Tuesday, June 30, 2009

Sosok: Djuhhari, Perahu Majapahit dan Spirit Bahari

-- Ingki Rinaldi

SEJAK membuat miniatur perahu layar tahun 1980, Djuhhari Witjaksono berupaya menyebarkan kesadaran bahari ke seluruh Nusantara. Berbagai miniatur perahu, mulai yang berada dalam botol hingga berukuran 2 meter, tersebar di seluruh Indonesia lewat tangan Djuhhari.

Sampai kini, kakek lima cucu itu masih aktif mengawasi Sanggar Seni Bahari Tradisional (SSBT) di Mojokerto, Jawa Timur, yang memproduksi miniatur perahu beragam model dan bentuk. Bahkan, sanggar itu juga menerima kaum muda yang mau berlatih kemahiran membuat miniatur perahu.

”Beberapa bulan lalu ada lima orang dari Ambon yang magang selama tiga bulan. Setelah itu, datang lagi 20 orang dari Riau untuk belajar di sini,” kata Djuhhari, pertengahan Juni lalu. Sejak tahun 1980 sudah banyak perajin dari seluruh Indonesia yang menimba ilmu padanya.

Pada 1986 Djuhhari melakukan penelitian kecil-kecilan untuk menemukan bentuk asli perahu Majapahit. Berbagai buku yang dipadu daya imajinasi dan keterampilan tangannya menghasilkan bentuk awal perahu Majapahit.

Ia pergi ke sejumlah candi, seperti Penataran di Blitar dan Borobudur di Magelang, untuk mempelajari bentuk-bentuk perahu masa itu. Ia juga mengunjungi Museum Maritim di Amsterdam, Belanda, untuk melengkapi pemahamannya soal bentuk perahu Majapahit.

Upaya rekonstruksi miniatur perahu Majapahit itu mendekati bentuk idealnya tahun 1991. Tiga tahun kemudian, sebuah pabrik rokok di Indonesia memasukkan model perahu Majapahit itu dalam kalender terbitan mereka dan didistribusikan ke seluruh Indonesia.

Miniatur perahunya makin terkenal hingga beberapa pihak meniru dan mengaku-aku sebagai pembuatnya. Djuhhari lalu mengurus hak ciptanya. Pada 4 Agustus 1999, ia mendapatkan hak cipta perahu Majapahit dari Departemen Kehakiman dan HAM (kini Departemen Hukum dan HAM).

Dua perahu Majapahit berukuran 2,5 meter sempat dilegonya. Salah satunya kepada mantan Gubernur Jatim Basofi Sudirman. Satu perahu jenis itu masih dia simpan walau ada yang menawarnya seharga Rp 40 juta.

”Namun, perahu itu tidak saya kasihkan. Ini untuk master saya,” kata Djuhhari.

Ekspedisi Majapahit

Ada sebentuk keranjang di ujung buritan perahu tersebut, untuk menampung batu dan difungsikan sebagai jangkar. Ada pula model burung-burung kecil yang hinggap di sejumlah bagian perahu Majapahit itu.

”Dulu, burung-burung dara ini dipakai untuk mengirimkan pesan,” kata Djuhhari.

Ada pula detail lain dalam perahu masternya, seperti tumpukan model bambu di sisi kiri dan kanan badan perahu yang berfungsi menambah daya apung perahu.

Keahlian dan ketekunan Djuhhari kemudian membuat dia menjadi salah satu rujukan untuk sejarah Majapahit. Pada 29 Juni 2009, misalnya, dia menjadi salah satu narasumber seminar tentang Majapahit yang digelar Japan Majapahit Association dan Direktorat Peninggalan Purbakala RI di Jakarta.

Japan Majapahit Association yang berkedudukan di Tokyo itu berniat menelusuri jejak kejayaan Kerajaan Majapahit dalam ekspedisi arung samudra keliling dunia. Perahu yang akan digunakan untuk tujuan itu rencananya dibuat berdasarkan tiruan kapal buatan zaman kejayaan Kerajaan Majapahit.

Takajo Yoshiaki dari Japan Majapahit Association mengatakan, karya Djuhhari dipakai sebagai salah satu acuan. Untuk itu, Djuhhari bakal mempresentasikan hasil riset dan telaahnya mengenai perahu Majapahit bersama sejumlah profesor dari Jepang, Perancis, Jerman, dan Indonesia. ”Karena memang belum pernah ada yang melihat kapal itu,” kata Yoshiaki.

Menurut Djuhhari, kemungkinan kendala pembangunan perahu Majapahit untuk kepentingan ekspedisi itu menyangkut masalah teknis. Pasalnya, miniatur perahu yang dia bikin sama sekali tak memperhitungkan kekuatan dan kelaikan layar.

”Perahu-perahu ini kan hanya ornamen. Makanya, nanti banyak ahli yang juga terlibat,” kata Djuhhari.

Ekspedisi itu ditujukan guna mengenalkan nilai-nilai kebudayaan tinggi bangsa Indonesia. Yoshiaki menjelaskan, tujuan ekspedisi itu untuk melihat kembali nilai-nilai luhur zaman Majapahit di bidang ekonomi, sosial, dan budaya.

”Kalau menunggu (bangsa) kita, tidak akan jalan-jalan. Ini mumpung ada orang yang peduli, ya kita sambut. Malu-malu sedikit, tidak apa-apa,” kata Djuhhari tentang semangat orang Jepang yang menggagas ekspedisi Majapahit itu.

Banting setir

Lahir di Malang, Djuhhari menyelesaikan pendidikan di STM Negeri Malang bagian bangunan pada 1957. Ibunya, seorang buruh tani, dan sang ayah mencukupi nafkah keluarga itu sebagai pengemudi. Mulai 1957-1963 Djuhhari bekerja pada salah satu biro kontraktor di Malang. Sejak 1963 dia menjadi kontraktor bangunan yang membangun gedung perkantoran.

Semasa muda, ia aktif pada organisasi Pandu Rakyat Indonesia. Namun, ia tak meneruskan aktivitas kepanduannya pada masa Pramuka karena merasa gerakan itu sudah ”disusupi” kepentingan politik. Merasa prihatin dengan sedikitnya orang Indonesia yang menekuni dunia kelautan, membuat Djuhhari banting setir pada 1980.

Selama 1980-1985 ia merasa usaha konstruksinya tak berkembang. Tahun 1985 semua dokumen yang berkaitan dengan usaha konstruksinya itu dibakarnya. ”Wis (sudah), ganti dunia baru,” ucap Djuhhari berseloroh.

Bermodal keterampilan tangan dan sejumlah buku, Djuhhari mulai berkreasi. Buku-buku itu dia peroleh dari berbagai sumber, mulai dari perpustakaan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Trowulan, Jatim, hingga membeli di luar negeri.

Berbagai ungkapan soal nenek moyang orang Indonesia yang disebut sebagai pelaut dan falsafah mengenai perahu justru menyemangati dia memulai usaha baru.

”Nenek moyang kita ini orang pelaut. Oleh karena itu, saya yakin, insya Allah, bahkan orang yang tinggal di pucuk gunung sekalipun ada yang punya jiwa bahari,” katanya.

Tak heran, misi utama dia memilih kerajinan miniatur perahu layar tradisional adalah mengenalkan soal budaya maritim yang seakan hilang di kalangan generasi muda. Padahal, kata Djuhhari, jenis perahu layar di Indonesia amat banyak. Namun, beragam jenis perahu itu belum terdata dengan lengkap dan jelas.

Bahkan untuk Jatim saja, tambahnya, terdapat tak kurang dari 50 jenis perahu layar tradisional. Bentuk-bentuk perahu layar tradisional itu tak banyak diketahui orang karena mulai dilupakan dan nyaris tak ada dokumentasi tentang hal itu.

”Kita ini bangsa agraris sekaligus maritim. Namun kita melupakan laut, justru orang asing yang memanfaatkan laut kita,” kata Djuhhari.

Sumber: Kompas, Rabu, 1 Juli 2009

Sosok: Djuhhari, Perahu Majapahit dan Spirit Bahari

-- Ingki Rinaldi

SEJAK membuat miniatur perahu layar tahun 1980, Djuhhari Witjaksono berupaya menyebarkan kesadaran bahari ke seluruh Nusantara. Berbagai miniatur perahu, mulai yang berada dalam botol hingga berukuran 2 meter, tersebar di seluruh Indonesia lewat tangan Djuhhari.

Sampai kini, kakek lima cucu itu masih aktif mengawasi Sanggar Seni Bahari Tradisional (SSBT) di Mojokerto, Jawa Timur, yang memproduksi miniatur perahu beragam model dan bentuk. Bahkan, sanggar itu juga menerima kaum muda yang mau berlatih kemahiran membuat miniatur perahu.

”Beberapa bulan lalu ada lima orang dari Ambon yang magang selama tiga bulan. Setelah itu, datang lagi 20 orang dari Riau untuk belajar di sini,” kata Djuhhari, pertengahan Juni lalu. Sejak tahun 1980 sudah banyak perajin dari seluruh Indonesia yang menimba ilmu padanya.

Pada 1986 Djuhhari melakukan penelitian kecil-kecilan untuk menemukan bentuk asli perahu Majapahit. Berbagai buku yang dipadu daya imajinasi dan keterampilan tangannya menghasilkan bentuk awal perahu Majapahit.

Ia pergi ke sejumlah candi, seperti Penataran di Blitar dan Borobudur di Magelang, untuk mempelajari bentuk-bentuk perahu masa itu. Ia juga mengunjungi Museum Maritim di Amsterdam, Belanda, untuk melengkapi pemahamannya soal bentuk perahu Majapahit.

Upaya rekonstruksi miniatur perahu Majapahit itu mendekati bentuk idealnya tahun 1991. Tiga tahun kemudian, sebuah pabrik rokok di Indonesia memasukkan model perahu Majapahit itu dalam kalender terbitan mereka dan didistribusikan ke seluruh Indonesia.

Miniatur perahunya makin terkenal hingga beberapa pihak meniru dan mengaku-aku sebagai pembuatnya. Djuhhari lalu mengurus hak ciptanya. Pada 4 Agustus 1999, ia mendapatkan hak cipta perahu Majapahit dari Departemen Kehakiman dan HAM (kini Departemen Hukum dan HAM).

Dua perahu Majapahit berukuran 2,5 meter sempat dilegonya. Salah satunya kepada mantan Gubernur Jatim Basofi Sudirman. Satu perahu jenis itu masih dia simpan walau ada yang menawarnya seharga Rp 40 juta.

”Namun, perahu itu tidak saya kasihkan. Ini untuk master saya,” kata Djuhhari.

Ekspedisi Majapahit

Ada sebentuk keranjang di ujung buritan perahu tersebut, untuk menampung batu dan difungsikan sebagai jangkar. Ada pula model burung-burung kecil yang hinggap di sejumlah bagian perahu Majapahit itu.

”Dulu, burung-burung dara ini dipakai untuk mengirimkan pesan,” kata Djuhhari.

Ada pula detail lain dalam perahu masternya, seperti tumpukan model bambu di sisi kiri dan kanan badan perahu yang berfungsi menambah daya apung perahu.

Keahlian dan ketekunan Djuhhari kemudian membuat dia menjadi salah satu rujukan untuk sejarah Majapahit. Pada 29 Juni 2009, misalnya, dia menjadi salah satu narasumber seminar tentang Majapahit yang digelar Japan Majapahit Association dan Direktorat Peninggalan Purbakala RI di Jakarta.

Japan Majapahit Association yang berkedudukan di Tokyo itu berniat menelusuri jejak kejayaan Kerajaan Majapahit dalam ekspedisi arung samudra keliling dunia. Perahu yang akan digunakan untuk tujuan itu rencananya dibuat berdasarkan tiruan kapal buatan zaman kejayaan Kerajaan Majapahit.

