Wednesday, September 30, 2009

[Sosok] Asvi Menggapai Kebenaran Sejarah

-- ST Sularto

HARI-HARI akhir bulan September menjadi istimewa bagi Asvi Warman Adam (55). Obsesinya menguak kebenaran sejarah, di antaranya tentang Peristiwa 1965, lagi-lagi memperoleh momentum. Dia ajak pemerintah, sesama sejarawan, dan masyarakat berpikir ulang tentang narasi-narasi masa lampau, utamanya tragedi 1965.

Asvi Warman Adam (KOMPAS/LUCKY PRANSISKA)

Mengenai kemungkinan pelanggaran berat HAM, sekitar Peristiwa 1965, menurut ahli peneliti utama LIPI itu, peristiwa Pulau Buru sebagai peristiwa paling jelas. Tempatnya jelas, tahun terjadinya jelas, pelakunya jelas, serta korban dan jumlahnya jelas. Dengan tujuan mengamankan Pemilu 1971, lebih dari 10.000 orang yang digolongkan tahanan politik 1965 golongan B dimasukkan ke kamp kerja paksa lebih dari 10 tahun. Stigma buruk diterapkan kepada mereka, selain pembunuhan, penangkapan tanpa proses dan pengadilan.

Kasus Pulau Buru merupakan mata rantai peristiwa sekitar 30 September 1965. Selama bertahun-tahun narasi tentang peristiwa itu hanya satu versi, yakni versi Orde Baru, bagian dari upaya justifikasi kekuasaan dan pengumpulan kekuatan. Justifikasi itu diawali dengan pembunuhan besar-besaran setelah 1 Oktober, ada yang memperkirakan jumlahnya lebih dari setengah juta orang. Penciptaan narasi tunggal disusul proyek Pulau Buru. Gugatan yang muncul dibungkam.

Seiring deru reformasi tahun 1998, masyarakat mulai kritis dengan narasi dan pencitraan versi tunggal. Film Pengkhianatan G30S/PKI yang diputar luas setiap akhir bulan September digugat. Menurut dia, tidak lagi diputarnya film itu secara luas merupakan satu keberhasilan. ”Inilah pertama kali terbuka munculnya upaya meluruskan sejarah Peristiwa 1965. Disusul kemudian berbagai versi yang ditulis para korban dan analis-analis yang sebelumnya tidak terkuak ke permukaan,” kata Asvi Warman Adam.

Asvi mengutip sejarawan Inggris, EH Caar, bahwa kebenaran sejarah gugur manakala ditemukan data baru. Munculnya narasi-narasi baru itu adalah bagian dari ajakan menemukan dan meluruskan. Keputusan politik, katakan ketetapan MPR, adalah produk politik bagian dari justifikasi kekuasaan. Oleh karena itu, ketika data baru semakin banyak ditemukan, versi tunggal perlu ditinjau ulang, kalau perlu, ditindaklanjuti dengan rehabilitasi nama baik dan permintaan maaf dari pemerintah.

Sampel yang representatif

Demi pelurusan sejarah dan hapusnya pembohongan, Asvi tidak hanya memimpikan sekitar Peristiwa 1965 atau peristiwa lain, seperti Peristiwa Mei 1998, tetapi bahkan sejak awal Indonesia merdeka. Tidak perlu semuanya, tetapi dipilih peristiwa dan masalah sebagai sampel yang representatif. Misalnya, kurun 1945-1955, 1955-1965, dan seterusnya, sehingga diperoleh sekitar 10 kasus.

Asvi setuju bahwa demi alasan politis ada bagian-bagian peristiwa yang ditutupi, tergantung dari perspektif masing-masing. Namun, kalau narasi itu adalah kebohongan, itu perlu dibongkar. Taruhlah kisah tentang Serangan Oemoem 1 Maret dengan cara menghilangkan peran tokoh lain. Itu kebohongan sejarah.

Awal ketertarikannya ke sejarah Peristiwa 1965 dimulai pada satu peristiwa pada tahun 1999. Dia diminta ceramah oleh Yayasan Hidup Baru, sebuah yayasan yang mengurusi bekas tahanan politik 1965. ”Saya terharu atas semangat juang mereka. Saya terharu ketika mereka, bapak-ibu berusia sepuh itu, mengumpulkan uang recehan. Hasilnya sekitar Rp 25.000, diserahkan sebagai honorarium ceramah saya,” kenang Asvi.

Dengan ketekunan, dia ikuti dan teliti segala narasi Peristiwa 1965 yang berkembang selama ini. Dia sampaikan obsesi itu dalam berbagai tulisan dan karangan pengantar buku, yang semuanya berfokus ajakan menguak kebohongan sejarah, utamanya sekitar Peristiwa 1965.

Dari tujuh buku yang sudah ditulisnya, menulis Peristiwa 1965 tidak hanya berkenaan dengan peristiwa satu malam tanggal 30 September, tetapi juga penangkapan, penahanan, perburuan massal yang memakan korban lebih dari setengah juta orang, pencabutan paspor mahasiswa Indonesia di luar negeri, serta pembuangan paksa 10.000 tapol ke Pulau Buru tahun 1969-1979. Hal itu termasuk stigma dan diskriminasi jutaan orang keluarga korban Peristiwa 1965. Peristiwa-peristiwa itu disebutnya ”pancalogi”, sebagai rangkaian prolog, peristiwa, dan epilog G30S (Asvi Warman Adam, 1965. Orang-orang di Balik Tragedi, Galangpress, 2009).

Bagi Asvi, Peristiwa 1965 merupakan tanda atau pembatas zaman. Dari banyak peristiwa sejarah yang dialami bangsa Indonesia, Peristiwa 1965 merupakan pembatas zaman dalam berbagai bidang. Perubahan politik yang besar terjadi dalam bergesernya kedudukan Indonesia dari pemimpin negara nonblok dan dunia ketiga menjadi ”murid yang baik” AS. Kebijakan ekonomi berdikari menjadi kebijakan ekonomi pasar yang bergantung pada modal asing. Tidak ada kritik, tidak ada polemik, semua dalam satu versi, yakni versi pemerintah.

Peralihan dari profesi wartawan (3 tahun sebagai wartawan) ke peneliti/sejarawan tidak kecil peranan yang diberikan Prof Dr AB Lapian. Dalam status belum setahun bekerja di LIPI, setelah keluar dari majalah Sportif tahun 1983, Asvi memperoleh tawaran mengajar Bahasa Indonesia di Paris, Perancis, sekaligus beasiswa. Dia perlu memperoleh rekomendasi pimpinan LIPI. Lapian bertanya, ”Rekomendasi saya tulis dalam bahasa Inggris, Perancis, atau Indonesia?” Akhirnya rekomendasi ditulis dalam bahasa Indonesia, menerakan bahwa Asvi boleh ke Paris mengajar sekaligus belajar. ”Nah, itulah titik balik profesi saya,” Gelar doktor ilmu sejarah pun diperolehnya dengan disertasi tentang sejarah Vietnam.

Di benak Asvi, dia memimpikan narasi sejarah dibebaskan dari kebohongan-kebohongan. Biarlah peristiwa itu sendiri bicara tentang sejarahnya! Menggapai kebenaran sejarah? Yaaah..., Asvi tertawa lepas!


BIODATA

• Nama: Asvi Warman Adam
• Lahir: Bukittinggi, 8 Oktober 1954
• Istri: Nuzli Hayati (52)
• Anak: Tessi Fathia Adam (23)
• Pekerjaan: Ahli Peneliti Utama Pusat Penelitian Politik LIPI
• Pendidikan: Doktor sejarah dari Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sosiales, Paris (1990)
• Karier: Aktif berceramah, menulis artikel tentang rekayasa Orde Baru dan historiografi Indonesia dari perspektif korban, dan menulis setidaknya tujuh buku tentang sejarah kontemporer, terakhir (”Sarwono Prawirohardjo. Pembangun Institusi Ilmu Pengetahuan di Indonesia”, LIPI, 2009)
- Mantan anggota tim Pengkaji Pelanggaran HAM Berat Soeharto yang dibentuk Komnas HAM tahun 2003

Sumber: Kompas, Rabu, 30 September 2009

Belajar dari Gandhi

-- Indra Gunawan M

TANGGAL 2 Oktober ini merupakan peringatan ulang tahun ke-140 kelahiran Mahatma Gandhi. Kebanyakan orang mengakuinya sebagai salah seorang tokoh terbesar sejarah.

Bahkan, Einstein pernah memujinya, ”Mungkin generasi berikutnya akan sulit percaya kalau ada orang seperti itu pernah hidup di dunia ini.” Pertanyaannya adalah adakah ajarannya masih relevan untuk masa kini?

Selama ini, kita mengenal Gandhi sebagai tokoh penggerak ahimsa dan satyagraha.

Kedua istilah itu kerap dibaurkan meski sebenarnya ada nuansa perbedaan. Ahimsa lebih merupakan perilaku untuk tak menjalankan atau menghindari tindak kekerasan, terutama terhadap makhluk hidup. Dan, Gandhi menerapkannya, khususnya dalam perjuangan politik

Sementara satyagraha lebih merupakan falsafah dan praktik untuk menjalankan prinsip-prinsip kebenaran. Bukan kebenaran tafsir manusia, melainkan lebih merupakan berserah terhadap kehendak Ilahi. Dalam satyagraha, tujuan dan cara itu adalah satu, keduanya tak boleh berlawanan. Tujuan mulia untuk memuliakan Allah tak boleh menghalalkan segala cara. Dan, salah satu prinsip satyagraha adalah ahimsa.

Pertanyaan lanjut, apakah ahimsa ataupun satyagraha tidak terlampau idealistis? Sebenarnya, jika menukik ke ajaran Gandhi, tidaklah demikian. Dalam keadaan nyawa terancam, kita berhak melakukan pembelaan diri, termasuk dengan menggunakan kekerasan.

Jika pilihannya terbatas antara kepengecutan dan kekerasan, Gandhi lebih memilih yang kedua untuk mempertahankan martabat bangsa. Namun, dalam banyak hal tersedia sejumlah pilihan dan tidak hanya terbatas pada dua hal itu.

Alhasil, Gandhi teguh berpendirian, pantang kekerasan itu jauh lebih unggul dibandingkan kekerasan; untuk sejumlah hal pengampunan lebih ksatria daripada penghukuman, sementara kekuatan sejati lahir terutama dari kemauan keras dan bukan dari kapasitas fisik.

Menempa diri

Jika dikaji riwayat hidupnya, sebenarnya Gandhi pada awal mula bukan orang istimewa. Ia canggung, pemalu, dan tidak menonjol dalam pelajaran di sekolah. Sepertinya tak ada bakat khusus yang melekat pada dirinya. Mula pertama menjadi pengacara di India, ia juga tak begitu berhasil.

Setelah menetap di Afrika Selatan, memperjuangkan hak-hak warga India di sana, ia berhasil menempa diri menjadi pribadi tangguh—sekuat granit—yang berkomitmen penuh pada nilai-nilai kebenaran dan pantang kekerasan. Dengan tekun belajar, rajin introspeksi disertai disiplin tinggi, ia mampu mengangkat diri sebagai pemimpin bermartabat yang berusaha menyatukan pikiran dengan perbuatan.

Agaknya, Gandhi adalah manusia paradoksal. Di satu pihak ia lemah lembut secara fisik dan pantang kekerasan, tetapi di pihak lain ia pribadi pantang menyerah, berani masuk keluar penjara. Ia suka merenung, menuangkan pikirannya dalam tulisan, yang jika dikumpulkan dapat mencapai 80 jilid, tetapi serentak dengan itu dia adalah manusia tindakan. Ia idealis, tetapi pada saat bersamaan memperhitungkan realitas medan untuk mencapai tujuan

Tujuh dosa sosial

Gandhi banyak melahirkan idiom-idiom yang membuat orang tercenung, seperti ”Anda mesti menjadi perubahan yang Anda ingin saksikan”. Atau, ”Ukuran kebesaran suatu negara harus didasarkan pada betapa pedulinya dia pada penduduknya yang paling rentan/lemah”.

Gandhi tak hanya bicara yang bagus-bagus, tetapi berdiri di garda depan membela kaum paria, kelompok paling rendah, untuk memperoleh status persamaan hak.

Namun, ungkapannya yang paling menggigit adalah: ”Kekayaan tanpa kerja”, ”Kenikmatan tanpa nurani”, ”Ilmu tanpa kemanusiaan”, ”Pengetahuan tanpa karakter”, ”Politik tanpa prinsip”, ”Bisnis tanpa moralitas”, dan ”Ibadah tanpa pengorbanan”. Ia menyebutnya sebagai tujuh dosa sosial yang mematikan.

Kalau kita melihat ke sekeliling, mencermati berbagai kejadian yang ditampilkan media atau menelisik ucapan atau gerak-gerik tokoh-tokoh (birokrasi, politik, bisnis, akademi), bandingkan perilaku mereka dengan ungkapan Gandhi. Sebagian tidak sama, tetapi sebagian lagi sepertinya punya kemiripan.

Dunia sepertinya sudah terbelah. Sebagian cukup besar masih mempunyai nurani, kemanusiaan, karakter, prinsip, moralitas, mau berkorban dan berkarya. Sebagian lainnya karena berbagai faktor, seperti kemudahan kesempatan, rayuan kedudukan, pengaruh uang, bujukan sekeliling, atau tuntutan dari atasan, menjadi bergeser posisinya.

Mula-mula bergerak ke wilayah abu-abu untuk kemudian beringsut mendekati zona bebas nilai. Yang penting adalah menjadi pemenang, satu-satunya parameter yang dikedepankan untuk menentramkan hati.

Gandhi sendiri seperti ditulis Richard Granier, Commentary, 1983, bukanlah orang suci, sempurna, tanpa punya kelemahan pribadi. Ia misalnya mempunyai hubungan kurang harmonis dengan istri dan anak-anaknya

Gandhi juga lebih sering dan lebih banyak dikelilingi sejumlah besar pengikut dan kurang mempunyai rekan sederajat. Namun, terlepas dari berbagai kekurangan, ia orang yang terus berusaha, dan ini yang membuat kita kagum kepadanya.

Agaknya, pada zaman kelabu ini, relevansi ajaran Gandhi menjadi bertambah kuat. Di tengah kebimbangan, dia dapat menjadi bintang petunjuk yang memberi arah yang tepat.

