Saturday, October 31, 2009

Masyarakat Adat Tak Dapat Akses, Rembuk Nasional Ancam Keselamatan Rakyat

Jakarta, Kompas - Rembuk nasional mengancam keselamatan rakyat karena rakyat lokal, termasuk masyarakat adat, tidak diikutsertakan. Di sisi lain rembuk nasional dinilai mengutamakan kepentingan minoritas elite yang bisa mengancam keselamatan lingkungan dan sumber daya alam.

Hal itu mengemuka dalam pernyataan bertajuk Skandal National Summit dan Rakyat yang Selalu Terjepit, Jumat (30/10) di Jakarta. Pernyataan tersebut disampaikan oleh sejumlah aktivis prolingkungan dari beberapa organisasi nonpemerintah, yaitu Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Koalisi Anti-Utang (KAU), Institut Indonesia Hijau (IHI), Reform Institute, dan Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima).

”Ini merupakan skandal jorok karena dengan mengatasnamakan demokrasi, keadilan, dan kesejahteraan rakyat, ternyata rakyat malah tidak mendapatkan akses. Seharusnya akses diberikan kepada rakyat. Para pelaku bisnis, birokrat, ekonom, dan NGO (organisasi nonpemerintah) tidak dapat menjadi representasi rakyat,” ujar Teguh Surya dari Walhi.

Rembuk nasional yang digelar 29-31 Oktober 2009 di Gedung Bidakara, Jakarta, seperti dikatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bertujuan untuk mencapai sasaran 2014, target pertumbuhan ekonomi 7 persen, pengangguran turun 5-6 persen, dan kemiskinan turun 8-10 persen. Untuk itu, perlu investasi tinggi guna menggerakkan ekonomi (Kompas, 30/10).

Menurut Sekretaris Jenderal Kiara Riza Damanik, ”Pertemuan ini melibatkan individu yang salah, seharusnya melibatkan masyarakat karena mereka yang memberi mandat kepada Presiden.” Koordinator IHI Chalid Muhammad menyatakan, ”National summit menunjukkan bahwa pemerintah telah takluk kepada korporatokrasi.” National summit dikoordinasi pihak Kamar Dagang dan Industri Indonesia. Yudi Latif dari Lima mengingatkan, ”Republik ini bukan urusan pemerintah dan investor saja. Jika hanya itu, kepentingan privat dan investor yang terpenuhi saja.”

Koordinator Jatam Siti Maemunah menyoroti keinginan Presiden untuk menghilangkan regulasi yang menghambat investasi. ”Jika peraturan lingkungan hidup, sumber daya alam, diperlemah, rakyat akan menuai bencana,” ujarnya. Dia menggambarkan, 40 persen rakyat miskin di Kalimantan Timur justru di sekitar daerah pertambangan besar.

Menurut Chalid, jika investasi didorong dengan melemahkan peraturan lingkungan dan mengabaikan kontrol dari masyarakat lokal, justru akan meningkatkan jumlah kemiskinan dan konflik. ”Saat ini ada sekitar 4.000 konflik di masyarakat antara rakyat dan pengusaha,” ujarnya. (ISW)

Sumber: Kompas, Sabtu, 31 Oktober 2009

[Teroka] Invasi Budaya dalam Mitologi Etnik

-- Riki Dhamparan Putra*

BANGSA Minangkabau di Sumatera bagian tengah dan suku bangsa Lamaholot di Adonara, Flores Timur, termasuk di antara suku bangsa yang mempunyai warisan peninggalan fisik zaman megalitik. Namun, dalam perkembangannya, kedua bangsa ini menjadi rumpun budaya yang berbeda, baik secara genetis, geografis, bahasa, maupun kepercayaan dan adat istiadatnya.

Pada masa lalu mungkin kedua suku bangsa ini pernah bertemu pada masa persebaran ras Proto-Melayu ke berbagai wilayah Nusantara. Namun, kini sulit kita menemukan kesamaan fisik antara kedua suku bangsa itu. Begitu pun dalam sistem kekerabatannya yang berbeda hampir diametral. Minangkabau adalah matrilineal, sedangkan Lamaholot di Adonara adalah patrilineal.

Apa yang agak paralel dari keduanya adalah soal mitologi tentang asal-usul nenek moyang mereka, yang dalam makna tertentu dapat disebut sebagai sebuah invasi budaya. Hal ini bisa dijelaskan bagaimana sebuah mitos dibangun untuk mengukuhkan kekuasaan baru dengan cara menghancurkan mitos lama. Inilah pola yang juga terdapat di banyak kelompok etnik lain di Nusantara ini.

Dua mitologi

Dalam kultur Lamaholot awalan terjadi bersamaan berdirinya Ile Boleng (Gunung Boleng) dan terciptanya perempuan dari sebatang bambu, Sedo Lepan, yang tubuhnya dipenuhi bulu lebat. Suatu hari tubuh Sedo Lepan pecah dan menjelma menjadi seorang putri bernama Kewa Sedo Bolen.

Di bagian lain ada seorang lelaki bernama Kelake Ado Pehan. Ia diusir dari Pulau Lepang Batang karena dituduh menyebarkan ilmu hitam. Berbekal setabung moke (arak) dan sebilah pisau mere, ia pun menyeberangi laut dan terdampar di Adonara.

Di pulau itulah Kelake Ado Pehan menemukan Kewa Sedo Bolen yang pada suatu malam ia beri minum moke sehingga sang putri mabuk dan tertidur. Saat itulah dia mencukur seluruh bulu di tubuh Kewa Sedo Bolen dan melihat betapa cantik jelitanya perempuan tersebut. Mereka lalu menikah dan melahirkan 7 anak yang kelak menyebar ke seluruh Pulau Adonara, menjadi nenek moyang suku-suku di Adonara.

Secara garis besar suku-suku itu dibagi menjadi Ata Kiwang (orang gunung) dan Ata Watan (orang pesisir). Ata Kiwang biasa dianggap suku Lamaholot purba, yang tinggal di pedalaman dan tidak mempunyai budaya melaut. Adapun Ata Watan lazim juga disebut Sinajawa (istilah umum Lamaholot untuk suku-suku yang datang dari Ternate, Melayu, Bugis, dan Jawa) yang tinggal di pesisir. Interaksi Kiwang-Wetan inilah yang kemudian memproduksi seluruh imajinasi budaya Lamaholot.

Adapun di Minangkabau, Sumatera, yang menurut para tukang kaba, nenek moyangnya turun dari Gunung Merapi.

Modus pendatang

Kalau diperhatikan, struktur kedua cerita di atas dibangun di atas fondasi yang sama, yakni ada ”kaum pendatang yang meletakkan sendi-sendi peradaban”. Metafora gunung di sini hanya untuk menegaskan proses kedatangan itu. Pendatang baru secara aktif membangun dinamikanya sendiri di wilayah baru.

Mitos-mitos di atas terpelihara secara baik dalam pikiran adat kita. Bahkan disakralkan untuk mengunci posisi dominan kekuasaan pendatang. Sebuah modus invasionis yang memiliki dampak hingga hari ini.

Budaya rendah diri

Berlaku dan bertahannya sebuah mitos seperti di atas mungkin bukan disebabkan ”ketaksadaran kolektif” manusia, sebagaimana dikatakan CG Jung. Namun, sebaliknya, diciptakan dengan penuh sadar. Karena mitologi adalah gelanggang yang paling baik bagi proses penguasaan narasi, sekaligus counter narasi atas kenyataan yang sebenarnya.

Dalam proses ini, kadang kita menemukan jarak yang lebar antara narasi dan subyek yang dinarasikan. Figur yang dimitoskan kadang kala tidak mencerminkan keadaan yang berlaku. Dengan demikian, narasi mitos sebenarnya adalah sebuah pengelabuan terhadap fakta. Suatu dusta yang dikekalkan.

Masalahnya, dusta yang berlangsung berabad-abad ini pada gilirannya akan menjadi kebenaran publik karena dusta itu membentuk imajinasi publik. Ini terjadi di antaranya adalah lemahnya daya apresiasi (kritis) publik terhadap mitologi.

Akhirnya, publik etnik itu sendiri berkembang menjadi masyarakat yang rendah diri, ketidakpercayaan diri (juga pada asal-usulnya sendiri), dan memuncak pada ketidakmampuannya mengakselerasi perkembangan budaya terbaru. Kita sangat mudah ditelan produk budaya baru, baik berupa gagasan maupun berupa benda. Dengan mudah pula kita melupakan pencapaian budaya yang sebenarnya pernah kita capai.

Bisa dibayangkan, bagaimana dan ke mana sebuah bangsa seperti itu menggapai masa depannya. Tragisnya, Anda, juga saya, ada di dalamnya.

* Riki Dhamparan Putra, Penyair dan perantau budaya asal Minang, kini menetap di Bali

Sumber: Kompas, Sabtu, 31 Oktober 2009

Benahi Kurikulum, Standar Internasional Bukan Prioritas

Jakarta, Kompas - Kurikulum pendidikan yang berlaku saat ini lebih menekankan pada hafalan dan mengabaikan kreativitas siswa. Karena itu, kurikulum di semua jenjang pendidikan harus dievaluasi sehingga potensi individu siswa tergali sekaligus bisa mengembangkan kreativitas mereka.

”Tidak usah dulu mengejar standar-standar internasional. Namun, esensi pendidikan untuk bisa menciptakan siswa yang mampu mengembangkan rasa ingin tahu, kreatif, dan punya kemampuan belajar sepanjang hayat yang perlu dikejar,” kata S Hamid Hasan, Ketua Umum Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia, yang dihubungi dari Jakarta, Jumat (30/10).

Menurut Hamid, pembenahan kurikulum itu, terutama membuat standar isi dan standar kompetensi lulusan, bisa menghasilkan siswa-siswa yang memiliki rasa ingin tahu, mandiri dalam belajar, serta kreatif dan inovatif, termasuk juga memiliki sikap-sikap kewirausahaan.

Secara terpisah, Antonius Tanan, Presiden Direktur Universitas Ciputra Entrepreneur Center, mengatakan, kurikulum pendidikan yang sudah diterapkan itu perlu diperkaya dari sisi isi atau materi. Penekanannya harus memberi ruang untuk berkembangnya kreativitas dan kewirausahaan abad XXI.

”Pola-pola pengajaran mesti bisa membangun kreativitas dan keterampilan hidup atau lifeskills siswa,” ujar Antonius.

Menurut Antonius, secara konsep tentang pendidikan holistik sebenarnya Indonesia sudah menuangkannya dalam Pasal 3 UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

”Konsep pendidikan menjadikan siswa manusia paripurna sudah benar. Namun, kita lemah dalam implementasinya,” kata Antonius Tanan. (ELN)

Sumber: Kompas, Sabtu, 31 Oktober 2009

Kita Perlu Humaniora

-- Mikhael Dua

DEPARTEMEN Pendidikan Nasional baru-baru ini menurunkan berita sekitar serah terima jabatan Mendiknas dari Prof Dr Bambang Sudibyo MBA kepada Prof Dr I H Mohammad Nuh DEA. Dalam sambutannya, Mohammad Nuh yang sebelumnya menjabat Menteri Komunikasi dan Informatika pada Kabinet Indonesia Bersatu periode 2007-2009 mengatakan pendidikan adalah persoalan yang sangat kompleks. Oleh karena itu, diperlukan partisipasi masyarakat. Pendidikan, lanjut dia, juga tidak bisa dilepas dari karakter dan budaya. "Jadikan sekolah sebagai bagian dari membangun karakter dan budaya."

Berita tersebut tidak banyak menjelaskan apa yang diungkapkan Mohammad Nuh mengenai 'karakter dan budaya'. Namun, jika kita memperhatikan apa yang diharapkan banyak ahli di bidang pendidikan gagasan ini menjadi titik krusial yang tidak banyak diperhatikan. Inti persoalannya adalah peserta didik kerapkali dijejali dengan banyak pengetahuan yang orang dewasa pandang penting, tetapi tidak banyak menjadi kebenaran penting untuk konteks hidup peserta didik. Para pendidik pun bahkan tidak menyadari bahwa transfer pengetahuan yang mereka lakukan tidak pernah menjadi sesuatu yang menarik sehingga menggugahnya untuk belajar. Karena itu tidak heran sekolah menjadi sebuah neraka penuh tugas yang melelahkan tanpa ruang sedikit pun untuk berkreasi dalam budaya.

Isi pidato mengenai hal membangun karakter dan budaya ini mengingatkan saya pada saat universitas di mana saya mengajar sekarang didirikan. Ketika hendak merancang sketsa jenis bangunan seperti apa yang bakal didirikan di area Kampus Semanggi Atma Jaya, Presiden Soekarno mengusulkan sebuah skenario bangunan dengan kaki tinggi. Ia menjelaskan struktur bangunan ini perlu agar mahasiswa dapat bertemu satu sama lain dan berkreasi secara kultural di dasarnya. Lantai-lantai bagian atas bangunan tersebut disediakan kelas untuk pengajaran, perpustakaan untuk membaca, dan sekretariat untuk urusan administrasi.

Kiranya bukan kapasitas tulisan ini untuk memperbincangkan filsafat Soekarno berkenaan dengan struktur arsitektur bangunan yang diusulkan itu. Yang perlu dikatakan di sini adalah struktur bangunan ini secara simbolis ingin menjelaskan bahwa ilmu dan teknologi hanya subur dalam lingkup kultural tertentu. Tanpa setiap orang merasa diterima dan berkembang dalam kebudayaannya, pendidikan tidak lebih menjadi sebuah latihan teknis.

Humaniora

Secara khusus apa yang dikemukakan Mohammad Nuh dapat merupakan harapan akan sebuah reorientasi perguruan tinggi kita. Sudah lama dikeluhkan bahwa perguruan tinggi kita cenderung membatasi diri pada tujuan-tujuan profesional. Hal tersebut akan amat sangat jelas jika kita memperhatikan visi dan misi perguruan tinggi kita dewasa ini. Banyak perguruan tinggi merumuskan visinya pada tempat pertama, 'menjadi perguruan tinggi terkemuka yang memiliki keunggulan akademik dan profesional di tingkat nasional maupun internasional'. Gagasan-gagasan lain seperti keindonesiaan atau budaya Indonesia dan karakter berdasarkan iman baru ditempatkan pada bagian kedua, seakan-akan tidak menjadi penting tanpa tujuan pertama.

