Sunday, February 28, 2010

[Buku] Mendulang Bangsa yang Hilang

-- Bernando J Sujibto

Siapa pun akan bergeming jika menyaksikan banyak bangsa harus lenyap tanpa menyisakan warisan sejarah. Bangsa yang lenyap itu, secara arif, harus diakui keberadaannya dan dihormati sebagai bagian dari proses peradaban manusia.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO



Keyakinan ini menancap di dada Milorad Pavic, profesor sejarah kesusastraan Universitas Beograd yang juga merupakan salah satu penyair kenamaan Yugoslavia. Pavic membuktikan diri dengan menuliskan ini. Baginya, apa yang ia rangkai ini sebagai upaya menghadirkan kembali memori masa silam sebuah bangsa, yaitu bangsa Khazar. Ia mencoba menelusuri berbagai sumber dan gelombang perseteruan bangsa itu. Meski karya fiksi, novel ini tetap menjadi penjentik ingatan kolektif kita pada sebuah bangsa yang sempat mempunyai peradaban gemilang pada masanya.

Tidak bisa dimungkiri, sejarah telah mencatat dengan tinta merah tentang bangsa-bangsa yang lenyap tanpa jejak. Bisa disebutkan beberapa bangsa yang senasib dengan Khazar, seperti Inca (1438-1533) di Peru dan Aztek di Meksiko sekitar abad ke-12. Juga Mohenjodaro, Harappa, dan Arya yang hidup di lembah Sungai Indus (Pakistan sekarang) 2000-1000 SM. Mereka nyaris tidak menyisakan warisan sejarah dan peninggalan. Kebanyakan musnah karena penaklukan, perang, dan ekspansi tanah jajahan, juga tak luput karena bencana alam.

Nama ”Khazar” (Khazaria: Arab) berkaitan dengan kata kerja bahasa Turki yang berarti ”mengembara” (gezer dalam bahasa Turki modern). Pada abad ke-7 M mereka mendirikan sebuah Khaganat (nama kerajaan Khazar) yang mandiri di Kaukasus Utara di sepanjang Laut Kaspia. Pada puncak kejayaannya, mereka dan cabang-cabang mereka menguasai sebagian besar dari wilayah Rusia selatan sekarang, Kazakhstan barat, Ukraina timur, dan sebagian besar Kaukasus (termasuk Dagestan, Azerbaijan, dan Georgia), serta daerah Krim. Bangsa Khazar memasuki catatan sejarah ketika mereka memerangi bangsa Arab dan bersekutu dengan Kekaisaran Bizentium pada 627 M (hal 10).

Semesta religiositas

Menjajaki sejarah Khazar bagai menyelami laut keruh dan bahkan hitam. Kepastian sejarah yang bisa diandalkan belum bisa diyakinkan. Karena itu, hadirnya novel ini menjadi istimewa di tengah kebingungan para sejarawan mencari fakta. Pavic sangat lihai mencampuradukkan sejarah dengan fiksi melalui novel bergenre baru dengan eksperimen-postmodern yang belum dilakukan oleh novelis lain. Cara penyusunan yang unik dan sangat rapi, seperti sebuah ensiklopedia, menjadi keistimewaan yang tinggi dalam novel ini.

Novel ini secara spesifik mengambil fase pergolakan kehidupan Khazar di abad ke-9 M hingga awal abad ke-10 M. Ketika itu terjadi sebuah peristiwa krusial yang menentukan masa depan bangsa Khazar, yang disebut Polemik Khazar. Ini adalah peristiwa perpindahan mereka dari keyakinan asli mereka (tidak diketahui) ke salah satu (juga tidak diketahui) dari tiga agama yang dikenal pada masa lalu maupun sekarang—Yahudi, Islam, atau Kristen. Keruntuhan Imperium Khazar terjadi tak lama setelah perpindahan agama itu. Seorang panglima perang Rusia abad ke-10, Pangeran Svyatoslav, menelan Imperium Khazar layaknya melahap sebuah apel tanpa perlu turun dari kudanya (hal 11).

Polemik Khazar yang melibatkan tiga agama besar di atas menambahkan kecemerlangan novel ini. Kelebihannya karena menyajikan khazanah agama-agama besar di muka bumi yang mempunyai sejarah panjang dalam peradaban kemanusiaan. Semesta religiositas ini sangat menonjol dan dominan di tangan Pavic. Ia mencoba proporsional dalam menyajikan sumber-sumber tentang Khazar dalam perspektif agama Kristen, Islam, dan Yahudi ke dalam tiga jilid, yakni Buku Merah (dengan sudut pandang Kristen), Buku Hijau (dengan sudut pandang Islam), dan Buku Kuning (dengan sudut pandang Yahudi). Masing-masing memberikan penjelasan tentang bangsa Khazar dan polemik yang menyertainya.

Tiga agama di atas dalam studi agama disebut sebagai agama samawi atau agama yang turun dari langit. Mereka telah menunjukkan dirinya sebagai agama yang mempunyai peradaban penting masing- masing. Ketiga agama di atas lahir dari tanah yang sama, yaitu Jerusalem.

Novel ini mencoba menyeimbangkan dan membangun jembatan dialogis tentang Khazar dari sumber ketiga agama di atas. Dengan demikian, tampak sekali harmoni dan sinergi yang hendak dibangun Pavic. Ia tidak menonjolkan satu agama dalam memberikan keterangan tentang bangsa Khazar. Pavic sangat cerdik dengan melakukan kerja serius untuk mengumpulkan narasi-narasi dari ketiga agama secara adil dan bijak. Karena itu, meskipun ini hanya fiksi, semua orang yang paham tentang sejarah pada masa itu akan merasa puas terhadap mahakarya Pavic ini.

Keistimewaan lain, ketika membaca novel ini, kita dibebaskan untuk memulai dari mana saja, sesuai dengan selera, keyakinan, dan kecenderungan latar belakang masing-masing. Dimulai menurut konteks latar agama, dipersilakan, pun dari tokoh-tokoh ketiga agama yang bisa saja ditemukan dalam novel ini. Namanya saja sebuah ensiklopedia dengan subyek yang sama, yaitu Khazar.

Sebuah gugatan

Hadirnya novel ini mempunyai makna yang kompleks. Ia bukan saja hanya menghadirkan memori kolektif sebuah bangsa, dengan rekam jejak sejarah dan bekas-bekas peninggalannya. Lebih jauh, novel ini sepertinya ingin menggugat ”mayoritas” atau siapa pun bangsa dan negara yang mempunyai kekuatan besar. Mereka yang kemudian menggunakan kekuatan itu untuk menghabiskan sebuah suku, agama, bangsa, ataupun negara ”minoritas”.

Dengan novel ini, Pavic ingin menegaskan diri sebagai duta kaum minoritas, terpinggirkan, dan kalah. Ia memberikan pelajaran penting bagi peradaban manusia masa kini tentang bagaimana harus menyikapi khazanah dan kekayaan yang beraneka ragam mengenai sebuah bangsa dan negara. Meskipun tidak secara tersurat membeberkan semua itu, Pavic tetap saja menunjukkannya dengan konsisten, tekun, dan bersabar, yaitu melalui upaya penelusuran tentang jejak sejarah dan sumber penting yang terjadi di balik bangsa Khazar.

* Bernando J Sujibto, Pembaca Buku dan Editor; Tinggal di Yogyakarta

Sumber: Kompas, Minggu, 28 Februari 2010

Seni Pesantren: Menimbang Akar Segala Krisis

-- Arahmaiani

PAMERAN seni rupa di galeri ataupun pada acara semacam bienial dan festival memang biasa, tetapi jika ada pameran di sebuah pesantren, itu baru hal luar biasa. Beberapa waktu lalu telah diselenggarakan sebuah pameran seni rupa dengan menghadirkan perupa ternama, di antaranya Nasirun, Dian Anggaraini, KH Mustofa Bisri, dan KH Zawawi Imron, di Pesantren Kali Opak, Piyungan, Yogyakarta.

Pameran ini diselenggarakan sebagai bagian dari perhelatan seni dan workshop pada acara Muktamar Kebudayaan Nahdlatul Ulama (NU) Indonesia pertama. Dengan mengusung tema ”Inventory” kegiatan ini berlangsung secara bertahap mulai dari November 2009 hingga awal Februari 2010.

Selain menggelar pameran seni rupa, acara yang diprakarsai Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) ini juga menyertakan kegiatan workshop film pendek untuk para santri dan kegiatan sastra serta teater dengan mengundang santri-santri penggiat dari seluruh Jawa. Kemudian menghadirkan penulis kenamaan, seperti Ahmad Tohari dan Acep Zam-zam Noor, untuk tampil berbicara. Diresmikan pula Limasan Kali Opak yang dirancang sebagai ruang publik untuk kegiatan keagamaan, kesenian, dan kebudayaan. Selain tentu saja sebuah galeri apik lengkap dengan panil-panil dan lighthing yang baik.

Kegiatan lain yang menjadi kegiatan utama adalah muktamar kebudayaan yang diikuti oleh komunitas-komunitas santri dan komunitas-komunitas seni dari sejumlah daerah. Juga diselenggarakan seminar sehari dengan tajuk ”Pesantren, Seni Rupa & Dialog Antarbudaya,” dengan menghadirkan pembicara St Sunardi, Abdul Mun’im DZ, Bisri Effendi, dan saya sendiri. Dan, yang tak bisa dilewatkan tentu saja peringatan wafatnya Gus Dur karena bersamaan dengan berjalannya rangkaian penyelenggaraan kegiatan itu, Gus Dur dipanggil pulang oleh Yang Maha Kuasa.

Bagi generasi muda serta mereka yang awam dan tak terlalu mengikuti perkembangan sejarah kebudayaan mungkin akan menganggap Lesbumi sebagai lembaga kebudayaan baru. Namun, kilas balik sejarah menjelaskan bahwa lembaga ini didirikan pada tahun 1962 sebagai sayap politik bidang seni budaya Partai NU. Lanskap sejarah politik-kebudayaan pasca-kemerdekaan memang kental diwarnai kemunculan berbagai macam lembaga seni budaya yang mencerminkan keberagaman ideologi politik-budaya.

Kilas balik sejarah

Dalam kehidupan sosial politik kala itu, Lesbumi dianggap sebagai lembaga kebudayaan yang didirikan untuk merespons sekaligus menandingi Lekra yang telah menunjukkan kedekatan dengan ideologi Partai Komunis Indonesia (PKI). Satu hal yang menarik, karya seni budaya organisasi-organisasi kebudayaan ini dipublikasikan melalui media massa masing-masing partai politik. Publikasi ini acap kali memicu timbulnya polemik seperti perdebatan mengenai realisme sosialis dan jargon ”politik adalah panglima” yang menjadi penggerak aktivitas Lekra di satu pihak dan humanisme universal dan semboyan ”seni untuk seni” (l’art pour l’art), yang menjadi elan vital kelompok Manifes Kebudayaan di pihak lain.

Dalam pertarungan ideologi politik-kebudayaan seperti itu, tidak banyak diungkapkan bahwa Lesbumi mengambil posisi lain lagi. Berbeda dari Lekra atau kelompok Manifes Kebudayaan, Lesbumi berpandangan bahwa seni mesti mempunyai tujuan dan tujuan itu adalah tujuan dari seluruh rakyat Indonesia: membentuk suatu masyarakat ”ber-Tuhan”, di mana tidak ada kezaliman, di mana keadilan berkuasa, di mana kemakmuran menjadi milik bersama. Oleh karena itu ”isme” dalam kebudayaan-kesenian menjadi tidak penting. Yang penting adalah ”gaya pribadi seorang budayawan-seniman untuk mengungkap sesuatu yang hendak ia sampaikan kepada masyarakat”.

Tampaknya hal itu kemudian hanya menjadi artefak sejarah yang tenggelam dalam dinamika pergerakan di tubuh NU sendiri. Semenjak era Reformasi dimulai, NU yang tidak lagi menjadi partai politik, seperti kehilangan arah dalam lapangan politik-kebudayaan. Jejak dan sumbangsih NU dalam perdebatan kebudayaan seperti sirna dan hilang tertelan bumi. Apakah mungkin karena warga NU kini banyak yang mendirikan partai politik dan berkiprah di bidang itu? Atau terbawa arus umum yang memandang bidang kebudayaan sebagai kurang penting jika bukan hanya sebagai komoditas dan alat pendukung kekuasaan belaka?

Kebangkitan kembali?

Dalam Surat Kebudayaan yang diterbitkan sesudah dilangsungkannya muktamar, jelas mengindikasikan seniman dan budayawan NU kini telah bangkit dari mati suri. Dan, memutuskan untuk ikut aktif memperjuangkan kebudayaan sebagai sumber atas khazanah pengetahuan, nilai, makna, norma, kepercayaan, dan ideologi. Ataupun sebagai praktik dan tindakan dalam mempertahankan dan mengembangkan harkat kemanusiaan. Akibatnya, kebudayaan akan memiliki fungsi dan peran untuk membangkitkan kembali vitalitas dan menjadi kekuatan yang menentukan.

Diasumsikan bahwa kebudayaan kini mengalami krisis, proses pengasingan (alienasi), dan pemiskinan yang disebabkan oleh dominasi tiga kekuatan, yaitu, pertama, kapitalisme pasar yang menilai kebudayaan dari sudut pandang pragmatis semata sehingga manusia ditempatkan sebagai obyek dan bukan subyek. Kedua, negara yang menempatkan kebudayaan semata sebagai pendukung kekuasaan atau legitimasi politik. Dan, ketiga, formalisme agama yang menempatkan kebudayaan bukan sebagai energi sosial yang menopang tumbuh-kembangnya harkat manusia dan malah lebih jauh lagi kebudayaan dilihat sebagai praktik yang ”menyimpang” dari ketentuan hukum agama.

Dengan landasan tersebut, Lesbumi merasa perlu membuat pernyataan dan sikap kebudayaan untuk menolak praktik-praktik dominasi tersebut. Dengan demikian, Lesbumi akan dengan tegas menolak seni yang cenderung memisahkan diri dari masyarakat ataupun relativisme historis masyarakatnya serta akan ikut membuka ruang kreativitas dan eksplorasi estetik seluas mungkin bagi para seniman (baik tradisional, modern, dan kontemporer).

