Thursday, October 07, 2010

[Sosok] Sunta Atmaja: Nilai Lokal yang Terlupakan

-- Cornelius Helmy

SAAT mengajar Bahasa Sunda, Sunta Atmaja merasa miris ketika seorang murid kesulitan menjawab saat diminta mencari persamaan kalimat ”sampah ditimbun dalam tanah” dalam bahasa Sunda. Siswa itu menjawab ”runtah diurugan di jero taneuh” atau ”runtah diurugan taneuh”.

Sunta Atmaja (KOMPAS/CORNELIUS HELMY HERLAMBANG)

Bagi warga setempat yang berbahasa Sunda dialek Karawang, jawaban itu tak salah. Namun, pengertiannya berbeda dengan bahasa Sunda umumnya. Berdasarkan Kamus Basa Sunda karya RA Danadibrata, diurugan itu salah sebab dalam bahasa Sunda kegiatan menimbun sampah biasa disebut disaeur.

Masih banyak contoh lain. ”Di satu sisi, saya senang masih ada anak Karawang yang mengenal bahasa Sunda dialek Karawang. Namun, saya juga prihatin dan khawatir apabila nanti jawabannya itu dianggap keliru,” kata Sunta yang pernah menerjemahkan The Adventures of Huckleberry Finn karya Mark Twain ke dalam bahasa Sunda sebagai cerita bersambung di koran berbahasa Sunda.

Sunta menekuni perbedaan arti antara bahasa Sunda dialek Karawang dan bahasa Sunda pada umumnya. Faktanya, sampai saat ini ia menemukan sekitar 1.000 kata berbeda. Ia berpikir, apabila tidak ada panduan mengenai hal ini, kekeliruan itu akan terjadi berkepanjangan.

”Masih banyak terjadi interaksi pendidikan bahasa daerah tidak berjalan dengan baik karena guru Bahasa Sunda minim pengetahuan dan anak didik enggan bertanya karena kebingungan,” katanya.

Keprihatinan itu mendorong Sunta berbuat sesuatu. Ia ingin agar bahasa Sunda dialek Karawang tetap ada tanpa harus berbenturan dengan bahasa Sunda pada umumnya yang diajarkan di sekolah. Setelah berpikir tentang alternatif metode pelajaran yang tepat, ia menyusun kamus khusus bahasa Sunda, yaitu Kamus Basa Sunda Wewengkon Karawang.

Kritik dan pesimisme teman-temannya menjadi pemicu Sunta untuk terus maju. Dia ingin memberikan kemudahan saat mengajar muridnya. Belum terpikir kamus itu akan dibukukan. Lagi pula, ia mengaku tidak memiliki uang untuk membiayai penerbitan sebuah buku.

Memancing minat

Sejak 1998, ia pun mulai rajin mencari referensi kata-kata yang berbeda dalam bahasa Sunda umumnya dengan bahasa Sunda dialek Karawang. Masa kanak-kanak di tempat kelahirannya di Desa Pacing, Kecamatan Jatisari, yang ketika itu berbatasan dengan Kecamatan Cilamaya yang penduduknya berbahasa ”Jawa” (bahasa Cirebon dialek Karawang) merupakan ”referensi” bahasa Sunda dialek Karawang yang kental. Banyak kata dan frase bahasa setempat yang berbeda dengan bahasa Sunda umumnya.

Untuk dokumentasi awal dan memancing minat masyarakat, ia rajin menuliskan kata yang ditemukan di rubrik ”Basa Wewengkon Karawang” di koran berbahasa Sunda, Giwangkara. Biasanya minimal 10 kata ia tuliskan lengkap dengan arti kata dalam bahasa Sunda umumnya dengan contoh kalimat. Ternyata pembaca sangat antusias dengan ide ini.

”Kebetulan saya juga wartawan dan pengasuh rubrik di Giwangkara,” katanya.

Akhirnya, pada 2009 ia berhasil menyelesaikan Kamus Basa Sunda Wewengkon Karawang. Di dalamnya terdapat sekitar 1.000 kata dengan contoh kalimat. Secara tak terduga, ada salah satu penerbit lokal yang tertarik menerbitkannya. Berkahnya berlipat ganda setelah penerbit itu juga memperbanyak kamus yang ia buat sebelumnya, yaitu Kamus Sunda-Indonesia.