Rumusan visi seperti ini tidak banyak kita temukan di perguruan tinggi di luar negeri. Yang biasa kita lihat adalah orientasi dasar pendidikannya. Di Amerika Serikat misalnya seluruh pendidikan didasarkan pada asas liberal arts yang menjunjung tinggi martabat manusia dan hak-hak dasarnya. Pada tingkat ini, mahasiswa pada tahun pertama sudah bertemu dengan profesor-profesor agar mereka merasakan realitas sesungguhnya yang dibicarakan ilmu yang mereka geluti. Jika pada perguruan-perguruan tinggi kita para profesor berusaha menyimpan energinya hanya untuk mengajar pada jenjang S2 dan S3, di Amerika Serikat dan juga di beberapa negara lain, mahasiswa pada tingkat pertama sudah harus bertemu dengan profesor untuk memberikan basis yang kuat bagi pertumbuhan individual sang mahasiswa sebagai calon sarjana.

Kita boleh berkeberatan dengan mahalnya seorang profesor untuk mengajar di jenjang S1. Hal tersebut dapat dipahami karena bisa jadi tidak ada seorang profesor pun di sebuah fakultas. Tetapi, persoalannya bukan sekadar ada tidaknya profesor melainkan 'pertemuan' yang menyentuh individualitas mahasiswa. Bayangkan jika sebuah kelas di sebuah fakultas berisi lebih dari 250 mahasiswa. Bagaimana seorang pengajar dapat bertemu dengan mahasiswanya dan memberikan pengaruh yang positif untuk pertumbuhannya sebagai pribadi?

Kita tidak pernah membayangkan bagaimana mahasiswa bertumbuh dan berkembang di perguruan tinggi kita, kalau dosen dan profesor tidak pernah menyentuh mereka. Keluhan ini menjadi sebuah ironi justru ketika perguruan tinggi kita di Indonesia menjanjikan pendidikan yang profesional. Bagaimana mungkin pengangguran akademis meningkat justru terjadi ketika pendidikan profesional menjadi muatan utama? Hampir tidak dapat dipercaya. Tetapi, hal itu dapat dijelaskan karena perguruan tinggi tidak sungguh-sungguh caring pada pertumbuhan mahasiswa. Pengajaran sebagai sebuah momen pertemuan antara guru dan murid bahkan tidak lagi memainkan peranan yang penting.

Pasar Kerja

Presiden Soekarno dan Mohammad Nuh memiliki pemikiran dasar yang sama bahwa pendidikan harus memiliki karakter. Pemikiran ini memiliki orientasi yang berbeda dengan pendidikan profesional. Mari kita menjelaskan pemikiran ini dari segi utilitarian dengan melihat konsekuensi-konsekuensinya. Dengan janji pendidikan profesional, sebuah perguruan tinggi dapat menuai banyak, karena banyak orang tua terjebak dengan janji bahwa anak-anak mereka akan segera mendapatkan pekerjaan. Hal ini mungkin dapat terjadi. Tetapi, jika hal tersebut benar-benar terjadi saya menduga bukan karena ketrampilan profesional yang mereka miliki tetapi karena dunia kerja yang menerima mereka.

Sebaliknya, pendidikan yang berkarakter memiliki orientasi yang berbeda. Banyak pendidik yang punya nama selalu mendidik peserta didiknya untuk pelbagai kemungkinan di masa depan. Biro Pegawai Negeri Sipil Inggris menerima mahasiswa unggul di bidang filsafat karena mereka memiliki kemampuan untuk berpikir dan mengerti persoalan-persoalan sesungguhnya di lapangan, sekali pun mereka tidak memiliki latar belakang apa pun dalam bidang tata kelola kepemerintahan. Bank-bank investasi New York melakukan hal yang sama dengan mencari mahasiswa yang terbaik yang memilik latar belakang studi sejarah dan ekonomi pembangunan.

Memang pendidikan humaniora tampak kuno, karena kembali ke Akademi Plato 2000 tahun yang lalu. Akademi tersebut memiliki keyakinan yang kuat bahwa warga negara yang terdidik dalam sebuah masyarakat yang bebas perlu memiliki pemahaman yang baik dalam bidang filsafat, sejarah, sastra, ilmu pengetahuan, matematika, bahasa, seni dan politik.' Pendidikan humaniora memang tidak masuk ke masalah teknis. Pertanyaan humaniora adalah dari mana kita berasal? Siapa kita? Dan ke mana kita? Pendidikan jenis ini tidak melatih seseorang dalam profesi tertentu, tetapi memberinya fondasi intelektual yang dapat digunakan sepanjang hidupnya, di mana pun ia bekerja: kesehatan, bisnis, hukum, dan rekayasa.

Tetapi apakah Mohammad Nuh benar-benar menyinggung hal ini? Saya benar-benar tidak tahu.

* Mikhael Dua, Kepala Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya, Jakarta

Sumber: Suara Pembaruan, Sabtu, 31 Oktober 2009

Memoar Fadli Rasyid

* Seniman Multitalenta Jember


Aku dengan Maut
Disini
Di tempat sunyi ini
Hanya aku dengan maut
Ketika kutusuk tembus jantungnya
Aku yang mati


Fadli Rasyid (Istimewa)

Inilah cuplikan puisi terakhir yang ditulis menjelang kematiannya. Tanggal 15 April 2009 menjadi saksi atas berakhirnya eksistensi seorang Fadli Rasyid di muka bumi ini. Di akhir umurnya yang ke 71 tahun hanya nama dan karya yang tersisa dari seorang Fadli Rasyid. Ibarat pepatah, gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Kini Fadli Rasyid telah pergi, meninggalkan keluarga, sanak saudara, kawan, lawan bahkan guru-gurunya.
Fadli Rasyid atau dengan sebutan Mbah Fadli mempunyai nama kecil Ahmad Rasyid. Lahir 7 Juli 1937 dan berdomisili di tempat kelahirannya Mumbulsari, Jember. Dia dibesarkan di lingkungan pedesaan yang asri dan penuh keheningan. Pendidikan yang ditempuh Mbah Fadli yaitu Sekolah Rakyat (SR) dan Sekolah Guru tingkat B di Jember.

Tahun 1958, setelah lulus dari Sekolah Guru, Mbah Fadli sempat mengajar di Sekolah Rakyat (SR) di Kecamatan Pakisan Kabupaten Bondowoso. Tepatnya tahun 1962, hasratnya untuk terjun dibidang seni budaya tak tertahankan lagi. Dia nekat melepas profesinya sebagai guru kemudian memilih merantau ke Yogyakarta dan bergabung dengan kelompok seniman dalam Komunitas Sanggar Bambu. Kemudian di tahun 1964 Mbah Fadli pindah ke Jakarta dan ikut berbagai pameran serta berbagai kegiatan seni rupa. Tahun 1970 Mbah Fadli bersama Thoha Mochtar, Julius Siyaranamual, Trim Suteja dan Asmara Nababan, mendirikan majalah anak-anak Kawanku. Yang pada sekira tahun 90-an berubah format menjadi majalah remaja.

Sampai pada tahun 1983 disaat umur Mbah Fadli sudah mencapai 45 tahun, dia memutuskan untuk menikah dengan Sri Utami yang pada saat itu berumur 25 tahun. Di tahun itupun, Mbah Fadli kemudian memutuskan untuk menetap di tanah kelahirannya. Hidup bertani namun masih tetap menulis dan melukis. Banyak karya-karya yang dihasilkan Mbah Fadli dibuat di rumahnya Mumbulsari, yang sekarang sudah menjadi sanggar. Mbah Fadli dikaruniai dua orang anak, Bayu Anggun Nilakandi dan Bahana Purwa Kendita. Saat ini Mbah Fadli sudah memiliki tiga orang cucu dari anaknya yang pertama.

Mbah Fadli tergolong seniman yang multitalenta. Dia mempunyai spesifikasi jenis karya seni yang beragam. Jenis karya seni yang sudah dibuat di antaranya; lukisan, novel, novel anak, cerpen, cerpen anak, cerita humor, artikel koran, naskah drama, dan puisi, kemudian patung atau monumen. Buku-buku karangan mbah Fadli diterbitkan oleh beberapa penerbit diantaranya; Dinas P&K, Yayasan Sehati, Yayasan Kawanku-Jakarta, dan lain sebagainya.

Kronologis pengalaman perjalanan hidup berkecimpung di bidang kesenian yang dilakukan Mbah Fadli diantaranya; Sejak sekira tahun 1962, bergabung dengan Sanggar Bambu Yogyakarta, pameran seni rupa keliling Jawa dan Madura. Tahun 1967, Mbah Fadli menggawangi pembuatan monumen Sasmita Loka Jakarta yang berupa patung Jenderal Ahmad Yani dan Jenderal S.Parman. Sekira tahun 1970, Mbah Fadli mendirikan majalah anak-anak Kawanku bersama Thoha Mochtar, Julius Siyaranamual, Asmara Nababan dan Trim Suteja. Tahun 1972-1976, Mbah Fadli membuat monumen gerbong maut di Kabupaten Bondowoso.

Tahun 1973, mendirikan majalah humor Astaga bersama Arswendo Atmowiloto, Julius Siyaranamual dan Alex Dinuth. Tanggal 7- 11 Maret 1975, pameran tunggal lukisan di Balai Budaya Jakarta. Tahun 1978, Mbah Fadli menjadi pememang pertama Lomba penulisan Naskah Humor yang diselengarakan Lembaga Humor Indonesia bekerjasama dengan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Tahun 1992, pameran bersama Masyarakat Seni Rupa Jember, pameran lukisan di Beranda Seni Indigo Jakarta dan lukisan Mbah Fadli menjadi koleksi Bentara Budaya Kompas Jakarta.

Karya-karya tulisnya kebanyakan ditujukan untuk segmen anak-anak. Mbah Fadli mengakui, selain hal itu untuk tetap menyalurkan misi pendidikan (sebagai guru yang berhenti mengajar), dia juga menganggap anak-anak harus terus dimotivasi dengan karya-karya tulis seperti puisi, cerpen dan novel. Puisi dan cerita yang ditulis Mbah Fadli selalu mengusung tema lingkungan dan nasionalisme. Semuanya menggunakan tokoh anak-anak. Selain tersebar di berbagai media seperti Horizon, Kompas, Zaman, Kawanku, beberapa naskah sudah diterbitkan menjadi buku. Buku kumpulan puisi karya Mbah Fadli yang sudah diterbitkan antara lain, Musim dan Peristiwa Alam, Surat Pada Pahlawan, dan Dibawah Matahari. Sedangkan cerita atau novel anak karyanya yang sudah diterbitkan seperti Arman Anak Revolusi, Merah Putih Berkibar Kembali, Tamu yang Cerdik (cerita Jenaka/Humor). Ada juga cerita bertema pelestarian lingkungan dan benda sejarah seperti Lepas Ke samudera Luas, Melacak jejak Harimau Jawa, Gerhana Diatas Baluran dan Merebut Dewi Rengganis.

Karya-karya Mbah Fadli banyak digarap dan dihasilkan selama dia berada di Desa Mumbulsari. Beberapa karyanya juga begitu dekat dengan keseharian hidupnya. Ia menghirup denyut kehidupan pedesaan. Melukiskan pesona semesta dengan alamnya yang perawan. Menjadikan semua itu sebagai bagian dari proses kreatifnya.

Dunia seni adalah nafas baginya. Dia suka berpetualang, tidak hanya dalam imajimasi, secara fisikpun dia lakukan. Dimasa tuanya Mbah Fadli mempunyai cita-cita untuk memberikan sumbangsih dengan karya-karyanya untuk Jember. Dua diantaranya yaitu, membuat sanggar seni dan Monumen Moh. Seruji. Sanggar seninya, berhasil dia resmikan pada 22 Februari 2009 dengan nama “Sanggar Fosil”.

Tempat yang digunakan untuk sanggarnya adalah rumah lama di desa Mumbulsari. Namun, untuk pembuatan Monumen Seruji tidak sampai terealisasi. Bukan karena tak ada usaha dari Mbah Fadli tapi memang karena tak ada dukungan dari pemerintah Kabupaten Jember. Dalam pandangan Mbah Fadli Monumen Seruji perlu dibuat untuk mengenang pahlawan Jember sebagai pengenalan sejarah bagi generasi muda. Sekaligus sebagai gerakan melawan lupa akan arti perjuangan para pahlawan kemerdekaan Indonesia.

Begitulah sosok Mbah Fadli yang sudah malang melintang di dunia seni budaya. Seorang seniman yang mempunyai tanggung jawab, kepedulian dan kepekaan atas realitas kehidupan. Salah satu pernyataan yang ditulis Bambang Bujono tentang Mbah Fadli yaitu: Rasyid suka mengaku dia hanya “petani” biasa. Saya kira kunci untuk memahami Rasyid memang itu: petani. Ia akan menanami lahannya sesuai “musim”, suatu ketika menulis cerita pendek, di ketika lain, melukis dengan cat minyak, dan di ketika lain pula ia membuat garis-garis hitam pada kertas putih, disamping benar-benar menanam padi di sebidang tanahnya di Mumbulsari Jember.

Mbah Fadli juga sering menekankan upaya-upaya untuk memajukan kebudayaan lokal Jember dalam semangat otonomi daerah. Tujuan lebih lanjut yang dia harapkan adalah lahirnya kepedulian terhadap kebudayaan dan kesenian lokal Jember.

Tingkatan idealnya, kebudayaan lokal bisa bertahan dan tetap memberikan warnanya dalam kehidupan masyarakat di daerah serta tidak tergerus oleh serbuan budaya luar.
Dalam pandangan Mbah Fadli, nilai-nilai luhur yang terdapat dalam kebudayaan lokal dapat dijadikan sebagai penyeimbang dari terpaan arus modernisasi, teknologi informasi dan globalisasi.

Karena di masa mendatang intensitas dinamika budaya akan semakin banyak mewarnai kehidupan masyarakat. Derasnya arus informasi yang menerpa masyarakat dengan sendirinya akan memberikan pengaruh terhadap perubahan pola pikir dan sikap mereka. Budaya lokal dengan nilai-nilai luhur yang telah dianut, diyakini, dan menyatu dalam kepribadian masyarakat dapat menjadi filter atas desakan budaya luar. Sebagai konsekuensi logis untuk menghadapi kemajuan zaman.

Mbah Fadli kini telah pergi menggapai penciptaNya. Sesuai dengan kodrat yang memang dia sadari akan kehadirannya. Bagaimanapun Mumbulsari dan Jember pada umumnya akan terus bergeliat dari generasi ke generasi. Inilah titipan sekaligus contoh sebuah perjalanan hidup Mbah Fadli. Sekarang tongkat estafet telah beralih ke tangan generasi penerusnya. Akankah dinamika kesenian dan kebudayaan Jember akan mengalami perubahan yang lebih baik? Tentu sang pemegang tongkat itulah yang akan banyak menjelaskan.