* Indra Gunawan M, Pemerhati Budaya Kepemimpinan

Sumber: Kompas, Rabu, 30 September 2009

Revolusi Sosial yang Gagal

-- Iwan Gardono Sujatmiko*

SETIAP tanggal 30 September kita diingatkan peristiwa yang mengubah sejarah Indonesia.

Peristiwa itu akan lebih jelas jika ada data baru dan penerapan konsep ”Perubahan Sosial” dan perspektif ”Realisme Kritis”.

Revolusi

Buku John Rossa (The Pretext of Mass Murder, 2006) memfokuskan peristiwa penculikan para jenderal yang menjadi dalih pembantaian massal PKI. Analisis lebih mendalam dari buku Rossa menunjukkan dua hal.

Pertama, pembahasan tentang Biro Khusus PKI yang didasarkan wawancara dengan mantan anggota PKI menunjukkan data baru. Para narasumber menceritakan, organisasi itu telah ada sejak 1950-an dengan nama Bagian Militer dipimpin Karto sebelum diganti Syam tahun 1964.

Kedua, peran Aidit yang besar dan terinspirasi kasus kudeta di Aljazair. Aidit menganggap kudeta progresif dari atas yang dilakukan pihak nonkomunis dapat diubah menjadi revolusi sosial dari bawah. Pada malam 30 September di Halim, Aidit dibantu Iskandar Subekti (Panitera Politbiro PKI) menyusun ”Dewan Revolusi” yang namanya terinspirasi kasus Aljazair.

Dari pembahasan itu ada dua kasus penting: peran Biro Khusus (Syam) yang sukses mengamankan ”Dewan Jenderal” (”Revolusi dari Dalam”), tetapi terhenti saat Soekarno memerintahkan Suparjo agar menghentikan pertumpahan darah. Selain itu, peran Aidit yang mendeklarasikan ”Dewan Revolusi” (”Revolusi dari Atas”) tanpa mencantumkan nama Presiden Soekarno. Aidit melakukan terobosan dengan menyingkirkan Soekarno dan mendemisionerkan kabinet. ”Revolusi dari Atas” ini gagal, Soekarno menolak mendukungnya.

Direncanakan

Konsep yang berguna untuk menjelaskan gambar besar G30S adalah ”Perubahan Sosial” (Sztompka, 1992). Ia melihat revolusi sebagai puncak perubahan sosial, terkait gerakan sosial mendasar dan dapat dilakukan dari bawah atau atas, dan secara terbuka, atau rahasia.

Peristiwa 30 September dapat dikategorikan bagian ”perubahan sosial yang direncanakan dan berbasis ideologi” dengan strategi revolusi, tetapi gagal. Gerakan revolusioner PKI (”senam revolusi”, ”ofensif revolusioner”) dilakukan sejak awal 1960-an dari bawah, seperti ”Aksi Sepihak” (perebutan tanah) dan tuntutan persenjatai buruh-petani (Angkatan V).

Selain itu, secara terbuka dan dari atas, PKI ”membonceng” Soekarno (”Revolusi dari Atas”) dan adanya dukungan RRC (”Revolusi dari Luar”). Juga ada gerakan rahasia (”Revolusi dari Dalam”) dilakukan melalui Biro Khusus terhadap militer dan dilakukannya G30S.

Strategi revolusi oleh PKI yang merupakan aksi revolusioner-total ini menghasilkan polarisasi dan reaksi keras karena hanya ada dua pilihan, PKI atau non-PKI. Sejak tahun 1964 strategi ini menghasilkan konflik dan korban di beberapa daerah. Gagalnya G30S menyebabkan gagalnya strategi ”Revolusi dari Bawah” dan penghancuran oleh non-PKI. Namun, jika PKI hanya melakukan gerakan nonrevolusioner atau parlementer seperti persaingan politik menjelang Pemilu 1955, reaksi yang dihadapi relatif lebih lemah dan tidak menghancurkan PKI.

Anhar Gonggong (2007) menyatakan, sejak 1925, langkah revolusioner PKI selalu gagal mencapai tujuan. Aksi revolusioner dan kekerasan PKI ini tidak unik dan merupakan pola umum partai komunis di dunia (Black dan Thornton: Communism and Revolution: The Strategic Uses of Political Violence, 1964). Revolusi komunis yang gagal, antara lain, terjadi di Hongaria (1919), Polandia (1920), dan Finlandia (1939).

Realitas berlapis

Pemahaman peristiwa 30 September akan lebih jelas jika digunakan perspektif Realisme Kritis (Roy Bhaskar, 1978) yang melihat, realitas sosial berlapis-lapis berupa empiris, aktual, dan nyata. Tanpa perspektif ini, berbagai gejala akan campur aduk.

Berbagai laporan jurnalistik dan analisis parsial hanya menggambarkan G30S pada bagian ini. Namun, berbagai gejala yang terlihat sebenarnya hanya sebagian dari gejala yang lebih luas pada lapisan kedua. Jadi, G30S merupakan bagian dari peristiwa yang lebih besar, yakni upaya ”perubahan sosial yang direncanakan dan berbasis ideologi” oleh PKI dalam bentuk revolusi. Gejala ini terjadi sebelum G30S, misalnya senam revolusi PKI, dan setelahnya, yakni reaksi non-PKI dan penghancuran PKI.

Pada lapisan ketiga dan terbawah ada mekanisme yang menghasilkan peristiwa pada lapisan kedua dan pertama. Dalam lapisan ketiga ini ada ideologi (”DNA”) komunisme yang mensyaratkan strategi revolusi bagi partai-partai komunis. Demikian juga ada organisasi PKI yang berpotensi melaksanakan strategi revolusi. Mekanisme strategi revolusi, baik terbuka maupun rahasia, dipicu keputusan dan tindakan pimpinan PKI. Selain itu, juga ada mekanisme dari pihak non-PKI untuk melawan strategi revolusi ini sehingga menghasilkan berbagai konflik.

Beberapa analisis menjelaskan gejala ini sebagai akibat ”gagalnya politik dalam era transisi” (Kahane, 1973); ”ketidakmampuan Jakarta untuk sinkronisasi dengan pedesaan” (Sloan, 1971); ”pemisahan jangka panjang dalam agama, budaya, dan politik di pedesaan” (Lyon, 1970); ”kebutuhan negara dalam mencari identitas nasional” (Langenberg, 1990); dan ”transformasi masyarakat Indonesia dengan menghancurkan satu dari tiga aliran sosial dan ideologis” (Cribb, 2001). Tanpa memfokuskan pada ideologi dan strategi revolusi PKI, berbagai analisis itu belum dapat menjelaskan struktur dan mekanisme mendasar yang memunculkan berbagai peristiwa konfliktual antara PKI dan non-PKI menjelang, saat, dan sesudah 30 September.

Strategi revolusi PKI mengalami kegagalan, mayoritas anggota PKI dan keluarganya telah menjadi korban. Untuk mereka perlu dilaksanakan rekonsiliasi sosial dan reintegrasi sepenuhnya sebagai warga masyarakat, negara, dan bangsa.

* Iwan Gardono Sujatmiko, Sosiolog; Dosen FISIP-UI

Sumber: Kompas, Rabu, 30 September 2009

Sejarah Partisipatoris

-- Armada Riyanto

MANUSIA adalah ciptaan Tuhan yang ”menyejarah”. Artinya, manusia adalah pencipta sejarahnya.

Namun, sudah cukup lama sejarah seolah menjadi sebuah ”laporan politis” sebuah rezim. Narasi historis disistematisasi, dimanipulasi, dan diterminologisasi untuk sebuah kekuasaan. Sejarah lalu berubah menjadi indoktrinasi.

Begitulah. Ihwal peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) telah lama diktum historisnya digandengkan dengan kudeta PKI dan aneka bentuk kutukan hidup manusia hingga saat ini.

Jatuh bangun bangsa

”Laporan politis” mengabdi kekuasaan. Sebuah kesadaran sejarah akan peristiwa ”jatuh bangun bangsa” mengabdi kemanusiaan. Jika yang pertama mengedepankan indoktrinasi, yang kedua melakukan studi dan mengajukan pertanyaan.

Siapakah korban G30S? Kita tahu, korban bukan hanya para jenderal, tetapi juga ribuan bahkan konon sampai jutaan nyawa manusia. Para jenderal telah menjadi Pahlawan Revolusi, sementara korban lain hingga kini tak dikenal. Bagi keluarga korban, mulut pun masih membisu jika menyebut namanya.

Para ahli sejarah umumnya sepakat, peristiwa G30S merupakan sebuah ”tragedi kemanusiaan terbesar” bangsa kita. Ranah tragedinya bukan hanya pada fakta pembasmian massa secara ngawur maupun sistematis terhadap mereka yang dikategorikan PKI dan ”antek-anteknya”, tetapi juga terhadap para peselamat dan keluarganya.

Jika melihat sejarah G30S dari perspektif korban, kita akan memiliki narasi kisah-kisah luar biasa. Keteguhan, cinta, kekokohan, episode dramatis penindasan dan ketahanan diri yang mengharukan campur baur menjadi satu. Simak bagaimana Pulau Buru yang selama puluhan tahun menjadi wilayah terkutuk telah berubah menjadi sebuah pulau ”gudang beras”.

Simak juga bagaimana Gerwani (salah satu sayap PKI) diberitakan dalam harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha sebagai wanita-wanita bejat moral karena menyiksa secara keji para Pahlawan Revolusi. Namun, menurut keterangan dokter tentang apa yang dilihat dan yang diketemukan, para jenderal wafat karena luka tembak dan tusukan bayonet (tidak dijumpai penyiksaan keji seperti dituduhkan kepada Gerwani). Tidak seorang pun berani menulis tentang kebenaran ini hingga Ben Anderson memublikasikan artikel ”How did the Generals die?”; dan itu pun baru terjadi tahun 1987 (Intisari, September 2009, 126).

Ini berarti laporan sejarah bagaimana para pahlawan kita dibunuh (seperti jelas disaksikan dalam film yang diputar berulang-ulang selama puluhan tahun) terkesan mengada-ada. Kepahlawanan mereka tak terkurangi sedikit pun oleh cara bagaimana mereka disiksa. Namun, aneka tuduhan yang memicu kemarahan massa terhadap Gerwani dan lainnya kini memiliki kebenaran yang problematis.

Saskia E Wieringa melakukan penelitian secara ekstensif atas Gerwani. Temuannya mengejutkan: Gerwani ternyata sebuah gerakan perempuan yang mendeklarasikan kemandirian dan komitmen tinggi pada prinsip-prinsip moral serta merupakan organisasi pertama di Indonesia yang menolak tegas poligami.

Majalah Intisari menyebut kesalahpahaman tragis pelaporan penganiayaan para Pahlawan Revolusi sebagai ”kesalahan media” (hal 122-129). Namun, Pierre Bourdieu mengatakan, media massa bukan sekadar ”alat komunikasi”, tetapi ”alat kekuasaan”. Maksudnya bahasa komunikasi massa bukan sekadar menyampaikan informasi, tetapi juga mempropagandakan ideologi. Dan, aneka fenomena selanjutnya tidak sulit dibayangkan, Gerwani dan siapa pun yang pernah terlibat komunisme harus dilenyapkan.

Partisipatoris

Partisipatoris berarti membebaskan. Sejarah dalam ranah pengalaman eksistensial manusia bukan peristiwa masa lampau yang sudah selesai. Sejarah adalah kisah hidup yang mengukir rasionalitas dan pasionitas. Sejarah adalah kisah yang berbicara saat ini dan masa depan.

Konstruksi sejarah yang ”membebaskan” adalah yang memberi ruang seluas-luasnya kepada narasi-narasi partisipatoris pengalaman hidup para korban, peselamat, dan keluarganya. Selain itu, ruang diberikan juga kepada para pelaku, yang memiliki perspektifnya sendiri dan konon kerap ”terbangun” dari tidurnya oleh mimpi-mimpi buruk yang menghantuinya.

Hingga kini hampir mustahil kita mendengarkan pahit getirnya perjuangan keluarga korban. Nama-nama korban yang terbunuh bukan saja lenyap dari makam (saat itu jenazah dibuang di sungai atau dibakar), tetapi juga kerap hilang dari ingatan kasih doa anak dan cucu mereka. Dan, tak satu pun dari kita, tetangga, berminat menanyakan dan mengingat kebaikannya.

Sementara itu, para peselamat yang sehabis masa tahanan penuh penderitaan dan penghinaan berjuang hidup. Itu pun terasa sulit dan sering menyakitkan sebab tetangga sudah keburu menghukum mereka dan mengasosiasikannya dengan komunis, tak bertuhan, tak bermoral.

Sejarah partisipatoris G30S mengandaikan ketajaman nurani bahwa bangsa ini pernah jatuh di lubang dalam kesalahpahaman antartetangga dan antarkerabat hingga lenyap sia-sia jutaan nyawa saudara-saudari sendiri. Kepiluan tragedi ini jika dilucuti dari ”laporan politis” penguasa kiranya akan mencairkan kebekuan hati untuk bersedia mendengarkan keluh, tangis, cemas, dan harapan para korban, peselamat, dan keluarga mereka. Sebab, mereka pun dilahirkan di tanah ini, pernah berjuang untuk negeri ini, dan berhak hidup damai di bumi ini.

Sejarah yang membebaskan terjadi ketika narasi tangis dan cemas mereka adalah juga tangisan dan kecemasan nurani kita. Mungkinkah sejarah itu partisipatoris? Mengapa tidak?

* Armada Riyanto CM, Guru Besar Filsafat Politik dan Ketua STFT Widya Sasana, Malang

Sumber: Kompas, Rabu, 30 September 2009

Sejarah dan Tirani Modal

-- Baskara T Wardaya*

JIKA kita termasuk orang yang berpikir, sejarah hanya urusan masa lalu, mungkin kita perlu berpikir ulang.

Mengapa? Karena sebagaimana diketahui, tiap dinamika sosial merupakan rangkaian diskontinuitas, juga kontinuitas. Suatu peristiwa sejarah yang terjadi pada masa lalu memang tak akan terulang. Meski demikian, pola-pola dalam peristiwa itu bisa terulang kembali. Itu sebabnya orang sering mengatakan, sejarah berulang. Bukan peristiwa, tetapi pola yang berulang (Sartono: 1993).

Meski suatu peristiwa terjadi pada masa lalu, dampak atau konsekuensinya bisa berlangsung hingga kini, bahkan pada masa depan. Hal ini terutama berlaku untuk peristiwa-peristiwa kemanusiaan luar biasa pada masa lalu meski ada berbagi upaya untuk melupakannya.

