Thursday, September 30, 2010

Memulihkan Kesaktian Pancasila

-- Azyumardi Azra

HARI-HARI seputar 30 September dan 1 Oktober ini, warga Indonesia, khususnya Angkatan 45, kembali merayakan Hari Kesaktian Pancasila. Dasar negara Indonesia ini disebut memiliki kesaktian karena dipercayai mampu menggagalkan kudeta yang terjadi seputar peristiwa G30S/PKI pada 30 September 1965.

Akan tetapi, bagi generasi berikutnya, apa yang disebut sebagai ”kesaktian” Pancasila lebih merupakan ”rekayasa” politik belaka dari otoritarianisme rezim Orde Baru guna mempertahankan status quo kekuasaannya. Sementara bagi generasi pasca-Orde Baru, bahkan Pancasila hampir tidak menjadi bagi dari pengetahuan dan ”memori kolektif”, apalagi tentang kesaktiannya.

Akan tetapi, sejak 2005 hari kesaktian yang punya makna khusus terkait Pancasila ini kembali diperingati; setelah beberapa tahun seusai berakhirnya kekuasaan Orde Baru pada Mei 1998, Hari Kesaktian Pancasila tidak lagi dirayakan.

Kenapa tidak? Alasannya sederhana, siapa yang merayakannya bisa dituduh sebagai ”antek Orde Baru”, yang merupakan sebuah anathema yang harus dihindari dalam gelombang dan gemuruh reformasi. Pendulum bergerak terlalu kencang, hampir tidak terkendali, sehingga pada tahun-tahun awal reformasi segala sesuatu yang berbau Orde Baru dipandang negatif dan mesti ditolak.

Meski ”kesaktian” Pancasila kembali diperingati, jelas peringatan itu gagal membawa Pancasila ke dalam wacana publik, apalagi mengharapkannya menjadi salah satu faktor signifikan dalam membimbing perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Upaya revitalisasi dan rejuvenasi Pancasila tetap belum terwujud juga. Pancasila sebagai dasar negara, basis ideologis, dan platform bersama (common platform) warga negara-bangsa Indonesia yang plural dan multikultural masih marjinal dalam wacana dan kehidupan publik nasional.

Kesaktian dalam hal apa?

Harus diakui, sejak awal reformasi sampai sekarang ini masih terdapat sinisme yang kuat dalam masyarakat kita tentang Pancasila, apalagi ketika Pancasila dikatakan ”sakti”. Sakti itu bisa berarti banyak, tetapi umumnya sakti berarti memiliki kekuatan dan keampuhan yang tidak tertandingi sehingga tidak bisa dikalahkan. Sakti juga bisa berarti mempunyai kemampuan mengatasi berbagai masalah dan kesulitan, bahkan secara instan sekalipun.

Dari sudut pengertian ”sakti” itu saja, ketika seseorang berbicara serba positif dan bahkan idealistik tentang Pancasila, pasti ada kalangan yang mencibir. Sikap yang tidak terpuji ini ada bukan karena mereka menolak Pancasila, melainkan lebih karena begitu banyak realitas yang tidak sesuai dengan cita ideal, semangat, prinsip, dan nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Pada saat yang sama, begitu banyak pula masalah yang dihadapi negara-bangsa ini yang tidak terselesaikan sampai sekarang. Terdapat banyak kesenjangan di antara cita ideal Pancasila sebagai suatu kesatuan dan juga tiap-tiap silanya dengan realitas yang ada dalam kehidupan sehari-hari warga bangsa.

Lihatlah bagaimana kita bisa berbicara tentang ”Ketuhanan Yang Maha Esa” ketika dalam berketuhanan terdapat fakta adanya sebagian warga yang dari waktu ke waktu memaksakan kemauannya sendiri atas nama Tuhan. Bagaimana kita bicara tentang ”Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” ketika warga dari satu tempat ke tempat lain, karena sebab-sebab yang sepele, sangat mudah mengamuk, menghancurkan harta benda, dan mencabut nyawa.

Bagaimana pula kita sanggup berbicara tentang ”Persatuan Indonesia” ketika banyak orang dan kelompok lebih mementingkan diri dan kelompoknya melalui tindakan melanggar hukum seperti korupsi mengorbankan solidaritas terhadap warga lainnya.

Lalu, bagaimana bisa kita bercakap tentang ”Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan” jika banyak politisi melakukan manipulasi politik lewat proses demokrasi; tidak mencerminkan sikap hikmat, bijaksana, dan sosok representasi yang akuntabel.

Begitu pula bagaimana bisa kita berbicara tentang ”Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, sementara jumlah rakyat yang terimpit kemiskinan masih 32 juta-50 juta orang, sementara kehidupan serba materialistik dan hedonistik kian merajalela.

Dengan realitas yang serba kontradiktif ini, pembicaraan tentang ”kesaktian” Pancasila seolah tidak bermakna. Dan ”kesaktian” itu terlihat berkurang—untuk tidak menyatakan memudar—karena perbuatan warga bangsa sendiri mulai dari lingkungan teratas para pejabat, lapisan menengah dan bawah birokrasi, sampai mereka yang memiliki otoritas politik, hukum, keagamaan, dan sosial budaya.

Lebih parah lagi, tidak terlihat kesadaran kalangan yang disebutkan ini bahwa sikap, perilaku, dan tindakan mereka tersebut telah ”mengebiri” Pancasila sekaligus memudarkan kesaktiannya.

Memulihkan kesaktian

Hampir tidak ada keraguan lagi, mayoritas bangsa ini memegang pendapat, Pancasila sebagai dasar negara sekaligus menjadi pandangan dunia negara-bangsa tidak tergantikan.

Sejauh ini, jelas tidak ada alternatif lain yang bisa diterima bagian terbesar bangsa ini untuk menjadi dasar negara-bangsa Indonesia; tidak juga ideologi semacam agama atau sebaliknya ”sekularisme”. Pancasila yang akomodatif terhadap agama jelas tidak bisa tergantikan ideologi sekularisme yang tidak selalu ”bersahabat” dengan agama.

Oleh karena itu, tidak ada pula alternatif lain bagi segenap warga bangsa kecuali ”memulihkan” kesaktian Pancasila. Namun, ini bukan hal sederhana karena kompleksitas masalah yang terkait dengan Pancasila dan juga dalam hubungan dengan dinamika kehidupan bangsa dewasa ini. Lebih-lebih lagi ketika Pancasila dihadapkan pada berbagai realitas, yang segera menampilkan kontradiksi dan disparitas dengan cita ideal, nilai, dan norma Pancasila.

Langkah krusial ke arah itu pertama-tama adalah pemulihan kembali kesadaran kolektif bangsa tentang posisi vital dan urgensi Pancasila dalam kehidupan negara-bangsa Indonesia. Tanpa atau samarnya kesadaran kolektif, jelas Pancasila tidak hadir dalam kiprah dan langkah warga bangsa; Pancasila sebaliknya tenggelam dalam arus besar perubahan yang berlangsung cepat dan berdampak panjang atas nama reformasi.

Dengan peningkatan kesadaran kolektif, Pancasila dapat kembali menjadi rujukan dan panduan dalam pengambilan berbagai kebijakan dan langkah, mulai dari kehidupan keagamaan, kemanusiaan, kebangsaan, demokrasi, hingga keadilan.

Secara bertahap dan terarah, langkah- langkah menuju Indonesia yang lebih baik melalui pembangunan, baik yang diselenggarakan pemerintah maupun masyarakat, seyogianya berorientasi pada pengurangan kontradiksi dan disparitas antara Pancasila dan realitas sehari-hari kehidupan bangsa.

Hanya dengan langkah-langkah ini, ”kesaktian” Pancasila bisa dipulihkan dan kembali menjadi faktor penting dalam kehidupan negara-bangsa Indonesia.

* Azyumardi Azra, Guru Besar Sejarah; Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Jakarta

Sumber: Kompas, Kamis, 30 September 2010

Wednesday, September 29, 2010

Kesenian: Festival Musik Bambu Dunia

Jakarta, Kompas - Untuk menggairahkan dan melestarikan kekayaan budaya bangsa berupa peralatan musik tradisional dari bambu, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia bekerja sama dengan Republic of Entertainment dan Maharani Esa Sejati menggelar Festival Musik Bambu Dunia, 2-3 Oktober 2010 di Sasana Budaya Ganesha Bandung, Jawa Barat.

Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Sapta Nirwandar mengatakan, dengan tema Reinvention Bamboo Music and Culture, festival yang keempat kalinya ini akan menampilkan parade angklung serta bambu indigenous, antara lain seruling nusantara, bambu klasik, bamboo rythm/string, dan bambu kontemporer. ”Juga ada kegiatan pendukung, seperti workshop, pameran, seminar bambu, dan kuliner,” kata Sapta Nirwandar, Senin (27/9) di Jakarta.

Menurut Sapta, event yang diikuti seniman dan musisi andal dan kreatif Indonesia dan luar negeri ini menjadi media yang efektif dalam mempromosikan kekayaan seni budaya Indonesia ke dunia internasional.

Musik bambu sebagai musik universal menjadi soft power dalam mempromosikan pariwisata Indonesia ke mancanegara. Dadang dari Republic of Entertainment mengatakan, potensi seni budaya bambu Tanah Air yang ditampilkan, antara lain, saluang dan talempong dari Sumatera Barat; giring-giring dari Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah; sasando gong dari Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur; rampak kentongan Purbalingga, Jawa Tengah; angklung carup Banyuwangi; seniman bambu WukirYogyakarta; serta musisi gamelan kontemporer shockbreaker Indonesia-Norwegia.

”Dalam pergelaran bambu klasik akan tampil Arumba Plumeria Jepang, bambu Enrekang, jegog Bali, calung Purbalingga, dan carub Banyuwangi,” ucapnya. Selain pertunjukan tari dan musik bambu, juga diadakan bambu talk berupa seminar, mengundang para pakar bambu, antara lain Marc Peeters dan Chamin Marka dengan lembaga risetnya, Bambu Nusa Verde (BNV) di Yogyakarta.

”BNV melakukan transfer teknologi bambu melalui teknologi kultur jaringan yang dikembangkan perusahaan Belgia, OPRINS Palnt Company,” ujar Dadang.

Pada puncak acara Bambu Nusantara IV, Minggu (3/10), ada performance untuk mengenang seorang kreator bambu Nusantara, Wawan Juanda (alm), dengan menampilkan sejumlah musisi, seperti Dwiki Darmawan, Gita Gartika, Balawan, Yuki TendoStar, dan Andy/rif, diiringi Bambu Orkestra. (NAL)

Sumber: Kompas, Rabu, 29 September 2010

Pendidikan Dasar Tak Merata

Jakarta, Kompas - Di tengah klaim pemerintah atas pencapaian MDGs bidang pendidikan dasar yang semakin dekat pada target, pemerataan akses pendidikan juga dipertanyakan. Mencuat juga keraguan terhadap relevansinya dengan mutu pendidikan.

Selain itu juga dipertanyakan kontribusinya untuk membuat anak-anak bangsa mampu ”bertahan hidup” dalam perubahan zaman.

Pada laporan pencapaian MDGs Indonesia Tahun 2010 disebutkan, angka partisipasi murni (APM) SD/MI (perbandingan antara murid sekolah usia 7-12 tahun dan penduduk usia 7-12 tahun) pada 2008 telah mencapai 95,14 persen. Pada data setahun berikutnya di Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), APM SD/MI sudah mencapai 95,23 persen.

Jika dilihat secara rinci per provinsi, ternyata ada 14 provinsi di bawah rerata nasional. Papua dan Sulawesi Barat terendah dengan APM sekitar 87 persen.

Laporan pencapaian MDGs di jenjang SMP/MTs yang dilihat dari angka partisipasi kasar atau APK (rasio jumlah siswa, berapa pun usianya, yang sedang sekolah di SMP terhadap jumlah penduduk usia 13-15 tahun), pada 2008 mencapai 96,20 persen. Data terbaru di Kemendiknas, APK SMP 2009 menjadi 98,11 persen.

Jika melihat kondisi riil jumlah anak usia 13-15 tahun yang seharusnya berada di jenjang SMP, APM SMP/MTs secara nasional baru berkisar 74,25 persen. Data itu menunjukkan, sesungguhnya masih banyak anak usia wajib belajar di jenjang SMP yang belum menikmati pendidikan.

Lagi-lagi, daerah kawasan Indonesia timur tertinggal. Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, dan Papua, angka APM SMP/MTS-nya terendah, 59-61 persen.

Di Palu, anak-anak usia wajib belajar komunitas adat di Dusun Salena kesulitan melanjutkan ke SMP. Endi (50), salah seorang tokoh masyarakat Salena, mengatakan, sekitar 50 persen lulusan SD saja yang melanjutkan ke MTs yang jaraknya sekitar 3 kilometer dari perkampungan adat tersebut.

Pengamat pendidikan, Arief Rachman, di Jakarta, Selasa (28/9), mengatakan, pencapaian kuantitatif untuk indikator pendidikan dasar MDGs di jenjang SD dan SMP tidaklah serta-merta menjadi barometer kemajuan pendidikan di Tanah Air.

”Saya selalu mengingatkan, kita mesti tetap hati-hati dengan ukuran kuantitatif. Jangan puas pada pencapaian itu. Sebab, yang juga mesti kita perjuangkan bagaimana pendidikan dasar itu bermutu,” kata Arief yang juga Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).

Arief mengatakan, kebijakan pemerintah dalam kucuran anggaran pendidikan nasional yang terus memprioritaskan pendidikan dasar diyakini mampu mendongkrak pencapaian target MDGs Indonesia pada 2015. Namun, pencapaian data kuantitatif yang terus meninggi itu juga mesti diuji di lapangan. Sebab, masih terdapat anak-anak usia sekolah yang di jalanan pada jam-jam sekolah. Mereka bekerja karena desakan ekonomi keluarga. (ELN)

Sumber: Kompas, Rabu, 29 September 2010

Monday, September 27, 2010

RI-Malaysia: Anwar Berjanji Perbaiki Nasib TK

Jakarta, Kompas - Ketua oposisi Pakatan Rakyat Malaysia Dato’ Seri Anwar Ibrahim berjanji akan memperjuangkan perbaikan nasib tenaga kerja Indonesia di Malaysia. Anwar berbicara di Jakarta, Minggu (26/9), dalam kuliah umum yang digelar Soegeng Sarjadi School of Government.