Keberhasilan itu mendorong dia semakin getol membuat kamus lain. Salah satunya adalah Kamus 4 Bahasa: Jawa Karawang-Sunda-Indonesia-Inggris. Di dalamnya terdapat bahasa ”Jawa” (bahasa Cirebon dialek Karawang) dengan padanan bahasa Sunda, Indonesia, dan Inggris. Sunta, yang pernah menempuh program pendidikan diploma tiga Bahasa Inggris Penerjemahan di Universitas Terbuka Bandung, ini benar-benar menggunakan keahliannya berbahasa Inggris.

Yang paling mutakhir adalah buku Idiomatika Basa Sunda. Buku referensi ini, menurut Sunta, memerlukan waktu paling lama. Alasannya, ia mengumpulkan data mengenai idiomatika dalam bahasa Sunda sejak 12 tahun lalu. Salah satu kesulitannya adalah karena idiomatika sebetulnya tidak akrab digunakan dalam bahasa percakapan sehari-hari, baik bahasa Sunda maupun bahasa Indonesia.

Buku Idiomatika Basa Sunda yang tebalnya lebih dari 500 halaman dan rencananya terbit bulan depan ini dilengkapi foto dan gambar. ”Semacam buku pintar yang sederhana,” ujarnya.

Kerja kerasnya berbuah manis. Di samping bukunya diterbitkan untuk umum, murid di sekolahnya juga telah pandai menempatkan penggunaan bahasa Sunda.

Guru terbaik

Pengakuan terhadap Sunta juga muncul dari berbagai kalangan. Salah satunya ketika dia dinobatkan sebagai Guru Terbaik Kategori Sekolah Dasar Hadiah Hardjapamekas pada 2009 yang baru diserahkan akhir September 2010 di Bandung.

Sunta menyatakan, ia ingin membantu pengembangan bahasa ibu di daerah lain pantai utara Karawang dan sekitarnya, seperti bahasa Melayu Betawi dialek Karawang dan bahasa ”Jawa” (bahasa Cirebon dialek Karawang-Subang). ”Banyak sekali ragam bahasa yang digunakan penduduknya karena wilayah itu kerap dijadikan transit para pendatang dengan banyak mata pencarian, seperti nelayan dan petani,” ujarnya.

Banyaknya penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari sedikit banyak juga membuat siswa kebingungan. Ia yakin, hanya sedikit anak muda yang paham bahasa ”Jawa Loran”, yaitu bahasa dialek yang dipakai penutur bahasa di pantai utara Pulau Jawa antara Karawang, Subang, Indramayu, dan Cirebon.

”Banyak sekali jenis bahasa yang digunakan masyarakat. Namun, karena tidak adanya referensi yang jelas, dikhawatirkan bahasa ibu-bahasa ibu itu akan hilang. Padahal, menurut hak asasi bahasa dunia, bahasa ibu yang setiap tahun diperingati sebagai International Mother Language Day itu berhak untuk hidup,” ujarnya.

Dia berharap, pemerintah juga terus menggalakkan pemahaman tentang bahasa ibu di tiap daerah. Tujuannya bukan menciptakan rasa fanatik pada suatu bahasa, melainkan berdasarkan penelitian, bahasa ibu bisa memperkuat jati diri dan tingkat kecerdasan seseorang.

SUNTA ATMAJA
• Lahir: Karawang, 13 November 1965
• Istri: Maryati (42)
• Anak: Mamay Wijaya Atmaja, Fitri Novianita Atmaja, Danny Wijaya Atmaja
• Pendidikan: - D-3 Bahasa Inggris - Penerjemahan UPBJJ-UT - Bandung, tak tamat- S-1 Jurusan Pendidikan - Sekolah Dasar UPBJJ-UT - Bandung, belum selesai
• Pekerjaan: - Guru SDN Mulyasari I UPTD - TK, SD Kecamatan Ciampel, - Kabupaten Karawang,- 1986-kini- Guru tak tetap SMPN 1 - Ciampel, Karawang, - 1992-2004- Wartawan koran Sunda, - ”Giwangkara”, Bandung, - 1998-kini- Redaksi majalah pendidikan - ”Gapura Winaya”, Karawang, - 1998-2008- Redaksi majalah ”Singaper-- bangsa”, Karawang, - 2006-2007- Redaksi majalah ”Gema - Pendidikan”, Karawang, 2010
• Penghargaan: Guru Terbaik Kategori Sekolah Dasar Hadiah Hardjapamekas, 2009

Sumber: Kompas, Kamis, 7 Oktober 2010

No comments: