebak. Leo meninggal lalu Wieske hamil dan tertular HIV/AIDS. Hebatnya anak mereka, yang kemudian diberi nama Galilei, selamat dari amukan penyakit mematikan itu.

Sebagai drama ”penyuluhan”, Riantiarno tidak menolak disebut begitu, pentas ini memang dipenuhi dengan propaganda seputar apa itu HIV/AIDS dan bagaimana cara menghidarinya. Tokoh dokter Tatyana yang dimainkan Cornelia Agatha menjadi figur dominan dalam ”ceramah” Riantiarno mengenai bahaya dan cara mencegah serta penanggulangan HIV/AIDS.

Padat pesan

Tidak ada yang patut dirisaukan dengan arah yang sedang dirunut Teater Koma. Teater sekali waktu memang mestinya tidak bermain di wilayah awang-awang, di mana seni dieksplorasi demi tujuan seni itu sendiri. Sekali waktu teater perlu turun ke wilayah sehari-hari dan membicarakan problem sehari-hari masyarakat modern.

Masalahnya kemudian bagaimana mengemas kampanye tentang HIV/AIDS itu ke dalam satu jalinan cerita yang sublim tanpa terkesan sebagai ceramah karena ini pentas teater. Dialog-dialog panjang yang dilontarkan dokter Tatyana adalah inti dari propaganda lakon ini. Riantiarno menuliskannya begitu saja sebagai ceramah yang berkepanjangan sehingga terkadang membosankan. Karena dialog-dialog itu tidak dijalin ke dalam peristiwa. Ia dilontarkan begitu saja, sebagaimana seorang dokter atau aktivis menceramahi pasiennya. Padahal, soal seputar HIV/AIDS saat ini bisa dengan mudah diakses melalui berbagai media.

Penonton teater tentu saja hadir dengan berbagai motivasi. Apalagi penonton Teater Koma yang berasal dari berbagai kalangan profesi. Namun, yang paling inti dari peristiwa menonton teater adalah menikmati sensasi keindahan, syukur-syukur dalam sensasi itu terdapat pesan sehingga ketika pulang mereka tidak hanya mengingat sensasi, tetapi juga pesannya.

Rumah Pasir sesungguhnya dihasratkan sebagai lakon simbolik, di mana apa yang sudah kita bangun dengan susah payah bisa rata lagi diempas ombak. Dan, semuanya menjadi sia-sia. Sayang, peristiwa simbolik itu sama sekali tidak muncul dalam pentas ini lantaran, sekali lagi, Riantiarno terlalu sibuk dengan pesan-pesan yang ingin dia ungkapkan kepada penontonnya. Itu sebabnya pentas ini jatuh menjadi sekadar rumah pasir, yang sekali dikatakan, sudah itu dilupakan….

Sumber: Kompas, Minggu, 31 Oktober 2010

Antara Pemaknaan Pribadi dan Kesan Visual

-- Arbain Rambey

FOTOGRAFI sudah menjadi milik siapa pun saat ini. Tinggal sediakan uang untuk membeli seperangkat kamera, pelajari sedikit buku manualnya, orang bisa menyandang predikat sebagai seorang fotografer.

Fotografi saat ini memang bisa sesederhana itu. Fotografi demikian populer karena, dengan menjalani hobi fotografi saja, seorang manusia telah dianggap punya jiwa seni melebihi orang lain.

Pada peristiwa jatuhnya pesawat akrobatik di Bandung akhir bulan September lalu, hampir semua foto yang merekam dengan detail kejadian itu justru dibuat kaum amatir. Kaum amatir (yang tidak cari uang dari kegiatan memotret) ada di mana-mana dan memotret apa pun yang ada di depan mereka. Sedikit banyak, kaum profesional mulai direpotkan dari beberapa segi.

Fotografi memang sangat berubah dibandingkan dengan saat diciptakan hampir 200 tahun yang lalu. Dari pelakunya, cara memandang kegiatan ini, sampai dengan keluaran-keluarannya. Benda yang kita sebut foto saat ini sering sudah tidak seperti foto yang kita lihat 20 tahun yang lalu. Saat ini sebuah foto bisa membuat kita mengernyitkan kening, tertawa lepas, manggut-manggut, atau bahkan bingung sama sekali.

Alinea-alinea di atas perlu untuk mengantar kita kalau mau memahami dan memaknai foto-foto karya Omar Taraki Niode (almarhum) yang baru saja selesai dipamerkan di Galeri Foto Jurnalistik ANTARA, Jakarta dengan tajuk ”Omar’s Visual Journey”.

Seorang pengunjung pameran itu mengirimkan SMS kepada saya: ”Menurut kamu, itu foto apa?”

Baiklah, tiap orang selalu ingin jawaban instan manakala melihat sebuah foto. Foto karena bersifat visual, artinya masuk ke otak melalui indera mata, dianggap harus langsung bisa dimengerti tanpa penjelasan khusus. Sejalan dengan pertanyaan SMS itu, banyak pula orang yang bertanya: ”Apa artinya? Apa maksudnya?” manakala melihat sebuah foto yang tidak lazim di mata mereka.

Fotografi perjalanan

Foto-foto di pameran itu adalah rekaman perjalanan Omar ke India beberapa tahun yang lalu. Setelah Omar meninggal dunia, foto-foto itu dikumpulkan dan dikurasi, lalu dipamerkan.