Takajo Yoshiaki dari Japan Majapahit Association mengatakan, karya Djuhhari dipakai sebagai salah satu acuan. Untuk itu, Djuhhari bakal mempresentasikan hasil riset dan telaahnya mengenai perahu Majapahit bersama sejumlah profesor dari Jepang, Perancis, Jerman, dan Indonesia. ”Karena memang belum pernah ada yang melihat kapal itu,” kata Yoshiaki.

Menurut Djuhhari, kemungkinan kendala pembangunan perahu Majapahit untuk kepentingan ekspedisi itu menyangkut masalah teknis. Pasalnya, miniatur perahu yang dia bikin sama sekali tak memperhitungkan kekuatan dan kelaikan layar.

”Perahu-perahu ini kan hanya ornamen. Makanya, nanti banyak ahli yang juga terlibat,” kata Djuhhari.

Ekspedisi itu ditujukan guna mengenalkan nilai-nilai kebudayaan tinggi bangsa Indonesia. Yoshiaki menjelaskan, tujuan ekspedisi itu untuk melihat kembali nilai-nilai luhur zaman Majapahit di bidang ekonomi, sosial, dan budaya.

”Kalau menunggu (bangsa) kita, tidak akan jalan-jalan. Ini mumpung ada orang yang peduli, ya kita sambut. Malu-malu sedikit, tidak apa-apa,” kata Djuhhari tentang semangat orang Jepang yang menggagas ekspedisi Majapahit itu.

Banting setir

Lahir di Malang, Djuhhari menyelesaikan pendidikan di STM Negeri Malang bagian bangunan pada 1957. Ibunya, seorang buruh tani, dan sang ayah mencukupi nafkah keluarga itu sebagai pengemudi. Mulai 1957-1963 Djuhhari bekerja pada salah satu biro kontraktor di Malang. Sejak 1963 dia menjadi kontraktor bangunan yang membangun gedung perkantoran.

Semasa muda, ia aktif pada organisasi Pandu Rakyat Indonesia. Namun, ia tak meneruskan aktivitas kepanduannya pada masa Pramuka karena merasa gerakan itu sudah ”disusupi” kepentingan politik. Merasa prihatin dengan sedikitnya orang Indonesia yang menekuni dunia kelautan, membuat Djuhhari banting setir pada 1980.

Selama 1980-1985 ia merasa usaha konstruksinya tak berkembang. Tahun 1985 semua dokumen yang berkaitan dengan usaha konstruksinya itu dibakarnya. ”Wis (sudah), ganti dunia baru,” ucap Djuhhari berseloroh.

Bermodal keterampilan tangan dan sejumlah buku, Djuhhari mulai berkreasi. Buku-buku itu dia peroleh dari berbagai sumber, mulai dari perpustakaan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Trowulan, Jatim, hingga membeli di luar negeri.

Berbagai ungkapan soal nenek moyang orang Indonesia yang disebut sebagai pelaut dan falsafah mengenai perahu justru menyemangati dia memulai usaha baru.

”Nenek moyang kita ini orang pelaut. Oleh karena itu, saya yakin, insya Allah, bahkan orang yang tinggal di pucuk gunung sekalipun ada yang punya jiwa bahari,” katanya.

Tak heran, misi utama dia memilih kerajinan miniatur perahu layar tradisional adalah mengenalkan soal budaya maritim yang seakan hilang di kalangan generasi muda. Padahal, kata Djuhhari, jenis perahu layar di Indonesia amat banyak. Namun, beragam jenis perahu itu belum terdata dengan lengkap dan jelas.

Bahkan untuk Jatim saja, tambahnya, terdapat tak kurang dari 50 jenis perahu layar tradisional. Bentuk-bentuk perahu layar tradisional itu tak banyak diketahui orang karena mulai dilupakan dan nyaris tak ada dokumentasi tentang hal itu.

”Kita ini bangsa agraris sekaligus maritim. Namun kita melupakan laut, justru orang asing yang memanfaatkan laut kita,” kata Djuhhari.

Sumber: Kompas, Rabu, 1 Juli 2009

Penerbitan Buku Islam Terus Bertumbuh

Jakarta, Kompas - Penerbitan buku-buku bertema Islam terus bertumbuh. Sebagian besar yang diterbitkan berupa buku terjemahan, terutama karya-karya penulis Timur Tengah.

Hal itu dikemukakan Kepala Bidang Pameran dan Sarana Usaha Ikatan Penerbit Indonesia Kota Jakarta sekaligus mantan Ketua Islamic Book Fair 2009 M Anis Baswedan, Senin (29/6).

”Terbitan buku bertema Islam di Jakarta sekitar 1.200 judul per bulan. Sekarang yang sedang tren buku pegangan, referensi, dan beragam buku pegangan praktis,” ujar Anis yang juga mengelola Penerbitan Akbar Media Ekasarana seusai seminar bertema ”Kontroversi Copy Right Buku Terjemahan Timur Tengah”. Seminar tersebut merupakan rangkaian dari acara Pesta Buku Jakarta 2009 yang berlangsung 27 Juni hingga 5 Juli mendatang.

Koordinator Kompartemen Promosi dan Minat Baca IKAPI Pusat Robinson Rusdi menambahkan, booming buku-buku bernuansa Islam terjadi semenjak reformasi. ”Sebelumnya sudah ada, tetapi tidak sebanyak sekarang. Pada masa krisis, orang ingin punya pegangan dan kembali kepada Tuhan. Muncul penerbit yang ingin menerbitkan buku yang intinya bagaimana Islam dan agama bisa membantu dalam kehidupan di tengah krisis. Belakangan, pertumbuhan judul buku bernuansa Islam diperkirakan 20 persen per tahun,” ujarnya.

Dia menjelaskan, jumlah penerbit juga bertambah seiring dengan tingginya peminat. Penerbit buku bertema Islam di Jakarta dan sekitarnya 157 penerbit dari total jumlah anggota IKAPI Jakarta sekitar 300 anggota. Namun, sejauh ini karya terjemahan masih lebih dominan, yakni sekitar 80 persen, terutama karya penulis dari Arab Saudi dan Mesir. (INE)

Sumber: Kompas, Rabu, 1 Juli 2009

Pendidikan Luar Negeri: Bahasa Indonesia Menjadi Pilihan di Australia

-- Ester Lince N

BAHASA Indonesia menjadi salah satu mata pelajaran bahasa yang ditawarkan di beberapa sekolah di Australia. Sejumlah siswa yang memilih pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah mereka bahkan tertarik juga untuk belajar kebudayaan dan berkunjung ke Indonesia.


Bahasa Indonesia diajarkan di Ferny Grove State School di Brisbane, Queensland, Australia. B ahasa Indonesia cukup diminati sehingga diajarkan sejak SD, SMP, dan SMA. (KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU)

”Saya tertarik ingin tahu kebudayaan Indonesia. Suatu saat nanti saya berharap bisa ke Indonesia. Saya mau berenang di pantainya,” ujar Michael Winn, siswa kelas XII di Carey Baptist Grammar School Melbourne.

Sayangnya, travel advice soal kunjungan ke Indonesia membuat keinginan siswa Australia untuk belajar Bahasa Indonesia di negeri asalnya itu belum kunjung terlaksana.

Keinginan untuk bisa mengajak siswa SMP-SMA di Ferny Grove State School di Brisbane, Queensland, belajar langsung dari penutur asli di Indonesia memang hingga saat ini belum terwujud. Namun, pengajar Bahasa Indonesia di sekolah itu tak kehilangan akal.

Tak bisa ke Indonesia, akhirnya sejumlah siswa yang memilih belajar bahasa Indonesia pun diajak ke Malaysia untuk belajar bahasa dan kebudayaan Melayu. Kesempatan itu dimanfaatkan sebagai ajang untuk mempraktikkan kemampuan berbahasa Indonesia yang dialeknya hampir mirip dengan bahasa Melayu yang dipercakapkan di Malaysia.

Dalam kunjungan ke sejumlah sekolah di Melbourne dan Brisbane yang didukung Australian Education International (AEI) di Indonesia awal Juni lalu, Kompas berkesempatan melihat proses belajar Bahasa Indonesia bagi siswa SD, SMP, dan SMA Australia. Pilihan pelajaran Bahasa Indonesia ternyata cukup diminati siswa Australia, di samping bahasa Perancis, Jerman, dan Mandarin.

Fiona Hudghton, Kepala Departemen Bahasa di Ferny Grove State School, mengatakan, Bahasa Indonesia sudah diajarkan di sekolah itu sekitar delapan tahun lalu. Pelajaran bahasa dengan pilihan Bahasa Indonesia dan Jerman wajib diikuti siswa kelas VIII. Sekitar 40 persen siswa memilih untuk belajar Bahasa Indonesia.

”Sejak tahun lalu, Bahasa Indonesia mulai diajarkan sejak SD. Itu karena ada permintaan dari orangtua siswa. Alasannya karena Indonesia negara tetangga Australia, tidak ada salahnya untuk mengajarkan bahasanya kepada siswa di sini,” ujar Fiona yang juga menjadi salah satu pengajar Bahasa Indonesia.

Belajar Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah Australia justru terlihat lebih menarik. Saat siswa kelas VIII belajar kata depan atau preposisi, Fiona memanfaatkan berbagai hewan mainan berukuran kecil sebagai alat bantu untuk memudahkan pemahaman siswa.

Dengan memindahkan posisi berbagai hewan mainan itu, siswa jadi lebih paham bagaimana menggunakan kata di belakang, di atas, di samping, dan lainnya.

Sementara itu, bagi siswa kelas XI dan XII, pelajaran Bahasa Indonesia juga dikaitkan dengan berbagai aspek kehidupan di negara Indonesia, mulai dari budaya, sastra, musik, dan film. Ketika Kompas, tvOne, dan staf AEI Surabaya Josephine Ratna melihat jam pelajaran Bahasa Indonesia, siswa kelas XI dan XII memanfaatkan untuk berdiskusi soal kehidupan remaja di Indonesia.

Axel, misalnya, dengan bahasa Indonesia yang cukup lancar menanyakan apakah remaja Indonesia kenal dengan budaya pesta bersama teman-teman sekolah. Sementara itu, yang lainnya bertanya soal kesempatan anak-anak lulusan SMA melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.

Di Melbourne, kelas Bahasa Indonesia salah satunya ditawarkan di Carey Baptist Grammar School sejak kelas VII. Bahasa Indonesia juga menjadi pilihan di antara Bahasa Mandarin, Jerman, dan Perancis. Siswa kelas XII yang mengambil kelas Bahasa Indonesia mesti siap-siap dengan ujian Bahasa Indonesia untuk kelas Victorian Certificate of Education (VCE) atau International Baccalaureate.

Heather Hardie, pengajar Bahasa Indonesia, berharap supaya travel advice ke Indonesia bisa dipertimbangkan kembali. ”Saya menikmati saat di Indonesia. Saya berharap anak-anak yang mengambil kelas bahasa bisa ke Indonesia. Sebenarnya, Indonesia tidak seseram yang dibayangkan orang,” ujar Heather.

Sumber: Kompas, Rabu, 1 Juli 2009

Pendidikan Luar Negeri: Bahasa Indonesia Menjadi Pilihan di Australia

-- Ester Lince N

BAHASA Indonesia menjadi salah satu mata pelajaran bahasa yang ditawarkan di beberapa sekolah di Australia. Sejumlah siswa yang memilih pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah mereka bahkan tertarik juga untuk belajar kebudayaan dan berkunjung ke Indonesia.

”Saya tertarik ingin tahu kebudayaan Indonesia. Suatu saat nanti saya berharap bisa ke Indonesia. Saya mau berenang di pantainya,” ujar Michael Winn, siswa kelas XII di Carey Baptist Grammar School Melbourne.

Sayangnya, travel advice soal kunjungan ke Indonesia membuat keinginan siswa Australia untuk belajar Bahasa Indonesia di negeri asalnya itu belum kunjung terlaksana.

Keinginan untuk bisa mengajak siswa SMP-SMA di Ferny Grove State School di Brisbane, Queensland, belajar langsung dari penutur asli di Indonesia memang hingga saat ini belum terwujud. Namun, pengajar Bahasa Indonesia di sekolah itu tak kehilangan akal.

Tak bisa ke Indonesia, akhirnya sejumlah siswa yang memilih belajar bahasa Indonesia pun diajak ke Malaysia untuk belajar bahasa dan kebudayaan Melayu. Kesempatan itu dimanfaatkan sebagai ajang untuk mempraktikkan kemampuan berbahasa Indonesia yang dialeknya hampir mirip dengan bahasa Melayu yang dipercakapkan di Malaysia.

Dalam kunjungan ke sejumlah sekolah di Melbourne dan Brisbane yang didukung Australian Education International (AEI) di Indonesia awal Juni lalu, Kompas berkesempatan melihat proses belajar Bahasa Indonesia bagi siswa SD, SMP, dan SMA Australia. Pilihan pelajaran Bahasa Indonesia ternyata cukup diminati siswa Australia, di samping bahasa Perancis, Jerman, dan Mandarin.

Fiona Hudghton, Kepala Departemen Bahasa di Ferny Grove State School, mengatakan, Bahasa Indonesia sudah diajarkan di sekolah itu sekitar delapan tahun lalu. Pelajaran bahasa dengan pilihan Bahasa Indonesia dan Jerman wajib diikuti siswa kelas VIII. Sekitar 40 persen siswa memilih untuk belajar Bahasa Indonesia.

”Sejak tahun lalu, Bahasa Indonesia mulai diajarkan sejak SD. Itu karena ada permintaan dari orangtua siswa. Alasannya karena Indonesia negara tetangga Australia, tidak ada salahnya untuk mengajarkan bahasanya kepada siswa di sini,” ujar Fiona yang juga menjadi salah satu pengajar Bahasa Indonesia.

Belajar Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah Australia justru terlihat lebih menarik. Saat siswa kelas VIII belajar kata depan atau preposisi, Fiona memanfaatkan berbagai hewan mainan berukuran kecil sebagai alat bantu untuk memudahkan pemahaman siswa.

Dengan memindahkan posisi berbagai hewan mainan itu, siswa jadi lebih paham bagaimana menggunakan kata di belakang, di atas, di samping, dan lainnya.

Sementara itu, bagi siswa kelas XI dan XII, pelajaran Bahasa Indonesia juga dikaitkan dengan berbagai aspek kehidupan di negara Indonesia, mulai dari budaya, sastra, musik, dan film. Ketika Kompas, tvOne, dan staf AEI Surabaya Josephine Ratna melihat jam pelajaran Bahasa Indonesia, siswa kelas XI dan XII memanfaatkan untuk berdiskusi soal kehidupan remaja di Indonesia.

Axel, misalnya, dengan bahasa Indonesia yang cukup lancar menanyakan apakah remaja Indonesia kenal dengan budaya pesta bersama teman-teman sekolah. Sementara itu, yang lainnya bertanya soal kesempatan anak-anak lulusan SMA melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.

Di Melbourne, kelas Bahasa Indonesia salah satunya ditawarkan di Carey Baptist Grammar School sejak kelas VII. Bahasa Indonesia juga menjadi pilihan di antara Bahasa Mandarin, Jerman, dan Perancis. Siswa kelas XII yang mengambil kelas Bahasa Indonesia mesti siap-siap dengan ujian Bahasa Indonesia untuk kelas Victorian Certificate of Education (VCE) atau International Baccalaureate.

Heather Hardie, pengajar Bahasa Indonesia, berharap supaya travel advice ke Indonesia bisa dipertimbangkan kembali. ”Saya menikmati saat di Indonesia. Saya berharap anak-anak yang mengambil kelas bahasa bisa ke Indonesia. Sebenarnya, Indonesia tidak seseram yang dibayangkan orang,” ujar Heather.

Sumber: Kompas, Rabu, 1 Juli 2009

Purbakala: Ditemukan Struktur Petirtaan Abad VIII

SEMARANG, KOMPAS - Struktur berupa tumpukan batu yang diduga petirtaan atau pemandian dari abad VIII ditemukan di Desa Derekan, Kecamatan Pringapus, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jateng pekan ini berencana meneliti struktur yang sebagian besar masih tertimbun tanah sekitar satu meter itu.

Struktur itu persis berada di tepi sungai yang juga terdapat permandian air panas. Tumpukan batu itu berada sekitar 200 meter dari sisi utara kompleks Candi Ngempon atau dikenal pula dengan nama Candi Muncul yang merupakan candi Hindu dari Wangsa Sanjaya, sekitar abad ke-8. Candi Ngempon dan struktur itu hanya dipisahkan sebuah sungai.

Hanya tampak tumpukan batu memanjang dan siku yang menyiratkan struktur itu berbentuk bangunan persegi. Sebagian besar batu masih terkubur tanah. Struktur itu ditemukan warga sekitar yang hendak membangun jalan setapak menurun menuju kolam pemandian air panas Banjaran, Kamis (25/6). Mengetahui ada batu aneh, warga menghentikan penggalian tanah.

”Saya langsung memberi tahu petugas yang sedang memugar Candi Ngempon. Dia juga meminta penggalian dihentikan sampai ada petugas dari Balai Purbakala,” kata Nurcholis (58), pemilik pemandian air panas Banjaran, Selasa (30/6).

Nurcholis mengatakan tidak akan menghalangi petugas Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jateng jika akan menggali di lahan miliknya itu, tetapi dia berharap ada penggantian yang sesuai.

Petugas Subkelompok Registrasi BP3 Jateng Wahyu yang memeriksa lokasi saat dikonfirmasi mengatakan, struktur itu diduga merupakan petirtaan atau pemandian yang diperkirakan seusia dengan Candi Ngempon. Direncanakan pekan ini petugas BP3 Jateng sudah akan mulai membongkar struktur itu.

”Kemungkinan besar bukan candi karena di sekitarnya sudah ada Candi Ngempon. Apakah merupakan petirtaan juga baru bisa dipastikan setelah direkonstruksi sehingga diketahui bentuk aslinya,” ujarnya. (GAL)

Sumber: Kompas, Rabu, 1 Juli 2009

Monday, June 29, 2009

Hasanuddin yang Melahirkan EKI dan ESI

-- Agnes Rita Sulistyawaty

Hasanuddin WS dikenal sebagai ahli sastra. Urusan kebahasaan bukanlah bidang yang didalaminya. Namun, justru dari tangan dia lahir Ensiklopedi Kebahasaan Indonesia, sebuah ensiklopedi perdana milik negeri ini.

Hasanuddin WS (KOMPAS/AGNES RITA SULISTYAWATY)

Guru besar sastra di Universitas Negeri Padang (UNP) sejak tahun 2003 itu nekat menulis EKI, akronim Ensiklopedi Kebahasaan Indonesia, selama lima tahun terakhir. Ketiadaan ensiklopedi kebahasaan di Indonesia sangat kuat menggerakkannya mengumpulkan satu demi satu entri hingga menjadi ensiklopedi setebal 1.370 halaman, yang dibagi dalam empat buku.

Ia pernah mengontak teman-teman linguis dan mengusulkan agar mereka membuat ensiklopedi kebahasaan. Usul itu dinilai terlalu berat. Memulai sesuatu memang lebih sulit ketimbang menyempurnakan yang sudah ada. Hasanuddin lantas memutuskan memulai menyusun ensiklopedi. Di sinilah dia belajar tentang ilmu bahasa dan banyak mendapatkan info baru.

”Saya bukan linguis. Latar belakang ilmu saya adalah sastra. Memang orang sastra belajar bahasa, tapi tidak spesifik. Saya tak asing, tapi juga tak terlalu dekat dengan bahasa. Menyusun EKI adalah sesuatu yang baru, pengetahuan baru,” ucap pria yang 23 tahun menjadi dosen sastra itu.

Setumpuk buku tentang kebahasaan dipelajari Hasanuddin demi melahirkan ensiklopedi itu. Sebagian besar materi berasal dari Pusat Bahasa, yang lain dari delapan buku besar yang dijadikan rujukan tim penyusun. Bersama Hasanuddin, ada empat redaktur penyelia, yakni Prof Chaedar Alwasilah, Prof Atmazai, Prof Ilza Mayuni, dan Prof Khairil Anshari, serta tiga redaktur yang setia bekerja sama dalam melahirkan ensiklopedi.

Hasil kerja tim itu membuat pembaca buku bisa menemukan mulai dari beragam istilah kebahasaan, para tokoh yang berperan dalam urusan kebahasaan, beragam aksara besar di Indonesia dan dunia, hingga sejarah kebahasaan.

Hal yang menarik, kendati ensiklopedi diberi judul EKI, beragam isi dalam ensiklopedi ini justru membicarakan persoalan bahasa dalam lingkup global. Tata bahasa dalam bahasa Inggris, misalnya, mendapat tempat di ensiklopedi ini.

”Awalnya, saya dan tim mau menyusun ensiklopedi yang berisi kasus-kasus kebahasaan Indonesia. Tapi pada awal menyusun, tim tak bisa menghindarkan diri dari kebahasaan dunia,” kata Hasanuddin. Dalam beberapa kasus, mencari referensi kebahasaan asing menjadi lebih mudah karena ketersediaan literatur dan ahli yang memadai.

Beragam aksara Indonesia juga ditampilkan dalam EKI. Misalnya, aksara Rencong, aksara Pegon, atau aksara Jawa. Aksara Indonesia ini bersanding dengan aksara yang lahir di luar negeri seperti aksara Han’gul dari Korea Selatan.

EKI lahir berselang lima tahun setelah Ensiklopedi Sastra Indonesia (ESI) yang juga karya Hasanuddin. ESI merupakan ensiklopedi pertamanya. ”Dalam politik nasional kita, bahasa merupakan bagian dari kebudayaan. Sastra bagian dari bahasa itu. Kalau sastra ada ensiklopedi, mengapa bahasa enggak ada?”

Tahun 2004 Hasanuddin mengeluarkan ESI yang berisi istilah bidang sastra, tokoh sastra, serta karya sastra. Selagi menyiapkan EKI, Ensiklopedi Sastra Indonesia mengalami perbaikan hingga terbit edisi revisi tahun 2007.

Tugas kliping

Sebelum masuk perguruan tinggi, Hasanuddin mengajar di sekolah dasar. Sebagai guru SD, segala macam ilmu pengetahuan harus dipelajarinya.

Sekolah pendidikan guru (SPG), tempat Hasanuddin menuntut ilmu, mempersiapkan dia sebagai seorang guru, baik dari sisi keilmuan maupun mental. Dia masih ingat, serangkaian ”doktrin” tentang profesi guru yang disampaikan saat di bangku SPG.

”Orang lain boleh salah, tapi guru tidak boleh salah karena guru itu yang digugu lan ditiru. Kalau guru salah, bisa bahaya,” ujar pria yang gemar belajar bahasa daerah di Indonesia itu.

Di SPG pula Hasanuddin belajar tentang bercerita. Bercerita, selain kemampuan memainkan alat musik, rupanya dibutuhkan bagi calon guru SD. Tujuannya agar siswa didik yang berusia belia tertarik mendengarkan materi yang diajarkan guru.

Dari pembelajaran kemampuan bercerita itulah, Hasanuddin mulai tertarik pada dunia sastra. Dia mulai melahirkan serangkaian cerpen dan puisi.

Mulai saat itulah, ketertarikan dia pada dunia sastra bersemi. Setelah menamatkan Fakultas Sastra IKIP Padang, Hasanuddin mengajar di almamaternya hingga kini.