Begitulah dengan menyusun agenda dan program kerja ke depan yang tertata dan jelas arahnya, Lesbumi kini hadir dan berpartisipasi dalam perjuangan menjaga posisi kebudayaan Indonesia untuk tetap menjadi tuan di negerinya sendiri.

Berbagai kegiatan seperti pelatihan seni di pesantren, riset dan penelitian, penerbitan jurnal dan situs web, diskusi reguler, pementasan dan pergelaran seni, ataupun publikasi dan dokumentasi akan mewarnai hari-hari yang bermakna. Selanjutnya krisis kebudayaan yang dianggap sebagai sumber dari segala krisis yang menimpa bangsa ini secara bertahap diharapkan akhirnya akan bisa diatasi.

* Arahmaiani, Perupa, Tinggal di Yogyakarta

Sumber: Kompas, Minggu, 28 Februari 2010

[Buku] Sepinya Penerbit Sastra Jawa

-- Tiwiek S.A.*

SIAPA pun tahu bahwa sastra Jawa saat ini berada di ambang kepunahan. Hal yang sangat ditakuti (oleh sastrawan Jawa) ini bisa saja terjadi jika orang Jawa sebagai pemilik sah khazanah sastra Jawa semakin tidak peduli. Kalau saya mengatakan sastra Jawa, tidak berarti kehidupan sastra daerah lain (misalnya, sastra Sunda, Bali, dan Batak) lebih baik. Di sini saya khusus membicarakan nasib sastra Jawa karena kebetulan saya adalah orang Jawa yang selama ini menggeluti sastra Jawa.

Sesuai dengan kenyataan, jumlah penduduk Indonesia yang 200 juta lebih itu sebagian besar adalah orang Jawa. Sehari-hari mereka (kecuali yang sudah tak mengakui kejawaannya) berbicara memakai bahasa Jawa (orang Jawa memang tak perlu malu berbicara menggunakan bahasa Jawa karena dijamin oleh undang-undang). Mengingat orang Jawa masih eksis menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari, mestinya di samping memiliki media nasional, tidak berlebihan jika juga ada media lokal berbahasa Jawa dalam jumlah yang memadai.

Namun, kenyataannya, kini tinggal tiga media berbahasa Jawa yang masih hidup. Yakni, Panjebar Semangat dan Jaya Baya (Jawa Pos Group) di Surabaya serta Djaka Lodang di Jogjakarta. Masih mending koran Suara Merdeka (Semarang) dan Solo Pos (Solo) mau melampirkan halaman berbahasa Jawa. Media tersebut setiap terbit pasti menyajikan sajian sastra, yakni berupa crita cekak (cerita pendek) dan crita sambung (cerita bersambung) yang merupakan sajian unggulan dan banyak penggemarnya. Jumlah media yang hanya tiga buah tersebut sangat tidak sebanding dengan jumlah sastrawan yang setia mengisi, yang jumlahnya terus bertambah. Akibatnya, terjadilah antrean naskah yang sangat panjang. Contohnya, untuk bisa dimuat, suatu cerita pendek harus antre minimal tiga bulan. Bahkan, cerita bersambung baru bisa dimuat setelah antre minimal setahun!

Yang mengherankan, meski harus antre lama dan dengan honor yang sangat sedikit, para sastrawan Jawa tidak kapok. Mereka tetap saja setia mengisi dan belum punya niat beralih profesi (misalnya, beralih ke sastra Indonesia). Eksistensi dan idealisme para sastrawan Jawa itu patut diacungi jempol.

Belakangan, beberapa sastrawan berusaha membuat terobosan baru. Yakni, menerbitkan karya mereka menjadi buku. Usaha itu dilakukan setelah Yayasan Rancage pimpinan Ayip Rosidi memberikan penghargaan terhadap karya sastra Jawa terbaik yang berbentuk buku. Jumlah hadiah yang disediakan (sejak kali pertama didirikan hingga sekarang) Rp 5 juta. Memang tidak seberapa. Namun, itu cukup memacu para sastrawan untuk terus berkarya dan menerbitkannya menjadi buku.

Yang menjadi permasalahan sekarang, ternyata tidak gampang mencari penerbit yang mau menerbitkan buku sastra Jawa. Alasannya, buku sastra Jawa tidak laku dijual! Namun, mereka tidak putus asa. Dengan dimotori Suparto Brata, mereka menerbitkan naskahnya dengan biaya sendiri. Untuk naskah setebal 100 halaman dengan jumlah 250 eksemplar, si pengarang harus merogoh kantong paling sedikit Rp 3 juta. Seandainya buku tersebut menang dalam seleksi Rancage, memang masih untung. Tetapi jika tidak menang, terpaksa memasarkan sendiri. Berbagai cara dilakukan. Misalnya, memasang iklan di media berbahasa Jawa. Atau yang paling gampang (dan ditanggung pasti laku), dipasarkan di acara seminar tentang bahasa dan sastra Jawa. Biasanya, peserta seminar tidak keberatan membeli meski hanya sekadar untuk oleh-oleh. (*)

*) Tiwiek S.A., penggiat sastra Jawa dan pengelola Sanggar Sastra Triwida Tulungagung

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 28 Februari 2010

[Buku] Menjaga Api Soekarno


Judul Buku: Bung Karno; The Other Stories: Serpihan Sejarah yang Tercecer
Penulis: Roso Daras
Penerbit: Imania dan Pustaka Media Mulia
Cetakan: Pertama, November 2009
Tebal: xxxviii dan 276 halaman

TAHUKAH Anda bahwa mobil kepresidenan yang pertama dimiliki Indonesia adalah hasil curian? Sudiro, sekretaris pribadi Soekarno, mendatangi rumah seorang pejabat Jepang yang memiliki mobil jenis limosin bermerek Buick. Hanya ada sopir si pejabat yang terlihat di pekarangan rumah. Sudiro berteriak kepada si sopir, ''Merdeka!'' Kemudian, dia menjelaskan maksud kedatangannya untuk meminta kunci mobil milik majikan si sopir.

''Saya bermaksud mencuri mobil juraganmu, buat presidenmu!'' jelas Sudiro untuk meredakan kebingungan si sopir. Alhasil, si sopir melepaskan mobil milik majikannya kepada Sudiro. Mobil buatan General Motor tahun 1939 tersebut telah menemani Soekarno dalam pelbagai kegiatan yang dia lakoni pada masa-masa awal menjadi presiden RI.

Cerita tersebut adalah salah satu di antara 30 kisah tentang Soekarno yang dihimpun Roso Daras dalam buku setebal 276 halaman ini. Roso Daras dalam buku ini memang menuliskan cerita-cerita tentang Soekarno yang jarang menjadi diskursus publik. Dia menelusuri buku-buku, koran, dan majalah terbitan lawas untuk menghimpun kisah-kisah snapshot perihal Soekarno.

''Api di tungku tidak akan menyala dengan baik kalau kayu tak bersaling-silang,'' demikian peribahasa orang Minang. Roso Daras seolah mempraktikkan peribahasa tersebut melalui buku ini. Kisah-kisah yang dia himpun bukan melulu terkait revolusi, pemikiran politik, atau ideologi Soekarno, namun juga cerita-cerita tentang keseharian, anekdot, dan tingkah unik sang proklamator tersebut. Keragaman tampilan kisah yang disajikan Roso Daras membuat buku ini tampak sebagai sejumput usaha untuk menjaga ''api'' Soekarno.

Khalayak agaknya hanya teringat pada judul pleidoi Soekarno di hadapan pengadilan Hindia Belanda pada 1930, yakni Indonesia Menggugat, tetapi kurang paham pada kisah dan isi pleidoi yang menggetarkan banyak pihak itu. Roso Daras mengingatkan bahwa Soekarno menulis pleidoi tersebut setiap malam hari dengan tangan dan beralas tempat buang air di dalam sel selama 45 hari tanpa henti. Soekarno merujuk kepada 80 buku dan pidato tokoh terkemuka untuk menulis Indonesia Menggugat (hlm. 35-42).

Pleidoi tersebut menjadi bahasan serius di Eropa terkait dengan perlawanan bangsa-bangsa terjajah di Asia. Kisah yang melingkupi Indonesia Menggugat hanyalah sedikit bukti bahwa Soekarno adalah sosok yang cerdas dan responsif merasakan penderitaan masyarakatnya.

Soekarno pun seorang humoris yang selalu memiliki lelucon untuk dibagi kepada lawan bicaranya. Howard P. Jones, duta besar AS, pernah terpingkal-pingkal setelah mendengarkan lelucon dari Soekarno (hlm. 245-248). Sifat humoris memberikan isyarat kepada kita bahwa Soekarno bukanlah pribadi yang memikirkan kehidupan pada segi politik semata. Bahkan, Soekarno juga dikenal sebagai pemikir kebudayaan yang sangat luas pengetahuannya di bidang seni rupa. Boleh dikata, Soekarno merupakan politikus yang mampu mengupas kesenian sebaik menjelaskan pemikiran politiknya.

Roso Daras juga menghimpun kisah-kisah percintaan Soekarno dengan beberapa perempuan hingga gosip affair antara Soekarno dan Marilyn Monroe. Cerita-cerita semacam itu, agaknya, mampu membuat pembaca mengenal sosok Soekarno sebagai manusia biasa yang pernah tersandung cinta.

Bagi saya, kisah yang mengharukan justru datang dari momen Soekarno melamar Rahmi untuk menjadi istri Bung Hatta (hlm. 145-151). Peristiwa yang terjadi beberapa bulan setelah proklamasi dikumandangkan itu memperlihatkan bahwa Soekarno selalu meluangkan waktu untuk memikirkan orang-orang terdekatnya. Soekarno membantu Bung Hatta, yang saat itu berumur 43 tahun dan masih perjaka, untuk mendapatkan istri. Padahal, jamak paham bahwa dua proklamator RI itu sering berselisih dalam pandangan politik. Sikap care yang ditunjukkan Soekarno terhadap Bung Hatta memberikan pelajaran kepada kita bahwa politisi memang harus mampu membedakan urusan politik dan perkawanan.

Suatu kali, Oei Tjoe Tat, menteri negara diperbantukan presidium Kabinet Kerja 1963-1966, pernah tidak percaya diri atas nama Tionghoa yang disandangnya. Karena itu, Oei meminta Soekarno memilihkan nama yang pantas baginya sebagai seorang pejabat negara. Alih-alih menuruti kemauan Oei, Soekarno malah marah dan berkata, ''Apa? Kamu kan orang Timur? Apa kamu sudah kehilangan hormat kepada ayahmu yang memberi kamu nama itu?''

Kisah itu agaknya bisa menjadi pembanding bagi pandangan beberapa lawan politik Soekarno yang menilai pemimpin besar revolusi itu sebagai pribadi bermental Jawasentris.

Melalui buku ini, Roso Daras memang ingin menyuguhkan pemandangan tentang Soekarno sebagai manusia yang multiaspek. Kepribadian presiden pertama RI itu tak bisa dinilai hanya melalui satu kisah. Buku ini merupakan usaha yang baik dalam menyuguhkan sosok Soekarno secara utuh kepada generasi masa kini. Hanya, Roso Daras tak menuliskan tahun terbit dari sumber pustaka yang memuat kisah Soekarno sebagaimana dia nukil dalam buku ini. Hal itu tentu akan menyulitkan pembaca yang ingin lebih lanjut menelusuri kisah tersebut. Walau begitu, kita tetap layak membaca buku ini sebagai langkah dalam mewarisi api, bukan abu Soekarno. (*)

Fenny Aprilia, alumnus FIK Universitas Padjadjaran, penerjemah dan penyunting

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 28 Februari 2010

[Buku] Menyimak Lokalitas di Riau

Judul buku : Nyanyian Kemarau
Penulis : Hary B. Kori'un
Penerbit : Kakilangit Kencana
Cetakan : November 2009
Halaman : x+248 hlm.

MENYIMAK sisik melik lokalitas suatu daerah di Indonesia lewat sudut pandang sastra (cerpen, puisi, novel) tetap jadi ihwal menarik untuk dinikmati. Apa yang mungkin lumrah kita temukan dalam tulisan atau informasi jurnalistik, menjadi berbeda ketika dibaca dalam teks sastra. Selain memasuki wilayah imajiner (fiksi), bisa jadi kita pun akan memergoki sejumlah rekonstruksi fakta yang mungkin sebelumnya tak diketahui pembaca di daerah lain.

Beberapa tahun belakangan, novel Indonesia dipenuhi tema-tema lokalitas, semisal Jawa, Papua, Flores, Batak, dan beberapa daerah lainnya. Akhir tahun silam, bertambah lagi novel bertema serupa. Kali ini dari Negeri Lancang Kuning, Riau. Adalah sastrawan Hary B. Kori'un yang menerbitkan novel anyarnya bertajuk Nyanyian Kemarau.

Novel ini dibuka dengan prolog berupa narasi Sari, wanita keturunan China yang dalam usia muda sudah memiliki posisi strategis di sejumlah perusahaan. Dia sudah tiga tahun berdomisili di Riau. Sebelumnya dia lebih banyak di Jakarta dan kota lain untuk mengurus perusahaan milik bapaknya. Sari kehilangan Rusdi, lelaki perantau dari Riau yang pernah membuat hatinya luluh. Dia menemukan sosok pribadi yang berbeda dalam diri Rusdi, wartawan muda yang masih memiliki idealisme. Relasi personal antara Sari dan Rusdi jadi pemantik untuk mengetahui kisah selanjutnya.

Kisah cinta yang bertepuk sebelah tangan membuat Rusdi memutuskan kembali ke tanah kelahirannya. Di sana dia menjadi wartawan koran lokal. Idealisme membuatnya terlibat jauh dalam mengungkap bisnis pembalakan liar. Dalam pelarian dari lokasi kerusuhan, Rusdi diselamatkan Aida, dokter yang mengabdi di pedalaman Riau. Risiko fatal adalah ketika Rusdi mengalami kecelakaan bersama Aida. Mobil yang dikendarai Aida ditabrak truk dari depan. Aida cacat dan harus duduk di kursi roda. Terdorong rasa cinta dan ingin bertanggung jawab, Rusdi memutuskan menikahi Aida, apa pun kondisinya.