Secara umum, foto-foto itu masuk dalam kategori foto perjalanan (travelling photography), sebuah cabang fotografi yang paling banyak dilakukan manusia. Survei yang dilakukan sebuah perusahaan kamera di Jepang tahun 2007 mendapati data ini: 70 persen orang membeli kamera untuk menyertai perjalanan yang akan mereka lalukan. Fotografi perjalanan adalah hal yang membuat penjualan kamera selalu naik dari waktu ke waktu.

Fotografi perjalanan umumnya sangat subyektif, artinya apa yang dipotret pelaku adalah hal-hal yang menurut mereka menarik untuk ”dibawa pulang”. Konsep membawa oleh-oleh rekaman visual ini pula yang membuat buku-buku foto perjalanan selalu laku di pasaran.

Akan halnya foto-foto Omar, subyektivitas perjalanannya sangat terasa terutama pada foto yang dia buat dari dalam taksi di Kalkuta. Secara langsung kita ikut mencicipi suasana yang sempat dirasakan Omar dalam perjalanannya itu.

Pertanyaan awam ”apa maksud foto-foto itu” atau ”apa bagusnya foto-foto itu” menunjukkan bahwa secara umum kita masih sangat menganggap bahwa foto yang dipamerkan harus ”luar biasa”. Kesadaran bahwa sebuah pameran foto adalah sebuah proses komunikasi belum terlalu bisa diterima di sini.

Patut dipuji upaya panitia pameran yang memasukkan catatan-catatan pribadi Omar ke panel-panel yang memuat foto-foto. Selain kesan grafisnya menjadi kuat, catatan-catatan itu makin ”menghadirkan” Omar dalam suasana perjalanan yang dirasakan pengunjung.

Harus dipahami benar bahwa Omar tidak ingin berindah-indah dalam memotret perjalanannya. Pengunjung pameran tidak diminta untuk mengagumi karya Omar, melainkan untuk ikut merasakan sebagian perjalanan Omar.

Sebuah foto yang indah adalah foto yang bisa mewakili fotografernya dalam segala hal. Foto-foto Omar di pameran itu telah membuktikannya!

Sumber: Kompas, Minggu, 31 Oktober 2010

Komunitas Sastra di Indonesia: Tumbuh Bak Cendawan, Sirna Laksana Asap

-- Iwan Gunadi

SEORANG dosen di Fakultas Sastra Universitas Indonesia heran ketika berkunjung ke Universitas Leiden, Belanda, beberapa tahun lalu. Ia heran bukan lantaran koleksi karya-karya sastra lama Indonesia di sana jauh lebih lengkap ketimbang di negerinya. Banyak kalangan, terutama para akademisi, sudah lama memafhuminya. Kolonialisme, inilah yang kemudian sering muncul sebagai tumbal argumentasi.

Tentu, bukan hal itu yang membuatnya heran. Mereka pun lebih lengkap mengoleksi karya-karya sastra mutakhir terbitan pelbagai komunitas sastra di Indonesia. Rupanya, itulah biang keladi keheranannya. Maklum, di almamaternya sendiri, ia merasa tak mudah menemukan karya sastra semacam itu. Padahal, pelbagai karya sastra itu diterbitkan paling lama sekitar 1995. Ia sendiri kemudian betah di Universitas Leiden untuk memperdalam ilmu dan meneliti sampai sekarang.

Cendawan di Musim Hujan

Memang, sejak awal 1980-an, di Indonesia tumbuh banyak komunitas sastra. Kalau kita pakai perumpamaan klise, fenomena tersebut bak cendawan di musim hujan. Pemetaan yang dilakukan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) untuk Litbang Harian Kompas (Jakarta) pada 1997 saja berhasil mengumpulkan informasi dari 54 komunitas sastra yang tumbuh dan atau masih aktif di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek). Dari jumlah tersebut, yang berhasil dipetakan ada 46 komunitas sastra. Jumlah tersebut saja melebihi jumlah 35 organisasi yang mengikuti Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia (KKPI) yang digelar di Jakarta pada awal Maret 1964. Artinya, selama 33 tahun, jumlah komunitas sastra di wilayah yang lebih sempit sudah melebihi jumlah komunitas di wilayah yang jauh lebih luas, walau mungkin di wilayah yang lebih luas tersebut masih banyak komunitas sastra yang tidak turut konferensi tersebut.

Kalau wilayahnya kita perluas sampai seluruh Indonesia dengan ren­tang waktu sama (1997), jumlahnya bisa ratusan atau bahkan lebih. Apalagi jika rentang waktunya diperpanjang melebihi tahun tersebut. Melani Budianta, dosen Fakultas Sastra Universitas Indonesia, misalnya, pada diskusi “Mencermati Sastra Subkultur Kita” yang diselenggarakan Yayasan Obor Indonesia di Jakarta, 31 Mei 2001, memperkirakan bahwa pada saat itu jumlah komunitas sastra di Indonesia lebih dari 200 dan 75 di antaranya berada di Jakarta. Jumlah tersebut pun belum termasuk komunitas sastra yang dibentuk di kampus-kampus perguruan tinggi.

