Monday, May 31, 2010

[Editorial] Kasta Baru Pendidikan

ADA kecenderungan warga kelas menengah ke atas kian tergila-gila untuk menyekolahkan anaknya di sekolah bertaraf internasional. Akibat tingginya permintaan itu, sekolah-sekolah pun sibuk mendirikan kelas-kelas internasional.

Berbagai fasilitas pun disulap. Ada pendingin ruangan, komputer, serta laboratorium yang lengkap. Tak ketinggalan, pelajaran pun dikemas dan disampaikan dalam bahasa Inggris.

Awalnya pihak swasta yang memprakarsai kelas dan sekolah internasional. Label 'internasional' itu sepenuhnya dibiayai orang tua murid. Di sini tak ada lagi pendidikan sebagai fungsi sosial, atau merupakan amanah Preambul Konstitusi, tetapi semata urusan dagang. Ada mutu, ada harga.

Sekolah-sekolah negeri pun kemudian tertarik mengikuti rekannya yang swasta itu. Label 'internasional' pun ditambahkan pada sejumlah sekolah negeri.

Celakanya, persis seperti sekolah swasta, label 'internasional' sekolah negeri itu pun harus pula dibiayai sendiri oleh orang tua. Di titik ini, tak ada lagi perbedaan sekolah swasta dan sekolah negeri. Padahal, apa pun predikat dan label yang disandang sekolah negeri, ia mestinya sepenuhnya dibiayai negara.

Yang terjadi ialah banyak sekolah negeri yang memaksakan diri. Sekolah negeri hanya menyiapkan ruang kosong, sedangkan tersedianya fasilitas untuk mendapat label internasional menjadi kewajiban orang tua murid.

Akibatnya, sekolah negeri bertaraf internasional memungut biaya hingga Rp28,5 juta per murid. Padahal, Kementerian Pendidikan Nasional telah mengalokasikan untuk setiap sekolah negeri berlabel internasional dana sebesar Rp300 juta-Rp500 juta/tahun.

Kita khawatir sekolah negeri bertaraf internasional hanya menambah lebar dan dalamnya kesenjangan sosial di tengah masyarakat. Mahalnya biaya mengakibatkan hanya anak-anak kalangan tertentu yang dapat menikmatinya. Anak-anak kelompok masyarakat miskin, tetapi cerdas, hanya menjadi penonton.

Sesungguhnya adalah kewajiban negara untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional terutama melalui sekolah negeri. Menghasilkan anak bangsa dengan kecerdasan yang bersaing di tingkat dunia jelas urusan dan tanggung jawab negara. Negaralah yang seharusnya dengan sadar menciptakan lebih banyak lagi sekolah negeri bertaraf internasional. Melemparkan kewajiban pembiayaannya kepada warga, jelas bukan contoh negara yang bertanggung jawab.

Konstitusi telah mematok anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN. Untuk tahun anggaran 2010 besarnya sekitar Rp209 triliun. Dari anggaran itulah seharusnya dialokasikan untuk membangun sekolah negeri bertaraf internasional secara bertahap.

Terus terang negara ini pada kenyataannya tidak memiliki politik pendidikan. Salah satu buktinya ialah terus dipertahankannya ujian nasional, tanpa memperbaiki sisi proses belajar dan mengajar. Daripada uang negara disia-siakan untuk membiayai ujian nasional, jauh lebih baik bila uang itu dipakai untuk memperbaiki proses pendidikan yang mengubah input menjadi output. Adalah kebodohan, berharap terjadi peningkatan mutu output tanpa memperbaiki proses konversi dari input menjadi output.

Membiarkan sekolah negeri sesukanya membuat sekolah internasional, dan serentak dengan itu menciptakan kasta dalam dunia pendidikan, juga bukti tersendiri bahwa negara tidak memiliki politik pendidikan yang adil.

Sangat memprihatinkan jika anak-anak dari keluarga miskin, tetapi cerdas akhirnya tergilas karena kemiskinannya.

Sumber: Media Indonesia, Senin, 31 Mei 2010

RSBI Tak Akan Ditutup

Biaya Sekolah Mahal, Siswa Berprestasi Tak Berani Mendaftar

Surabaya, Kompas - Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh mengisyaratkan, program rintisan sekolah bertaraf internasional tak akan ditutup. Meskipun demikian, keberadaannya akan dievaluasi agar bisa diakses oleh semua lapisan masyarakat dan tidak bersifat eksklusif.

Menurut Nuh, rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah berstandar internasional (SBI) merupakan amanat undang-undang dan harus ada di setiap provinsi.

”Filosofinya, kita mendorong dulu sekolah yang berpotensi untuk itu. Karena penduduk kita sangat banyak, kalau diangkat bersama sulit,” kata Nuh seusai meresmikan Taman Bacaan dan Balai Belajar Bersama di City of Tomorrow Surabaya, Minggu (30/5).

Kendatipun demikian, kataNuh, RSBI dan SBI tidak boleh menjadi eksklusif. Sekolah semestinya tidak memprioritaskan kemampuan finansial siswa sebagai pertimbangan masuk RSBI dan SBI. ”Justru kemampuan akademik yang semestinya menentukan,” kata Nuh. Karena itu, wajar saja bila ada tes untuk masuk RSBI dan SBI.

Tak berani mendaftar

Di Surabaya, tahun ini terdapat tiga SMA negeri yang menyediakan kelas RSBI. Tahun sebelumnya, kelas RSBI hanya terdapat di dua sekolah. Akibat penambahan kelas RSBI, sedangkan jumlah sekolah tetap, kuota siswa SMA reguler berkurang.

Selain itu, biaya sumbangan pembangunan pendidikan (SPP) siswa RSBI di Surabaya juga berkisar Rp 350.000–Rp 500.000 per bulan. Di daerah lain, seperti Gresik, SPP siswa RSBI bahkan mencapai Rp 700.000 per bulan.

Karena itu, siswa dari keluarga menengah ke bawah umumnya tidak berani mendaftar di RSBI kendati memiliki kemampuan akademis baik.

Mendiknas mengatakan, bila kenyataannya ditemukan semua siswa RSBI adalah kalangan berpunya, diperlukan kebijakan seperti penentuan kuota untuk siswa dari keluarga berpenghasilan rendah. Namun, kebijakan ini baru bisa ditentukan untuk tahun ajaran 2011.

Tahun ini, evaluasi dilakukan secara menyeluruh dari aspek kualitas akademik siswa, aspek fasilitas, kualitas tenaga pengajar, serta kesetaraan akses.

Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur Suwanto mengatakan, pihaknya akan mengevaluasi RSBI di Jawa Timur berdasarkan rencana anggaran pendapatan dan belanja sekolah (RAPBS). Dari RAPBS akan diketahui kebutuhan biaya sekolah tersebut.

Di Surabaya, pengamat pendidikan Darmaningtyas mengatakan, RSBI dan SBI adalah kastanisasi pendidikan. Siswa dikotak-kotakkan dengan sistem pendidikan ”bertarif internasional”. Sistem ini semakin memarjinalkan siswa miskin, baik yang berkemampuan akademik bagus maupun tidak. Sementara itu, pengajar terkesan tidak siap dengan sistem yang mengutamakan kemampuan berbahasa Inggris ini. (INA)

Sumber: Kompas, Senin, 31 Mei 2010

Pendidikan: Sekolah Internasional Langgar Konstitusi

JAKARTA (Lampost): Kritik terhadap keberadaan sekolah berlabel internasional (SBI) terus mengalir. Selain karena biaya sekolahnya yang mahal, sistem SBI juga telah menjadi bentuk diskriminasi dalam pendidikan.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mengatakan SBI yang diselenggarakan pemerintah saat ini berlebihan sehingga pada prakteknya menjadi diskriminatif. Sekolah-sekolah negeri yang dijadikan SBI tidak benar-benar bertaraf internasional, tapi hanya berlabel internasional, seperti iklan saja. "Ini yang menimbulkan masalah karena ada sekolah negeri yang berbahasa Inggris dan ada yang tidak," kata Jimly di Jakarta kemarin (30-5).

Yang ekstrem, pengamat pendidikan Darmaningtyas menilai SBI atau rintisan SBI adalah inkonstitusional karena melanggar Pasal 31 Ayat (3) UUD 1945. Pasal itu menegaskan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan pendidikan nasional, bukan pendidikan internasional.

"Sekolah berlabel internasional ini di luar sistem pendidikan nasional yang diatur dalam Pasal 31 Ayat (3) UUD 1945. Namun, sepanjang UU No. 20/2003 Pasal 50 yang mengatur pengembangan sekolah berlabel internasional ini tidak dihapus, sekolah-sekolah ini akan terus dikembangkan," kata Darmaningtyas.

Pendapat Darmaningtyas itu, menurut Jimly, dapat dipahami. Namun, untuk membuktikannya, ketentuan yang mengatur SBI dalam UU Sisdiknas harus diuji terhadap UUD 1945 ke MK. "Kalau ada penafsiran seperti itu (SBI melanggar konstitusi), itu bagus. Tapi harus diuji dulu ke Mahkamah Konstitusi, apakah ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945."

Karena itu, pemerintah, kata Jimly, cukup menyelenggarakan pendidikan nasional saja. Sementara itu, untuk sekolah bertaraf internasional, pemerintah cukup sebagai pemberi izin peran serta masyarakat dengan mengembangkan sekolah swasta internasional. (MI/R-2)

Sumber: Lampung Post, Senin, 31 Mei 2010

Sunday, May 30, 2010

[Buku] Memahami Orang Aceh Melalui Peribahasa

-- Herman RN

BANYAK cara dapat dilakukan untuk memahami karakteristik masyarakat Aceh. Peribahasa dalam sastra lisan, misalnya, menjadi salah satu cara yang dapat digunakan.

Peribahasa adalah salah satu bentuk sastra lisan. Tidak hanya mengkaji karakteristik masyarakat, peribahasa juga dapat menilai, menasihati, dan mengkritik orang lain. Bagi masyarakat Aceh, yang senang menyebut dirinya dengan ureueng Aceh, peribahasa dikenal dengan hadih maja.

Hadih maja sudah menjadi ”petuah” bagi masyarakat Aceh sepanjang zaman. Ini dibuktikan oleh Mohd Harun, pengajar sastra, adat, dan budaya di Universitas Syiah Kuala, dalam bukunya, Memahami Orang Aceh. Beranjak dari sebuah disertasi, buku ini menjadi dokumentasi yang secara kuat mengangkat karakteristik dan tipologi masyarakat Aceh. Apalagi, penelitiannya dititikberatkan pada hadih maja, yang memang umumnya dijadikan filosofi oleh masyarakat Aceh. Karena itu, buku setebal 304 halaman ini patut menjadi cermin kehidupan masyarakat Aceh: tempo doeloe dan kini.

Mengkaji makna

Membaca buku mantan wartawan lokal ini seakan memberikan penyadaran bahwa masyarakat Aceh sesungguhnya memiliki hati yang lembut dan kasih sayang. Adapun iri hati dan sikap melawan disebutkan bukan sifat mutlak ureueng Aceh. Sikap ini timbul di kemudian hari karena ihwal sesuatu, semisal dikhianati, dicerca, dimaki, ditipu, atau dipukul. Akibatnya, ada perlawanan dari masyarakat, bahkan hingga ingin pisah kampung atau bila perlu pisah negara.

Padahal, kenyataan terdahulu, orang Aceh memiliki sifat lembut dan suka mengalah. Melalui ungkapan atra gop tajôk keu gop, maté srop tameudakwa (milik orang kembalikan pada orang, jangan kita mati mempertahankannya), Harun menyebutkan bahwa masyarakat Aceh kerap berusaha menghindari konflik (hal 76).

Hal di atas ditegaskan pula oleh Rektor Universitas Syiah Kuala Darni M Daud, yang memberikan pengantar pada buku ini. Mengutip satu hadih maja, Darni menyebutkan bahwa orang Aceh lebih senang mengalah daripada berperang: surôt lhèe langkah meureundah diri, mangat jituri nyang bijaksana (mundur tiga langkah merendah diri, biar dikenali yang bijaksana).

Namun, terungkap pula bahwa masyarakat Aceh memiliki karakter keras kepala, terutama jika sudah ”disinggung” atau tersinggung. Artinya, ada konsep ”tabu” (pantang) yang dilakukan terhadap ureueng Aceh. Ini juga terlukis dalam pantang Aceh: tacarôt, tateunak, tatrom, tasipak, tapèh ulèe, tacukèh keueng/ sinan ureueng le binasa (pantang orang Aceh: dicaci, dimaki, ditendang, disepak, diketok kepala, disentuh dagu/di situ orang banyak binasa).

Tabu bagi orang Aceh dalam hadih maja tersebut secara umum juga berlaku untuk masyarakat Indonesia. Tetapi, di sana ditegaskan bahwa jika tabu tersebut dilanggar, akan berakibat fatal. Di sisi lain, jika orang Aceh dapat ”disentuh” hatinya, nyawa pun bakal diserahkan: ureueng Aceh hanjeut teupèh/ meunyo ka teupèh, bu leubèh han geupeutaba/ meunyo han teupèh, boh krèh jeut taraba (orang Aceh tak boleh tersinggung/ jika sudah tersinggung, nasi basi tak mau diberikannya/ jika tidak tersinggung, alat vitalnya pun rela diserahkan). Tentu saja penggunaan idiom ’alat vital’ di sini dimaksudkan sebagai ungkapan tertinggi menyatakan kerelaan atau keikhlasan.

Secara umum, buku ini mengkaji makna tersirat dalam hadih maja sebagai sastra lisan Aceh. Ini pula yang membuatnya memiliki kelebihan dibandingkan dengan banyak buku lain di pasaran tentang peribahasa. Jika umumnya sekadar menginventarisasi, buku ini malah mengulas makna yang tersirat pada setiap hadih maja secara mendalam. Hampir seribu hadih maja terangkum dalam buku ini yang dianalisis menjadi tiga bagian: nilai filosofis, nilai etis, dan nilai estetis.

Harun mengaku sudah mengumpulkan hadih maja selama bertahun-tahun. Kini ia mencoba memberikan pengetahuan baru kepada publik. Peribahasa, yang selama ini terkesan sekadar pemanis kata atau alat menyindir, ternyata memiliki nilai yang sangat dalam dan kental. Nilai yang dapat menunjukkan karakteristik masyarakat tempat peribahasa itu dipakai.

Penelitian ilmiah

Kendati tidak semua hadih maja dapat berlaku secara harfiah di setiap zaman, nilai di dalamnya tetap menggambarkan tipologi masyarakat Aceh secara keseluruhan. Oleh karena itu, upaya pendokumentasian hadih maja, apalagi dalam bentuk penelitian ilmiah seperti yang dilakukan Harun, patut mendapatkan apresiasi lebih.