Sekitar tahun 2000 ia mengasuh mata kuliah Sanggar Bahasa dan Sastra. Salah satu topik yang diberikan adalah menata kliping. Sebagai guru, Hasanuddin merasa bertanggung jawab memberi contoh kliping. Lantaran tertarik sastra, jadilah ia mengkliping artikel sastra dari pelbagai koran. Ribuan artikel sastra yang dikliping Hasanuddin tersimpan dalam banyak kardus.

Suatu hari ia membaca buku pintar tentang uang. Informasi dalam buku pintar itu baginya menarik dan enak dibaca. Penulis buku itu mengatakan, buku dilahirkan dari kebiasaan ”memulung” informasi. Hasanuddin lalu teringat koleksi kliping dalam kardus. Mulailah dia menulis ensiklopedi. Sejumlah kliping, baru dia baca ulang saat menuliskan ESI.

Dalam edisi pertama, Hasanuddin bersama tim merampungkan daftar istilah kesastraan. Sejumlah nama dan karya sastrawan belum banyak dimasukkan dalam ensiklopedi ini. Baru pada edisi revisi, nama para sastrawan masuk dalam ESI.

Sebagai pembuat ensiklopedi, ia leluasa memasukkan nama sastrawan Indonesia, baik yang punya sederet karya maupun yang ”sekali berarti setelah itu mati”.

Keberadaan ESI menjadi penting sebagai pencatat sastrawan dan karya yang pernah mewarnai jagat sastra Indonesia. Pada sebuah ensiklopedi sastra dunia, hanya dua nama sastrawan Indonesia yang tercantum: Mpu Prapanca dan Pramoedya Ananta Toer. Padahal, saat merevisi ESI dalam kurun tiga tahun, ia memasukkan tambahan nama dan karya sastrawan Indonesia hingga 250 halaman.

Dua ensiklopedi yang telah ditelurkannya membuat Hasanuddin tak berhenti berpikir. Selagi mengerjakan revisi EKI, dia juga menimbang untuk mulai melahirkan ensiklopedi lain yang lebih spesifik, semisal ensiklopedi artefak Nusantara.

”Kalau tak ditulis, jangan-jangan anak-cucu nanti tak lagi mengenal kebudayaan yang pernah ada di sini. Selain itu, apa yang ada dalam ensiklopedi bisa menjadi klaim Indonesia biar orang di luar tak bisa mengklaim atas materi yang tertulis,” ucapnya.

Ia mengakui dua ensiklopedi yang dilahirkannya bersama tim itu tak sempurna. Porsi penjabaran sastrawan, misalnya, tak semuanya sama. Sastrawan sekelas Sutardji Calzoum Bachri, misalnya, mendapatkan penjelasan panjang dibandingkan dengan sastrawan yang baru lahir.

”Ini semata-mata karena banyak hal bisa diceritakan tentang sastrawan tertentu, semisal Sutardji. Kalau saya menceritakan dia sama dengan sastrawan lain, saya jadi tak menghargainya,” ucapnya.

Hal serupa terjadi pada EKI. Sejumlah penjelasan entri bisa memakan berlembar-lembar halaman, seperti penjelasan tentang Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Namun, ada pula yang beberapa baris saja.

Kritik tentang porsi penjelasan yang tak sama itu menjadi satu dari beragam kritik yang dia terima. Ia menerima kritik itu seraya mengajak tuan-puan pengkritik untuk menghasilkan ensiklopedi yang lebih baik. ”Makin banyak ensiklopedi serupa, semakin baik karena orang bisa punya banyak referensi,” ujarnya.

Sumber: Kompas, Senin, 29 Juni 2009

Sekolah Berstandar Internasional Menyalahi UUD 1945

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Mewajibkan penggunaan bahasa Inggris dalam penyelenggaraan sekolah berstandar internasional (SBI) merupakan bentuk pelanggaran terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

Rektor Universitas Lampung Sugeng P. Harianto merasa prihatin dengan tren sekolah berstandar internasional (SBI) yang kian merambah dunia pendidikan di Indonesia saat ini.

"SBI mewajibkan penggunaan bahasa Inggris dalam kegiatan pendidikannya. Ini kan melanggar undang undang dasar kita yang mewajibkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, kedua bahasa daerah, ketiga baru bahasa asing," kata dia di ruang kerjanya, Kamis, (25-6).

Menurut dia, SBI nantinya hanya menghasilkan anak-anak Indonesia yang mampu berbahasa Inggris, tetapi lemah dalam kemampuan berbahasa Indonesia. Bahkan, akan mengancam perkembangan Bahasa Indonesia ke depan. Ia menilai kebijakan ini tidak memiliki semangat nasionalisme.

"Tidak semua orang memiliki kemampuan berbahasa Indonesia dengan baik, termasuk saya. Bahasa Indonesia itu kan ada keilmuannya, ini seharusnya yang kita gunakan sebagai alat komunikasi utama dalam dunia pendidikan di Indonesia, bukan bahasa lainnya," kata dia.

Lucunya, menurut Sugeng, penggunaan istilah internasional juga sesuatu yang tidak tepat. "Kalo muridnya berasal dari mancanegara seperti Malaysia, Inggris, Thailand dan lain sebagainya, baru sekolah tersebut dikatakan berlabel internasional. Tetapi, ini kan pesertanya orang Indonesia sendiri mengapa harus bertitel internasional. Seperti halnya dengan istilah seminar internasional, tetapi pesertanya lokal, nah ini kan sesuatu yang tidak tepat. Jangan sampai hanya karena berlabel internasional dan dibungkus dengan bahasa Inggris, cuma upaya untuk menaikkan SPP saja," kata dia.

Sugeng mengatakan penggunaan bahasa Indonesia dalam dunia pendidikan adalah hal terpenting. Selain penggunaan bahasa Indonesia, ia juga menekankan upaya pelestarian bahasa daerah dalam hal ini bahasa Lampung.

"Seharusnya yang dikembangkan di dunia pendidikan itu bahasa daerah, apalagi kondisi bahasa Lampung saat ini cukum memprihatinkan. Unila sendiri telah memgupayakan pelestarian bahasa Lampung. Kami telah menciptakan kamus bahasa Lampung, bahkan sekarang telah berbentuk elektronik. Jadi, jika Anda ingin mengubah satu kalimat bahasa Indonesia, tinggal ketik maka akan langsung dialihbahasakan ke bahasa Lampung," kata dia.

Bahasa Lampung

Keprihatinan ini juga disampaikan oleh Kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung, Agus Sri Danardana. Menurut dia, kondisi perkembangan bahasa daerah khususnya bahasa Lampung sangat memprihatinkan. Ia berharap seharusnya pemerintah daerah memiliki perhatian dalam melestarikan bahasa Lampung.

"Dalam Undang-Undang Otonomi Daerah sebenarnya pemerintah daerah memiliki kewajiban dalam upaya melestarikan bahasa di daerahnya masing masing. Namun saya menilai Pemerintah Daerah Lampung masih kurang memperhatikan pengembangan bahasa daerah," kata dia.

Agus mengakui dalam dunia pendidikan, bahasa Lampung sempat dimasukkan dalam kurikulum berupa muatan lokal. Namun, hal ini belumlah cukup karena dalam muatan lokal tersebut siswa hanya diajarkan sebatas pengenalan aksara Lampung.

"Sedangkan mempelajari bahasa tidak sesederhana itu, tidaklah cukup jika mempelajari aksara saja. Seharusnya pelajaran bahasa Lampung juga sampai ke tahapan belajar berbahasa dan berbicara dalam bahasa Lampung," kata dia. n MG14/S-1

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 27 Juni 2009

Sunday, June 28, 2009

Sastra: Cerpen-cerpen Terbaik "Kompas"

-- Agus Noor*

TRADISI pemilihan cerpen terbaik Kompas yang sudah berlangsung sejak 1992 telah menghasilkan 15 cerpen terbaik, mulai dari Kado Istimewa (Jujur Prananto) hingga Cinta di Atas Perahu Cadik (Seno Gumira Ajidarma). Hingga tahun 2004, pemilihan cerpen terbaik itu dilakukan oleh ”orang dalam Kompas”, yakni para redaktur yang dianggap punya kompetensi dengan dunia sastra. Mulai 2005, Kompas mencoba mengubah dengan memberikan otoritas pemilihan itu kepada ”orang luar”, yakni mereka yang dianggap memiliki kredibilitas dalam sastra sebagai juri untuk melakukan pemilihan cerpen terbaik itu.

Membaca cerpen-cerpen terbaik itu, kita bisa menemukan ”benang merah” yang seolah menandai orientasi estetis dari cerpen-cerpen pilihan Kompas. Ada kecenderungan pada pilihan realisme sebagai gaya bercerita. Bahkan, cerpen Derabat dan Mata yang Indah (keduanya karya Budi Darma) yang terpilh sebagai cerpen terbaik Kompas 1999 dan 2001, yang memiliki kecenderungan sebagai cerita yang surealis pun dituturkan dengan teknik penceritaan yang realis bila ditilik dari penggunaan dan pengolahan gaya bahasanya. Begitu pula Jejak Tanah (Danarto), cerpen terbaik 2002, memakai pola penceritaan realis meski kisah yang diusungnya adalah kisah yang berbau magis.

Sementara cerpen yang lebih psikologis, semacam Waktu Nayla (Djenar Mahesa Ayu), cerpen terbaik 2003, mencoba memakai teknik stream of consciousness, untuk mencapai alusi sebagaimana banyak dipakai pada cerita surealis, tetapi masih bisa dikenali sebagai cerita yang realis. Upaya untuk keluar dari stereotip penceritaan realis coba dilakukan Radhar Panca Dahana dalam Sepi Pun Menari di Tepi Hari, cerpen terbaik 2004. Teknik realisme itu terasa lebih subtil dalam cerpen terbaik 2006, Ripin (Ugoran Prasad), terlebih pada caranya menyelesaikan cerita yang mendekati surealis. Selebihnya, cerpen-cerpen terbaik itu adalah cerpen realis secara teknis, bentuk, dan pengolahan bahasanya.

Perlu dicatat, realisme dalam cerpen-cerpen terbaik itu bukanlah ”realisme yang tunggal”, melainkan realisme dengan banyak gaya sebagaimana kita banyak menemukan gaya dan bentuk realisme pada cerpen-cerpen Cekov, Kawabata, Maxim Gorky, Guy de Maupassant, O Henry, atau Ignasio Silone. Hal itu setidaknya memperlihatkan: meskipun realisme masih terasa dominan dan kuat dalam cerpen-cerpen kita, pada sisi lain tampak upaya untuk menemukan gaya-gaya penceritaan realisme yang beragam.

Maka, kita akan segera menemukan betapa realisme yang dikembangkan Kuntowijoyo dalam Anjing-anjing Menyerbu Kuburan, cerpen terbaik 1997, misalnya, sangat berbeda dengan gaya realisme linear yang dipakai Jujur Prananto dalam Kado Istimewa. Realisme Kuntowijoyo bukanlah realisme yang semata-mata berupaya mengisahkan ”realitas” secara langsung, tetapi juga memasukkan unsur-unsur kepercayaan magis sebagai bagian dari gaya realisme berceritanya. Dengan begitu, realisme bukanlah semata-mata sebuah upaya untuk melihat realitas secara kritis, tetapi juga sebuah cara untuk menceburkan diri dalam realitas. Dengan begitu, kisah tidak terasa disusun dengan satu kesadaran kerangka ploting tertentu, tetapi membiarkannya mengalir untuk menemukan puncak kejutannnya sendiri. Meski, pada tingkat tertentu, realisme Kuntowijoyo juga masih berpretensi untuk menjelaskan realitas (di luar teks) ke dalam konflik dan alur (realitas di dalam teks). Itulah yang membuat realisme Kuntowijoyo terasa kuat dengan tendensi sosiologis dan antropologis. Begitu pun kita bisa merasakan gaya realisme yang berbeda pada Pelajaran Mengarang (Seno Gumira Ajidarma), cerpen terbaik 1992, dengan realisme yang dikembangkan Kuntowijoyo. Pada Pelajaran Mengarang, Seno menempatkan realisme sebagai konkretisasi realitas (suasana bisa terasa dan teraba dalam cerita) melalui pendeskripsian yang detail dan intens, hingga realitas bisa lebih tampak keras dan kuat dalam teks, seolah yang realisme berubah menjadi semacam hiper realisme. Dengan kata lain, realisme bukanlah semata memerikan apa yang nyata, tetapi untuk lebih mempertegas dan mempertajam apa yang ingin kita kenali sebagai yang nyata itu.