Kalau rentang waktu untuk taksiran Melani diperpanjang ke depan hingga 2010, misalnya, jumlahnya jauh di atas angka itu. Krisis moneter (krismon) pada 1997 yang berkembang menjadi krisis multidimensi, lalu berujung dengan mundurnya Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia (RI) pada 21 Mei 1998, menyorongkan ruang yang luas untuk tumbuhnya kelompok-kelompok, termasuk kelompok kesusastraan. Krismon membangkrutkan banyak perusahaan dan menciptakan pengangguran di mana-mana. Mengamen menjadi salah satu cara bagi para pengangguran untuk bertahan hidup. Dari sana, muncullah aktivitas pementasan karya sastra, terutama puisi, di atas moda transportasi darat. Keguyuban di antara para pelakunya melahirkan sejumlah komunitas sastra. Tumbuhnya ratusan media massa sejak 1998 setelah Menteri Penerangan Kabinet Reformasi Pembangunan pimpinan Presiden Baharuddin Jusuf (BJ) Habibie, M. Yunus Yosfiah, membuka keran kebebasan penerbitan media massa tentu turut merangsang ramainya komunitas sastra. Begitu juga pencabutan Intruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001), terutama komunitas sastra yang berbasis warga negara Indonesia keturunan Tionghoa.

Kalau kita sepakat dengan asumsi bahwa komunitas teater, komunitas seni secara umum, atau komunitas nonseni tak terlepas atau tak jarang juga melakukan ak­tivitas sastra, jumlah “komunitas sastra” tentu lebih banyak lagi. Maklum, jumlah aktivitas sastra seolah tak pernah menyusut. Penyelenggaranya tentu tak hanya komunitas sastra, tapi juga komunitas seni yang lain atau bahkan komunitas nonseni yang punya perhatian atau minat terhadap sastra. Apalagi, tak sedikit pekerja sastra yang juga berteater, berseni rupa, dan ataupun menggeluti atau sekurangnya meminati cabang kesenian lain ataupun sebaliknya, tak sedikit orang di luar pekerja sastra menggeluti atau sekurangnya meminati sastra. Kenyataan tersebut juga kembali menambah deret panjang “komunitas sastra”. Kalau ingin bukti, tengok saja buku Direktori Seni dan Budaya Indonesia 2000, misalnya. Dari 3.869 komunitas seni budaya di Indonesia yang berhasil dicacat hingga 1999, komunitas yang melakukan aktivitas sastra melebihi angka taksiran Melani tadi. Mereka bukan hanya komunitas sastra, tapi komunitas cabang kesenian yang lain, komunitas seni secara umum, atau bahkan komunitas budaya.

Data yang mencengangkan dapat dilihat pada hasil Susenas Model 2003 yang dilakukan Biro Pusat Statistik (BPS)—sekarang, namanya Badan Pusat Statistik (BPS). Selama 1993-2003, BPS mencatat keberadaan 89.658 organisasi kesenian dari 26 provinsi di Indonesia. Jumlah tersebut meliputi organsasi kesenian di bidang musik, seni tari, seni rupa, karawitan, pedalangan, teater, dan sastra. Organisasi kesenian di bidang sastra mencapai 4.699 atau 5,24% dari jumlah total organisasi kesenian itu.

Penyebaran berbagai komunitas sastra itu tak merata. Pulau Jawa menjadi wilayah yang paling banyak memiliki organisasi kesenian di bidang kesusastraan. Provinsi-provinsi di Maluku dan Papua diperkirakan sebagai wilayah yang paling sedikit memiliki komunitas sastra.

Perubahan Politik, Sosial, dan Ekonomi
Kesemarakan pertumbuhan komunitas sastra di Indonesia selama 30 tahun terakhir itu tentu tak lepas dari kondisi politik, sosial, dan ekonomi selama rentang waktu tersebut. Selama itu, masyarakat Indonesia mengenal dua tipe kehidupan politik, sosial, dan ekonomi yang berbeda. Selama 20 tahun hingga Soeharto mengundurkan diri sebagai Presiden RI, masyarakat Indonesia hidup dalam hegemoni negara, yang direpresentasikan oleh pemerintahan Soeharto dengan aktor tunggal Soeharto sendiri. Rentang waktu tersebut merupakan bagian utama dari 32 tahun masa kepemimpinan Soeharto yang berkuasa secara otoriter. Selama 32 tahun rezim Orde Baru tersebut, kekuatan negara lebih besar ketimbang pengaruh masyarakat. Bahkan, banyak analis politik dan sosial menilai masa tersebut sebagai periode ketertekanan masyarakat yang teramat sangat, terutama sejak 1980-an.

Dengan posisi yang lebih kuat itu, negara mampu mengambil sejumlah langkah kebijakan politik untuk mengendalikan kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Akibatnya, pada awal 1980, Pemerintah Indonesia telah berhasil melemahkan semua potensi kritis masyarakat. Masyarakat tak lagi berani berseberangan atau berbeda paham dengan pemerintah. Sebab, kontrol pemerintah ditebar di mana-mana. Masyarakat seperti hidup dalam rumah kaca.