Sayangnya, buku ini tidak memuat struktur hadih maja, padahal ia beranjak dari disertasi Struktur, Fungsi, dan Nilai Hadih Maja. Walaupun tidak jauh beda dengan struktur peribahasa umumnya, boleh jadi hadih maja memiliki keunikan tersendiri. Semisal terikat dengan jumlah baris dan kata sehingga perlu pemaparan struktur.

Akan menjadi lebih rinci dan lengkap lagi manakala buku ini juga memuat pandangan orang Aceh dari sisi religius. Sebab, persoalan agama bagi masyarakat Aceh sudah seperti rapatnya kulit dengan ari. Harun mengakui, dalam pengantarnya, ada satu konsep nilai yang tidak dimasukkan di sini, yaitu konsep religius orang Aceh. Ini atas pertimbangan masih belum sempurnanya hasil penelitian.

Lalu, bagaimana pula pandangan orang Aceh terhadap keberagaman etnis? Pasti ada hadih maja-nya. Sayang, hal-hal sederhana seperti ini tidak dilampirkan meskipun sempat disinggung bahwa orang Aceh hidup rukun walau dengan beda etnis.

Namun, buku ini tetap dapat menjadi landasan bagi para peneliti yang hendak mengkaji seluk-beluk masyarakat Aceh, dulu dan sekarang. Tidak tertutup kemungkinan pula, buku dengan sampul perpaduan merah-coklat, yang menyiratkan ”tanah dan darah”, ini dapat menjadi rujukan teknis penelitian ilmiah terhadap pepatah dan peribahasa dalam bahasa lainnya.

* Herman RN, Mahasiswa Pascasarjana Unsyiah, Banda Aceh

Sumber: Kompas, Minggu, 30 Mei 2010

[Urban] Hijrah: Berlabuh di Bintaro

NOORCA M Massardi dan Rayni dulu, sekitar 28 tahun, tinggal di sebuah rumah besar di atas lahan sekitar 1.200 meter persegi di Jalan Bank, Jakarta Selatan. Rumah itu sebenarnya semacam rumah dinas yang digunakan kedua orangtua Rayni sejak tahun 1970-an.

Teras rumah (FOTO-FOTO: KOMPAS/ARBAIN RAMBEY)

Tahun 2009, Noorca-Rayni memutuskan untuk membangun rumah sendiri. Setelah survei di sana-sini, mereka cocok dengan lahan di tengah kompleks kecil di Bintaro, Jakarta Selatan. Kawasan itu dekat jalan tol menuju pusat kota Jakarta dan didukung fasilitas cukup lengkap di sekitarnya.

”Perhitungan dananya memang hanya cukup untuk lahan itu. Tetapi, bingung juga waktu pertama nengok, mau bangun apa di lahan seluas 112 meter persegi itu?” tutur Rayni mengenang.

Mereka meminta bantuan arsitek Renny Alwi. Pasangan itu ingin dirancangkan satu rumah dengan lima kamar, masing-masing untuk ibu, Noorca-Rayni, Nakita, dan dua kamar pembantu. Syarat lain, ada ruang perpustakaan dan dua ruang kerja untuk menulis.

Dengan lahan terbatas, rumah itu dibangun tiga lantai. Dengan begitu, kebutuhan lima kamar terpenuhi. Begitu pula ruang perpustakaan dan ruang kerja. Tentu, ada juga ruang-ruang standar, seperti dapur, kamar mandi, dan ruang tamu.

Awal tahun 2010, pembangunan rumah selesai. Keluarga, termasuk ibu Rayni, diboyong ke rumah baru. Namun, karena sudah lama tinggal di rumah besar dan punya banyak barang, pindahan itu pun jadi ribet. ”Banyak sekali barang yang akhirnya kami buang atau diberikan kepada orang lain,” kata Rayni.

Mereka juga lega karena telah bebas dari masalah banjir yang jadi langganan di rumah lama di kawasan Jalan Bank. Apalagi, banjir itu bisa setinggi pinggang orang dewasa. ”Kami lebih tenang di sini. Rumah kecil ini lebih mudah ditangani. Kalau tidak ada pembantu, kami sendiri bisa turun tangan untuk bersih-bersih,” kata Noorca. (IAM)

Sumber: Kompas, Minggu, 30 Mei 2010

[Urban] Rumah Nyaman untuk MENULIS

-- Ilham Khoiri

”SELASA empat bulan di sini, saya sudah menulis dua biografi, mengedit beberapa naskah, dan mulai menulis novel terbaru,” kata Noorca M Massardi (56) tentang rumah barunya di Bintaro.

Rumah Nyaman untuk MENULIS (FOTO-FOTO: KOMPAS/ARBAIN RAMBEY)

Rumah pasangan Rayni dan Noorca M Massardi di kawasan Bintaro itu menjadi semacam studio yang menopang kreativitas mereka sebagai penulis. Tak kalah dengan suami, Rayni N Massardi (53) di rumah barunya itu juga baru saja menyelesaikan satu buku kumpulan 13 cerpen terbaru. Rencananya, karya itu bakal diterbitkan sebuah penerbit di Yogyakarta.

Kami berbincang di rumahnya di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan, Banten, Senin (24/5) sore lalu.

Rumah pasangan penulis itu terdiri dari tiga lantai di lahan 112 meter persegi. ”Rumah kami ini tidak besar, tetapi fungsional. Semua yang ada di rumah ini memang kami butuhkan. Hampir tak ada yang berlebihan,” kata Rayni yang juga penggiat film.

”Semua cerpen itu ditulis di ruang lantai dua lho,” kata perempuan awet muda itu sambil tertawa renyah.

Kami pun naik ke lantai dua.

Tepat di pojok dekat tangga, terdapat satu ruang dengan jendela menghadap ke luar. Di ruang itu ada meja, satu set komputer, serta buku-buku tertata rapi. Itulah tempat kerja Noorca. Kalau jenuh menulis di rumah, dia suka meneruskan menulis sambil nongkrong di kafe di kawasan Bintaro.

Noorca juga betah bekerja di ruang pojok dekat tangga di lantai dua. Dia menyukai jendela di ruang itu karena membuat sirkulasi udara leluasa keluar-masuk. Dari jendela, dia bisa melongok langit atau menikmati suasana lengang di luar.

Tak jauh ruang itu, ada dua kamar tidur. Satu untuk Noorca-Rayni; satu lagi buat si bungsu, Nakita Massardi (24). Kakak Nakita, Cassandra Massardi (33), sudah berumah sendiri.

Di antara dua kamar itu, ada ruang kosong kecil. Ruang ini juga diberi meja dan komputer. ”Kalau ini tempat kerja saya. Walau agak panas, saya bisa ngetik di sini lho,” papar perempuan yang pernah menerbitkan kumpulan cerpen Pembunuh (2005) dan I Don’t Care (2008) dan yang baru saja terbit, Ngoprek Santai Syair Lagu, itu.

Di lantai tiga, terdapat satu ruangan tambahan untuk perpustakaan. Seluruh dinding kamar disesaki rak-rak dan lemari penuh buku.

Taman kecil

Kita turun ke lantai satu.

Sebuah taman kecil dengan tanaman air terhampar di depan teras. Karena tak dirancang sejak awal, teras ini terpaksa ”memakan” sedikit ruang tamu. ”Tetapi, kami suka teras ini. Kami biasa duduk-duduk santai,” kata Noorca.

Begitu melewati pintu depan, kami langsung masuk di ruang tamu. Ruang itu tembus ke bukaan alias void di bagian belakang. Di lantai pertama itu, hanya ada satu kamar, berukuran sekitar 7 x 3 meter. Kamar paling besar di rumah itu digunakan ibu Rayni, Nini Anwar Moein (78). ”Saya ingin beliau nyaman,” katanya.

Untuk menambah suasana alam, mereka mengubah void di belakang menjadi taman. Sebagian dinding taman disulap jadi air terjun kecil dengan suara gemercik. Sebagian lagi dipenuhi tanaman hias dengan sistem tanam hidroponik yang merayap ke atas. Di situ pula ditempatkan satu kandang kelinci, binatang peliharaan Bondi, cucu Noorca-Rayni dari Cassandra. Taman, air terjun, dan kandang itu memberi suasana lebih alami.

Ada juga sedikit aksen bernuansa Bali. Di teman depan, misalnya, ditanam pohon kamboja Bali kuning. Kain pelapis gorden jendela menggunakan motif poleng hitam-putih. ”Kami berdua suka pergi di Bali. Sesuatu yang berbau Bali itu menyenangkan,” kata Noorca, yang pernah tinggal beberapa bulan di Ubud saat menyelesaikan novel September (2006) dan Dia (2008).

Untuk lebih menyuntikkan semangat kreatif, sebagian dinding rumah ditempeli banyak foto keluarga, poster film kesayangan, puisi lama Noorca, dan foto kenangan pasangan itu saat tinggal di Paris, Perancis. Noorca dan Rayni memang pernah kuliah di Perancis tahun 1977-1981.

”Kami nyaman dan bisa berkarya di sini. Di rumah ini kami akan menikmati masa tua,” kata Noorca.

Sambil terus menulis tentu.

Sumber: Kompas, Minggu, 30 Mei 2010

Sepercik Kenangan: Ainun, Sang Mata yang Mengilhami Itu...

-- Ninok Leksono

MALAM itu, Kamis (27/5), sekitar pukul 20.30 WIB, acara tahlilan tujuh hari kepergian ibu negara ke-3 RI, Hasri Ainun Habibie, baru saja usai. Mantan Presiden BJ Habibie segera masuk ke kamar pribadinya, di kediaman yang berada di kawasan Patra Kuningan, Jakarta.

Habibie yang ahli aeronotika itu masih berduka atas kepergian istrinda tercinta, yang telah menemaninya selama 48 tahun. Ia ikhlas melepas Ainun, tapi pastilah kini ternganga lubang besar di hatinya.

Dalam kesunyian kamarnya—meski di luar pentakziah masih tinggal, bahkan sebagian masih berdatangan, ingatan Habibie—lepas isya itu—mungkin terbang jauh tinggi di awan.

Bila ada melodi yang singgah di jiwanya, kiranya bukan Sepasang Mata Bola ciptaan Ismail Marzuki yang selama ini ia sukai. Dari lirik Stardust karya Carmichael boleh jadi lebih tepat.

”When our love was new, and each kiss an inspiration..” Ya, karena Ainun adalah ilhamnya meski mendiang tak tahu tentang ”Crack Theory” (Teori Penjalaran Retakan pada metal pesawat yang ia ciptakan).

”Though I dream in vain, in my heart it will remain, my Stardust melody, the memory of love refrains.”

Ya, kenangan atas cinta tak kan pernah lekang di hati sekalipun mimpi pun tak kan kuasa mengembalikan Ainun.

Siapakah Ainun yang berbahagia menjadi wanita pujaan teknolog yang lalu pernah menjadi presiden ini? (Bernada mengolok, mantan Ketua Rektorium ITB Sudjana Sapiie malah pernah menyebut ”Wie is de ongelukkige?” (Dari bahasa Belanda, Siapa yang kurang beruntung tersebut?)—justru ketika Habibie dengan matanya yang berbinar-binar itu berseru ”Ich bin verliebt!—Saya jatuh cinta!; seperti dikenang Leila Z Rachmantio, dalam buku Testimoni untuk Habibie, yang disunting A Makmur Makka, 2009)

Bisa saja, Ainun tidak beruntung karena sebagai gadis remaja cantik yang banyak ditaksir pemuda, ia pernah menyebut Rudy—panggilan akrab Habibie—bukan satu-satunya pria yang menjadi perhatiannya. Ada mahasiswa hebat-hebat dan gagah-gagah mengendarai motor HD yang lebih menarik.

Sebaliknya, Rudy pun pernah mengolok Hasri—dengan kalimat yang disebut tak bisa ia lupakan—”Hei, kenapa sih kamu kok gendut dan hitam?” Sebenarnya Ainun sendiri tidak menolak disebut hitam karena ia suka olahraga sofbol, voli, dan berenang. Ainun juga mengaku ia suka makan. ”Jadi, kulit saya memang agak hitam. Badan memang berisi,” tulisnya di buku Testimoni.

Tatkala bertemu lagi dengan Ainun yang sudah lulus jadi dokter, Habibie (yang saat itu sudah bergelar insinyur) mengatakan, ”Kok gula Jawa sudah jadi gula pasir?”

Kemudian, kisah cinta ini pun berlanjut. Rudy bisa kembali ke Tanah Air setelah mendapat hadiah karena desain gerbong kereta api yang dilombakan dalam sayembara Deutsche Bundesbahn menang. Ainun, yang saat itu sudah bekerja di Bagian Anak FKUI, lalu menikah dengan pemuda yang sudah ia kenal sejak masa SMA itu pada 12 Mei 1962. (Inilah jalan cerita lain dari Gita Cinta dari SMA, mungkin lebih impian dari kisah Galih dan Ratna yang terkenal itu.)

Ainun pun mengikuti permintaan Rudy untuk ikut ke Jerman, menemaninya melanjutkan studi untuk mencapai doktor insinyur dari Universitas Aachen. Di rantau, keluarga muda Habibie tinggal dengan menyewa sebuah paviliun tiga kamar dan ketika Ainun hamil putra pertama—kelak lahir dan diberi nama Ilham Akbar Habibie—ia merasa paviliun itu akan terlalu kecil bila anak sudah lahir. Mereka pun lalu pindah di rumah susun di Oberforstbach yang lebih lega.

Namun, Oberforstbach terpencil dan Ainun kesepian, jauh dari keluarga, bahkan teman. Sang suami sendiri umumnya pulang larut malam karena harus bekerja dan menyelesaikan program doktornya. Ainun mengerjakan segala sesuatunya sendiri. Ia mengerjakan tugasnya sebagai istri dan calon ibu sepenuhnya.

”Saya belajar untuk tidak mengganggu konsentrasinya dengan persoalan-persoalan di rumah,” kenangnya.

”Saya bahagia malam hari berdua di kamar. Dia sibuk di antara kertas-kertas yang berserakan di tempat tidur. Saya menjahit, membaca, atau melakukan pekerjaan rumah lainnya.” Ainun mengaku, di antara dirinya dan suami terbentuk komunikasi tanpa bicara. Semacam telepati, katanya.

Setelah anak kedua—Thareq—lahir, dan Habibie makin sibuk, Ainun pun banyak merangkap tugas sebagai ayah dan sopir bagi kedua anaknya. Tapi, karier Habibie meningkat dan ia ingin sang istri mengikuti. Ainun pun bergaul dengan lingkungan suami: di sana ada banyak ilmu, teknologi, bisnis, yang terus meningkat.