Pada akhirnya, dalam cerpen-cerpen terbaik Kompas itu, kita merasakan betapa realisme adalah sebuah upaya untuk menemukan pencapaian ”estetis penceritaan” dengan mencoba memformulasikan apa yang disebut kenyataan sosiologis ke dalam kenyataan literer. Pada tingkat ini, sebuah cerita yang baik bukanlah semata-mata bertumpu pada isu atau tema yang diangkatnya, tetapi lebih bagaimana cara seorang pengarang menemukan gaya dan bahasa penceritaannya. Maka, meski memakai jalan realisme sebagai gaya berceritanya, tetap saja sebuah cerita bisa menjadi unggul ketika berhasil menghadirkan dalam dirinya sesuatu yang khas. Kekhasan itu tampak dalam narasi penceritaan

Ada satu kekhasan lain yang menjadi kekuatan cerpen-cerpen terbaik Kompas itu, yakni ending ceritanya. Sejak dari Kado Istimewa, kita sudah menemukan bahwa ending menjadi sesuatu yang penting. Kado yang disiapkan Bu Kustiyah untuk perkawinan anak Pak Gi, orang penting yang dikenalnya semasa zaman gerilya, adalah sesuatu yang menautkan hubungan batin Bu Kustiyah dengan pejabat itu. Bagi Bu Kustiyah, kado itu adalah sesuatu yang sangat istimewa, sesuatu yang menyimpan kenangan dan kehangatan persaudaraan. Tetapi, kado berupa tiwul yang disiapkan dengan sepenuh hati oleh Bu Kustiyah itu akhirnya dibuang begitu saja. Kado itu tak sepadan dengan kado lainnya yang berupa cek dan kunci mobil. Ending yang sesungguhnya sudah bisa ditebak sejak pertengahan cerita tetap terasa menampilkan ironi karena kita merasakan bagaimana semua kenangan masa lalu semasa perjuangan tak ada harganya apa pun sekaligus dipersandingkan dengan kontras nilai dan ukuran yang lebih material

Pada Pelajaran Mengarang, ending itu terasa lebih kuat menyentak, juga karena ada kontras yang dilukiskan dengan keras. Kita tahu nasib Sandra memang buruk. Kita sudah tahu, macam apa ibu Sandra. Tetapi, kesimpulan Ibu Guru Tati bahwa semua muridnya mengalami masa kanak-kanak yang baik itulah yang menjadi kontras yang kuat dengan kalimat yang ditulis Sandra dalam karangannnya: Ibuku seorang pelacur…. Dalam Lampor (Joni Ariadinata), cerpen terbaik 1994, kontras itu muncul dalam pelukisan watak Tito yang tampak santun seolah ia adalah harapan di tengah karut-marut lingkungan dan keluarga yang brengsek yang hidup di kekumuhan Kali Code. Seperti ada yang diam-diam disembunyikan dalam kesantunan Tito itu, si anak paling baik, yang siap meledak di akhir kisah. Ketika malam-malam yang sumpek oleh birahi, Tito beringsut menghampiri adiknya Rahanah, kita pun ngeri membayangan apa yang terjadi. Dengan open ending, apa yang terjadi itu dibiarkan terhampar dalam imajinasi pembaca.

Dalam cerita yang sangat topikal dan kuat dengan isu aktual (yang membuat sebuah cerita bisa terjatuh dalam risalah sosial), seperti Dua Tengkorak Kepala (Motinggo Busye), cerpen terbaik 2000, ending jugalah yang ”menyelamatkan” cerpen ini. Setelah semua informasi soal kekejaman selama Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, tentang sosok Ali yang pergi hingga Libya dan menyebut dirinya sebagai ”putra Kadhafi”, juga sejarah kakek tokoh aku yang mati tertembak tentara Jepang, kontras pada ending-lah yang memunculkan ambiguitas. Apakah tokoh aku memang perlu menuntut gelar pahlawan bagi kakeknya, yang ditembak Jepang? Dan bagaimana dengan Ali yang ditembak tentara sendiri? Pertanyaan itu membawa pada permenungan dan di sanalah ambigutas muncul. Pada Dua Tengkorak Kepala inilah, kita sangat disadarkan, bagaimana pentingnya sebuah ending. Bila saja ending cerpen ini ”gagal”, maka cerpen ini akan terikat pada aktualitas yang temporal dan bisa kehilangan daya gugah setelah semua aktualitas itu lewat.

Ambiguitas kepahlawan juga menjadi kekuatan ending pada Anjing-anjing Menyerbu Kuburan. Seorang maling yang mencari kesaktian membongkar kuburan mesti bergelut dengan anjing-anjing yang juga menginginkan bangkai mayat itu. Ketika ia ditemukan terkapar, sebagian penduduk menganggapnya pencuri dan sebagian lagi menganggapnya pahlawan karena telah berhasil mengusir anjing-anjing. Dalam ambiguitas, kita selalu menemukan dua kemungkinan (atau lebih) dalam memandang sebuah persoalan. Dan ending semacam itulah yang banyak dipakai Kuntowijoyo, seperti tampak dalam tiga cerpen lainnnya, Laki-laki yang Kawin dengan Peri (cerpen terbaik 1995), Pistol Perdamaian (1996), Jl Asmaradana (2005) Dengan ending yang ambigu, sebuah cerita sesungguhnya tengah memulai awal penilaian dan penafsiran dalam diri pembaca. Ending semacam itu membuat cerita menjadi sebuah kontradiksi yang tak selesai.

Waktu Nayla Djenar Mahesa Ayu dan Ripin Ugoran Prasad menutup cerita dengan lebih surealis, semacam upaya untuk mengambangkan kisah agar ia tetap di ”dunia antara”, di ambang yang realis dan surealis, suatu upaya menciptakan ambiguitas makna pula.

Apakah dua hal itu mengupayakan penceritaan yang beragam (meski itu masih berada dalam formulasi realisme) dan ending yang kuat dengan ambiguitas, yang akan membuat sebuah cerpen yang muncul di Kompas menjadi cerpen yang terbaik? Kita tunggu sebentar lagi....

* Agus Noor, Prosais

Sumber: Kompas, Minggu, 28 Juni 2009

Buku: Peran Hegemonik Sains atas Agama

-- Wa Ode Zainab Zilullah Toresano

SEBAGIAN kalangan mengklaim, eksistensi agama telah terancam, keberadaannya terisolasi seiring dengan perambahan peran hegemonik sains yang dibarengi sekularisasi.

Sekularisme berdampak penempatan agama yang terlihat berbeda dari sains. Relasi keduanya seolah mustahil bisa dirujukkan.

Pandangan sekularistik itu bertentangan dengan sains dalam perspektif Islam yang meyakini penciptaan alam bukan tanpa tujuan dan perencanaan organisasional. Sains dan agama tidak dapat dipisahkan, apalagi dipertentangkan. Keduanya berasal dari sumber sama, yaitu ”Allah Robbul ’Alamin”.

Sains bisa berfungsi sebagai pintu gerbang memahami agama, sebaliknya relung sains hanya bisa didalami utuh dan bermartabat lewat pintu agama. Bahkan, optimalisasi keduanya mengantarkan ke peneguhan tauhid.

Deretan ilmuwan modern berhasil meneguk kejernihan air persenyawaan sains dan spiritualitas (agama). Tengoklah misalnya Fritjof Capra dan Garv Zukav melalui karya prestisiusnya, The Tao of Physics dan The Dancing Wuli Masters.

Sejumlah ilmuwan Muslim berhasil menjembatani perselingkuhan sains dan agama melalui konsep relasi Tuhan dan alam semesta seraya memadukan obyektivitas dengan subyektivitas. Relasi keduanya mungkin dalam diskursus sains Islam karena sains Islam memberi penekanan pada aspek metafisis. Alam semesta bisa menghamparkan sekian banyak probabilitas yang menuntun menuju Tuhan.

Namun, ada kesan dari ilmuwan Barat sains kurang mampu berfungsi sebagai sarana memahami jalan pikiran Tuhan. Fisika kuantum, misalnya, melalui pendekatan probabilitas peristiwa yang dianutnya, tidak mampu optimal mengungkap makna ”kebenaran”, padahal semua itu ada dan nyata.

Relasi sains-tauhid

Dr Osman Bakar, ilmuwan Muslim Malaysia, melalui karyanya Tauhid dan Sains ingin menggambarkan relasi sains dan agama dengan mempromosikan relasi sains dan tauhid yang kemudian mengabsahkan istilah sains Islam. Dia berfokus pada kajian Islam non-orientalis yang berperspektif fundamentalis.

Penemuan paling penting tentang sains Islam sebagaimana diuraikan dalam karya Profesor Hussein Nasr, menjadi rujukan utama. Melalui karya Nasr, Osman Bakar menyimpulkan, tidak ada satu metode pun dalam sains yang mengesampingkan metode lain. Terbukti, deretan ilmuwan profesional Barat sekelas R Oppenheimer, E Schrodinger, dan Fritjof Capra berpaling pada doktrin Timur dengan harapan menemukan solusi masalah di ujung perbatasan fisika modern (hal 85-86).

Meskipun demikian, tidak berarti perbedaan fundamental antara konsepsi Islam dan konsepsi modern tentang metodologi sains lenyap. Ini terutama disebabkan metode ilmiah dalam sains modern (Barat) memiliki perbedaan epistemologi mendasar dari metode ilmiah dalam sains Islam, demikian pula proses kreatif masing-masing.

Metode ilmiah dalam sains Barat menafsirkan pluralitas metodologi sebagai sejenis anarkisme intelektual meski ia memiliki nilai sendiri dalam lingkup skema epistemologis dan dalam kemajuan perkembangan ilmiah.

Persoalan metodologi dalam sains Islam secara konseptual tidak dapat dipisahkan dari tujuan akhir kognisi manusia yang berkaitan dengan persoalan tujuan rohaniah manusia. Itu berarti harus ada pendasaran pada gagasan keesaan (tauhid) yang berasal dari pandangan Al-Quran tentang realitas dan kedudukan dalam realitas itu (hal 88).

Karena itu, dalam sains Islam metode yang beraneka ragam dianggap sebagai jalan sah mengetahui alam dalam bidang penerapan masing-masing dan saling melengkapi untuk mewujudkan tujuan akhir sains Islam, yakni ”Kesatuan Alam”, yang tujuannya berasal dari dua sumber: wahyu dan intuisi intelektual.

Bakar menuturkan, dalam perspektif sains Islam, berbicara tentang metodologi berarti memahami manusia yang merupakan kutub subyektif pengetahuan (subyek yang mengetahui). Karena manusia memiliki berbagai tingkat kesadaran, maka kutub subyektif itu bersifat hierarkis. Sementara alam semesta yang merupakan kutub obyektif pengetahuan (obyek yang dapat diketahui) juga bersifat hierarkis karena memiliki beberapa tingkat wujud (hal 91-92).

Atas dasar itu, sains Islam menganggap ”kosmos” menjadi perhatian sehingga memiliki kekayaan kualitatif dan realitas jauh lebih besar dari sains modern, meski sains modern dengan sombong mengklaim sebagai semesta tidak berbatas. Padahal, satu-satunya realitas yang diperhatikan dalam sains modern hanya realitas Cartesian yang direduksi menjadi pikiran dan materi serta dipandang sebagai dua substansi berbeda dan terpisah (hal 93).