Fadli Rasyid sebagai tokoh kesenian dan kebudayaan hanyalah manusia biasa yang lapuk dimakan ruang dan waktu. Tapi mudah-mudahan semangat berkarya dan cita-citanya bisa meresap ke setiap ubun-ubun kesadaran kita semua. Mbah Fadli selamat jalan, pasrahkan atas apa yang telah engkau tinggalkan.


Marlutfi Yoandinas, Kelompok Apresiasi Seni dan Budaya “Rumah Kata” Jember

Sumber: Oase Kompas.com, Sabtu, 31 Oktober 2009

Friday, October 30, 2009

Mufakat Kebudayaan: Kebudayaan Kerap Disalahartikan Negara

Jakarta, Kompas - Kebudayaan kerap disalahartikan oleh negara. Oleh karena itu, kebudayaan harus menjadi sebuah gerakan pembebasan. Kebudayaan harus mempunyai ideologi, juga harus diatur dalam kebijakan. Kebudayaan mensyaratkan adanya kebebasan demokratis agar terjadi internalisasi nilai oleh publik, bukan hanya dimaknai oleh kepentingan elite.

Demikian salah satu poin utama yang dikemukakan budayawan Radhar Panca Dahana selaku Ketua Pengarah Temu Akbar Mufakat Budaya 2009 kepada pers, Kamis (29/10) di Jakarta.

”Kebijakan negara cenderung mengabaikan rakyat yang diwakilinya. Politik dipahami sebatas jabatan publik, sebagai power dengan kesewenang-wenangan. Pembangunan gagal dalam melakukan pebadanan politik. Hukum diproduksi tidak sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan,” katanya.

Saat memberikan keterangan pers, Radhar Panca Dahana didampingi budayawan Edy Utama, sosiolog Teuku Kemal Fasya, etnomusikolog Rizaldi Siagian, dan seniman Tisna Sanjaya. Temu Akbar Mufakat Budaya 2009 yang berlangsung dua hari, 28-29 Oktober, mempertemukan sekitar 70 seniman, budayawan, pengusaha, dan cendekiawan—dari semua disiplin keilmuan—dari seluruh Indonesia, mulai dari Aceh hingga Papua.

Mereka membahas empat gugus masalah, yakni kebudayaan dan kebijakan negara, kebudayaan dan etika publik, kebudayaan dan ilmu pengetahuan, serta kebudayaan dan identitas. Temu akbar ditutup dengan menonton bersama Pagelaran Indonesia Membaca Rendra di Gedung Kesenian Jakarta, Kamis malam.

Radhar menjelaskan, kebudayaan mesti diposisikan sebagai sistem nilai yang mendasari penyusunan kebijakan. Dan kebijakan itu harus mempertimbangkan karakter masyarakat Indonesia. Pendidikan harus melakukan tugas internalisasi tentang hal itu, lebih pada transfer of values di samping transfer of knowledge. Perlu sebuah strategi kebudayaan yang didasarkan pada hal-hal tersebut.

”Untuk itu, Presiden perlu menegaskan pentingnya kebudayaan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Beberapa cacat kebudayaan dan etika publik sekarang ini diperbaiki dan dikembalikan ke makna yang sebenarnya,” ujarnya.

Kebudayaan, lanjut Radhar, seharusnya memberikan inspirasi etis bagi publik, dan selanjutnya publik memberikan inspirasi kreatif bagi kekuasaan, baik politik, hukum, maupun ekonomi.

Tolak paten

Pada poin utama lainnya, Radhar mengatakan, budaya lokal sudah membuktikan diri selama puluhan milenia memiliki kemampuan untuk adaptif terhadap perubahan serta dapat dikatakan memiliki resiliensi yang tinggi. Dengan demikian, asumsi bahwa budaya lokal adalah bagian dari yang lampau dan statis perlu dipertanyakan kembali.

Oleh karena itu, kebijakan negara yang mematenkan budaya lokal perlu ditolak karena memungkiri kemampuan interaksi yang saling memperkuat yang sudah dibuktikan oleh perjumpaan antarbudaya lokal dan global.

Sistem-sistem berpikir asing tidak bisa dicangkokkan begitu saja ke tanah kultural Indonesia sebab secara kultural kita terbukti mampu mengontekstualkan ”yang asing” sampai tak dapat dikenali lagi keasingannya. (NAL)

Sumber: Kompas, Jumat, 30 Oktober 2009

Bentara Pentas Tari: Ketika Kamar Dirasuki Masalah Global...

SOROT lampu mengarah ke seorang penari, lagi mencangkung dan bermenung di pojok kanan atas lemari. Samar-samar terlihat lima penari mematung—dengan beragam posisi—dalam lemari, di atas bangku dan meja. Sebuah dipan sederhana terbalik dan bersandar ke lemari.

Tari Puisi Tubuh dipentaskan oleh kelompok Sukri Dance Theatre dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padang Panjang, Sumatera Barat, di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (29/10). (KOMPAS/EDDY HASBY)

Simbol kamar (kos) yang sederhana, yang semula adem. Namun, dalam seketika, berubah drastis, bahkan dramatik. Kamar itu mungkin simbol Indonesia masa kini dengan sosok pergulatan manusianya.

Cermati lagi, tak lama kemudian lelaki di atas lemari itu bangkit, menggeliat, bertumpu di kayu loteng, menggelantung, tubuhnya terus bergerak dengan beragam fungsi dan filosofi. Seperti juga puisi, tubuh memiliki diksi, metafora, serta emosi.

Tubuhnya terus bergerak, kadang meliuk, kadang tangkas bagaikan gerakan silat (uluambek). Tak lama kemudian, penari lain yang mematung tadi mengeksplorasi tubuhnya dengan gerakan. Tubuh sudah menjadi puisi. Puisi sudah menjadi tari. Tari sudah menjadi teater. Ia bisa berwujud tubuh yang sakit, tubuh imaji, tubuh fantasi, dan tubuh sehari-hari.

Setidaknya demikian gambaran detik-detik awal pertunjukan tari Puisi Tubuh karya koreografer Ali Sukri—yang sekaligus sebagai penari (utama), dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padang Panjang.

Tari Puisi Tubuh memperlihatkan sosok manusia di dalam menghadapi kehidupan masa kini: manusia yang semakin kehilangan ruang pribadi karena berbaur dengan ruang publik.

”Gagasan ini berangkat dari hasil pengamatan terhadap fenomena sebuah kamar, yang dinding-dindingnya tidak lagi berfungsi sepenuhnya memisahkan ’dunia luar’ dan ’dunia dalam’. Kamar telah dimasuki oleh informasi global yang menghadirkan kecemasan, ketakutan, kengerian, dan bahkan kematian,” kata Ali Sukri, yang lulusan S-2 Penciptaan Tari di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.

Scenographer dan dramaturg Yusril menambahkan, pertunjukan yang gerakannya mengambil spirit tradisi (silat) Minang ini mencoba memadukan unsur seni lainnya secara seimbang.

”Para penari adalah pemain teater, tetapi ruh dan warna tari khas Ali Sukri bisa kelihatan. Estetika cenderung bersifat kolaboratif,” katanya.

Pertunjukan tari berdurasi sekitar 45 menit itu menjadi luar biasa, didukung ilustrasi musik karya komposer terkemuka Elizar Koto dan penata cahaya Surya Jenar. (YURNALDI)

Sumber: Kompas, Jumat, 30 Oktober 2009

Thursday, October 29, 2009

SBY dan Kosa Kata Inggris

Jakarta (ANTARA News) - Hari ini, Kamis, bangsa Indonesia mempunyai `gawe` besar. Pertemuan "National Summit 2009". Entahlah, mengapa pertemuan seluruh pemangku kepentingan bangsa ini, harus disebut dalam kosa kata bahasa Inggris, "National Summit 2009".


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan sambutan dan arahannya dalam acara pembukaan National Summit 2009 di Jakarta (29/10). (ANTARA/Widodo S. Jusuf)

Pertemuan itu akan berlangsung dua hari. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri yang langsung membukanya.

Sungguh menarik, perhelatan akbar yang menghadirkan tidak kurang dari 1.500 peserta dari seluruh penjuru negeri. Menarik bukan saja karena isu-isu pembangunan lima tahun ke depan yang dibicarakan. Menarik pula dari judul pertemuan yang dengan gagah disebut "National Summit 2009".

Meskipun selama pidato pembukaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono justru tak satu pun menyebutkan "National Summit 2009". Presiden Yudhoyono dengan jelas menyebutkan "Temu Nasional".

Dengan sadar beberapa kali Presiden Yudhoyono menyebutkan perhelatan akbar itu sebagai "Temu Nasional", padahal di latar belakang panggung terlihat jelas tulisan "National Summit 2009".

Lebih menarik lagi ketika dalam pidatonya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono justru muncul banyak kosa kata bahasa Inggris.

Kata-kata seperti "global imballances", pro-poor, pro-job maupun pro-growth, partnership, "inter state trade", dan banyak lagi, meluncur fasih dari mulut presiden.

Bahkan Presiden Yudhoyono juga memadukan kosa kata Inggris dengan Indonesia sekaligus. Hal itu diungkapkan presiden ketika menjelaskan adanya kemacetan dalam berbagai hal.

"Banyak hal yang masih ada di-"debottlenecking" ini yang harus diselesaikan," katanya.

Mendengar begitu banyaknya kosa kata Inggris yang muncul, beberapa wartawan iseng-iseng menghitungnya. Setidaknya dalam pidato presiden sekitar 65 menit tersebut, tercatat ada 73 kosa kata bahasa Inggris yang dilontarkannya.

Artinya setiap satu menit terlontarlah kosa kata bahasa Inggris itu.

"Wah ini sangat efektif," kata seorang wartawan.

Lho, jadi? "So what" gituloh.

Sumber: Antara, Kamis, 29 Oktober 2009 20:35 WIB

Keragaman Jadi Modal Kebinekaan

Palembang, Kompas - Keragaman bahasa daerah di Nusantara seharusnya tidak menjadi sarana untuk membeda-bedakan. Sebaliknya, keragaman ini merupakan modal penting untuk memahami kebinekaan, merekonstruksi sejarah suatu suku, dan mengangkat budaya-kearifan lokal.

Demikian salah satu kesimpulan dari seminar dan lokakarya nasional ”Bahasa-bahasa Daerah di Sumatera Selatan”, Rabu (28/10) di Palembang. Kegiatan yang diprakarsai Balai Bahasa Sumsel itu menghadirkan beberapa pembicara, di antaranya Mahsun (pakar bahasa Universitas Mataram), Abdul Gaffar Ruskhan (Pusat Bahasa Depdiknas), dan Djohan Hanafiah (budayawan Sumatera Selatan). Ratusan peserta dari kalangan praktisi, pengamat, dan dosen-guru bahasa daerah hadir di acara ini.

Mahsun mengatakan, di balik keragaman bahasa daerah sebenarnya tersimpan sebuah persamaan. Dia mencontohkan kata ”loro”, ”duo”, ”dua”, ”due”, yang merupakan kata dalam bahasa Jawa, Sumatera Selatan, Melayu, dan Komering.

Menurutnya, kata-kata itu ternyata punya hubungan kekerabatan karena berasal dari bahasa Jawa atau Melayu purba, yakni ”roro”. Kemudian dalam perkembangannya terjadi peleburan huruf awal serta ada inovasi kata di tingkat lokal.

Abdul Gaffar menyoroti pengaruh keragaman bahasa daerah dalam sistem pendidikan. Menurut dia, mustahil jika semua bahasa atau dialek ini diajarkan dalam kurikulum bahasa di suatu daerah karena pasti akan muncul banyak kendala.

”Contohnya di Sumatera Selatan, terdapat ratusan dialek bahasa lokal. Makanya, akademisi dan pemerintah perlu menentukan satu bahasa daerah yang patut diajarkan,” ujarnya. (ONI)

Sumber: Kompas, Kamis, 29 Oktober 2009

[Sosok] Bersama Joanna, Keroncong Mendunia

-- Neli Triana

SEBUAH penampilan tak terduga membuat penonton terperenyak pada pembukaan The Asia Pacific Weeks 2009 di Konzerthaus, Berlin, Jerman, Rabu (7/10). Lampu penerang di tempat duduk penonton meredup, berganti sorotan sinar langsung ke tengah panggung. Tampak berdiri seorang perempuan kulit putih dan intro lagu keroncong ”Di Bawah Sinar Bulan Purnama” terdengar.

Joanna Dudley (KOMPAS/NELI TRIANA)

Dari mulut perempuan itu, Joanna Dudley, lirik lagu ”Di Bawah Sinar Bulan Purnama” disenandungkan. ”Di bawah sinar bulan purnama… air laut berkilauan… berayun-ayun ombak mengalir… ke pantai senda gurauan…”

Penampilan Joanna terbilang unik. Ia mengenakan kimono, pakaian khas Jepang, kontras dengan para pemusik pengiring yang berpakaian formal. Suaranya menggema di ruangan Konzerthaus, berpadu dengan suara berbagai alat musik membuat penonton terpukau.

Memang ada beberapa pengucapan yang ”keseleo lidah”, tetapi cengkok keroncong Joanna terasa pas. Orang teringat penampilan Sundari Soekotjo dan Waldjinah.

Di tengah pertunjukan, seperti tersadar, sebagian penonton buru-buru merekam penampilan Joanna. Tepuk tangan bergemuruh di Konzerthaus saat Joanna mengakhiri lagunya.

Tak kurang Gubernur Negara Bagian Berlin Klaus Wowereit memberi tepukan penghormatan dan menyambut salam Joanna dari atas panggung. Joanna lalu menggeser langkahnya. Ia beringsut pelan-pelan hingga hilang di balik panggung, tanpa pernah memalingkan wajah dari penonton. Senyumnya terus berkembang.

Didikan Waldjinah

”Saya rasa keroncong adalah musik terindah. Pertama kali mendengarnya beberapa tahun lalu, langsung membuat saya jatuh cinta dan ingin belajar menyanyikannya,” kata Joanna.

Joanna mengisahkan, dia mendengar lagu keroncong saat berada di Adelaide, Australia, sekitar lima tahun lalu. Selain sering didendangkan di konser musik lokal di kampus oleh mahasiswa, ternyata banyak penyanyi dan musikus keroncong asal Indonesia yang diundang ke Australia. Mereka menjadi bintang tamu pertunjukan atau sebagai pengajar. Berawal dari sini, Joanna makin tertarik pada keroncong dan berniat belajar dari ahlinya.