Namun, suatu saat, ketika biaya hidup meningkat, Ainun memberanikan diri bekerja. Saat itulah ia merasa sebagai wanita mandiri dengan gaji lebih dari cukup. (Ia bisa membantu suami membeli tanah dan rumah di Kakerbeck, di luar kota Hamburg). Namun, satu hari Thareq sakit dan hatinya pun patah. Anak orang diurus, anak sendiri kurang terawat, ujarnya. Akhirnya ia berhenti bekerja dan kembali ke falsafah hidup ketika di Oberforstbach, yang mengutamakan kepentingan anak dan keluarga daripada kepuasan profesional dan gaji tinggi.

”Menyesalkah saya mengambil keputusan itu? Menyesalkah saya berketetapan menjadi pencinta, istri, dan ibu? tanyanya tanpa jawab tahun 1986 yang dimuat lagi dalam Testimoni.

Dengan digembleng dalam cinta kepada suami itu pula Ainun juga kembali ke Indonesia tatkala Presiden Soeharto memanggil pulang suaminya tahun 1974. Ainun yang sebelumnya hidup di alam sepi Oberforstbach dan Kakerbeck, lalu jadi Bu Menteri Riset dan Teknologi, yang selain itu juga memimpin sekitar 25 perusahaan negara, lalu menjadi Bu Wakil Presiden, dan bahkan Ibu Negara.

Mobilitas vertikal yang dahsyat itu memang kemudian membawanya sebagai wanita di samping puncak kekuasaan, namun—sungguh—itulah era turbulen, bahkan ada yang bilang Indonesia sedang nose diving, bak pesawat yang menukik turun untuk crash. Krisis ekonomi sedang hebat-hebatnya, politik pascareformasi juga amat tidak stabil.

Habibie mendaku—dan banyak pula yang mengakuinya—ia berhasil mengerem proses stall (pesawat kehilangan daya angkat) Indonesia dan pesawat itu berhasil abfangen (mendapatkan kembali kemampuan terbangnya). Namun, siapa peduli? Ketika menghadiri pengambilan sumpah Ketua MPR terpilih 1 Oktober 1999, ia mendengar suara ”Huu..” dari sejumlah anggota Dewan. Habibie tahan ejekan itu. Juga ketika kemudian tanggal 14 Oktober 1999 pidato pertanggungjawabannya ditolak di MPR.

Namun, boleh jadi bagi Ainun, semua ingar bingar itu sudah ”terlalu banyak”. Problem di katup jantungnya boleh jadi memburuk dengan itu semua. Setelah BJ Habibie tak lagi jadi presiden, yang terdengar adalah Bu Ainun sering berobat di Jerman.

Sampai, satu saat kemudian, mantan Ibu Negara ini bisa lebih sering dan lebih lama tinggal di Indonesia. Antara lain ia dapat menghadiri acara peluncuran buku karya kakaknya, Prof Sahari Besari, di Jakarta sekitar dua tahun silam.

Pekan terakhir Maret silam, ketika Agung Nugroho, salah seorang murid ideologis Habibie di bidang aeronotika, berniat menghadap Sang Guru untuk pendirian (kembali) Institut Aeronotika dan Astronotika (IAAI), Habibie sudah terbang kembali ke Jerman karena kondisi Ainun memburuk. Di RS Ludwig Maximillians Universitat Klinikum Gro’hadem, Munchen, Ainun menjalani serangkaian operasi. Namun, pukul 17.30 waktu setempat (22.30 WIB) Sabtu 22 Mei, Ainun menyerah.

Kini, ”sang mata teduh” yang setelah mencurahkan hidup untuk cinta kepada keluarga kemudian meluaskannya untuk kemajuan pendidikan di Indonesia melalui Yayasan Orbit dan membantu penderita tunanetra melalui Perhimpunan Penyantun Mata Tunanetra (PPMT) itu telah beristirahat dengan tenang di TMP Kalibata.

Kehidupannya yang berakhir baik (khusnul khatimah) itu pun ditandai dengan ribuan warga yang mengantarnya ke makam dan mendoakannya dalam tahlilan yang berlangsung malam-malam ini.

Sumber: Kompas, Minggu, 30 Mei 2010

Sensitivitas Kawih

-- Asep Salahudin

Bulan téh langlayangan peuting
nu ditatar dipulut ku tali gaib
entong salempang mun kuring miang
ditatar ti Tatar Sunda
dipulut nya balik deui ka dieu
ieuh, masing percaya
(Bulan Langlayangan Peuting)

ADA banyak peristiwa tragis yang terjadi di tatar Sunda baik pasca maupun prakemerdekaan yang membekas dalam layar memori kolektif bawah sadar masyarakat Jawa Barat. Peristiwa demi peristiwa besar yang merajut relasi Sunda dalam konteks politik nasional yang pada ujungnya berpangkal pada peneguhan Sunda sebagai bagian tak terpisahkan dari Nusantara.

Di titik ini, masyarakat Sunda, tak ubahnya juga dengan etnis lain, bahu-membahu dalam mewujudkan Indonesia yang menghargai keragaman (Bhinneka Tunggal Ika), Indonesia yang memiliki kebudayaan luhur yang puncaknya itu ditopang multikulturalisme dan pluralisme yang membentang dari Sabang sampai Merauke.

Hijrahnya Siliwangi ke Yogyakarta dan pagar betis untuk melumpuhkan gerakan Darul Islam (DI/TII) adalah sebagian dari fragmen sejarah tragis itu. Minimal dua peristiwa ini dengan sangat menarik didokumentasikan tokoh pembaharu karawitan Sunda Mang Koko dalam kawih-kawihnya.

Judul kawih di atas ditulis Mang Koko untuk memotret bagaimana pasukan Siliwangi dengan setia mengikuti perintah pemerintah pusat. Hijrah untuk sementara dari Parahyangan jelita yang sangat dicintainya menuju daerah baru demi mempertahankan dan memperjuangkan kedaulatan. Mang Koko mengawalinya dengan menggunakan metafora bulan seperti tampak dalam narasi tadi.

Bulan di mata Mang Koko adalah tanda (silib) dari kehendak pergi dan untuk pulang kembali. Kembali dengan cahaya yang menentramkan, bersua lagi dengan "enung" yang dicintainya sepenuh hati: Bulan téh langlayangan tineung//nu ngoleang dipulut ku angin gaib/....

Bulan menjadi simbol yang dapat memediasi antara manusia yang memiliki hati yang sama. Bulan sebagai metafora dari hasrat menjalin kemanusiaan dalam maknanya yang utuh demi menyambut fajar kehidupan yang lebih berkeadaban: Bedil geus dipéloran//granat geus disoréndang//ieu kuring arék miang//jeung pasukan nu saati//ka wétan muru bijil balebat.

**

DALAM seloroh politik yang sangat menohok diungkapkan bahwa ketika terjadi ketegangan ideologis antara Soekarno dan Kartosuwiryo, yang menjadi korban adalah Mang Karta dan Mang Karna. Pilihan geografis Kartosuwiryo untuk menjadikan tanah Pasundan sebagai basis perjuangannya, bergerilya dari hutan ke hutan, tentu banyak menimbulkan implikasi termasuk implikasi fisiologis dan psikologis.

Dalam memperjuangkan keinginannya, DI/TII menggunakan beragam cara termasuk menebar ancaman sekaligus menawarkan pemahaman negara dalam kerangka ideologi keagamaan yang dipahami secara harfiah, agama yang diapresiasi secara ideologis bahkan fantasi mistis bukan epistemologis (pengetahuan).

Tentu untuk memenuhi kebutuhan logistiknya maka tidak ada cara lain kecuali dengan mengoperasikan teror kepada penduduk setempat seperti simpul diksi yang ditahbiskan kepada mereka sebagai gerombolan. Tidak aneh juga apabila DI pun diplesetkan menjadi Duruk Imah. Memang seperti itu kenyataannya.

Lagi-lagi pasukan Siliwangi yang kemudian bahu-membahu dapat menghentikan laju DI/TII melalui strategi pagar betis. "Kembang Tanjung Panineungan" yang ditulis Mang Koko dengan sangat menarik memotret fragmen tragis peristiwa ini.

Mang Koko memotretnya tidak dari optik narasi besar, namun dari dialog batin antara ibu yang sedang hamil dengan calon anaknya di satu sisi, dan bapaknya di sisi lain yang ikut menjadi bagian dari pasukan pagar betis yang akhirnya harus menemui kematian. Justru pilihan optik ini yang membuat apa yang telah ditulis Mang Koko menjadi terasa amat lembut dan mampu mengoyak sensitivitas kasadaran para pembacanya.

Sayang, Kartosuwiryo historis telah lama meninggalkan kita dengan sekian luka yang ditinggalkannya, namun "Kartosuwiryo simbolis" masih tetap hidup dan menebar daya pikat bagi sekelompok orang yang selalu berhasrat mendirikan negara di luar arus utama yang telah diikrarkan oleh para pendiri bangsa secara sepakat. Agama dalam balutan jubah ideologis dan mistis masih tetap menebarkan pesonanya walaupun sesungguhnya apologis dan a historis, padahal ke depan justru yang harus dihadirkan adalah format keberagamaan (kenegaraan) dalam warna epistemologis yang pasti dapat menawarkan damai dan menentramkan.

* Asep Salahudin, Wakil Rektor IAILM Pesantren Suryalaya, Kandidat Doktor UNPAD Bandung


Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 30 Mei 2010

Kartani dan Sejarah "Peteng" Cirebon

-- Sumbadi Sastra Alam

LANGKAHNYA tertatih perlahan. Dari ruang tengah menuju ruang tamu rumahnya yang sangat sederhana, seorang menusa Cerbon, Kartani ( 72 tahun), melangkahkan kakinya dan harus dibantu tongkat yang dikempit di tangan kirinya. Sosok sepuh yang bersahaja ini, tampak "kerasan" tinggal di sebuah perkampungan padat di Desa Mertasinga, Kecamatan Gunungjati, Kabupaten Cirebon.

Tokoh penting yang sangat fasih bertutur tentang sejarah Cirebon ini lahir di Desa Bojongwetan Kecamatan Klangenan Kabupaten Cirebon, tepat 16 Nopember 1938. Meski guratan wajahnya tengah menahan rasa sakit, tetapi senyumnya tersungging. Tubuhnya tak terlihat ringkih dan masih tampak gempal. Hanya kedua kakinya mulai membengkak. Lantaran sakit itu pula Kartani lagi bisa lagi gojag-gajig, bersilaturahmi atau berdongeng tentang sejarah Cerbon ke masjid-masjid atau desa-desa.

"Jare wong sih kula kenang asemurat, dados ya terpaksa kula akeh meneng teng griya. Nanging heran, padahal kula lagi nydahi dahar, malah berat badan nambah (kata orang, saya terserang penyakit asam urat jadi terpaksa saya lebih banyak tinggal di rumah. Namun yang mengherankan, saya te-ngah mengurangi makan malah berat badan bertambah)," tutur Kartani meng-awali perbincangan di rumahnya, (24/3).

Siapa nyana, Kartani yang mendiami sebuah rumah mungil tanpa aksesori secarik kertas tanda penghargaan dari mana pun, ternyata dalam dirinya terpancar semangat yang tak pernah padam dalam menggelorakan karya-karya budaya, sastra, dan sejarah Cirebon .

Menatap sosok Kartani, ibarat mena-tap sejarah peteng (gelap) Cirebon. Pergulatan Kartani dengan warna-warni budaya Cirebon begitu kental. Dengan demikian, ia sangat paham tentang apa itu budaya Cirebon dan segala tetek bengeknya. Mulai dari soal bahasa, sastra, seni budaya dan ia pun menguasai persoalan sejarah Cirebon . Dan lantaran "kontroversi" tentang sejarah Cirebon ini, Kartani pernah diculik seorang aktivis dari rumahnya dan dibawa ke sebuah tempat dan dipaksa ngomong tentang seluk beluk sejarah peteng Cirebon di hadapan sejumlah pejabat Cirebon. Namun ketika ditanya lebih lanjut apa gerangan yang dimaksud sejarah peteng Cirebon? Kartani lebih memilih bungkam tak berkomentar sekecap pun.

"Soal sejarah peteng Cirebon ini biarlah menjadi rahasia keluarga keraton. Saya tidak bisa ngomong, karena untuk membukanya harus seizin Kanjeng Gusti Sultan Cerbon," ujar Kartani yang begitu hormat pada keluarga Keraton Cirebon.

Kartani adalah sosok menusa Cerbon, yang banyak berjasa dalam melestarikan dan mengembangkan seni budaya, sastra dan sejarah Cirebon ini , tetapi boleh jadi kehidupannya sama peteng dengan nasib dan masa depan seniman dan budayawan Cirebon lainnya, tentu lantaran tak pernah secara serius mendapat sentuhan kepedulian dari pihak-pihak berkompeten.

Padahal dari jasa Kartani dan buah tangannya, sejumlah sejarawan Jawa Barat memperoleh gelar doktor sejarah. Berkat kegigihan Kartani mencari dan mengumpulkan benda-benda purbakala dan bersejarah dari Cirebon, kini museum Sri Baduga Bandung Jawa Barat dapat menyelamatkan benda-benda purbakala tersebut dari kepunahan.

**

AKAN tetapi yang mengecewakan Kartani, justru para ilmuwan dari dae-rah Cirebon sendiri kurang mememberikan apresiasi yang pantas terhadap kiprahnya selama ini. "Jujur saja saya memang bukan orang yang berpendidikan. Saya cuma punya semangat dan kemauan untuk tetap bertahan melestarikan nilai-nilai budaya luhur yang berasal dari tanah leluhur Cirebon," ucapnya.

Ia menyebutkan, pengetahuannya di bidang budaya Cirebon diperolehnya bukan dari bangku sekolah. Ia banyak memeroleh pengetahuan budaya dan sejarah Cirebon dari mulut orang-orang tua dulu, termasuk dari tokoh keturunan Arab dan Tionghoa. Karena berguru langsung dari penuturan para sesepuh itulah, ia sering menyambangi orang-orang tua dari keturunan Arab dan Tionghoa serta sering jalan-jalan ke berbagai pelosok desa semata ingin bersilaturahmi dengan masyarakat dan sejarah masa lalu. Walau begitu ia juga tetap membaca sumber-sumber sejarah tertulis karya dan berbahasa Cerbon kuno.

Satu hal lagi yang membuat Kartani sampai sekarang tak bisa nyenyak tidur, lantaran keinginannya membuka penemuan situs gua tempat tokoh ulama besar Cirebon/penyebar syiar agama Islam Syekh Datuk Kahfi. Untuk itu Kartani sudah lama mengusulkan pihak yang berwenang untuk membuka gua yang berada di komplek Gunungjati itu. Akan tetapi sampai saat ini belum pernah ada tanggapan.