Sains Islam memandang realitas tidak terbatas pada fisik yang dapat diobservasi. Seluruh kosmos memperlihatkan kekayaan kualitatif dan realitas yang memiliki satu substansi, yakni ”Tuhan”. Dunia empiris dan non-empiris menyatu lewat jembatan kosmologi yang dikendalikan Sang Maha Agung. Kosmos membentuk kesatuan karena harus memanifestasikan Tuhan, kemudian menjustifikasi keesaan Tuhan. Konsekuensinya, harus ada pengukuhan kebenaran sentral yang menerima realitas obyektif kesatuan alam semesta (Wahdatul Wujud).

”Kosmologi” juga dapat berfungsi sebagai sarana memahami kosmos tradisional atau seluruh tatanan ciptaan Tuhan yang terdiri dari tiga keadaan fundamental: material, psikis (animistik), dan spiritual (malakuti).

Catatan kritis

Kendati demikian, bagi saya, bila penulis mempromosikan pentingnya menempatkan kos- mologi untuk menjembatani dua alam, seharusnya diikuti contoh aplikasi ilmu praktis cabang kosmologi, sebagaimana tradisi Islam yang mengajarkan ilmu esoterik melalui numerology dan supranatural.

Dengan menjadikan karya Profesor Hussein Nasr sumber utama rujukan tulisannya, Bakar mestinya bisa dengan mudah menemukan aneka cabang kosmo- logi. Bakar juga terlihat terlalu gegabah dan terkesan mencampuradukkan pemahaman sains Kristen dan sains modern (Barat). Padahal, inkuisisi terhadap kebebasan berpikir pernah terjadi masif dan massal di Barat, pelakunya ilmuwan agamis.

Secara umum gagasan yang dipopulerkan Bakar patut diapresiasi karena secara cerdas berhasil mengulas kosmologi berspektrum mistik ilmiah. Selain itu, ia juga bisa membantu memahami proses tajalli (manifestasi) melalui ciptaan Tuhan. Dengan menganalogikan ”berlangsungnya evolusi dinamis” yang mentransformasikan input-data dari alam malakuti menjadi output-data di dunia nyata dengan harapan akan mengenal aspek kerangkapan metodologi sains Islam yang sekaligus memperlihatkan kekeliruan metodologi sains modern.

* Wa Ode Zainab Zilullah Toresano, Mahasiswi ICAS Jakarta, Cabang London

Sumber: Kompas, Minggu, 28 Juni 2009

"Post-etnisitas" Kazuo Ishiguro

-- Fina Sato*

SELESAI membaca tulisan Anwar Holid tentang Martin Amis "Badabudu dan Martin Amis", Khazanah, Pikiran Rakyat, (3/5), saya teringat pada karya-karya Kazuo Ishiguro. Seingat saya, Martin Amis dan Kazuo Ishiguro merupakan regenerasi penulis dalam kancah sastra Inggris di awal era 1980-an, yang telah menjadi bagian penting dalam percaturan sastra dunia hingga saat ini. Namun, saya tidak hendak membandingkan keduanya. Meski keduanya memiliki strategi dan karakteristik karya yang berbeda, namun kekuatan karya mereka sama-sama mempunyai keunikan yang menggoda.

Dalam khazanah kesusastraan Inggris, Kazuo Ishiguro merupakan salah satu penulis produktif yang telah menguatkan kembali perspektif fiksi sastra kontemporer. Novelnya The Remains of the Day menjadi best seller terbitan 1989 di Britania Raya yang menggiring Ishiguro memenangkan penghargaan Man Booker Prize 1989, sekaligus mengukuhkan pengakuan dan eksistensinya sebagai penulis sastra kontemporer dunia. Novel yang kaya akan detail penelitian kesejarahan ini adalah satu karya Ishiguro yang telah dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Puing-puing Kehidupan (2007).

The Remains of the Day juga sukses diadaptasi ke dalam film layar lebar 1993 dan berhasil mendapatkan penghargaan Academy Award pada tahun yang sama. Naskahnya diadaptasi oleh Ruth Prawer Jhabvala --seorang penulis sastra pascakolonial kelahiran Jerman yang hidup di Inggris dan kemudian lebih dikenal sebagai penulis naskah film. Film arahan James Ivory ini dibintangi oleh Anthony Hopkins sebagai Mr. Stevens dan Emma Thompson sebagai Miss Kenton. Mr. Stevens dan Miss Kenton ini adalah tokoh-tokoh yang merefleksikan elemen ironi tragedi dan komedi pada titik psikologi sosial dalam sejarah kehidupan manusia terhadap nilai-nilai lingkungan sosial antara kewajiban dan dedikasi, dengan setting di Inggris pada pertengahan 1950-an. Pada masa itu, Ishiguro mampu memecahkan hegemoni efek peristiwa kolektif pada sebuah perubahan sejarah dalam konteks identitas kehidupan tokoh-tokoh itu dan kemudian mentransformasinya dengan gagasan lokal sebagai tindakan individu.

Dalam sebuah wawancara yang dilansir situs web writersblocpresents.com, Ishiguro menyatakan, ia selalu tertarik pada apa yang terjadi di dalam diri setiap individu ketika mereka telah mengorbankan seluruh tenaga dan kehidupan mereka pada kelaziman nilai-nilai sosial, hanya untuk melihat mereka berubah. "Saat di akhir kehidupan, mereka menemukan bahwa dunia telah mengubah pemikiran tentang suatu nilai kebaikan dan keburukan. Namun ternyata bagi orang-orang ini, semuanya telah sangat terlambat" ujarnya.

Kazuo Ishiguro lahir pada 8 November 1954 di Nagasaki, Jepang. Ayahnya, Shizuo adalah seorang ahli kelautan, sedangkan ibunya, Shizuko adalah ibu rumah tangga. Ishiguro hanya bisa menikmati kehidupan masa kecilnya selama enam tahun di Jepang karena ia beserta kedua saudara perempuannya harus pindah dan tinggal di Inggris. Saat itu, ayahnya mendapat komisi dari pemerintah Inggris untuk melaksanakan projek kelautan. Meskipun saat itu keluarganya berharap hanya tinggal sementara di Inggris, namun pada kenyataannya pekerjaan sang ayah tidak mengizinkan mereka pulang kembali ke Jepang. Pada akhirnya, mereka pun harus menjadi warga imigran tetap di Inggris.

Ishiguro dan kedua saudara perempuannya kemudian menjalani kehidupan masa kecil tipikal anak-anak Inggris pada umumnya. Namun, sang ayah sangat memegang kuat tradisi dan budaya Jepang sehingga saat berada di rumah, mereka diwajibkan berkomunikasi dengan bahasa Jepang dan menjalani kehidupan layaknya orang-orang Jepang. Keseharian keluarganya yang tetap mempertahankan tradisi dan budaya Jepang, telah menuntun Ishiguro memasuki dunia literer.

Bagi Ishiguro, menulis adalah ruang dan alat untuk mengawetkan kenangan tentang tanah kelahiran yang tidak dapat ia jumpai lagi hingga 1989. Dari situlah, Ishiguro mengambil dan memperoleh gelar sarjana muda Ilmu Sastra di Fakultas Filsafat dan Kesusastraan di Kent University 1978. Selama menempuh pendidikan itu, Ishiguro bekerja sebagai pekerja sosial selama beberapa tahun sampai ia mampu mendapatkan penghasilan sebagai penulis. Selama masa waktunya sebagai pekerja sosial, ia bertemu dengan Lorna Anne MacDougall, yang kemudian menjadi istrinya pada 1986 dan mempunyai seorang putri bernama Naomi yang lahir pada 1992. Ia pun berhasil merampungkan gelar Master of Arts dalam Program Penulisan Kreatif di Anglia East University di bawah bimbingan Malcolm Bradbury (1932-2000), seorang akademisi sastra dan novelis terkenal di Inggris.

Setelah memublikasikan beberapa judul cerita pendeknya seperti A Strange and Sometimes Sadness, Waiting for J, dan Getting Poisoned dalam antologi cerpen Introduction 7: Stories by New Writers (1981), dan beberapa artikel majalah pada awal 1980-an, Ishiguro menerbitkan novel pertamanya A Pale View of Hills (1982) yang berhasil memenangkan penghargaan Winifred Holtby Memorial Prize, penghargaan dari Perhimpunan Kesusastraan Kerajaan Inggris (Royal Society of Literature). Kemudian, novelnya yang berjudul An Artist of the Floating World (1986), tidak hanya memenangkan Whitbread Fiction Prize, tetapi juga dianugerahi sebagai Whitbread Book of the Year, Primio Scanno, dan masuk daftar nominasi penerima penghargaan Booker Prize. Tokoh-tokoh, setting, dan karakteristik kedua novel itu menggambarkan kondisi masyarakat Jepang (human condition) pasca-Perang Dunia II.

Dalam dunia literer, Ishiguro pun memiliki ketertarikan terhadap dunia musik dan film. Ishiguro menulis beberapa naskah film seperti A Profile of Arthur J. Mason untuk stasiun televisi Inggris, Channel 4 (1984), dan The Gourmet untuk BBC, yang kemudian naskahnya dipublikasikan dalam Granta 43 (1987). Sedangkan ketertarikannya terhadap dunia musik, ia tuangkan dalam naskah film The Saddest Music in the World (2003), The White Countess (2005), dan antologi cerpen Five Stories of Music and Nightfall (2009). Semua prestasi Ishiguro itu membuktikan bahwa ketertarikannya pada tradisi menulis sejak kecil telah menjadi profesi yang sangat berharga dan menjanjikan baginya hingga saat ini.

**

BEBERAPA kritikus sastra di Inggris menilai karakteristik karya-karya Ishiguro berpatron spiritualisme para penulis Jepang, seperti Yasunari Kawabata, Kenzaburo Oe, dan bergaya New Age ala Haruki Murakami, sehingga ia lebih pantas dikatakan penulis dari Jepang. Pernyataan itu didasarkan atas dua novel yang sebelumnya ditulis Ishiguro yang banyak menceritakan kondisi manusia Jepang dan sebagian berlatar tempat di Jepang pascaperang. Namun, Ishiguro membantah keras pernyataan itu. Meskipun ia dilahirkan di Jepang, tetapi setelah dirinya menjadi warga negara Inggris dan sejak 1960 tinggal di London, ia telah menjadi bagian kultural masyarakat Inggris.

Bantahan Ishiguro itu kemudian dibuktikan dengan terbitnya The Unconsoled (1995), novel surealis penuh mimpi buruk tentang kehidupan seorang pianis di salah satu negara bagian Eropa Selatan. Karakteristik novel yang memenangkan penghargaan Cheltenham Prize ini, menyerupai karya-karya Franz Kafka yang penuh "keanehan dan mengganggu" itu, meskipun Ishiguro mengakui bahwa dirinya banyak terilhami oleh karya-karya Dostoevsky, Chekov, dan Tolstoy. Pada tahun itu pula, Ishiguro kemudian menerima OBE (Order of the British Empire) atas sumbangsihnya terhadap perkembangan kesusastraan Inggris. Ia pun menerima tanda kehormatan dari pemerintah Prancis dalam bidang seni, yaitu de l`Ordre des Arts et des Lettres (1998).

Kemudian, novel When We Were Orphans (2000) yang bercerita tentang tokoh sentral seorang detektif di London adalah salah satu entitas reaksi pembuktian Ishiguro terhadap para pembacanya yang mengarah pada pemahaman orientalisme. Tahun 2005, Ishiguro kembali mendapatkan penghargaan Man Booker Prize atas novelnya Never Let Me Go. Novel yang membahas tentang kondisi manusia kloning dan pendonoran organ-organ tubuh dari manusia kloning ini, ditulisnya sebagai sebuah kritik terhadap antroposentrisme, suatu gagasan etis atau layak diterima, dengan mengorbankan binatang nonmanusia sebagai sebuah kebutuhan dan nafsu dalam kehidupan manusia itu sendiri.