Anwar mengatakan, hubungan RI dan Malaysia seharusnya mesra dan tidak pantas dicederai oleh siapa pun di Indonesia atau Malaysia. ”Pada tahun 1969, waktu konfrontasi baru usai, ribuan guru dan dokter dari Indonesia datang ke Malaysia, padahal waktu itu Indonesia juga membutuhkan tenaga guru dan dokter. Itu pengorbanan yang sangat besar dari Indonesia,” ujar Anwar yang disambut tepuk tangan riuh hadirin.

Dia juga mengingatkan, proyek pembangunan Bandar Udara Internasional Kuala Lumpur tidak akan selesai tepat waktu kalau tidak karena jasa baik TKI yang mampu bekerja tepat waktu. Bandara tersebut merupakan salah satu bukti kemajuan Malaysia yang dibanggakan di dunia.

”Saya berbicara bukan untuk mencari simpati. Ini masalah keadilan dan kemanusiaan yang harus diperjuangkan, sesuai dengan konstitusi Malaysia yang diperjuangkan Pakatan Rakyat,” kata Anwar yang berbicara berapi-api.

Anwar mengakui adanya perlakuan tidak pantas seperti tindak kriminal dan pemerkosaan terhadap TKI. Ini harus dilawan. ”Kami di parlemen turut memperjuangkan nasib TKI. Bahkan, di masjid di rumah kami pun separuhnya adalah jemaah TKI yang kerap mengadukan nasib,” kata mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia itu.

Dia menyayangkan kecenderungan media Malaysia yang hanya mengangkat tindakan negatif yang melibatkan warga negara Indonesia atau warga asing. Padahal, banyak juga kasus kriminal yang dilakukan warga Malaysia.

Mengenang jasa Habibie

Anwar selalu berpesan agar TKI jangan diperlakukan buruk. ”Sewaktu saya ditangkap dan dianiaya polisi, Presiden BJ Habibie menelepon Mahathir, meminta jangan diapa-apakan adik saya (Anwar),” kata Anwar.

Pakatan Rakyat memperjuangkan perbaikan fasilitas kesejahteraan bagi TKI dan keluarganya di Malaysia. Ketika ditanya tentang penyediaan sekolah bagi 50.000 anak TKI di Sabah yang tidak bersekolah, dia menjelaskan, Pakatan Rakyat sudah mengangkat isu itu di parlemen.

Menyikapi kekerasan oknum Polisi Diraja Malaysia terhadap TKI, seperti kasus tiga TKI yang ditembak mati, Anwar menegaskan, konstitusi Malaysia menjamin perlindungan hukum termasuk terhadap TKI.

Hubungan Indonesia dan Malaysia sejatinya adalah mesra karena memiliki asal-usul yang sama. Dalam sejarah Melayu disebutkan, leluhur bangsa Melayu di Semenanjung Malaya berasal dari Bukit Siguntang di Sumatera. ”Untuk itu, kita harus eling lan waspodo,” ujar Anwar yang disambut dengan tawa dan tepuk tangan.

Anwar menyerukan untuk tidak memadamkan kenyataan mesranya hubungan antara rakyat Indonesia dan Malaysia. Dia juga mengaku kerap dituduh sebagai suara pro-Indonesia di Parlemen Malaysia. (ONG)

Sumber: Kompas, Senin, 27 September 2010

KRI Dewaruci: Jangan Biarkan Kebanggaan Itu Semu...

-- C Wahyu Haryo PS

”BISA mengawaki KRI Dewaruci rasanya seperti mimpi. Sejak lama saya mengidamkan ada di kapal ini, tetapi tidak terbayang sama sekali kalau akhirnya mimpi itu terwujud.”

Layar KRI Dewaruci terkembang penuh sesaat setelah tiang layar utama yang nyaris patah selesai diperbaiki. Gambar diambil di Laut Mediterania, pertengahan bulan September lalu. (KOMPAS/C WAHYU HARYO PS)

Suaranya terdengar bergetar, sudut matanya berkaca-kaca. Terpancar rasa haru, senang, sekaligus bangga dari benak Letnan Satu Laut (Pelaut) Chusnul Hidayat kala mengucapkan kalimat tersebut.

Semburat cahaya jingga yang mengantar mentari kembali ke balik cakrawala, Sabtu (11/9) petang, serasa mengamini suara hati Chusnul itu. Saat itu, KRI Dewaruci yang kami tumpangi juga mengangguk-angguk mengikuti alunan ombak Laut Mediterania.

Bagi Chusnul, mengawaki KRI Dewaruci tidak hanya berarti berkesempatan pergi ke luar negeri, menambah wawasan baru dari belahan dunia lain, serta memiliki kawan di luar negeri. ”KRI Dewaruci begitu melegenda dan terkenal di dunia. Kapal ini sudah berkali-kali mengarungi samudra, keliling dunia, singgah, dan bertemu dengan banyak orang di luar negeri,” ujarnya berapi-api.

KRI, singkatan dari Kapal Perang Republik Indonesia, Dewaruci adalah kapal layar yang digunakan sebagai kapal latih taruna Akademi Angkatan Laut Surabaya. Bulan-bulan ini kapal ini berkeliling dunia untuk mengikuti sejumlah lomba berlayar internasional sekaligus melatih kadet TNI AL. Wilayah-wilayah yang disinggahi di antaranya adalah Le Havre (Perancis), Antwerp (Belgia), Hartlepool (Inggris), Cherboug (Perancis), hingga Amsterdam (Belanda). Dalam Sail 2010, misalnya, KRI Dewaruci meraih penghargaan sebagai ”The Most Spectacular Entry Harbour in Amsterdam”.

Tentang KRI Dewaruci yang tersohor di seantero dunia, hal itu tidaklah berlebihan. Setidaknya, dalam pelayaran di Eropa yang saya ikuti selama hampir tiga minggu sejak pertengahan Agustus lalu, saya menyaksikan orang-orang dari sejumlah negara begitu antusias menyambut dan mengunjungi KRI Dewaruci. Orang dari sejumlah negara itu tentu tidak hanya mengagumi KRI Dewaruci yang berusia 58 tahun itu.

Mereka ternyata juga kagum dengan ketangguhan awak KRI Dewaruci yang berani menantang maut, mengarungi ganasnya samudra di berbagai penjuru dunia. Apalagi awak KRI Dewaruci menggunakan kapal yang boleh dibilang sudah cukup tua. KRI Dewaruci dibuat pada tahun 1952 di galangan kapal HC Stulchen & John Ship Hamburg, Jerman.

Saya pun menyaksikan kegigihan awak KRI Dewaruci menghadapi badai Laut Utara Eropa, mengatasi kebocoran kapal, serta memperbaiki tiang layar utama yang nyaris patah.

Tidak salah jika taruna-taruna Akademi Angkatan Laut pun menjalani pelatihan kebaharian di KRI Dewaruci. Mereka yang nantinya menjadi perwira TNI AL, garda terdepan dalam menjaga wilayah perairan Indonesia, memang seharusnya ditempa di KRI Dewaruci.

Ada sekitar 80 taruna yang menjalani pelatihan tahun ini berlayar bersama KRI Dewaruci. Di kapal itu mereka mempraktikkan ilmu pengetahuan yang selama ini didapatkan di akademi. Mulai dari pengetahuan astronomi, navigasi, komunikasi, mengendalikan kapal, hingga mengatasi keadaan darurat ataupun menyiapkan diri menghadapi musuh. Semua pelatihan itu dilakukan dengan disiplin ketat. Mental dan fisik taruna benar-benar digembleng di sana. Hampir semua kegiatan taruna terjadwal dan harus dijalani sungguh-sungguh.

Dengan kondisi demikian, tentu rasa rindu kepada keluarga di rumah menjadi demikian besar. Apalagi mereka harus melewatkan momen-momen bersejarah di dalam keluarga, seperti kelahiran anak, perkawinan kerabat, bahkan kematian anggota keluarga. Dalam pelayaran kali ini, setidaknya ada delapan anak dari awak KRI Dewaruci lahir.

”Hampir tiap hari saya memandangi foto putri pertama saya yang dikirim istri lewat MMS (layanan pesan multimedia),” kata Kepala Departemen Logistik KRI Dewaruci Letnan Satu Laut (Pelaut) Wasis Nindito.

Meski ditempa disiplin militer yang ketat, jangan dibayangkan pelaut yang mengawaki KRI Dewaruci itu adalah sosok yang sangar dan kaku. Justru sebaliknya, mereka adalah sosok pelaut yang ramah, mudah bergaul, dan mampu berkesenian cukup baik. Di tiap kota yang disinggahi, mereka selalu menerima dan meladeni percakapan dengan orang yang ingin berkunjung ke KRI Dewaruci. Mereka juga menampilkan beragam tarian dari Pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Papua.

Misi yang diemban awak KRI Dewaruci memang tidak bisa dianggap remeh. Mereka menjadi duta bangsa, duta budaya, dan duta pariwisata. Lebih dari itu, mereka juga menjadi duta yang membina hubungan persahabatan dengan dunia internasional.

Kesejahteraan minim

Sungguh ironis ketika mengetahui kesejahteraan yang mereka dapatkan tidak sebanding dengan risiko pertaruhan nyawa dan misi besar yang mereka sandang. Semula saya membayangkan, sepulang berlayar pastilah pelaut-pelaut ini mengantongi uang yang lumayan besar bagi anak istrinya. Nyatanya, uang berlayar yang mereka dapatkan hanya Rp 300.000-Rp 400.000 per bulan. Uang saku yang diberikan hanya saat bersandar berkisar Rp 3 juta per bulan.

Rasanya ingin menangis ketika menerima titipan uang dari sejumlah awak KRI Dewaruci. Uang itu sengaja dititipkan agar saat saya kembali ke Tanah Air bisa segera dikirimkan kepada keluarga mereka. Jumlahnya beragam, mulai dari ratusan ribu rupiah hingga kurang dari Rp 2 juta. Saya tahu uang itu benar-benar dibutuhkan keluarga mereka karena sesaat setelah saya mendarat di Jakarta, salah seorang istri awak KRI Dewaruci menghubungi saya dan menanyakan uang titipan tersebut.

Apa yang dialami awak KRI Dewaruci boleh jadi merupakan cerminan kesejahteraan prajurit TNI AL secara keseluruhan. Jika demikian adanya, akankah kita membiarkan kebanggaan mereka sebagai pelaut ulung, bangsa yang mewarisi jiwa bahari dari negara kepulauan terbesar itu, sebagai sebuah kebanggaan yang semu?

Sumber: Kompas, Senin, 27 September 2010

Sunday, September 26, 2010

[Buku] Janji dan Mimpi Perpustakaan Maya

-- Mohamad Fauzi

TEKNOLOGI hampir selalu membawa janji dan mimpi. Datangnya teknologi internet telah memperkukuh janji dan mimpi teknologi pada salah satu pilar dunia akademik, yaitu perpustakaan. Perkembangan teknologi informasi yang pesat mengarahkan perpustakaan konvesional menjadi perpustakaan maya (online library). Perpustakaan maya memberikan janji dan mimpi kemudahan, kecepatan, keterjangkauan, kemurahan, fleksibilitas, serta kemampuan mengatasi ruang dan waktu.

Pada 1945 atau 30 tahun sebelum penemuan PC (personal computer) dan 50 tahun sebelum lahirnya world wide web, Dr Vannevar Bush dalam salah satu esainya yang terkenal As We May Think memimpikan sebuah desktop personal yang akan mengambil alih semua perpustakaan. Dalam impian yang dia sebut Memex, Bush membayangkan sebuah keyboard dan layar yang memungkinkan penggunanya untuk menghadirkan ilmu pengetahuan umat manusia yang terkumpul menjadi satu. Bush membayangkan sebuah mesin yang akan mencatat lompatan-lompatan individu inspiratif melalui teks yang menjadikan peneliti mengatasi limpahan ilmu pengetahuan. Dalam Libraries of the Future (1965) yang terpengaruh pemikiran Bush, Douglas Engelbart, penemu mouse komputer, dan J.C.R. Licklider membayangkan perpustakaan digital yang dihubungkan dengan sebuah jaringan agar dapat diakses oleh para pengguna yang berlipat ganda.

Melihatnya dari titik sekarang, impian direktur Lembaga Pengembangan dan Penelitian Amerika Serikat (Office of Scientific Research and Development) itu tampak menjadi nyata bahkan di Indonesia. Sekarang ini sedang berkembang pesat perpustakaan maya baik yang dilakukan lembaga pendidikan seperti universitas, lembaga penelitian, lembaga swadaya masyarakat, dan sebagainya. Ribuan teks dan dokumen mulai didigitalisasi dalam berbagai bentuk (umumnya berbentuk portable document format/pdf) dan di-upload di perpustakaan maya.

Di Indonesia, hampir semua universitas sudah mulai melakukan digitalisasi perpustakaan, menjadi dan mengutamakan perpustakaan maya. Tahun ini, untuk menyebut beberapa contoh, unit pelayanan teknis (UPT) Perpustakaan Universitas Gadjah Mada (UGM) menganggarkan dana Rp 1 miliar untuk berlangganan database jurnal online, sangat jauh lebih banyak dibandingkan dengan anggaran pengadaan koleksi cetak yang ''hanya'' Rp 150 juta. Belum lagi perpustakaan di fakultas. Total anggaran UGM untuk berlangganan jurnal internasional mencapai Rp 5,8 miliar (Balkon Balairung UGM edisi spesial 2010).

Di kampus saya, Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta, UPT Perpustakaan pusat sudah menghabiskan dana Rp 300 juta per tahun untuk berlangganan jurnal online. Pengadaan perpustakaan maya itu tentu saja harus didukung dengan berlangganan bandwith internet yang biasanya mencapai miliaran rupiah. UNS, sebagai contoh, menghabiskan dana Rp 3 miliar setiap tahun. Hal itu juga terjadi hampir pada seluruh universitas di Indonesia.