Bahkan perjalanan panjangnya dalam menggeluti sejarah Cirebon masa lalu itu, ia tuangkan dalam bentuk karya tulis yang masih utuh dengan goresan tangan. Puluhan karya satranya banyak pula yang dipinjam oleh teman-teman dan budayawan Cirebon yang sampai saat ini belum dikembalikan. Yang membuatnya terkejut, tidak sedikit pula karya-karya tulisnya itu telah dibukukan oleh orang lain tanpa menyebut namanya. Padahal Kartani masih menyimpan asli tulisan yang dibukukan itu, tanpa meminta izin dan apalagi mencantumkan namanya.

Karya-karya sastra Kartani berbahasa Cerbon yang masih berwujud coretan-coretan tangannya dan ditulis berbentuk pupuh yakni berjudul "Pungkasing Lelakon Prabu Siliwangi" ditulis pada 1979, sebuah karya saduran buku Wangsit Prabu Siliwangi karya Eddi Tarmidi. Pupuh ini dibuat dalam wujud tembang Dandang Gula 66 bait, Kinanti 32 bait, Durma 8 bait, Asmarandana 38 bait, Sinom 38 bait. "Saya tertarik menulis tentang puisi tembang yang mengisahkan tentang berakhirnya Prabu Siliwangi lantaran ceritanya erat berkaitan dengan sejarah Kerajaan Cirebon," ujarnya.

Karya Kartani lainnya berbahasa Cerbon asli ataupun berbahasa Indonesia di antaranya naskah drama legenda Cerbon berjudul "Saida Saeni" yang pernah dipentaskan oleh Teater Nara Kota Cirebon Pimpinan Andrian Hardjo, tulisan tentang Kesusastraan Cerbon, Prawacana dan Tata Upacara Adat Pulun-Pulun ( upacara adat pelantikan Kepala Desa di Kabupaten Cirebon ).

Meski begitu, Kartani tidak terlalu cemas menatap masa depan jati diri menusa Cerbon. Karena memang berdasar pengamatannya, jati diri yang dimiliki menusa Cirebon masih banyak yang tetap terpelihara khususnya di kalangan masyarakat di daerah pedesaan.

Dalam pandangannya, menusa Cerbon harus punya watak togmol, yakni, bicara blak-blakan tanpa tedeng aling-aling. Istilah agamanya, katakan yang benar walau pahit. Namun tidak benar kalau ada yang berpendapat menusa Cerbon itu introver . Justru sebaliknya, menusa Cerbon senang membuka diri untuk menolong orang lain atau tetangganya. Kalaupun menusa Cerbon ada terkesan introver itu dalam khusus dalam soal ketertutupan menghadapi kesulitan hidup dirinya atau keluarganya. Artinya, menusa Cerbon tidak pernah mengumbar cerita tentang penderitaan-penderitaan diri dan keluargnya serta tidak pernah minta pertolongan kepada orang lain.

Kartani adalah potret buram budaya Cirebon masa kini. Ada semangat untuk bangkit dan tak pernah henti membangun peradaban masa kini dengan kejayaan budaya masa lalu. Akan tetapi, menusa Cerbon tak pernah tergelitik dan tertarik untuk membangunkan diri dari mimpi-mimpinya yang perih.

Kartani memang tidak sendirian. Ia tinggal bersama seorang istri dan tujuh anaknya, enam belas cucu, dan seorang buyut. Masa depan budaya Cirebon boleh jadi seperti sosok Kartani yang merelakan dirinya tergerus usia yang kian renta tanpa penghormatan layak atas jasa-jasanya. Kartani merelakan pula dirinya digerogoti penyakit tua yang mulai mendekapnya, tetapi tak pernah mau membuka aib sejarah yang ia ketahui secara terang benderang. Haruskah sejarah dan budaya Cirebon terkungkung dalam damar kurung yang tanpa cahaya dan dibiarkan peteng?

* Sumbadi Sastra Alam, aktif di Komunitas Penulis Cerbon

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 30 Mei 2010

Khazanah Seni Grafis Italia

-- Chabib Duta Hapsoro

SENI rupa Indonesia khususnya seni grafis berkesempatan mendapatkan sudut pandang baru dengan pameran "The Doublefold Dream of Art: 2RC Between the Artist and Artificer". Pameran grafis ini diinisiasi Kedutaan Besar Italia untuk Indonesia dan Italian Institute of Culture (Pusat Kebudayaan Italia), Kamar Dagang Italia dan Biasa Artspace. Pameran ini menampilkan koleksi besar dari seniman grafis Italia dan mancanegara yang terpisah di tiga tempat di Indonesia.

Selain dalam misi pertukaran budaya, pameran ini patut dicatat karena membagi pengalaman sejarah seni grafis di Italia. Pada akhirnya pameran ini mampu memperkaya khazanah dan menggairahkan seni grafis di Indonesia yang kurang berkembang dibandingkan dengan seni lukis dan patung. Karya-karya grafis yang ditampilkan adalah karya yang telah dikerjakan oleh Studio Seni Grafis 2RC selama 50 tahun. Karya-karya ini dikerjakan para seniman penting yang ber-asal dari berbagai negara, yang secara teknis mendapat dukungan dari staf ahli 2RC, de-ngan berbagai pendekatan teknik.

Studio 2RC memiliki misi mendudukkan seni grafis berada di derajat yang sama seperti lukisan dan ukiran. Misi ini diejawantahkan dengan proses eksperimentasi yang cukup lama sehingga menemukan teknis etching press (cetak etsa) yang sempurna dan mumpuni untuk segala kebutuhan seniman.

Dengan penemuan teknik itu banyak seniman tertarik untuk mendalami seni grafis sebagai modus berkarya mereka seperti Lucio Fontana, Francis Bacon, dan Enzo Cucchi. Dengan medium grafis, seniman-seniman ini mampu mewakili ekspresi artistik mereka yang kemudian mewarnai perkembangan aliran abstrak dan pergerakan avantgarde di barat pada abad kedua puluh.

Di belahan dunia lain yakni di Indonesia, selama beberapa dekade perkembangan seni rupa di negara ini belum mencatat progresivitas seni grafis secara signifikan. Ada beberapa hal yang membuat seni grafis di Indonesia kurang berkembang. Pertama, iklim tropis di Indonesia. Iklim tropis membuat tingkat kelembaban di Indonesia tinggi sehingga tidak bersahabat dengan karya-karya grafis yang berbahan kertas. Kedua, tingginya tingkat kesulitan media ini. Ketiga, dengan tingkat kesulitan tinggi itu ternyata belum dianggap banyak perupa di Indonesia mewakili ekspresi artistik dan emosi mereka. Ekspresi artistik dan emosi tertinggi dianggap masih terwakili oleh sapuan kuas (brush stroke) di atas kanvas. Terakhir, karya-karya grafis dengan teknik cetak ditakutkan banyak kolektor seni di Indonesia sebagai karya yang tidak eksklusif. Seni grafis di Indonesia pun hanya ditelateni beberapa perupa seperti Tisna Sanjaya dan A.T. Sitompul.

Gerakan "Transavantgarde"

Tajuk pameran ini, "The Doublefold Dream of Art: 2RC Between the Artist and Artificer" mengindikasikan pertanyaan bagi kapasitas kerja dua sosok. Pertama, seniman sebagai pengonsep (artist) dan kedua, para tukang ahli pencipta peralatan pembuatan karya seni (artificer). Karya-karya ini mengungkapkan capaian kapasitas dari para artisan untuk meningkatkan peran penting mereka sebagai tukang ahli sekaligus eksekutor dari projek seni dengan nilai tambah yang lebih besar dibandingkan dengan konsep penciptaan karya tersebut pada awalnya.

Mengutip pernyataan kuratorial dari Bonito Oliva bahwa koleksi karya-karya grafis ini merupakan manifestasi dari suatu perjalanan lewat perkembangan seni rupa kontemporer yang dikerjakan sejak 1960-an hingga kini. Pameran ini merepresentasikan panorama yang lengkap, dengan kedalaman pencapaian suatu kualitas serta dengan pendalaman peran dari para seniman dan tukang ahli yang bekerja sama dalam suatu tradisi kreatif seni yang bernafaskan Italia.

Achille Bonito Oliva sendiri adalah pencetus Gerakan Seni Transavantgarde di Italia dan mempengaruhi paradigma seni di Eropa Barat pada akhir 1970-an dan 1980-an. Terminologi Transavantgarde oleh Bonito Oliva diartikan sebagai di balik (beyond) avantgarde. Gerakan ini mendudukkan nilai estetika yang dikembalikan kepada praktik tradisional seni dengan karya-karya lukis dan patung. Transavantgarde juga menolak konsep seni konseptual dan memperkenalkan lagi aspek emosi khususnya emosi kegembiraan. Gerakan transavantgarde ini dilakukan beberapa seniman seperti Sandro Chia, Fransesco Clemente, dan Enzo Cucchi.

Karya-karya grafis seniman transavantgarde ini dihadirkan di Selasar Sunaryo Art Space dalam subtajuk Trans-Avantgarde. Dalam pemeran ini dihadirkan 25 karya grafis dari Francesco Clemente, Enzo Cucchi, dan Julian Schnabel. Pameran dibuka pada Sabtu (29/5). Setelah itu, Achille Bonito Oliva bakal memberi kuliah umum tentang gerakan transavantgarde di tempat yang sama pada 5 Juni 2010 bertajuk Transavanguardia. Helatan ini menjadi penting bagi seni rupa Indonesia karena adanya pendalaman mengenai gerakan transavantgarde berdasarkan presentasi langsung dari pencetusnya dan memban-dingkan dengan gerakan-gerakan seni yang pernah terjadi di Indonesia. Dan utamanya, helatan-helatan ini dapat memperkaya khasanah seni grafis di Indonesia.

Dua pameran lain digelar di Galeri Nasional Indonesia dan Sangkring Art Space. Galeri Nasional memamerkan 70 karya grafis seniman Italia dan seniman bersejarah dari berbagai bangsa dengan subtajuk "Historical Italian & International Artists" pada 4-24 Juni 2010. Sedangkan Sangkring Art Space berkesempatan memamerkan 50 karya grafis dari seniman Amerika dan Inggris dengan subtajuk "American & British Artists" pada 11-20 Juni 2010. Jumlah keseluruhan karya adalah 145 karya grafis de-ngan beragam medium seperti etching, aquatints, litografi, embossing, dan delapan piringan tembaga. Karya-karya koleksi 2RC yang didirikan pada 1959 ini mempresentasikan kepiawaian pelaku seni kontemporer dan keunggulan teknik percetakan dan engraving dari Italia yang melatari progresivitas-progresivitas kesenirupaan di Barat.

Chabib Duta Hapsoro, penulis seni rupa

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 30 Mei 2010

Menyoal Pantun dan Syair

APA kabar syair dan pantun Melayu? Masih adakah karya sastra tertua ini dibuat pada era sekarang? Jangan-jangan tak pernah ada lagi karya syair dan pantun terbaru yang dibuat orang, kecuali "Gurindam Dua Belas" karya Raja Ali Haji yang bernilai religius dan monumental itu.

Asumsi itu ternyata keliru. Pada era kehidupan sastra, khususnya sajak (puisi) yang sudah begitu banyak jenis dan ragamnya -- seperti puisi mbeling, puisi mini kata (haiku), puisi pesantren, puisi internet, dan masih banyak lagi -- syair dan pantun masih dibuat orang. Seperti buku kumpulan syair dan pantun Bual Kedai Kopi karya Hj. Suryatati A. Manan dan Martha Sinaga yang diperbincangkan pekan kemarin di sebuah hotel di Bandung.

Buku berisi 19 syair dan 15 pantun dari Suryatati dan 35 syair dan 11 pantun karya Martha Sinaga ini, dibahas Ahmadun Y. Herfanda, Sides Sudyarto D.S., dan Matdon.

Suryatati A. Manan dikenal sebagai Wali Kota Tanjungpinang Kepulauan Riau. Sementara Martha Sinaga dikenal sebagai wartawati penulis.

Namun persoalannya adalah apakah syair dan pantun sebagai bentuk sebuah kesaksian realitas manusia pada zamannya yang ditulis kedua penyair ini harus "steril" dari perubah-an? Padahal manusia terus berubah. Kebutuhan manusia dalam menggunakan bahasa sebagai media berekspresi notabene juga berubah. Akan tetapi, mengapa Ahmadun Y. Herfanda justru menganjurkan buku yang ini harus direvisi? Di sinilah titik diskursus mengapa diskusi yang dihadiri sebagian besar masyarakat Kepulauan Riau ini menjadi perdebatan menarik.

**

DALAM pandangan Sides, "Bual Kedai Kopi" bukanlah sebuah bualan, melainkan sebuah kesaksikan dua pribadi mengenai realitas sosial yang memancing kritik kedua penulis. Kesaksian dan kritik sosial itu dikemas dalam bentuk pantun dan syair.

Dengan demikian, antologi karya kedua penyair ini, menurut dia, mempunyai dua fungsi ganda. Di satu sisi, ke-dua penyair ikut melestarikan bentuk pantun dan syair sebagai genre sastra. Di sisi lain, mereka menyampaikan sumbangan pemikirannya berupa keprihatinan menyangkut lingkungan manusia dan lingkungan hidup yang sedang meradang akibat ulah sesama manusia.

Tentu saja, sudut pandang kedua penyair ini berbeda. Suryatati A. Manan sebagai orang yang memangku jabatan pemerintah banyak menulis tentang pekerja di jajaran birokrasi. Sementara Martha Sinaga yang mempunyai latar belakang sebagai jurnalis, banyak menyoroti berbagai hal tentang nasib dan kehidupan masyarakat luas.

Persamaan keduanya mencoba bicara jujur dan terbuka. Mereka juga berbicara apa yang mereka ketahui. Mereka tidak berbicara apa yang mereka tidak ketahui. Hasilnya, karya lugu yang disampaikan dalam bahasa merakyat, komunikatif, dan mudah dicerna oleh kalangan atas hingga pa-ling bawah. Keduanya memihak kepada kepentingan rak-yat, terutama kaum lemah terpinggirkan.

Sejak dulu, kata Sides, syair dan pantun telah memainkan peran dalam kebudayaan Melayu. "Gurindam Dua Belas" karya Raja Ali Haji sangat sarat dengan nilai religius. Sitor Situmorang termasuk penyair era kekinian yang menggunakan jiwa pantun untuk karya puisinya yang berjudul "Lagu Gadis Itali".