Karya-karya Ishiguro telah diterjemahkan ke dalam 28 bahasa. Selama karier kepenulisannya, Ishiguro telah menulis berbagai masalah tentang autensitas, perbandingan, dan kecukupan pada setiap peristiwa dalam kehidupan manusia dan resistensinya terhadap sebuah perubahan. Problematika perubahan sejarah dan kultur yang dialami Ishiguro bukanlah sebagai narasi transenden, melainkan sebagai kedalaman internal, struktur, dimensi teks, dan kombinasi dari keakraban perspektif seorang narator di bawah indera tindakan, dengan melibatkan transisi sejarah yang berkelanjutan.

Teks telah menjadi sebuah alat kritik dari suatu keunikan dan pertimbangan atas kegigihannya terhadap paradigma global, seperti hubungan, tradisi, etnis, dan skala. David Damrosch (2003) pernah membahas, tugas-tugas kesusastraan telah menyirkulasi melebihi keaslian kultur itu sendiri sehingga hampir seluruh karya sastra lahir, yang kemudian kita kenal kini sebagai sastra nasional. ***

* Fina Sato, bergiat di ASAS dan MnemoniC.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 27 Juni 2009

Tubuh Manohara dan Kita

MANOHARA Odelia Pinot. Perempuan 17 tahun itu tak hanya cantik, bahkan sangat cantik. Tak sekadar itu, dia juga istri seorang pangeran mahkota, Tengku Temenggong Muhammad Fakhry Petra dari Kesultanan Kelantan Malaysia. Karena ia permaisuri Putra Mahkota, maka di kalangan istana dan rakyat Negara Bagian Kelantan, perempuan berdarah campuran Makassar-Amerika ini dikenal sebagai Cik Puan Temenggong Kelantan. Akan tetapi tidak seperti kecantikannya dan hidup yang di tengah lingkungan kaum jetset dan aristokrat Melayu Kelantan, nasib dan perjalanan hidup Manohara sebagai permaisuri Putra Mahkota ternyata menyimpan hikayat dan narasi yang berurai air mata.

Hikayat ihwal nasib Manohara di Istana Kesultanan Kelantan yang menyedihkan ini, seolah membuka semua tabir di balik kebahagiaannya yang tampak selama ini. Seluruh kesedihan itu ditimpakan pada perangai ganjil suaminya yang tak hanya menculik, menyandera, juga melarang Manohara menghubungi keluarganya. Padahal, ia ingin sekali kembali pulang ke Indonesia. Bahkan narasi dari hikayat nasib Manohara ini, berpuncak pada siksaan yang diterimanya secara seksual. Setelah melewati berbagai peristiwa dramatis dalam narasi pelariannya, sampailah akhirnya Manohara pulang ke Indonesia.

Dalam tayangan berbagai stasiun televisi, di balik tubuhnya yang sintal, rambutnya yang tebal tergerai, dan wajahnya yang cantik, dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata bercampur Inggris, Manohara menuturkan seluruh kemalangannya selama menjadi istri Tengku Muhammad Fakhry. Bahkan dalam sebuah jumpa pers, didampingi pengacaranya, tersisak-isak Manohara mengisahkan bagaimana suaminya menggagahinya dalam keadaan ia tak sadar, setelah lebih dulu disuntik.

Masih dalam tayangan televisi, diperlihatkanlah bagian-bagian tubuh Manohara yang penuh dengan luka silet, terutama di bagian dadanya. Tak cukup hanya pengacara, seorang dokter forensik pun merasa perlu memberi keterangan ihwal kondisi tubuh perempuan cantik yang malang itu.

Lewat berbagai media di Indonesia, Manohara dan nasibnya merebut perhatian. Hampir setiap hari berita ihwal diri dan nasibnya terus ditayangkan oleh berbagai stasiun televisi, termasuk oleh sejumlah infotainment. Manohara segera menjadi komoditi. Sejumlah tabloid wanita tak lupa memajang foto Manohara di halaman depan. Foto bagian dadanya yang penuh dengan luka silet itu, sungguh mengundang haru dan tampak memilukan. Maka dengan waktu yang tak lama, kisah malang Manohara pun tak ubahnya menjadi isu nasional. Berbagai bentuk solidaritas pun bermunculan.

Tubuh Manohara dan seluruh luka-lukanya, tiba-tiba saja seolah telah menjadi luka kita semua. Tapi tidak dengan luka-luka di tubuh Siti Hajar, yang pada saat bersamaan, mengalami penyiksaan brutal dari majikannya, sehingga ia melarikan diri ke KBRI Kuala Lumpur. Tak hanya itu, gaji selama 34 bulan tak pernah dibayar. Siti Hajar hanyalah satu dari sekian banyak nasib para TKI yang bernasib mengenaskan. Tapi luka-luka di tubuh mereka, tidaklah pernah menjadi metafora dari luka-luka semua orang di negeri ini, sebagaimana luka-luka di tubuh mulus Manohara.

**

CANTIK, terkenal, dan dianiaya. Inilah agaknya yang menyebabkan mengapa Manohara bisa lebih merebut perhatian media ketimbang nasib Siti Hajar dan Sumirah yang tewas di Hongkong. Lebih dari itu, dengan kecantikan yang hidup di tengah keluarga Istana Kesultanan Kelantan, nasib malangnya dan narasi pelariannya ke Indonesia yang dramatik, telah menyebabkan kisah Manohara tak ubahnya sebuah melodrama. Dengan kata lain, bagi media dan mereka yang memiliki naluri industri hiburan, Manohara bukan sekadar nasib seorang istri atau melulu urusan keluarga. Melainkan sebuah melodrama ihwal perempuan cantik yang teraniaya di balik kebahagiaan dan kemegahan hidup di tengah kaum aristokrat istana.

Manohara yang cantik adalah tubuh dari sebuah melodrama. Lepas dari benar tidaknya narasi yang dituturkannya, inilah melodrama yang amat disukai media. Melodrama tubuh seorang istri Pengeran Putra Mahkota yang malang. Melengkapi efek melodrama itu, Manohara tak hanya cantik tapi digambarkan sebagai seorang perempuan yang tabah, meski harus melewati berbagai siksaan. Melodrama tubuh Manohara adalah sebuah kontradiksi, kecantikan dan luka-luka; kesantunan kaum bangsawan dan kekejaman.

Media, terutama berbagai stasiun televisi yang terus menjejali kita dengan berbagai sisi ihwal nasib malang Manohara, yang berbaur dengan silang-sengketa Indonesia-Malaysia soal kawasan Ambalat; secara perlahan telah membuat fokus narasi Manohara bergeser. Apakah seluruh kemalangan yang menimpa Manohara itu benar terjadi atau tidak, terkesan tidak lagi menjadi penting. Seorang gadis cantik, istri seorang Pangeran Putra Mahkota dianaiya oleh suaminya. Ia tak boleh menemui keluarganya dan tak boleh pulang ke tanah airnya. Kisah melodrama inilah yang tampaknya lebih menarik ketimbang proses hukumnya.

Antuasiasme banyak orang pada nasib Manohara, di sisi lain tak hanya menjelaskan perangai media. Melainkan juga merepresentasikan di tengah masyarakat sejenis apa sesungguhnya kita hidup. Jika disebut bahwa pola pikiran masyarakat terefleksikan pada tubuh, jangan-jangan apa yang terjadi dengan tubuh Manohara merupakan identifikasi dari pola masyarakat yang hidup di tengah kita. Kita menemukan identifikasi utopia kita tentang tubuh pada diri Manohara. Ketika tubuh itu dilukai dan diananiya, maka kita akan cepat bereaksi menaruh simpatik, geram, dan turut merasa sedih.

Tubuh Manohara mendadak telah menjadi tubuh kita semua. Ia mewaikili citra ideal dari apa yang selama ini kita bayangkan; cantik, terkenal, dan hidup di tengah kaum aristokrat. Ketika ia mengalami nasib dan perlakuan yang kontradiktif, tubuh itu membawa kita ke dalam sebuah melodrama yang menegangkan. Kemalangan Manohara itulah yang kemudian menjadi narasi yang lebih penting ketimbang nasib Siti Hajar dan Sumirah. Selalu ada banyak alasan, argumen, dan cara pandang dalam menanggapi nasib kedua TKI itu. Tapi tidak untuk Manohara, karena ia adalah seorang perempuan yang cantik, permaisuri seorang pangeran mahkota.

Jika Marcel Mauss (1982) pernah menyebut bahwa salah satu cara untuk memahami peradaban manusia, antara lain adalah dengan memperlajari bagaimana masyarakat itu memaknai tubuhnya. Demikian pula tentunya ketika mereka menetapkan cara pandang terhadap tubuh. Dan bagaimana kita memandang tubuh Manohara dan luka-lukanya, menjelaskan banyaknya ihwal tentang masyarakat sejenis apa kita sesungguhnya. Mungkin benar media memiliki kekuatan untuk merekonstruksi sebuah realitas sosial, tapi bagaimana pun ia adalah bagian dari masyarakat. Ia adalah representasi dari keburukan dan kebaikan masyarakat di mana kita hidup. (Ahda Imran)

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 27 Juni 2009

Sisi Psikologis Kreativitas

-- Ahmad Rafsanjani*

DALAM suatu pertemuan rutin, Masyarakat Psikoanalisis di Vienna, pada suatu siang yang cerah di tahun 1911, Alfred Adler yang kala itu menjadi ketua Masyarakat Psikoanalisis Vienna, menyinggung suatu teori mengenai kreativitas kompensasi. Melalui teorinya, Adler menganggap bahwa manusia menghasilkan kesenian, ilmu pengetahuan, dan aspek-aspek lain dari kebudayaan adalah untuk mengimbangi kekurangan mereka sendiri.

Dengan sedikit mereduksi, Adler hendak memperlihatkan bahwa tindakan-tindakan kreatif adalah reaksi dari perasaan inferioritas kita. Hal ini kemudian menjadi bagian dari tradisi-tradisi psikologi awal, yang kerap mengaitkan hasrat untuk mencipta dan kreativitas dengan masalah-masalah psikologi serta kesehatan mental.

Pendekatan reduktif psikologi atas kreativitas terutama karena melihat pribadi-pribadi yang kreatif, sering kali seperti tidak cocok dengan kebudayaan normatif masyarakat mereka. Van Gogh mengalami psikotis, Gauguin menderita schizoid, Edgar Allan Poe kecanduan alkohol, dan Virginia Woolf benar-benar depresi. Mereka adalah sedikit contoh dari seniman yang eksentrik, hingga yang mengalami kegilaan klinis.

Dalam kajian psikologi modern sendiri, ada suatu survei kepribadian terhadap 291 tokoh terkemuka dunia dalam kurun waktu 150 tahun terakhir, yang mencoba memeriksa ada tidaknya hubungan antara keunggulan kreatif dan ketidakstabilan mental. Hasil survei tersebut, yang juga dimuat di The British Journal of Psychiatry (165:1994), sungguh mengejutkan.

Berdasarkan survei dengan catatan medis dan data-data sumber pertama yang dapat dipercaya itu, sekitar 75% seniman, dan bahkan 90% pengarang mengalami ketidakstabilan mental. Sebagian besar tokoh seni itu adalah figur terkenal: Wagner, Monet, Van Gogh, Hemingway, hingga Dostoyevsky.

**

MESKI demikian, beberapa psikolog lainnya, seperti Rollo May, R.D. Laing, dan Danah Zohar, atau psikiater Kay Redfield Jameson, mengembangkan pendekatan psikologi akan kreativitas secara lebih positif. Temuan terpenting dari penelitian-penelitian yang pernah dilakukan oleh pendekatan positif tersebut, adalah fakta bahwa sedikit sekali hubungan antara kreativitas dengan kegilaan jangka panjang. Justru, mereka yang berada di ambang gila, atau sekadar menderita skizotipy, yang cenderung mencapai karya-karya terbaik.