Ada semacam kesadaran bahwa mahasiswa, dosen, peneliti, dan orang-orang yang berkecimpung dalam dunia akademis dan ilmu pengetahuan sudah mulai technology-minded yang harus diakomodasi. Hampir semua orang punya komputer atau laptop yang memengaruhi dan mengubah kebiasaan mereka dalam belajar-mengajar. Universitas, pemerintah daerah, pusat perbelanjaan, kafe, dan sebagainya menyediakan area hotspot (wifi) dengan berbagai kecepatan akses (bandwith) dan kebanyakan 24 jam penuh. Para operator telepon sudah gencar memasarkan produk dan jasa internet prabayar. Sekarang juga sedang marak dipasarkan teknologi e-book reader yang digagas Apple dengan produk Apple iPad dan situs penjualan online Amazon dengan produknya Amazon Kindle, yang konon akan menjadi tren baru. Semua itu mulai mengukuhkan janji dan mimpi perpustakaan maya di masa depan.

Selain itu, perkembangan perpustakaan maya tidak lepas dari perlombaan berbagai universitas di Indonesia untuk "go internasional", menjadi universitas riset dan world class university. Perlombaan itu tentu saja mengharuskan sebuah universitas untuk memfasilitasi diri dengan perpustakaan maya yang bisa diakses dari seluruh dunia. Maka, dilihat dari segi teknologi serta dari tantangan dan tuntutan masa depan, perpustakaan maya tampak tak terelakkan.

Tapi, seperti dikatakan Ian F. McNeely dan Lisa Wolverton (2010) dalam buku mereka Para Penjaga Ilmu dari Alexandria Sampai Internet, mengorganisasi dan mengelola sebuah perpustakaan pada akhirnya adalah sebuah tugas besar yang menjemukan, yang memerlukan komitmen serius untuk menjustifikasi faedahnya. Butuh orang-orang yang akan memanfaatkannya. Tapi, sayangnya, yang terjadi di berbagai perpustakaan universitas dan berdasar riset kecil yang saya lakukan, tak banyak mahasiswa atau dosen yang menggunakan perpustakaan maya bahkan sekadar tahu ada perpustakaan maya. Kebanyakan mereka malah asyik dengan Facebook. Di kampus saya, dari total dana Rp 3 miliar per tahun, sekitar 60 persen habis untuk Facebook dan download film serta musik.

Bandingkan dengan yang terjadi di negara-negara seperti Amerika Serikat. Mahasiswa di sana mulai beralih pada perpustakaan maya (online library). Menurut hasil survei Thomas and Dorothy di Leavey Library yang berada di University of Southern California (USC), 73 persen mahasiswa sudah tidak lagi ke perpustakaan karena mereka sudah terhubung dengan internet dan perpustakaan online. Hanya 36 persen mahasiswa S-1 yang meminjam buku, 12 persen yang datang ke perpustakaan untuk menggunakan jurnal cetakan, dan 61 persen dari pengunjung perpustakaan yang datang untuk menggunakan komputer yang disediakan. Bila mahasiswa ditanya perbaikan apa yang mereka butuhkan dari perpustakaan, mereka hanya meminta untuk disediakan lebih banyak komputer (Gardner & Eng, 2005). Berbeda jauh.

Meski demikian, masa depan ada di sana dan hasrat menglobal universitas kita sepertinya mengharuskan ke sana. Begitukah?

Mohamad Fauzi , mahasiswa Kajian Amerika Universitas Sebelas Maret (UNS) dan bergiat di Bale Sastra Kecapi dan Pengajian Senin Solo

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 26 September 2010

[Buku] Membumikan Jurnalisme Investigasi

Judul Buku: Jurnalisme Investigasi: Trik & Pengalaman Para Wartawan

Penulis: Dandhy Dwi Laksono

Penerbit: Kaifa, Jakarta

Cetakan: Pertama, Juni 2010

Tebal: 436 halaman

LITERATUR soal jurnalisme investigasi? Olala...pada sejumlah buku, kita kerap gagal mengunyah lantaran sejumlah penulis kelewat terpaku pada penjelasan teoretis yang melelahkan. Penulis juga acap terpelanting untuk menyandarkan bahasannya pada pengalaman jurnalis asing, khususnya dari Amerika Serikat yang memang karib mempraktikkannya. Alhasil, saat kita ingin menyantap jurnalisme investigasi, kita seperti dijauhkan dari halaman rumah sendiri. Jadinya, kita semakin asing dengan sesuatu yang seyogianya kita ''gauli'' secara intens.

Padahal, begitu banyak kiprah dan sepak terjang jurnalis tanah air yang layak ''dihidangkan'' kepada khalayak. Ada banyak kisah bagaimana jurnalis Indonesia tekun menggunakan teknik investagi dalam peliputan sehingga menghasilkan laporan-laporan jurnalistik yang dalam lagi menyingkap tabir di balik gelap pembunuhan, korupsi, hingga bisnis minyak ilegal dan perampokan di sektor pajak.

Bondan Winarno pada 1997 menyentak publik Indonesia dengan hasil investigasinya yang kontras dengan berita umum bahwa Michael de Guzman tewas bunuh diri melompat dari helikopter di pedalaman Kalimantan Timur. Salah seorang eksekutif perusahaan tambang asal Kanada, Bre X, itu dilaporkan memilih loncat dari helikopter setelah aksi Bre-X Mineral Ltd berbohong soal kandungan emas di Busang diungkap rekanannya, Freeport.

Dari keganjilan-keganjilan yang ditemukan Bondan (Bre X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi, 1997) bikin simpul yang membuat orang terperangah: ''Kehidupan tampaknya terlalu manis bagi Michael de Guzman untuk diakhiri dengan terjun tanpa payung dari helikopter. Atau, barangkali dia kini tengah membaca buku ini sambil tersenyum-senyum nun di Cayman Island atau Brazil sana?''

Penulis buku ini, Dandhy Dwi Laksono, menceritakan kembali perjalanan Bondan itu. Tentu saja Dandhy tak bermaksud membuat Bondan jadi ''legenda''. Karena itu, Dandhy menghadirkan pula pengalaman jurnalis Indonesia di dunia kontemporer di sekujur buku ini. Mulai Panda Nababan, Metta Dharmasaputra, Yosep Suprayogi, Philipus Parera, Adi Prasetya, Ecep S. Yasa, hingga Muchlis Suhaeri (jurnalis Borneo Tribune yang diganjar Mochtar Lubis Award 2008 untuk investigasi media cetak bertajuk The Lost Generation).

Penulis kelahiran Lumajang itu berperan bak dalang. Dia beberkan kisah orang lain sambil tak lupa menyandingkan dengan pergulatannya di lapangan. Dandhy menukilkan sejumlah liputan investigatif besutannya saat masih bekerja di RCTI. Bekas kepala peliputan RCTI itu menguliti serangkaian liputan yang pernah dikerjakan bersama tim reporter stasiun televisi swasta tertua di tanah air itu. Nyaris seluruh ''rahasia'' meliputi trik hingga teknik investigasi yang dilakukan tim RCTI didedahkan Dandhy.

Dengan nada sedikit berseloroh, Wapemred RCTI Putra Nababan saat peluncuran buku ini di AJI Jakarta sebulan lalu bergumam, ''Apakah tidak lebih baik trik yang pernah dipraktikkan tim RCTI tak dibuka kepada umum ya.'' Kendati begitu, Dandhy memilih membukan. Meski begitu, saya yakin betul, sesungguhnya ada bagian-bagian tertentu yang tak dibuka oleh Dandhy.

Menurut saya, Dandhy hendak menyatakan satu hal kenapa dirinya membuka sejumlah cerita di balik layar ihwal liputan investigasi yang dilakukan itu. Dia tampak sekali ingin mengabarkan kepada komunitas jurnalis dan khalayak bahwa investigasi bisa dilakukan di media audio-visual (TV) jika stakeholder di news room mau melakukannya. Memang ada yang harus dibayar tatkala investigasi harus digelar, yakni biaya peliputannya yang acap kali membengkak dibandingkan liputan reguler. Di televisi biasanya satu tim terdiri atas satu reporter dan satu kamerawan. Kendatipun hanya konferensi pers, reporter dan kamerawan itulah yang dikirim.

Meski begitu, di situlah ''penyakit''-nya. Investigasi kerap menjadi barang mewah karena diidentikkan sebagai produk yang mahal. Itu berlaku pada hampir seluruh media: cetak, radio, dan televisi. Dandhy menggugah kesadaran itu, bahwa jurnalisme investigasi wajib dihidupkan di media massa untuk dua hal. Pertama, di negeri ini banyak sekali kasus yang membutuhkan investigasi untuk membuat kasus tersebut terang benderang. Semakin tinggi kepentingan publik atas sebuah kasus, investigasi adalah niscaya.

Kedua, investigasi sesungguhnya merupakan aset bagi media massa. Kian getol sebuah media mengadakan liputan investigasi dan menguak banyak tabir dalam selaksa kasus, pembaca makin terpikat untuk menikmati hasil liputan dari media bersangkutan. Dengan cara itu, kredibilitas media tersebut bakal terdongkrak di depan publik. Lebih dari itu, media bersangkutan bisa pula meraup untung secara ekonomis.

Salah satu yang orisinal dari buku ini adalah kisah Dandhy mengejar Budi Santoso hingga Pakistan. Seorang agen madya BIN yang diduga terkait dengan pembunuhan aktivis HAM Munir. Penulis menceritakannya amat detail, mulai bagaimana dirinya mendapatkan secarik foto Budi Santoso hingga mengendus sosok sang target kala bertugas sebagai sekretaris I Bidang Politik di Kedutaan Besar RI di Islamabad, Pakistan.

Dalam prosedur jurnalistik, mendapatkan wawancara dengan Budi Santoso secara door stop atau sitting down adalah niscaya. Namun, pada kasus ini, RCTI membuat terobosan dengan tetap menayangkan hasil liputan Dandhy meski tanpa konfirmasi dari Budi Santoso. Seluruh ikhtiar Dandhy -yang ditunjukkan dengan gambar- ditayangkan untuk mengganti sound bite sang narasumber yang sengaja menghindar dari jurnalis yang mengejarnya. RCTI berpendapat, kepentingan publik harus lebih diprioritaskan dalam kasus pembunuhan Munir daripada konfirmasi narasumber yang terkait dengan kasus yang tengah diselidiki.

Dandhy memaparkan preseden. Dalam kasus pembobolan BNI Cabang Kebayoran Baru Jakarta senilai Rp 1,7 triliun pada 2005, Maria Pauline Lumowa hanya memberikan wawancara kepada media-media tertentu yang justru tidak menekuni kasus itu secara investigatif. Wawancara justru diberikan Maria yang berstatus buron di lokasi-lokasi tertentu di Singapura.

Sungguhpun demikian, terobosan ala RCTI dan Dandhy bukan titik simpul untuk seluruh kasus liputan investigasi. Itu masih sesuatu yang debatable. Pasalnya, media seperti Tempo mewajibkan adanya konfirmasi dari narasumber target (terkait dengan kasus yang tengah diinvestigasi) sebelum laporannya diturunkan. Jadi, ini merupakan topik yang terbuka untuk didiskusikan dan diisi dengan sejumlah pengalaman dari berbagai jurnalis dan media massa. (*)

Moh. Samsul Arifin
, anggota KITAB, Masyarakat Buku Indonesia

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 26 September 2010

[Buku] Stigmatisasi dan Narasi Sejarah 1965

Judul Buku: Kuasa Stigma dan Represi Ingatan

Penulis : Tri Guntur Narwaya

Penerbit: Resist Book, Yogyakarta

Cetakan: September 2010

Tebal: xlii + 250 halaman


TRAGEDI 1965 berlalu, ingatan tak menghilang, trauma masih tersisa, dan stigma terus menghantui. Sejarah berdarah itu memang luka besar, aib untuk Indonesia. Kita mengenang dengan gambaran tentang kekerasan, penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan. Gambaran buruk, kelam, hitam ditampilkan Orde Baru dalam produksi buku sejarah, buku pelajaran, film, pidato, atau penataran. Propaganda Orde Baru ingin membuat ''hitamnya hitam'' PKI, kendati harus mengorbankan jutaan orang: dipenjara, diasingkan, didiskriminasikan, atau dimatikan.

Episode arogansi Orde Baru secara politik berakhir, tapi model sebaran dan internalisasi stigma atas peristiwa 1965 masih mengendap dalam diri masyarakat. Stigma seolah mau diabadikan. Segala bentuk penghitaman disahkan melalui represi ingatan. Politik-militer dijadikan sumber untuk memunculkan pendefinisian pelaku, korban, dalang, atau pahlawan. Peristiwa 1965 mirip pementasan teater. Jadi, perhitungan tokoh, alur, konflik, atau latar memang sengaja ditampilkan pemilik otoritas tertinggi atas nama dominasi kekuasaan. Orde Baru berhasil memanipulasi teater sejarah itu dengan menakjubkan sekaligus mengenaskan.

Jejak-jejak sejarah kelam, ulah Orde Baru, konsekuensi indoktrinasi atas ingatan sejarah mendapatkan penjelasan apik dan kritis dalam buku Kuasa Stigma dan Represi Ingatan garapan Tri Guntur Narwaya. Buku ini tidak dimaksudkan sebagai kajian sejarah. Penulis sekadar menempuhi ''jalan sejarah'' untuk menguak pelbagai manipulasi sejarah oleh rezim Orde Baru. Sorotan hermeneutika digunakan dengan kemauan mencari terang tafsiran, menyingkap dominasi politis, dan penyadaran atas pelbagai kepalsuan sejarah.