Kisah bertambah kompleks ketika Sari, wanita dari masa lalu Rusdi, melebarkan sayap bisnisnya di Riau. Salah satu tujuan rahasianya adalah mencari Rusdi. Kisah cinta segi tiga berlanjut dengan pertemuan Sari dan Aida atas sepengetahuan Rusdi. Naluri wartawan Rusdi membuatnya mencari tahu ada apa dibalik peristiwa kecelakaan yang dialaminya bersama Aida. Usut punya usut, ternyata kecelakaan itu adalah skenario untuk melenyapkan Rusdi. Aida yang cacat seumur hidup, kemudian meninggal, adalah korban tak sengaja dalam permainan penguasa dan pemilik modal.

Dalam novel ini banyak kita temui fakta-fakta sejarah buram di Indonesia, misalnya peristiwa kerusuhan berbau rasial di Jakarta dan sejumlah daerah menjelang runtuhnya Orde Baru, kejahatan terorganisasi di Jakarta menjelang runtuhnya Orde Baru itu yang melibatkan sejumlah pihak, kekerasan terhadap jurnalis, perlawanan masyarakat daerah (Riau) terhadap kebijakan penguasa yang tak berpihak kepada kepentingan masyarakat setempat dan kearifan lokalnya yang sudah berlaku turun-temurun, pembalakan liar, kesehatan di daerah-daerah terpencil, juga ihwal-ihwal keberagaman (pluralisme). Sepintas novel ini jadi dijejali kompleksitas masalah dan dibebani banyak pesan moral.

Pembaca bisa berimajinasi tentang geografis Riau, plus problem sosial di sana yang mungkin luput terpublikasi ke level nasional. Misalnya, polemik antara warga adat dan perusahaan asing yang di-backing-i pemerintah menjelang pembangunan PLTA Koto Panjang. Walaupun PLTA telah berdiri, ternyata tak juga bisa mencukupi pasokan listrik Riau. Ada juga ihwal pembalakan liar (illegal logging) yang menyebabkan rusaknya hutan Riau dan berdampak negatif pada udara, permainan kotor yang melibatkan banyak pihak dalam pembalakan liar tersebut, dan beberapa lainnya. Fakta-fakta itu berkelindan atau jalin-menjalin dengan kisah cinta segitiga Rusdi, Sari, dan Aida.

Novel ini, yang mengungkit problem sosial politik di Riau, relasi masyarakat setempat atau rakyat kecil dengan penguasa, perusakan alam, dibumbui kisah cinta, sepintas mengingatkan pada cerpen-cerpen atau novel Korrie Layun Rampan yang berlatar Kalimantan. Hary B. Kori'un, bukan nama asing dalam ranah sastra Indonesia, terutama Riau. Karyanya kerap menghiasi media massa, pun acap meraih penghargaan dalam lomba penulisan sastra tingkat lokal maupun nasional. Novel Nyanyian Kemarau ini terasa sekali aroma jurnalistiknya, mirip seperti novelnya terdahulu (Nyanyian Batanghari) yang menggunakan lebih dari satu narator. Cukup beralasan mengingat latar belakang penulisnya sebagai wartawan. Bila novel ini dicetak ulang, tampaknya editor harus merevisi ulang beberapa kesalahan pengetikan yang kelihatan sepele tapi terasa mengganggu. Selain itu, desain kover belakang yang membuat sinopsis jadi sulit dibaca.

Semogalah apa yang telah ditempuh Hary lewat Nyanyian Kemarau ini, menerbitkan buku sastra dan mempublikasikannya secara nasional, bisa diikuti sastrawan-sastrawan muda Riau lainnya hingga ranah sastra Indonesia semakin semarak.

Arman AZ, sastrawan

Sumber: Lampung Post, Minggu, 28 Februari 2010

Saturday, February 27, 2010

Etos Global dan Dialog Peradaban

-- Otto Gusti*

”KENDATIPUN manusia mewajibkan dirinya untuk taat pada norma-norma moral, satu hal tetap tak dapat dilakukan manusia tanpa agama: memberikan pendasaran atas keniscayaan dan universalitas kewajiban-kewajiban moral” (Hans Küng).

Awasan Hans Küng, salah seorang teolog Katolik Jerman terbesar abad ini, dialamatkan kepada masyarakat dan negara sekuler yang beranggapan agama tak punya peran lagi sebagai basis dan orientasi moral publik.

Rambu-rambu kritis atas tendensi pendewaan akal budi manusia dalam masyarakat sekuler mencapai puncaknya dalam kredo Nietzschean: Gott ist tot (Allah sudah mati).

Para pemikir sekuler beranggapan argumentasi dan interpretasi moral religius harus diganti dengan diskursus rasional atau ”paksaan tanpa paksaan dari argumentasi terbaik” (Juergen Habermas).

Namun, realitas hidup konkret, seperti rendahnya taraf pendidikan sebagian besar warga negara miskin di seantero jagat, menunjukkan betapa sulitnya menjelaskan serta menerapkan secara global etos yang mewajibkan dan berlaku universal dengan bantuan diskursus rasional abstrak semata.

Filsafat dapat saja menggunakan instrumen argumentatif dan atas dasar pertimbangan rasional menganjurkan untuk menaati norma-norma moral universal. Namun, filsafat tidak mampu memberikan pendasaran terakhir tak tergoyahkan tentang keharusan dan universalitas nilai-nilai moral.

Krisis paradigma sekuler

Di kalangan masyarakat sekuler sendiri, secara filosofis tak dapat dijelaskan mengapa manusia harus menaati nilai-nilai moral jika ketaatan itu harus dibayar dengan hidupnya sendiri. Untuk apa orang mengorbankan nyawa, misalnya, menentang sebuah rezim totaliter atau represif demi memperjuangkan hak-hak sesamanya yang tertindas tidak dapat dijelaskan secara rasional semata. Dibutuhkan keteguhan iman akan sesuatu yang transenden, melampaui kefanaan dunia ini.

Krisis paradigma sekuler menjadi jelas ketika harus berhadapan dengan persoalan-persoalan moral publik kontemporer, seperti eutanasia, aborsi, dan kloning manusia.

Hanya berpijak pada pertimbangan rasional, moral sekuler tidak dapat membendung maksud seorang pasien sakit parah yang mau mengakhiri hidup lebih awal lantaran penderitaan tak tertahankan lagi. Atau mengapa secara etis aborsi harus dilarang jika bayi di dalam kandungan merupakan buah dari pemerkosaan?

Solusi dari perspektif korban atas persoalan-persoalan ini tidak cukup berpijak pada pertimbangan rasional. Dibutuhkan iman kokoh akan sebuah kekuatan maha tinggi sebagai sumber mata air kehidupan.

Demikian pun krisis ekologis, jurang antara negara kaya dan miskin, terorisme global, serta persoalan mondial lainnya hanya dapat diakhiri lewat revolusi cara hidup. Perubahan cara hidup menuntut orientasi etis kolektif. Masyarakat dunia membutuhkan panduan bersama berupa etos yang berlaku mutlak dan universal.

Etos global

Etos bukan suatu teori atau doktrin filosofis serta teologis tentang moral. Etos adalah kesadaran, keyakinan dasar moral dari dalam diri manusia yang mewajibkannya untuk taat pada nilai-nilai kolektif. Etos adalah kebajikan (virtu) moral.

Kesadaran ini tidak dipaksakan dari luar lewat hukum positif. Ketika mengikuti tuntutan etos, manusia tidak lagi bergerak pada tataran norma eksternal, tetapi sudah masuk ke ranah hati sebagai kompas moral yang memberi arah bagi keputusan dan tindakannya.

Sebagai kesadaran moral, etos global lahir dari persoalan-persoalan yang muncul dalam semua kebudayaan sepanjang zaman. Masalah seputar perlindungan atas hak hidup, hak milik, martabat manusia, dan gender ditemukan di hampir semua kebudayaan.

Persoalan-persoalan ini telah menelorkan norma-norma umum. Betul bahwa kejujuran dan keadilan dihayati secara lain di China atau India dibandingkan dengan Eropa atau Amerika Serikat. Namun, di mana-mana, pembunuhan, pencurian, dusta, serta pemerkosaan yang melecehkan hak hidup, hak milik, martabat, dan gender dianggap sebagai kejahatan.

Nilai-nilai etos global tampil bervariasi dalam setiap kebudayaan berbeda, tetapi selalu mengungkapkan substansi yang sama. Etos hanya menjadi sumbangan konkret bagi perdamaian global jika setiap kebudayaan dan agama-agama giat mengomunikasikan nilai-nilai yang dihayatinya dalam sebuah dialog peradaban.

Dialog peradaban

Persoalan-persoalan global, baik bersifat individual, sosial, politis, maupun ekologis, menjadi semakin kompleks seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi industri modern.

Kompleksitas ini menuntut kerja sama semua komponen sosial, agama dan non-agama. Untuk itu, dibutuhkan etos bersama. Perdamaian dunia menuntut kesadaran kolektif untuk menyelesaikan tanpa kekerasan konflik antarbangsa, antaretnis, dan antaragama.

Agama-agama dan kelompok budaya sekuler butuh etos bersama sebagai basis sebuah dialog peradaban. Itulah budaya tanpa kekerasan dan penghargaan terhadap hak-hak hidup, budaya solidaritas dan tatanan ekonomi dunia yang adil.

Agama-agama dapat memainkan peran sentral dalam membangun etos global. Sebab, di tengah krisis moral rasionalitas modern, agama tetap mampu memberikan pendasaran atas keniscayaan dan universalitas moral. Namun, kedekatan pada yang niscaya dan absolut dapat dengan mudah menggiring agama ke dalam bahaya fundamentalisme dan intoleransi. Maka, di tengah pluralitas, agama-agama harus terus mempromosikan budaya toleransi, kejujuran, egaliterisme, serta kesejajaran antara pria dan wanita.

* Otto Gusti, Filsafat Lulusan Hochschule fuer Philosophie München, Jerman; Dosen di STFK Ledalero, Maumere

Sumber: Kompas, Sabtu, 27 Februari 2010

Festival Teater Remaja 2010: Menonjolkan Kearifan Lokal dalam Kebudayaan Global

SETELAH tahun ditinggalkan begitu saja, festival teater remaja (FTR) yang sebelumnya rutin dilangsungkan setiap tahun kini dihidupkan kembali. Pemunculan kembali festival teater kali ini, yang menurut rencana akan digelar Nopember mendatang di Gedung Kesenian Jakarta, akan menampilkan beberapa perubahan baru. Perubahan tersebut didominasi dengan keinginan menonjolkan kearifan lokal dalam kebudayaan global. Agar misi yang dibawa Festival Teater Remaja 2010 dapat diterima semua pihak, panitia pusat mengawali persiapan festival teater itu dengan serangkaian kegiatan sosialisasi dengan melibatkan sejumlah seniman penggerak teater dari berbagai daerah, juga "empu" teater dari beberapa kota yang selama ini dikenal kerap menghasilkan kelompok kelompok teater berkelas.

Wisran Hadi, seorang perupa yang juga dikenal sebagai tokoh teater dari Padang, Sumbar misalnya, dihadirkan sebagai pembicara. Juga Benny Yohanes dari Bandung, Jabar, kemudian Jose Rizal Manua, Franky Raden serta Niniek L Karim dari Jakarta. Mereka semua itu telah dikenal memiliki pandangan yang cukup dalam tentang teater. Mereka sengaja dihadirkan oleh Direktorat Kesenian Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dalam rangka memberikan pemantapan kepada sejumlah seniman penggiat teater di daerah.

Pemantapan itu menurut Direktur Kesenian Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, Sulistyo Tirtokusumo, perlu mengingat ada kecenderungan baru yang berkembang bagus dewasa ini, tetapi di Indonesia malah cenderung dilupakan. Perkembangan baru itu adalah makin diminatinya kearifan lokal dalam sejumlah pementasan teater di forum internasional. "Karena itu, setelah 6 tahun kita tidak menggelar Festival Teater Remaja, maka pemunculannya di tahun 2010 ini akan kita manfaatkan kearifan lokal itu sebagai muatan utama Festival Teater Remaja 2010," ujar Sulistyo.

Bagi Niniek L Karim, kearifan lokal yang dimiliki setiap daerah di tanah air, memang bisa dijual ke mancanegara dalam bentuk teater. "Kearifan lokal itu bahkan bisa menjadi bagian dari kebanggaan Indonesia. Coba cermati ketika tahun lalu sebuah teater dari Makassar mementaskan Ilagaligo, sebuah legenda rakyat Bugis-Makassar di Brodway, Amerika Serikat. Respon penonton luar biasa memuaskan. Padahal penonton teater yang menonjolkan kearifan lokal dari "Timur" itu bukan saja para seniman teater dari kawasan Broadway Amerika Serikat, tapi juga para pakar seni kebudayaan, pendidik dan pemerhati seni budaya dari sejumlah negara maju.

Jadi, menurut Niniek L Karim yang juga dikenal sebagai aktris berkarakter, teater Indonesia sudah saatnya menonjolkan kearifan lokal. Seni budaya Indonesia sangat unik, karena didalamnya kaya dengan muatan-muatan lokal. Semua itu bisa ditonjolkan dalam pementasan teater dan jika dipentaskan di luar negeri, akan membuat penonton di mancenegara kagum.

Jose Rizal Manua sutradara Teater Tanah Air juga mendukung pernyataan Niniek L Karim. Seniman kelahiran Padang tahun 1954 ini mengaku beberapa tahun silam pernah dilibatkan oleh dramawan WS Rendra tampil dalam drama Bibbob di Broadway, Amerika Serikat. "Asal tahu saja, naskah Bibbob itu adalah permainan keseharian masyarakat Jawa. Dolanan. Tapi dikemas dalam tampilan teater, dan penonton bisa bertahan sampai tuntas menyaksikan Bibbob.

Jose Rizal Manua juga mengaku pernah menonton langsung Jeko Siompo, sebuah pertunjukan rakyat dari Papua yang tampil dalam gaya teatrikal di Amerika Serikat. Ternyata, meski menjual muatan lokal yang hidup di tengah rakyat Papua, pecinta teater di Amerika memgagumi tontonan itu. "Indonesia punya banyak macam daya tarik lain. Jadi bukan cuma punya Joko Siompo. Mudah-mudahan melalui FTR 2010 akan muncul lagi kelompok teater baru yang punya semangat menonjolkan kearifan lokal dalam kebudayaan global," jelas Jose Rizal.