Misal, tragedi 1965. Tragedi itu merupakan peristiwa kemanusiaan luar biasa. Banyak upaya dilakukan dengan maksud mendistorsi atau jika perlu menghapusnya dari ingatan. Kalaupun dinarasikan, alur cerita dibuat sederhana: ada tujuh jenderal militer yang pada 1 Oktober 1965 dibunuh secara keji oleh Gerakan 30 September yang dikendalilan Partai Komunis Indonesia. Karena itu, sudah sewajarnya jika setengah juta anggota partai itu dibantai dan dipenjarakan secara massal.

Narasi sederhana seperti itu mudah ditangkap, tetapi sebenarnya menyisakan banyak segi yang menuntut kajian hukum, kemanusiaan, moral, etika politik, sejarah, ekonomi, dan lainnya. Singkat kata, atas peristiwa itu dibutuhkan kajian-kajian multiperspektif.

Masih terulang

Kajian-kajian multiperspektif penting agar pemahaman tentang suatu peristiwa sejarah bisa menyeluruh. Tanpa pemahaman memadai, bisa-bisa kita beranggapan, korban tragedi 1965 hanya mereka yang dibunuh dan dipenjarakan saat itu. Padahal, sebenarnya yang menjadi korban adalah seluruh bangsa. Mengapa? Karena peristiwa 1965 menyangkut masalah yang lebih kompleks daripada narasi itu.

Selain pembunuhan para jenderal dan pembantaian massal sesama warga, tragedi 1965 juga masalah pembelokan arah sosial-politik dan ekonomi Indonesia. Sebelum tragedi itu terjadi, dinamika sosial-politik dan ekonomi Indonesia berciri kerakyatan, sipil, dan antimodal asing. Setelah itu, berubah menjadi elitis, militeristik, dan amat promodal asing. Lahirnya UU Penanaman Modal Asing dan kebijakan ekonomi promodal luar negeri yang dipelopori sekelompok ekonom adalah salah satu contohnya. Sejak tragedi 1965, Indonesia kian terintegrasi ke dalam sistem kapitalisme global, dan tahu-tahu merasa ”nyaman” ada dalam pelukan neoliberalisme yang mematikan.

Sejak tragedi 1965, posisi rakyat Indonesia berubah dari subyek menjadi obyek, yakni obyek dinamika sosial-politik dan ekonomi negeri sendiri. Di bawah Orde Baru rakyat dipandang tak lebih dari ”massa mengambang” yang hanya dibutuhkan menjelang pemilu. Jika sebelumnya rakyat Indonesia dengan kekiritisannya mampu bersikap resisten terhadap kekuatan modal yang ingin mengebawahkan hajat hidup orang banyak, setelah tragedi 1965, yang terjadi justru sebaliknya. Modal menjadi penguasa, status rakyat digeser menjadi ”pasar” yang perlu terus dimanipulasi dan dieksploitasi.

Seiring kian derasnya modal asing masuk Indonesia, banyak pejabat dan pengusaha dalam negeri berganti peran menjadi ”kolaborator” yang taat, yang tak jarang mengorbankan kepentingan masyarakat demi kepentingan diri dan pemilik modal asing. Modal pun kian tampil sebagai tiran yang bengis dan tak kenal ampun. Ia makin jauh merasuk ke berbagai aspek kehidupan, baik aspek ekonomi, politik, relasi sosial, agama, pendidikan, administrasi pemerintahan, maupun aspek-aspek lain.

Korupsi merajalela, kolusi menjadi praktik jamak, dan nepotisme menjadi gejala yang seakan sulit diberantas. Ketidakpuasan atas hasil pemilu belum lama ini, berikut tarik ulur kepemimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan pertanyaan publik soal triliunan rupiah yang digelontorkan untuk sebuah bank swasta hanya beberapa contoh kasus aktual. Sementara itu, tampaknya kita dibuat makin cenderung menjadi bangsa konsumen yang lebih suka mengimpor hasil kerja bangsa lain daripada berpikir keras dan memproduksinya sendiri.

Dengan demikian, menjadi tampak, sebuah peristiwa sejarah tidak hanya berhenti pada masa lalu. Pembunuhan massal seperti yang terjadi pada 1965 mungkin sudah tidak terjadi lagi. Namun, pola-pola kekuasaan politik dan ekonomi yang cenderung mengorbankan kepentingan rakyat masih terulang. Itu sebabnya di satu sisi kita tidak boleh terbelenggu masa lalu, tetapi pada sisi lain kita tidak boleh malas untuk terus belajar dari pengalaman kolektif sebagai bangsa.

Penentu utama

Berdasarkan pengalaman kolektif bangsa itulah kita didorong untuk terus mencari terobosan guna menemukan penyebab aneka persoalan yang kita hadapi masa kini dan mencari berbagai kemungkinan jalan keluarnya bagi masa depan. Diperlukan penelusuran historis tentang bagaimana modal asing yang semula selalu ditanggapi dengan sikap kritis, lalu menjadi mulus dan mendominasi Indonesia.

Juga diperlukan analisis perkembangan selanjutnya, di mana modal asing begitu deras mengalir masuk, sementara utang luar negeri terus meningkat. Perlu dicari pemikiran-pemikiran baru untuk membebaskan rakyat Indonesia dari tirani modal. Upaya pembebasan itu penting agar bukan lagi modal yang menjadi tiran penentu kepentingan rakyat, tetapi rakyatlah yang menjadi penentu utama kehidupan bersama sebagai negara-bangsa.

* Baskara T Wardaya, Direktur Pusat Sejarah dan Etika Politik (Pusdep) Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Sumber: Kompas, Rabu, 30 September 2009

Sejarah dan Tirani Modal

-- Baskara T Wardaya*

JIKA kita termasuk orang yang berpikir, sejarah hanya urusan masa lalu, mungkin kita perlu berpikir ulang.

Mengapa? Karena sebagaimana diketahui, tiap dinamika sosial merupakan rangkaian diskontinuitas, juga kontinuitas. Suatu peristiwa sejarah yang terjadi pada masa lalu memang tak akan terulang. Meski demikian, pola-pola dalam peristiwa itu bisa terulang kembali. Itu sebabnya orang sering mengatakan, sejarah berulang. Bukan peristiwa, tetapi pola yang berulang (Sartono: 1993).

Meski suatu peristiwa terjadi pada masa lalu, dampak atau konsekuensinya bisa berlangsung hingga kini, bahkan pada masa depan. Hal ini terutama berlaku untuk peristiwa-peristiwa kemanusiaan luar biasa pada masa lalu meski ada berbagi upaya untuk melupakannya.

Misal, tragedi 1965. Tragedi itu merupakan peristiwa kemanusiaan luar biasa. Banyak upaya dilakukan dengan maksud mendistorsi atau jika perlu menghapusnya dari ingatan. Kalaupun dinarasikan, alur cerita dibuat sederhana: ada tujuh jenderal militer yang pada 1 Oktober 1965 dibunuh secara keji oleh Gerakan 30 September yang dikendalilan Partai Komunis Indonesia. Karena itu, sudah sewajarnya jika setengah juta anggota partai itu dibantai dan dipenjarakan secara massal.

Narasi sederhana seperti itu mudah ditangkap, tetapi sebenarnya menyisakan banyak segi yang menuntut kajian hukum, kemanusiaan, moral, etika politik, sejarah, ekonomi, dan lainnya. Singkat kata, atas peristiwa itu dibutuhkan kajian-kajian multiperspektif.

Masih terulang

Kajian-kajian multiperspektif penting agar pemahaman tentang suatu peristiwa sejarah bisa menyeluruh. Tanpa pemahaman memadai, bisa-bisa kita beranggapan, korban tragedi 1965 hanya mereka yang dibunuh dan dipenjarakan saat itu. Padahal, sebenarnya yang menjadi korban adalah seluruh bangsa. Mengapa? Karena peristiwa 1965 menyangkut masalah yang lebih kompleks daripada narasi itu.

Selain pembunuhan para jenderal dan pembantaian massal sesama warga, tragedi 1965 juga masalah pembelokan arah sosial-politik dan ekonomi Indonesia. Sebelum tragedi itu terjadi, dinamika sosial-politik dan ekonomi Indonesia berciri kerakyatan, sipil, dan antimodal asing. Setelah itu, berubah menjadi elitis, militeristik, dan amat promodal asing. Lahirnya UU Penanaman Modal Asing dan kebijakan ekonomi promodal luar negeri yang dipelopori sekelompok ekonom adalah salah satu contohnya. Sejak tragedi 1965, Indonesia kian terintegrasi ke dalam sistem kapitalisme global, dan tahu-tahu merasa ”nyaman” ada dalam pelukan neoliberalisme yang mematikan.

Sejak tragedi 1965, posisi rakyat Indonesia berubah dari subyek menjadi obyek, yakni obyek dinamika sosial-politik dan ekonomi negeri sendiri. Di bawah Orde Baru rakyat dipandang tak lebih dari ”massa mengambang” yang hanya dibutuhkan menjelang pemilu. Jika sebelumnya rakyat Indonesia dengan kekiritisannya mampu bersikap resisten terhadap kekuatan modal yang ingin mengebawahkan hajat hidup orang banyak, setelah tragedi 1965, yang terjadi justru sebaliknya. Modal menjadi penguasa, status rakyat digeser menjadi ”pasar” yang perlu terus dimanipulasi dan dieksploitasi.

Seiring kian derasnya modal asing masuk Indonesia, banyak pejabat dan pengusaha dalam negeri berganti peran menjadi ”kolaborator” yang taat, yang tak jarang mengorbankan kepentingan masyarakat demi kepentingan diri dan pemilik modal asing. Modal pun kian tampil sebagai tiran yang bengis dan tak kenal ampun. Ia makin jauh merasuk ke berbagai aspek kehidupan, baik aspek ekonomi, politik, relasi sosial, agama, pendidikan, administrasi pemerintahan, maupun aspek-aspek lain.

Korupsi merajalela, kolusi menjadi praktik jamak, dan nepotisme menjadi gejala yang seakan sulit diberantas. Ketidakpuasan atas hasil pemilu belum lama ini, berikut tarik ulur kepemimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan pertanyaan publik soal triliunan rupiah yang digelontorkan untuk sebuah bank swasta hanya beberapa contoh kasus aktual. Sementara itu, tampaknya kita dibuat makin cenderung menjadi bangsa konsumen yang lebih suka mengimpor hasil kerja bangsa lain daripada berpikir keras dan memproduksinya sendiri.

Dengan demikian, menjadi tampak, sebuah peristiwa sejarah tidak hanya berhenti pada masa lalu. Pembunuhan massal seperti yang terjadi pada 1965 mungkin sudah tidak terjadi lagi. Namun, pola-pola kekuasaan politik dan ekonomi yang cenderung mengorbankan kepentingan rakyat masih terulang. Itu sebabnya di satu sisi kita tidak boleh terbelenggu masa lalu, tetapi pada sisi lain kita tidak boleh malas untuk terus belajar dari pengalaman kolektif sebagai bangsa.

Penentu utama

Berdasarkan pengalaman kolektif bangsa itulah kita didorong untuk terus mencari terobosan guna menemukan penyebab aneka persoalan yang kita hadapi masa kini dan mencari berbagai kemungkinan jalan keluarnya bagi masa depan. Diperlukan penelusuran historis tentang bagaimana modal asing yang semula selalu ditanggapi dengan sikap kritis, lalu menjadi mulus dan mendominasi Indonesia.

Juga diperlukan analisis perkembangan selanjutnya, di mana modal asing begitu deras mengalir masuk, sementara utang luar negeri terus meningkat. Perlu dicari pemikiran-pemikiran baru untuk membebaskan rakyat Indonesia dari tirani modal. Upaya pembebasan itu penting agar bukan lagi modal yang menjadi tiran penentu kepentingan rakyat, tetapi rakyatlah yang menjadi penentu utama kehidupan bersama sebagai negara-bangsa.

* Baskara T Wardaya, Direktur Pusat Sejarah dan Etika Politik (Pusdep) Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Sumber: Kompas, Rabu, 30 September 2009

Gajah Purba Raksasa Teridentifikasi

* Terbesar yang Ditemukan di Indonesia

Bandung, Kompas - Fosil gajah purba yang ditemukan di Desa Medalem, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, April 2009, sudah bisa teridentifikasi. Gajah purba itu diperkirakan panjangnya 5 meter dari kepala hingga ujung tulang ekor, tinggi sekitar 3,75 meter-4,0 meter, dan beratnya sekitar 10 ton.

”Fosil gajah ini berusia sekitar 200.000 tahun dan merupakan yang terbesar serta terlengkap yang pernah ditemukan di Indonesia,” kata Kepala Museum Geologi Yunus Kusumabrata, ketika memamerkan fosil gajah purba Blora untuk pertama kali kepada masyarakat di Museum Geologi di Bandung, Jawa Barat, Selasa (29/9).

Fosil gajah ini ditemukan di bekas tambang galian C, sekitar 2 kilometer dari Bengawan Solo. Fosil ditemukan di lereng tambang dengan kedalaman sekitar 4 meter. Penemuan itu dilakukan atas dasar penelitian Von Koenigswald tahun 1932 dan peta zaman Belanda.

Yunus mengatakan, proses preparasi yang dilakukan sejak pertengahan April lalu terus dilakukan hingga saat ini. Beberapa bagian fosil bahkan sudah diperlihatkan kepada masyarakat. Ia mengatakan, bagian paling sulit adalah mempreparasi bagian kepala. Detail dan bentuk yang harus menyerupai bentuk perkiraan rupa gajah purba itu.

”Dana yang dibutuhkan untuk mempreparasi dan rekonstruksi gajah ini sekitar Rp 2,5 miliar,” katanya.

Ketua Tim Vertebrata, sekaligus paleontolog Museum Geologi, Bandung, Prof Fachroel Aziz mengatakan, dana yang tersedia saat ini tidak cukup untuk biaya pembelian alat rekonstruksi dan tenaga ahli. Ia mencontohkan, pembelian aceton, obat untuk membersihkan fosil dari Jepang, harganya Rp 70.000 per kilogram. Padahal, untuk satu fosil kecil diperlukan setidaknya ratusan kilogram aceton.

Oleh karena itu, ia sangat mengharapkan banyak pihak turut peduli terhadap rekonstruksi fosil gajah purba ini. Apabila dapat direkonstruksi, banyak hal bisa terungkap, termasuk pola evolusi dan migrasi gajah di Indonesia. (CHE)

Sumber: Kompas, Rabu, 30 September 2009

Tuesday, September 29, 2009

"Matinya Toekang Kritik" ke Singapura

Jakarta, Kompas - Aktor Butet Kartaredjasa (48) tengah menyiapkan lakon Matinya Toekang Kritik karya Agus Noor, untuk dipentaskan di Esplanade, Singapura, pada 12 Oktober mendatang.