***

Penulis mengingatkan, publik selama ini terpaku pada puncak kisah pembunuhan dan kudeta pada peristiwa 1965. Padahal, itu sekadar bagian kecil dari narasi besar sejarah. Pandangan tersebut seolah mengabaikan episode-episode lanjutan usai tragedi. Produksi stigma atas para anggota dan simpatisan PKI menjadikan mereka menanggung dosa sejarah selama puluhan tahun. Orde Baru sengaja menciptakan mitos, membangun monumen, dan menulis ''sejarah resmi'' untuk menghabisi PKI. Represi ingatan pun dilakukan untuk menjamin lakon politik Orde Baru. Narasi-narasi tandingan dibungkam, dihancurkan, dan dipinggirkan dengan dalih subversi, anti-Pancasila, atau anti-NKRI.

Monopoli sejarah berlangsung sejak Orde Baru dilahirkan dan setelah kejatuhan. Hari ini kita masih merasa segala stigma dan represi ingatan, kendati haluan politik berubah dan penyadaran ideologis digulirkan dengan spirit reformasi. Kondisi ganjil itu membuat penulis mengajukan perspektif hermeneutik untuk menggenapi, mengimbangi, mengkritisi pelbagai kajian tentang tragedi 1965. Kerja atau model penafsiran sejarah tersebut diacukan pada kegelisahan, empati, dan motivasi ilmiah atas problem korban arogansi-politik Orde Baru. Penulis menginginkan riset (kerja penelitian) tidak sekadar memenuhi hasrat akademik, tapi sanggup mengantarkan orang untuk menyentuh realitas sosial. Interpretasi kritis pun mesti disadari bakal dihadapkan pada politik kepentingan dominan. Kutipan atas pemikiran Paul Ricouer merepresentasikan spirit buku ini: ''Interpretasi selalu akan membuka ruang untuk perbedaan dan konflik.''

***

Pergumulan tafsir memerlukan penelisikan dan pembongkaran ideologi. Penulis mendasarkan analisis ideologi dengan memakai konsepsi besar John B. Thompson dalam mengolaborasi pelbagai ideologi mutakhir. Mekanisme sebaran dan penanaman ideologi oleh Orde Baru dibongkar dengan sasaran untuk mengetahui stigmatisasi atas para korban, PKI, dan komunisme. Jadi, kerja tafsiran ada dalam pelbagai tahap dan memerlukan kejelian. Penulis mesti bergulat untuk memilih, memilah, dan menilai pelbagai data. Hasrat pembongkaran ideologis itu bisa terepresentasikan melalui model kebijakan, pengetahuan publik, dan permainan simbol.

Contoh pelik dari ketegangan tafsir adalah pemunculan simbol palu dan arit. Simbol itu terus termaknai secara politik, identik dengan ulah PKI, kudeta, juga menandai kebangkitan komunisme. Jadi, bentuk pelarangan buku dan aksi kekerasan gara-gara penggunaan simbol palu dan arit biasa terjadi setelah kejatuhan rezim Orde Baru. Dominasi ideologi dan stigmatisasi terjadi dalam pembacaan dan tafsir simbol. Thompson menjelaskan bahwa konsep ideologi menunjukkan usaha mobilisasi makna. Simbol jadi lahan pertarungan untuk kepentingan dominasi atas segala resistansi dalam tafsir dan tindakan. Ungkapan dari Kathryn Tanner bisa jadi acuan: ''Sejarah penafsiran adalah sejarah pergulatan.''

***

Buku ini seolah ingin menarik pembaca pada pergulatan intim dalam membaca dan menafsirkan narasi besar sejarah 1965. Dominasi politik Orde Baru kentara memberikan efek ideologis mendalam, efek berkepanjangan, dan menghuni dalam bawah sadar publik kendati rezim berganti. Baskara T. Wardaya dalam pengantar menjelaskan: ''Jika korban pembunuhan masal mencapai sekitar setengah juta orang, buku ini mengingatkan kita bahwa stigmatisasi itu korbannya lebih banyak dan kurun waktunya lebih panjang.'' Jadi, buku ini bisa menjadi pemicu penyadaran untuk menilik ulang cara membaca dan menafsirkan tragedi 1965 dan ulah Orde Baru.

Stigmatisasi adalah model penghancuran dan pembinasaan sistematis. Kita kerap mengabaikan itu karena indoktrinasi Orde Baru, represi politik, dan keburaman ingatan. Metafor komunis, orang kiri, Gestapu telah menciptakan gambaran kejam dalam sejarah Indonesia. Pemaknaan politis oleh Orde Baru membuat kita terjebak pada stigmatisasi dengan pamrih ideologis. Buku ini menyapa kita untuk mengoreksi, mengkritisi, dan mengubah tafsiran agar ada pemahaman komprehensif tentang sejarah 1965 dan efek-efek lanjutan. Buku ini mengingatkan kita untuk peka sejarah dan melawan tafsir dominasi ideologis. Begitu. (*)

Bandung Mawardi, pengelola Jagat Abjad Solo

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 26 September 2010

Penafsir Terbaik di Arezzo

-- Salomo Simanungkalit

SATU per satu anggota menaiki panggung. Tak seperti paduan suara yang kaprah menata letak anggota per kelompok menurut jenis suara, ke-32 konstituen BMS ini berdiri selang-seling pria-wanita-pria-wanita dalam tiga baris. Terkesan pesan implisit: kami otoritas dalam paduan suara, tiap anggota sanggup bernyanyi otonom, dan bertanggung jawab melebur suara dalam sebuah kawanan meski terpisah jarak.

Namun, sambutan pembuka yang meriah dari penonton yang memenuhi Sala Sant’Ignazio di kota penemu sistem solmisasi ut-re-mi-fa-sol-la itu, Guido d’Arezzo, terutama disebabkan beragam pakaian daerah yang mereka kenakan. Panggung menjadi terang menyala berwarna-warni sebagaimana kor ini berhasil memantulkan tiap warna zaman—Renaisans, Romantik, dan Modern—dari tiga lagu yang mereka bawakan.

Di malam final itu BMS bersaing dengan tiga kor yang masuk empat besar: PS Anak Filharmoni Praha, New Dublin Voices, dan Kammarkören Swedia. Mereka telah lolos babak penyisihan yang diikuti 15 kor dari 13 negara: Austria, Brasil, Ceko, Finlandia, Indonesia, Inggris, Irlandia, Italia, Norwegia, Rusia, Singapura, Spanyol, dan Swedia.

”Dum aurora finem daret” (Giovanni Pierluigi da Palestrina) sebagai lagu wajib mereka nyanyikan a capella. Avip di nomor ini selain mengaktualkan sopran-alto-tenor-bas masing-masing berperan sebagai melodi independen, tuntutan yang mesti dari masa Renaisans, juga berhasil memunculkan timbre yang khas dari tiap suara. Sebaliknya pada ”Les djinns” (Gabriel Faure) yang dibawakan di urutan kedua dengan iringan piano, BMS banting setir menyeragamkan warna suara mereka ke arah gelap tapi dengan intonasi tajam. Konsonan Perancis pada komposisi era Romantik itu sungguh musikal dari tenggorok Melayu. BMS menggarap dinamika dengan rentang lebar hingga pianisimo dan fortisimo menjadi amat kontras dan ini bikin ”Les djinns” terdengar mencekam.

Namun, rupanya selera tujuh juri yang berasal dari Belanda, Inggris, Italia, Norwegia, Swiss, dan Slovenia itu cenderung mengeropa hingga yang keluar sebagai pemenang adalah Kammarkören Swedia. Paduan suara yang bermarkas di Göteborg ini sungguh teliti melebur suara dan cermat menakar dinamika sebagaimana umumnya paduan suara berbasis di Eropa. Rentang dinamikanya relatif sempit, gradiennya tak tajam, sehingga terkesan intelijen ketimbang emosional.

Concorso Polifonico Internazionale tak mengenal juara dua. BMS dapat kusala (penghargaan) khusus sebagai penafsir terbaik untuk lagu wajib. ”Ini hadiah Ramadan buat saya,” kata Avip Priatna kepada Kompas begitu turun panggung menerima piagam.

Concorso Polifonico Internazionale di Arezzo, Italia, merupakan satu dari enam lomba paduan suara amatir prestisius di Eropa yang terintegrasi memperebutkan Grand Prix Eropa (GPE) untuk Paduan Suara. Inilah peristiwa tahunan sejak 1989 yang mempersatukan paduan suara amatir di Eropa, tetapi terbuka bagi paduan suara di belahan bumi mana pun. Cukup dengan mengirim contoh suara mereka dalam rekaman sebagai bagian dari seleksi awal.

Kelima lomba lain itu adalah International May Choir Competition di Varna, Bulgaria; Bela Bartok International Choir Competition di Debrecen, Hongaria; Florilege Vocal de Tours, Perancis; International Choral Competition di Maribor, Slovenia; dan International Tolosa Choral Contest di Tolosa, Spanyol. Kammarkören Swedia akan bertanding tahun 2011 menghadapi lima paduan suara yang masing-masing pemenang tahun ini dari kelima lomba tersebut.

Mengincar GPE

Mengikuti lomba paduan suara tingkat internasional tampaknya merupakan tren bagi paduan suara mahasiswa maupun gerejani di Indonesia dalam lima tahun terakhir. Selain menimba pengalaman antarbangsa, anggota kor akan bersemangat mengikuti latihan dan persiapan lainnya—bisa berupa konser domestik—sebab ada sasaran. Sekaligus boleh dibilang, mengikuti lomba internasional adalah bagian dari raison d'être bagi paduan suara domestik kita yang saat ini tumbuh subur.

Posisi BMS agak khusus. Avip Priatna yang sebelumnya memimpin PSM Unpar merupakan sang pemula dalam urusan lomba tingkat internasional: sudah sejak 15 tahun lalu. Yang ia ikuti umumnya lomba dengan persyaratan tinggi, seperti lomba di Eropa yang termasuk dalam jaringan GPE. Tahun 2009, misalnya, BMS ikut International Choral Competition di Maribor, Slovenia dan meraih urutan kedua. Kini dapat kusala khusus sebagai penafsir terbaik lagu wajib dalam lomba di Arezzo.

”Tahun depan kami akan coba mengincar GPE melalui lomba yang di Bulgaria,” kata Avip. ”Kami akan berusaha, toh Philippine Madrigal Singers yang dua kali dapat GPE baru pada usia ke-34 dapat GPE yang pertamanya.”

Berbeda dengan partisipasi mereka di Maribor tahun lalu yang tak dapat perhatian langsung pemerintah, keikutsertaan mereka kali ini didukung Dirjen Pemasaran Pariwisata Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Sapta Nirwandar. Kedubes Indonesia untuk Italia juga menyambut BMS sebagai kontingen Indonesia sejak tiba di Bandara Leonardo da Vinci, Roma dan mengutus Sekretaris Ketiga Kedubes, Sandy Darmosumarto, menyaksikan lomba langsung di Arezzo, tiga jam perjalanan darat dari Roma ke arah utara. Dengan dukungan ini, cukup bermaknalah pakaian daerah yang mereka kenakan dalam malam final sebagai duta Indonesia.

Sumber: Kompas, Minggu, 26 September 2010

Merayakan Tradisi Seni Lukis

-- Benny Dwi Koestanto

DELAPAN seniman ikut ambil bagian dalam pameran lukisan Integritas Jiwa Tampak di Bentara Budaya Bali (BBB), Gianyar, Bali, 23 September-3 Oktober 2010. Di tengah kencenderungan wacana dan pasar seni rupa kontemporer, pameran itu menjadi semacam ”perayaan” kembali seni lukis yang mengedepankan tradisi, ritual, sekaligus bakat dan keterampilan senimannya.

Para seniman itu adalah Ipong Purnama Sidhi, Made Budhiana, Sutjipto Adi, Nyoman Erawan, Nyoman Sujana Kenyem, Ida Bagus Purwa, Ni Nyoman Sani, dan Rudy Sri Handoko. Total lukisan yang ditampilkan berjumlah 23 buah. Bertindak sebagai kurator adalah Arif Bagus Prasetyo. Pameran itu dibuka oleh seniman Bali, Popo Danes, Kamis (23/9).

Direktur Eksekutif Bentara Budaya Efix Mulyadi mengungkapkan, kegiatan itu memang didasari oleh keprihatinan yang disebutnya sebagai keprihatinan awam terhadap kecenderungan wacana dan pasar seni rupa yang melulu merujuk pada kata kontemporer.

”Ada semacam ketidakadilan. Jika Anda (seniman) tidak memiliki ’KTP’ kontemporer, maka Anda tidak masuk ke dunia kontemporer. Apakah predikat sebagai seniman kontemporer itu benar-benar ’menghantui’ mereka, sehingga membuat mereka bertanya kapan mendapatkan predikat demikian,” kata Efix.

Menurut Efix, pertanyaan itu memunculkan pertanyaan-pertanyaan turunan. Seperti bagaimana memosisikan sensibilitas personal, bakat dan keterampilan tangan, spiritualitas sang seniman, sehingga mereka yang masih tekun dengan semua itu pantas disebut kuno dan bahkan tidak memiliki masa depan.

Arif Bagus Prasetyo mengatakan, di era postmodern seni lukis beserta tradisi melukis modern yang memuliakan otonomi ekspresif individual dilecehkan sebagai medium yang telah lapuk: sebuah ragam seni rupa kedaluwarsa yang meromantisir sang seniman dan berlagak seolah-olah seni adalah perjuangan heroik. Kabar kematian itu makin terasa nyaring di tengah kenyataan bahwa lukisan sebagai medium analog, yang dulu sangat berwibawa, kini semakin tersaingi oleh berbagai medium digital canggih— fotografi, film, video, komputer, teknologi cetak, dan internet.

Skeptis

Bagi mereka yang skeptis, seni lukis masih bertahan sampai sekarang bukan karena mampu menjawab perubahan zaman, melainkan karena berbagai pihak tak henti-henti mempromosikannya: museum, galeri, kolektor, kurator, kritikus, pengamat, akademi seni rupa, ataupun balai lelang.

Seorang pelukis tidak menyalin realitas, tetapi mengungkapkan penghayatannya terhadap realitas. Penghayatan inilah yang mentransendenkan bahan mentah medium lukis, mengangkat harkat materi lukis yang tak bermakna menjadi kehadiran yang bermakna, meniupkan ruh pada lukisan. Mengutip Donald Kuspit dalam The Painterly Figure, kata Arif, transendensi diri, properti-properti fisik medium seni lukis modern menggerakkan perasaan-perasaan terdalam kita, ”menjelaskan” kedalaman kita kepada kita. Hal-hal itulah yang antara lain menjadi alasan pemilihan tema pameran.