Setelah mencari tahu, perempuan kelahiran London, Inggris, ini menemukan nama Waldjinah, maestro keroncong asal Solo, Jawa Tengah. Tanpa berpikir panjang, dia berupaya menghubungi Waldjinah. Gayung bersambut, keinginan Joanna untuk belajar keroncong diterima Waldjinah.

Pada 2005 hingga 2009, perempuan yang tinggal dan bekerja di Australia dan Jerman ini bolak-balik ke Solo untuk berguru keroncong. Seperti perasaannya terhadap keroncong, Joanna pun jatuh cinta pada Kota Solo. Di Solo, aura tradisionalnya masih kental dan mendukung suasana hati Joanna yang bersemangat memperdalam keroncong.

”Sudah 4,5 tahun ini saya belajar. Bagi saya, Waldjinah bukan cuma guru, tetapi seorang master. Ia mengajari saya menjiwai lagu, memahami dan menyelami maknanya, kemudian menyanyikannya dengan lafal bahasa Indonesia yang benar. Tentu saja masih banyak kekurangan dan kesalahan yang saya lakukan. Saya belum akan berhenti belajar,” katanya.

Setelah beberapa waktu berlatih, Joanna sempat berkeringat dingin ketika Waldjinah memintanya menyanyikan sendiri lagu-lagu keroncong yang dipelajarinya di hadapan penonton. Apalagi ketika dia diminta membawakan lagu ”Bengawan Solo” di hadapan Gesang, saat perayaan ulang tahun ke-90 maestro keroncong itu, pada Oktober 2007.

Tidak berhenti

Joanna tidak mau berhenti pada satu titik. Dari awal, ia memiliki ketertarikan pada dunia seni pertunjukan. Ia hidup di Australia dan Jerman sebagai artis, musisi, sekaligus penyanyi. Ia mengasah bakat di bidang musik dengan bersekolah di Adelaide Conservatorium di Australia, kemudian di The Sweelink Conservatorium di Amsterdam, Belanda. Khusus untuk belajar alat musik flute, ia belajar di Tokyo, Jepang.

”Sesuatu yang baru dan kita kuasai sungguh-sungguh bisa dikolaborasikan dengan ilmu yang lebih dulu kita miliki. Kolaborasi ini akan menelurkan karya baru. Karya baru yang berbeda dan bermakna tersendiri. Dalam dunia seni, eksplorasi tidak boleh berhenti,” kata Joanna.

Berbagi ilmu juga menjadi prinsip hidupnya. Ia bukan sosok yang pelit soal ilmu, terbukti pada jadwal mengajar yang selalu terselip di antara segudang kesibukannya. Ia mengajar di akademi seni di Sierre, Swiss; akademi seni di Berlin, Jerman; dan di The Centre for Performing Arts TAFE and Elder Conservatorium di Universitas Adelaide, Australia. Dia mengajarkan berbagai disiplin seni murni, berbagai aliran tari, musik, dan pertunjukan teater.

Aktivitasnya di dunia teater dan imajinasinya yang dibiarkan terus tumbuh liar memunculkan sederet karya berkarakter kuat. Penampilan solo maupun kolaborasi dengan seniman atau artis dari berbagai negara sudah digelar di Australia, di banyak negara di Eropa, Benua Amerika, serta Asia.

Beberapa pementasan Joanna yang memadukan kepiawaiannya berakting, menari, dan menyanyi antara lain muncul lewat pertunjukan berjudul My Dearest My Fairest, The Scorpionfish, dan Who Killed Cock Robin? Karya kolaborasi lainnya, Tom’s Song, yang dipresentasikan di Festival Sonambiente, Berlin, 2006, mendapat penghargaan dari kritikus seni.

Budaya Jawa menjadi hal baru yang dia pelajari. Ia merasa sudah menyatu dengan keroncong. Kelekatan hubungannya dengan Waldjinah juga membawa Joanna mengenal sekaligus terkagum-kagum pada langgam Jawa dan musik gamelan. Penguasaan atas langgam Jawa dan gamelan menjadi obsesi Joanna selanjutnya.

”Saya juga mengenal kebaya dari Waldjinah. Pakaian tradisional ini mengagumkan, bisa menampilkan kesan anggun, feminin, dan cantik. Ini juga sebuah karya seni yang agung, dengan detail model, kain batik, sampai sanggulnya. Duh, saya senang sekali memakai kebaya,” ujarnya.

Di ujung acara pembukaan The Asia Pacific Weeks 2009, Joanna sengaja berkebaya dan kembali bersenandung, ”Bengawan Solo… riwayatmu ini… sedari dulu jadi... perhatian insani...” Joanna, seperti halnya keroncong, kembali menyedot perhatian publik saat itu. Ini salah satu gambaran budaya Indonesia yang mendunia.


***


JOANNA DUDLEY

• Lahir : London, Inggris, 1971

• Pendidikan musik :
- Adelaide Conservatorium, Australia
- The Sweelinck Conservatorium, Belanda
- Seruling dan lagu klasik tradisional Jepang di Tokyo, Jepang
- Gamelan dan keroncong di Solo, Jawa Tengah

• Karier : Dia tinggal dan bekerja di Jerman dan Australia sebagai artis, musisi, dan penyanyi. Ia tengah bekerja di Schaubühne Theatre di Berlin, Jerman

• Karyanya antara lain :
- ”My Dearest My Fairest” (2000), bersama Juan Kruz Diaz Garaio de Esnaol
- ”He Taught Me to Yodel” (2002)
- ”Colours May Fade With Friction Read Instructions Carefully Store In A Cool and Dry Place No Side Effects” (2004)


Sumber: Kompas, Kamis, 29 Oktober 2009

Bahasa Indonesia, Siapa Yang Seharusnya Belajar?

-- Wieke Gur*

Lïlïkïnsï de kara son hap de zini sa zaho ta gwibin zini in hap talusublula. Zëre mo domba zahona hen zëno ola man tame nul gwenan. Zëno mae mo bosem-sena kim gubirida gwenda, dekam zep wet noso gweblanan.

Bahasa apakah di atas? Yang pasti bukan bahasa Klingon dari film Star Trek. Tulisan di atas adalah bahasa Orya. Bahasa lokal yang digunakan oleh saudara-saudara kita sebangsa dan setanah air di Papua. Penggunanya hanya sekitar 2000 orang namun hingga kini bahasa tersebut masih digunakan. Juga dilestarikan lewat Injil yang diterjemahkan ke bahasa Orya.

Bahasa Orya hanyalah salah satu dari sekitar 746 bahasa daerah yang ada di Indonesia. Bahasa-bahasa lokal di wilayah timur Indonesia umumnya tidak berasal dari bahasa yang serumpun dengan bahasa Melayu sehingga jarang sekali ditemukan kata-kata yang mirip dengan bahasa Indonesia. Tapi untunglah ada bahasa Indonesia sehingga jika kita misalnya harus pergi ke Papua kita tidak perlu belajar bahasa Orya dulu. Dengan bahasa Indonesia kita bisa berkomunikasi dengan penduduk di Papua.

Penempatan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dalam Undang-undang Dasar Negara Kesatuan RI 1945 telah menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu dan bahasa media massa, termasuk bahasa pengantar dalam pelaksanaan pendidikan anak bangsa di sekolah-sekolah dan universitas-universitas di seluruh Indonesia. Bahasa Indonesia juga bahasa yang resmi digunakan oleh pemerintah daerah seluruh Indonesia. Hasilnya, dari Sabang sampai Merauke seluruh rakyat Indonesia bisa berbahasa Indonesia.

Bagi generasi sekarang, persatuan yang diperjuangkan oleh pimpinan terdahulu mungkin tidak akan terlalu terasa magisnya. Kesaktian Sumpah Pemuda bisa jadi cukup sulit untuk dipahami karena Indonesia sudah bersatu dan bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa persatuan ketika mereka lahir. Kalau Anda menjadi diplomat di luar negeri atau tinggal di luar negeri mungkin baru akan terasa bahwa bahasa Indonesia mampu menghadirkan rasa persatuan di kalangan warga negara Indonesia.

Dr. Tom Boellstorff , ahli anthropologi dari University Of California, Irvine, Amerika pernah melakukan penelitian tentang bahasa gay atau bahasa banci di Indonesia - bahasa yang digunakan sebagai sarana komunikasi kaum homoseksual di Indonesia. Dalam artikelnya “Gay Language and Indonesia: Registering Belonging” yang dimuat di Journal Of Linguistic Anthropology terbitan American Anthropological Association, Dr. Boellstorff menulis bahwa bahasa gay atau bahasa banci adalah salah satu bukti yang menunjukkan besarnya pengaruh bahasa persatuan Indonesia dalam pembentukan bahasa gay. Kemanapun kita pergi, tidak akan ada perbedaan yang berarti antara bahasa banci yang digunakan di Jakarta, Makasar atau Bali. Yang ada hanya bahasa banci Indonesia atau bahasa gay Indonesia. Seperti ada rasa kesatuan dan nasionalisme di kalangan homoseksual di seluruh Indonesia yang terbentuk lewat bahasa. Keberadaan bahasa banci walaupun ada kosa kata yang berasal dari bahasa daerah seperti bahasa Jawa atau bahasa Bali, pada proses transformasinya selalu mengacu pada tata bahasa Indonesia. Hal ini merupakan akibat atau konsekuensi dari posisi unik bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang memegang peranan penting dalam membangun rasa nasionalisme bangsa Indonesia. Bahasa banci inilah yang akhirnya menjadi bahasa gaul.

Bahasa Indonesia juga mempengaruhi pembentukan bahasa informal di Indonesia secara nasional. Seorang konsultan Amerika yang pernah selama enam belas tahun tinggal di Papua menyatakan ketakjubannya ketika mendapati bahasa Indonesia informal yang digunakan oleh penduduk di Jakarta dan pulau Jawa ternyata tidak berbeda jauh dengan bahasa Indonesia informal yang digunakan oleh penduduk di Papua.

Mungkin banyak yang tidak menyadari bahwa salah satu faktor pemelihara persatuan bangsa adalah bahasa. Tanpa kita sadari kita telah tumbuh menjadi bangsa yang menghargai persatuan. Toleransi kita terhadap perbedaan suku, ras, agama dan bahasa daerah sangat tinggi. Tidak ada bangsa Jawa, bangsa Papua atau bangsa Bali. Yang ada satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa, Indonesia.

Tahukah Anda, bahwa bahasa persatuan Indonesia yang kita anggap biasa-biasa saja ini diidamkan oleh negara tetangga? Di bawah ini adalah lontaran pemikiran yang dikutip dari www.malaysia.youthsays.com, sebuah wadah tempat generasi muda Malaysia bertukar pikiran, pendapat dan melontarkan pertanyaan,

Kenapa rakyat Malaysia tak suka berbahasa Melayu? Kita lihat ramai rakyat Malaysia yang tak suka berbahasa Melayu/Malaysia. Malahan laman web untuk generasi muda Malaysia sendiri tidak menggunakan bahasa kebangsaan atau sekurang-kurangnya dwibahasa. Sedangkan rakyat Indonesia yang berbilang bangsa membawa bahasa mereka ke serata dunia. Sila beri pendapat anda.

Posisi Bahasa Indonesia di Dunia
Sebagai bahasa persatuan bahasa Indonesia digunakan oleh lebih dari 240 juta orang penduduk Indonesia. (Data bulan Juli 2009: CIA The World Fact Book). Bahasa Indonesia juga dapat digunakan di negara-negara berbahasa Melayu seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.

Sejak bulan Maret 2009 situs informasi pendidikan luar negeri di Singapura secara lengkap bahkan ditampilkan dalam bahasa Indonesia. Situs ini dibuat untuk memudahkan siswa dan orang tua mendapatkan informasi lengkap dan cepat mengenai pendidikan di Singapura.

Konon saat ini ada 45 negara yang ada mengajarkan bahasa Indonesia, seperti Australia, Amerika, Kanada, Vietnam, dan lain-lain. Bagaimana sebenarnya posisi bahasa Indonesia dibandingkan dengan bahasa lain?

Dengan jumlah penutur lebih dari 240 juta seharusnya bahasa Indonesia mampu menjadi lingua franca di Asia atau sedikitnya Asia Timur dan menjadi bahasa pilihan warga asing di dunia sebagai bahasa asing kedua atau ketiga.

Pada kenyataannya bahasa Indonesia tidak sepopuler bahasa Jepang yang hanya memiliki 128 juta penutur. Atau bahasa Jerman yang hanya memiliki 96 juta penutur.

Menurut majalah Forbes edisi Februari 2008 10 bahasa paling populer yang dipelajari oleh mahasiswa di Amerika adalah: Spanyol, Perancis, Jerman, Itali, Jepang, Cina/Mandarin, Latin, Rusia, Arab dan Yunani Kuno. Hanya mereka yang tertarik di bidang geopolitiklah yang mempelajarai bahasa Swahili, Urdu, Farsi dan Indonesia, karena orang-orang yang memiliki keahlian berbicara dalam bahasa-bahasa ini sangat diminati oleh FBI(Federal Bureau of Investigation).

Seiichi Okawa, koresponden salah satu stasiun TV Indonesia di Tokyo, bercerita bahwa sejak tahun 2003, minat warga Jepang untuk belajar bahasa Indonesia turun tajam. Bangkitnya perekonomian Cina dan juga tingginya pengaruh sinetron-sinetron Korea yang banyak diputar di Jepang membuat orang Jepang lebih suka belajar bahasa Cina atau Korea. Mahasiswa yang belajar bahasa Indonesia umumnya bukan karena ingin belajar bahasa Indonesia tapi karena tidak diterima di jurusan bahasa Inggris, Perancis dan bahasa lainnya.

Sampai tahun 1990-an bahasa Indonesia adalah salah satu bahasa asing yang paling populer di Australia. Banyak sekali sekolah-sekolah menengah mengajarkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Kini, popularitas bahasa Indonesia di mata para pelajar Australia berada di bawah bahasa Jepang dan Cina. Rahmad Nasution, koresponden kantor berita Antara di Brisbane, Australia, menulis di blog-nya bahwa selama kurun waktu dari tahun 2001 hingga 2007 penurunan jumlah mahasiswa yang mengambil bahasa Indonesia yang masih diajarkan di 20 lembaga pendidikan tinggi ini mencapai 12 persen. Sementara jumlah mahasiswa yang mengambil program bahasa Arab di lima perguruan tinggi tumbuh sebesar 78 persen, bahasa Cina yang diajarkan di 26 institusi tumbuh 30 persen, Korea (15,3 persen), dan Jepang (1,5 persen). Jumlah kolese dan sekolah lanjutan yang mengajarkan bahasa Indonesia pun makin sedikit. Akibatnya banyak Universitas yang harus menutup departemen bahasa Indonesia. Kondisi ini tidak hanya meresahkan banyak guru-guru dan dosen-dosen bahasa Indonesia karena harus kehilangan pekerjaan tapi juga pemangku kepentingan diplomasi Republik Indonesia di Australia.