Namun, karena pihak pengundang hanya bersedia menanggung transportasi dan akomodasi untuk enam orang, sementara yang hendak berangkat 12 orang, yang terdiri atas pemain, kru, tim artistik, multimedia, dan pemusik, Butet masih berjuang mengetuk hati para dermawan.

”Sekarang saya sedang berjuang mengetuk kedermawanan sejumlah pihak, termasuk Garuda Indonesia, supaya nantinya kami bisa bener-bener pentas di sana. Dapat undangan main ke mancanegara kan merupakan diplomasi juga. Biar Indonesia tidak disangka hanya mampu mengekspor PRT,” tutur Butet, Minggu (27/9) malam.

Karena sudah lama tidak dipentaskan—terakhir Agustus 2007 di Brisbane, Australia—semua pemain terpaksa latihan dari nol. ”Menghafal lagi. Banyak dialog yang sudah lupa,” lanjut Butet. Sebelumnya Matinya Toekang Kritik sudah dipentaskan di Jakarta dan sejumlah kota lain di Indonesia.

Menurut dia, tema lakon ini masih aktual sampai hari ini. ”Cocok untuk dimainkan (lagi) di sini, untuk mengingatkan pihak-pihak tertentu yang alergi terhadap kritik. Apalagi sekarang sudah mulai terlihat tanda-tanda hak publik mau dibonsai kayak zaman Orba.”

Kisah

Lakon Matinya Toekang Kritik berkisah tentang Raden Mas Suhikayatno, tukang kritik nomor wahid yang hidup melintasi zaman demi zaman. Bahwa dari zaman ke zaman si Raden itu mencoba bertahan menjadi tukang kritik meski perbuatannya tersebut, ia selalu mendapat cibiran, bahkan namanya dihapus dari ingatan zaman. Sosoknya bagai penggerak sejarah, yang kemudian dilupakan dan kesepian.

”Lakon ini mencoba menggambarkan keberadaan tukang kritik yang ada pada setiap zaman. Tukang kritik itu suara zaman, tetapi sering kali perannya dikucilkan,” ujar Butet.

Ia memungut nama Suhikayatno dari asal kata ”hikayat” dan suku kata akhir ”no”. Kata ”hikayat” bermakna cerita dan suku kata ”no” biasa ”diidentikkan” dengan orang Jawa. (POM)

Sumber: Kompas, Selasa, 29 September 2009

Monday, September 28, 2009

Cabut Iklan Sekolah Gratis

[JAKARTA] Ketua Klub Guru Ahmad Rizali menegaskan, Depdiknas harus segera mencabut iklan sekolah gratis karena tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Kalau mau sekolah digratiskan, tidak perlu digembor-gemborkan melalui iklan.

Rizali kepada SP di Jakarta, Minggu (27/9) menegaskan, kalaupun sekolah gratis direalisasikan, seharusnya dilakukan dengan pengawasan ketat. Dikatakan, daripada mengiklankan sekolah gratis yang tidak jelas maknanya lebih baik pemerintah mengimbau guru atau masyarakat untuk lebih peduli kepada anak-anak yang belum atau tidak mengenyam pendidikan untuk disekolahkan.

"Guru harus proaktif, jika melihat anak-anak di sekitar sekolah mereka yang tidak sekolah karena ketidakmampuan orangtuanya. Sekolah atau guru harus menarik anak-anak itu untuk bersekolah. Bukankah tunjangan guru sudah besar. Itu lebih bijaksana," katanya.

Korupsi Dana BOS

Sementara itu, peneliti bidang pendidikan Indonesia Corruption Watch (ICW), Febri Hendri, secara terpisah di Jakarta, Minggu menyatakan, penyelewengan dana bantuan operasional sekolah (BOS) merupakan ironi sekolah gratis. Sebab, sekitar 60 persen sekolah menyelewengkan dana BOS dan pungutan malah marak di sekolah.

Disebutkan, dana BOS yang ditilap mencapai Rp 13,7 juta per sekolah. Buktinya, berdasarkan audit (Badan Pengawas Keuangan (BPK) diketahui bahwa terdapat 6 dari 10 sekolah menyimpangkan dana BOS. Selain itu, katanya, ICW juga menemukan beberapa dinas kabupaten/kota mengarahkan pengelolaan dana alokasi khusus (DAK) kepada pihak ketiga.

Temuan ICW, terdapat pula dana sekitar Rp 852,7 miliar yang berpotensi diselewengkan dalam pengelolaan anggaran Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Dia mengemukakan, Depdiknas juga dinilai gagal dalam mengelola anggaran pendidikan yang besar, karena laporan keuangan Depdiknas hanya bisa mendapat status opini Wajar Dengan Pengecualian pada tahun 2008 dari BPK.

Dikatakan, tingginya dana yang berpotensi untuk diselewengkan tersebut merupakan ironi di tengah meningkatnya anggaran pendidikan dan anggaran Depdiknas. "Depdiknas saat ini merupakan penyandang alokasi anggaran yang paling besar," katanya.

Dia mengingatkan, Depdiknas periode 2004-2009 mengelola anggaran 115 persen lebih besar dari periode sebelumnya. ICW juga menyatakan penindakan kasus korupsi di sektor pendidikan masih sangat rendah, antara lain karena penegak hukum terkesan tidak terlalu serius dalam mengurus jenis kasus korupsi bidang pendidikan.

"Penindakan kasus korupsi pendidikan masih sangat rendah dibandingkan dengan besaran alokasi pendidikan dan potensi korupsi pendidikan berdasarkan audit BPK," katanya.

Menurutnya, penindakan kasus korupsi pendidikan hanya menjerat pelaku di tingkat dinas pendidikan dan sekolah. Sementara banyak pelaku di tingkat departemen dan DPR masih bebas. Sejauh ini, sebanyak 287 pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka yang sebagian besarnya berasal dari dinas pendidikan sebanyak 42 orang dan jajarannya sebanyak 67 orang.

"Penindakan kasus korupsi pendidikan masih sangat rendah dibandingkan dengan besaran alokasi pendidikan dan potensi korupsi pendidikan berdasarkan audit BPK," katanya.

Koordinator Koalisi Pendidikan Lody Paat mengemukakan, korupsi sangat menghambat kemajuan pendidikan. "Korupsi di sekolah akan meninggalkan jejak kepada anak-anak dan bisa mengganggu perkembangan moral mereka," katanya. [W-12]

Sumber: Suara Pembaruan, Senin, 28 September 2009

Sunday, September 27, 2009

Mudik dan Balik

-- Asarpin*

Tema mudik sejak lama jadi perhatian kaum sastrawan. Menghadirkan geografi dalam puisi memang sulit mengelak dari keranjingan untuk menempatkan desa sebagai latar depan.

SEBUAH foto hitam putih tergeletak di dinding tua. Foto itu pernah ditampilkan di salah satu harian ibu kota. Dengan warna hitam-putih yang menonjol, foto itu menghadirkan dua sosok manusia yang tengah melintas tepat di tengah-tengah rel kereta sambil menenteng sebuah koper. Di kiri dan kanan rel yang tampak berwarna hitam pekat, terlihat kerumunan orang yang berdesakan menunggu kereta tiba.

Foto itu tentu tak dimaksudkan sebagai teror mental, tapi lebih sebagai foto realis yang menyuguhkan tempat atau rumah bagi seorang penyair. Mengapa dengan foto? Ketika puisi ternyata hanya melahirkan kata-kata verbal, ketika prosa hanya menyuguhkan narasi yang aus dan metafora porak-poranda, karya foto bisa menyumbang bagi tafsir kamera dalam permainan.

Bahkan, jika buku-buku analekta puisi tak juga membuat kita bertanya tentang apa dan untuk apa peristiwa yang terekam di dalamnya, apalagi tak memberikan kedalaman makna sehabis membacanya, maka gambar atau foto bisa berlaku sebaliknya: Karya foto--dengan realisme yang menuding-nuding realita sekalipun--bisa memainkan dengan lincah arti sebuah peristiwa, juga kesunyian dan kemenjadian.

Foto karya Yuniadhi Agung itu menampilkan empati dengan sebuah kesunyian; empati bukan muncul dari sebuah kenenesan, apalagi kecengengan, sebagaimana banyak kita temukan dalam puisi bertema kampung halaman. Sang fotografer memotret kebimbangan dua orang yang sedang menyeberang rel, tapi tak bermaksud menghadirkan masa silam sebagai ratapan.

Bahasa gambar, foto, bisa menjadi sebuah pilihan ketika di hari-hari ini kita menyaksikan banyak karya sastra yang kehilangan tenaga. Sebuah gambar bisa melampaui keindahan dan keterfanaan kita dalam menghayati tempat berpijak, atau rumah dan pulang, mudik, dan balik. Foto juga dapat mengajak kita untuk ikut merasakan apa yang orang-orang sedang mudik itu rasakan: merasakan usaha mereka yang penuh harap dan cemas dalam menempuh stasiun demi stasiun dalam mencari tanda-tanda kehidupan, di mana kita merasa menemukannya kembali sebelum kita melupakannya.

Dengan menyinggung tafsir kamera di latar depan tulisan ini, saya telah memasang semacam ancang-ancang untuk tak sekadar berselancar ke dalam tema mudik fisik. Dengan menghadirkan puisi yang saya pilih secara acak, tapi menghadirkan tematik yang sesuai dengan konteks pembicaraan yang saya pilih ini, kita bisa merenungkan kembali hakikat rumah dan tempat bagi setiap orang di hari ini.

Puisi yang cenderung menampilkan imaji pulang dan rumah sebagian besar sangat religius. Intensitas penghayatan pergi dan kembali atau mudik dan balik mengingatkan kita pada tema-tema hijrah dan Idulfitri. Tiap Idulfitri pula kita menyaksikan arus mudik dan arus balik yang sudah jadi tradisi akbar, dan tampak merupakan bagian dari rantau.

Tema mudik sejak lama jadi perhatian kaum seniman dan sastrawan. Penyair Pujangga Baru dan angkatan '45 sudah banyak melukiskan semangat mudik dan balik. Goenawan Mohammad kerap mencemooh penyair atau sastrawan yang merayakan alam lokal, Tanah Air, atau warna setempat, yang telah melahirkan esai-esai yang menggugah, seperti Puisi yang Berpijak di Bumi Sendiri (1960), Kesusastraan Indonesia dan Kebimbangan (1968), dan Masa Lampau Tak Mati-mati (1970).

Kita tahu, Sutan Takdir Alisjahbana pernah menulis puisi tentang semangat meninggalkan Tasik yang tenang. Sedangkan Asrul Sani menghadirkan sajak Surat Dari Ibu yang menampilkan konflik seorang anak yang merindukan kampung halaman setelah jauh ditinggalkan. Asrul mengekspresikan situasi kejiwaan seorang anak yang gersang, yang pergi ke alam bebas selama angin masih buritan, dan mentari pagi menyinari daun-daunan:

Pergi ke laut lepas, anakku sayang/pergi ke alam bebas!/selama hari belum petang/dan warna senja belum kemerah-merahan/menutupi pintu waktu-lampau//Jika bayang-bayang telah pudar/dan elang laut pulang ke sarang/tiang-tiang akan kering sendiri/dan nakhoda sudah tahu pedoman

bolehlah engkau datang padaku//Kembali pulang anakku sayang/kembali ke balik malam/jika kapalmu telah rapat ke tepi/aku akan bercerita tentang cinta dan hidupmu di pagi hari

Dalam buku analekta cerpen Dari Suatu Masa, Dari Suatu Tempat (1972), Asrul Sani begitu kuat mengekspresikan tema rumah dan pulang. Cerpen Perumahan bagi Fajria Novari menyinggung soal kenangan pada tanah dan rumah yang telah ditinggalkan. Namun, seperti kata naratornya kepada Fajria, "Seorang adalah seorang kehilangan yang menyadari kehilangannya". Dengan kata lain, menerimanya dengan lapang dada sebagai bagian dari perjalanan hidup.

Demikian pula pada Sitor Situmorang yang begitu rindu kembali ke Danau Toba, Ajip Rosidi rindu pada bahasa Sunda, dan banyak lagi penyair generasi 1945--1965 yang merindukan tanah kelahiran. Penyair yang lebih muda, yang saat ini sangat produktif menulis puisi tentang pulang dan rumah di media lokal, di antaranya adalah Y. Wibowo--penyair kelahiran Lampung. Dalam buku puisinya Operasi Kebun Lada (2005), Y. Wibowo melakukan traveling ke desa-desa. Lebih dari 80 sajaknya di buku ini menggunakan judul tentang nama-nama desa di Lampung.

Begitulah perjalanan puisi modern Indonesia. Persoalan rumah dan pulang akan terus merundung sebagian penyair. Apa boleh buat, kota bukan dunia yang cocok bagi daya khayal dan fantasi kebanyakan penyair kita yang memang berasal dari desa. Puisi memang tak pernah lahir 100 persen di kota. Keliaran kata dan imaji tak mampu mengungkai kedalaman renungan dan pikiran, dan sering masih takut dianggap sebagai pendurhaka.

Sejarah puisi Indonesia modern tak pernah berhenti bersinggungan dengan masalah rumah sejarah atau rumah eksistensial bagi para penyair. Sebagaimana saya singgung di muka, puisi-puisi terbaru setelah tahun 1990-an tampak secara tematik masih kuat mengekspresikan kedesaan sebagai geografi merayakan kebalauan yang nonsens. Peta perjalanan--kalau memang layak disebut begitu--semacam itu sudah cukup bagi kita untuk mengatakan bahwa penyair kita punya indra penciuman yang tajam tentang masa lampau dan kampung halaman.

Menghadirkan geografi dalam puisi memang sulit mengelak dari keranjingan untuk menempatkan desa sebagai latar depan. Kofi Awnoor, novelis Ghana, pernah berseru: mari kembali ke cenayang desa agar penyair memperoleh inspirasi. Rendra menyerukan tak sekadar inspirasi lagi.

Afrizal secara lebih ekstrem ingin membalik kota ke latar belakang penciptaan seraya mencoba menempatkan kembali desa sebagai latar depan proses kreatif. Afrizal bahkan pernah menegaskan bahwa kebanyakan penyair Indonesia telah meletakkan "desa sebagai latar belakang" bagi kreativitasnya. Oleh sebab itu, apa yang dinamakan puisi Indonesia, kata Afrizal, adalah puisi urban; puisi yang lahir dari pembunuhan terhadap etno di desa lewat bahasa Indonesia.