”Delapan peserta pameran ini adalah pelukis yang percaya kepada pentingnya merawat tradisi melukis. Dengan cara masing-masing, mereka menjaga integritas seni lukis sebagai medium fisis, optis, dan historis yang digeluti pelukisnya dengan intim dan sungguh-sungguh. Pada karya-karya mereka, ”jiwa tampak” bukan saja terbaca pada gagasan dan pemikiran, tetapi juga pada properti-properti fisik lukisan, di tiap-tiap corak kuas yang ada,” kata Arif.

”Melukis adalah menyebarkan kegelisahan dalam bentuk karya. Kegelisahan itu macam-macam, dilihat dari sisi psikologis, misalnya, yang ditampilkan dengan karakter ekspresi tertentu berhadapan dengan realitasnya,” kata Erawan.

Ia menampilkan tiga karya, yakni Furious, Shocking, dan Suspicious. Ketiganya menggabungkan abstrak dan realis dalam karya berukuran cukup besar. Furious, misalnya, berukuran 3 meter x 4 meter. Bakat dan kemampuannya menjadi seorang realis, kata Erawan, menguatkan nuansa abstrak dalam karyanya.

Menurut Arif, dalam proses berkarya Ipong, Erawan, dan Purwa dengan intens menginterograsi realitas diri manusia di tengah medan kemelut daya-daya yang opresif dan destruktif. Karya mereka memelihara kesetimbangan halus antara imajinasi yang hangat dan kalkulasi yang dingin. Karya Adi menyegarkan tradisi melukis dengan mengangkat teknik drawing (pensil pada kanvas) yang membutuhkan keterampilan, ketelatenan, dan konsentrasi tingkat tinggi. Sementara itu, lukisan Rudy memperlihatkan suatu ekspresi realistik yang dihidupkan oleh tegangan-tegangan perasaan sang pelukis, dan juga memperkaya tradisi melukis dengan menjelajahi medium lukis yang tidak lazim (kopi pada kanvas).

Rudy mengaku tidak alergi dengan penggunaan teknologi. Ia, misalnya, menggunakan proyektor untuk memastikan tingkat presisi atas sketsa yang telah digambarnya dalam ukuran kecil. Menurut dia, kemampuan dan bakat sang seniman tetap terejawantahkan ketika melukis dalam setiap kanvas.

Sumber: Kompas, Minggu, 26 September 2010

[Buku] Bermain dengan Blues Rendra

-- Khudori Husnan

KESEMPURNAAN Rendra tecermin dalam tiga buku yang diterbitkan setelah ia wafat dan didedikasikan kepadanya. Pertama, Rendra: Ia Tak Pernah Pergi (Penerbit Buku Kompas, 2009); kedua, Rendra Berpulang (Burung Merak Press, 2009); dan ketiga, Stanza dan Blues. Buku ketiga ini berisi puisi-puisi yang diambil-pilih dari dua buku puisi Rendra, Empat Kumpulan Sajak (Pustaka Jaya, 1961) dan Blues untuk Bonnie (Pustaka Jaya, 1971).

Rendra: Ia Tak Pernah Pergi adalah kumpulan tulisan tokoh-tokoh yang secara intensif mengamati kiprah Rendra dari awal hingga akhir kehidupannya, baik sebagai penyair, bintang film, dramawan, maupun sebagai kritikus sosial; Rendra Berpulang menghimpun tulisan para tokoh dan berita dari sejumlah media massa, dalam dan luar negeri, terkait kepulangan Rendra ke pangkuan ilahi; Stanza dan Blues berisi puisi-puisi yang diambil-pilih dari dua buku puisi Rendra, Empat Kumpulan Sajak (Pustaka Jaya, 1961) dan Blues untuk Bonnie (Pustaka Jaya, 1971).

Stanza dalam arti yang sederhana ialah puisi dengan susunan larik-larik yang membentuk satu kesatuan dalam skema irama dan rima berulang. Sedangkan blues jamak dipahami sebagai genre musik yang dipopulerkan komunitas-komunitas Afro-Amerika. Kekhasan genre musik ini adalah muatan kesenduan, yang kadang dibumbui dengan puja-puji kepada Tuhan, sebagai tanggapan atas ketidakadilan sosial. Blues dikemas dengan teknik bermusik dinamis dengan baris-baris lagu yang kerap menerapkan stanza. Blues bagi Rendra dalam puisi ”Blues untuk Bonnie” adalah ”Lagu beranak seratus makna” (hal 46).

Kreativitas

Dalam Stanza dan Blues, pembaca akan merasakan daya kreatif di balik puisi-puisi Rendra. Kreativitas tersebut bertumpu pada kegeniusan Rendra mengadaptasi dan mentransformasikan prosedur-prosedur teknik artistik stanza dan blues ke dalam puisi-puisinya. Perhatikan puisi berikut:

Ada burung dua, jantan dan betina

Hinggap di dahan.

Ada daun dua, tidak jantan dan tidak betina

gugur dari dahan.

Ada angin dan kapuk gugur, dua-dua sudah tua

pergi ke selatan.

Ada burung, daun, kapuk, angin, dan mungkin juga debu

mengendap dalam nyanyiku.

(Puisi Stanza, hal 11)

Puisi di atas menunjukkan ketangkasan Rendra meramu kekuatan kata. Seturut arti stanza, akhir puisi di atas sekurang-kurangnya akan berbunyi, ”Ada burung, daun, kapuk, dan angin/mengendap dalam nyanyiku.” Rendra tak puas. Ia menulis, ”Ada burung, daun, kapuk, angin, dan mungkin juga debu/mengendap dalam nyanyiku.” Penambahan ”dan mungkin juga debu” membuat puisi di muka semakin bertenaga.

Puisi-puisi dalam Stanza dan Blues sekaligus juga memperlihatkan Rendra sebagai penyair yang terus-menerus menggelorakan gairah tak semata cinta. Meski tema gairah tersebut kerap kali disuarakan Rendra dengan nada dasar minor seperti tampak pada penggalan puisi ”Nyanyian Duniawi” (hal 42) berikut:

Ketika bulan tidur di kasur tua

gadis itu kucumbu di kebun mangga.

Hatinya liar dan brahi

Lapar dahaga ia injak dengan kakinya.

Di dalam kemelaratan kami berjamahan.

Di dalam remang-remang dan bayang-bayang

menderu gairah pemberontakan kami.

Dan gelaknya yang angkuh

membuat hatiku gembira.

Tema gairah, yang bertukar-tangkap dengan kegerahan terhadap situasi sosial tak berkeadilan, dengan mudah ditemukan dalam puisi-puisi Rendra lain dalam buku ini, seperti ”Lagu Ibu”, ”Ibunda”, ”Setelah Pengakuan Dosa”, ”Mata Anjing”, ”Surat Kepada Bunda: Tentang Calon Menantunya”, ”Kepada MG”, ”Nyanyian Angsa”, ”Blues untuk Bonnie”, ”Bumi Hangus”, ”Rick dari Corona”, dan ”Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta”. Kesadaran menyuarakan gairah memperlihatkan pengaruh penyair dan dramawan ternama Spanyol, Federico Garcia Lorca (1898–1936), atas karya-kaya Rendra. Bau Lorca pada Rendra pernah dicium Subagio Sostrowardoyo dalam karangannya, ”Sosok Pribadi dalam Sajak” (1980).

Kegeniusan pragmatis

Rendra, seperti Garcia Lorca yang bergelar ”Profesor Panca indra” (Jonathan Mayhew, Apocryphal Lorca, Translation, Parody, Kitsch, 2009), memahami estetika secara perseptual. Dalam artian, berpaut dengan kemampuan menafsir dan menyadari sesuatu melalui pancaindra atau struktur-struktur perasaan. Rendra dan Garcia Lorca adalah penyair yang lebih mengutamakan kegeniusan pragmatis daripada kepandaian teoretis.

Garcia Lorca dan Rendra juga sama-sama dikaruniai kemampuan indrawi luar biasa. Mereka lebih percaya rumusan-rumusan puitis yang diajukannya sendiri daripada ikut larut dalam kaidah-kaidah rumit yang dikemukakan para penyair atau pakar seni lain. Banyak kesamaan di antara Garcia Lorca dan Rendra, baik dari segi citra-citra konkret yang ditampilkan puisi maupun dari kredo kepenyairan masing-masing. Beda Garcia Lorca dan Rendra, barangkali, hanya pada fakta bahwa Garcia Lorca seorang homoseksual.

Tentang Garcia Lorca, penyair Robert Bly (A Companion to Federico Garcia Lorca, 2007) berujar bahwa Garcia Lorca selalu ”mengatakan apa yang ia inginkan, apa yang ia hasrati, apa yang perempuan papa harapkan, apa yang gypsi inginkan, apa yang saudara dan saudarinya inginkan, apa yang air inginkan, hingga apa yang dikehendaki seekor sapi jantan sebelum mati”. Puisi-puisi dalam Stanza dan Blues memiliki keserupaan corak seperti dikemukakan Robert Bly. Pada beberapa puisi Stanza dan Blues, Rendra menjadi Negro, Pelacur, Kali, Batu, Angin, bahkan Yang Kudus.

Puisi-puisi awal Rendra, meminjam pernyataan Subagio Sastrowardoyo, tak sepenuhnya menunjukkan kebaruan dan orisinalitas, kecuali bahwa memang berbeda dengan penyair-penyair ternama Indonesia lain, seperti Sitor Situmorang dan Chairil Anwar. Meski demikian, yang wajib dicatat adalah hanya pada Rendra puisi menjelma menjadi suguhan dramatik yang menggetarkan dan memesona.

Buku ini penting dibaca oleh siapa saja yang hendak menyimak kiprah kepenyairan Rendra. Karena kebesaran namanya di jagat puisi Indonesia, Rendra telah bermetamorfosis menjadi jenis bahasa tersendiri.

Khudori Husnan, Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta

Sumber: Kompas, Minggu, 26 September 2010

[Buku] Novel Biografi Sang Proklamator

Judul buku : Hatta: Hikayat Cinta dan Kemerdekaan

Penulis : Dedi Ahimsa Riyadi

Penerbit : Penerbit Edelweiss, Jakarta

Cetakan : Pertama, 2010

Tebal : vii + 279 halaman

SEORANG pengarang adalah seorang penutur kehidupan. Ia bisa menuturkan peristiwa yang terjadi di masa lalu, masa sekarang, bahkan peristiwa yang akan datang. Tetapi, tatkala seorang pengarang menulis peristiwa di masa lalu dengan bersandar fakta sejarah, dengan menuturkan kehidupan atau biografi tokoh ternama yang pernah menorehkan sejarah, setidaknya ia dihadapkan pada dua hal. Pertama, kebenaran faktual—dari catatan sejarah. Kedua, fiksionalisasi sejarah dalam bingkai estetika.

Dua hal itu, tak bisa disangkal, menjeburkan pengarang pada setumpuk data sejarah yang harus diolah dengan cermat, dan pada sisi yang lain menuntut pengarang mewartakan fakta yang pernah ada atau mungkin terjadi dengan perenungan intelektualitas, membangun sebuah dunia yang koheren dan kesadaran akan problem kemanusian dalam bingkai estetika. Kegagalan dalam menuturkan dua hal itu akan menjadikan biografi seorang tokoh penting dalam sejarah yang ditulis dalam bentuk novel (karya sastra) akan menjadi karya yang kering.

Dengan dua hal itu pengarang buku ini mengangkat biografi/kehidupan Mohammad Hatta, sang proklamator dalam bentuk novel. Dari awal, tujuan Dedi memang mulia: ingin menerabas kekakuan tulisan biografi seorang tokoh agar tidak terjebak dua hal. Pertama, tak jarang biografi tokoh dalam peta sejarah kerap ditulis secara ilmiah, sehingga tak dimungkiri kerap dibaca kalangan tertentu, seperti akademisi dan peminat sejarah. Kedua, biografi pun ditulis dengan acuan metodologi sejarah, sehingga menjadikan bahasanya kaku dan berat. Pengarang buku ini—

tak diingkari—ingin menerabas kekakuan itu dan berharap buku yang ditulis tentang Mohammad Hatta ini menjadi buku yang renyah dan menawan.

Setidaknya ada tiga hal penting yang direkam Dedi Ahimsa Riyadi tentang sosok Hatta dalam buku ini. Pertama, ia digambarkan sebagai pemimpin yang memiliki pemikiran visioner. Hatta mencita-citakan kemerdekaan jauh-jauh hari dengan cara elegan dan mengedepankan akan pentingnya pendidikan, pengkarderan, dan kesadaran rakyat akan kemerdekaan.

Kedua, dia adalah seorang terpelajar yang mencintai buku. Kecintaan Hatta pada buku membuatnya tak mau berpisah dengan buku. Dia pun dikisahkan mengangkut enam belas peti bukunya ke pengasingan, waktu Belanda membuang Hatta.

Ketiga, Hatta dikenal sebagai seorang yang teguh memegang prinsip. Kecintaan Hatta pada Indonesia (juga pada rakyat Indonesia dan buku), menjadikan ia rela tak menikah hingga Indonesia merdeka. Semua orang pun tahu akan janji yang pernah diucapkan Hatta itu dan ternyata Hatta memenuhi janjinya itu. Ia menikah 3 bulan setelah Indonesia merdeka—18 November 1945, seminggu setelah pertempuran heroik di Surabaya. Hatta menikahi Rahmi Rachim, dan ia memberi hadiah kepada sang istri buku Alam Pemikiran Yunani.

Kecintaan Hatta pada Indonesia itulah yang menjadikan Mavin Rose menyebut Hatta dengan sebutan unik: muslim sejati karena Hatta beristri empat: Indonesia, rakyat Indonesia, buku, dan Rahmi Rachim. Dan Hatta memang sosok yang selalu dikenang sepanjang masa.