Seniman Franky Raden yang 10 tahun terakhir menghabiskan waktunya mendalami ilmu musik di Amerika Serikat juga mengungkapkan takjubnya melihat penampilan sejumlah teater dari negara berkembang di Amerika.

Setelah menyimak satu persatu penampilan teater dari negara maju, Franky - Juri FTR 2010 - berkesempulan ternyata pakem teater modern yang masih menjadi kiblat pertumbuhan teater di Indonesia, di negara maju seperti Amerika Serikat dan Paris justru sudah diabaikan. Penampilan teater di luar negeri lebih banyak menonjolkan daya tarik alami atau keunggulan-keunggulan khas yang ada di daerahnya. "Beberapa teater dari Jepang sekarang kalau tampil di Broadway juga tidak lagi mengandalkan pakem-pakem teater modern, melainkan kembali ke alam tradisi mereka. Indonesia harus bisa memanfaatkan peluang itu," ujar Franky Raden.

Budayawan Wisran Hadi, kemudian mengajak semua seniman penggiat teater di Indonesia untuk memanfaatkan kearifan lokal yang ada di daerah sebagai sumber ide, gagasan untuk tampil di forum teater global. Kearifan lokal bisa ditemukan setidaknya dalam aktivitas keagamaan, upacara-upacara adat, cerita rakyat, legenda, mitologi, bahasa dan sastra, ragam kesenian khas dan permainan serta asesoris budaya.

Kearifan lokal seperti itu, kata Wisran Hadi, bisa disampaikan dengan ucapan (monolog atau dialog), tertulis maupun lisan, pidato-pidato, yang kesemuanya dikemas dalam bentuk pantun, pepatah-petitih, ungkapan, pemeo. Disamping itu penyampaiannya juga dapat dilakukan dengan gerak (gerak tubuh, prosesi dan tari-tarian), pada musik, pada beragam teater tradisi, pada properti (pakaian, peralatan dan bangunan) pada berbagai upacara adat dan keagamaan. Yang selalu jadi soal dalam berbagai aktivitas teater selama ini adalah minimnya finansial dan sarana untuk kegiatan dan perkembangan teater, juga kekurangmampuan penggiat dan pekerja teater memahami kearifan lokal sebagai suatu kekayaan budaya dan nilai-nilai yang ada dan terpelihara sampai sekarang.

Boleh jadi, kata Wisran lagi, kekurangmampuan itulah yang menjadi puncak kenapa teater menjadi tandus dan gersang, semakin lama semakin tak diminati baik oleh pekerjanya maupun penontonnya, seakan teater kehilangan daya dorong, api semangat untuk dikembangkan.

Padahal dengan memahami semua aspek dalam kearifan lokal, teater akan dapat menjadi sarana ampuh tidak hanya untuk kehidupan dunia teater semata, atau sebagai dokumentasi budaya saja, tetapi lebih dari itu bisa untuk pendidikan budaya, kepribadian dan jati diri bangsa dalam bingkai kesatuan kebangsaan.

Festival Teater Remaja 2010 nantinya akan memperebutkan gelar pemeran pria dan wanita terbaik, sutradara terbaik, aktris terbaik, musik terbaik, grub terbaik, naskah terbaik, poster terbaik, pertunjukan terbaik serta grup favorit terbaik.

Anda ingin ikut berpartisipasi dalam festival tersebut? (Ami Herman)

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 27 Februari 2010

Thursday, February 25, 2010

Langkan: "Workshop" Seni Melayu

FAKULTAS Seni Pertunjukan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) menyelenggarakan workshop ”Menggali Melayu”, 22-26 Februari 2010 di kampus setempat. Workshop menampilkan koreografer dan ahli seni Melayu, Tom Ibnur, serta para penari dan ahli musik Melayu. Penanggung jawab workshop, Nungki Kusumastuti, Rabu (24/2), menyebutkan, workshop setidaknya diikuti 93 orang. ”Mereka, antara lain, adalah mahasiswa, penari, pemilik sanggar, dan guru sekolahan,” ujar penari senior ini. Program ini, tambahnya, dalam upaya menularkan semangat menjaga tradisi, menginspirasi, dan memotivasi kecintaan masyarakat terhadap seni Melayu. ”Seni Melayu sangat kaya, tetapi kekayaan itu belum dieksplorasi maksimal,” kata Nungki. Hasil workshop diharapkan berupa koreografi yang akan dipentaskan pada April 2010 dalam rangka 40 tahun IKJ. (CAN)

Sumber: Kompas, Kamis, 25 Februari 2010

Bahasa Indonesia Lepas dari Peran Negara

JAKARTA, KOMPAS - Perubahan konstelasi politik dari Orde Baru ke era reformasi serta terjadinya euforia otonomi daerah ternyata mengubah kebijakan berbahasa. Bahasa Indonesia lepas dari peran dan tekanan negara yang sebelumnya menempatkan bahasa Indonesia sebagai pengikat keanekaragaman suku dan sebagai pemersatu.

”Sekarang, bahasa Indonesia agak bebas kontrol kekuasaan. Begitu juga bahasa-bahasa daerah dan bahasa asing punya ruang tersendiri,” kata Guru Besar dari Universitas Nanzan di Nagoya, Jepang, Mikihiro Moriyaama, pada peluncuran buku Geliat Bahasa Selaras Zaman (Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia, 2010), Rabu (24/2) di Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional, Jakarta.

Mikihiro adalah salah seorang penggagas lokakarya Perubahan Konfigurasi Kebahasaan di Indonesia Pasca-Orde Baru, Juni 2008 di Kampus UI Depok.

Menurut Mikihiro, bahasa asing telah memasuki kehidupan sehari-hari masyarakat. Pemakaian kata-kata asing semakin menonjol dan bahasa baru pun dikreasi. ”Bahkan, dalam siaran televisi, bahasa daerah, seperti bahasa Jawa, Sunda, dan Bali, sudah dipakai untuk acara warta berita dan acara-acara lainnya. Tidak hanya bahasa daerah, bahasa Inggris dan Mandarin juga mulai dipakai untuk program berita,” ujarnya.

Jan van Der Putten, peneliti dan pengajar di Universitas Nasional Singapura, mengatakan, institusi dalam berbahasa, yakni pihak pengguna atau penutur serta pengatur, akan berhadapan dan berbenturan. ”Kedua belah pihak akan saling menuduh dan saling menuding dalam penentuan pihak mana yang paling bertanggung jawab atas ’perusakan bahasa’ yang sedang berlangsung dan dirasakan semakin keras mendera,” ujarnya.

Untung Yuwono, peneliti dan pengajar di Universitas Indonesia, mengatakan, saat ini berkembang ”bahasa gaul” yang penyebarluasannya didukung industri penerbitan, televisi, dan berbagai media lainnya. (NAL)


Sumber: Kompas, Kamis, 25 Februari 2010

Kekayaan Intelektual Kampus Dilindungi

Jakarta, kompas - Setidaknya 7.900 hasil penelitian dan produk inovatif perguruan tinggi serta lembaga penelitian sudah dihasilkan. Meskipun demikian, perlindungan hukum atas produk itu dalam bentuk paten atau pendaftaran hak atas kekayaan intelektual masih sangat minim.

”Dulu, hanya sekitar 5 sampai 10 produk yang dipatenkan. Kecil sekali. Tetapi, tahun 2009, ada kenaikan menjadi sekitar 136 produk,” kata Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh saat penandatanganan kerja sama perlindungan hak atas kekayaan intelektual (HaKI) di perguruan tinggi yang berlangsung di Jakarta, Rabu (24/2).

Penandatanganan kerja sama itu dilakukan tiga menteri Kabinet Indonesia Bersatu II, yaitu Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar, Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh, dan Menteri Negara Riset dan Teknologi Suharna Surapranata.

Dalam kesempatan yang sama, Direktorat HAKI juga menandatangani kerja sama dengan enam perguruan tinggi, yaitu Universitas Diponegoro, Semarang; Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta; Universitas Padjadjaran, Bandung; Universitas Muhammadiyah, Jakarta, Universitas Muhammadiyah, Malang; dan Universitas Trisakti, Jakarta.

”Ini merupakan upaya pemerintah untuk memberikan fasilitas kepada peneliti yang banyak menghasilkan karya di perguruan tinggi dan lembaga penelitian,” ujar Patrialis.

Menurut Mohammad Nuh, ada sekitar 150.000 dosen dan peneliti di perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, serta peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan berbagai lembaga penelitian lainnya. Mereka banyak menghasilkan karya ilmiah dan inovasi. ”Namun, sangat sedikit yang dilindungi secara formal hak kekayaan intelektualnya,” katanya.

Salah satu kendala yang menyulitkan, tambah Mohammad, adalah susahnya menyusun atau menggubah bahasa dari bahasa yang terlalu teknis terapan ke bahasa hukum.

”Selain itu, waktu pengurusan pun terlalu lama. Kurang praktis,” ujarnya.

Terkait dengan persoalan bahasa, Direktur Jenderal HaKI Andi Someng Nurzaman mengatakan, pihaknya sudah mengadakan pelatihan mengenai hal tersebut.

Jemput bola

Patrialis mengatakan, pihaknya juga sudah mengirimkan surat kepada para kepala daerah (wali kota, bupati, dan gubernur) untuk mendata semua sistem budaya sekecil apa pun. Hal ini untuk mencegah terulangnya kembali klaim-klaim atas hasil budaya Indonesia oleh negara lain.

Patrialis mengatakan, kasus terakhir mengenai HaKI adalah ukiran Jepara. Christoper Harrison, pemilik PT Harrison & Gil, yang berlokasi di Semarang, pada 2004 telah mendaftarkan buku katalog berjudul Harrison & Gil Carving Out A Piece of History ke Direktorat HaKI. Menurut dia, yang didaftarkan adalah katalognya dan bukan jenis-jenis ukirannya.

Namun, hal ini memicu persoalan ketika ada larangan ketika orang lain mendaftarkan HaKI terhadap barang-barang yang ada di katalog tersebut. (ana)

Sumber: Kompas, Kamis, 25 Februari 2010

Wednesday, February 24, 2010

Kutuk Plagiarisme, Lalu?

-- Armada Riyanto

TENTANG plagiarisme, kiranya tidak berguna lagi aneka kutukan. Yang lebih penting adalah apa kelanjutan sesudah tragedi plagiarisme.

Bandung, Jakarta, Aceh, Malang, Yogyakarta, Surabaya, Solo, Bogor, Semarang, dan Medan, apakah mereka emblem kota-kota intelektual? Dengan menjamurnya pabrikan skripsi, tesis, disertasi, juga paper di kota-kota itu dan lainnya yang belum disebut, mendung kelabu menyelimuti dunia intelektualitas kita. Masih adakah kota intelektual di tanah kita? Sebuah pertanyaan hati nurani.

Tak usah mengutuk Bandung sebab Yogyakarta atau kota Anda mungkin lebih parah. Tak perlu mengkritik institusi yang kecolongan sebab institusi sekaliber UGM, UI, atau MIT di AS, Cambridge di Inggris, atau Alberta di Kanada pun tidak imun terhadap kasus plagiarisme dalam sejarah akademisnya. Di Yogyakarta, dugaan perkara plagiarisme disertasi oleh seorang doktor dari MIT tidak diapa-apakan, malah pernah memegang jabatan penting di dunia pendidikan kita. Institusi paling bersih dipersilakan untuk ”melempar batu pertama” pemberantasan plagiarisme, dan adakah yang berani?

Sepuluh tahun lalu, dalam sebuah penelitian oleh pusat integritas akademik Duke University atas mahasiswa-mahasiswi Amerika diperoleh data 68 hingga 70 persen mengaku pernah melakukan penjiplakan (Cf. http://guides.library.ualberta.ca18 Feb. 2010). Andai hal yang sama dikerjakan terhadap mahasiswa-mahasiswi Indonesia, kita mungkin akan memperoleh angka yang lebih mengejutkan.

Setelah ini apa?

Perketat sistem pengurusan jenjang profesorat? Menggiatkan pendidikan karakter? Penciptaan plagiarism detection software? Mempromosikan pendidikan kebenaran, budi pekerti, dan integritas?

Menteri Pendidikan Nasional pernah berkata, pada 2009 jumlah pemohon guru besar dari perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi swasta sebanyak 986 orang, yang lolos 286 orang. Sudah ketatkah sistemnya? Barangkali soal paling mendasar adalah rumusan-rumusan ilmiah apa saja yang telah diproduksi oleh para ilmuwan kita. Mengapa sepintas masih tampak sepi dan tiada yang baru.

Di samping sebagai emblem merosotnya kejujuran, plagiarisme dapat berasal dari lemahnya pemahaman tentang esensi sebuah ilmu. Ketika putra-putri kita masuk sekolah, orangtua dan pendidik sangat bangga dengan anak didiknya memiliki nilai tinggi. Namun, siapa peduli memerhatikan integritas dan proses pendewasaan serta perkembangan tanggung jawabnya?

Plagiarisme akan tetap menjadi sebuah serial aktivitas sehari- hari bila skema perspektif pendidikan kita tidak berubah. Ketika sebuah kemajuan disempitkan dalam ranah formal berupa angka, dengan sedikit perhatian pada proses pencapaiannya, pendidikan mengalami sebuah kemandekan. Pendidikan integritas tersisihkan.

Plagiarisme adalah tindakan pencurian kreativitas intelektual. Sebagai sebuah tindakan mencuri, plagiarisme memiliki konsekuensi etis-deontologis sebagai perbuatan cela. Namun, mencela pun juga tidak cukup. Apalagi hidup sehari-hari bangsa kita dekat dan lekat dengan aneka kemerosotan tercela berupa ”mencuri” hak-hak kebebasan orang lain atau uang rakyat dalam wujud korupsi.

Di sini, memberantas plagiarisme di tengah suasana keseharian yang berlepotan koruptif semacam ini hampir merupakan mission impossible. Pemberantasan plagiarisme jadi sebuah tautologi belaka, sebuah aktivitas repetitif formalistis yang kehilangan makna.

Menghargai ilmu

Plagiarisme juga terjadi karena redupnya kesadaran menghargai ilmu. Ketika jabatan, tunjangan, dan segala konsekuensi kemudahan ditawarkan, sudah semestinya dikerjakan sebuah sistem pendidikan yang menghargai ilmu.