Banyak faktor yang menyebabkan bahasa Indonesia tidak lagi populer di Australia. Selain perubahan arah politik selama pemerintahan John Howard, pemberlakuan peringatan perjalanan atau ‘travel advisory’ yang dikeluarkan pemerintah Australia setelah peristiwa bom bali banyak menghambat kunjungan warga Australia yang ingin mengunjungi Indonesia dalam rangka belajar bahasa Indonesia. Adanya sejumlah persyaratan dari pemerintah Australia yang wajib dipenuhi seorang guru sebelum diperbolehkan mengajar di negara itu juga membuat pemerintah Indonesia tidak dapat begitu saja mendatangkan guru bahasa Indonesia. Akibatnya, kekurangan tenaga pengajar bahasa Indonesia di sekolah lanjutan banyak diisi oleh warga Malaysia.

Dr. James Sneddon, associate professor dari Griffith Unversity yang kini sudah pensiun, menyayangkan bentuk promosi yang menekankan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang mudah. Hal ini memberi dampak yang negatif terhadap bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia dianggap tidak penting. Seperti di Jepang, mahasiswa-mahasiswa yang dianggap kurang pandai selalu diarahkan untuk mengambil bahasa Indonesia. Akhirnya bahasa Indonesia berkesan sebagai bahasa yang hanya cocok dipelajari oleh orang-orang yang bodoh saja. Menurut Dr. Sneddon, yang telah banyak menulis buku tentang pengajaran bahasa Indonesia, sebagaimana layaknya sebuah bahasa, bahasa Indonesia sama susahnya dengan bahasa lain. Bahasa Indonesia harus dipelajari dengan serius seperti kita belajar bahasa Inggris, Perancis dan lain-lain.

Selain itu kemahiran perdana menteri Australia, Kevin Rudd, berbahasa Mandarin kini ikut mempengaruhi melonjaknya minat orang Australia belajar bahasa Cina.

Banyak warga Australia yang sudah bertahun-tahun belajar bahasa Indonesia merasa kecewa karena tidak dapat menggunakannya ketika berkunjung ke Indonesia. Bahasa percakapan yang didengar tidak seperti bahasa Indonesia yang dipelajari di universitas. Diglosia di dalam bahasa Indonesia tidak pernah diajarkan. Baru beberapa tahun terakhir saja bahasa informal mulai dimasukkan ke dalam kurikulum. Dalam wacana lisan formal banyak para penutur di Indonesia yang tidak menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dan cenderung bebas. Hal ini menimbulkan kebingungan, kata mereka.

Bahasa Indonesia di Indonesia
Bagaimana keadaannya di Indonesia? Ternyata meski digunakan setiap hari, masih banyak masyarakat yang tidak menguasai bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Mata pelajaran bahasa Indonesia sangat kurang diminati para siswa. Hasil Ujian Nasional selalu menunjukkan banyaknya siswa yang memiliki nilai ujian bahasa Inggris yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai ujian bahasa Indonesia. Diantara 6 mata pelajaran yang diujikan, Bahasa Indonesia menempati peringkat tersusah untuk dipelajari.

Banyak guru menyayangkan bahwa selama ini pendidikan bahasa Indonesia di sekolah-sekolah hanya menjadi semacam syarat. Murid tidak memahami secara mendalam tentang tata cara dalam berbahasa yang sesungguhnya. Padahal bahasa akan terbina dengan baik apabila sejak dini anak-anak dilatih dan dibina secara serius. Idealnya para siswa harus dibiasakan membaca koran, karya-karya sastra, menulis esei dan menganalisa tulisan serta menonton siaran berita televisi.

Namun hal ini juga belum tentu menyelesaikan persoalan. Karena saat ini tidak semua media memiliki acuan dalam pembakuan kosa kata dan istilah sehingga terjadi ketidakseragaman istilah yang pada gilirannya merusak bahasa Indonesia dan membingungkan penuturnya.

Pemerintah Daerah pun umumnya kurang perduli terhadap penggunaan bahasa Indonesia. Ketidaktertiban dalam berbahasa banyak sekali ditemukan di ruang publik.

Ketika presiden Amerika Barack Obama mengunjungi Departemen Luar Negeri AS pada hari kedua pelantikannya dan menyapa seorang karyawannya dalam bahasa Indonesia, peristiwa itu diberitakan ramai - ramai di Indonesia. Seluruh bangsa Indonesia merasa bangga bahwa seorang presiden Amerika bisa berbicara dalam bahasa Indonesia. Walaupun yang diucapkannya hanya “Terima kasih. Apa kabar?”.

Ketika Pemerintah Daerah Ho Chi Minh City, Vietnam, mengumumkan Bahasa Indonesia menjadi bahasa kedua secara resmi pada bulan Desember 2007, kita semua menyambut gembira berita itu karena merasa disejajarkan dengan Bahasa Inggris, Prancis dan Jepang

Kita selalu merasa bangga dan senang bukan kepalang kalau orang asing mampu berbicara dan menganggap penting bahasa Indonesia. Sebaliknya kita tidak merasa terganggu ketika sebagian dari kita tidak mahir berbahasa Indonesia.

Dr. Anton M. Moelyono pernah berkata:. "Sebuah bahasa berpeluang menjadi bahasa internasional karena kecendekiaan dan kemahiran para penutur itu berbahasa"

Jadi sebetulnya siapakah yang seharusnya belajar bahasa Indonesia?


Wieke Gur,
Pecinta Bahasa Indonesia
*Penulis Lirik dan Pencipta Lagu

Sumber: Oase Kompas.com, Kamis, 29 Oktober 2009

Wednesday, October 28, 2009

[Sumpah Pemuda] Revolusi Budaya Mendesak Diwujudkan

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Bangsa Indonesia perlu segera mewujudkan revolusi budaya untuk mengikis sifat inferior serta kecenderungan membanggakan produk dan budaya asing.

"Salah satu hal yang menghambat kemajuan kita adalah inferioritas. Kita tidak bangga lagi menjadi bangsa, masyarakat kita merasa lebih bergaya jika menggunakan simbol-simbol dan produk-produk asing," kata Pemimpin Redaksi Lampung Post Djadjat Sudradjat dalam Diskusi Kebangsaan di harian ini, Selasa (27-10).

Djadjat mencontohkan dengan jumlah penduduknya yang besar, Indonesia menjadi pasar yang ramah untuk berbagai produk buatan negara-negara asing. Hal itu juga didukung dengan sikap sebagian masyarakat kita yang gandrung pada hal-hal yang berbau asing.

Kecenderungan itu sangat bertolak belakang dengan prestasi yang dibuat anak bangsa sendiri. "Seperti penghargaan terhadap siswa-siswi berprestasi. Setelah tidak lagi ada pemberitaan atau terputus, maka hilang juga perhatian pemerintah terhadap siswa-siswi berprestasi tersebut. Akibatnya, banyak dari mereka yang kemudian meninggalkan Indonesia dan mencari prestasi di negara lain, karena lebih dihargai," kata Djadjat.

Akibatnya ada masyarakat yang berbudaya xenophobia atau ketakutan yang berlebihan terhadap hal-hal yang berbau asing. Bahkan ada sebagian masyarakat yang mengembangkan budaya xenomania atau mencintai secara berlebihan produk-produk dari asing.

Menyitir pendapat dari Fukuyama, Djadjat mengatakan terdapat korelasi antara kebudayaan dengan kemakmuran. Kabudayaan yang diwujudkan dalam kebiasaan sehari-hari masyarakat sangat menentukan bagi kemajuan suatu bangsa (culture matters).

Contoh korelasi kebudayaan dengan kemakmuran adalah membandingkan negara Korea Selatan dengan Ghana. Pada 40 tahun lampau, baik Korea Selatan maupun Ghana adalah pada posisi yang sama. "Dua negara itu habis dicabik-cabik oleh perang saudara. Tetapi kini, setelah 40 tahun, kondisinya Korea Selatan jauh meninggalkan Ghana. Korea Selatan masuk dalam jajaran 11 negara industri. Sedangkan Ghana, tetap dalam keterpurukannya," ujar dia.

Menurut Djadjat, dengan organisasi negara, sebenarnya membuat manusia itu lebih mudah diatur. "Tetapi bukan untuk menjadi bebek. Karena itu negara harus mewujudkan kemakmuran bagi rakyatnya. Negara harus menjadi motivator." n KIS/U-1

Sumber: Lampung Post, Rabu, 28 Oktober 2009

[Sumpah Pemuda] Pengangguran Kikis Kebangsaan

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Sumpah Pemuda, yang digelorakan pertama kali pada 28 Oktober 1928, sudah berlalu 81 tahun. Peristiwa yang menandai lahirnya rasa kebangsaan untuk membangun "rumah bersama" Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Seiring perjalanan waktu, dapatkah Indonesia terus menjadi "rumah bersama" bagi seluruh rakyatnya? Padahal Indonesia yang terdiri dari keanekaragaman adat, budaya, suku, dan agama, dibangun dan disatukan dengan berlandaskan nilai-nilai kebangsaan. Apakah rasa kebangsaan itu terus melekat di hati setiap rakyat?

Hal-hal tersebut mengemuka dalam Diskusi Kepemudaan yang digelar di Kantor Redaksi Lampung Post, Selasa (27-10).

Pengajar ekonomi dari Universitas Lampung (Unila) Marselina Djayasinga mengatakan dari perspektif ekonomi rasa kebangsaan bisa terkikis oleh pengangguran. "Bila perut kosong, maka tidak bisa berpikir rasional. Bicara perut kosong adalah membicarakan masyarakat yang tidak memiliki penghasilan. Orang yang tidak punya penghasilan, tentu karena tidak punya pekerjaan. Pengangguran akan merusak sendi-sendi pembangunan, termasuk rasa kebangsaan dan degradasi moral," kata Marselina.

Namun, angka pengangguran yang mencapai 9,4 juta jiwa dari total 113 juta angka pekerja, tidak membuat pemerintah menjadi waspada. "Secara teori ekonomi, rasio pengangguran ini menunjukkan ekonomi yang tidak sehat. Pemerintah semestinya resah. Tetapi ternyata tidak. Malah negara-negara Asia lainnya yang resah, dan Indonesia tenang-tenang saja. Pemerintah terutama daerah masih asyik dengan kegiatan dan program yang copy paste,"ujar Marselina.

Menurut Marselina, pemerintah semestinya melakukan penyelamatan dengan melakukan program yang extraordinary.

Strategi dilakukan melalui kegiatan pemerintah yang extraordinary, kedua, mengatasi PHK (pemutusan hubungan kerja), serta merevisi kurikulum pendidikan dengan orientasi kewirausahaan. Marselina mengatakan dengan mengentaskan satu pengangguran menjadi bekerja maka menyumbang Rp4 juta kepada negara. "Target pertumbuhan yang dipatok pemerintah adalah tujuh persen. Padahal setiap persen pertumbuhan akan menyerap 350 ribu tenaga kerja. Jadi angka tujuh persen pertumbuhan itu belum sepenuhnya menyerap pengangguran," kata dia.

Pemuda, menurut Marselina, harus mendapat perhatian serius dalam hal pemberian kredit. Demikian juga dari kalangan pemuda sendiri harus mampu mandiri. "Organisasi kepemudaan selama ini orientasinya hanya sebatas politik dan minta proyek. Belum ada yang orientasinya pada kewirausahaan," ujar Marselina.

Dalam situasi yang buruk sekalipun, menurut Marselina, ada peluang. "Setiap bicara krisis, pasti ada hikmah. Ada blessing in disguise," kata dia. Menutup pemaparannya, secara tegas Marselina mengatakan jika keanekaragaman di Indonesia dan rasa kebangsaan itu bisa tercabik-cabik oleh pengangguran. n KIS/U-1

Sumber: Lampung Post, Rabu, 28 Oktober 2009

[Sumpah Pemuda] Pemuda Saatnya Mandiri

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Para pemodal asing praktis menguasai ekonomi dan politik Indonesia. Untuk itu, para pemuda harus bersikap mandiri guna menghindari ketergantungan pada asing.

Demikian dikemukakan 100-an mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Parlemen Jalanan (APJ) saat mengenang peringatan Hari Sumpah Pemuda di Tugu Adipura, Bandar Lampung, Selasa (27-10).

Selain menggelar orasi, APJ juga mementaskan musik yang dinyanyikan para pengamen jalanan dan pembacaan puisi. APJ merupakan gabungan dari beberapa lembaga kemahasiswaan seperti Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), dan Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI).

Kemandirian Indonesia masih dipegang para pengusaha, pihak asing seperti World Trade Organization dan Bank Dunia. "Sudah saatnya pemuda mengambil peran untuk menujudkan kemandirian," kata Ketua LMND Bandar Lampung Dewa Putu Adi Wibawa.

Dewa Putu mengatakan bukti bahwa Indonesia masih didikte pihak asing adalah adanya privatisasi pendidikan, listrik, penguasaan aset nasional, dan gaji buruh yang murah. Liberaliasi ekonomi, kata Dewa, yang terjadi di Indonesia karena tekanan modal asing. Demikian pula gaji buruh yang sangat murah adalah kehendak pemodal asing. "Sampai hari ini, gaji buruh di Lampung belum memenuhi standar kehidupan yang layak," kata dia.

Dewa menilai pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono terlalu lemah dengan modal asing. SBY tidak berani untuk menentang kehendak asing sehingga kebijakan yang diambil berpihak kepada kepentingan asing. Menurut Dewa, pemuda saat banyak yang tidak sadar bahwa bangsa Indonesia masih dijajah secara ekonomi dan poltik. Pemuda masih belum paham bahwa kekuatan asing masih mendikte Indonesia. "Kalau kekuatan politik yang lain tidak sanggup bergerak, kami pemuda dan mahasiswa akan menjadi oposisi bagi pemerintah," kata Dewa.

Sementara itu, Ketua KAMMI Lampung Hadi Kurnidi mengatakan pemuda berperan dalam perbaikan pemerintahan. Pemuda juga akan berperan dalam pemantauan pemilihan kepala daerah dan isu-isu kerakyatan.