Keteladanan Hatta itulah yang ingin direkam Dedi Ahimsa Riyadi dalam buku Hatta: Hikayat Cinta dan Kemerdekaan ini. Buku ini pun diberi titel sebuah novel biografi. Tetapi, titel sebuah novel biografi yang sedari awal ingin mengenal sosok Hatta dalam sekeping novel ini, justru meninggalkan jejak kontroversi karena tidak didukung laku bertutur pengarang yang berjalan seirama antara isi dan bentuk novel.

Kekeringan estetika fiksionalisasi dengan memanfaatkan data sejarah itulah justru menjadikan buku ini yang diberi titel sebuah novel biografi ini kering. Apalagi pengarang seperti pelit mengumbar dialog. Bahkan buku ini nyaris kering dialog. Padahal, dialog memiliki kekuatan bisa menguatkan tokoh cerita. Alhasil, buku ini pun mirip biografi.

Meskipun demikian, keinginan mulia pengarang mengangkat sosok Hatta dalam buku ini patut disambut gembira. Buku ini bisa menjadi telaga yang jernih bagi pemimpin bangsa, bahwa perjuangan Hatta untuk Indonesia layak dan patut ditiru. Sedang bagi generasi penerus bangsa, tidak bisa dimungkiri, buku ini meninggalkan jejak perjuangan Hatta yang patut dikenang sepanjang masa.

N. Mursidi, pembaca buku

Sumber: Lampung Post, Minggu, 26 September 2010

Saturday, September 25, 2010

[Teroka] Sastra Islam dan Perjuangannya

-- Aguk Irawan MN

PADA zaman Jahiliah (pra-Islam), sastra telah menempati posisi tinggi di hati orang Arab. Bahkan, ketika dunia masih meraba-raba dalam keremangan ilmu pengetahuan, kebudayaan Arab sudah bergumul ketat dalam sastra dan tata bahasa. Tingginya penghargaan kaum Arab terhadap para penyair diperlihatkan dengan menggantung puisi-puisi terbaik penyair mereka di dinding Kabah sebagai simbol kebesaran dan kebanggaan suku mereka.

Pada zaman itu, seorang penyair adalah tokoh masyarakat yang paling disegani melebihi hartawan, agamawan, dan filsuf. Sampai kemudian datanglah mukjizat Nabi Muhammad, Al Quran, sebagai pesaing sastra Jahili, juga sekaligus—kata Syauqi Dlaif dalam bukunya, Fi Ashr Al Adab Al Jahiliy—sebagai upaya penghargaan Tuhan kepada para sastrawan.

Ketika Al Quran diturunkan, menurut pengamat sastra Arab Muhammad bin Sulam al-Jumahi dalam bukunya, Thabaqat Fuhul asy-Syuara, gairah penyair justru makin menjadi. Diturunkannya Al Quran yang sangat puitik kepada seorang ummi (baca: buta baca tulis), Muhammad, telah memicu kreativitas para penyair jahiliah untuk menyaingi kedahsyatan estetik Al Quran.

Sebagian menjadi nabi palsu, seperti Musailama al-Kadzab, yang melahirkan kitab puisi Ma huwal Fil (Kitab Ayat-ayat Katak), dan Imri’il-Qais yang menulis kitab puisi Ayyuhat Ath-thalali Al-bali (Puing-puing Usang).

Penyair dan penyihir

Dalam pelbagai pertimbangan, terutama dalam pencapaian artistik, makna, dan kekuatan simboliknya, penyair kadang diposisikan sebagai seorang ”nabi kecil”. Syairnya dianggap seperti wahyu, orasinya dianggap fatwa.

Kemampuan penyair bermain dengan kata-kata yang sugestif tidak hanya memesona, tetapi juga seperti membius pendengar atau penikmatnya, larut dalam dunia imajiner dan kontemplatif. Karena kemampuannya memainkan kata, juga pada umumnya lewat gaya bicara dan pembacaan yang agitatif-memukau, Al Quran pun sampai menyebut penyair dalam kesatuan sebutan dengan penyihir (QS As-Syu’ara [26], 24-27).

Al Quran menyebutkan kata penyair secara khusus dan sangat terang sebanyak 10 kali dan dengan bentuk derivasinya (sinonimnya) sekitar 60 kali dan secara istimewa bahkan menyebut satu suratnya dengan nama As-Syu’ara atau ”penyair” [26]. Satu keistimewaan tersendiri bagi sebuah profesi atau jenis kerja/ekspresi manusia.

Perjuangan

Dalam konteks dan waktu yang lain, dengan perangkat bahasa yang berbeda, tetapi dengan pemahaman dan pendekatan yang serupa, apresiasi serta pemosisian puisi atau sastra semacam di atas juga terjadi di tanah Jawa. Pada masa Wali Sanga, Sunan Kalijaga adalah salah seorang wali yang melihat kesusastraan sebagai bagian kebudayaan terpenting dalam usahanya memahami masyarakat Jawa.

Dasar normatifnya jelas, karya sastra yang digunakan dalam proses beriman ini adalah karya sastra yang mengusung moralitas agama, seperti mengajak kebaikan dan menjauhi segala kefasadan.

At Tahawani, mengutip pendapat Al Baidhawi, menyatakan, sebagian besar penyair hanya mengungkapkan khayalan-khayalan yang jauh dari kebenaran. Sebagian besar dari mereka, menurut dia, telah mengumbar syahwat melalui kata-kata, kecuali penyair baik yang memegang norma dan etika.

Dalam konteks inilah, menurut Radhar Panca Dahana, sastrawan seharusnya dapat mengambil posisi juga untuk berperan meluaskan pemahaman manusia karena dalam hal-hal tertentu ia juga menyimpan ”kebenaran” dalam isi dan bentuknya; sebagai penyeimbang, sebagai alternatif acuan-acuan kebudayaan (modern)—Kebenaran dan Dusta Dalam Sastra, Penerbit Indonesia Tera, 2001.

Aguk Irawan MN, Penerjemah dan Penulis Buku, Tinggal di Yogyakarta

Sumber: Kompas, Sabtu, 25 September 2010

Tanah Air: Borobudur Mandala Kehidupan

-- M Burhanudin dan Regina Rukmorini

PADA suatu hari terjadi kebakaran hebat di hutan. Si burung pipit yang tinggal di hutan itu lalu berinisiatif memadamkan api meski sadar kemampuannya terbatas. Hari itulah sepuluh abad lampau ”altruisme”—kosakata yang menyeruak kembali dua tahun terakhir di sini—dipahat di batu.

Wisatawan menikmati senja di antara stupa Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Senin (20/9). Candi yang diperkirakan berdiri pada abad IX di masa wangsa Syailendra ini merupakan monumen mahakarya peradaban budaya sekaligus ikon wisata Indonesia. (KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA)

Burung itu terbang ke telaga, membasahi tubuhnya, lalu terbang kembali menuju lokasi kebakaran, dan mengibaskan tubuhnya agar air bisa sedikit membantu memadamkan api. Upaya tersebut dilakukan bolak-balik, sampai akhirnya burung itu mati lemas dan diangkat menjadi Buddha.

Itulah sepenggal kisah Jantaka dalam salah satu panel relief Candi Borobudur. Jantaka merupakan cerita tentang perjalanan titisan Bodhisattva yang menjadi berbagai macam hewan.

Kisah si burung pipit merefleksikan betapa berharganya sikap altruistik, rela berkorban, tidak mementingkan diri sendiri, dan solidaritas. Melepaskan ego pribadi demi kepentingan bersama dengan pengorbanan.

Sebuah sikap hidup yang dalam kehidupan nyata saat ini terasa mahal. Keikhlasan sering kali hanya indah terucap, tetapi kosong dalam kenyataan.

Ya, Candi Borobudur memang kaya akan pesan kebajikan. Semuanya terpampang pada bagian dinding dan langkan bangunan candi yang panjangnya jika direntangkan akan mencapai 3.000 meter. Pada permukaan dinding-dinding batu yang membujur di bangunan candi terbesar kedua di dunia ini dipahat sebanyak 2.670 panel relief tebal. Sebanyak 1.212 panel berupa relief dekoratif dan 1.460 yang lain adalah panel relief naratif (relief berupa cerita).

Dibangun oleh Raja Samaratungga dari Dinasti Syailendra sekitar tahun 824, Candi Borobudur memang diarahkan sebagai monumen atas intisari kehidupan. Intisari itu tertutur dari dasar hingga puncak bangunan. Maknanya tersurat dan tersirat dari bentuk fisik candi, relief, serta kosmologi tempatnya.

Candi Borobudur terbuat dari dua juta potongan batu berukuran rata-rata 25 x 10 x 15 cm dengan tinggi 35,29 meter. Bangunannya bertingkat. Setiap tingkatnya melambangkan tahapan kehidupan manusia. Tahapan yang mengandung nilai universal tentang petunjuk hidup bagi manusia menuju kebajikan. Setiap tahapan itu diuraikan lewat ribuan panel relief candi.

Bagian kaki candi bernama Kamadhatu, lambang dunia yang masih dikuasai oleh ”kama” atau nafsu. Bagian yang tertutup struktur tambahan, berisi 160 panil cerita Karmawibhangga, cerita tentang segala perbuatan manusia soal ganjarannya.

Empat tingkat di atas kaki candi bernama Rupadhatu—artinya manusia yang telah dapat melepaskan diri dari hawa nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk.

Mulai lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief dan lantainya berbentuk lingkaran. Tingkatan ini dinamakan Arupadhatu—yang tak berwujud—melambangkan manusia yang telah terbebas dari nafsu, rupa, dan bentuk sehingga siap mencapai nirwana.

Mandala

Candi Borobudur tak sekadar syarat makna kebajikan. Ia juga merupakan mandala atas bentuk tiga dimensinya sendiri, dan juga bangunan percandian di sekelilingnya (Muhammad Taufik dalam jurnal Balai Konservasi Purbakala Borobudur, 2008). Borobudur adalah totalitas, suatu tanda kesempurnaan dan kemuliaan. Pusat dunia yang berupa arca dan bangunan yang batas-batasnya telah ditentukan atau semacam ”pagar suci”.

Menurut Dr Sukmono dalam buku Chandi Borobudur (1976), sinergi dalam pengembangan peribadatan Borobudur dan percandian semasanya adalah bukti situasi damai masa itu. Posisi mandala ini segaris lurus dengan dua mandala Buddha lain di dekatnya, yaitu Candi Pawon, Mendut, dan Gunung Merapi.

Menurut Taufik, mengacu pada pengertian bahwa bentuk mandala berupa garis lurus geometris, Candi Mendut, Pawon, dan Borobudur yang dibangun pada satu garis lurus. Ketiga bangunan tersebut dianggap sebagai superstruktur. Candi-candi Hindu yang ada di sekitarnya dapat dianggap sebagai substrukturnya, seperti Candi Ngawen dan Kali Tengah.

Hampir satu milenium Borobudur ”tidur” dalam timbunan tanah dan debu vulkanik letusan Merapi. Sejak ditemukan dan dipugar oleh Pemerintah Kolonial Belanda antara abad XIX dan awal abad XX serta kemudian dilanjutkan dengan renovasi pada masa kemerdekaan, Borobudur terlihat kembali segar. Borobudur menjelma sebagai salah satu bangunan yang diakui sebagai warisan keajaiban dunia.

Kini, Borobudur lebih dikenal sebagai obyek wisata. Namun, kurang dibarengi dengan sosialisasi sebagai monumen warisan peradaban dengan nilai-nilai kemanusiaan universal. Kantor Pusat Studi Borobudur yang dulu diharapkan menjadi arena transformasi nilai luhur ke generasi masa kini telah lama berubah sebagai Hotel Manohara.

Namun, tak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri. Menempatkan Borobudur kembali sebagai mandala kehidupan sangat relevan pada masa gegar nilai seperti sekarang ini.

Sumber: Kompas, Sabtu, 25 September 2010

45 Tahun "Kudeta Merangkak"

-- Budiarto Shambazy

PEKAN depan pas 45 tahun peristiwa Gerakan 30 September yang merupakan operasi CIA yang sejak akhir dekade 1950 menggoyang Bung Karno. ”Topeng mirip BK dikirim ke Hollywood, lalu dipakai bintang porno in action,” kata Barry Hillenbrand, wartawan Time. Film dan foto- foto mirip BK disebarluaskan, tetapi tak ada yang terpancing.

CIA juga mengirimkan senjata dan personel membantu pemberontakan PRRI/Permesta.

Operasi dikoordinasikan di Singapura, dijalankan bersama dinas intelijen Inggris, MI6. Salah satu modus operandi adalah menyebarkan berita yang menumbuhkan kebencian rakyat terhadap BK, termasuk menghanyutkan botol-botol berisi tulisan caci maki terhadap BK di Sungai Serawak yang mengambang sampai ke sini.

Mereka mendaratkan ”pasukan China” di pantai utara Jawa untuk timbulkan kesan buruk terhadap negeri komunis terbesar itu. Harian Guardian menerbitkan propaganda tentang kondisi BK. ”Kabarnya satu atau kedua ginjalnya diambil, ia juga sakit jantung, bahkan salah satu kaki dan matanya tak berfungsi,” tulis harian itu.

Setelah bertemu pimpinan PRRI Oktober 1957 di Padang, selama lima bulan CIA menyuplai senjata untuk 8.000 personel yang dikirim ke Dumai atau Painan. Kapal-kapal selam AS membawa pemberontak berlatih di Okinawa, Saipan, dan Guam. Pesawat yang bisa mendarat di air dikerahkan menjemput pemberontak di Danau Singkarak.

Tanggal 7 Desember 1957 operasi intelijen ditingkatkan menjadi operasi militer yang dilakukan Satgas AL. Dari Subic Bay (Filipina), sejumlah kapal perang (dipimpin penjelajah Princeton) dan 20 helikopter serta pasukan Third Marine Division melaju ke Singapura. Setelah PRRI menyatakan pisah 15 Februari 1958, Armada Ketujuh Pasifik AS membentuk Satgas 75 di Singapura, mengantisipasi semua kemungkinan.