* Asarpin, Pembaca sastra, tinggal di Bandar Lampung

Sumber: Lampung Post, Minggu, 27 September 2009

[Buku] Indonesia v Malaysia

Judul buku : Ganyang Malaysia!: Hubungan Indonesia-Malaysia sejak Konfrontasi sampai Konflik Ambalat
Penulis : Efantino F. & Arifin S.N.
Penerbit : Bio Pustaka, Jogjakarta
Terbit : Pertama, 2009
Tebal : 210 halaman

HARI-HARI ini, ketegangan an¬tara Indonesia-Malaysia kemba¬li menyeruak. Pasalnya, Malaysia kembali "mengklaim" salah satu seni budaya Indonesia. Tari pendet yang asli produk seni bangsa Indonesia tiba-tiba diakui sebagai milik negeri jiran itu. Pengakuan terbaru tersebut me¬nambah daftar panjang klaim seca¬ra sepihak dari Malaysia atas aset se¬ni dan budaya kita. Sebelumnya, ang¬klung dan batik telah diklaim seba¬gai warisan budaya Malaysia.

Bukan hanya aset seni dan budaya yang dijadikan sasaran empuk untuk dicaplok. Belum lama berselang, klaim Malaysia atas Ambalat telah menjadikan hubungan dua negara tersebut menuju ke medan perang. Di tengah ketegangan yang belum reda mengenai Ambalat, tiba-tiba Malaysia memasukkan Pulau Je¬mur di Kepulauan Riau sebagai salah satu tujuan wisatanya.

Pertanyaan kita, mengapa Malaysia yang penduduk dan wilayahnya jauh lebih kecil daripada Indonesia berani bertindak seperti itu? Me¬ngapa Malaysia dengan sangat berani melakukan berbagai tindakan pelecehan terhadap rakyat dan bangsa Indonesia? Bagaimana dinamika hubungan Indonesia-Malaysia selama ini? Sejak kapan (dan dalam kondisi Indonesia yang seperti apa) berbagai tindakan pelecehan itu dilakukan? Apa yang harus dilakukan pemerintah Indonesia untuk menjawab tantangan Malaysia itu?

Buku yang ditulis dua sarjana pendidikan sejarah Universitas Nege¬ri Yogyakarta tersebut berusaha menjawab berbagai pertanyaan itu.

Ganyang Malaysia

Hubungan Indonesia-Malaysia berlangsung jauh sebelum kolonialis¬me Eropa menginjakkan kaki di Asia Tenggara. Hubungan keduanya diikat dalam bingkai Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Setelah periode kolonialisme, keduanya terpisah; Indonesia dijajah Belanda, sedangkan Malaysia menjadi jajahan Inggris. Meski sudah berlangsung lama, hubungan negara serumpun itu se¬ring mengalami pasang-surut.

Hubungan keduanya pernah kembali bersemi pada masa pendudukan Jepang di Asia Tenggara. Ketika sama-sama menjadi jajahan Jepang, muncul keinginan untuk bersatu. Sebagian rakyat Malaya yang terpengaruh ajaran nasionalisme Indonesia pernah memunculkan keingin¬an untuk bergabung dengan Indonesia. Namun, keinginan tersebut sirna dengan sejumlah pertimbangan (hlm vii). Soekarno khawatir akan menghadapi dua musuh sekaligus jika Malaya bergabung dengan Indonesia: Belanda dan Inggris.

Pada 17 Agustus 1945, bangsa In¬donesia memproklamasikan keme¬r¬dekaan. Malaya dan Kalimantan Utara yang dikuasai Jepang dikembalikan kepada Inggris. Pada 31 Agustus 1957, Inggris memberikan kemerdekaan kepada Malaya. Pemberian kemerdekaan kepada Malaya tanpa perlawanan ber¬arti memunculkan kecurigaan pemerin¬tah Indonesia, khususnya Bung Karno. Kecurigaan itu bertambah karena Inggris tetap mengatur pertahanan dan hubungan luar negeri Malaya. Selain itu, Malaya sering dijadikan pangkalan Amerika Serikat dan Inggris untuk membantu PRRI/Permesta (hlm viii).

Saat itu kecurigaan Bung Karno harus ditempatkan dalam konteks perang dingin, kala kekuatan kolonialis dan imperialis tetap berusaha menguasai negara-negara dunia ketiga. Darah Bung Karno mendidih ketika pemimpin Malaya Tengku Abdurrahman me¬ngusulkan ide pembentukan Federasi Malaysia yang meliputi Malaya, Si¬ngapura, dan Kalimantan Utara.

Ide pembentukan Federasi Malaysia dijawab Indonesia di bawah sang pemimpin besar revolusi, Bung Karno, lewat politik konfrontasi dengan Malaysia. Konflik itu berusaha diredam via jalur diplomasi yang melibatkan PBB dengan membentuk sebuah tim. Secara cepat tim tersebut mengambil keputusan bahwa rakyat Kalimantan Utara mendukung penggabungan dalam Federasi Malaysia (hlm 176).

Akhirnya, pada 16 September 1963 Fe¬derasi Malaysia diumumkan. Pada ha¬ri yang sama, muncul demons¬trasi an¬ti-Indonesia di Kuala Lumpur. Para de¬monstran menyerbu gedung KBRI, me¬robek-robek foto Soekar¬no, memba¬wa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tengku Abdurrahman dan memaksanya untuk menginjaknya.

Amarah Bung Karno meledak! Esok harinya, 17 September 1963, Indonesia langsung memutuskan hubungan diplomatik dengan Inggris dan Malaya serta menyita perusahaan milik Inggris di Indonesia. Selanjutnya, Bung Karno melancarkan gerakan yang terkenal dengan istilah Ganyang Malaysia.

Gelora Ganyang Malaysia meredup setelah 1965, bersamaan dengan ber¬akhir¬nya kekuasaan Bung Karno. Pada 28 Mei 1966 pemerintah Indonesia me¬ngu¬mumkan penyelesaian konflik. Nor¬malisasi hubungan pun berlangsung.

Sejak itu, hubungan kedua negara serumpun semakin baik, terlebih sejak Orde Baru di bawah Soeharto. Hubungan politik, militer/kemanan, dan ekonomi semakin intens. Di ranah hiburan, berbagai pertukaran duta di antara keduanya juga berjalan. Di bidang pendidikan, putra-putra terbaik Malaysia dikirim ke Indonesia untuk menimba ilmu. Hasilnya, pendidikan di Malaysia le¬bih maju daripada Indonesia.

Malaysia Kembali Berulah

Hubungan baik selama Orde Baru mulai retak pada era reformasi, di¬mulai dengan banyaknya TKI yang disiksa dan diperlakukan tidak manusiawi. Mereka menjadi tontonan yang sering ditunjukkan di media Indonesia. Selain itu, lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia memberinya kepercayaan diri yang tinggi.

Tampaknya, di benak rakyat dan pemimpin Malaysia terbentuk persepsi bahwa Indonesia telah mereka kuasai secara politik dan ekonomi. Sehingga, dengan penguasaan dua bidang itu, Malaysia berpikir bahwa menguasai bidang lain akan lebih mudah. Misalnya klaim Malaysia atas aset seni dan budaya Indonesia. Jika ada perlawanan dari Indonesia, tampaknya Malaysia sudah menyiapkan sejumlah jurus formal yang tersedia dalam tata hubungan internasional.

Secara internal, bangsa Indonesia, khususnya pemerintah, dianggap lemah, tidak bergigi, dan tidak punya daya tawar serta alpa mengurus aset yang dimiliki sehingga dengan mudah bisa berpindah tangan.

Dalam kaitan dengan hubungan Indonesia-Malaysia yang panas itu, "Ganyang Malaysia!" sebagaimana judul buku ini mengingatkan sekaligus memberikan spirit bahwa rakyat dan pemimpin Indonesia harus tetap menjaga harga diri, martabat, keutuhan, dan kedaulatan Negara Republik Indonesia terhadap ancaman dari luar, termasuk Malingsia. (*)

M. Nursam, Sejarawan dan GM Penerbit Ombak Jogja

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 27 September 2009

[Buku] Idul Fitri dan Petunjuk Berserah Diri

Judul Buku : The Science & Miracle of Zona Ikhlas
Penulis : Erbe Sentanu
Penerbit : Elek Media Komputindo, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2009
Tebal : lxxvi + 492 halaman

KESADARAN adalah aset manusia yang sangat penting. Namun, karena sering kalah promosi oleh kepintaran, ia menjadi modal yang jarang dibangun. Yang membedakan keduanya adalah kepintaran merupakan hasil pengolahan informasi di kepala, sedangkan kesadaran diolah di kepala informasi itu dan prosesor di hatinya. Hasilnya adalah suatu kesadaran yang berkadar oktan tinggi. Ketika mesin kesadaran yang bertenaga besar itu dinyalakan untuk menyelesaikan urusan hidup, output-nya tentu berbeda.

Buku The Science & Miracle of Zona Ikhlas, Aplikasi Teknologi Ke­kuatan Hati (2009) yang ditulis Erbe Sen­tanu ini adalah sekuel dari buku per­tamanya, Quantum Ikhlas: Tek­nologi Aktivasi Kekuatan Hati (2007). Tujuannya, membuat aksele­rasi hati dari buku Quantum Ikhlas (QI) sebelumnya. Buku tersebut juga dil­engkapi dengan DVD penjelasan konsep QI dan petunjuk penggunaan CD audio brainwave digital player yang dimaksudkan untuk meng­aktiva­si tombol ikhlas di otak agar le­bih memahami penjelasan dan ki­sah para pejuang ikhlas. Karya seorang spiritual motivation coach ini juga menjawab kerinduan bagi mere­ka yang membutuhkan suatu petunjuk operasional ''berserah diri'' yang sudah begitu sering kita dengar lewat ber­bagai tuntutan bijak seperti: ''K­i­ta harus ikhlas. Sudahlah ikhlaskan saja...'' dan berbagai varian lainnya.

Buku ini terbagi atas dua bagian besar. Bagian pertama berisi tentang The Science of Zona Ikhlas yang me­ngulas berbagai pandangan sains yang menyebut bahwa ilmu ikhlas adalah ilmiah dan kebenarannya bi­sa dibuktikan. Bagian kedua berisi The Miracle of Zona Ikhlas yang menggambarkan kumpulan kisah-kisah inspiratif sarat makna para pejuang ikhlas dalam meraih sukses paripurna melalui jalan ikhlas.

Sukses paripurna menurut Mas Nunu -panggilan akrab Erbe Sentanu- berisi lima aspek. Yakni, kesukse­san finansial, kesuksesan mental, kesuksesan fisikal, kesuksesan relasional, dan kesuksesan spiritual. Cerita keajaiban lima aspek kesuksesan paripurna itu dijelaskan secara memikat dan menyentuh di bagian kedua.

Menurut Mas Nunu, zona ikhlas adalah sebuah wilayah di hati manusia yang bersifat kuantum dan dirindukan para pencari kebahagiaan maupun pencinta ilmu pengetahuan. Zona ini diyakini berisi segala kebutuhan hidup manusia bagai mata air sumber kecukupan alam semesta. Para ahli dan ilmuwan menyebut wilayah ini dengan berbagai nama. Misalnya, zero point field, a field, unified field, morphogenetic field, akashic field, collective unconscious, super consciousness, dan divine matrix atau alam murakabah.

Jika kita tengok kondisi bangsa kita saat ini, terlihat jelas betapa karut-marutnya masalah kian membuat banyak orang frustrasi. Masalah demi masalah tak kunjung dapat solusinya, bencana demi bencana datang silih berganti, sehingga pesimisme akan masa depan bangsa ini semakin tampak nyata kita rasakan. Di sinilah dibutuhkan revolusi hati. Sebuah revolusi sikap yang bergerak dan digerakkan oleh fitrah kesempurnaan Ilahi.

Di dalam hati yang terdalam, hanya niat mulia yang akan lahir. Niat yang menginginkan kebaikan dan rahmat bagi sekalian alam. Ada keinginan menjaga dan memperbaiki keadaan, niat kesetaraan dan kebersamaan, ke­sediaan memberi dan menerima, ke­mauan membantu dan kesediaan di­bantu, niat kerelaan menjadi atau tidak menjadi, niat mencari kemudahan dan memudahkan urusan setiap makhluk. Inilah intisari perwujudan nasionalisme. Dengan bahasa lain, revolusi hati adalah bahan dasar menuju terwujudnya nasionalisme. Inilah yang dibutuhkan bangsa Indonesia saat ini.

Senada dengan hal tersebut, Jakob Oetama dalam kata pengantarnya mengajak pembaca untuk terus berlomba berbuat kebaikan. Ini sesuai dengan firman-Nya dalam Alquran surat Al-Maidah ayat 48 yang berbunyi: fastabiqul khairat (berlomba-lombalah kamu dalam berbuat kebaik­an). Kebaikan di sini bermakna universal. Berbuat baik akan melahirkan ketenangan batin, kebahagiaan hati, dan kesempurnaan iman. Untuk itu, berbuat baik tidak saja dilakukan saat mendapat masalah, tapi setiap saat dengan memudahkan urusan orang lain. Jika kemudian bonusnya adalah berbagai kemudahan yang mampir dalam kehidupan kita, itu merupakan print out dari rekening tabungan spiritual kita.

Tragedi Manohara, Ambalat, TKI, bantuan asing, dan tragedi-tragedi lain bisa direduksi jika bangsa ini memiliki hati, jiwa, dan roh nasionalisme yang kuat seperti yang dipesankan The Founding Father Bung Karno di awal tadi. Di sinilah kita semestinya menyadari betapa bangsa ini membutuhkan orang-orang yang ikhlas berjuang dan berkorban untuk kemajuan bangsa. Jika para pahlawan dahulu mati di medan perang mengusir penjajah, saat ini kita harus berani mati melawan musuh-musuh kita seperti kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, pengangguran, ketakutan, kemalasan, korupsi, kolusi, nepotisme, dan mafia peradilan. Tanpa revolusi hati, bangsa ini akan sangat sulit bangkit.