**

SEDANG Almukarom Kyai Majelis Sastra Bandung ini, menyoalkan "Bual Kedai Kopi" pada muatan lokal dan profannya. Ia membandingkannya dengan sisindiran yang berkembang di Tatar Parahyangan.

Sebagai identitas lokal, "Bual Kedai Kopi" dapat dikenali dari judulnya. Kata "Bual" sudah menjadi penanda pragamatik kelokalan itu. Ini bagus, karena dengan pemilihan kata "Bual" sebagai judul, kedua penyair menyadari betul estetika lokal yang dipilihnya. Hal ini juga memperjelas dasar keberangkatan kedua penyair dari Kepulauan Riau. Bahkan lokalitas sebagai tanda ini tidak berhenti pada "kelokalan", tetapi menjadi local genius karya sastra yang juga mengemban misi universal.

Ia menilai, pantun sebagai alat pemelihara bahasa, penjaga kata, dan mampu menjaga alur berpikir. Melatih sese-orang untuk berpikir tentang makna kata sebelum berujar.

Kendati begitu, Matdon juga menenggarai, telah muncul fenomena pantun dan syair profan yang berkembang di masyarakat. Meski pantun "jenis baru" ini keluar dari pakem pantun dan syair, keberadaannya lebih komunikatif di kalangan anak muda. Bahkan sejalan dengan fungsi pantun dan syair pada dasarnya, pantun dan syair profan ini kerap pula menjadi media komunikasi rekreatif yang menghibur. Contoh, Jaka Sembung bawa golok/teu nyambung goblok/ atau buah pepaya buah kendondong/orang kaya minta rokoknya dong/ dan seterusnya.

Bagi Matdon, pantun dan syair profan seperti itu sah-sah saja. Toh fungsi kata yang terangkum dalam bahasa dan terekspresikan dalam pantun dan syair sebagai genre sastra, pada hakikatnya adalah media komunikasi masyarakat pada zamannya.

Dalam kaitan "Bual Kedai Kopi", Matdon senada dengan Sides. Dia lebih menyoroti pesan yang disampaikan kedua penulis. Menurut dia, Suryatati dan Martha merupakan penyair pantun dan syair yang telah menguraikan banyak tentang potret sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang dengan bahasanya yang lugas telah jujur berujar. Beberapa karya malah menunjukkan pengolahan kata dalam pantun dan syair di dalamnya, terasa sangat kental dan intens sehingga penyair mampu menggiring pembacanya pada wilayah empiris dalam memahami kehidupan.

**

BERBEDA dengan kedua pembicara ini, Ahmadun Y. Herfanda justru memperkarakan kedua penulis yang telah berani mengubah pola dan pakem pantun dan syair. Menurut dia, hal ini berbahaya karena akan mengubah definisi pantun dan syair yang telah diyakini dan dipahami selama ini.

Kedua penyair dengan lelua-sa mengubah pola pantun dan pola syair dengan lebih bebas. Bukan hanya pola pantun ab ab atau aa aa yang diubah, tetapi jumlah suku kata pun menyimpang dan tidak dihiraukan lagi. Padahal syair memiliki konvensi yang ketat, rimanya harus aa, dan kepanjangan baris 8-12. Syair diadopsi dari sastra Arab. Jumlah suku kata perbaris 8-12 suku kata perbaris dan pola suku kata terakhirnya "a" semua.

Sementara eksistensi pantun dan syair juga sudah menjadi common sense dan konvensi masyarakat Melayu. "Bagaimana mungkin pantun dan syair dibongkar-bongkar seperti ini, padahal bentuk pantun dan syair ada konvensinya," ucap Ahmadun.

Kendati begitu, Ahmadun menilai, karya pantun dan syair milik Suryatati cenderung lebih tertib dibandingkan dengan karya pantun dan syair milik Martha. Hal ini bisa jadi dipengaruhi latar belakang kedua penyair. Surya-tati sebagai birokrasi yang cenderung masih memegang teguh aturan-aturan baku dan konvensi. Sementara Martha jurnalis yang cenderung "nakal" dengan ide-idenya sehingga memengaruhi pola dan rima pantun dan syair.

Padahal, setiap karya sastra itu, kata Ahmadun, ada genrenya masing-masing. Kalau saja kedua penyair menamakan "Bual Kedai Kopi" ini sebagai genre pantun dan syair bebas, mungkin keberadaannya tidak jadi "mengaburkan" definisi dan eksistensi pantun dan syair. Oleh karena itu, Ahmadun menganjurkan untuk merevisinya. "Atau bila kedua penyair terutama Martha ingin berekspresi lebih bebas dan leluasa, tuangkan saja dalam bentuk puisi. Bukan dalam bentuk pantun dan syair," ucapnya.

Walaupun begitu, Suryatati dan Martha saat mempertanggungjawabkan karyanya me-ngatakan, "Bual Kedai Kopi" telah lahir dan menjadi kesaksian dari sebuah realitas manusia dan kehidupannya. Kalaupun karya itu dinilai telah menyimpang dan keluar dari konvensi pantun dan syair, biarkanlah pula menjadi penanda sejarah. "Tidak akan terlahir sebuah kebenaran tanpa kesalahan yang mencuat ke permukaan," tutur Martha. (Eriyanti/"PR")

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 30 Mei 2010

Menelusuri Tubuh

-- Silvester Petara Hurit*

BANDUNG Dance Festival 2 digelar di STSI Bandung, Kamis-Sabtu (20-22 Mei). Festival dengan tema "Menerabas Batas" melibatkan sejumlah seniman tari dalam ruang dialog dan silahturahmi karya.

Tema Bandung Dance Festival 2 mengaksentuasikan spirit seni: eksplorasi dan penemuan pelbagai kemungkinan ekspresi. Bahwa seni tidak bisa dipenjara oleh batas, ia senantiasa bergerak keluar dan membawa serta pada dirinya rekaman keringat dan seabrek misteri pengalaman yang diserap selama proses panjang perjalanannya.

Seni punya bahasa dan muatan makna yang kompleks. Apalagi tari dengan modalitas tubuh dan geraknya. Tubuh merupakan ruang personal. Sebagai ruang personal, ia memiliki ciri-ciri atau karakteristik yang juga sangat personal sifatnya. Ia, kendati merupakan rea-litas materi dengan volume dan massivitas tertentu, tetapi memiliki sifat-sifat yang meng-alir, unik, liar, dan tak tertebak. Jauh melampaui hakekat materi itu sendiri. Di sekujur tubuh tersebar simpul-simpul saraf hidup yang memiliki responsivitas dan daya tanggap tertentu. Setiap sel pembentuknya memiliki bahasa, sejarah, biografi, dan kecerdasannya sendiri.

Oleh karena itu, festival dalam pengertiannya sebagai perayaan bisa dibaca sebagai perayaan dan pengagungan individualitas diri personal subjek pelakunya. Individualitas memberi pengayaan terhadap tubuh sosial. Tubuh spesifik penari yang menyembul dan menggeliat menjadi medium ekspresi yang paling aktual. Memperlihatkan problematika, keunikan, dan kompleksitas diri manusia serta lapis-lapis persoalannya.

**

LEWAT karyanya "Penjara Waktu", Maria Bernadeta Aprianti, koreografer dan penari asal Flores, bersama Poppy Parisa membaca tubuhnya di dalam gerak waktu. Cermin yang menyimpan bayang maya diri-sejati menyajikan kenya-taan kefanaan. Bahwa manusia tak luput dari gilasan waktu. Kenangan demi kenangan, bayangan kekuatiran seakan menjadi hidup. Ada upaya menanggalkan segala yang berlabel pembajuan untuk menyingkap yang sejati, yang tak lekang oleh waktu. Sarung tenun khas Flores adalah pera-ihan terakhir. Pembajuan kembali diri secara simbolik. Meraih keutuhan keagungan. Tubuh bersinggungan dengan sarung yang bukan lagi sarung. Ia menyimpan sesuatu yang sakral, yang mitis, dan mendebarkan. Maria Bernadeta bersama tubuh dan keseluruhannya masuk ke dalamnya. Menemukan jejak asal-usul, menziarahi jagat batinnya sendiri.

"Scents " karya Herry "bod"nk" Suwanto asal Solo menghadirkan tubuh gelisah. Tersekat antara harapan, perjuangan hidup, dan ketidakpastian nasib yang diakibatkan oleh ketidakadilan penghargaan atas pekerjaan para nelayan gurem. Para penari berikhtiar membawa ke dalam dirinya kepenatan dan kegalauan para nelayan yang terombang-am-bing antara kenyataan, tanggung jawab, dan mimpi-mimpinya yang patah. Tubuh dan tariannya di pentas menjadi bagian faktual problem sosial yang aktual.

"Penari Malam" karya Dhendi Firmansyah menghadirkan realitas penari malam dalam keindahan, sensualitas, dan geliat aksi tubuh. Hasrat dan gairah adalah kenyataan purba yang tidak bisa sepenuhnya dikontrol oleh normativitas kultural karena ia merupakan kenyataan natural dari kebertubuhan manusia.

"On Off" karya N.D. Styan menghidupkan kelesuan lewat tubuh dan gerak. Kehidupan yang tak dirawat oleh sentuhan perhatian tak bisa tumbuh sepenuhnya. Sedangkan Wanotama karya Veronika mengaksentuasikan keceriaan, tubuh gemulai, dan wajah segar Jaipongan. Tubuh menebar aroma kesegaran lewat gerak. Kesegaran membuat tubuh dipuja dan dihasrati. Akan tetapi bukan sebatas tubuh wadak. Ada daya lain, spirit lain dari tubuh yang memancar keluar, menari, menjamah, dan emberi tenaga. "Stigmata" karya Hany Sulistia meng-angkat fenomena unik dan tidak lazim dari tubuh. Ada tanda-tanda tertentu yang muncul secara mengejutkan, sewaktu-waktu, dan nonpermanen pada bagian-bagian yang spesifik dari tubuh. Bagian yang spesifik lantas menjadi kenyataan yang besar dan berarti bahkan membalikkan keutuhan yang lengkap. Ketidaklaziman memperlihatkan keunikan, misteri, serta sifat unpredictable dari tubuh.

Karya Datam Ali, "Topan Cacing Cau" menghadirkan jebakan sifat tamak tubuh dan usaha untuk mentransendensikannya lewat gerak laku dan kegigihan asketis.

Sementara Arianto Sapto Nugroho bersama Alpha Plus Dancer mengunggulkan fisikalitas gerak tubuh di dalam karya yang berjudul "Outer Limit".

Ria Dewi Fajaria meng-ibaratkan tubuh sebagai kenya-taan yang terbeban goresan kecewa, luka, amarah, dan sakit melalui judul "Tabularasa". Tubuh Tabularasa adalah tubuh yang coba melakukan idealisasi namun diborgol oleh beban negatif emosi dan hawa busuk situasi yang melingkunginya.

"Tanah Merah" karya Jefriandi Usman dari Jakarta membumikan tubuhnya dengan tergolek mengerut, berguling ke lantai panggung. Bermain di level bawah melewati batas me-rah. Tubuh yang "menyebumi". Memasuki api, air, tanah, dan angin. Menghormati alam yang memerah. Yang tengah menjelma darah oleh keperihan yang tak lagi dirasa oleh manusia yang menghuninya. Jefriandi Usman menjadikan tubuhnya tubuh dan tarian ritus. Meraih alam sebagai bagian integral dengan dirinya dan keseluruhan eksistensi kesehariannya.

Koreografer Ayo Sekolah Sunaryo dari Bandung menampilkan "Perempuan Jerami". Upaya untuk menggali kembali peran dan ketangguhan tubuh perempuan agraris.

"Jejak Yang Tertinggal" karya Lalu Suryadi dari Lombok pun mengetengahkan perempuan sebagai tubuh yang bertahan, tubuh yang masih terjaga di tengah arogansi terhadap kehidupan. Walau tinggal jejak, mengalami penelanjangan dan pelucutan martabat, perempuan bertahan oleh kelembut-annya. Kelembutannya menyiratkan kekuatan tubuh dan kepekaannya terhadap pelbagai bentuk ekspresi kekerasan yang mengabaikan denyut-denyut kecil kehidupan. Perempuan dalam keagungannya yang terkoyak lantas pada akhirnya tetap menjadi tempat semua kehidupan bersimpuh.

"Phallus Tarung Atau Candu Dan Ingatan" merupakan hasil koreografi kolaborasi Ine Arini, Fajar Satriadi, dan Alfiyanto. Tubuh dan watak Phallus melahirkan tarung. Wajah keras dengan arsitektur tubuh yang menyeringai terkuak dari tubuh Alfiyanto. Sedang semesta suara dari Fajar Satriadi kemudian menggumpal menjadi tarian semesta kekerasan yang depresif.

**

SENI tari mengandaikan keindahan gerak, irama, dan komposisi yang hadir meruang. Akan tetapi, jika melihat tari sebagai perayaan gerak dan ketu-buhan, ia menyisakan satu rea-litas lain dari tubuh yang tak diakrabi. Yakni tubuh dalam wajah dan geraknya yang tidak indah, yang jelek, dan bahkan menjijikkan. Pembagusan, pengindah-indahan adalah tubuh kontaminasi. Tubuh yang dalam arti tertentu terkondisi, ter-frame, dan terobyektifikasi oleh tatapan mata selera dan citra. Sedangkan tubuh sebagai sebuah kenyataan real dari kedirian, menyimpan kedua-duanya sekaligus melampauinya. Ia bahkan berada di luar batasan teori dan defenisi-defenisi, melampaui yang indah dan bagus.

Menemukan tubuh dalam kenyataannya yang jujur adalah menghadang dan membongkar sistematisasi, sensor, dan proseduralisasi yang membuat tubuh kehilangan ruang interaksi, keintiman dan interrelasi dengan tubuh lain secara merdeka dan tanpa batas. Tubuh yang coba hadir untuk memahami kesesatan dan gila massal dari tubuh-tubuh gerombolan de-ngan menemukan ekspresinya yang paling natural. Karya tari idealnya tidak hanya mengeks-plorasi kebagusan tetapi juga mengeksplorasi kejelekan. Menyajikan kejelekan, menjadi "liar" demi membebaskan tubuh dari pembakuan gerak. Menjadi tubuh yang tidak biasa. Bukan tubuh kebanyakan. Tubuh kontra- image. Tubuh kompetitif, tubuh yang menolak kompromi, tubuh "arogan" yang memiliki posisi tawar terhadap tubuh konstruksi; tubuh kebanyakan, termasuk di dalamnya tubuh tari yang terdefenisi.