Termasuk dalam satgas kapal induk Ticonderoga, penghancur Shelton dan Eversole, serta penjelajah Bremeton. Menurut rencana, sekitar Maret dua batalyon Marinir didaratkan di Pekanbaru mengamankan Caltex dan Stanvac. Tetapi, sebelum pendaratan, pasukan Indonesia mengamankan wilayah itu, manuver yang mengejutkan AS dan PRRI.

Duta Besar AS Howard Jones sudah pasrah Indonesia jatuh ke komunis.

Satu-satunya cara melenyapkan BK memancing PKI mengambil tindakan yang mendiskreditkan mereka. Jika mereka disalahkan, CIA memperkirakan TNI AD melancarkan aksi cepat. Maka perlu dicari alasan agar PKI dijadikan kambing hitam, yakni melalui isu ”kudeta Dewan Jenderal”. Namun, versi resmi TNI AD mengatakan, Dewan Jenderal tak pernah ada. Apa pun, Kolonel Untung mengajak PKI mencegah kudeta Dewan Jenderal. Menurut makalah Cornell, Untung dan rekan-rekannya perwira ”progresif” kecewa kepada pimpinan TNI AD.

Teori lain mengatakan, mereka kreasi PKI. Bahkan, analisis CIA yakin, mereka bekerja untuk BK. Ada juga Untung bekerja untuk ”orang-orang tertentu” di pemerintah. Apa pun, CIA memakai metode Gerakan 30 September (G30S) untuk menunggangi Jenderal Augusto Pinochet menggulingkan Presiden Cile Gustavo Allende yang bernama sandi ”Operasi Djakarta”.

Betulkah CIA terlibat, sampai kini tak pernah terbukti. Apa pun, setelah G30S, Pangkostrad Mayjen Soeharto mengambil langkah-langkah penting. BK tak langsung tersingkir, tetapi keamanan nasional dikendalikan Pak Harto.

Pada Februari 1967 posisi BK makin terjepit, apalagi setelah Pak Harto menjadi Ketua Presidium Kabinet Ampera/Pengemban Supersemar/Menpangad. Hampir semua partai, tokoh politik, pers, serta mahasiswa bersikap anti-BK yang dianggap bertanggung jawab atas terpuruknya kondisi ekonomi serta merosotnya akhlak.

Pertanggungjawaban BK di MPRS pada 22 Juni 1966 berjudul Nawaksara ditolak, juga Pelengkap Nawaksara 10 Januari 1967. Tanggal 7 Februari 1967 BK melalui dua surat yang disampaikan lewat tokoh PNI, Hardi SH, menawarkan konsep ”surat penugasan khusus” kepada Pak Harto.

Namun, esok harinya tawaran itu ditolak. Pada 10 Februari Pak Harto menemui BK membicarakan penolakan itu, sekaligus menyampaikan keinginan para menteri panglima keempat angkatan. Esoknya semua menteri panglima angkatan menemui BK, menawarkan konsep ”presiden berhalangan dan menyerahkan kekuasaan” kepada Pak Harto sebagai pengemban Supersemar.

Butir pertama, ”Kami Presiden RI/Mandataris MPRS/Pangti terhitung mulai hari ini menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Pengemban Tap MPRS Nomor IX/1966 Jenderal Soeharto sesuai dengan jiwa Tap MPRS Nomor XV/1966 dengan tidak mengurangi maksud dan jiwa UUD ’45”.

Butir kedua, ”Pengemban Tap MPRS Nomor IX/1966 melaporkan pelaksanaan penyerahan tersebut kepada Presiden setiap waktu dirasa perlu”.

Waktu bergerak cepat ke Maret saat MPRS mengakhiri kekuasaan BK 12 Maret 1967 melalui Tap MPRS XXXIII/MPRS/1967.

”Kudeta merangkak” terhadap BK melenyapkan kejayaan kita sebagai bangsa besar dengan militer disegani, mandiri dengan SDM dan SDA melimpah, dengan utang luar negeri cuma 2,5 miliar dollar AS, dan dengan etika moral-politik yang transformatif (non-transaksional). BK—juga Pak Harto dan Gus Dur—mundur tak melawan konstitusi karena tahu diri sudah tidak punya legitimasi.

Sumber: Kompas, Sabtu, 25 September 2010

Pengarang Surabaya: Menari-nari dalam Kata bersama Lan Fang

-- Sunaryono Basuki Ks

SURABAYA punya banyak pengarang fiksi, di masa lalu ada Grandy yang menciptakan detektif Naga Mas, ada Basoeki Rachmat dengan novel-novel berbahasa Jawa dan Indonesia serta cerpennya, ada Farid Dimyati, ada Poernawan Tjondronegoro yang meninggal di Jakarta.

Di masa kini ada Suprato Brata pengarang super produktif yang menghasilkan puluhan novel berbahasa Jawa serta Indonesia. Sebagai novelis berbahasa Jawa dia mendapatkan Hadiah Rancage, dan sebagai pengarang berbahasa Indonesia dia diundang ke Bangkok untuk menerima SEA Write Award. Ada Budi Darma yang masih menulis. Ada Dukut Imam Widodo dan banyak lagi yang tak tersebutkan.

Lan Fang hanyalah satu dari banyak pengarang Surabaya. Salah satu novel Lan Fang yang menonjol adalah Lelakon, yang masuk nominasi untuk mendapatkan Khatulistiwa Literary Award sayang gagal. Membaca Lelakon karya Lan Fang seperti membaca lelakon diri kita sendiri, yang dibawakan secara puitis, dengan muatan psikologi dan filsafat tentang kehidupan yang mendalam, dan latar budaya yang beragam. Kata Pembuka ditulis oleh novelis terkemuka Budi Darma, sepanjang kurang dari satu halaman, sedangkan Kata Pemungkas, ditulis oleh Audifax, penulis beberapa buku laris Mite Harry Porter (2005), Imagining Lara Croft (2006) dan Semiotika Tuhan (2007), sepanjang 8 halaman.Dalam Kata Pembukanya Budi Darma menulis tentang manusia secara umum: "manusia adalah makhluk yang benar-benar buruk, saling mengkhianati, saling menipu, saling memperalat, semua untuk kepentingan diri sendiri." Bagi Budi Darma, novel Lelakon dipenuhi berbagai macam tokoh yang kadang-kadang terasa nyata tapi kadang-kadang pula terasa hanya ada dalam angan-angan, dengan alur yang tidak perlu diatur secara jelas. Tempo dalam novel ini, tulis Budi Darma lagi, bisa berjalan dengan cepat, bisa pula bergerak lambat, dengan bahasa yang kadang diatur dengan rapi, dan kadang tidak diatur dengan rapi pula.

Sementara itu Audifax menyoroti karya ini dari sudut pandang psikologi dan filsafat, tentang eksistensi cermin, serta subyek yang terbelah, bak kita melihat diri dalam cermin.

Mungkin secara kebetulan, ketiga orang yang hadir dalam buku ini adalah orang-orang Surabaya. Budi Darma yang gurubesar sastra, tinggal di Surabaya sejak awal tahun 60an, sebelum baik Lan Fang maupun Audifax dilahirkan. Lang Fang yang lahir di Banjarmasin tahun 1970, merantau ke Surabaya, dan Audifax yang psikolog kelahiran Surabaya tahun 1973.

Mengapa Lelakon?

Karena ini memang kisah yang dilakoni oleh banyak tokoh, dan banyak lakon. Lan Fang menggelar panggung sandiwara, menempatkan tokoh-tokohnya yang memainkan sebuah cerita rekaan sang pengarang, dan ditonton oleh "sedikit penonton", seolah Lan Fang dengan rendah hati meramalkan bahwa Lelakonnya tidak banyak yang menonton atau membaca, "Ada gemuruh tepuk tangan yang tidak terlalu riuh karena hanya beberapa gelintir kepala yang memenuhi ruangan itu." (hlm 259). Pada bagian ini pengarang muncul di panggung dengan naskah sandiwara yang belum selesai.

Dan secara beramai-ramai dikeroyok oleh tokoh-tokoh yang dia "adakan". Dari sini kita bisa tahu, juga dari banyak bagian dalam novel ini, Lan Fan memakai allusion (kilatan) dari berbagai sumber bacaan dan pengalamannya. Di bagian ini kita teringat pada karya sastrawan Italia Luigi Pirandelo yang menulis naskah drama (Six Characters in Search of an Author,OOO KRG 1921).

Dari apa yang akan kita lihat nanti, terbukti bahwa Lan Fan punya pengalaman membaca dan pengalaman batin yang lumayan. Kilatan merupakan cara pengarang mengacu kepada fakta sejarah, pada kisah tokoh, pada karya sastra, pada kisah-kisah dari Kitab Suci untuk menghidupkan karyanya.

Pembaca yang kurang membaca mungkin akan ketinggalan kereta dari pengarangnya yang banyak memakai kilatan. Penyair Inggris kelahiran Amerika, T.S. Eliot sangat suka memakai kilatan dalam puisinya. Sumber yang dipakainya beragam, dari karya sastra sampai ajaran agama Hindu.

Kilatan yang dipakainya merujuk ke karya sastra klasik sampai yang lebih baru, dari Salome karya Oscar Wilde dan Joseph Conrad yang baru, sampai karya Andrew Marvell, Dante, Chaucer, Shakespeare dan lain-lain.

Penuh ungkapan puitis

Sepanjang perjalanan membaca Lelakon, kita disuguhi membanjirnya ungkapan puitis, yang tidak mengada-ada, bahkan mengejutkan karena sangat tepat. Kita comot saja secara acak "sepi yang terasa menguliti", "berceloteh seperti uang receh,", "Mon ingin mendengarkan suara lain yang bukan suara manusia. Juga ingin melihat wajah lain yang bukan wajah pendusta." (hlm 59).

"Di dalam bola kristal hanya ada hening, sedang ia juga rindu bising" (hlm 91). Lalu: "Katanya, bunga dalam rangkaian seperti sepenggal kenangan yang tertinggal. Tak pernah mengutuh karena terlalu rapuh. Layu untuk mendebu. Sedang ia yang tertanam seperti kenangan tanggal yang janggal. Tak mungkin luruh walaupun jauh. Selalu untuk selalu." (hlm 110).

Sebagaimana telah disinggung di atas, Lan Fang banyak memakai kilatan dari berbagai sumber. Dari pewayangan dengan leluasa dia berkisah tentang kematian Bisma yang berbantalkan anak panah. Dia bercerita tentang Hyang Ismaya yang sesumbar bisa menelan Gunung Garbawasa tetapi tidak mampu mengeluarkannya kembali sehingga perutnya membesar tersodok gunung. Dia menyebut Sarpaneka, anak hasil nafsu Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi yang gagal menghayati Sastra Jendra. Dia juga menyebut Drupadi yang tidak menyanggul rambutnya karena kainnya disentuh Dursasana. Kalau kita tak pernah membaca Bale Sigala-gala, pengembaraan Pandawa secara rahasia lantaran kalah berjudi, pasti tak mampu memahaminya.

Jangan sewot membaca kisah Drupadi yang berpoliandri dengan Pandawa saat Lan Fang mengobrak abrik kisah pewayangan menjadi kisahnya sendiri, yang membuka aib Drupadi serta kelima suaminya. Hal ini tidak bisa dianggap sebagai pelecehan budaya, sebab Lan Fang sekedar mengolok-olok manusia yang sering dianggap suci namun kenyataannya sebaliknya.

Dari karya sastra Eropa, Lan Fang memakai "The Beauty and the Beast" dalam kilatannya. Juga menyebut Gretel dari kisah kuno. Dia juga mengambil kisah-kisah dari agama-agama Ibrahim, dengan leluasa menyebut nama-nama Tuhan dalam kosakata mereka masing-masing, dan menegaskan bahwa Tuhan hanya satu.

Masih banyak lagi kilatan yang dipakainya, soal Dayang Sumbi, Aladin, bahkan Medusa wanita berambut ular, yang bisa terbunuh karena Perseus memakai cermin untuk memantulkan sorot matanya yang mampu menghancurkan apa saja.

Jam 03.00 di rumahnya di Pepelegi, Sidoarjo, Lan Fan terbangun dengan laptop masih menyala, ragu tentang kemampuannya untuk meneruskan kisahnya. Dia tak mau membandingkan dirinya dengan Tuhan yang Maha pencipta, hanya sebagai tuhan kecil yang mengadakan dan meniadakan tokoh-tokohnya.

Memang sejumlah pengarang membandingkan dirinya dengan dalang yang bermain dengan wayang, namun harus diingat bahwa tokoh-tokoh wayang sudah ada, dan seorang dalang tinggal memainkannya. Ini sesuai dengan pendapat Elizabeth Bowen yang menulis "Notes on Writing a Novel" (1946). Bowen percaya bahwa istilah penciptaan tokoh menyesatkan. Baginya, tokoh sudah ada (pre-exist), mereka ditemukan dan dikenali oleh pengarangnya. Bukan diciptakan.

Makin lama Lan Fang merasa bebas mencampur adukkan antara fiksi dan kenyataan dan sebaliknya.. Ini jelas terlihat di dalam novel terbarunya Ciuman di Bawah Hujan (2010).

Dia juga menyatakan terus terang disini bahwa dia sengaja tidak memberi kata penutup pada novelnya ini sehingga dia membiarkan pembaca membuat peutup sendiri, apakah Fung Lin (yang deskripsinya mirip sosok Lang Fang) yang bikin bingung seorang caleg yang jatuh cinta padanya karena pada saat-saat kritis bisa bicara soal hal-hal remeh.

Dia sudah membingungkan Ari, seorang anggauta dewan yang tertarik pada apa yang dikerjakan Fun Ling dengan para TKW, karena dia juga turun tangan dalam masalah pengiriman TKW ke Arab Saudi sampai melepasnya di pintu bandara. Soalnya, sekarang Ari diminta membaca calon novel!Pada novel berikutnya mungkin dia suruh kita bikin novel sendiri. Bukankan Ciuman di Bawah Hujan merupakan novelnya ke sembilan, angka tertinggi yang dia percaya sebagai karya puncak. Entahlah.***

* Sunaryono Basuki Ks, sastrawan tinggal di Singaraja

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 25 September 2010

Friday, September 24, 2010

Pengajaran: Penghargaan untuk Guru Bahasa Daerah

Bandung, Kompas - Yayasan Kebudayaan Rancage memberikan Hadiah Hardjapamekas 2009 kepada tiga guru bahasa daerah di Jawa Barat. Pemberian hadiah itu guna meningkatkan motivasi dan metode pengajaran bahasa daerah.