Dibandingkan dengan buku pertama, buku ini tampak lebih tebal dengan balutan hard cover dan desain warna yang memikat. Pilihan kertas art paper (AP) semakin menunjukkan bahwa buku ini bukan buku murah. Di sinilah perlunya penerbit cetak ulang edisi soft cover agar harganya lebih terjangkau sehingga banyak orang bisa memilikinya. Namun, yang perlu digarisbawahi adalah hasil penjualan buku ini seratus persen akan disumbangkan kepada para pejuang ikhlas di bidang kesadaran lingkungan hidup dan pendidikan yang memerlukan dukungan.

Nah, konteks Hari Raya Idul Fitri 1430 H saat ini menemukan momentum bagi kita untuk senantiasa memelihara hati agar tetap dalam track yang istikamah. Artinya, fitrah manusia takwa harus mampu mewarnai sebelas bulan berikutnya.

Kita tidak bisa mengharapkan jawabannya lewat kecerdasan pikiran dan otak kita yang cende­rung sibuk mempertanyakan kemungkinan kegagalan. Semua itu hanya akan kita temukan lewat hati yang kita biarkan terbuka untuk bicara, lewat kebesaran hati kita, lewat kelapangan dada kita, dan lewat revolusi hati yang ikhlas. (*)

Rohmah Maulidia
, Dosen STAIN dan IAIRM Pesantren Walisongo Ngabar, Ponorogo

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 27 September 2009

Residensi: Koper dan "Locker" di Kamar Rendra

-- Putu Fajar Arcana*

DI dalam kamar dramawan-sastrawan WS Rendra terdapat banyak koper dan locker. Koper dan locker itu berisi pakaian-pakaian yang jauh-jauh hari telah disusun rapi pemiliknya. Bahkan, untuk memudahkan mengingat, pada locker ditempelkan tulisan-tulisan jenis pakaian yang ada di dalamnya. Semua itu dikerjakan oleh Rendra seorang diri.

Sampai saat intelektual besar Indonesia itu dimakamkan, 7 Agustus 2009 lalu, kamar yang dipenuhi buku-buku serta sepatu berukuran 41 dan tersusun rapi pada raknya tetap seperti sedia kala. Ken Zuraida, istri Rendra, bahkan sampai kini belum mau memasuki kamar itu. ”Aku seperti limbung karena sebagian jiwaku hilang,” tutur Ken Zuraida, Kamis (17/9) lalu.

Hanya kasur pada lincak (sejenis kursi tetapi bisa dimanfaatkan sebagai tempat tidur) berukuran single yang terbuat dari bambu disandarkan ke dinding. Di antara kasur dan tempat tidur itu terdapat dua boneka buaya dan satu anjing laut. ”Mas Willy selalu tidur dengan boneka untuk mengganjal sisi-sisi tubuhnya,” tambah Ken Zuraida.

Rahmawati Basri, salah satu anggota Bengkel Teater Rendra dan asisten kepercayaan Rendra, mengatakan, Rendra orang yang selalu detail merencanakan segala sesuatu. ”Koper-koper itu tinggal diangkat kalau Pak Rendra akan bepergian. Semua sudah lengkap di dalamnya, termasuk peralatan mandi,” ujar Rahmawati.

Cita-cita

Kamar Rendra dan seluruh isinya barangkali akan menjadi memorabilia tidak saja bagi keluarga dan orang-orang terdekat penyair berjuluk ”Si Burung Merak” itu. Di dalam kamar itulah Rendra melakukan permenungan dan membaca gelagat zaman. Dari kamar itu pulalah ia memutuskan untuk menghutankan seluruh areal Bengkel Teater Rendra yang tak kurang memiliki luas 4 hektar.

Edi Haryono, sekretaris pribadi Rendra, mengungkapkan pesan Rendra di saat-saat akhir hayatnya selalu membicarakan soal penghutanan Bengkel Teater. ”Mas Willy (Rendra) selalu bilang, karena air di sini berlimpah, maka itu harus dijaga untuk kepentingan banyak orang. Penghutanan bengkel juga harus diteruskan,” tutur Edi yang sudah menjadi anggota Bengkel Teater sejak bermarkas di Ketanggungan, Yogyakarta.

Peninggalan Rendra, menurut Edi, tak hanya tanah seluas 4 hektar serta beberapa bangunan yang didirikan atas tetesan keringat, tetapi lebih-lebih adalah peletakan dasar-dasar pendidikan kemanusiaan secara informal. ”Bengkel bukan hanya untuk bermain teater, tetapi itu tempat mengolah hidup. Mas Willy menemukan metode-metode dan disiplin untuk menjadi manusia yang baik,” kata Edi Haryono.

Itulah sebabnya sebagian besar anggota Bengkel Teater Rendra bertekad membentuk satu yayasan yang akan melanjutkan cita-cita budayawan kelahiran Solo itu. Bahkan ditambahkan Ken Zuraida, suaminya bercita-cita menjadikan Bengkel Teater sebagai acuan dunia untuk mempelajari teater kontemporer Indonesia. ”Mas Willy bercita-cita membangun paviliun dengan nama-nama dramawan Indonesia. Di situ siapa saja yang datang bisa belajar tentang segala hal menyangkut dramawan itu. Tetapi itu belum terwujud,” kata Ken Zuraida.

Penyair Agus R Sarjono menuturkan, cita-cita Rendra bisa disamakan dengan aktivitas yang dilakukan oleh para ahli waris pemenang Nobel asal Jerman, Heinrich Boll. Para ahli waris membentuk Yayasan Heinrich Boll Haus yang kemudian memberikan beasiswa kepada sekitar 10 orang setiap tahun. ”Saya pernah melakukan residensi di sana selama empat bulan. Dan selama itu tinggal di kamar, di mana Heinrich Boll dulu melahirkan karya-karya besarnya,” ujar Agus Sarjono.

Rumah Heinrich Boll terletak di Desa Langenbroich, Duren, Koln, sebuah wilayah yang kira-kira mirip Cipayung, Citayam, Depok, Banten. ”Pemerintah Kota Duren memberi subsidi kepada Yayasan Heinrich Boll Haus untuk membiayai 900 euro sebulan bagi para peserta residensi. Bahkan untuk naik taksi pun mereka beri subsidi,” ujar Agus Sarjono.

Rendra sangat pantas mendapatkan kehormatan sebagaimana Pemerintah Duren menghargai Heinrich Boll. Sudah saatnya, kata Agus Sarjono, pemerintah memikirkan menjadikan Bengkel Teater Rendra di Cipayung, Citayam, Depok, sebagai tempat residensi bagi para seniman dan budayawan dunia. Depok dan Indonesia niscaya akan menjadi tempat yang lekat di hati banyak kalangan, sebagaimana Agus Sarjono menganggap Langenbroich sebagai kampung halamannya.

Koper dan locker di kamar Rendra tak hanya akan berisi pakaian yang rapi, tetapi juga kajian-kajian dan olahan hidup yang bermanfaat bagi kemanusiaan, kini dan nanti...

Sumber: Kompas, Minggu, 27 September 2009

Festival Kesenian Indonesia ke-6 IKJ

-- FX Widaryanto*

SUDAHKAH terlihat adanya kontribusi yang nyata dari eksistensi perguruan tinggi seni di Indonesia dewasa ini? Kalaupun ada, seberapa jauh kontribusi itu bermakna bagi anak-anak bangsa? Sebatas di kalangan ranah seni yang digelutinya, atau sudah melintas dan merambah sendi-sendi kehidupan yang lain? Banyak sekali pertanyaan retrospektif yang bisa dilontarkan oleh kalangan sivitas akademika perguruan tinggi seni yang tergabung dalam Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Seni Indonesia (BKS-PTSI), yang akan mengadakan festival yang bertajuk ”Festival Kesenian Indonesia (FKI) 6 DI IKJ-TIM Jakarta” tanggal 5-24 Oktober 2009 yang akan datang.

Di masa lalu pendirian perguruan tinggi seni diampu oleh para seniman alam yang nyaris tak tersentuh pendidikan akademik. Mereka adalah pemegang otoritas kesenimanan yang mendapatkan pengakuan dari masyarakat, bahkan juga masyarakat internasional. Lihat ASRI Yogyakarta dengan Affandi, ASKI Surakarta dengan Martapangrawit, ASTI Bandung dengan Enoch Atmadibrata, Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta dengan Djaduk Djajakusuma, Konservatori Karawitan Surakarta dengan Sindusawarno, Konservatori Tari Yogyakarta dengan Hardjosoebroto, dan tentunya dengan nama-nama besar lainnya sehingga dipandang perlu untuk menoleh pada nilai-nilai keempuan yang ada pada tradisi kreatif mereka. Sebutan empu mungkin terkesan terlalu Jawa sentris dan tidak mengait pada aspek pendidikan sehingga empu yang terlibat dalam sharing metodologi karya kreatif dalam format pendidikan tinggi seni jenjang S-3 bisa dipikirkan sebutannya sebagai Mahaguru.

Festival dan refleksi diri

Karena itulah BKS-PTSI merasakan urgensi dibentuknya Forum Gurubesar dan Mahaguru yang akan menjadi think tank bagi perwujudan nilai-nilai keindonesiaan dan capacity building bagi proses dan produk dari tujuh perguruan tinggi seni yang pada tahun 1999 bergabung di dalamnya. Perguruan tinggi seni itu adalah ISI Yogyakarta, ISI Surakarta, ISI Denpasar, Institut Kesenian Jakarta, STSI Padang Panjang, STSI Bandung, dan STKW Surabaya. Format festival dipilih sebagai bagian dari pemberdayaan interaksi antar perguruan tinggi seni itu sendiri serta akuntabilitasnya kepada masyarakat luas. Khusus pada Festival Kesenian Indonesia ke-6 ini, Forum Guru Besar dan Mahaguru akan diresmikan oleh Menteri Pendidikan Nasional.

Ada dua hal yang sudah menjadi catatan kunci serta diperkuat dengan instruksi Menteri Pendidikan Nasional pada Festival Kesenian Indonesia ke-5 2007 BKS-PTSI di Denpasar Bali, yaitu spirit Indonesia Incorporate dan Internasionalisasi event festival yang sudah melembaga ini. Indonesia Incorporate berkaitan dengan sinergi seluruh anggota BKS-PTSI untuk bekerja sama dalam mengampu Indonesian Study Through Culture and Arts yang akan terus dikembangkan dalam model kerja sama dengan kurikulum yang akan diolah dan digarap dalam Forum Guru Besar dan Mahaguru. Di sisi lain, upaya internasionalisasi festival yang sudah dilakukan di Bali disepakati untuk ditingkatkan lagi di Jakarta dengan penanganan materinya yang diatur dalam curatorship yang terpadu. Upaya internasionalisasi ini tentunya juga berkaitan dengan pendekatan kualitas yang mau tidak mau harus disinergikan dengan kekuatan BKS-PTSI yang secara masif harus bisa ditampilkan dalam festival kali ini. Internasionalisasi ini tidak harus mengurangi ekspose masing-masing institusi; karena Menteri Pendidikan Nasional di dalam pidato pembukaan festival yang lalu di Denpasar mengutarakan pentingnya menggariskan kebijakan penyelenggaraan festival internasional dan nasional secara selang-seling setiap tahun. Inilah salah satu tantangan yang harus ditindaklanjuti oleh BKS-PTSI.

Pada penyelenggaraan yang ke-6 atau tahun yang ke-10 ini, mau tidak mau banyak hal yang mesti dibenahi, terutama dalam fungsi mewujudkan citra keindonesiaan dalam berbagai karya seni di luar kekhasan perguruan tinggi seni masing-masing. Kedatangan beberapa presiden perguruan tinggi dari berbagai negara sahabat tentunya akan mengawali proses dialogi formal antarkomunitas intelektual dan kreatif secara global. Dengan demikian, kerja sama internasional yang akan dibangun segera dapat direalisasikan dalam paradigma baru, yaitu menuju pada perwujudan kurikulum bersama yang tak lain akan memberikan refleksi world class university yang sebenarnya.

Kolaborasi

Yang unik dari festival ini adalah ditampilkannya genre seni dalam rentangan spektrum yang cukup luas. Ini terlihat dari tampilan Konser Kolaborasi Gamelan ”langka” yang diwakili oleh produk lokal Gamelan Sekaten (ISI Surakarta), Gong Gede (ISI Denpasar), dan Gong Renteng (STSI Bandung), yang merajut rangkaian pembukaan festival dan tampilan Symphony yang bukan merupakan produk lokal. Gamelan yang hanya ditampilkan pada waktu-waktu tertentu dan sering hanya didengarkan sekilas, kali ini disajikan dalam aura pertunjukan yang berbeda, baik gaya sajiannya maupun gaya kepenontonannya.

ISI Yogyakarta tampil dengan sajian Orkes Symphony-nya, yang sekaligus juga menggarap kolaborasi tari dengan menghimpun kekuatan tari mahasiswa dari IKJ, STSI Padang Panjang, dan STSI Bandung yang dikoordinasikan oleh para koreografer terkemuka saat ini, yaitu Hartati (IKJ), Eko Supriyanto (ISI Surakarta), dan Miroto (ISI Yogyakarta). Kolaborasi ini tampil dalam kapasitas kekuatan sinergi BKS-PTSI. Para musisi dari California Institute of Arts juga tampil bersama dalam kolaborasi yang didahului oleh workshop sebelumnya.

Masing-masing perguruan tinggi seni juga akan tampil dalam kekuatannya tersendiri, di mana STSI Padang Panjang, ISI Yogya, ISI Denpasar, dan Aswara KL akan tampil dalam garapan tari. Sementara STSI Bandung akan menampilkan kekuatan teaternya. Demikian juga dengan kekuatan tosan aji yang dimiliki ISI Surakarta; demo pembuatan keris, dengan kobaran tungku dan denting tempaan bara besinya yang khas akan mewarnai proses unik yang jarang terjadi di Ibu Kota ini. Berbagai workshop dan kerja sama dengan berbagai pihak juga dijalin, salah satunya adalah dengan pihak penyelenggara Indonesian Dance Festival yang hasilnya juga akan dipentaskan dalam rangkaian pertunjukan pada festival ini. Workshop lainnya yang terbuka bagi para mahasiswa adalah workshop Animasi, Teater, Musik Kontemporer, Komik dan Kartun, serta Produksi Film. Dan untuk mengakomodasi talenta mahasiswa dalam seni lukis, mereka diberi kesempatan untuk membuat lukisan mural di berbagai tembok kampus IKJ.