Silvester Petara Hurit
, esais, pemerhati seni pertunjukan

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 30 Mei 2010

F.X. Widaryanto (Pengamat Tari, Dosen STSI Bandung): "BDF II Menerabas Lintas Bantas"

JIKA Bandung Dance Festival (BDF) I tahun lalu mengusung tema ketubuhan sebagai lanskap, maka BDF II kali ini mencoba memberikan rekognisi baru pada beberapa perkembangan tari di luar "tren ideal" yang ber-kembang di masyarakat dewasa ini. Oleh karena itulah, BDF kali ini berangkat dengan semangat "menerabas lintas batas" atau crossing the border yang mewarnai pembagian waktu penyajian. Dan itu diharapkan bisa sekaligus memberikan kesadaran akan permasalahan orientasi karya dalam beberapa lapis masyarakat dewasa ini. Di lain sisi, festival kali ini juga didorong untuk menyadari perubahan, seraya menetapkan jelajahnya pada lanskap ketubuhan.

Konsep ini terus diperluas seiring dengan makna kekiniannya yang terus meneriakkan nilai-nilai eks-trinsiknya yang terlihat berusaha melampaui bentuknya sendiri. Dengan demikian, festival tari ini lebih dirasakan sebagai kegiatan publik dan bukan semata kegiatan akademik yang kaitannya dengan penyelenggara atau pun venues yang mengusungnya.

Demikian ungkap F.X Widaryanto seputar pelaksanaan BDF II tahun ini. Berikut petikan wawancara bersama pengamat tari, kritikus, sekaligus dosen Jurusan Tari STSI Bandung ini.

Dari keseluruhan para penampil, apa sesungguhnya yang ditawarkan oleh panggung BDF II bagi perkembangan jagat tari di Indonesia? Baik secara tematik maupun eksplorasi bentuknya?

Yang ditawarkan adalah dialog yang tidak langsung dalam sebuah event yang memungkinkan adanya lintas generasi, baik yang bersifat entertainment di kalangan anak muda dengan berbagai perkem-bangan hip-hop ataupun breakdance, maupun yang memberikan perluasan eksplorasi tubuh dalam berbagai bentuk ungkap silang ranah seni. Salah satu contoh yang menarik adalah karya "Phallus Tarung atau Candu dan Ingatan" garapan Ine Artini dan Herry Dim yang dibantu oleh bintang tamu Fajar Satriadi. Di sini seluruh energi dalam varian kekuatannya bermunculan, baik secara visual maupun secara audio. Penggarap mencoba "bertutur" tentang sebuah "keluarga" dengan kekerasan kelaki-lakiannya, dengan kelembutan dan kepedihan seorang perempuan, dan diakhiri dengan kelucuan se-orang anak yang mencoba mencari dan menemukan vitalitas kelem-butan seorang ibu.

Sebaliknya di sisi paling luar, penonton menikmati sebuah rangsang kinetik maupun kinestetik dalam sajian teknik gerak yang prima dari anak-anak muda asuhan alumni STSI Arinto, yang bergelut dalam tradisi kreatif yang disukai anak muda dengan mengembangkan berbagai sumber gerak breakdance yang cukup atraktif. Di antara kedua "kutub" ini ditawarkan berbagai garap yang cukup kuat dalam teknik ataupun totalitas penghayatannya. Lihat dengan karya Jeffry, dengan kesadaran akan krisis sumber daya alam dengan karyanya yang berjudul "Tanah Merah". Atau Herry Suwanto dengan "Scent" yang mengolah kerinduan internal masyarakat nelayan dan Ria Dewi Fajaria dengan "Tabularasa" yang mengungkapkan "kemarahan, kekecewaan, yang dicoba visualisa-sikan dalam berbagai kemungkinan kekentalan bahasa tubuh". Kita juga bisa mendapati ekspresi kegenitan Lalu Suryadi dengan "Jejak yang Tertinggal". Tak kalah menarik adalah eksplorasi para mahasiswa yang sudah menggarap kedalaman isi yang tak terduga, seperti pada "Stigmata" karya Hanny.

Sampai sejauh mana BDF II memberi semacam optimisme bagi lahirnya sebuah generasi baru dalam jagat tari Indonesia, dan apa yang mereka usung, lalu bagaimana mereka memosisikan diri di tengah tradisi yang telah ada di belakangnya?

Karena sifatnya yang "menerabas lintas batas" tadi, maka ada kecenderungan kurangnya fokus substansi garap dari lintas generasi yang ada ataupun lintas seni yang digarapnya. Namun untuk Kota Bandung yang sudah menyandang dirinya sebagai kota urban, tampaknya wadah festival yang mulai mewadahi kecenderungan perkembangan bentuk yang ada di masyarakat ini perlu juga dimulai. Di satu sisi, langkah ini akan memberikan kontribusi bagi tumbuhnya sense of belonging anak muda pada event festival ini. Di sisi lain, mereka mendapatkan kesempatan dialog dengan karya-karya serius yang memiliki tren ideal di kalangan seniman produk pendidikan seni formal yang ada. Perkawinan antarkeduanya akan memberikan makna baru yang pada suatu saat akan "diceraikan" secara alami menjadi forum yang memang masing-ma-sing harus berdiri sendiri dengan kebutuhan kehidupannya yang berbeda satu sama lainnya.

Di sinilah kemudian muncul kebutuhan aktualisasi diri dalam penggalian jati diri yang sebenarnya. Produk kolektif dalam bentuk baku seni tradisi akan menjadi bagian dari sebuah benang merah yang selalu dibawa oleh para pelakunya. Tradisi kreatif keempuan di masa lalu yang kemudian membudaya dalam berbagai wilayah di Indonesia akan memberikan ciri-ciri tersendiri yang tidak dimiliki oleh wilayah komunitas budaya yang lainnya. Fenomena multikultural yang dirajut oleh BDF kali ini, sekaligus menyorongkan laku persentuhan interkultural yang justru saat ini sangat dibutuhkan, terutama di tengah-tengah kerentaan akan toleransi, kesetaraan, dan juga kebersamaan anak-anak bangsa dewasa ini. Di sinilah optimisme proses mengindonesia semakin terlihat menjadi bagian dari proses dialogis yang harus didukung keberlanjutannya. Bukan untuk menjadi "seragam", tetapi justru menjadi cair dan menawarkan berbagai kekuatan local wisdom yang dimilikinya.

Untuk merajut semua kekuatan tampilan di atas, diperlukan seorang dramaturgi yang mampu membaca struktur visualisasi karya secara jeli sehingga kekuatan karya yang baik tidak kemudian "dinodai" oleh tiadanya jarak sajian yang mampu mengendapkan memori karya sebelumnya. Di sinilah the BDF II ini harus terus dibenahi. Salah satu contohnya adalah kekuatan "Outer-Limit"-nya Arinto Sapto Nugroho yang tidak harus dijejerkan dengan "Phallus Tarung"-nya Ineu Arini dan Herry Dim. (Ahda Imran)

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 30 Mei 2010

Sejarah dan Tubuh Para Lelaki

KEDUA lelaki itu bertarung dengan nafsu untuk saling membinasakan. Fajar Satriadi (Lelaki 3) berdiri di ketinggian, menggeliat, lembut tetapi menyimpan keganasan. Tubuhnya tegap dengan rambut terurai, mulutnya terus mengeluarkan suara aneh sekaligus menyeramkan. Di kedua lengannya melilit sepasang lonceng kecil. Denting lonceng di sela-sela suaranya yang menggeram panjang menciptakan keheningan yang menakutkan, seperti lonceng kematian. Dan di bawahnya, Alfyanto (Lelaki 4) menciptakan imaji kekerasan dalam sebuah pertarungan yang saling menghancurkan. Tubuhnya yang liat bergerak cepat dalam paduan jurus silek (silat) Minang-kabau dan idiom-idiom tari minang. Lompatan dan pola lantai yang menggelepar-gelepar. Atau, ia menciptakan imaji kehancuran lewat perlakuan terhadap sebuah ranjang besi berwarna merah, diputar dan dijungkirkan.

FAJAR Satriadi (Lelaki 3) dalam repretoar "Phalus Tarung Atau Candu dan Ingatan" karya kolaborasi Ine Arini, Fajar Satriadi, dan Sulistyo Tirtokusumo ketika tampil dalam Bandung Dance Fastival (BDF)II di Gedung Kesenian Sunan Ambu STSI Bandung, Sabtu (22/5).* Mega A. Noviandari

Pertemuan kedua lelaki yang ganas itu adalah pertarungan yang mendebarkan. Sebuah metafora untuk menghadirkan interaksi simbolis ihwal naluri kekerasan dalam tubuh para lelaki, sebelum keduanya kemudian roboh. Sementara di latar panggung, sebuah animasi citra jam dinding besar de-ngan jarum detik yang bergerak ke arah sebaliknya. Gerak yang membawa ingatan setiap orang pada waktu dan ruang masa lalu yang minta dimaknai sebagai sejarah. Dan sejarah yang dikehendaki di atas panggung itu adalah sejarah kekerasan manusia yang berasal dari tubuh para lelaki. Tubuh yang menjadi tempat kekerasan mesti dijaga, dirawat, dan dilanggengkan hingga hari ini.

Sebaliknya, tubuh perempuan (Ine Arini) adalah tubuh yang disimbolkan sebagai ibu, sebagai bumi. Tubuh yang menyimpan dan merawat kemurnian kehidupan. Ia adalah tanah yang diam, keheningan yang menyimpan dan merawat kemurnian dan harmoni kehidupan manusia. Tubuh perempuan adalah dunia keheningan, seperti alam semesta itu sendiri. Ia berdiri di atas ranjang merah yang tampak menyeramkan dengan sikapnya murung, tetapi tetap tenang dan agung.

Tubuh perempuan adalah tubuh korban yang memilukan. Dan tubuh itu jugalah yang kembali dengan sabar mengumpulkan berbagai serpihan kehancuran, menyatukannya kembali seraya memberi harapan. Akan tetapi, sejarah manusia tak pernah ditulis atas nama mereka. Jarum jam yang berputar ke belakang tetaplah merupakan jejak memilukan dari sejarah para lelaki.

Inilah salah satu bagian dari enam adegan yang dihadirkan dalam pertunjukan "Phallus Tarung Atau Candu & Ingatan" karya kolaborasi Inne Arini, Sulistyo Tirtokusumo, dan Fajar Satriadi. Pertunjukan ini berlangsung di Gedung Kesenian Sunan Ambu STSI Bandung, Sabtu (22/5), pada malam terakhir pelaksaan Bandung Dance Festival (BDF) II (20-22 Mei 2010). Meski hadir dalam festival tari, tetapi pertunjukan ini memadukannya dengan beberapa genre lain, dari mulai teater, puisi, seni-rupa, hingga video animasi. Tampaknya inilah yang menjadi pembeda "Phallus Tarung atau Candu & Ingatan" dengan sejumlah pertunjukan lainnya dalam BDF II.

**

PERTUNJUKAN ini menghadirkan delapan adegan. Meski sesungguhnya masing-masing adegan bisa dimaknai saling berdiri sendiri, tetapi keseluruhannya tetaplah berkonsentrasi pada ekplorasi tematik ihwal sejarah kekerasan manusia. Mungkin satu hal yang bisa dianggap menyatukan, kedelapan adegan itu lebih menekan pada ritme pertunjukan. Irama inilah yang membangun struktur ruang emosi dalam berbagai adegan, nyaris menyerupai sebuah narasi konflik, sehingga mencapai puncak konflik dan mengendur kembali di ujung pertunjukan sebagai epilog yang merepresentasikan semacam jejak permenungan.

Keterpisahan kedelapan adegan ini tampaknya merupakan upaya menyiasati eks-plorasi bentuk yang memadukan berbagai genre yang ada di dalamnya, sekaligus juga mempertemukan seluruhnya dengan tetap menjaga konsentrasi pada gagasan kesadarannya. Pada dua adegan awal, "Introduksi dan Corona", pertunjukan menghadirkan aktor Ayi Kurnia Iskandar (Lelaki 1). Dengan latar jarum jam yang bergerak ke arah sebaliknya dan lampu yang remang dan murung, Ayi muncul hanya untuk mengepel lantai. Ia seperti hendak membersihkan peristiwa-peristiwa masa lalu yang pernah terjadi.

Lalu suara berat rekaman suara Bertold Damhausser membacakan puisi "Corona" karya penyair Jerman Paul Celan. Meski puisi ini dibaca dalam bahasa aslinya, tetapi karakter suara Bertold Damhausser yang terdengar menggeremang berat dalam peng-ucapan Jerman itu mampu menghadirkan suasana pertunjukan yang terasa menekan. Suara Damhausser seperti gumam yang menakutkan, meski mungkin penonton tak mengerti apa yang diucapkannya. Puisi ini melukiskan kesadaran manusia ihwal waktu, ingatan, dan kengerian akan kehilangan; kami saling mencintai bagai candu dan ingatan .

Kedua adegan ini menjadi semacam pengantar untuk memasuki kekerasan yang mendebarkan dalam sejarah dunia lelaki. Dan itu muncul di antara penonton, ketika Fajar Satriadi berjalan menuju panggung dengan suara menggeram. Dengan teknik vokal dan olah pernapasannya, suara itu seolah tidak keluar dari mulutnya, tetapi dari seluruh tubuhnya. Suara yang menggeram panjang menyerupai suara hewan, dengan suara lonceng di tangannya. Di pusat panggung, tubuhnya bergerak lembut.

Tangan dan kakinya menciptakan keheningan yang menakutkan di tengah raungnya yang panjang dan berat. Di sini, tubuh Fajar adalah tubuh dengan idiom dan style gerak yang tampaknya tak lepas dari gurunya Sardono W. Kusumo. Lebih dari sekadar karena berpakain serbaputih dan rambut panjang semacam itu, jejak Sardono juga amat terasa pada ekspresi idiom tubuhnya. Ia lalu memasang kelenting (kalung sapi) ke lehernya. Inilah dunia lelaki. Dunia yang dikodratkan untuk selalu bertahan dan bertarung.

Dan inilah juga yang dilakukan oleh Alfyanto. Lelaki berikutnya yang merepresentasikan energi kekerasan lelaki dalam bentuknya yang lain. Tubuh lelaki sebagai sejarah kekerasan terbaca pada bagaimana ia memerlakukan ranjang. Tubuh di situ menjadi subjek, bergerak liat menjungkirbalikkan ranjang, dengan nafsu kekerasan yang penuh kuasa.

Kekerasan dalam sejarah tubuh lelaki dalam juga menjelajah ke ruang peristiwa yang lain, seolah hendak merangkum sejumlah fakta yang pernah terjadi. Dan itu dilakukan lewat puisi "Fuga Maut" karya Paul Celan, penyair Jerman yang pernah mengalami kekejian kaum Nazi. Dengan mendorong ranjang dan berdiri di atas besinya, Ayi Kurnia Iskandar mengucapkan puisi dalam adegan monolog yang dramatik. Demikian pula ketika Ine Arini duduk dan berdiri di atas ranjang yang ditarik oleh Ayi Kurnia Iskandar sambil terus mengucapkan puisi Paul Celan; Susu hitam dini hari kami reguk saat senja/kami reguk siang dan pagi kami reguk malam/kami gali kuburan di udara di sana orang berbaring tak berdesakan//...