”Tidak sekadar menghargai jerih payah guru bahasa daerah, tetapi juga tukar pendapat dan pengalaman tentang metode pengajaran bahasa daerah,” kata Ketua Dewan Pembina Yayasan Rancage Ajip Rosidi seusai menyerahkan hadiah kepada para guru di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Kamis (23/9).

Ajang yang rutin dilakukan sejak 2008 ini terinspirasi sosok Dekan Fakultas Keguruan Sastra dan Seni Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung Sobri Hardjapamekas (1913-2005) yang lahir pada 23 September di Cianjur. Tahun ini, penjurian dilakukan Iskandarwassid, Elin Syamsuri, dan Safrina Noorman dengan hadiah utama Rp 5 juta per pemenang.

Ajip mengatakan, pemenangnya adalah yang dianggap terbaik di tingkat SD, SMP, dan SMA. Mereka adalah Sunta Atmaja, guru Bahasa Sunda SDN Mulyasari I Kecamatan Ciampel, Karawang; Daningsih Kurniasari, guru Bahasa Sunda SMPN 1 Depok; dan Rayudin, guru Bahasa Sunda SMKN 4 Sukabumi.

”Mereka bekerja luar biasa untuk pelestarian dan pengembangan bahasa Sunda, termasuk mengembangkan metode pengajaran bahasa Sunda lewat cara membuat tulisan,” katanya.

Melalui kesempatan ini, Ajip juga mengkritik peran Pemprov Jabar dalam memelihara bahasa daerah. Meski sudah memiliki Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah, Jabar belum punya surat keputusan pelaksanaan perda itu. Akibatnya, aplikasi dari setiap daerah atau institusi pendidikan belum menyentuh esensi yang diharapkan.

Sunta Atmaja, guru terbaik tingkat SD, mengatakan, selain mengajar, ia kerap membuat tulisan untuk surat kabar berbahasa Sunda. Bahkan, ia juga membuat kamus bahasa Sunda-Karawang-Inggris.

Sekretaris Yayasan Rancage Hawe Setiawan mengatakan, dari sekitar 500 guru bahasa daerah, hanya sekitar 100 yang terdata keberadaan dan aktivitasnya. (CHE)

Sumber: Kompas, Jumat, 24 September 2010

Wednesday, September 22, 2010

Arkeologi: Ditemukan, Kompleks Kubur Peti Batu

BLORA, KOMPAS - Sebuah kompleks kubur peti batu yang diduga berasal dari zaman megalitikum ditemukan warga dan aparat Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Masyarakat setempat menyebut kubur tersebut sebagai makam orang Kalang, masyarakat nomaden yang mengasingkan diri dengan tinggal di perbukitan.

Kompleks kubur itu berada di Bukit Pontang, Pegunungan Kendeng Utara, di wilayah hutan perhutani Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Cepu, Kecamatan Jiken, Kabupaten Blora. Jaraknya sekitar 30 kilometer dari kota Blora dan berada di ketinggian sekitar 300 meter dari permukaan air laut.

Kubur yang terbuat dari lempengan-lempengan batu pipih itu terdiri dari lantai, empat dinding batu, dan tutup. Panjang kubur itu 2,5 meter dan lebarnya 1 meter. Kubur tersebut membujur timur-barat, bukan seperti layaknya kubur biasa yang membujur utara-selatan.

Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga (DKPPO) Kabupaten Blora Pudyatmo, Selasa (21/9) di Blora, mengatakan, temuan ini merupakan temuan kedua. Temuan pertama pada 1934. Waktu itu, kubur yang ditemukan hanya satu kompleks yang terdiri dari enam kubur.

Berdasarkan hasil penelusuran terbaru, ada satu kompleks kubur yang berjarak sekitar 500 meter dari kompleks kubur temuan lama. Di kompleks tersebut terdapat tiga kubur dan salah satunya masih utuh.

Kepala Bidang Kebudayaan DKPPO Kabupaten Blora Suntoyo mengemukakan, kubur peti batu itu sangat unik. Materi kubur terbuat dari batu-batu tipis, sedangkan pemakaman mayat diarahkan dengan kepala ke arah timur dan kaki ke barat. (HEN)

Sumber: Kompas, Rabu, 22 September 2010

Perbukuan: Buku Murah Butuh Peran Pemerintah Daerah

Jakarta, Kompas - Program buku murah bisa menjadi kenyataan kalau pemerintah daerah berani berinvestasi sekitar Rp 3 miliar untuk pengadaan mesin cetak. Keluhan soal mahalnya harga buku selama ini antara lain karena besarnya biaya distribusi buku oleh penerbit yang umumnya terpusat di Pulau Jawa.

”Jika ada percetakan di daerah, biaya distribusi bisa ditekan,” kata Direktur Polimedia Bambang Wasito Adi pada jumpa pers Indonesia Book Fair, Selasa (21/9) di Jakarta.

Bambang menjelaskan, saat ini ada sekitar 60 juta siswa dan 12 juta mahasiswa yang selama ini menjadi konsumen buku. Kalau setiap daerah punya mesin cetak, buku-buku keperluan siswa bisa dicetak dengan harga yang lebih murah.

Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Setia Dharma Madjid mengatakan, jika setiap daerah punya mesin cetak buku, industri perbukuan akan semakin berkembang, penulis akan menjadi lebih banyak. ”Bahkan, kearifan lokal daerah masing-masing bisa dibukukan untuk didokumentasikan dan menjadi pengetahuan,” katanya.

Setia Dharma menyatakan keprihatinannya karena banyaknya generasi muda yang tidak tahu kearifan lokal daerahnya masing-masing. Bahkan, pemahaman terhadap bahasa daerah juga sangat rendah. Ia mencontohkan, dalam salah satu lomba pidato berbahasa Inggris di Sumatera Utara, pesertanya bisa mencapai 250 orang. Namun, saat lomba pidato menggunakan bahasa daerah setempat, yakni Tapanuli, pesertanya hanya tujuh orang. ”Ini sangat memprihatinkan,” ujarnya. (NAL)

Sumber: Kompas, Rabu, 22 September 2010

Tuesday, September 21, 2010

Guru, Kunci Sukses Pendidikan Dasar

Jakarta, Kompas - Kesuksesan pendidikan dasar bukan sekadar menghadirkan anak- anak usia wajib belajar secara fisik di sekolah. Tantangan terberat justru memastikan anak-anak usia wajib belajar ini mendapatkan layanan pendidikan bermutu yang membuat mereka mampu mencapai tujuan belajar, menyelesaikan sekolah, dan memiliki kemampuan menghadapi masa depan.

”Untuk mencapai pendidikan dasar berkualitas di suatu negara, guru punya peran penting. Kita butuh guru yang terlatih baik dan memiliki motivasi tinggi,” ungkap Hubert Gijzen, Direktur Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) Perwakilan Kantor Jakarta, dalam pembukaan program pelatihan guru internasional E-9 (sembilan negara berpenduduk terbanyak di dunia) di Jakarta, Senin (20/9).

Pelatihan diikuti 320 guru dari empat negara E-9, yakni Indonesia, Mesir, Banglades, dan Meksiko. Adapun China, India, Pakistan, Brasil, dan Nigeria tidak mengirimkan perwakilan.

Gijzen menambahkan, kebijakan Pemerintah Indonesia yang mereformasi guru merupakan langkah yang tepat. Fokus pada peningkatan mutu dan profesionalisme guru dapat mendorong tercapainya pendidikan untuk semua, termasuk di daerah-daerah terpencil dan kelompok masyarakat yang termarjinalkan.

Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh menambahkan, para guru dari negara E-9 memiliki masalah dan tantangan pendidikan yang sama. Mereka bisa saling belajar untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan motivasi diri. (ELN)

Sumber: Kompas, Selasa, 21 September 2010

Kemiskinan: Yang Terus Dikalahkan

RUANG kontrakan itu berukuran 2 meter x 3 meter, berdinding bata, bercat putih kusam, berlantai semen yang terkelupas di beberapa bagian. Setengah lantai tertutup tikar pandan lusuh. Baju bercampur bau keringat bergantungan di dinding kosong dan lembab.

Amad dan Kliwon, dua buruh gali asal Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, ngobrol di tepi Jalan Adiyaksa, Jakarta, sambil menunggu panggilan, Senin (20/9). Meluasnya kemiskinan menyebabkan jumlah buruh gali terus bertambah. Persaingan antarsesama mereka untuk mendapatkan pekerjaan pun semakin ketat. (KOMPAS/LUCKY PRANSISKA)

Rumah sewaan di bilangan Pondok Aren, Tangerang, Banten, itu dijejali delapan sampai 10 tukang gali. ”Saya membayar sewa Rp 1.500 semalam,” ujar Solikin (43), asal Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.

Kelompok buruh sektor informal itu berdatangan dari berbagai daerah. Upah mereka antara Rp 40.000 dan Rp 50.000 per hari, sesuai kesepakatan dengan mandor. ”Tidak setiap hari bekerja,” ungkap Darma (43). ”Kadang seminggu kami menganggur, tidak dapat pekerjaan.”

Kalau sudah begitu, pengeluaran harus diperketat. Makan cukup sekali sehari. Menunya nasi disiram kuah sayur dan sepotong kerupuk, Rp 3.500. Ditambah rokok, pengeluaran bisa ditekan di bawah Rp 9.000 per hari. Sisanya ditabung untuk keluarga di kampung yang dikunjungi sebulan sekali.

Uang yang diserahkan untuk biaya hidup satu keluarga dengan empat sampai lima anak kadang mencapai Rp 1 juta per bulan. Ini masih lebih baik dibandingkan upah di kampung yang jauh lebih rendah, itu pun kalau ada pekerjaan. ”Sekarang cari kerja di kampung susah sekali,” ucap Darma.

Sulitnya pekerjaan di kampung juga dirasakan Kaswari (39), buruh gali yang mangkal di perempatan Jalan Pemuda-Jalan Wahidin, Kota Cirebon. Namun, pekerjaan di kota juga tak mudah. Sering sampai lebih dari dua hari tak ada order kerja.

Berjubelnya buruh tanpa keterampilan dan sangat terbatasnya lapangan kerja di kota membuat persaingan upah tak terelakkan. Upah Rp 15.000-Rp 20.000 sudah sangat disyukuri. ”Kalau pasang harga, anak istri di rumah tidak bisa makan,” ujar Kaswari yang bersama keluarganya tinggal di daerah Ciledug, Kabupaten Cirebon.

Tak tersentuh

Wajah kemiskinan di kota dan kota besar adalah muara yang persoalan hulunya hampir tak pernah disentuh. Kampung dan dusun ibarat wilayah antah berantah yang sumber dayanya terus dikeruk dan wilayahnya dikuasai atas nama devisa negara. Mereka yang masih punya daya berduyun-duyun mengungsi ke kota, tanpa keterampilan, tanpa modal, mengaisi remah-remah rezeki untuk bertahan hidup.

Urbanisasi tak terbendung ketika disparitas pembangunan desa-kota semakin tak terjembatani. Kalau pada tahun 2009 sekitar 53 persen penduduk Indonesia menumpuk di perkotaan, menurut perkiraan Kepala Lembaga Demografi Universitas Indonesia Sonny Harry B Harmadi, jumlahnya menjadi 68,3 persen pada 2025.

Artinya, dua pertiga penduduk Indonesia akan tinggal di kota. Kemiskinan di perkotaan meningkat akibat daya dukung lingkungan dan daya serap ekonomi terbatas. Kebutuhan kota akan tenaga kerja terampil tak terpenuhi sehingga angka pengangguran perkotaan meningkat drastis. Kemiskinan antargenerasi dengan mudah terbangun karena orang yang menganggur cenderung lebih mudah menjadi miskin.

Seperti dialami Ny Bona (57). Ibu 11 anak itu memulung sampah plastik di kali bersama suaminya, buruh cuci motor, dan tinggal di kolong jembatan Karet Tengsin, Jakarta Pusat. Ia terdampar di Jakarta ketika tanah warisan di kampungnya, Cikarang, Bekasi, habis dibagi-bagi dan dijual. Sembilan anaknya tak menyelesaikan sekolah dasar. Dua bungsunya masih duduk di bangku SMP dan SD, tetapi terancam putus sekolah karena menunggak iuran bulanan.

Spiral kemiskinan

Kondisi keluarga Ny Bona adalah gambaran sulitnya memutus spiral kemiskinan di Indonesia. Hilangnya tanah petani, seperti dikemukakan Don Marut dari Forum NGO Internasional mengenai Pembangunan Indonesia (Infid), selalu bergerak paralel dengan pertumbuhan kemiskinan di Indonesia.

Persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan cenderung tidak berubah selama hampir 20 tahun. Lembaga Demografi FE UI mencatat, pada 1990, persentase penduduk miskin sekitar 15,1 persen dan tahun 2008 sekitar 15,4 persen.

”Itu kalau standarnya satu dollar per hari. Kalau 1,5 dollar per hari, jumlahnya menjadi 57 persen atau 66 persen atau lebih dari 100 juta jiwa kalau ukurannya dua dollar sehari,” ujar Don.

Kemiskinan multidimensi menjadi sangat serius karena lebih dari 50 persen tenaga kerja di Indonesia hanya berpendidikan SD ke bawah. Mereka akan berjubel di pasar kerja selama usia produktif meski terus digilas oleh roda mekanisme pasar.

Jadi, jangan harap program-program penghapusan kemiskinan yang parsial dan bias kota seperti selama ini akan menghapus mimpi kemiskinan pada tahun 2015! (THY/INE/MH)

Sumber: Kompas, Selasa, 21 September 2010