Festival ini juga diperkaya dengan Festival Film Internasional yang mengikutsertakan berbagai film yang pernah mendapatkan penghargaan internasional. Mahasiswa juga mendapatkan porsi pengakuan atas karyanya dalam Festival Film Mahasiswa, dengan ekstensi waktu sampai dengan tanggal 11 Oktober 2009. Khusus untuk pameran seni rupa, kegiatannya dibagi menjadi dua, yaitu kegiatan yang diberi tajuk Pameran Pendidikan Seni, dengan curatorship internal masing-masing perguruan tinggi seni, serta Pameran Tematik Seni Rupa yang dikuratori oleh sebuah tim yang memilih berbagai karya dosen, alumni pendidikan tinggi seni, bahkan mahasiswa yang dianggap memenuhi kriteria tertentu. Khusus untuk yang terakhir, pameran diselenggarakan tanggal 17-24 Oktober 2009. Hal ini dilakukan selain karena alasan ketersediaan venues, juga kebertumpukan event yang akan mengurangi fokus ekspose peristiwanya di berbagai media.

Untuk membuka peluang interaksi yang lain, festival ini dilengkapi dengan seminar yang mewacanakan seni dan identitas, seni dan pasar, serta permasalahan revitalisasi seni. Pembicara tamu dari Amerika, Singapura, dan Filipina akan mengupas Exploring Root of Identity dalam perspektif interkultural. Sementara, beberapa budayawan dan praktisi seni terkemuka Indonesia, di luar sumber daya BKS-PTSI, akan mengisi berbagai topik pewacanaan di atas.

Demikianlah festival ini diselenggarakan agar bisa menjawab berbagai pertanyaan retrospektif di atas yang terus akan berkembang dalam pertanyaan-pertanyaan yang baru. Dan untuk menjaga tradisi kreatif di masa mendatang, diharapkan kekuatan masif dari seluruh perguruan tinggi anggota BKS-PTSI ini bisa terus berproses menuju eksplorasi nilai-nilai keindonesiaan, yang tentunya akan terus berfungsi sebagai perekat dan pemicu munculnya nilai-nilai baru dalam merayakan perbedaan dan menggali akar dalam berbagai produk performatif dewasa ini.

* FX Widaryanto, Sekretaris BKS-PTSI

Sumber: Kompas, Minggu, 27 September 2009

[Buku] Radikalisasi Peran Guru

-- M Mushthafa*

KOMPAS/RIZA FATHONI

data buku

• Judul buku: Pendidik Karakter di Zaman Keblinger: Mengembangkan Visi Guru sebagai Pelaku Perubahan dan Pendidik Karakter • Penulis: Doni Koesoema A • Penerbit: Grasindo • Cetakan: I, 2009 • Tebal: xvi + 216 halaman Saat sendi bangunan peradaban bangsa terancam berantakan, banyak orang berharap pendidikan dapat menjadi penyelamat. Guru kemudian menjadi aktor kunci untuk menjadi pelaksana misi penyiapan generasi bangsa yang tangguh. Lalu, bagaimana jika guru itu sendiri justru menjadi sumber masalah?


Buku yang ditulis praktisi dan pemerhati pendidikan ini memberi peta persoalan dan tawaran solusi cukup radikal untuk menguatkan kembali peran dan posisi guru. Tentu saja dalam konteks pembangunan peradaban masyarakat yang tengah terbelit dalam krisis yang kompleks dan akut.

Doni Koesoema, penulis buku ini, berupaya mengembangkan dan meradikalkan visi dan peran guru sebagai pelaku perubahan dan pendidik karakter. Hal tersebut perlu, terutama kala profesi keguruan cenderung mudah terjebak dalam perangkap konflik kepentingan, ekonomi, dan kelompok politik tertentu yang dangkal.

Menurut penulis buku ini, guru bisa memainkan peran memperbarui tatanan sosial masyarakat. Caranya dengan memperkaya dan memperkokoh kepribadian siswa serta menanamkan kesadaran kritis. Fungsi transformatif pendidikan dimulai dengan pembentukan dan pendidikan karakter. Proses pengembangan karakter di sekolah dilakukan menyeluruh (integral) antara diskursus dengan praktik dan antara kegiatan kurikuler (akademis) dengan pergaulan sehari-hari.

Zaman ”keblinger”

Berhadapan dengan kutub ideal ini, penulis mencatat sekarang ini kita hidup pada zaman keblinger, sebuah zaman saat dunia lari tunggang langgang dan menciptakan situasi yang membuat guru kehilangan orientasinya.

Otonomi dan kebebasan untuk merumuskan jati diri sebagai guru menjadi sulit sekali untuk dijaga. Sebuah ilustrasi yang sangat bagus digambarkan dalam buku ini. Jangankan untuk menghambat terorisme global, untuk melawan ujian nasional yang merenggut otonomi guru saja mereka tidak mampu. Jangankan berurusan dengan perusahaan multinasional, untuk mengurus uang Bantuan Operasional Sekolah (BOS) saja tidak becus.

Dalam situasi seperti ini, guru sering tidak sadar dengan peran dan visi strategis dan radikal yang mesti mereka miliki. Bagaimana bisa menjadi pelaku perubahan jika untuk mengubah dirinya saja guru masih kesulitan. Ketika sekolah atau otoritas negara berupaya meningkatkan mutu guru melalui sejumlah kegiatan, seperti pelatihan, lokakarya, seminar, atau semacamnya, ternyata semua itu tidak cukup memberi dampak positif. Bahkan, untuk sebuah perubahan mendasar yang menyangkut kemampuan pedagogis maupun penguasaan bahan ajar.

Hal itu menurut penulis buku ini terjadi karena tak ada kerangka kerja jangka panjang yang melatarinya sehingga perubahan radikal yang diharapkan tak kunjung dicapai. Untuk itulah, Doni kemudian merumuskan tujuh strategi untuk membumikan gagasannya yang hendak meradikalkan visi dan peran guru sebagai pelaku perubahan dan pendidik karakter.

Ketujuh strategi itu adalah menjernihkan visi sebagai guru, menumbuhkan semangat peneliti dalam diri guru, membiasakan umpan balik dari para pemangku kepentingan, menumbuhkan kejujuran akademis, mempraktikkan pembelajaran kolaboratif, mengembangkan sekolah sebagai komunitas belajar profesional, dan menumbuhkan kultur demokratis di sekolah.

Ketujuh strategi tersebut memang tidak bersifat teknis karena hal yang ingin dicapai adalah perubahan paradigma. Meski demikian, di beberapa bagian terdapat uraian yang cukup praktis. Misalnya, tentang pentingnya penjernihan visi sebagai guru. Di situ dipaparkan visi yang berfungsi sebagai orientasi dan landasan yang memotivasi guru bertindak, beraktivitas, dan mengembangkan diri. Dia juga menegaskan, visi seseorang sebagai guru juga dapat dilihat dari bagaimana dia memahami tujuan pendidikan, pengajaran, siswa, pengetahuan, dan masyarakat. Dengan kata lain, visi sangat berkaitan dengan sejumlah asumsi dasar yang akan sangat berpengaruh terhadap praktik pendidikan dan pembelajaran di kelas.

Visi guru sebagai pendidik dengan pemahaman seperti ini dipertajam dengan studi kasus pemberitaan di media. Di antaranya tentang aktivitas Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo yang menyatakan kebijakan pendidikan menengah akan diarahkan pada meningkatnya proporsi sekolah menengah kejuruan dibandingkan dengan sekolah menengah atas. Penulis kemudian mengajukan sejumlah pertanyaan reflektif dan menguraikan berbagai implikasi arah kebijakan tersebut dengan cukup panjang lebar.

Tidak sederhana

Tentu saja upaya mengubah paradigma dan visi mendasar dari profesi keguruan tidaklah sederhana. Bagian awal buku ini menguraikan kompleksitas persoalan yang dihadapi guru di lapangan.

Pada zaman keblinger, misalnya, mistifikasi profesi guru terjadi ketika muncul euforia berlebihan oleh komunitas dalam mengidealkan berfungsinya peranan guru. Di sisi yang lain, beban kerja dan rutinitas di sekolah semakin menyulitkan guru mengembangkan dan mengubah diri.

Saat menguraikan strategi kedua mengenai menumbuhkan semangat peneliti dalam diri guru, penulis tampak sedang berefleksi dengan apa yang tengah dia lakukan selama lebih dari sepuluh tahun terakhir. Dalam kadar tertentu, buku ini sebenarnya semacam refleksi diri setelah terlibat langsung dalam pengelolaan pendidikan di beberapa sekolah. Lebih jauh lagi ketika kemudian ia mendalami pedagogi di Universitas Salesian Roma, Italia, dan Boston College Lynch School of Education, Boston, Amerika Serikat. Dengan kata lain, penulis telah mempraktikkan sekaligus menegaskan dengan memosisikan diri sebagai peneliti, ia tak hanya terlibat dalam praksis peningkatan mutu pendidikan.

Di sisi lain, penulis buku ini juga dapat berbagi makna personal yang berkembang selama ia menjalani dan menghayati aktivitas keguruan dan kependidikan, baik dalam dirinya maupun dengan komunitas (guru) yang lebih luas. Ia mengonstruksi pengalamannya melalui kerja-kerja dokumentasi, pengamatan, analisis, dan refleksi. Selanjutnya ia menciptakan gugus pengetahuan dan ilmu ”baru”.

Buku ini sangat cocok dibaca para guru, pengelola lembaga pendidikan, dan mereka yang peduli terhadap masa depan bangsa ini. Paparan buku ini memberikan peta dan agenda persoalan bersifat mendasar untuk lebih memperkuat peran dan visi guru dalam pembangunan peradaban.

Lebih dari sekadar berbagi makna dan kepedulian, buku ini juga mencatat sejumlah pekerjaan rumah bersama yang bersifat pragmatis maupun praktis, meski pada sisi lain lebih menekankan pada pendekatan dan perspektif yang bersifat individual dalam upaya menjaga makna substantif profesi keguruan yang mulia pada kerangka kerja peradaban.

* M Mushthafa, Guru SMA 3 Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep, Mahasiswa Program Master of Applied Ethics (Erasmus Mundus) Utrecht University, Belanda.

Sumber: Kompas, Minggu, 27 September 2009

[Nama & Peristiwa] Jean Rocher: Novel Spionase

JEAN Rocher (59) tak hanya menjadikan Indonesia sebagai setting peristiwa, sementara kenangan-kenangan yang hidup padanya masih Perancis. Dalam novel terbarunya, Keping Rahasia Terakhir, yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), tampak benar ia paham seluk-beluk Indonesia.

Kisah-kisah spionase para agen Perancis di Indonesia dalam novel itu, kata Rocher, memang sebagian merupakan kepingan hidupnya selama tinggal di Indonesia. Sejak tahun 1993-1997, Rocher bertugas sebagai atase militer pada Kedutaan Besar Perancis di Indonesia. Setelah itu pun, Rocher tak segera kembali ke negerinya yang eksotik, ia malah memilih tetap tinggal di Indonesia.

”Tak ada alasan saya kembali ke Perancis. Negeri ini menyimpan begitu banyak rahasia keindahan,” tutur Rocher, pertengahan September 2009. Itu pulalah yang mendorongnya menulis novel. Novel pertamanya telah terbit di Perancis dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Lelehan Api, beberapa tahun lalu.

Rocher, yang kini bekerja sebagai konsultan sekuriti di sebuah pusat retail yang berpusat di Perancis ini, bertekad membuat trilogi untuk novel terbarunya. Ia bahkan kini sedang sibuk melakukan riset seputar keberadaan pasukan Perancis di Indonesia pada masa-masa kolonialisme dahulu. ”Semua akan dituangkan dalam novel berikut,” katanya. (CAN)

Sumber: Kompas, Sabtu, 26 September 2009

Mengiklankan Sastra

-- Bandung Mawardi*

TULISAN-TULISAN tentang sejarah sastra di Indonesia masih mengabaikan diskursus komersialisasi atau sosialisasi sastra dalam bentuk iklan. Strategi mengiklankan sastra melalui surat kabar tentu memberi kontribusi signifikan dalam pembentukan konstelasi sastra sejak akhir abad XIX.

Praktik mengiklankan sastra merepresentasikan situasi zaman dengan acuan gerak kapitalisme cetak dan kemunculan kalangan elite terpelajar. Kehadiran iklan sastra juga menjadi tanda dari proses pembentukan masyarakat literasi melalui simbiosis mutualisme institusi pers, pendidikan, perdagangan, politik, dan kultural.

Pembacaan dan penafsiran terhadap iklan-iklan sastra memungkinkan membuka tabir sejarah sastra. Dikursus iklan sastra memiliki makna penting ketika situasi sastra mutakhir memiliki intimitas atau hampir suatu ketergantungan dengan dunia surat kabar dan pemasaran dengan iklan. Intimitas melahirkan konstruksi ambiguitas dalam memilah kekuatan dan kekuasaan antara sastra, surat kabar, dan pasar. Publik pembaca disuguhi operasionalisasi ideologis melalui percampuran pamrih ekonomi, estetika, popularitas, atau komersialisasi.

Soebagijo I. N. dalam Sejarah Pers Indonesia (1977) menyebutkan, surat kabar di Hindia Belanda, akhir abad XIX dan awal abad XX, memiliki corak dominan sebagai media advertensi, informasi praktis dunia ekonomi perdagangan, dan pemerintahan. Corak itu menandakan ada kebutuhan dari pengelola surat kabar menjadi perantara kepentingan dunia usaha, konsumen, dan hasrat pengetahuan publik pembaca. Isi surat kabar tempo dulu juga memuat banyak cerita, dongeng, pantunan, dan syairan. Isi dalam genre fiksi atau cerita diangkat dari kisah nyata menjadi kegemaran pembaca. Surat kabar memiliki pemikat sastra untuk digandrungi pembaca dan sebagai sumber pengetahuan-hiburan.

Deskripsi historis itu menemukan penguatan dengan kemunculan iklan-iklan sastra di antara iklan mobil, pakaian, alat-alat rumah tangga, obat, sepeda, minyak wangi, atau jam. Kehadiran iklan sastra tidak mengesankan kerikuhan, tetapi justru eksplisitas pada taktik penawaran buku-buku sastra secara sugestif dan persuasif.

Surat kabar Pemberita Betawi (14 November 1885) memuat iklan buku-buku cerita dengan rincian pengarang, judul, pemakaian bahasa, dan harga. Ada buku-buku karangan Von de Wall: Hikajat Robinson Crusoe, Kesah Peladjaran Nachoda Bontekoe, Hikajat Djahidin, Kisah Peladjaran Saorang Prampoean (Poelau Pertja), Aladin, dan Hikajat Bachtiar. Semua buku itu mencantumkan harga f 1,50. Ada juga buku Gonggrijp dengan judul Kalilah dan Daminah dengan harga f 3,50.