Dan berdiri di atas ranjang yang bergerak pelan, dengan selendangnya, Ine tegak menciptakan idiom-idom tari bedhaya yang kontemplatif. Di situ dunia perempuan hendak dihadirkan sebagai antitesis dari sejarah dunia lelaki yang beringas dan penuh kekerasan. Dunia perempuan adalah korban sekaligus kekuatan yang mengutuhkan kembali setiap kesedihan dan kehancuran. Perempuan di situ menjadi simbolisasi sejarah di balik sejarah milik para lelaki. Sejarah yang menjaga peradaban lewat kesabaran seraya tetap setia merawat harapan.

Sebagai paduan beberapa genre seni, pertunjukan ini terasa memosisikan aktor dan puisi sebagai narator yang mendeskripsikan lanskap kesadaran ihwal kekerasan sejarah para lelaki. Demikian pula dengan artistik dan video animasi yang tak hanya hadir dalam pengertiannya yang fungsional, melainkan menjadi lanskap ruang peristiwa yang menarik.

**

MENGHADAPKAN sejarah manusia yang menjadi kekuasaan tubuh para lelaki dan dunia perempuan di seberangnya, pertunjukan ini menghadirkan sikap hitam putih yang tegas. Artinya, ia tak berpretensi menjadikan keduanya sebagai sebuah sintesis. Sejarah manusia yang menjadi milik tubuh para lelaki adalah sejarah yang selalu memilukan. Sebaliknya, tubuh perempuan merupakan tubuh dengan kesadaran yang menyimpan kemurnian hakikat manusia dan penciptaan harmoni. Namun, tubuh perempuan inilah yang selalu dilupakan sekaligus yang senantiasa menjadi korban.

Sebaliknya pula, meski bergerak dengan kesadaran yang hitam putih, pertunjukan ini juga tidak membebani dirinya dengan gagasan ihwal perlawanan dunia perempuan. Ketiga koreografer dan Herry Dim sebagai sutradara, tampaknya membiarkan dunia perempuan tetap dengan kodratnya sebagai perempuan yang melakukan "perlawanan" lewat kesabaran menjaga dan merawat harapan, seraya mengutuhkan kembali apa yang telah dihancurkan oleh sejarah para lelaki.

Pertunjukan ini berujung ketika ibu bumi duduk memeluk seorang anak perempuan, di tengah reruntuhan tubuh para lelaki. Sebuah pemandangan yang ingin meninggalkan jejak kesadaran ihwal perempuan sebagai representasi dari kekuatan dan kesabaran dalam merawat harapan. Dan tentu itu akan tetap terbawa dalam ingatan penonton selepas pertunjukan, seandainya saja panitia tidak lantas "menindih" ingatan itu lewat dentuman musik dan kilatan-kilatan blitz pertunjukan hip-hop "Outer-Limit" Arinto Sapto Nugroho. Sayang sekali, pergantian dari dua jenis pertunjukan yang berbeda karakter suasananya ini telah membuat panggung pertunjukan malam terakhir BDF II lebih menyerupai pesawat televisi yang diganti salurannya. (Ahda Imran)***


Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 30 Mei 2010

Ragam Ekologi Sastra

-- Abdul Aziz Rasjid*

DALAM buku bertajuk Sastra Hindia Belanda dan Kita (Balai Pustaka: 1983) yang ditulis Subagio Sastrowardoyo dijelaskan bahwa terjadi pengulangan pola cerita desa di dalam sastra Hindia Belanda, sastra Melayu Modern, dan sastra Balai Pustaka. Pola cerita desa itu selalu berpangkal dari hubungan asmara pemuda-pemudi desa yang dekat sejak kecil. Hubungan asmara mereka yang romantik di tengah kedamaian desa, selalu berujung pada perpisahan yang tragis karena adanya gangguan yang berasal dari luar desa, semisal: tentara Belanda, China lintah darat, bangsawan, dan punggawa dari kota.

Gejala seragamnya pola cerita mengenai kehidupan desa dalam sastra Hindia Belanda berawal pada pertengahan abad sembilan belas. Kazat en Ariza dalam kumpulan Nieuwu Indische verhalen en herinneringen uit vroegen et lateren tijd atau Cerita dan Kenangan Baru tentang Hindia Belanda Zaman Dahulu dan Kemudian (1854) karya W.L. Ritter, De Doch ter van den bekel atau Anak Perempuan Kepala Kampung (1854) yang terkumpul dalam tulisan J.F.G. Brumund bertajuk Indiana (1854), dan tentu juga cerita Saijah dan Adinda yang merupakan bagian dari roman Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda (terbit pertama kali pada tahun 1860, baru terbit dalam edisi bahasa Indonesia pada tahun 1972) karya Multatuli adalah karya-karya sastra yang kemudian digolongkan sebagai genre cerita desa (1983: 30-31).

Desa: Korban Imperial atas Laut

Pola cerita desa ini tetap berkembang dan berlanjut dalam periode sastra melayu modern sampai periode Balai Pustaka. H. Kommer yang menulis dalam bahasa melayu umum, mengisahkan Nyi Sarikem dan Cerita Siti Aisah (ketiganya terbit tahun 1900), atau di dalam karya satra yang dianggap bacaan liar oleh kolonial Belanda kita juga dapat menemukan cerita gadis desa Maloko bernama Ardinah yang hidup miskin bersama ayahnya dalam Hikayat Kadiroen (1920) karya Semaoen.

Kisah-kisah dari desa itu setidaknya mewartakan bahwa ekspansi kolonial kepada kehidupan pribumi telah makin meluas sampai ke pelosok desa dan menyebabkan penderitaan rakyat. Jejak awal ditembusnya wilayah desa itu, setidaknya dapat ditelusuri sebagai akibat terjadinya imperial atas laut oleh kolonial seperti yang terceritakan dalam Arus Balik yang ditulis Pramoedya Ananta Toer.

Dalam Arus Balik, secara luas dapat kita baca bahwa terjadi perubahan orientasi kekuatan militer di kerajaan Nusantara; terutama Demak pascakepemimpinan Pati Unus yang digantikan Sultan Trenggana. Peralihan kekuatan Pati Unus yang dahulu bertumpu pada kuatnya navalisme (militerisme di laut) untuk merebut Malaka, pada masa Trenggana beralih pada kekuatan militer darat untuk menyukseskan perluasan kekuasaan tanah dalam memerangi raja-raja.

Kondisi ini, di mana kerajaan di Nusantara menjadi saling bentrok, membuat laut sebagai pintu gerbang menjadi terbuka. Sedang di sisi lain, bangsa kolonial semakin memperkuat modal ekspansinya dengan memperkuat navalisme. Navalisme kolonial yang terus meningkat menjadikan pelabuhan-pelabuhan Nusantara goyah. Tak mengejutkan kemudian, bila daratan di mana desa berada menjadi relatif lebih mudah untuk ditembus sebagai konsekuensi dari kerapuhan kekuatan navalisme.

Singkatnya, baru tiga abad lebih Nusantara dapat lepas sebagai wilayah koloni. Proklamasi 17 agustus 1945, mengantarkan Indonesia sebagai bangsa yang merdeka. Di masa kemerdekaan, masyarakat lalu berhadapan dengan keberbagaian tegangan sosial politik �perpecahan masyarakat terjadi melalui polarisasi partai�dalam kehidupan demokrasi terpimpin. Meletusnya G30S/PKI menjadi puncak runtuhnya desakan "imajinasi komunalisme" dan memasifkan perlawanan yang mengharapkan ruang lebih longgar bagi ekspresi yang mandiri.

Dalam kecamuk politik itu, mahasiswa lalu menjadikan kampus sebagai basis penggalangan kekuatan untuk melakukan perlawanan-perlawanan dalam bentuk demonstrasi. Tirani (1966) dan Benteng (1966) karya Taufiq Ismail hadir sebagai reaksi dari kampus yang ikut membakar semangat pembebasan dari indoktrinasi revolusi dan mengembalikan kampus sebagai mimbar akademis. Dalam puisi berjudul Mimbar Taufik Ismail memandang ekologi kampus semacam ini: "Di kampus ini/ Telah dipahatkan/ Kemerdekaan// Segala d'spot dan tirani/ Tidak bisa merobohkan/ mimbar kami".

Revolusi Perkotaan

Setelah Orde Lama tumbang lewat keterlibatan demonstrasi mahasiswa, Indonesia lantas dibangun dengan visi pembangunan di tangan Orde Baru. Sistem kota berlangsung dengan penaklukan sebagai syarat utama terkumpulnya modal komunal. Haluan sosial dan politik kota dibagi-bagi dalam tatanan-tatanan pembagian kerja yang kemudian dikenal sebagai instansi atau birokrasi. Gurita birokrasi dalam bentuknya yang negatif, lalu menyuburkan kedestruktifan dan keserakahnnya karena menjalankan segala sesuatu berdasar pada panji keuntungan untuk kepentingan pribadi dengan cara ikut serta bermain dalam arus perdagangan pasar. Maka tak mengherankan bila merajalelanya korupsi terjadi, seperti yang ditulis oleh Rendra dalam Sajak Ibunda, ini:

"Maling punya ibu. Pembunuh punya ibu./ Demikian pula koruptor, tiran, facist,/ wartawan amplop, dan anggota parlemen yang dibeli,/ mereka pun juga punya ibu// ...Apakah sang anak akan berkata pada ibunya:/ �Ibu, aku telah menjadi antek modal asing,/ yang memproduksi barang-barang yang tidak mengatasi/ kemelaratan rakyat// ...Ibu, kini aku makin mengerti nilaimu./ Kamu adalah tugu kehidupanku, /yang tidak dibikin-bikin hambar seperti Monas dan/ Taman mini."

Ekologi perkotaan dalam puisi itu secara psikologis mengemuka seperti yang dikatakan oleh Lewis Mumfort (dalam Fromm, Akar Kekerasan. 2000 : 224) bahwa masyarakat kota di satu sisi bersifat cermat dan efisien, tapi di sisi lain acap destruktif, sadis, dan cenderung suka membangga-banggakan monumen-monumen seakan prestasi yang tertandingi. Padahal monumen itu malah menunjukkan kemegahan yang timpang dengan keadaan ekonomi mayoritas masyarakat. Dengan nada sinis, Wiji Thukul menggambarkan kejelataan dan kekerasan lewat Monumen Bambu Runcing: Monumen bambu Runcing/ di tengah kota/ menuding dan berteriak merdeka/ di kakinya tak jemu juga/ pedagang kaki lima berderet-deret/ walau berulang-ulang/ dihalau petugas ketertiban.

Dengan adanya ragam ekologi yang bergeser dari penguasaan laut, ditembusnya desa, pembangunan kota yang melibatkan kontradiksi lembaga militer, agama sampai instansi pendidikan dan birokrasi politik; pada akhirnya, ragam ekologi sastra dapat dibaca sebagai bagian pembacaan kritis terhadap alur perkembangan konteks sosial historis bangsa pada suatu masa. Ragam ekologi sastra juga menunjukkan bahwa bangsa Indonesia--sebelum dan setelah merdeka--ternyata belum beranjak sebagai bangsa yang untuk ke sekian kalinya menjadi korban eksploitasi dari keserakahan, kepentingan-kepentingan kekuasaan yang acap berujung pada kekerasan, penderitaan, dan jatuhnya korban.

* Abdul Aziz Rasjid, Peneliti Beranda Budaya, tinggal di Purwokerto

Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 Mei 2010

Saturday, May 29, 2010

[Teroka] Rembuk dalam Demokrasi dan Konstitusi Kita

-- Bandung Mawardi

PADA 1994, budayawan Umar Kayam (almarhum) mengajukan sebuah inisiatif untuk melihat konstitusi negeri—dari rumusan awal hingga amandemennya—sebagai sebuah ”bacaan kultural”. Pemahaman ini perlu diwartakan kembali pada saat para elite meributkan pasal-pasal konstitusi sekadar sebagai bacaan politik atau bacaan hukum saja. Bahkan, diyakini secara absolut ”kebenaran-kebenaran” yang terkandung di dalamnya.

Maka dengan itu, UUD 1945 juga Pancasila, sebagai ideologi yang termaktub di dalamnya, pun kian keras dan membatu dalam tafsir yang sarat kepentingan politik dan hukum. Kondisi ini membuat proyek demokrasi mirip laboratorium sesak rumus, tetapi melupakan makna kehadiran manusia. Kondisi tersebut membuat kisah demokrasi di negeri ini hampir melupakan kultur berembuk sebagai modal historis dari adab dan adat pelbagai komunitas lokal.

Penerjemahan berembuk sebagai musyawarah dalam praktik politik kini tak lebih dari gula-gula, pemanis yang artifisial. Berbagai produk politik, hukum, ekonomi, atau pendidikan memang memiliki klaim sebagai hasil kerja rembukan atau musyawarah, tetapi ia mengandung bias dan manipulasi. Manipulasi itulah yang membuat demokrasi di negeri ini terluka, dan sejarah lokalitas pun terbantai oleh doktrin-doktrin politik modern yang tak memiliki rahim di negeri ini.

Pewartaan dan penguatan kembali kesadaran akan produk-produk konstitusional sebagai ”bacaan kultural” berpeluang mereparasi luka itu, membuka kemungkinan tafsir yang lebih elegan dan multiperspektif. Kesadaran ini susut karena para elite memilih pertengkaran demi klaim tafsir atas nama pamrih hukum, politik, atau ekonomi.

Pertarungan tafsir dengan segepok argumentasi demi memenangi urusan. Mereka membaca sekian undang-undang dan peraturan mirip mengeja abjad secara terbata, tetapi arogan. Mereka alpa tentang ”bacaan kultural” sebagai strategi mendekati dan mencari solusi.

Rembuk Gelap

Politik Indonesia adalah politik pertarungan untuk menang atau kalah. Filosofi musyawarah mengacu pada UUD 1945 dan Pancasila telah diabsenkan karena gairah kekuasaan dan kapital. Proyek demokrasi termaknai dalam model transaksi atau konflik. Pelupaan ”bacaan kultural” juga menentukan keruntuhan kultur berembuk karena uang sanggup bicara atau jabatan sebagai penentu jalannya dialog.

Pentas kultur berembuk memang masih disajikan di parlemen atau ruang-ruang kekuasaan, tetapi tak tercatatkan dalam nalar dan dokumen resmi. ”Rembuk belakang” atau ”rembuk gelap” justru lebih kerap terjadi dan mengunci hasil tawar-menawar kekuasaan dan kepentingan.