Hadi menilai pemerintah SBY tidak akan mandiri selama masih bergantung kepada pihak asing. Kabinet SBY yang baru dibentuk juga banyak diisi kepentingan Amerika Serikat.

Mahasiswa dan pemuda, ujar dia, harus mengambil sikap oposisi terhadap pemerintah. "Mahasiswa harus menjadi kekuatan alternatif untuk menyokong kekuatan di luar parlemen," kata dia.

Ia tidak menginginkan agar perayaan Sumpah Pemuda menjadi sekadar acara seremoni. Harus ada kelanjutan dari perayaan Sumpah Pemuda. "APJ akan terus mengsusung isu-isu kerakyatan," ujarnya.

Menurut Hadi, Sumpah Pemuda harus dijadikan sebagai momentum untuk kembali mengambil seperti para pemuda di zaman perjuangan kemerdekaan tahun 1928. Pemuda saat ini sudah terlena dengan gaya hidup modern dan hedonis sehingga membuat potensi tidak optimal. "Pemuda harus mampu mengoptimalkan potensi," ujar dia. n MG2/U-1

Sumber: Lampung Post, Rabu, 28 Oktober 2009

Refleksi Sumpah Pemuda: Kepemimpinan yang Kuat Dorong Kemandirian Bangsa

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Kepemimpinan yang kuat amat efektif mendorong kemandirian bangsa menghadapi gelombang globalisasi dewasa ini.

"Hanya dengan kepemimpinan yang kuat dan percaya diri kita bisa berdikari. Tanpa itu, bangsa kita akan semakin terpuruk di bawah negara-negara maju," kata akademisi Unila Ariska Warganegara.

Ariska menyampaikan hal itu saat menjadi pembicara dalam diskusi kebangsaan bertajuk Merajut Kembali Keindonesiaan Kita di Kantor Redaksi Lampung Post, Selasa (27-10). Diskusi yang digelar Bidang Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Tanjungkarang itu juga menampilkan dua pembicara lain, yakni dosen Fakultas Ekonomi Universitas Lampung Marselina Djayasinga dan Pemimpin Redaksi Lampung Post Djadjat Sudradjat. Peserta yang hadir antara lain dari kalangan pergerakan mahasiswa dan unsur rohaniwan.

Djadjat Sudradjat mengatakan kepercayaan diri harus dibangun untuk menumbuhkan sikap mandiri. Dengan kata lain, Djadjat mengatakan kemandirian itu sesungguhnya adalah kepercayaan diri. "Negara yang berfungsi menggerakkan dengan kepemimpinannya. Karena itu saya setuju, kebudayaan lebih dahulu mandiri karena akan diikuti dengan kemajuan ekonomi," kata Djadjat.

Selanjutnya Djadjat mengatakan kebudayaan Indonesia yang beraneka ragam itu menjadi modal untuk mendorong kemajuan. Kebudayaan itu juga ditopang dengan sejarah bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar. Kebudayaan dan ingatan sejarah itu, menurut Djadjat, akan membangun jiwa dan kemudian merefleksikan kemanusiaan. "Kalau Indonesia tidak bisa menjadi rumah bersama, maka Indonesia telah mengingkari sejarahnya sendiri. Tidak ada satu pun pulau di Indonesia yang hanya dihuni oleh satu etnik saja. Semuanya serba erbuka. Ada pendatangnya. Karena itu sangat penting membangkitkan nilai-nilai masa lalu untuk membangun keindonesiaan," ujar Djadjat.

Dalam hal itu, Djadjat mengatakan negara menjadi motivator. Namun, sepenuhnya peran negara itu tidak bisa dilakukan. Karena itu, terkait kenyamanan Indonesia sebagai rumah bersama, Djadjat mengatakan bisa dilihat dari perlakuan terhadap kaum minoritas. "Kenyamanan dari suatu negara diukur dari perlakuan terhadap minoritas. Tetapi di Indonesia, jangankan minoritas. Mayoritas saja tetap dapat diskriminasi," ujarnya.

Sementara itu, Marselina mengatakan sikap kemandirian bisa dilihat dari tiga sisi. Yaitu kemandirian pribadi, kemandirian daerah, dan kemandirian bangsa. Khusus kemandirian daerah dan bangsa, menurut Marselina, ditentukan oleh kualitas pendidikan. "Globalisasi tidak bisa ditolak. Globalisasi tidak bisa dihindari. Globalisasi harus dihadapi dengan sikap kemandirian. Namun, adanya pengangguran bisa mengakibatkan rusaknya kemandirian bangsa," kata Marselina. n KIS/U-1

Sumber: Lampung Post, Rabu, 28 Oktober 2009

Kabinet, Presiden dan Bahasa Indonesia, Refleksi Bulan Bahasa

-- Wahyu Susilo

HIRUK-PIKUK pembentukan kabinet, mulai dari tahapan pemanggilan dan wawancara (istilah populernya audisi) di Cikeas, pemeriksaaan kesehatan, hingga tahap pembatalan calon, pelantikan kabinet terpilih dan penilaian masyarakat terhadap kemampuan kabinet terpilih hingga saat ini belum usai. Tentu saja, ini merupakan rutinitas lima tahunan yang tidak bisa dilewatkan, terutama bagi mereka yang menaruh perhatian pada masa depan politik ekonomi Indonesia.

Di antara hiruk pikuk tersebut, ada keprihatinan mendalam terhadap kabinet terpilih yang dinamai oleh Presiden SBY sebagai Kabinet Indonesia Bersatu II. Keprihatinan tersebut muncul dari pemakaian tiga semboyan (istilah Presiden SBY tagline) kabinet ini dalam bahasa Inggris yang ditetapkan dalam sidang kabinet yang digelar pertama kali pada tanggal 23 Oktober 2009.

Tiga semboyan itu adalah "Change and Continuity", "De-bottlenecking, Acceleration, and Enhancement" dan "Unity, Together We Can". Walau Presiden SBY kemudian menerjemahkan dan menjelaskan secara rinci semboyan tersebut dalam bahasa Indonesia, tetap harus dipertanyakan mengapa harus terlebih dahulu menggunakan bahasa Inggris ketimbang bahasa Indonesia?

Lebih memprihatinkan lagi, peristiwa ini terjadi pada bulan Oktober, yang telah ditetapkan sebagai bulan bahasa Indonesia. Penetapan ini merupakan penghormatan terhadap "Soempah Pemoeda", buah politik pergerakan kaum muda yang berhasil merumuskan identitas bangsa dalam wujud bahasa Indonesia.

Lunturnya kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi politik domestik mencerminkan watak kekuasaan yang abai pada nilai-nilai kebangsaaan dan cenderung untuk mengintegrasikan diri dalam kekuataan global yang mungkin menjadi panutan dan penopang kekuasaannya. Sebenarnya, bukan pertama kali ini, Presiden SBY dan para pembantunya terlalu banyak menggunakan bahasa Inggris dalam komunikasi politik domestik. Selain dinilai tidak menghargai bahasa Indonesia, perilaku ini juga sering menjadi bahan tertawaan karena salah penggunaan.

Salah satu contoh yang nyata adalah penggunaan istilah "one man, one tree" yang dipakai dalam iklan layanan masyarakat Departemen Kehutanan untuk Hari Menanam Nasional. Para pegiat lingkungan hidup menyesalkan istilah “one man, one tree” karena bias gender dan mengabaikan peran perempuan dan anak. “Man”, sekarang tak bisa lagi diterjemahkan sebagai orang, tetapi sebagai “laki-laki”. Dalam khazanah ilmu politik, kosakata politik klasik “one man, one vote” pun juga telah diganti dengan “one person, one vote”, untuk menghindari bias gender. Dengan demikian istilah “one man, one tree” tidak inklusif dan mengabaikan perempuan dan anak. Mengapa tidak langsung menggunakan semboyan yang lebih lugas dalam bahasa Indonesia dan tidak bias gender: "Satu orang, satu pohon!"

Menteri Keuangan Dr Sri Mulyani juga merupakan salah seorang pembantu Presiden SBY yang gemar mengumbar istilah-istilah dalam bahasa Inggris meskipun sebagian besar pendengar pidato dan wawancaranya adalah pengguna bahasa Indonesia.

Penulis pernah melakukan kajian terhadap “kesia-siaan” penggunaan bahasa Inggris dalam pidato Presiden SBY pada berbagai kegiatan kepresidenan di dalam negeri. Mengapa sebuah "kesia-siaan"? Karena sebagian besar pendengar pidato Presiden SBY adalah pengguna bahasa Indonesia. Selain itu, istilah yang disampaikan dalam bahasa Inggris, sebenarnya juga telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.

Dalam kajian terhadap Pidato Kenegaraan Presiden pada bulan Agustus sepanjang tahun 2006 – 2009, penulis menemukan banyak kesia-siaan penggunaan bahasa Inggris, bahkan juga menemukan kesalahan penggunaan istilah dalam bahasa Inggris. Pada pidato kenegaraan bulan Agustus 2006, terdapat kesalahan penggunaan istilah Millennium Development Index. Istilah ini tidak pernah ditemukan dalam diskusi tentang Millennium Development Goal. Kesia-siaan ditemukan ketika istilah energi alternatif berbasis nabati dan sistem peringatan dini yang sebenarnya sudah banyak dipahami masyarakat, masih tetap disertai terjemahannya dalam bahasa Inggris. Sebaliknya ada istilah asing yang disebut presiden sebagai survailance tidak diterjemahkan.

Dalam pidato kenegaraan bulan Agustus 2007 hingga Agustus 2009, makin banyak bertaburan istilah dalam bahasa Inggris, mulai dari kutipan pidato Bung Karno (Indonesia is breaking up, A nation in collapse, istilah-istilah terkait perubahan iklim dan ekonomi. Bahkan istilah growth with equity (pertumbuhan yang disertai dengan pemerataan) berulang kali disampaikan. Ini tentu terkait dengan penegasan dan pilihan strategi ekonomi pemerintahan SBY. Istilah rule of law dan good governance (bahkan ditambahkan oleh Presiden SBY menjadi good and clean governance) masih terus disebut, meskipun sudah ada padanan kata dan populer dalam percakapan bahasa Indonesia. Istilah ekonomi pro growth, pro poor dan pro job bahkan sering disebut dan menjadi mantra dalam kampanye pemilihan presiden dan pasti akan terus disebut dalam pemerintahan baru ini.

Tentu bukan sebuah kebetulan, jika istilah-istilah dalam bahasa Inggris yang bertaburan tersebut adalah istilah-istilah baku dalam model pembangunan yang diperkenalkan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional (seperti Bank Dunia/World Bank, Dana moneter Internasional/International Monetary Fund dan Bank Pembangunan Asia/Asian Development Bank) serta negara-negara maju yang selama ini menopang pembiayaan pembangunan Indonesia melalui utang luar negeri.

Keadaan tersebut di atas menjadi ironi karena pada tahun 2003 Susilo Bambang Yudhoyono (waktu itu Menteri Koordinator Politik dan Keamanan) pernah mendapat penghargaan dari Pusat Bahasa sebagai pejabat publik yang menggunakan bahasa Indonesia dengan baik.

Keprihatinan akan makin lunturnya kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi politik domestik ini erat kaitannya dengan kekhawatiran akan masa depan bangsa Indonesia. Kajian pidato kenegaraan dan kaitannya dengan pilihan kebijakan ekonomi Indonesia menunjukkan bahwa kedaulatan bangsa berada dalam ancaman, bukan hanya tercabik-cabik di ranah ekonomi, tetapi juga telah kehilangan kebanggaan atas bahasa dan kebudayaan. Ini wujud dari ketidakpercayaan diri para pemegang kuasa politik di Indonesia.

* Wahyu Susilo, Belajar bahasa dan sejarah di Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret Surakarta

Sumber: Media Indonesia, Rabu, 28 Oktober 2009

Aktualisasi Peran Pemuda

-- Abdul Ghopur

PEMUDA, sesungguhnya bukan sekadar bagian dari lapisan sosial dalam masyarakat saja. Sebab mereka memainkan peranan penting dalam perubahan sosial. Tapi, jauh daripada itu, pemuda merupakan konsepsi yang menerobos definisi pelapisan sosial tersebut, terutama terkait konsepsi nilai-nilai. Sejarawan Taufik Abdullah (1995) memandang pemuda atau generasi muda adalah konsep-konsep yang sering mewujud pada nilai-nilai herois-nasionalisme. Hal ini disebabkan keduanya bukanlah semata-mata istilah ilmiah, tetapi lebih merupakan pengertian ideologis dan kultural.

'Pemuda harapan bangsa', 'pemuda pemilik masa depan bangsa,' dan sebagainya, betapa mensyaratkan nilai yang melekat pada kata 'pemuda'. Pernyataan menarik di atas, dalam konteks Indonesia sebagai bangsa, menemukan jejaknya. Sebab, berbicara sosok pemuda memang identik dengan nilai-nilai dan peran kesejarahan yang selalu melekat padanya. Sosok pemuda selalu terkait dengan peran sosial-politik dan kebangsaan. Ini dapat dipahami mengingat hakikat perubahan sosial-politik yang selalu tercitrakan pada sosok pemuda. Citra pemuda Indonesia tidak lepas dari catatan sejarah yang telah diukirnya sendiri.

Taufik Abdullah pernah menyatakan, betapa peristiwa-peristiwa besar di negeri ini dilalui dan digerakkan oleh pemuda. Sejarah mencatat bahwa Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908, merupakan rekayasa sosial-politik para pemuda Indonesia dalam menggerakkan semangat nasionalisme rakyat Indonesia melawan penjajah kolonial. Tonggak penting itu direkatkan lagi oleh Ikrar/Sumpah Pemuda, yang menegaskan kesatuan niat, kebulatan tekad dan semangat satu Tanah Air, satu bangsa, dan satu bahasa nasional Indonesia, pada Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928. Lalu, semangat nasionalisme tersebut mengkristal dan menemukan momentumnya saat diproklamirkannya Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan Hatta.

Tidak mengherankan jika kemerdekaan Indonesia tak lepas dari gerakan 'revolusi kaum muda'. Sebagaimana dinyatakan oleh Taufik Abdullah di atas, prestasi dan citra kaum muda Indonesia begitu menyejarah sepanjang berdirinya Republik Indonesia. Pergantian rezim ke rezim di Indonesia juga melibatkan pemuda. Sedemikian melekatnya nilai-nilai kepeloporan dan semangat kebangsaannya, tentu saja ini menjadi beban sekaligus tanggungjawab moral sosial pemuda Indonesia ke depan.