Thomas Kuhn, dalam The Scientific Revolutions (1964), berkata, ilmu pertama-tama adalah paradigma. Terminologi ”paradigma” memaksudkan kompleksitas teori bagaimana suatu ilmu mengelola atau menggumuli obyeknya: cara-cara mempersepsi, mengobservasi, menganalisis, melakukan eksperimentasi dan verifikasi, menarik kesimpulan, mengevaluasi, mempresentasikan, dan mengomunikasikannya. Kuhn membuka mata kita. Dengan prinsip Khunian ini, kita diberi tahu, ilmu bukanlah informasi. Ilmu pengetahuan identik dengan proses pengenalan sekaligus pergumulan paradigmatik.

Kebijakan-kebijakan totaliter dari pemerintah yang memberangus buku produk penelitian mengindikasikan sebuah kenyataan bahwa ilmu pun kini harus lolos kriteria kepuasan dari penguasa. Ini bukan hanya merupakan pengerdilan sains dan riset, melainkan juga penyetopan berkembangnya humanisme kehidupan dan tata nilai etis-filosofis-saintifik, sebuah introduksi kebobrokan societas yang memprihatinkan. Kebijakan semacam ini menyetop hormat terhadap ilmu sebagai sebuah pergumulan paradigmatik.

Dunia pendidikan nasional akan memberantas plagiarisme? Selama pemerintah tidak mengevaluasi mentalitas totaliter, plagiarisme tidak akan pernah habis sebab plagiarisme adalah bentuk lain dari usaha untuk mengelabui pemenuhan aneka formalisme sistem yang dikelola oleh dunia pendidikan kita. Maraknya plagiarisme adalah emblem redupnya cita rasa kreatif, ilmiah, dan miskinnya pergumulan paradigmatik, di samping rusaknya bangunan nurani kejujuran dan cinta kebenaran bangsa ini.

* Armada Riyanto, Guru Besar Filsafat Etika Politik STFT Widya Sasana, Malang

Sumber: Kompas, Rabu, 24 Februari 2010

Mendiknas: Buku adalah Guru Kehidupan

JAKARTA, KOMPAS - Kompas Gramedia Fair 2010, Selasa (23/2) kemarin, dibuka Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh di Istora Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta.

Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh dan CEO Kompas Gramedia Agung Adiprasetyo meninjau Kompas Gramedia Fair 2010 di Istora Senayan, Jakarta, Selasa (23/2). Beragam kegiatan digelar pada cara yang berlangsung hingga 28 Februari 2010 ini. (KOMPAS/LUCKY PRANSISKA)

Kegiatan yang berlangsung hingga 28 Februari ini, selain menampilkan aneka produk buku dan jasa yang dihasilkan oleh unit usaha Kompas Gramedia serta lembaga-lembaga lainnya, juga menampilkan beragam acara yang mendidik dan menghibur.

Mohammad Nuh mengatakan, kegairahan membaca harus terus digelorakan di tengah masyarakat pada semua kalangan. ”Buku dan orang bijak adalah guru dalam kehidupan,” kata Nuh.

Buku membuka cakrawala baru serta memperkaya wawasan setiap orang. ”Tamat perguruan tinggi bukan berarti selesai sudah belajar. Masih ada tempat belajar lainnya, yakni membaca buku,” kata Nuh.

CEO Kompas Gramedia Agung Adiprasetyo mengatakan, puluhan tahun bergerak di bidang media massa dan perbukuan, Kompas Gramedia tidak pernah lelah mengampanyekan gerakan minat membaca. Inovasi dan kreasi terus dikembangkan agar masyarakat dapat mengakses buku serta bahan bacaan dengan mudah dan menyenangkan. Salah satunya adalah menyelenggarakan Kompas Gramedia Fair di beberapa kota utama di Tanah Air, salah satunya di Jakarta.

”Kompas Gramedia Fair 2010 juga menjadi rangkaian acara HUT ke-40 Toko Buku Gramedia yang mengangkat tema ’Gerakan Indonesia Membaca’,” ujarnya.

Tema ini sejalan dengan program korporat Kompas Gramedia, Buku untuk Semua, yang memberikan bantuan buku untuk sejumlah perpustakaan dan taman bacaan masyarakat.

Beragam acara

Kompas Gramedia Fair 2010 menyajikan beragam acara untuk sejumlah kalangan. Untuk anak- anak, misalnya, ada lomba paduan suara dan untuk remaja ada Muda Creativity 3rd Anniversary. Ada juga layanan konsultasi naskah dan penerbitan, seminar pendidikan untuk guru dan orang tua, serta diskusi atau bedah buku.

Rabu ini, misalnya, digelar try out akbar (tingkat SD pukul 08.30-12.00 dan SMP pukul 12.00-15.00). Ada pula diskusi buku bersama Damien Dematra, Setya Krisna Sumargo, dan Nasir Abbas.

Pada Kamis ada sembilan jenis acara menarik, antara lain workshop robotic, seminar perpustakaan yang interaktif, seminar, dan demo masak sehat. (NAL)

Sumber: Kompas, Rabu, 24 Februari 2010

Penjiplak Perlu Dipidana

YOGYAKARTA, KOMPAS - Maraknya penjiplakan karya ilmiah selama ini, antara lain, disebabkan ringannya sanksi terhadap pelaku. Karena itu, untuk memberikan efek jera, serta mencegah semakin meluasnya aksi penjiplakan, pelaku perlu dikenai sanksi yang berat, termasuk sanksi pidana.

”Selama ini, sanksi terhadap pelaku penjiplakan hanya berupa sanksi administratif dan sanksi akademis yang sangat ringan,” kata Editor Penerbitan Universitas Islam Indonesia (UII) Press yang juga Direktur Penerbit Total Media Sobirin Malian di Yogyakarta, Selasa (23/2).

Jika pelakunya dosen, misalnya, hanya dikenai sanksi akademis atau sanksi administratif berupa pernyataan tidak puas dari pimpinan, teguran lisan, teguran tertulis, penundaan kenaikan pangkat, penurunan pangkat atau pencopotan jabatan. ”Bisa juga pelaku hanya diminta menyampaikan permohonan maaf,” kata Sobirin.

Tanpa ada sanksi pidana, kata Sobirin, penjiplakan oleh dosen dikhawatirkan akan terus terjadi. Apalagi, menerbitkan buku merupakan salah satu syarat untuk mengajukan jabatan guru besar.

Saat ini, buku hasil penjiplakan dosen bisa ditemukan beredar di pasaran. Sejumlah penerbit di Yogyakarta juga mengaku sudah beberapa kali menerima naskah karya ilmiah dosen, yang setelah diperiksa, ternyata merupakan hasil penjiplakan.

Penerbit dan Percetakan Navila, misalnya, sudah tiga kali menerima naskah hasil penjiplakan. ”Ketiganya diajukan dosen yang berbeda. Salah satunya ketahuan karena bahasa yang tidak sinkron antara bahasa pengantar dan bahasa yang digunakan dalam buku,” kata Direktur Penerbitan Navila Sholeh UG.

Direktur Penerbit Pustaka Insan Madani Muhyidin Albarobis menuturkan, pihak penerbit sangat mudah kecolongan. Hal ini karena pemeriksaan naskah oleh penerbit kerap terbentur keterbatasan sumber informasi dan data mengingat banyaknya jumlah karya ilmiah yang terbit.

”Tidak mungkin kami memeriksa satu per satu buku ilmiah yang pernah terbit,” ujarnya.

Pelanggaran hak cipta

Secara terpisah, Direktur Pusat Hak Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum UII Budi Agus Riswandi mengatakan, penjiplakan karya tulis termasuk dalam kategori pelanggaran hak cipta. Penjiplakan karya tulis, baik untuk kepentingan komersial maupun akademis, bertentangan dengan Undang-Undang Hak Cipta yang menyebutkan, perbanyakan atau kutipan suatu karya tulis tanpa mencantumkan nama penciptanya merupakan pelanggaran hak cipta.

”Bahkan, UU Hak Cipta yang baru sekarang lebih tegas lagi. Di situ tidak ada batasan persentase banyaknya kutipan yang bisa masuk kategori pelanggaran hak cipta, seperti pada UU lama,” katanya.

Menurut Budi, penjiplakan karya ilmiah untuk kepentingan akademis merupakan pelanggaran hak cipta secara moral, yaitu hak pencipta untuk memperoleh pengakuan atas karyanya. Untuk karya ilmiah yang diperjualbelikan, selain melanggar hak cipta moral, penjiplakan juga melanggar hak cipta ekonomi. Dengan demikian, penjiplakan memungkinkan adanya penuntutan ganti rugi oleh pencipta.

Secara terpisah, di Jakarta, Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh mengatakan, lebih penting dari sanksi adalah menciptakan sistem yang tidak memungkinkan terjadinya penjiplakan. Salah satunya melalui pembentukan kelompok keahlian antarperguruan tinggi.

Setiap karya ilmiah, terutama untuk tesis, disertasi, atau persyaratan guru besar, harus dibaca dan dibahas kelompok ahli sehingga kemungkinan terjadinya penjiplakan semakin kecil.

Wakil Mendiknas Fasli Jalal mengatakan, sanksi bagi pelaku penjiplakan selama ini diserahkan kepada perguruan tinggi masing-masing. (IRE/THY)

Sumber: Kompas, Rabu, 24 Februari 2010

[Nama & Peristiwa] Danarto: Sempat Pingsan

DANARTO (69), sastrawan-perupa itu, sempat tak sadarkan diri sekitar 12 jam. Tetapi, dia sudah sadar kembali dan kondisi fisiknya berangsur membaik. Danarto dirawat di Rumah Sakit Bhineka Bhakti Husada, Pondok Cabe, Pamulang, Tangerang Selatan, Banten.

Danarto

”Sekarang saya sudah enak kok. Hanya dua kaki (saya) ini masih bengkak,” kata Danarto, Selasa (23/2) siang. Sambil berbaring di kamar 41 lantai II, lelaki itu bercanda dengan beberapa tamu dari kalangan seniman. Wakil Presiden Boediono juga sempat menjenguknya.

Sastrawan yang produktif menulis cerpen sufistik itu mengalami panas tinggi sampai sekitar 39 derajat celsius, Senin siang. Sekitar pukul 15.00, dia tak sadarkan diri di rumahnya, di kawasan Kedaung Hijau, Ciputat. Dengan bantuan beberapa tetangga, dia kemudian dibawa ke Rumah Sakit Bhakti Husada. Dokter belum menjelaskan penyebab dia pingsan.

”Saya memang punya asma berat, tapi terasa sudah agak membaik setelah makan tokek goreng beberapa waktu lalu,” katanya sambil tersenyum.

Catatan medis di rumah sakit itu menunjukkan, Danarto menderita gangguan infeksi paru-paru. Menurut Joko Show, kawan yang menungguinya sejak Selasa pagi, dokter masih terus memeriksa adanya kemungkinan penyakit lain. (IAM)

Sumber: Kompas, Rabu, 24 Februari 2010

Monday, February 22, 2010

Selamatkan Bahasa Ibu

-- Fanny Henry Tondo

SETIAP tahun, tepatnya sejak tahun 2000, tanggal 21 Februari diperingati sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional.

Hal ini dicanangkan oleh UNESCO agar masyarakat dunia lebih memperhatikan bahasa ibu atau yang sering disebut juga dengan “bahasa daerah” yang digunakan oleh berbagai etnis di dunia.

Maksudnya, tentu agar diversitas kebahasaan dapat terjaga. Diperkirakan, dari 6.700 bahasa yang digunakan di dunia, 50 persen di antaranya terancam mengalami kepunahan. Di Indonesia sendiri terdapat 726 bahasa. Jumlah tersebut merupakan terbesar kedua di dunia setelah Papua Nugini (PNG) de­ngan 867 bahasa. Itu berarti bahwa Indonesia merupakan laboratorium bahasa dan budaya yang penting di dunia, di mana bahasa-bahasa yang ada harus tetap dijaga agar terhindar dari kepunahan (language extinction).

Kepunahan Bahasa

Fenomena kepunahan bahasa pada dasarnya telah banyak mendapat perhatian dari berbagai kalangan, khususnya para ahli bahasa (linguis). Seminar dan konfe­rensi, baik yang bertaraf nasional maupun internasio­nal, telah banyak diadakan ­dengan maksud agar makin banyak dilakukan kajian-kajian terhadap bahasa-bahasa yang terancam punah.

Pada dasarnya, jika melihat kondisi “kesehatan” bahasa, kepunahannya dapat dikategorikan dalam beberapa tahap (Wurm 1998). Pertama, bahasa-bahasa yang dianggap berpotensi terancam punah (potentially endangered languages). Dalam kategori ini termasuk di dalamnya bahasa-bahasa yang secara sosial dan ekonomi tergolong minoritas serta mendapat tekanan yang cukup besar dari bahasa ma­yoritas. Selain itu, generasi mudanya sudah mulai berpindah ke bahasa mayoritas dan jarang menggunakan bahasa daerah. Misalnya, bahasa Hamap di Alor, Nusa Tenggara Timur.

Kedua, bahasa-bahasa yang terancam punah (endangered languages). Bahasa-bahasa yang tidak lagi mempunyai generasi muda yang dapat berbahasa daerah termasuk dalam kategori ini. Penutur yang fasih hanyalah kelompok generasi menengah (dewasa). Bahasa-bahasa yang terdapat di Tanah Papua, ­misalnya, banyak yang ter­masuk dalam kategori ini. Diperkirakan ada sekitar 208 bahasa daerah di sana yang terancam punah.

Ketiga, bahasa-bahasa yang dianggap sangat terancam punah (seriously endangered languages). Penutur bahasa pada kategori ini hanyalah generasi tua berusia di atas 50 tahun. Keempat, bahasa-bahasa yang dianggap sekarat (moribund languages). Pada tingkatan ini bahasa-bahasa tersebut hanya dituturkan oleh beberapa orang sepuh, yaitu yang berusia 70 tahun ke atas.

Kelima, bahasa-bahasa yang dianggap punah (extinct languages), yakni bahasa yang penuturnya tinggal satu orang. Di Papua terdapat bahasa Mapia yang dapat dimasukkan ke dalam kelompok ini karena penuturnya tinggal satu orang dan dengan demikian tidak mempunyai teman untuk ber­komunikasi dalam bahasa itu.