Eksplisitas iklan sastra merupakan bukti tingkat kebutuhan pengarang, penerbit buku, pengelola surat kabar, dan pembaca. Daftar buku dalam iklan mengesankan bentuk saduran dari sastra Melayu, Arab, dan Eropa oleh pengarang-pengarang Belanda dan peranakan Tionghoa. Peran pengarang pribumi pada masa itu masih kecil dan terbatas. Saduran menjadi mode sastra dengan pelbagai versi bahasa Melayu, Sunda, dan Jawa.

Khazanah sastra tradisional pun masuk ke ranah komersialisasi. Pemberita Betawi (24 Desember 1889) memuat iklan buku cerita Tjindoer Mato karangan J.L. Van der Toorn disertai pujian diri: ”jang tersohor amat bagoes karangannja.”

Iklan sastra mulai memakai bahasa provokatif di Pemberita Betawi (10 Maret 1904). Iklan buku cerita Lo Fen Koei dikemas dengan tata bahasa komersial: ”Djangan lambat, lekas bli tjoema tinggal sedikit.” Ungkapan ini memiliki arti ganda: Lo Fen Koei memang laris atau sengaja ingin dilariskan melalui iklan. Iklan sastra ini menyertakan sinopsis untuk memikat pembaca. Toko-toko penjualan buku Lo Fen Koei dicantumkan terdapat di pelbagai kota: Batavia, Sukabumi, Bandung, Cirebon, Indramayu, Cilacap, Semarang, Surakarta, Magelang, Yogyakarta, dan Surabaya. Toko-toko itu mayoritas milik pengusaha keturunan Tionghoa. Data kota ini menunjukkan bahwa gairah sastra sudah disemaikan di Hindia Belanda dengan masif. Sastra telah jadi menu penting untuk progresivitas semangat zaman pada awal abad XX.

Garapan iklan di surat kabar perlahan mengalami perubahan-perubahan format dan kelihaian dalam olah bahasa. Iklan sastra di Pemberita Betawi (18 November 1909) merupakan contoh dari model perkembangan dunia periklanan. Iklan ini menawarkan buku cerita Njai Dasima: Soewatoe Korban Daripada Pemboedjoek dengan kemasan memukau. Iklan ini mencantumkan ungkapan provokatif dan mengesankan aktualitas: ”Tjerita bagoes sekali jang belon berapa lama soeda djadi di Betawi.” Iklan ini memberi tawaran potongan harga bagi pembelian jumlah banyak.

Kehadiran iklan-iklan sastra pada masa kolonial itu memberi kontribusi penting dalam transformasi sosial dan kultural di Jawa (Bedjo Riyanto, 2000: 203-209). Sastra menempati posisi penting pada pemunculan kaum terpelajar dan kesadaran akan dunia penerbitan buku dan surat kabar. Iklan itu menjelaskan keterlibatan pengarang kebangsaan Belanda dan pengusaha keturunan Tionghoa dalam menggerakkan dunia sastra. Peran mereka dan iklan sastra mesti tercatat dalam sejarah besar sastra di Indonesia. Begitu.

* Bandung Mawardi, Peneliti Kabut Institut Solo, Bale Sastra Kecapi; Redaktur Jurnal Kandang Esai

Sumber: Kompas, Sabtu, 26 September 2009

Menjelang Kabinet Baru Yudhoyono: Pemerintah Dipandang Belum Perhatikan Kebudayaan

-- Sihar Ramses Simatupang

Jakarta – Nama calon menteri kebudayaan dan pariwisata (menbudpar) kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masa jabatan 2009-2014 belum diumumkan. Selain memandang porsi kebudayaan hingga saat ini kurang diperhatikan pemerintah, artis dan budayawan menagih janji pembentukan Departemen Kebudayaan.

Presiden Yudhoyono dalam orasi kebudayaan para calon presiden-wakil presiden di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 28 Mei lalu, menjanjikan untuk memperhatikan kebudayaan dan membentuk Departemen Kebudayaan bila dirinya terpilih kembali. Namun, papar budayawan N Riantiarno, entah apa yang terjadi, hal itu kemudian tak terlaksana. “Ketika itu, yang dijanjikan Yudhoyono adalah pembentukan Departemen Kebudayaan,” ujarnya.

N Riantiarno yang kerap disapa Nano menanggapi usulan aktor dan Wakil Bupati Tangerang Rano Karno dan mantan Direktur Jenderal Kebudayaan Edi Sedyawati agar kebudayaan ditempatkan menjadi departemen. Menurutnya, keputusan itu pernah disepakati dalam Kongres Kebudayaan Indonesia di Bukittinggi (2003) dan Bogor (2008). Ketika itu, para seniman dan budayawan kemudian mengajukannya ke pemerintah. “Usulan soal Departemen Kebudayaan berkali-kali sudah diajukan, sekarang kembali ramai dibicarakan,” paparnya.

Nano menyebutkan, penyatuan dimensi kebudayaan dan pariwisata juga menjadi penyebabnya. Kebudayaan akan dilematis bila disatukan dengan pariwisata, karena paradigma pariwisata adalah “menjual”, sedangkan paradigma kebudayaan adalah pengembangan dan pelestarian.
Kontradiksi ini menurut Nano tak akan ada habisnya. “Saya mendengar pariwisata dan kebudayaan disatukan hanya di negeri ini. Itu bukan membanggakan, tapi justru kekurangan. Kalau belum bisa jadi departemen, sebaiknya kebudayaan disatukan saja dengan pendidikan, dua dimensi ini dapat saling melengkapi,” papar Nano.

Menurut pendiri Teater Koma ini, kebudayaan hingga sekarang belum menjadi perhatian pemerintah. Idealnya, keberadaan departemen sangat strategis untuk mengurus soal kebudayaan yang kompleks. Promosi kebudayaan ini telah menjadi prioritas di negara-negara lain seperti Italia, Prancis, Jerman, dan Amerika Serikat yang menempatkan atase atau pusat kebudayaannya di setiap negara.

Selain itu, kapasitas dan kapabilitas wajib dimiliki setiap pejabat yang memiliki otoritas, dari direktorat, kementerian hingga duta besar dan atase budaya. “Kalau sekarang ini, saya dengar ada anggaran untuk direktorat kebudayaan dan direktorat kesenian, tapi mereka tak tahu harus diapakan anggaran itu untuk kemajuan kebudayaan,” ujarnya.

Nano mencontohkan keberhasilan Salim Said menjadi Duta Besar di Cekoslowakia karena menguasai kebudayaan Eropa Timur, juga teaterawan Putu Wijaya yang secara nonformal menjadi duta kesenian Indonesia. “Selama ini, pejabat yang mengurusi kebudayaan merasa sudah melakukan sesuatu. Tapi salah pegang, sehingga keliru dalam kebijakan dan sasaran. Mereka merasa berbuat sesuatu ketika mengusung orkes simfoni ke luar negeri, tapi lihat siapa yang nonton? Orang-orang Indonesia juga yang menontonnya selama di sana. Kita senang seniman kita dihargai, tapi masalahnya kebijakan itu klop atau tidak. Itu menjadi tugas pemerintah,” ujarnya.

Kapabilitas

Setelah pengunduran diri Menbudpar Jero Wacik dari kabinet, Selasa (8/9), sebelum pelantikannya sebagai anggota DPR RI 1 Oktober mendatang, praktis para budayawan menanti figur menteri yang baru untuk periode 2009-2014.
Agak berbeda, budayawan Radhar Panca Dahana berharap Presiden Yudhoyono menunjuk orang yang berkapasitas dan berkapabilitas tinggi untuk jabatan kementerian. “Dia (calon menteri) harus netral dari semua golongan dan mampu menjalankan otoritas pemerintahan yang independen. Juga memiliki visi kebudayaan,” papar Radhar.

Menurutnya, klaim negara lain terhadap kebudayaan Indonesia dapat dijadikan pertanda otoritas kebudayaan belum ada di negeri ini. “Ini destruksi besar yang menyangkut pengelolaan,” ujarnya.

Radhar berharap pencalonan menteri tak dijadikan ajang politik dagang sapi dan penjatahan partai. Kebudayaan merupakan wadah ekspresi sekaligus potensi di tengah keterpurukan dimensi lain seperti perekonomian dan politik. “Politik dagang sapi hanya akan melukai masyarakat sekaligus menggagalkan potensi terbaik di negeri ini,” ujarnya.

Menanggapi itu, Staf Ahli Menteri Bidang Pranata Sosial, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) RI, Surya Yuga, mengatakan hasilnya menunggu keputusan Presiden.

“Kita sejak dulu memang masih memandang kebudayaan hanya tari, film dan musik misalnya, padahal akar kebudayaan menyangkut nilai luhur, kepribadian dan jati diri bangsa ini. Selama ini, ada tiga opsi, budaya digabungkan dengan Departemen Pariwisata, Departemen Pendidikan, atau berdiri sendiri. Tapi, kalau berdiri sendiri diragukan, karena di tengah efisiensi kok ada pembuatan departemen baru? Padahal isunya sekarang kan perampingan,” papar Surya.

Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 26 September 2009

Menjaga dan Mengelola Kekayaan Kita

-- A.J. Susmana

PASANG-SURUT hubungan Indonesia: soal perbatasan yang menyangkut pemanfaatan kekayaan alam sampai pada kekayaan budaya atau intelektual seperti lagu, tari, dan berbagai jenis kekayaan seni daerah lainnya. Semua ini menunjukkan bahwa hubungan antardua negara Indonesia-Malaysia belum berlandaskan solidaritas yang saling mengerti dan menghargai perasaan nasional masing-masing. Semakin hari, seiring dengan terpuruknya perekonomian Indonesia, Malaysia merasa superior dibandingkan kita dan makin seenaknya dalam memandang Indonesia. Di Malaysia sana, mereka menyebut tenaga kerja kita dengan sebutan yang menghina: indon.

Mengapa hubungan kita dengan Malaysia tak menjadi semakin baik dan bersahabat? Bila dirunut dari sejarah, hubungan tak baik antara Indonesia dan Malaysia sudah dimulai sejak pembentukan negara Malaysia yang didukung oleh kolonialisme Inggris. Kala itu bergema slogan yang sangat kuat: Ganyang Malaysia. Indonesia pun siap mengerahkan segala sumber daya nasional mulai dari militer sampai kesenian untuk menghancurkan negara boneka imperialis Inggris: Malaysia. Banyak kisah yang bisa disampaikan dalam periode ini bahkan dalam situasi konflik ini, Malaysia masih sempat mengaku lagu Sapu Tangan karya Gesang sebagai miliknya.

Akan tetapi periode ini sudah berakhir: terjadi perubahan orientasi politik dan ekonomi di Indonesia sejak Orde Baru berkuasa. Permusuhan dihentikan dan hubungan baik dijalankan. Keduanya bahkan aktif sebagai penjaga kawasan ekonomi dan politik di Asia Tenggara dan bergabung dalam ASEAN. Terlebih lagi dari segi kultur dan bahasa memang tak jauh beda dengan kita. Walau begitu, selalu saja ada materi konflik yang dimunculkan dan juga terasa tak tuntas dalam penyelesaiannya.

Justru di tengah situasi rakyat Indonesia yang lagi menghadapi krisis, konflik-konflik dengan Malaysia justru terasa mengalihkan isu pokok dan besar yang melanda negeri yaitu utang luar negeri, penguasaan tambang nasional oleh perusahaan asing dan hancurnya daya produktif nasional bahkan dalam soal memenuhi kebutuhan garam nasional saja kita tak sanggup. Indonesia dengan garis pantai yang termasuk panjang di dunia?!

Betapa kita ini layak disebut sebagai bangsa yang memalukan dan tampak sebagai bangsa yang malas bekerja dan berpikir. Tak ada kemampuan produksi yang dibanggakan? Situasi yang mengesalkan di dalam negeri ini menemukan jalan keluar untuk menyampaikan kemarahan yaitu Malaysia dengan ulah nakal, menghina dan tak segan juga bermain api dengan mencuri kekayaan nasional rakyat Indonesia baik alam, maupun intelektual.

Sebagai negara berdaulat, kita memang harus melindungi kekayaan alam dan intelektual kita dari pengambil-alihan oleh asing. Dalam kerangka inilah, hak cipta atas kesenian daerah harus difasilitasi oleh pemerintah. Perlindungan ini tentu saja tak sebatas hanya seperti kerja memuseumkan tapi juga kerja mengangkat kesenian daerah seperti tarian-tarian rakyat menjadi kesenian yang digemari rakyat secara nasional.

Panggung-panggung untuk (hak) hidupnya kesenian daerah harus disediakan oleh pemerintah. Pekerja-pekerja seni daerah pun harus bekerja mengorganisasikan diri dan menaikkan taraf mutu kesenian daerah dengan berbagai inovasi yang kreatif. Tanpa itu, kerja melindungi kesenian daerah hanya akan menjadi omong kosong belaka. Sebab, tak bisa disangkal dalam situasi globalisasi seperti sekarang, kesenian daerah yang lamban berinovasi akan kesulitan bertarung dengan kesenian modern dan pop. Kita juga melihat bahwa panggung-panggung kesenian daerah makin terpinggirkan dan tak laku. Sebagai contoh berapa orang yang mengunjungi panggung kesenian tradisional di Sriwedari Solo? Bisa dihitung dengan jari. Barangkali bahkan nama ini pun sudah tak lagi diingat sebagai panggung kesenian dan pernah menjadi pusat para pekerja seni tradisional.

Sementara itu, kapitalisme global juga membuat berbagai kesenian daerah yang mungkin di daerahnya sendiri sudah tak laku menjadi laku di panggung dunia dengan berbagai perspektif pemanfaatannya. Dan selalu, kita tak siap bila itu terjadi?

Marah-marah tak cukup. Lebih baik, agar tak terulang, kita mulai menata, mengelola, dan menghidupkan kesenian daerah sebagai basis bagi pengembangan seni nasional dan kehadirannya di panggung internasional semakin mengokohkan keberadaan kita sebagai bangsa yang beradab di tengah pergaulan dunia yang semoga semakin beradab juga berkat hadirnya kesenian-kesenian kita.

Dengan demikian, kita menempatkan kesenian daerah yang notabene adalah kekayaan intelektual budaya rakyat kita di tempat yang selayaknya.

* A.J. Susmana, Alumnus Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, anggota Divisi Sastra Sanggar Satu Bumi, Jakarta

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 26 September 2009