Sering didapati dalam banyak artikel (tulisan) dan kita sendiri bahkan menyaksikan peran partisipasi pemuda yang sangat besar dalam membangun, menyumbang, dan mendukung perkembangan bangsa. Dengan demikian sesungguhnya, diskursus kepemudaan tidak semata terkait persoalan politik. Namun, memiliki spektrum yang lebih luas, mencakup seluruh dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pernahkah kita mendengar slogan; 'sekarang pemuda, besok akan menjadi pemimpin' Pernyataan ini mendorong kita untuk memperhatikan eksistensi pemuda di masa lalu, kini dan mendatang. Dengan mengetahui semua fakta, kita sadar, betapa pentingnya peran kesejarahan pemuda untuk masa depan 'republik yang sedang menunggu ini'. Pemuda dianggap lambang semangat api revolusi yang tak pernah redup. Lambang keberanian dan semangat yang tak pernah pudar. Pemuda melambangkan kekuatan yang tak pernah hancur! Atas alasan ini, Presiden Soekarno suatu ketika pernah berkata; "berikan padaku sepuluh pemuda, maka akan kugoncangkan dunia." Dari pernyataan ini kita dapat menyimpulkan bahwa Soekarno lebih mengapresiasi pemuda ketimbang orang tua. Mengapa? Karena mereka memainkan peranan yang besar dan mempunyai potensi serta energi yang besar dalam mengerakkan suatu perubahan sosial.

Revolusi mati muda

Namun, melihat realitas pemuda Indonesia yang ada kini, sungguh jauh panggang dari api. Mengutif pernyataan M Yudho Haryono, bahwa gagasan dan visi reformasi yang diusung kaum muda dengan sendi moral, ide dan gagasan bersih pada akhirnya harus tunduk pada takdir yang tidak bisa dielakkan. Ia menemukan ekspresinya dengan menjelma menjadi rutinitas dan tanpa (realisasi) harapan. Ia menerima kenyataan-kenyataan riil yang menyeretnya secara kuat untuk tenggelam. Pesonanya memudar, karismanya melarut dan daya revolusinya mati muda.

Akibatnya, sambil menunggu drama politik dan peruntungan antara rakyat dan penguasa, eksekutif dan legislatif, penambahan umur kita menyela untuk menandai semakin rentanya republik ini. Renta bagai zombi, tanpa gambaran bernas masa depan, hanya sedikit cercah harapan. Apa mau dikata, Pemilu 2009 yang baru saja dilewati ini, kita memang kehadiran drama realis politisi bersih yang terulang tanpa bisa dielakkan; kalah mengenaskan. Dari rezim ke rezim, dari pemilu ke pemilu, drama dan pertarungan atas nama moral bersih berputar tanpa skenario baru. Sehingga, tidak menghasilkan kejayaan yang elegan. Sebaliknya muncul dengan wajah buram, menguasai banyak medan pertempuran tapi kalah telak di akhir perang, banyak di mana-mana tetapi selalu tak mendapat apa-apa. Dari waktu ke waktu, drama dengan modal moral bersih, kalah oleh lupa karena miskin kader dan agenda. Meninggalkan ingatan untuk menjejer luka-luka baru yang luka lamanya tak tersembuhkan.

Atas beberapa alasan di atas itulah, pentingnya upaya mendialogkan kembali diskursus tentang peran dan eksistensi pemuda dalam konteks pembangunan Indonesia. Dengan menguatkan nilai-nilai kerakyatan secara luas agar partisipasi dan kemanusiaan dapat dirayakan dengan sedikit harapan. Agar tidak paria di negara merdeka tetapi juga tidak fobia terhadap negara dan kapitalisme.

* Abdul Ghopur, Peneliti pada Nusantara Centre

Sumber: Media Indonesia, Rabu, 28 Oktober 2009

Posisi M Yamin dalam Sejarah Indonesia

-- Asvi Warman Adam*

MOHAMMAD Yamin adalah tokoh terpenting dalam perumusan Sumpah Pemuda. Ikrar yang disusunnya telah mengilhami perjuangan bangsa selanjutnya,bahkan tetap menjadi perekat persatuan sampai saat ini.

Sebetulnya bagaimana posisi Yamin dalam sejarah Indonesia? Pada majalah Tempo edisi khusus 16 Januari 2000 tertulis secara eksplisit, “Pakar sejarah Taufik Abdullah menempatkan Yamin sebagai sejarawan terbesar abad ini.” Mungkin Prof Dr Taufik Abdullah hanya berbasa-basi tentang kehebatan Muhammad Yamin, tetapi barangkali pernyataan itu ada benarnya juga.Timbul pertanyaan, besar dalam hal apa?

Kalau dari segi perawakan tubuh, memang Yamin lebih besar dari Taufik Abdullah, juga dari Mestika Zed. Anhar Gonggong mungkin lebih kurus,tetapi lebih tinggi atau sama tinggi dengan Yamin.Namun kalau dari segi kualitas karya,bagaimana mengukurnya?

Serbabesar

Muhammad Yamin yang lahir di Talawi, Sawah Lunto, 23 Agustus 1903 adalah pribadi yang mempunyai kemampuan besar dan citacita besar. Dia memiliki banyak talenta: pemikir sejarah, sastrawan, ahli bahasa, politisi, dan ahli hukum di samping tokoh pergerakan nasional.Kalau hanya gabungan sejarawan dan sastrawan,itu mungkin sebanding dengan Kuntowijoyo almarhum, tetapi Yamin juga menguasai perundang-undangan serta ikut menata bidang pendidikan dan keguruan.

Dia pernah menjadi menteri yang mengurus bidang pendidikan dan mendirikan perguruan tinggi pendidikan guru (PTPG) di Bandung, Malang, dan Batu Sangkar. Dia terlibat dalam penyusunan UUD 1945 dan pernah menulis buku Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia (1951). Yamin memiliki kemampuan besar ketika dia meyakinkan pimpinan sidang dan peserta Kongres Pemuda di Jakarta tentang rumusan yang kini dikenal sebagai Sumpah Pemuda.

Ketika kemudian setelah Indonesia merdeka muncul ide agar bahasa Jawa dijadikan bahasa nasional, Yamin menolaknya. Baginya bahasa adalah landasan utama dari eksistensi “bangsa”. Sebuah kalimat “Tiada bahasa, bangsa pun hilang” terdapat dalam sajaknya yang ditulis tahun 1921.

Dalam ingatan kolektif masyarakat, formula sumpah pemuda itu singkat saja bahwa kita memiliki satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa. Pemilihan bahasa Indonesia yang berasal dari Melayu sebagai bahasa nasional merupakan keputusan yang sangat cemerlang dan visioner.Kini tampaknya bahasa Indonesia itu pulalah yang menjadi (sedikit yang tersisa dari) perekat persatuan Indonesia.

Di sisi lain, dia juga memiliki cita-cita yang sangat tinggi.Yamin muda membayangkan sebuah Indonesia Raya yang mencakup delapan wilayah yang merupakan bekas jajahan Belanda, Inggris, dan Portugis. Bukan saja besar wilayahnya, tetapi juga pernah jaya pada masa lampau. Dia berupaya dengan segenap daya untuk meyakinkan masyarakat tentang kebenaran pandangannya ini––demi menumbuhkan rasa nasionalisme.

Dalam konteks ini pula dia menggagas lambang negara,sungguhpun yang diterima adalah konsep Sultan Hamid. Soekarno pernah mengungkapkan perihal Trimurti,yaitu konsep tentang waktu mengenai tanah air, (a) the golden past, (b) the dark present,dan (c) the promising future. Masa lampau yang jaya, masa kini yang gelap, dan masa depan yang menjanjikan/cerah.Pemikiran Yamin sejalan dengan ini.

Dia menggambarkan masa lalu yang jaya dengan mengacu pada Sriwijaya dan Majapahit. Dalam perbenturan atau ketidaksesuaian antara cita-cita besar dengan kemampuan besar mungkin saja timbul hal-hal yang kemudian dianggap kontroversi. Yamin bukanlah orang yang diam saja bila ada sesuatu yang tidak cocok di hatinya. Dalam sidang BPUPKI beberapa kali dia ditegur oleh ketua sidang, tetapi tetap melanjutkan uraiannya yang dianggapnya penting.

Ketua sidang memintanya untuk mematuhi ketentuan rapat (agar Yamin “takluk”), tetapi Yamin menjawab bahwa dia “takluk tetapi tidak tunduk”. Sikap seperti ini yang kelihatannya menyebabkan beberapa tokoh agak jengkel kepada Yamin. Di sisi lain seorang pengamat sejarah Filipina menilai karyanya “romantic, ultra nationalist and pre-scientific” (Rommel Curaming dalam Kyoto Review of Southeast Asia, Maret 2003).

Istilah yang terakhir yang mungkin bisa diterjemahkan sebagai “prailmiah”, mengingatkan pada istilah prasejarah, yaitu suatu masa yang dengan perkembangan waktu akhirnya sampai pada era sejarah.Tentu kata tersebut memiliki konotasi yang kurang elok karena menganggap karya Yamin sebagai “belum tergolong ilmiah”,sesuatu yang sebetulnya masih bisa diperdebatkan.

Kanvas Besar

Sebetulnya Yamin dapat diibaratkan seorang pelukis yang menggambar di kanvas sangat besar.Kalau sejarawan Prancis Fernand Braudel berbicara tentang longue durée (masa yang sangat panjang), Yamin telah menulis tentang 6.000 tahun Merah Putih. Mungkin saja analisisnya kurang tepat,tetapi yang ingin disampaikan Yamin adalah unsur persatuan itu sudah lama ada di wilayah yang kemudian bernama Indonesia ini.

Yamin menulis tujuh jilid buku tentang Majapahit dan sebuah buku “klasik” tentang Gajah Mada. Yamin adalah sejarawan yang memiliki pandangan bukan saja jauh ke belakang, tetapi juga jauh ke depan. Baginya bentuk yang cocok untuk negara ini adalah negara kesatuan.Namun jauh-jauh hari pada sidang BPUPKI dia telah menyampaikan bahwa negara kesatuan itu harus menjalankan dua prinsip, yaitu dekonsentrasi dan desentralisasi.

Kenyataan itu yang tidak dijalankan sejak Indonesia merdeka sampai jatuhnya Orde Baru. Yamin mengawali usaha dekolonisasi sejarah.Berdasarkan prinsip “catursila Khalduniyah”(kebenaran, sejarah Indonesia, kebangsaan Indonesia,dan sintesis),Yamin mengajukan pembabakan sejarah Indonesia yang menurutnya terdiri atas lima tahap, yaitu (1) prasejarah, (2) protosejarah, (3) babakan kebangsaan, (4) babakan internasional, dan (5) abad proklamasi, yang bermula dari prasejarah dan mencapai puncaknya pada “abad proklamasi”.

Jadi kemerdekaan dan persatuan Indonesia adalah puncak dari perjalanan sejarah Indonesia. Yamin juga sangat peduli dengan pendidikan sejarah. Bahkan pendidikan secara umum dan pendidikan guru. Khususnya untuk pendidikan sejarah,dia sudah berpikir bahwa pelajaran sejarah seyogianya tidak membosankan murid.

Tahun 1956 dia menerbitkan buku Atlas Sejarahdan Lukisan Sejarah (kedua buku itu diterbitkan oleh Penerbit Djambatan Jakarta tanggal 17 Agustus 1956) yang merupakan alat bantu pengajaran sejarah agar tidak membuat siswa menjadi jenuh. Dalam pengantar buku Atlas Sejarah disebutkan,“Kami sangat berhemat menyebut segala peperangan dan pertempuran yang berlaku dalam perjalanan sejarah karena kemajuan dunia bukanlah hanya sejarah perang, melainkan sungguh banyak sangkut-pautnya dengan peristiwa lain.

Kami meluangkan tempat bagi persamaan waktu dalam sejarah dan bagi penjelasan tentang pengaruh peradaban. Sungguh-sungguh pula kami pertimbangkan bahwa sejarah pada hakikatnya ialah gerakan arus yang tak putus-putusnya dan selalu mendorong manusia dan bangsa mencari bentuk baru. Oleh sebab itu di mana perlu kami tekankan gerak-gerik dinamik sejarah dan cara bagaimana negara dan peradaban turun-naik silih berganti.”(*)

* Asvi Warman Adam, Sejarawan LIPI

Sumber: Seputar Indonesia, Rabu, 28 Oktober 2009

Revitalisasi Sumpah Pemuda

-- Asvi Warman Adam*

SETIAP tanggal 28 Oktober dari tahun ke tahun diperingati "Sumpah Pemuda" dengan tema dan skala peringatan yang tidak sama. Untuk apa peringatan tersebut ? Sejarawan Prancis, Mona Ozouf, mengatakan bahwa peringatan sejarah itu diadakan untuk mengingatkan semua orang bahwa "kita semuanya tetap sama seperti waktu lalu dan kita ingin tetap sama di masa yang akan datang". Kita memperingati hari sumpah pemuda karena ingin menekankan bahwa nilai-nilai yang tertuang dalam peristiwa itu sangat diperlukan sekarang: persatuan tanpa membedakan suku dan agama serta keberanian menghadapi tekanan pihak asing yang jauh lebih kuat dari kita.

Pentingnya persatuan ini dapat dilihat dalam konteks sejarah masa lalu, sekarang dan masa depan. Secara normatif, kenyataan yang sulit hari ini hanya dapat diatasi dengan modal persatuan agar kita dapat menuju hari esok yang lebih baik. Pada masa Orde Baru istilah persatuan itu digenapkan menjadi "persatuan dan kesatuan".

Pandangan Sukarno tentang "trimatra" sejarah: masa lalu yang jaya (the glorious past), masa kini yang sulit (the dark present) dan masa depan yang cerah (the promising future) juga dianut oleh rezim Orde Baru. Dipercaya bahwa munculnya nasionalisme menumbuhkan persatuan yang menjadi modal perjuangan merebut kemerdekaan untuk memasuki masa depan gemilang. Skema "jaya-sengsara-cerah" ini diikat oleh frase "persatuan dan kesatuan" yang bisa menjadi kunci untuk memahami gerak sejarah bangsa Indonesia.

Yang berbeda antara Orde Baru dengan penguasa sebelumnya adalah cara mencapai masa depan yang lebih baik itu. Penafsiran dan penggunaan nasionalisme pada zaman Sukarno berbeda dengan era Soeharto. Pada masa pemerintahan Sukarno, nasionalisme itu dihubungkan dengan kebangkitan dunia ketiga dan semangat anti kolonialisme. Oleh Soeharto, nasionalisme itu dijinakkan dan diselaraskan dengan pembangunan yang mengandalkan stabilitas keamanan.