Kalau akhirnya masyarakat seperti menerima kondisi represif tersebut, hal itu lebih karena efektifnya pengaruh candu ekonomi yang ditiupkan rezim Soeharto. Tapi, di luar keterbiusan oleh candu ekonomi, masyarakat sesungguhnya tak sepenuhnya menerima represi negara dengan diam seribu bahasa. Kelompok masyarakat yang kritis membentuk kelompok-kelompok kecil yang bergerak secara informal di luar wilayah-wilayah yang mudah dikontrol penguasa. Begitu juga dengan kelompok-kelompok kesenian, termasuk kelompok kesusastraan. Mulanya mereka tumbuh di taman-taman budaya yang dibangun pemerintah, tapi kemudian menyebar ke luar setelah taman-taman budaya berubah menjadi pusat-pusat kesenian. Maraknya pertumbuhan komunitas sastra di luar pusat-pusat kesenian itu boleh jadi merupakan upaya berkelit dari represi negara terhadap para warganya serta tak lepas dari munculnya kesadaran kolektif yang lebih meluas pada 1980-an dan lebih-lebih pada 1990-an untuk tak lagi menempatkan Jakarta sebagai barometer standar estetika kesusastraan Indonesia.

Belum lagi perkembangan teknologi informasi (TI) memberikan kesempatan yang nyaris tanpa batas yang disediakan situs-situs web sastra, blog sastra, mailing list (milis), ataupun situs jaringan sosial seperti friendster (www.friendster.com) dan facebook (www.facebook.com) di dunia maya alias internet yang mulai tumbuh sebelum krisis moneter pada pertengahan 1997. Dunia maya kemudian tak hanya menjadi wadah untuk menyosialisasikan karya sastra, tapi juga menjadi wadah untuk saling berinteraksi: mulai dari berdiskusi, berdebat, bergunjing, tukar informasi, apresiasi interaktif, atau sekadar berkenalan di antara orang-orang yang menyenangi, meminati, dan atau memahami karya sastra. Sejak itulah, komunitas-komunitas sastra di dunia maya, yang kemudian ditengarai sebagai komunitas sibersastra, bermunculan memperkaya ragam komunitas sastra.

Jalan Pintas Legitimasi Kesastrawanan
Awalnya, kesemarakan pertumbuhan komunitas sastra di Indonesia itu dicurigai dilatari kecenderungan seperti ini: seseorang yang merasa belum menjadi sastrawan menjadikan komunitas sastra sebagai “kendaraan” yang akan menyulapnya sebagai sastrawan. Komunitas sastra berperan sebagai legitimator status “kesastrawanan”. Atau, seseorang yang sudah merasa menjadi sastrawan menjadikannya sebagai “kendaraan” yang akan menguatkannya sebagai sastrawan besar. Besar di sini dapat bermakna sastrawan yang menghasilkan karya-karya bermutu tinggi, yang berpotensi memopulerkan namanya. Atau, besar juga dapat berarti nama besar yang dihasilkan dari politik sastra yang ditempuhnya, bukan lantaran karya-karyanya. Bahkan, boleh jadi, karya-karyanya tak seberapa atau bahkan bermutu rendah. Tapi, karena aktivitas politik sastranya lebih heboh, namanya menjadi besar dan terkenal.

Fenomena semacam itu mengemuka lantaran tak sedikit komunitas sastra dibentuk dengan relasi yang tidak imbang antaranggotanya. Dalam bahasa politik, ia dikenal sebagai kekuasaan. Relasi yang tidak imbang tersebut mungkin lahir lantaran komunitas sastra itu sejak awal memang berfungsi sebagai sanggar atau wadah pembibitan atau pelatihan. Dalam kondisi demikian, potensi konflik antarkepentingan mungkin lebih kecil untuk terjadi atau bahkan tak ada celah. Sebab, komunitas semacam itu memang dibangun dengan kesadaran bahwa relasi antaranggotanya memang timpang alias tidak imbang. Tak heran bila pihak yang terdominasi atau terhegemoni kekuasaan itu tak merasa dirugikan. Kekuasaan dengan citra positif sebagaimana dipahami Michel Foucault tampaknya cocok untuk kondisi seperti itu.

Dalam relasi tak imbang seperti itu, biasanya, ada pemuka yang berperan sebagai pusat kekuasaan. Seluruh instrumen komunitas berputar dalam hegemoninya. Seluruh anggota komunitas biasanya berusaha mengidentifikasi diri sesuai dengan keinginan, pemikiran, dan sikap sang pemuka. Walaupun mungkin sang pemuka tak menghendaki hal-hal semacam itu terjadi, sikap feodalistik para anggota tak jarang membuat mereka sungkan atau “takut” mengidentifikasi diri menjadi sesuatu yang bertentangan dengan keinginan, pemikiran, dan sikap sang pemuka. “Takut” dinilai tak sopan, tak tahu diri, dan semacamnya seolah-olah telah menjadi senjata yang dibikin mereka sendiri untuk membunuh keakuannya. Padahal, di sisi lain, di antara mereka banyak yang menyadari bahwa keakuan merupakan salah satu senjata kesenimanan, termasuk kesastrawanan.

Kecenderungan seperti itu terjadi pada banyak komunitas besar. Ada seseorang yang menjadi as atau pusat. Semua orang yang ada di sekitar atau sekelilingnya mencoba mengidentifikasi diri seperti sang pusat. Tak heran kalau kemampuan kritis mereka terhadap sang pusat majal. Kalau hal ini terjadi, pertumbuhan dan perkembangan komunitas sastra selama 30 tahun terakhir terasa paradoks.

Di satu sisi, kehadiran berbagai komunitas sastra itu seperti ingin menegasikan apa yang selama ini disebut pusat: Taman Ismail Marzuki di antara taman-taman kesenian lain, Jakarta di antara propinsi-provinsi lain, Majalah Horison di antara majalah-majalah lain atau Majalah Horison sebagai sebuah kesendirian, rubrik seni dan budaya Harian Kompas pada edisi Minggu di antara harian-harian lain yang memiliki rubrik yang sama, dan seterusnya.