Kultur ”rembuk gelap” menentukan nasib Indonesia. Kekisruhan kebijakan politik, ekonomi, pendidikan, atau kesehatan, bahkan kasus korupsi, kerap rampung melalui ”rembuk gelap”. Pelaku dari ”rembuk gelap” adalah para elite, oknum, pengusaha, hakim, jaksa, polisi, cukong, mafia, atau makelar, sesuai kepentingan dan harga.

Berembuk atau musyawarah sebagai fondasi demokrasi disingkirkan demi meloloskan kebijakan memaksa dan mengikat. Berembuk telah tergantikan melalui bahasa kekerasan atau penekanan.

Demokrasi dalam tradisi

Umar Kayam justru sejak lama mengingatkan tentang musyawarah sebagai modal pertumbuhan demokrasi. Modal besar itu tidak perlu harus mengimpor dari Amerika atau Eropa. Komunitas sosial-kultural di negeri ini telah memiliki modal itu sejak lama. Kultur masyarakat berembuk bersemi di Sumatera, Jawa, Bali, dan lain-lain.

Kultur itu dinamai Kerapatan Nagari, Rembuk Desa, Musyawarah Subak, dan lain-lain. Modal-modal ini dimatikan oleh politik pasar bebas dalam paket demokrasi global. Lokalitas mesti dikorbankan atas nama kebijakan global yang sebenarnya menyembunyikan kepentingan sempit dari kuasa modal.

Pembelajaran demokrasi di negeri ini tampak mengandung kesalahan. Model memasok modul demokrasi ala Amerika atau Eropa ternyata tak manjur dalam memenuhi hak-hak rakyat.

Tiada lain, alternatif tradisi mesti berani dihidupkan. Kultur masyarakat berembuk mesti digairahkan kembali dengan semua konteksnya. Kesadaran atas segala produksi konstitusi sebagai ”bacaan kultural” juga harus mencerahkan perspektif untuk menunaikan misi demokrasi. Jalan masih terbuka dan ”bimbang demokrasi” memerlukan jawaban.

* Bandung Mawardi, Ketua Redaksi Jurnal Kandang Esai, Koordinator Bale Sastra Kecapi Solo

Sumber: Kompas, Sabtu, 29 Mei 2010

Nasib Perempuan yang Terpinggirkan

-- Sunaryono Basuki Ks


SEJAK terbitnya novel tebal Merajut Harkat karya Putu Oka Sukanta ( 1999) maka sedikit-demi sedikit muncul buku-buku lain baik novel atau laporan dari orag-orang yang merasa terpinggirkan (subaltern), yang sering disebut sisa-sisa G30 S seperti buku Aku Eks Tapol tulisan Hersi Setiawan. Mereka menanggung stigma eks PKI atau eks Tapol dan dianggap berbahaya sebab dikira bisa meracuni generasi muda dengan pikiran-pikirannya.

Putu Oka Sukanta kelahiran Banjar Tegal, Singaraja adalah salah seorang tokoh Lekra yang pernah dijebloskan ke dalam bui untuk beberapa tahun lamanya tak tahu apa salahnya. Di bui itulah dia belajar ilmu akupunktur dari seorang tahanan beretnis Tionghoa, dengan tujuan menjaga kesehatan sesama tahanan. Karena itulah sekeluar dari penjara dia menjadi ahli akupunktur dan obat-obatan.

Berbeda dengan Oka Sukanta, Nusya Kuswantin bukanlah aktivis, dia adalah pewarta dan kolomnis dan mengumpulkan data mengenai novelnya Lasmi dari lapangan, yakni kenyataan mengenai kekerasan dan kaum terpinggirkan.

Anehnya, Lasmi adalah akronim dari Lama Sekali Mimpinya, sebagaimana dia tulis dalam bukunya, sebab novel ini sudah digagas selama lima tahun baru selesai. Sebetulnya, hal ini biasa terjadi di antara para penulis, yang bisa memendam konsep novelnya sampai sepuluh tahun lebih.

Tentu bukan dia satu-satunya pewarta yang menulis novel. Noorca M.Massardi malah menulis dua novel yakni September dan d.i.a dan Presiden. Setting cerita di sebuah desa dipinggir kota Malang, walau pun nama- nama empat sama sekali tidak disebut. Kita bisa menduganya dengan penyebutan foto studio di Kayutangan (nama jalan, sekarang Jl. Basuki Rachmat) serta Restaurat Oen yang saat itu restoran paling menonjol di Malang dan sekarang menjadi restoran klasik tempat orang-orang tempo doeloe bernostalgia.

Juga disebut kota yang sejuk dengan sejumlah bukit yang indah (yang pasti kota Lawang) dengan Rumah Sakit Jiwa. Nama kota itu pun tak disebut. Juga bukit yang disebut Gumuk, yang kira-kira di Gunung Arjuno. Di dalam salah satu episode awal kisah ini diceritakan Sut dan Lasmi naik oplet ke kota dan ada pengemis ikut yang dibayari oleh Lasmi pada tahun 1957. Mungkin saat itu masih beroperasi kendaran roda tiga yang disebut demo (bukan bemo yang mulai beroperasi tahun 1962 setelah Asian Games di Jakarta). Demo dengan setir lengkung yang digerakkan ke kanan kiri tetapi bukan diputar sepertui setang bemo sekarang ( yang juga sudah tak beroperasi).

Kita tentu tak perlu menduga-duga lebih jauh mengenai desa tempat Pak Kerto, Bu Kerto dan Lasmi hidup, sebuah desa yang tak terlalu jauh dari Lawang karena dari situ Bu Kerto dapat datang ke Gumuk. Desa yang terpencil itu menjadi setting kisah mengharukan ini: ketulusan Sutikno, guru Sekolah Rakyat di desa yang jujur, menghargai pendapat orang, tenang, semua kebaikan Sut ini pada bagian akhir novel diungkapkan di dalam surat panjang yang ditulis Lasmi di Gumuk 27 Desember 1965 sebelum Lasmi menyerahkan diri kepada aparat keamanan. Dalam realitas agak aneh di sebuah gubuk di bukit Lasmi mampu menulis surat sepanjang 17 halaman buku novel ini.

Namun kita dapat memahaminya, surat tersebut dipakai untuk mengungkapkan perasaan dan pendirian Lasmi mengenai Sutikno yang berperan sebagi narrator kisah ini, tentang anak mereka Bagong yang meninggal, tentang sikap Lasmi di dalam mempertanggung-jawabkan tindakannya di masa lalu sehingga dia melapor dan kalau akan dibunuh, harus disaksikan oleh banyak orang.

Deskripsi yang Teliti

Watak Lasmi kita pahami melalui deskripsi yang sangat teliti, yang seolah-oleh dilakukan oleh Sutikno, sang narrator yang kemudian menjadi suami Lasmi. Dimulai dengan pertemuan keduanya saat Pemilihan Majelis Daerah 29 Juli 1957. Lasmi sebagai petugas nampak sederhana tanpa mengenakan pehiasan secuil pun bahkan anting pun tidak. Kesan pertama ialah Lasmi berani melawan arus!

Di bagian ini juga dilukiskan mengenai kebiasaan wanita Jawa dalam memelihara tubuhnya sampai sangat mendetail, mungkin gara-gara pengarangnya adalah seorang kolumnis dan penulis tetap rubrik rumah dari sudut pandang perempuan, padahal deskripsi itu dilakukan oleh Sutikno!

Di dalam novel ini disebutkan Lasmi mengikuti training ke kota saat dia dalam proses digaet oleh Gerwani unuk mengganti nama TK Tunas dengan TK Melati, yang saat itu memang tersebar di mana-mana dan dikenal sebagai TK yang berafiliasi dengan PKI. Istilah training belum dipakai saat itu, dan yang lebih dikenal di kalangan ormas PKI adalah istilah kursus kader. Memang demikianlah nasib Lasmi yang buta politik. Dengan tujuan mulia mendidik anak-anak bahkan membuka kursus buta huruf bagi orang tua di rumahnya, dia tidak tahu bahwa bantuan guru menjahit untuk anak-anak perempuan putus sekolah dimanfaatkan oleh Gerwani untuk bergabung dengan mereka. Namun, kesalahan kecil itu tidak membuat novel ini menjadi buruk. Mungkin pengarangnya tak mengalami masa itu dan mencobha memindahkan istilah masa kini ke masa lalu. Selamat membaca tentang wajah Jawa Timur tahun enam puluhan. ***

* Sunaryono Basuki Ks, Novelis kelahiran Malang, berdomisili di Singaraja, Bali.

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 29 Mei 2010

Pancasila sebagai 'Ideologi Semu'

--Hardi Hamzah


PERDEBATAN panjang tentang ideologi terus bergulir, ini terjadi pada paruhan pertama 79-an, di mana ketika itu sedang gencar-gencarnya penataran P4, suatu indoktrinasi yang berbau proyek parsial dan pragmatis.

Pancasila, selama 32 tahun menjadi bahan diskusi dan perdebatan di kalangan ilmuan ketika itu. Sementara itu, di pihak pemerintah terjadi indoktrinasi besar-besaran. Karena indoktrinasi disesuaikan dengan kehendak untuk mengukir kesejarahan rezim, bagaimanapun dikesankan di rezim Soeharto Pancasila sangat sakti, meskipun hari lahirnya tidak pernah diperingati. Sosok bagaimana Pancasila kok bisa sakti, tetapi kelahirannya tidak pernah ada, itulah sejarah. Di era ini, Pancasila menjadi patok utama suatu merek dagang politik, namanya demokrasi Pancasila.

Sementara itu, dalam perdebatan akademis, Mubyarto (1982) mencari bentuk ekonomi Pancasila, dan Arief Budiman meng-counter-nya dengan sosialisme modern yang egalitarian. Kendati belum ada benang hijau yang jelas tentang Pancasila itu sendiri, perdebatan tentang Pancasila terus dilakukan. Yang cukup spektakuler ketika itu, adanya kongres di Yogya tentang Pancasila sebagai epistimologi sains sosial (1987). Kongres yanng berlangsung dua puluh tiga tahun lampau itu, kenyataannya tidak menghasilkan apa-apa.

Di era Sueharto, Pancasila memang sangat sakral untuk diotak-atik. Pancasila hanya boleh dirujuk lewat formulasi P4 dan BP7, ketika itu koridornya telah baku, ia diimplementasikan dari penataran ke penataran, sehingga rutinitas proyek ini hanya sekadar instrumen pelengkap penderita atau pelengkap penggembira dari rezim yang ada. Jadilah Pancasila hanya sebagai huruf-huruf mati di bawah bayang-bayang status quo. Padahal, ideologi, kalau hanya di bawah bayang-bayang status quo, hampir dapat dipastikan, ideologi akan mandul, tidak mengakar, bahkan jauh dari rakyat. Terlebih lagi ideologi itu terkurung oleh kekuatan militer, ia justru akan menampilkan bentuk pseudo idelogy (ideologi semu), dalam arti ketidakpastian dan kepura-puraan di tingkat elite politik. Karena ideologi akan larut oleh kegamangan dan kediktatoran. Itulah yang terjadi pada era Soeharto melalui pemanisnya demokrasi Pancasila.

Di era reformasi, ketika dunia semakin tak terbendung, masing-masing membawa napasnya sendiri-sendiri. Semisal, puritanisme agama dalam berbagai bentuk haroqah, munculnya aliran Islam keras, ekstrem kanan, tadikalisme, sekularis, Islam nasionalis, dan lainnya. Maka Pancasila yang kita agung-agungkan sebagai way of life itu mati suri, setidaknya pingsan di tengah arus yang over loading dewasa ini. Arah dan pandangan kita, pun menjadi tidak jelas, belum lagi kita meniadakan GBHN, dan menganakemaskan otonomi, ekonomi pasar, politik anarkistis, pilkada dengan segala kehebohannya, Pancasila sudah jauh tercecer.

Dalam tulisan ini, penulis, hanya sekadar melihat, betapa Pancasila sebagai way of life, sesungguhnya telah dan harus, bahkan secara sederhana, mudah mengimplementasikannya. Ini kalau sebagai bangsa kita concerned, bahwa Pancasila adalah dasar negara. Kita lihat saja, Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Jelas, kita adalah masyarakat yang berketuhanan. Dan ritus keagamaan yang normatif itu, jalankan saja dahulu, nanti kita bicara tentang nilai yang berkaitan dengan kualitatif. Tapi coba ritual biarlah, tapi kita jalankan salat lima waktu. Lantas Sila Kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Kok rasanya kita semakin lama semakin jauh dengan nilai-nilai kemanusiaan. Pengungkapan skandal HAM yang tercecer, ketidakpedulian kita terhadap kaum duafa semakin menguatkan kita sebagai bangsa yang tidak beradab.

Persatuan Indonesia, sebagai sila yang ketiga. Ancaman disintegrasi pragmatis seperti OPM nyata-nyata semakin menunjukkan kekuatannya. Konflik horizontal dan kolonialisasi budaya kita serta kepulauan kita oleh bangsa serumpun, tidak sedikit pun kita memberi perlawanan yang berarti. Kalaupun ada, itu hanya gagah- gagahan kaum elite yang tidak menganggap rakyatnya serius untuk menyatukan orientasi. Ini dapat terlihat ketika Malaysia sekehendak hati mencabik kebudayaan kita.

Sedangkan Sila Keempat, yang mengajak kita untuk berdemokrasi melalui musyawarah lewat wakil-wakil kita, ternyata wakil-wakil kita justru mendahulukan conflict of interest dan vested interest, bahkan menjadi pelacur yang memakai topeng kekuasaan. Kalau empat sila ini telah tercecer, lalu, tentu kemustahilan bila sila kelima yang beresensi keadilan sosial bagi seluruh rakyat bisa terwujud. Sebab, apa pun pengertiannya, bila terjadi satu saja deviasi (penyimpangan) terhadap butir Pancasila, yang terjadi adalah siapa menyubordinasi siapa. Majikan hanya tahu kewajiban buruh, tanpa pernah mau tahu hak-hak buruh. Sementara itu, politisi yang bertopeng tadi, hanya mau adil bila kepentingannya terpenuhi oleh jajarannya. Indikasi ini terlihat pada sekgab koalisi, yang dengan dibentuknya sekgab koalisi ini rakyat semakin tercecer. Dengan demikian, simpul sederhananya, Pancasila tetap kita taruh di menara gading yang tinggi, implementasi adalah suatu kemustahilan, kasihan founding father kita.

* Hardi Hamzah, Ketua Kelompok 11 dan staf Ahli Mahar Fondation

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 29 Mei 2010