Oleh karena itu, fenomena kepunahan bahasa-bahasa harus diantisipasi sedini mungkin dengan mengkaji faktor-faktor penyebabnya, karena kehilangan sebuah bahasa dapat pula berarti kehilangan pengetahuan dan budaya lokal.

Penyebab

Ada berbagai faktor yang dapat diidentifikasi sebagai penyebab kepunahan bahasa. Keterdesakan sebuah bahasa yang tidak mampu bersaing dengan bahasa-bahasa yang lebih besar pengaruhnya dapat menyebabkan bahasa itu termarginalisasi. Hal ini dapat dilihat pada bahasa-bahasa daerah yang mendapat pengaruh akibat pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi.

Globalisasi juga merupakan elemen penting yang dapat memengaruhi bahasa-bahasa daerah. Di era globalisasi sekarang ini, suka atau tidak, orang dituntut untuk berkompetisi. Dalam kondisi seperti ini, dibutuhkan ­penguasaan bahasa internasional yang memadai agar dapat berkomunikasi dengan penutur lain yang berasal dari luar negeri. Bahasa Inggris, sebagai bahasa internasional saat ini, menjadi syarat mutlak bagi tiap individu agar ­persaingan yang semakin ketat dalam berbagai bidang dapat dimenangi.

Bencana alam dan musibah dapat pula menjadi faktor penyebab kepunahan sebuah bahasa. Terjadinya kelaparan, peperangan, penyakit, gempa bumi, tsunami, dan sebagainya dapat saja memusnahkan penuturnya seperti halnya yang terjadi pada penutur bahasa Paulohi sekitar tahun 1918. Pada waktu itu, penutur bahasa tersebut mengalami bencana gempa dan tsunami yang sangat dahsyat sehingga hampir semua penutur bahasa tersebut meninggal, hanya 50 penutur yang tersisa.

Selain itu, ada pula beberapa faktor lainnya yang dapat menjadi pemicu kepunahan sebuah bahasa. Faktor-faktor tersebut di antaranya kurangnya penghargaan terhadap bahasa daerah, bilingualisme/multilingualisme, migrasi, perkawinan antaretnik, ekonomi, dan lain sebagainya.

Strategi

Perlu adanya upaya-upaya yang lebih serius dari berbagai pihak dalam rangka menyikapi fenomena punahnya bahasa-bahasa daerah. Para ahli, khususnya ahli bahasa (linguis) dapat lebih memainkan perannya dalam hal ini. Selain itu, masyarakat, terutama masyarakat pemakai bahasa, diharapkan lebih peduli lagi dengan bahasa etniknya.
Pihak lain yang perannya sangat penting yaitu pemerintah. Pemerintah perlu lebih serius memberdayakan etnik penutur bahasa itu, termasuk bahasanya, baik melalui jalur formal maupun informal, sehingga etnik penutur bahasa tersebut dapat merasakan bahwa bahasa daerahnya diangkat dan diperhatikan. Selain itu, pemerintah perlu menggalakkan sektor penelitian, khususnya penelitian kebahasaan dengan mengalokasikan dana yang memadai.

Kemultilingualan masyarakat penutur bahasa juga dapat menjadi faktor lain yang turut menentukan. Artinya, mereka belajar, menguasai, dan menuturkan lebih dari satu bahasa. Misalnya, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa etniknya. Penguasaan ketiga bahasa tersebut secara bersamaan penting dalam menjaga diversitas bahasa, walaupun untuk mencapainya memang memerlukan waktu yang cukup lama.

* Fanny Henry Tondo, peneliti pada Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(PMB-LIPI).

Sumber: Sinar Harapan, Senin, 22 Pebruari 2010

Sejarah: Ulah Tergagap Kaum Hawkish di Yogyakarta

-- Didi Kwartanada*

KOMPAS/ PRIYOMBODO

data buku

• Judul: ”Doorstoot naar Djokja: Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer”

• Penulis: Julius Pour

• Penerbit: Penerbit Buku Kompas, Jakarta

• Cetakan: I, Desember 2009

• Tebal: x + 437 halaman

• ISBN: 978-979-454-6

Minggu pagi, 19 Desember 1948, ketenangan suasana ibu kota Yogyakarta terusik dengan ingar-bingarnya raungan sejumlah pesawat terbang. Tak lama kemudian, pasukan payung tampak diterjunkan di sekitar lapangan terbang Maguwo. Inilah operasi airborne pertama Belanda yang dimaksudkan sebagai serangan kilat (blitzkrieg) untuk menghancurkan Republik Indonesia.

Pada hari yang kelam tersebut dalam waktu singkat ibu kota bisa diduduki dan pemimpin tertinggi RI jatuh ke tangan musuh. Tindakan Belanda diambil tanpa memedulikan hukum internasional. Saat itu sesungguhnya perundingan bilateral masih berlangsung. Bahkan, para pengamat mancanegara dari Komisi Tiga Negara (KTN) bersama wartawan asing masih berada di Yogyakarta.

Situasi perundingan Indonesia-Belanda yang alot membuat pihak Belanda, yang ingin kembali menegakkan kekuasannya di Indonesia, merasa frustrasi. Maka, di kalangan ”penganjur perang” (hawkish), seperti Louis Beel, Wakil Tinggi Mahkota di Batavia, dan Letjen Simon Spoor, Panglima Angkatan Bersenjata Hindia Belanda/KNIL, perang adalah satu-satunya jalan yang dianggap bakal melancarkan kebuntuan. Namun, efek yang tercipta malah sebaliknya, semakin menambah keruwetan. Sejarawan Anthony Reid (1996) menilai, ”Belanda dengan gegabah menantang opini dunia dalam suatu sikap bunuh diri.”

Karya Julius Pour ini memberikan uraian yang kaya dan mengalir dengan bahasa yang renyah tentang Agresi Militer II, yang dibuat yel-yel serdadu Belanda sebagai ”Doorstoot naar Djokja” (Menembus Maju ke Djokja) serta dampak yang ditimbulkan, baik bagi Indonesia maupun Belanda. Dalam membangun narasinya, penulis mendasarkan uraiannya pada berbagai memoar para pelaku (Soekarno, Mohammad Hatta, Mohamad Roem, dan lain lain) dan kajian para sejarawan dari berbagai negara (George McTurnan Kahin, Leirissa, Heijbouer, dan lain lain).

Penulis menunjukkan bahwa demi memuluskan agresinya, kalangan diplomatik Belanda merekayasa keterlambatan nota penting dari pihak Indonesia (hlm 10-12) sehingga seolah posisi Belanda terancam dan mereka berhak melakukan apa yang di akhir abad XX disebut sebagai ”pre-emptive strike”. Letjen Spoor begitu percaya diri, dan seperti dalam kutipan dialog di atas (hlm 12) merasa mampu menghancurkan RI dalam waktu kurang dari tiga bulan. Para hawkish Belanda yakin bahwa suatu serangan yang mematikan akan membuat dunia melihat bahwa RI tidak memiliki kedaulatan dan kekurangan angkatan perang yang memadai. Namun, rupanya agresi itu malah menjadi bumerang. Bahkan, perwakilan AS di PBB mengatakan kepada rekannya dari Belanda bahwa agresi itu adalah ”kesalahan terbesar yang pernah dilakukan Belanda sepanjang sejarahnya” (the biggest mistake by the Netherlands in its entire history) (Monfries 2008).

Mantan wartawan Kompas yang kemudian menjadi salah satu penulis buku biografi terkemuka ini memberi subjudul bukunya Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer. Konflik ini muncul karena para pemimpin sipil, khususnya Presiden Soekarno, yang sebelumnya berjanji akan bergerilya kalau Belanda menyerbu, pada detik-detik terakhir ternyata tidak konsisten dengan janjinya. Saat dikepung, presiden memerintahkan pengibaran bendera putih dan membiarkan dirinya ditangkap (hlm 340-341). Menariknya, konflik sipil-militer juga muncul di pihak Belanda (hlm 334-336). Konflik-konflik ini bisa diuraikan dengan baik oleh penulis.

Dalam historiografi Indonesia, penafsiran atas peristiwa jatuhnya ibu kota Yogyakarta sering kali berbeda, tergantung pada rezim yang sedang berkuasa. Buku Sejarah Nasional Indonesia (edisi ke-4, 1993), yang dipakai sebagai ”babon” penulisan sejarah pada masa Orde Baru, dalam jilid VI secara jelas menegaskan, ”Selama 7 bulan Jenderal Soedirman menjadi pegangan bagi seluruh rakyat yang melaksanakan pergulatan dahsyat untuk kelangsungan hidup Negara Republik Indonesia. Dalam saat-saat yang paling gelap dalam perjuangan bangsa, Soedirman merupakan obor yang memancarkan sinar ke sekelilingnya.” Buku yang disunting oleh Nugroho Notosusanto ini tampak jelas kemiliterannya.

Lalu muncul pertanyaan, siapa yang berperan dalam mengusir Belanda: kekuatan senjata atau diplomasi? Penulis tidak memberi jawaban tegas, kecuali mengutip pendapat Kepala Staf TNI saat itu, TB Simatoepang, bahwa ”kombinasi antara diplomasi dan kekuatan senjata” adalah hal krusial dalam kesuksesan perjuangan kita (hlm 376-375).

Buku ini memunculkan tiga orang pahlawan: Soedirman, Soeharto, dan Sultan Hamengkoe Boewono (HB) IX. Namun, entah mengapa, penulis tidak banyak memberikan kredit kepada figur ketiga. Tidak ada foto HB IX, sementara foto kedua tokoh lainnya muncul lebih dari satu kali. Penulis juga ”mengingatkan kembali” peran penting Soeharto selaku tokoh kunci dalam periode ini (hlm 358-59, 360, 366-69). Mungkin ini karena penulis juga pernah menulis buku tentang tokoh utama Orde Baru tersebut.

Tidak banyaknya uraian tentang HB IX bisa diatasi apabila penulis mengacu pada hasil studi terbaru John Monfries (2008) tentang peran Sultan HB IX dalam revolusi. Memoar yang belum lama terbit dari George McTurnan Kahin, yang disertasinya banyak dikutip penulis, juga akan lebih memperkaya buku ini.

Kekurangan lain adalah minimnya uraian penulis (misalnya di hlm 365) tentang Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), yang walaupun penting artinya bagi legalitas eksistensi RI, sering diabaikan dalam sejarah.

Membaca buku ini membuat pembaca menyadari bahwa masa lalu selalu aktual dan tetap relevan bagi masa kini. Setidaknya ada tiga hal yang bisa disimpulkan.

Pertama, negara-negara dengan persenjataan yang lebih kuat cenderung mengikuti doktrin klasik Romawi Si vis pacem para bellum (Bila Anda menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk perang), kalau perlu dengan berbagai rekayasa untuk pembenaran. Pre-emptive strike sekutu ke Afghanistan dan Irak sebenarnya adalah pengulangan Doorstoot naar Djokja. Maka hasilnya bisa ditebak: mudah dimulai, sukar sekali diselesaikan. Akhirnya AS menanggung akibat perbuatan Presiden Bush dan geng hawkish-nya sehingga dewasa ini ekonominya mengalami krisis.

Kedua, menarik sekali bahwa penulis sudah mengambil analogi kelompok yang memilih perang (Rajawali/hawkish) dan yang menyukai diplomasi (Merpati), yang diambil dari Perang Teluk II sehingga buku ini terasa relevan dengan situasi politik internasional dewasa ini.

Ketiga, dalam konflik bersenjata, akhirnya rakyat sipil yang menjadi korban. Buku ini memberikan contoh-contoh ketika Belanda menderita kerugian nyawa akibat serangan gerilya dan tidak mampu membalas, mereka melampiaskan kemarahannya kepada penduduk yang tidak bersenjata, seperti di Malang (hlm 323-24) dan Surakarta (hlm 384).

Komprehensif

Buku ini dilengkapi dengan indeks yang komprehensif sehingga membantu penelusuran subjek yang dikehendaki pembaca. Namun, tidak ada karya yang sempurna. Uraian yang bersifat human interest, misalnya anekdot tentang Wiranto (hlm 159) ataupun Goentoer Soekarno (hlm 209) yang pada waktu itu masih kanak-kanak, bisa lebih diperkaya dari sudut pandang anak-anak yang mengabadikan pengalaman mereka mengenai Agresi II tersebut. Ketika pasukan Belanda mendesak maju, pelukis Dullah merekrut lima muridnya untuk melukis on the spot perang yang sedang terjadi. Kelima pelukis cilik ini dipimpin oleh Mohamad Toha yang masih berusia 11 tahun. Hasil karya mereka kemudian dipamerkan di Indonesia dan Belanda serta terbit sebagai Karya dalam Peperangan dan Revolusi (1983).

Beberapa kesalahan cetak terdapat dalam buku ini, khususnya mengenai istilah Bahasa Belanda (misal hlm 110, 115) dan editorial. Nama PM Belanda Drees kadang ditulis Dress (hlm 253, 254, 320). Kutipan panjang dalam bahasa Inggris (hlm 233-239) hendaknya diberikan terjemahan. Namun, hal-hal tersebut tidak mengurangi nilai sumbangan buku ini bagi kepustakaan mengenai revolusi Indonesia dan ketahanan nasional.

* Didi Kwartanada, Kandidat PhD di NUS Singapura dan Staf Yayasan Nabil, Jakarta

Sumber: Kompas, Senin, 22 Februari 2010

Buku Baru: Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari

HADRATUSSYAIKH atau yang terhormat mahaguru atau mahaulama Hasyim Asy’ari akrab dipanggil Kiai Hasyim adalah sosok ulama yang paling banyak diperbincangkan dalam dua abad terakhir. Ia mereprentasikan karakter ulama yang khas Indonesia. Selain sebagai sosok yang mempunyai kecerdasan intelektual, ia juga seorang organisatoris, pendidik, bahkan warga yang mempunyai etos kerja dan asketisisme yang tinggi.

Zuhairi Misrawi, intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU) yang lahir di Sumenep, Madura, tahun 1977, secara menarik menulis tentang Kiai Hasyim dalam buku yang ia beri judul Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari-Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan terbitan Penerbit Buku Kompas, Januari 2010.