Namun, di sisi lain, kehadiran pelbagai komunitas sastra seperti menciptakan pusat-pusat baru. Bedanya, pusat pertama bersifat institusional yang beragam. Karena itu, sifat acuannya pun samar. Karena acuannya samar, setiap proses kreatif yang mengacu kepadanya masih memiliki potensi keanekaan yang lebih luas. Sedangkan, pusat kedua bersifat personal individual. Karena itu, referennya tegas dan tunggal. Karenanya, setiap proses kreatif yang bertolak darinya memiliki peluang yang lebih sempit untuk menjadi penuh warna. Boleh jadi, hasil dari setiap proses kreatif itu hanyalah manifestasi dari isi kepala sang pusat atau varian-varian yang hanya sedikit berbeda dari karya-karya kreatif sang pusat. Kalau hal tersebut yang terjadi, pusat-pusat baru yang personal individual ini tentu “lebih berbahaya” untuk suatu kreativitas dan inovasitas.

Sementara, bila relasi yang tidak imbang itu lahir bukan karena konsekuensi bentuk komunitas sastra, ketimpangan itu muncul biasanya lantaran pihak pendominasi atau penghegemoni memiliki kemampuan menjalin hubungan antarpersonal dan jaringan yang lebih luas. Ada juga memang sejumlah komunitas dengan hubungan antaranggota yang timpang karena pihak pendominasi atau penghegemoni memang memiliki pengetahuan sastra dan kemampuan menghasilkan karya sastra yang lebih baik. Tapi, yang terakhir ini tampaknya jauh lebih sedikit dari yang pertama. Komunitas sastra model pertama itu sendiri biasanya dibentuk lebih karena inisiatif pihak pendominasi atau penghegemoni. Dalam kondisi seperti itu, konflik antarkepentingan lebih berpeluang terjadi. Kalau hal ini mencuat, komunitas sastra tersebut terancam bubar.

Ancaman yang sama juga dapat membayangi komunitas sastra yang bersandar pada satu figur tertentu sebagai pusat segalanya. Tapi, ancaman tersebut tak dilatarbelakangi konflik yang tajam antaranggota. Sebab, dalam komunitas dengan pusat satu tokoh tertentu, keberlangsungan hidup komunitas sastra cenderung tak dipengaruhi ada tidaknya konflik antaranggota. Apalagi bila konflik itu tak melibatkan sang pemuka atau sang pusat.

Akhirnya, ancaman bubar bagi komunitas sastra semacam itu biasanya hanya muncul dari sang pemuka sendiri. Keberadaan komunitas sastra tetap akan terjaga dan bergairah selama sang pemuka tetap bergairah pula. Kalau sang pemuka tak lagi bergairah atau bahkan meninggal dunia, komunitas sastra itu dapat lebih dipastikan akan terancam bubar.

Ketakloyalan Anggota

Jumlah anggota setiap komunitas sastra di Indonesia sedikit. Rata-rata tak lebih dari sepuluh orang. Yang paling banyak memang komunitas sastra dengan jumlah anggota seperti itu. Di bawah mereka adalah komunitas sastra dengan jumlah anggota puluhan orang. Yang disebut “puluhan orang” pun biasanya tak lebih dari 30 orang atau bahkan 20 orang. Dari jumlah yang sedikit itu pun, loyalitas keanggotaan mereka tak sepenuhnya kokoh. Sistem keanggotaan yang longgar membuat mereka bisa dengan mudah menjadi anggota pada lebih dari satu komunitas sastra atau bahkan mendirikan komunitas sastra baru tanpa meruntuhkan atau menghilangkan keanggotaan mereka pada komunitas sastra sebelumnya.

Yang jauh lebih sedikit adalah komunitas sastra dengan jumlah anggota ratusan atau bahkan ribuan orang. Komunitas Sastra Indonesia (KSI), Himpunan Pengarang Indonesia (HPI) Aksara, Apresiasi Sastra (Apsas), Forum Lingkar Pena (FLP), dan Komunitas Musikalisasi Puisi Indonesia (Kompi) merupakan sejumlah contoh yang mudah disebut untuk 1990-an hingga sekarang. Dari era sebelumnya, 1980-an, kita dapat menyebut Himpunan Penulis, Pengarang, dan Penyair Nusantara (HP3N). Bahkan, konon, HP3N pernah memiliki koordinat di seluruh provinsi di Indonesia, kecuali Irian Jaya dan Timor Timur. Sejak 1990-an hingga 2009, kelihatannya, hanya FLP dan Apsas yang mampu melewati kemasifan HP3N yang sudah lama tak terdengar lagi kiprahnya. Apsas memiliki jumlah anggota yang besar, yakni hampir 800 orang per awal 2007.

Loyalitas merupakan karakter yang langka pada kebanyakan komunitas sastra di Indonesia. Selain sistem keanggotaan yang longgar pada kebanyakan komunitas sastra seperti dijelaskan di atas, sebagaimana cabang kesenian yang lain, kesusastraan lengkap dengan masyarakat pendukungnya memang sudah telanjur diidentikkan sebagai dunia ketersendirian. Karakter petualang yang melekat dalam dunia ketersendirian tersebut merangsang mereka untuk terus mencari, termasuk pencarian yang menuntut mereka melakukan mobilitas yang tinggi. Kalaupun kemudian masyarakat pendukung kesusastraan itu membangun atau memasuki suatu organisasi, entah formal, lebih-lebih informal, sifat bawaan dunia ketersendirian itu seperti sukar dilepaskan. Jadilah pendirian organisasi komunitas sastra menyimpan paradoks pada dirinya sendiri.