Pada dasarnya sejarah itu dapat dibagi dua, sejarah sebagai peristiwa yang terjadi pada masa lalu (histoire realité) dan sejarah sebagaimana diceritakan (histoire recité). Sejarah sebagai realitas, tentunya dapat diganggu-gugat lagi karena pengalaman itu telah lewat. Namun sejarah yang dituturkan dapat berubah-ubah, demikian pula hari-hari yang penting untuk diperingati.

Maka Sumpah Pemuda --yang dianggap sebagai salah satu tonggak kebangsaan Indonesia -- dikenang sejalan dengan perkembangan masa. Yang dikenang oleh Presiden Sukarno tahun 1949 bukanlah "Sumpah Pemuda", melainkan himne Indonesia Raya yang ditampilkan oleh Wage Supratman 28 Oktober 1928. Tanggal 28 Oktober 1954 diadakan Kongres Bahasa Indonesia kedua di Medan, yang merupakan kongres pertama setelah Indonesia merdeka. Kota Medan dipilih M Yamin sebagai tempat kongres karena dinilai merupakan kota yang dihuni beragam etnis namun dapat menggunakan bahasa Indonesia sebagai "bahasa persatuan".

Pada tahun 1956 mulai timbul gerakan separatisme, maka Bung Karno pun berpidato tentang "penyimpangan dari Sumpah Pemuda 1928". Ketika keadaan menjadi kritis tahun 1957, pergolakan daerah muncul, maka justeru ketika itu peringatan Hari Sumpah Pemuda dirayakan secara besar-besaran (Keith Foulcher, 2000). Diperlukan simbol pemersatu, dan itu diperoleh dari pernyataan yang pada Sumpah Pemuda.

Setelah pergolakan di daerah dapat diatasi, maka Sumpah Pemuda pun dikaitkan dengan Manipol tahun 1960 dan pada tahun berikutnya Sumpah Pemuda merupakan bagian dari slogan untuk merebut Irian Barat. Pada era Orde Baru, nilai-nilai pada Sumpah Pemuda dihubungkan dengan upaya untuk memantapkan landasan pembangunan nasional.

Sumpah Pemuda yang diikrarkan tanggal 28 Oktober 1928 memang merupakan sumpah yang diperlukan oleh pemerintah (terutama pada masa Orde Baru) untuk mendukung retorika pembangunan yang mengandalkan "persatuan dan kesatuan". Namun Sartono Kartodirdjo menganggap Manifesto Politik 1925 adalah tonggak sejarah yang lebih penting daripada Sumpah Pemuda. Manifesto itu dikemukakan oleh Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda yang intinya: 1) Rakyat Indonesia sewajarnya diperintah oleh pemerintah yang dipilih mereka sendiri; 2) Dalam memperjuangkan pemerintahan sendiri itu tidak diperlukan bantuan dari pihak manapun; 3) Tanpa persatuan kokoh dari pelbagai unsur rakyat tujuan perjuangan itu sulit dicapai. Di dalam ketiga butir pernyataan tersebut tercakup konsep nasion Indonesia, demokrasi, unitarianisme, otonomi dan kemerdekaan. Prinsip-prinsip nasionalisme di dalamnya mencakup unity, liberty, equality.

Ada tiga hal yang ingin disampaikan sebagai penutup artikel ini. Pertama, prestasi luar biasa para pemuda tahun 1928 adalah mengeluarkan ikrar persatuan tanpa membeda-bedakan suku bangsa dan agama. Negara kita bukan negara agama walaupun sila pertama dari dasar negara Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Upaya untuk mendirikan negara agama jelas suatu kemunduran dari apa yang sudah disepakati 81 tahun silam.

Kedua, etno nasionalisme telah bertransformasi menjadi nasionalisme Indonesia sejak awal abad XX. Bangsa kita terdiri dari ratusan suku bangsa yang telah berjuang dalam merebut dan kemudian mengisi kemerdekaan. Dalam percaturan politik belakangan ini nuansa kesukuan ini kembali mencuat. Sangat logis bila anggota kabinet terdiri dari tokoh yang berasal dari berbagai suku bangsa. Namun memaksakan kehendak bahwa suku tertentu harus menjadi menteri tentulah tuntutan yang berlebihan.

Ketiga, secara kongkret pemuda haruslah menjadi agen perubahan di tanah air kita baik di kota maupun di desa. Program KKN (Kuliah Kerja Nyata) bagi mahasiswa selama tiga bulan di desa-desa yang dijalankan semasa lampau perlu dihidupkan kembali. Menteri Pemuda dan Olahraga, Dirjen Pendidikan Tinggi bekerja sama dengan Pemerintah Daerah perlu mensukseskan program ini. Mungkin pembiayaan dapat dikeluarkan dari anggaran Pemerintah Daerah karena mereka yang memetik manfaat dari "turba" (turun ke bawah) para mahasiswa termasuk laporan lapangan yang dapat digunakan untuk membenahi pembangunan di desa.

* Asvi Warman Adam, Ahli Peneliti Utama LIPI

Sumber: Jurnal Nasional, Rabu, 28 Oktober 2009

Sumpah Pemuda dan Obama

-- Ahmad Riawan Amin

MASIH relevankah bicara tentang Hari Sumpah Pemuda di zaman yang serba instan ini? Apa yang bisa dipetik oleh generasi masa kini dari peristiwa yang terjadi 81 tahun silam itu.

Untuk menjawab pertanyaan di atas, setidaknya dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yakni reaktualisasi dan reinterpretasi. Reaktualisasi Sumpah Pemuda sangat penting karena nilai-nilai Sumpah Pemuda 1928 pada dasarnya tetap diperlukan oleh bangsa ini. Nilai-nilai yang dimaksudkan terutama berkait dengan persatuan dan kesatuan serta integrasi bangsa.

Kongres Pemuda 1928 di Jakarta yang mencetuskan Ikrar Pemuda dan kemudian dikenal dalam sejarah Indonesia dengan nama Sumpah Pemuda 1928 berhasil melebur organisasi-organisasi pemuda kedaerahan/kesukuan seperti Jong Java, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Sumatera Bond dan lain-lain menjadi perhimpunan yang mengutamakan keindonesiaan. Mereka, dengan kesadaran yang tinggi, menanggalkan baju kedaerahan dan menggantinya dengan baju kebangsaan. Mereka meletakkan perbedaan-perbedaan, terutama etnis maupun agama, di bawah kepentingan yang jauh lebih besar, yakni kebangkitan dan kemerdekaan Indonesia. Gebrakan yang dilakukan oleh para pemuda itulah yang 17 tahun kemudian melahirkan kemerdekaan Indonesia.

Setelah kemerdekaan itu tercapai, bukan berarti pekerjaan telah selesai. Salah satu di antaranya adalah menjaga keutuhan Indonesia, sebab masih banyak elemen dalam masyarakat yang masih apatis, bingung bersikap, bahkan memberontak terhadap pemerintah pusat yang sah. Di sini, lagi-lagi semangat persatuan dan kesatuan demi menjaga integrasi bangsa dan Negara Indonesia sangat diperlukan.

Dalam hal ini, menarik sekali pemikiran Kroeng Raba Nasution (ayah penulis) atau lebih dikenal sebagai S M Amin -- anggota Komite Besar Indonesia Muda, yang bersama Muhammad Yamin yang bertugas mencetuskan Sumpah Pemuda 1928. Dalam sebuah pidato politiknya di tahun 1948, tokoh yang menjadi gubernur pertama di Sumatera Utara, Aceh dan Riau itu menegaskan. "Marilah kita lenyapkan dari hati kita segala perasaan tidak senang yang semata-mata diakibatkan oleh peertimbangan-pertimbangan yang berdasar atas kepentingan diri sendiri. Marilah kita atasi setiap perasaan yang berakar dalam pertimbangan-pertimbangan yang mengenai kebangsaan yang sempit ataupun yang mengenai perbedaan agama. Negara kita berdasar antara lain atas kebangsaan yang satu, bangsa Indonesia; tidak ada tempat untuk bangsa Aceh, bangsa Batak ataupun bangsa Melayu; bagi Negara hanyalah satu bangsa; bangsa Indonesia yang terdiri dari beberapa golongan, yaitu yang berasal dari daerah Tapanuli, daerah Aceh, daerah Sumatera Timur dan seterusnya. Perbedaan agama bagi kita bukanlah menjadi soal. Kita bebas menganut agama yang kita percayai menurut keyakinan kita; perbedaan agama tidaklah sekali-kali memecah persatuan kebangsaan kita."

Semangat inilah yang perlu terus dijunjung tinggi oleh segenap bangsa Indonesia. Ide besar Sumpah Pemuda 1928 adalah penghormatan terhadap bhinneka tunggal ika: walaupun kita berbeda-beda, namun kita tetaplah satu juga, yakni Indonesia Raya. Kita harus berupaya menjembatani setiap perbedaan yang ada, kita harus selalu berupaya menjaga keutuhan Indonesia; kita harus melawan setiap upaya pihak manapun untuk memecah belah (disintegrasi) bangsa Indonesia. Baik dengan latar belakang etnis, ras maupun agama.

Pendekatan kedua adalah reinterpretasi Sumpah Pemuda. Seperti kita sama-sama maklumi, Sumpah Pemuda 1928 melahirkan ikrar para pemuda, yakni: berbangsa satu, bangsa Indonesia; bertanah air satu, tanah air Indonesia; dan berbahasa satu, bahasa Indonesia. Ketiga ikrar itu merupakan satu kesatuan.

Nah, di zaman globalisasi seperti ini, bukankah sah-sah saja kalau kita melihat ketiga komponen tadi bukan sebagai satu kesatuan yang wajib diikuti ketiga-tiganya, melainkan bisa saja salah satu sudah cukup? Misalnya, berbangsa satu, bangsa Indonesia. Setiap keturunan Indonesia, kalau ingin punya kewarganegaraan Indonesia, maka harus diakomodasi, walaupun dia sudah generasi keempat yang selama ini lahir dan tinggal di luar negeri. Misalnya, orang-orang keturunan Indonesia yang tinggal di Afrika Selatan. Atau orang Suriname asal Jawa, selama ini mereka berbahasa Jawa, tapi tidak bisa berbahasa Indonesia, dan mereka ingin menjadi warga Negara Indonesia, harusnya mereka kita terima. Demikian pula keturunan Maluku di Belanda, kalau mereka ingin menjadi warga negara Indonesia, kita terima dengan tangan terbuka.

Begitu pula halnya dengan bertanah air satu, tanah air Indonesia. Siapa pun yang lahir di Indonesia -- apa pun keturunannya, campuran Indonesia dengan asing, atau bahkan ayah dan ibunya dua-duanya asing - dia bisa menjadi warga Negara Indonesia.

Berikutnya adalah siapa pun yang bisa berbahasa Indonesia, dan ingin menjadi warga Negara Indonesia, sebaiknya kita terima. Contohnya adalah pengamat dari luar negeri yang ahli Indonesia seperti William Liddle.

Di samping tiga komponen tadi, ada satu jalur lagi yang menurut hemat saya tidak kalah pentingnya, yakni kontribusi. Contohnya, siapa yang meragukan kontribusi Multatuli dan Laksamana Maeda terhadap perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia? Jangan pula dilupakan puluhan, ratusan bahkan mungkin ribuan warga negara asing, seperti Amerika Serikat, Australia, India, Mesir dan lain-lain yang terlibat saat berdemonstrasi dan usaha-usaha mendukung kemerdekaan Indonesia. Dan di masa kini, ada sejumlah orang asing yang selama berpuluh tahun tinggal di Indonesia, seperti Bali dan Jawa Tengah; mereka mencintai Indonesia, dan berupaya mengangkat citra Indonesia di mata dunia, antara lain di bidang pariwisata, seni dan budaya, serta kerajinan.

Tidak ada Suriname, tidak ada Melayu, tidak ada bule (Barat), selama mereka mencintai Indonesia, maka mereka adalah orang Indonesia. Mereka berhak menyandang kewarganegaraan Indonesia.

Dengan pendekatan di atas, menurut saya Presiden AS, Barack Hussein Obama layak menyandang kewarganegaraan Indonesia. Semasa kecil dia pernah tinggal di Indonesia dan sekolah di Indonesia, yakni di SD Besuki, Menteng, Jakarta Pusat. Dia juga bisa berbahasa Indonesia. Dia mempunyai ayah tiri orang Indonesia dan mempunyai saudara tiri orang Indonesia. Sebagai kakak kelas dua tahun di atasnya, saya mempunyai kenangan yakni saat saya dan beberapa teman mengurung Obama di gudang milik Pak Husen, penjaga sekolah. Kalau kami tahu dia kelak menjadi seorang Presiden Amerika Serikat, kami mungkin tidak akan melakukannya!

Di samping faktor-faktor di atas yang tak terbantahkan, Obama mempunyai kontribusi penting bagi bangsa Indonesia. Sejak dilantik sebagai Presiden AS, dia tidak segan-segan mengungkapkan bahwa dia mempunyai kenangan manis waktu tinggal di Indonesia dan merindukan suasana maupun makanan khas Indonesia, seperti bakso dan lain-lain. Hal itu dia ungkapkan dalam berbagai kesempatan, termasuk saat melakukan kunjungan kenegaraan ke Inggris. Ekspresi kecintaan Obama kepada Indonesia tidak bisa dipisahkan dari kecintaannya terhadap perasaan intrinsik (kekaguman dan penghormatan) terhadap Islam, karena bapak dan kakeknya adalah seorang Muslim.

Hal ini, dalam pandangan saya, pastilah mempunyai dampak yang besar. Misalnya, mungkinkah berkurangnya gangguan terhadap Ambalat oleh angkatan laut Negara asing. dikarenakan mereka melihat bahwa presiden Negara adidaya Amerika Serikat adalah orang yang secara pribadi sangat dekat dengan Indonesia?

Bila konsep empat jalur ini bisa kita terima, dan Obama menjadi warga Negara Indonesia, maka keberhasilan Obama meraih Nobel Perdamaian juga menjadi kebanggaan bangsa Indonesia. Obama, dengan demikian, adalah jembatan antarbangsa, antarras, antarkeyakinan, bahkan antargenerasi.

Dengan semangat reaktualisasi dan reinterpretasi Sumpah Pemuda 1928 seperti diuraikan di atas, bangsa Indonesia benar-benar akan menjadi INDONESIA RAYA dengan koneksi global yang disegani.

Sumber: Jurnal Nasional, Rabu, 28 Oktober 2009