Bersama sejumlah ulama terkemuka, Hasyim Asy’ari mendirikan NU pada 31 Januari 1926 sebagai tonggak gerakan moderat yang menggabungkan gagasan keumatan dengan ide kebangsaan. Hingga sekarang NU berada di garda terdepan dalam mengawal Pancasila dan UUD 1945 untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kiai Hasyim telah membuktikan dan melakukan bahwa antara keislaman dan keindonesiaan tidak boleh dipertentangkan. Keduanya harus berada dalam satu napas. Islam adalah nilai-nilai adiluhung yang bersifat universal, sedangkan keindonesiaan adalah realitas sosial yang harus diisi dengan nilai-nilai itu tanpa harus menafikannya. (hlm 6).

Menurut Yudi Latif, cendekiawan Muslim dan Associate NU Circle, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari adalah sosok penting dalam perjalanan bangsa ini. Signifikansi pemikiran dan pengabdiannya tidak diragukan lagi, terutama tatkala bersama para ulama mendirikan NU dan berjuang untuk kemerdekaan RI.

”Buku ini perlu dibaca untuk memperluas horizon pemikiran keislaman dan kebangsaan Tanah Air”, demikian Yudi Latif tentang buku setebal 374 halaman tersebut.

Dua tokoh NU, KH Salahuddin Wahid dan Dr H Nadirsyah Hosen, dipilih untuk menulis kata pengantar buku ini. ”Buku karya Zuhairi ini mengungkap banyak aspek yang berkaitan dengan pemikiran dan peran Mbah Hasyim dalam kaitan dengan NU dan bangsa serta negara Indonesia,” katanya.

Sebelumnya, Zuhairi Misrawi menulis dua buku, Mekkah dan Madinah, yang keduanya oleh Penerbit Buku Kompas dinyatakan sebagai best seller. Zuhairi sebagai penulis sangat produktif, khususnya tentang pemikiran Islam kontemporer, politik, toleransi, dan dialog antaragama.

Di tempat lain, Anthony Dio Martin (38), seorang praktisi bisnis, trainer, speaker, ahli psikologi, dan juga personal coach, kembali menulis buku. Ia memberi judul Toxic Employee, Cara Ampuh untuk Mengenali dan Menghadapi Para Karyawan Bermasalah!

Ini merupakan buku keenam Dio Martin. Sebelumnya, psikolog lulusan UGM itu menulis soal Emotional Quality Management (tentang pengembangan kecerdasan emosional di Indonesia), Management Intrapreneurship, Smat Emotion Volume 1 & 2, dan terakhir buku Pelampung Hati (kumpulan kisah inspirasi) yang pernah disiarkan di radio Sonora, Jakarta.

Dalam kata pengantar atas buku terbitan HR Excellency, Dio Martin menuturkan bahwa tujuan terpenting dari buku ini adalah untuk menjelaskan bukan untuk melabel orang. ”Bahaya terbesar dari membaca buku semacam ini yang perlu dihindari adalah tendensi untuk melabel orang-orang di sekeliling Anda dan untuk tujuan itu, buku ini dihadirkan,” tutur Dio Martin.

Katanya lagi, buku hadir supaya para pembaca lebih paham, lebih mengerti sekaligus mempunyai strategi yang lebih baik menghadapi orang-orang yang sulit di kantor, syukur-syukur bisa mengubah mereka sehingga menjadi lebih baik.

”Itulah sebabnya, dengan memahami lebih baik diharapkan kita lebih mampu untuk mengubah mereka,” katanya lebih jauh. (POM)

Sumber: Kompas, Senin, 22 Februari 2010

Guru Profesional dan Plagiarisme

-- Mochtar Buchori*

KASUS 1.082 guru di Riau yang ketahuan menggunakan dokumen palsu agar dapat dikategorikan sebagai ”guru profesional” sungguh memilukan. Dalam hati saya bertanya, apakah guru-guru ini masih dapat mengajar di sekolah mereka?

Masih ada sederet pertanyaan lain dalam kasus ini tentang guru-guru ini. Yang sungguh mengganggu pikiran saya adalah bagaimana para guru itu masih dapat mengajar dengan baik setelah mereka kehilangan wibawa (gezag) akibat peristiwa ini? Sebutan ”guru profesional” tak akan dapat mengembalikan wibawa yang hilang karena plagiarisme tadi.

Bahkan, sebutan apa pun tak ada yang dapat mengembalikan wibawa yang hilang dalam jabatan guru. Titel ”profesor” sekali- pun tak dapat mengembalikan kewibawaan seorang guru besar yang melakukan plagiat. Contoh ini merujuk kasus plagiat seorang profesor dari perguruan tinggi terkemuka di Bandung yang dimuat The Jakarta Post pada 12/11/2009. Tulisan dinilai menjiplak artikel jurnal ilmiah Australia karya Carl Ungerer.

Kita tahu betapa kasus ini sangat memalukan dan memilukan, khususnya bagi dunia akademis. Pertanyaan penting adalah bagaimana ini dapat terjadi? Khusus tentang kasus plagiat oleh sejumlah guru di Riau, jangan-jangan ada sesuatu yang salah secara fundamental dalam program profesionalisasi bagi guru-guru kita. Sejak semula saya sudah ragu tentang program ini.

Ada ketentuan bahwa mereka yang berhasil memenuhi kriteria ”guru profesional” akan dapat tunjangan jabatan. Seharusnya, tambahan penghasilan itu jadi stimulus. Ironisnya, ia hampir jadi satu-satunya alasan yang mendorong banyak guru mengejar sebutan ”profesional”. Profesionalisme dalam pengetahuan dan kemampuan kerja tidak penting! Yang penting duit! Sikap ini jelas merusak profesi guru.

Lalu, apa sebenarnya profesionalitas guru itu? Definisi kuno mengenai ini meliputi dua hal, pertama, penguasaan materi pembelajaran, dan kedua, kepiawaian dalam metode pembelajaran. Karena cepatnya perubahan yang terjadi di sekolah dan di dunia pendidikan pada umumnya, definisi harus diubah. Penguasaan materi pembelajaran berubah menjadi ”kecintaan belajar” (love for learning) dan kepiawaian metodologi pembelajaran berubah menjadi ”kegemaran berbagi pengetahuan” (love for sharing knowledge). Yang terakhir ini kemudian diperbarui lagi menjadi ”kegemaran berbagi pengetahuan dan ketidaktahuan” (love for sharing knowledge and ignorance).

Mengapa terjadi perubahan- perubahan ini? Karena dunia pendidikan tidak statik. Pengetahuan berkembang terus. Metodologi pembelajaran juga berkembang terus. Kalau dulu pengetahuan dan keterampilan yang dikuasai guru pada waktu ia tamat dari pendidikan guru dapat bertahun-tahun, sekarang kedua hal tadi akan menjadi ketinggalan zaman dalam waktu lima tahun.

Sekarang ini terasa betul kebenaran ucapan seorang profesor Inggris pada tahun 1954: ”If you learn from a teacher who still reads, it is like drinking fresh water from a fountain. But if you learn from a teacher who no longer reads, it is like drinking polluted water from a stagnant pool”. Belajar dari guru yang terus membaca, rasanya seperti minum air segar. Namun, belajar dari guru yang tak lagi membaca, seperti minum air comberan.

Dan sekarang ini, dalam abad ke-21, seorang guru baru dapat disebut ”guru profesional” kalau dia memiliki learning capability, yaitu kemampuan mempelajari hal-hal yang harus dipelajarinya, hal-hal yang perlu dipelajarinya, dan hal-hal yang tidak perlu dan tidak dapat dipelajarinya. Kemampuan-kemampuan tumbuh dari pengetahuan tentang dirinya sendiri, siapa dirinya sebenarnya, dan mengetahui pula pribadi-pribadi bagaimana yang tidak mungkin dicapainya. Ditirunya, ya, tetapi dicapainya (verpersoonlijkt), tidak! Singkatnya, guru profesional adalah orang yang tahu diri. Orang yang tahu diri tidak akan melakukan plagiat.

Saya mendapatkan kesan bahwa esensi profesionalitas guru ini tidak pernah dijelaskan kepada guru-guru yang ingin maju, guru-guru yang benar-benar ingin memahami tugasnya dan memperbaiki kinerjanya. Kesan saya lagi, yang ditekankan dalam usaha-usaha peningkatan kemampuan (upgrading) adalah pengetahuan tentang kementerengan guru profesional. Hal-hal yang berhubungan dengan kosmetik keguruan profesional. Guru-guru muda yang baru selesai ditatar jadi guru profesional tampak ganteng (handsome) atau cantik, tetapi tidak memancarkan kesan keprofesionalan yang mengandung wibawa.

Jadi bagaimana sekarang? Untuk tidak mengulangi kecelakaan yang terjadi di Riau ini, perlu ada tinjauan yang jujur terhadap program dan praktik penataran yang dilaksanakan selama ini. Susun kembali programnya sehingga meliputi hal-hal esensial yang saya sebutkan di atas.

Tentang plagiat

Plagiat berasal dari kata Belanda plagiaat yang artinya ”meniru atau mencontoh pekerjaan orang lain tanpa izin”. Jadi, plagiat merupakan suatu bentuk perbuatan mencuri. Mengapa ini dilakukan, sedangkan guru selalu berkata kapada murid untuk tidak mencontek?

Melakukan plagiat adalah perbuatan mencontek dalam skala besar. Jadi, tindakan plagiat merupakan pelanggaran terhadap etika keguruan. Guru biasa pun akan mendapatkan aib kalau sampai melanggar etika ini. Jadi, mengapa terjadi pelanggaran yang bisa menurunkan harga diri guru seperti ini?

Dugaan saya, pertama-tama adalah karena para guru di Riau tadi ingin segera mendapatkan tunjangan finansial dan julukan ”guru profesional” beserta yang menyertainya. Ini tidak mengherankan! Karena setelah bertahun-tahun hidup dalam keadaan serba kekurangan, dengan kedudukan sosial yang tidak terlalu mentereng, maka ketika datang kesempatan untuk perbaikan, mereka berebut meraih kedua perbaikan sosial tadi secara cepat. Lebih cepat, lebih baik!

Kedua, ketentuan bahwa untuk jadi ”guru profesional” seorang guru biasa harus membuat karya ilmiah tidak benar-benar dipahami artinya. Membuat ”karya ilmiah” itu apa? Yang diketahui kebanyakan guru adalah bahwa ”karya ilmiah” adalah makalah yang disusun berdasarkan pemikiran atau penelitian sendiri. Sifat ilmiah harus terlihat dari judul, metodologi, dan istilah-istilah yang digunakan.

Di antara para guru yang mengejar sebutan profesional ini selama masa studi mereka banyak yang tidak mendapat kuliah atau latihan dalam membuat karya ilmiah. Mempelajari lagi kemampuan ini dari permulaan terasa sangat berat. Maka, dicarilah jalan pintas. Membayar orang untuk menyusun karya ilmiah ini, atau membajak karya ilmiah yang sudah jadi, dan di-copy tanpa izin. Dan terjadilah plagiat.

Bagaimanapun kasus plagiat ini harus segera ditangani secara serius dan jangan sampai terulang. Ingat, hal ini berpotensi terjadi lagi dan lagi kalau kita hanya menindak mereka yang tertangkap melakukan plagiat. Harus dilakukan langkah pencegahan. Bila kita gagal menghentikan praktik buruk plagiat oleh guru-guru ini, seluruh masa depan pendidikan kita akan menghadapi kehancuran.

* Mochtar Buchori, Pendidik

Sumber: Kompas, Senin, 22 Februari 2010

Langkan: Pelestarian Bahasa Daerah Harus Kreatif

PELESTARIAN bahasa Sunda membutuhkan kreativitas dan penyesuaian yang selaras dengan perkembangan masyarakat. Hal itu harus dilakukan untuk mempermudah dan menimbulkan motivasi masyarakat mempelajari bahasa Sunda. ”Inovasi dan kreativitas mutlak diperlukan guna mengajak masyarakat mengenal dan mempelajari bahasa Sunda. Sulit bila sekadar menyuruh menggunakan tanpa mengenalkannya atau memberikan contoh menarik mempelajarinya,” tegas Rektor Universitas Padjadjaran Gandjar Kurnia dalam peringatan Hari Ibu Internasional di Bandung, Minggu (21/2). Peringatan diisi antara lain dengan seminar nasional pelestarian bahasa ibu yang melibatkan profesor di Jurusan Studi Asia, Universitas Nazan, Nagoya, Jepang, Mikihiro Moriyama, peluncuran buku seniman Sunda seperti Euis Komariah dan Etti RS, serta beragam perlombaan populer bertema Sunda. (CHE)

Sumber: Kompas, Senin, 22 Februari 2010

Sunday, February 21, 2010

Mengenang 10 Tahun Popo Iskandar: Totalitas pada Proses Kreatif

POPO Iskandar bukanlah sekadar aset Bandung atau Jawa Barat. Ia adalah aset Indonesia. Popo Iskandar bukan hanya pelukis besar, tetapi juga figur penting yang pergumulannya dalam perubahan budaya negeri ini mengandung kedalaman dan bersifat paradigmatik. Tidak banyak pelukis yang selain produktif melahirkan adikarya, mampu pula mengartikulasikan renungan-renungan intelektualnya secara verbal dan tajam. Mestinya, menghormati Popo Iskandar memang tidak cukup hanya dengan mengoleksi lukisan-lukisannya. Diperlukan pula kajian yang lebih mendalam atas khazanah pemikiran dan pergumulan kulturalnya.

Demikian Prof. Dr. I. Bambang Sugiharto mengemukakan pandangannya dalam acara mengenang 10 tahun wafatnya pelukis Popo Iskandar serta berdirinya lembaga Popo Iskandar Reading Club (PIRC) di Griya Seni Popo Iskandar (GSPI), Jln. Setiabudhi, Bandung, baru-baru ini.