Satu Sastrawan di Lebih dari Satu Komunitas

Memang, sangat tidak mudah menemukan sastrawan generasi 1990-an ke depan yang tidak terlibat dalam komunitas sastra. Sastrawan generasi sebelumnya yang tetap aktif menghasilkan karya sastra atau tetap terlibat dalam aktivitas sastra juga berkiprah atau menjadi anggota komunitas sastra. Bahkan, ada di antara mereka, terutama sastrawan generasi 1980-an ke depan, menjadi anggota lebih dari satu komunitas sastra, walau komunitas-komunitas sastra itu tak selalu hidup dalam rentang waktu yang sama. Fakta tersebut bukan hanya terjadi di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek), melainkan juga menjadi milik banyak wilayah yang selama ini dikenal sebagai basis pertumbuhan dan perkembangan komunitas sastra di Indonesia.

Ada banyak sebab yang membuat mereka tampak terlibat di lebih dari satu komunitas. Satu, mereka ingin meluaskan wilayah sosialisasinya. Dua, mereka merasa tak puas dengan komunitas sebelumnya. Tiga, komunitas-komunitas sebelumnya atau yang lain memang sudah bubar, tak aktif alias vakum, atau kegiatannya sangat insidental dan jarang. Empat, membentuk atau aktif di suatu komunitas bukanlah pekerjaan yang sulit. Maklum, lebih dari separuh komunitas yang ada memiliki bentuk organisasi yang nonformal atau informal dan menerapkan sistem keanggotaan yang longgar.

Dari Buruh hingga Direktur

Namanya memang komunitas sastra. Tapi, karena yang menyukai sastra bukan hanya sastrawan, profil anggota komunitas sastra tak semuanya sastrawan. Sastrawan memang menempati porsi terbesar sebagai profil anggota komunitas sastra. Tapi, komunitas sastra tetap dihuni orang-orang yang sehari-hari tidak dikenal sebagai sastrawan. Mereka bisa pekerja seni nonsastra, buruh pabrik, pegawai negeri atau swasta, siswa atau mahasiswa, guru atau dosen, dokter, hingga direktur.

Sebagian besar komunitas sastra, sekali lagi, memang beranggota para pekerja sastra atau orang yang selama ini dikenal sebagai sastrawan, meski punya pekerjaan lain di luar aktivitas sastra. Tapi, ada juga komunitas sastra yang anggotanya tak hanya pekerja sastra, tapi juga pelbagai pekerja seni nonsastra. Komunitas sastra yang memiliki anggota bak gado-gado pun ada. Siapa saja —apa pun profesi dan latar belakang pendidikannya— yang menyenangi sastra dan ingin terlibat dalam aktivitas sastra boleh ikut.(Bersambung)

Iwan Gunadi, sedang melakukan penelitian tentang komunitas sastra di Indonesia. Menulis esai sastra danbahasa di berbagai media. Pernah bekerja sebagai redaktur bahasa di beberapa media seperti Tabloid Penta dan Majalah InfoBank. Tinggal di Tangerang, Banten.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 31 Oktober 2010

Saturday, October 30, 2010

Ekologi Lumpur

-- Beni Setia

ADA sebuah sajak naC/f yang sempurna sebagai sajak karena aspek repetisi yang mutlak dalam dirinya-dan bukan sekedar persanjakan sederhana yang bertumpu pada keberadaan bunyi vokal. Sajak yang diciptakan oleh Shoni Asmoro dan diberi judul "Alamat Lumpur", yang lengkapnya sebagai berikutTTK2 Jalan lumpur, No 1 / RT Lumpur / RW Lumpur / Desa Lumpur / Kecamatan Lumpur / Kabupaten Lumpur // Sebelah rel kereta lumpur / Tepatnya di sekitar pabrik lumpur // Kami pemenang rekor dunia lumpur / Penghasil terbesar lumpur // Kami bangga lumpur.

Aslinya sajak itu dipublikasikan dalam antoloji puisi 19 mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP), Syair-syair Fajar (Purwokerto, Mimbar, 2007), tapi penulis menemukannya dalam esei Abdul Aziz Rasjid, "Puisi Mahasiswa: Politik Bahasa dalam Ruang Reproduksi Kesenjangan Sosial" (Littera No 13 Th III Januari-Maret 2010, buletin sastra terbitan TBJT Solo). Yang mengintroduksi sajak itu dengan detil ciri masyarakat perkotaan itu yang punya sipat cermat, efisien namum acap kali destruaktif, dan sadis, di samping suka membangga-banggakan monumen-monumen dan catatan tentang prestasi mereka.

Tapi apakah kolam lumpur Siring, Sidoarjo itu memang monumen dan prestasi yang pantas dibanggakan, hingga pantas melahirkan narsisme seperti yang diungkap Shoni Asmoro dalam sajak "Alamat Lumpur" seperti yang dikutip di atas? Rasanya: tidak. Dan karena tidak, maka klaim puisi yang tidak bersetumpu pada simbol, idiom atau hukum ritma puitik apapun itu malah melahirkan tohokan. Melulu bertumpu di repetisi kata lumpur yang merubah ironi jadi sinisme, yang secara pahit amat mampu meledakkan sarkastis tidak adanya penanganan bencana yang benar.