Apa yang diungkapkan Bambang dalam sambutannya itu memang tidak salah. Selama ini orang mengenal Popo Iskandar bukan hanya melulu sebagai pelukis yang asyik dengan apa yang dikreasinya, tetapi juga dikenal sebagai pemikir yang tangguh yang tidak hanya memikirkan seni rupa, tetapi juga mengkaji karya sastra dan karya seni lainnya dengan buah pikiran yang bernas. Perhatiannya terhadap pendidikan seni rupa khususnya, cukup tinggi. Tak aneh kalau di mata murid-muridnya Popo dikenal sebagai dosen yang arif bijaksana serta luas ilmu pengetahuannya. Dalam bidang sastra, misalnya, Popo dengan cerdas berhasil membahas puisi Sutardji Calzoum Bachri ketika orang-orang belum ramai membicarakannya. Tulisannya itu diberi judul ”Sutardji Calzoum Bachri: Potret Penyair Muda dan Karyanya”, serta dimuat di majalah Budaya Jaya yang dikelola antara lain oleh penyair Ajip Rosidi.

Bambang Sugiarto mengatakan, bagi Popo, menggeluti seni modern berarti memasuki pola berpikir modern. Konsekuensinya, seorang seniman mesti masuk dalam pemahaman teoritis yang pelik. Dalam istilah pribadinya yang khas, seorang seniman harus ”masuk dalam dialog spiritual serta mobilisasi pikiran.” Akan tetapi, yang lebih menarik lagi, baginya menjadi modern adalah menjadi individu yang bebas, mandiri, objektif, dan toleran. Menjadi modern berarti juga mampu mencari jati diri dengan bersikap terbuka secara kritis terhadap segala pengaruh luar, sambil senantiasa "inventif" serta "heraldik" (memberi isyarat atas gelagat yang bakal datang) dalam mengolah tradisi budaya sendiri.

Sebagai perupa, Popo memang tidak lupa dengan budaya sendiri sebagai titik pijaknya dalam berkesenian. Diakui atau tidak, tembang Sunda Cianjuran yang digandrunginya selama ini memberikan pengaruh estetik yang demikian besar pada karya-karya yang dikreasinya. Pengaruh itu adalah kelembutan. Lihat saja, segarang apa pun objek ayam jago, kucing, atau macan yang dilukisnya, selalu tampak lembut, romantis, dan bahkan melankolis. Popo pernah berkata kepada penulis jika malam tiba ketika dirinya melukis, ia senantiasa ditemani oleh lagu-lagu tembang Sunda Cianjuran, mulai dari papatet, dedegungan, hingga papantunan dan jejemplangan. Untuk itu, tak aneh bila sering pula kita temukan sejumlah dangding yang ditulis oleh Popo Iskandar di majalah Sunda, Mangle.

Buah pikirannya yang bisa kita petik antara lain dari apa yang pernah ditulisnya pada 9 Oktober 1995. Dalam catatan hariannya yang disusun dan diketik ulang oleh almarhum Mamannoor, Popo mengatakan, sebuah lukisan adalah sebuah bagian dari serangkaian lukisan-lukisan yang merupakan manifestasi dari pengejawantahan gagasan-gagasan dan citra pelukis. Jadi, ia tidak berdiri sendiri. Ia merupakan bagian integral dari setiap upaya pelukis dari masa lalu, masa kini, dan yang akan dilakukannya di masa mendatang. Betapa pun ia bukanlah rekaman dari apa yang ia lihat, melainkan suatu interprestasi dari apa yang ia hayati melalui subject-matter-nya. Oleh karena itu, sebuah lukisan adalah suatu pernyataan dari citra pelukis yang selalu mengambang (continuous flux). Artinya, ketika seseorang berkarya seni, ia menciptakan sebuah dunia baru yang bahan-bahannya ia cerap dari dunia sehari-hari atau pengalaman sehari-hari. Dengan demikian, apa yang disebut karya seni adalah sebuah dunia rekaan, sebagaimana dikatakan Prof. Dr. A. Teeuw, tepat adanya. Sekalipun apa yang dibicarakan A. Teeuw dalam konteks tersebut adalah untuk karya sastra.

Ada pun sejumlah buah pikiran Popo Iskandar lainnya bisa kita baca dalam dalam buku Alam Pikiran Seniman (Aksara Indonesia, November 2000). Sejumlah serpihan pikirannya terdapat dalam buku Popo Iskandar yang ditulis oleh Mamannoor (Yayasan Matra Media, 1998) dan Perspektif Karya-karya Popo Iskandar yang ditulis oleh Jim Supangkat dan Dr. I Bambang Sugiharto (Studio Titian Seni, 2000).

**

PELUKIS kelahiran Garut 17 Desember 1927 ini, sejak 1958 - 1994 banyak menulis kritik sastra dan seni rupa. Selama kurun waktu tersebut, Popo telah menulis 500 tulisan yang tersebar di berbagai media massa cetak. Tulisan tersebut antara lain berupa 229 artikel berbahasa Indonesia, 25 makalah ceramah seni dan pendidikan, serta 6 makalah berbahasa Inggris. Pada 1977, Popo ditugaskan Akademi Jakarta untuk menulis buku tentang pelukis Affandi yang diberi judul Affandi, Suatu Jalan Baru Terhadap Expresionisme.

Pelukis yang meninggal dunia pada 29 Januari 2000 di Bandung dan dikebumikan di Wanaraja Garut, Jawa Barat, pada 30 Januari 2000 ini, pada masa masa-masa awal kariernya pernah belajar melukis pada Angkama Setjadipradja, Hendra Gunawan, dan Barli Sasmita. Kemudian, ia bergabung dengan Keimin Bunka Shidoso Bandung untuk selanjutnya belajar di Jurusan seni Rupa ITB sejak 1954 - 1958 sebelumnya sempat studi di MIPA dan Arsitektur ITB.

Sebagai seniman yang luas ilmu pengetahuannya, pada 1970 ia diangkat menjadi anggota seumur hidup oleh Akademi Jakarta. Selanjutnya pada 1980, ia memperoleh Anugerah Seni RI. Selain itu, atas jasa dan dedikasinya pada perkembangan dunia seni rupa di tanah air, pada 2002, Presiden Megawati memberi penghargaan Satya Lencana Kebudayaan kepada almarhum.

Budayawan Umar Kayam dalam buku Seni, Tradisi, Masyarakat (Sinar Harapan, 1981) menyebut Popo sebagai pelukis terkemuka pada zamannya. ”Prestasi ini dicapainya lewat aktivitas berkarya yang sangat tekun, gigih, dalam mengembangkan pribadinya sendiri dan agaknya juga rajin membaca berbagai karya. Tema-tema lukisannya berbagai macam, mulai dari kucing, pohon bambu, laut, perahu, dan sebagainya. Agaknya pelukis ini tidak tertarik dengan tema-tema besar,” ujarnya.

Kehadiran Popo dalam dunia seni rupa di Indonesia yang lahir dari tatar Sunda adalah satu contoh yang patut ditiru jejaknya oleh siapa pun. Ketika berkarya, sebagaimana dikatakan Harry Nugraha anak pelukis Popo Iskandar, dirinya tidak pernah berpikir apakah yang dikreasinya itu akan menghasilkan uang atau tidak. ”Yang penting bagi seorang seniman dalam berkarya seni adalah mengabdikan dirinya secara total pada proses kreatif yang tengah dihadapinya. Intensitas dan kualitas karya seni akan bisa dirasakan oleh para apresiatornya bila si seniman berkarya dengan sungguh-sungguh,” ujar Harry, mengenang kembali apa yang dikatakan Popo terhadap dirinya.

Mengenang 10 tahun kepergian Popo Iskandar menghadap Allah SWT, pada satu sisi adalah mengenang tonggak-tonggak keberhasilan seniman Bandung yang telah memberikan warna baru bagi perkembangan dan pertumbuhan kesenian itu sendiri. Selain Popo, tentu saja ada seniman lainnya yang juga pantas dikenang dan dibicarakan karya-karyanya. Misalnya, almarhum Harry Roesli untuk bidang musik, dan almarhum Wing Kardjo untuk bidang penulisan puisi dengan kekuatan simbolismenya yang dicerapnya di Prancis. Tiga seniman tersebut cukup fenomenal. Karya-karya yang dikreasinya hingga kini tiada henti dikaji orang untuk kepentingan pendidikan seni itu sendiri di masing-masing bidang yang ditekuninya. (Soni Farid Maulana/”PR”)

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 21 Februari 2010

”Miindung ka Waktu Mibapa ka Zaman”

-- Toni Heryadi T.

SETIAP tanggal 21 Februari, frase "Bahasa Ibu" mulai menjadi akrab lagi bagi kita. Setelah di tahun 1999 UNESCO menetapkan 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional (International Mother Language Day), tahun demi tahun berikutnya setiap entitas bangsa--yang masih memiliki kepedulian terhadap bahasa ibunya-- menjadikan hari tersebut sebagai momentum untuk merefleksikan kembali segala hal yang berkaitan dengan bahasa ibunya masing-masing.

Kata kuncinya tentu "pelestarian". Hal ini terkait dengan fakta objektif bahwa dinamika zaman, khususnya di zaman informasi globalisasi ini, potensi luntur dan hilangnya bahasa ibu --disulih oleh bahasa nasional atau bahasa pergaulan internasional--sangat niscaya untuk terjadi.

Berdasarkan pengamatan para ahli, di planet Bumi ini ada lebih kurang 6.000 bahasa. Pada akhir abad ini, diprediksikan akan tersisa setengahnya, dengan kata lain kurang lebih 3.000 bahasa akan punah pada akhir abad ke-21.

Data di Indonesia sendiri terdapat lebih kurang 746 bahasa. Diprediksikan sekitar 44 persen atau 160-an lebih bahasa kini terancam punah karena penuturnya yang makin sedikit antara 2 sampai 90 orang saja.

Dalam lingkup keseharian kita di Jawa Barat, kita sendiri tentu merasakan betapa bahasa Sunda--sebagai bahasa ibu kita-- tahap demi tahap mulai terdegradasi baik oleh bahasa nasional maupun oleh bahasa pergaulan internasional.

Pelunturan ini seiring dengan perkembangan zaman, bagaimanapun perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi begitu kuat pengaruhnya pada bergesernya perilaku masyarakat dalam berbahasa. Para pemerhati kebudayaan sendiri telah menyadari hal ini. Sering dikemukakan para pengamat bahwa kehadiran teknologi informasi di Indonesia ditandai dengan mulai masifnya televisi sebagai sarana hiburan dan informasi di sekitar 1960-an, bisa diamati bahwa pola hidup masyarakat pra-1960-an relatif lambat. Namun, pasca-1960-an perubahan masyarakat sangat pesat yang mungkin bisa beberapa kali lipat. Berubah dan senantiasa akan terus berubah, termasuk perubahan dalam berbahasa.

Situasi ini tentunya tidak membuat kita harus pesimistis, tetapi justru membuat kita harus lebih optimistis, optimistis tidak dalam arti dengan menjadikan objek kaku yang bertahan dari segala benturan, tetapi harus menjadikan bahasa Sunda sebagai sebuah perangkat komunikasi yang lentur yang bisa fleksibel berakulturasi dengan bahasa lain sehingga akan menjadi sebuah bahasa yang berkembang sesuai dengan perubahan zaman. Filosofi miindung ka waktu mibapa ka zaman dari Ki Sunda sangat bermkana untuk dipakai sebagai filosofi dasar kita dalam rangka melestarikan bahasa Sunda. Filosofi ini memprasyaratkan kita untuk tetap jeli memetakan situsi dan mengambil langkah-langkah konkret sesuai dengan perkembangan zaman supaya bahasa Sunda tetap lestari.

Secara sederhana, peta dari strategi pelestarian bahasa ibu kita bisa dilihat dari adanya subjek penutur bahasa itu sendiri yang secara sederhana bisa kita bagi menjadi tiga generasi dengan segala tipikalnya.

Generasi pertama sebut saja generasi penutur primer dengan tipikal usia antara 40-100 tahun. Generasi ini memiliki intensitas yang lebih kuat dengan bahasa Sunda sehingga lebih fasih dan lebih memiliki kepedulian untuk melestarikan bahasa Sunda pada generasi penerusnya.

Generasi kedua adalah generasi penutur sekunder dengan tipikal usia rata-rata 20 sampai dengan 40 tahunan. Generasi ini adalah generasi pertengahan yang pada masa kecilnya merasakan intensitas yang kuat dengan bahasa Sunda. Namun, seiring perkembangan zaman yang pesat, intensitas pemakaian bahasa Sundanya meluntur.

Mereka inilah yang melahirkan generasi ketiga, yaitu penutur tersier. Generasi ini adalah generasi yang sedikit intensitasnya dalam bahasa Sunda. Bahkan, ada kemungkinan karena dilahirkan oleh generasi sekunder, mereka tidak merasa bahasa Sunda sebagai bahasa ibunya. Bahasa Sunda tak lebih dari sekadar bahasa geografis semata yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari di sekitar tempat tinggal mereka.

Pemilahan tiga generasi tersebut tentunya tidak hitam-putih. Masih sangat gradatif sifatnya, tetapi dari pembagian tersebut setidaknya kita bisa memperkirakan bahwa problematika utama adalah bagaimana mentransformasikan tuturan dari generasi primer atau sekunder kepada generasi tersier? Secara pragmatis, bagaimana menjadikan generasi tersier ini nantinya menjadi generasi primer? Hal ini disebabkan merekalah yang akan mewariskan lagi bahasa Sunda kepada generasi-generasi berikutnya.

Proses transformasi ini perlu didukung oleh semua entitas, termasuk institusi pendidikan formal dan juga keluarga. Proses transformasi yang dilakukan juga harus kreatif. Bagaimana bahasa Sunda tidak hanya dianggap objek kering secara akademik belaka, tetapi juga dijadikan ruh yang meresap dalam alam batin generasi-generasi tersier. Penerbitan komik bahasa Sunda, film animasi bahasa Sunda, pertunjukan wayang berdurasi pendek di sekolah-sekolah dan sebagainya adalah salah satu bentuk konkret proses transformasi yang bisa dilakukan.

Selanjutnya, khusus dalam momentum peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional, kiranya penting diadakan acara yang tidak hanya bersifat seremonial akademik belaka, tetapi juga acara yang tepat sasaran dan bersinambungan tidak secara sporadis.

Dengan semangat kerja keras, kerja cerdas, dan kerja sinambung dari berbagai pihak, bahasa Sunda akan menjadi bahasa ibu kita yang tetap lestari sepanjang masa.***

Toni Heryadi T., pemerhati bahasa

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 21 Februari 2010