Bahkan bukan sekedar penangan yang benar, malah identitas bencana itu sendiri tak pernah jelas. Apakah bersipat alami karena kerak bumi Sidoarjo retak oleh rambat daya Gempa Yogyakarta,yang rehabilitasi musibahnya hampir tuntas tapi tak pernah tuntas di Sidoarjo di titik dampak paling jauh. Ataukah itu akibat kesalahan prosedur pengeboran yang terlambat memberi lapis pelindung liang sehingga tekanan gas yang biasanya liar jadi ledakan itu,biasa terjadi ketika prosesi pengeboran-bebas mencari celah dan menggerus lapisan lunak, lalu menggila jadi semburan lumpur.

Karena itu tidak pernah jelas, bahkan prosesi penyidikan pemidanaan bagi para perancang, konsultan dan pelaksana pengeboran tidak pernah tuntas di tangan polisi, maka siapa yang bertanggungjawab akan bencana itu tak pernah jelas. Apa kesalahan pengeboran hingga PT Lapindo itu yang harus mengambil alih tanggung jawab. Yang akan dengan gampang dipailitkan secara hukum, karena itu seluruh biaya penanganan pengunsi itu telah lebih besar dari modal disetor. Dan meski belum mempailitkan diri secara hukum, si pemilik saham mayoritas sudah berinisiatif menerapkan konsep CSR dari grup induk dan individu pemilik perusahaan. Ihwal yang membuat mereka selalu beranggapan telah cukup membantu.

Karena itu para korban yang kini mengungsi itu tidak perlu menambah kesulitan dengan tuntutan lain. Sikap si orang kaya yang memberi dan tak kehilangan apa-apa pada para korban yang telah kehilangan semua hartanya, materiil dan imateriil.

Suatu sikap altruisme yang di letakkan di altar dan karenanya mengharapkan pujian, dan itu sekaligus menjauhkan dari keinginan buat bertanggung jawab memulihkan kerugian materi dan imatreriil para korban yang kehilangan segalanya. Kontras yang membuat musibah Sidoarjo tanpa kejelasan, dan bahkan secara politis diam-diam didorong agar disimpulkan sebagai sebuah bencana alam,karenanya negara yang bertanggungjawab merehabilitasi semuanyua.

Percaturan politik yang membuat segalanya ada dalam situasi dead lock, ada di kondisi ngambang, bahkan mungkin kartu truf untuk saling jegal serta saling sokong secara politis. Dan karena semua hal diapungkan di tataran politis maka hukum jadi yang diamputasi, yang diistirahatkan dalam lemari es, dan semua korban yang jadi si pengungsi pun hanya menunggu ada pemilu dan pilpres.

Di luar itu: semua orang kini bangga jadi masyarakat perkotaan yang, mengutip Lewis Mumfort, bersipat cermat, efisien namun acap kali destruktif, sadis, dan cenderung membangga-banggakan monumen dan prestasi. Memang!

Tapi apakah bendung lumpur Sidoarjo itu monumen dan prestasi mengendalikan mud volcano, atau justru bukti kecerobohan teknologi pengeboran dan mismanajemen bencana sehingga kali Porong mendangkal penuh lumpur dan pantai selat Madura pun akan tertimbun jadi tanah oloran baru. Bukti upaya membangun satu ekologi lumpur artifisial yang jempolan, tampaknya.***

* Beni Setia, pengarang

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 30 Oktober 2010

[Pustakaloka] Kajian Lintas Budaya Kontemplatif

-- J Sumardianta

• Judul Buku: Pencitraan Adat Menyikapi Globalisasi
• Penyunting: Argo Twikromo, dkk.
• Penerbit: PSAP-UGM dan The Ford Foundation
• Cetakan: I, Mei 2010
• Tebal: xvi + 217 halaman
• ISBN: 978-979-96557-4-5

KARAKTERISTIK budaya lokal di Indonesia dengan kekhasan adatnya nan eksotis serta partikularisme nan indah permai merupakan lahan subur kajian lintas budaya. Pemahaman mendalam akan visi budaya lokal diapresiasi para peneliti melalui pendekatan interpretatif simbolik.

Peneliti bidang sosio-humaniora berlatih membiasakan diri menghadapi tantangan budaya lain. Peneliti tidak lagi terkungkung dalam sangkar eksklusivisme kedaerahan. Mereka pun mampu merefleksikan identitas diri secara inklusif, dinamis, transformatif, dan dialektis.

Buku ini merupakan bunga rampai esai kajian lintas budaya (KLB) Program Kajian Antarbudaya dan Regional yang diselenggarakan Pusat Studi Asia Pasifik (PSAP)-UGM bekerja sama dengan The Ford Foundation. Para peneliti melakukan partisipasi observasi selama tiga bulan di luar lingkungan budaya dan daerah asal peneliti. Mereka merefleksikan kehidupan masyarakat setempat sekaligus mengontemplasikan kebudayaan yang dikunjungi.

Partisipasi observasi

Antologi ini merupakan gebrakan baru partisipasi observasi. KLB memiliki spirit menggeser eksklusivisme dan menggantinya dengan inklusivisme identitas akademik. Ahli administrasi kebijakan dari Jawa mengkaji kepemimpinan adat (chiefdom) di Sentani, Papua. Santri Jawa mendalami pergeseran makna pesta adat menjadi adat pesta di Sikka-Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Muslim dari Palembang, ahli perbandingan agama, mempelajari komodifikasi adat, ritual agama, dan kesenian dalam industri turisme Bali.

Bahruddin mengkaji krisis Ondofolo (pemimpin adat) dalam menjalankan Holenarei (kesejahteraan sosial) akibat monoteisasi dan monetasi. Sistem Ondofolo merupakan muara dari pandangan kosmologis masyarakat Sentani, Papua. Ondofolo dianggap utusan dewa yang diberi tanggung jawab memelihara dan melindungi warga Yo (kampung). Ondofolo adalah rujukan keselamatan dan kesejahteraan masyarakat.

Sistem kepercayaan monoteis yang diperkenalkan pendeta-pendeta Protestan mengubah paradigma masyarakat yang semula berporos Ondofolo. Sumber keselamatan bukan lagi Ondofolo, melainkan Tuhan. Kedatangan pedagang Bugis, Buton, dan Makassar juga mengubah tata nilai sosial. Mas kawin seperti ebha (gelang batu), hembony (manik-manik), dan mefoli (batu) tidak memiliki nilai tukar ekonomis. Nilai simbolik digantikan uang. Logika Holenarei diganti cost and benefit circulation. Monotesasi menyebabkan runtuhnya sistem Holinarei yang diemban Ondofolo. Logika untung rugi memudarkan jaminan sosial yang dibangun melalui sistem kekerabatan. Krisis jaminan sosial dipicu monetasi dalam pembayaran mas kawin.

Pesta merupakan representasi identitas sosial. Pesta merupakan strategi melawan citra kemiskinan yang diberikan orang luar atas masyarakat Sikka-Flores, NTT. Inilah temuan Ubed Abdillah, santri Jawa, saat mengkaji tradisi berpesta di tengah masyarakat mayoritas Kristiani. Pesta menjadi penanda bagi status sosial dan gengsi masyarakat. Pesta adat telah bergeser menjadi adat pesta. Masyarakat Sikka lebih suka menghamburkan uang untuk berpesta ketimbang menginvestasikannya buat pendidikan anak-anak.

Adat, kesenian, dan agama di Bali nilainya tidak bisa diganggu gugat lagi saat menjadi pelayan setia industri pariwisata. Demikian temuan Yulianingsih Riswan. Yulianingsih tidak melulu mengamati negosiasi agama Hindu dengan pariwisata Bali. Ia membandingkannya dengan komodifikasi Maulid Nabi (Sekatenan) di Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta. Pun tradisi Ya Qowwiyu (Apeman) di Jatinom, Klaten, Jawa Tengah. ”Culture is for sale and its mean big business”. Amboi, kebudayaan itu memang komoditas dagang. Potensi bisnisnya sungguh aduhai.

KLB kontemplatif

Ilmu-ilmu sosio-humaniora yang berwatak reflektif dan punya daya menjelaskan menemukan wujud nyata di sekujur bunga rampai KLB ini. Bukan sekadar mengungkap akar persoalan budaya lokal pada masing-masing wilayah observasi. Peneliti pun menemukan contemplatio ad amorem—permenungan yang sampai menyentuh perasaan syukur dan cinta.

Suatu sore, Gunawan disodori sebilah pisau dan seekor ayam oleh induk semangnya. Tuan rumah tahu Gunawan tak bisa makan malam dengan lauk daging babi. Dia diminta menyembelih ayam sendiri karena induk semang menghormatinya sebagai seorang Muslim. Refleksi Gunawan, ”Masyarakat Sumba belajar tentang kejawaan dan keislaman pada diri saya dalam ruang dialektik terbuka dari sekat-sekat perbedaan.”

Tiada bunga mawar yang batangnya tidak berduri. Mayoritas peneliti yang diterjunkan di pelbagai penjuru Nusantara berlatar etnis Jawa. Aroma homogenitas Jawa terasa lebih menyengat ketimbang aura pluralisasi. Ada sedikit bercak noda dalam semangat e pluribus unum—menyantuni persatuan di tengah keragaman.

Pula, tidak semua esai dalam antologi ini menggunakan gagrak (genre) kontemplatif yang melibatkan perasaan dan empati. Esai Bahruddin tentang monoteisasi dan monetasi di Sentani, Papua, misalnya, terasa ilmiah dan kering. Esai Chatarina Pancer Iistiyani perihal etnografi komunikasi Boboretn Dayak Panu di Kalimantan Barat terkesan berat dibebani idiom-idiom linguistik. Esai Pudji Pratitis Wismantara tentang permukiman taneyan lanjhang di Madura tidak semenggigit kajian serupa yang pernah dikerjakan antropolog A Latief Wiyata.

Kendati demikian, jalur tenggang rasa telah ditempuh mayoritas para peneliti dengan mengambil rute KLB kontemplatif. Kontemplatif, menurut PM Laksono, Direktur PSAP-UGM, berarti tahu diri. KLB memang program belajar toleransi untuk tahu diri. Peneliti bergulat dengan fakta keras: aksentuasi budaya dan artikulasi keyakinan yang beragam itu buah kesadaran bukan indoktrinasi.

J Sumardianta, Guru Sosiologi SMA Kolese de Britto, Yogyakarta

Sumber: Kompas, Sabtu, 30 Oktober 2010