Orang yang menderita skizotipy memiliki gejala antara lain: pengalaman tidak wajar, distraksi ringan, sesat pikir, cenderung impulsif (bertindak atas dasar impuls, meracau, bertingkah laku aneh, berpenampilan ganjil), introvert (tertutup), dan menyendiri, mengalami ideasi magis (kecenderungan untuk berpikir bahwa pikirannya mempunyai kekuatan fisik, dapat menjadi kenyataan, atau menghubungkan kejadian-kejadian yang sebetulnya tidak berhubungan), kerap berfantasi dan tidak dapat membedakannya dengan kenyataan, serta mengalami ambivalensi (ketidakmampuan menata pikiran karena melihat beragam nilai, kemungkinan, atau pilihan).

Menurut Prof. Sutardjo A. Wiramihardja, guru besar Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran, riset skizotipy menunjukkan bahwa derajat kesehatan mental bersifat continuum, dari yang normal, menunjukkan penyimpangan ringan, hingga kegilaan klinis yang berat.

Dan dalam continuum itulah, seperti yang diyakini psikolog William James, seniman kerap memiliki suatu "pintu", suatu ambang bergerak (mobile treshold) yang memungkinkan munculnya kekuatan subliminal yang menguasai keadaan mental mereka.

Salah satu gejala skizotipy, yakni ideasi magis dan fantasi, akan memaksa seniman untuk mengimajinasikan hal-hal yang tidak ada, menciptakan tokoh yang tak pernah ada, membawa mereka pada citra visual yang mengarah pada konsep baru, hingga melihat hal-hal dari sudut yang tidak konvensional.

Dengan demikian, karya-karya terbaik seorang seniman bukan sekadar produk dari gangguan mental, ataupun manifestasi dari perasaan berontak atas keterbatasan dirinya (atau kreativitas kompensasi dalam bahasa psikolog Alfred Adler). Sebaliknya, tindakan kreatif muncul dari intelektualitas yang tinggi, terkait dengan kesehatan emosi yang tanpa kepura-puraan, dan ekspresi individu normal bagi aktualisasi diri mereka saat itu.

Gangguan mental ringan, seperti munculnya gejala-gejala skizotipy, memungkinkan seorang seniman menjadi lebih sensitif, kaya imajinasi, serta lebih orisinal dengan asosiasi yang berbeda dari orang kebanyakan. Dan bagaimana seniman tersebut menyatakan visinya adalah ketika gangguan mental sedang tidak menderanya.

Ketidakstabilan mental, kegilaan eksentrik, terjerumus dalam penggalian eksistensial di kedalaman kepribadian yang tidak disadari ataupun penghancuran tatanan lama untuk mencipta sesuatu yang baru, adalah proses acak, bagian mencerahkan namun sulit dijelaskan dari pembaharuan mental "menjadi autentik". Hal ini berperan dalam memperluas kesadaran seniman, sekaligus membentuk apa yang disebut dengan kecerdasan identitas.

**

BAGI penafsir seni atau sekadar penikmat, model pendekatan apapun yang digunakan untuk menggali dimensi-dimensi mental dari proses kreatif seorang seniman, mungkin tidak akan terlalu penting. Kita hanya akan sepakat bahwa kegilaan yang berguna inilah yang menjadi manifestasi kecerdasan identitas dari seorang seniman.

Kita mungkin akan tetap meyakini, seniman bukan sekadar menyingkap kondisi psikologis dan spiritual yang mendasari hubungan mereka dengan dunia, tapi juga berusaha menggambarkan refleksi emosional dan spiritual masyarakat kebanyakan.

Mereka mengekspresikan apa yang dikatakan Carl Gustav Jung, perintis Psikologi Analitis terkemuka, sebagai "yang tidak disadari kolektif" (unconscious collective). Melalui karyanya, seniman turut menjelaskan apa yang ada dalam diri manusia pada waktu dan budaya tertentu.

Lebih jauh, seniman, menurut John Naisbitt, adalah "lampu penerang dalam tambang gelap". Mereka menangkap sinyal budaya yang pertama, memetakan wilayah baru, mengundang risiko, sesekali memacu akal sehat kita, dan secara ajaib bisa memperkirakan hal-hal yang akan datang. Mereka, meminjam frase Mc Luhan, adalah a dew line, satu garis embun, yang memberi kita suatu "peringatan awal yang jauh" mengenai apa yang akan terjadi dalam kebudayaan kita di masa depan.

Dan pendekatan psikologi turut menambahkan kenyataan mencerahkan ini dengan sedikit hipotetis: inilah kegilaan yang cerdas, kegilaan yang paling berguna, dan terkadang juga berbahaya.***

* Ahmad Rafsanjani, Peneliti Psikologi Sosial Fakultas Psikologi - Universitas Padjadjaran Bandung.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 27 Juni 2009

Arus Kesadaran Rendra

"RENDRA adalah pribadi yang menarik," begitu kata Prof. Dr. A. Teeuw dalam suatu kesempatan di Leiden, pada tahun 1999 lalu. Saat itu, saya termasuk salah seorang penyair Indonesia yang diundang mengikuti Festival de Winternachten, di Den Haag, Belanda. Saya berkesempatan bertemu dengan Prof. Dr. A. Teeuw justru lewat Rendra. Tidak saya mungkiri, Rendra memiliki pribadi yang menarik, terbuka, dan mudah bergaul. Yang paling penting dari semua itu adalah, ia selalu murah hati dan tidak pelit dalam membagi ilmu yang dikuasainya.

Dikatakan Rendra dalam percakapannya beberapa waktu lalu di Depok, bahwa manjing ing kahanan mempunyai peran yang cukup penting dalam mengolah kesadaran maupun dalam berkesenian. Ini artinya, kita harus senantiasa berada dalam situasi yang tepat, universal sekaligus kontekstual. Bila kita membaca sejumlah karya yang ditulis Rendra, baik naskah drama maupun puisi, maka apa yang disebut manjing ing kahanan yang disebut Prof. Dr. Bakdi Soemanto menampakkan kesejajaran dengan agama Islam, yakni hablun minanas selalu berdenyut di dalamnya.

Tentu saja, karya-karya yang dicipta Rendra, tidak hanya menampakkan penghayatannya tentang alam sekitar, bagaimana manusia berhubungan dengan manusia dalam berbagai konteks dan teks, tetapi juga menunjukkan dengan kuat bagaimana seharusnya manusia berhubungan dengan Zat Yang Mahatinggi, Allah SWT. Hubungan ini disebutnya sebagai nggayuh kersaning Hyang Widhi, atau dalam konsep Islam disebut hablun minallah. Dalam petikan puisi di bawah ini, tampak bagaimana Rendra yang saat itu masih menganut agama Kristen, ada dalam dua situasi yang diekspresikan dalam karya yang ditulisnya.

Ia jumpai bekas-bekas luka di tubuh pahlawannya

Di lambung kiri
Di dua tapak tangan
Di dua tapak kaki
Maria Zaitun pelan berkata
"Aku tahu siapa kamu."

Petikan puisi di atas dipetik dari Nyanyian Angsa yang berkisah tentang Maria Zaitun. Tokoh yang dihidupkan Rendra dalam puisinya ini, mempunyai hubungan interteks dengan kisah Maria Magdalena. Konon semasa hidupnya, Maria Magdalena dekat dengan Yesus dan bahkan mempunyai hubungan khusus. Lepas dari itu, dalam puisi yang ditulisnya itu, Rendra melihat bagaimana tatanan sosial yang ambruk, pelacur tidak lagi dipandang sebagai manusia selain sampah. Dan sebagai sampah, kehadirannya sungguh dihinakan, tidak hanya oleh negara, tetapi juga oleh agama. Dalam puisi tersebut, secara implisit Rendra menggambarkan bagaimana tahap demi tahap kesadaran spiritual Maria Zaitun tumbuh, mengakui segala dosa-dosanya, hingga Tuhan yang dikenalnya mau mengampuninya, dan memasukkannya ke dalam surga.

Kemampuan Rendra dalam menulis puisi naratif yang sarat dengan renungan sosial maupun renungan religius itu, memang tidak diragukan lagi. Daya pesona yang muncul dari puisi yang ditulisnya, demikian juga dari cerita pendek dan naskah dramanya, adalah kesederhaannya dalam mengolah kata. Kesederhanaan, kata Rendra, memiliki kekuatannya sendiri. "Sebuah puisi tidak perlu ditulis dengan rumit, kalau bisa ditulis dengan kalimat sederhana," ungkap Rendra dalam kesempatan yang lain.

Dalam buku puisinya yang lain, khususnya dalam Potret Pembangunan Dalam Puisi, yang ditulis ketika masa rezim Orde Baru berkuasa, kita bisa menemukan kesederhanaan itu yang dieksplorasi Rendra sedemikian rupa, hingga pesan sosial dan moral yang dikandungnya bisa dirasakan. Penghayatannya yang dalam terhadap lingkungan hidup dalam pengertian yang seluas-luasnya itu, sungguh telah membuat kita sadar bahwa puisi bukan hanya peristiwa estetika semata-mata, tetapi juga peristiwa bahasa, hati, dan pikiran. Struktur puisi yang terbangun menunjukkan hal itu. Dalam kumpulan ini, kita bisa menemukan sejumlah problematika sosial-politik yang hingga kini belum juga bisa diselesaikan dengan damai. Penindasan masih terjadi di mana-mana, hukum masih bolong, biaya pendidikan kian tak terjangkau, mutu sarjana banyak diragukan, dan sebagaimanya.

"Manjing ing kahanan itulah, kunci dari apa yang saya hayati terhadap berbagai denyut kehidupan yang tumbuh di sekitar saya," kata Rendra, yang dengan indah menulis soal ribetnya suksesi yang selalu makan korban dalam lakon drama Panembahan Reso. Dalam bukunya yang lain, dalam Membela Masa Depan, yang berupa himpunan teks orasi budaya yang ditulisnya, konsep manjing ing kahanan senantiasa hadir, membawa kita kepada pencerahan pikiran, yang pada sisi lain, menunjukkan bahwa Rendra bukan parasit bagi negeri ini.

Dalam konteks ini, saya hendak mengatakan, sungguh beruntung bisa mengenal Rendra dari dekat, yang tidak pernah pelit memberikan apa yang diketahuinya kepada orang yang diajaknya bicara. Terus terang, sangat jarang di negeri ini, ada orang besar seperti Rendra. Dalam kaitan ini, saya tidak hendak memuji Rendra, tetapi hendak mengungkapkan apa yang saya alami dengan nyata. Pada sisi lain, Rendra pula yang membukakan mata batin saya terhadap apa artinya sederhana dan bukan sederhana dalam mengolah kata, khususnya dalam menulis puisi.

Kini, Rendra yang Islam, yang berkali-kali naik haji dan melakukan ibadah umrah itu, pernah berkata di rumah Herry Dim, dalam menghabiskan sisa hidupnya, ia ingin menjaga setiap ucapannya untuk tidak menyakiti hati orang lain. Kesadaran spiritual yang cukup tinggi ini, membuat dirinya terus menulis puisi. Yang kian menegaskan bahwa hubungan manusia dengan manusia akan lebih bermakna bila dikaitan dengan kesadaran tentang pentingnya Yang Mahatinggi dalam kehidupan manusia.

"Puisi bukan sekadar permainan kata-kata. Puisi harus senantiasa berada dalam arus kesadaran. Pengalaman itu tidak bisa dibuat-buat dan apa yang diekspresikan itu, tidak bisa dikarang-karang seakan-akan kamu mengalami," ujar Rendra, dalam kesempatan lain di Depok, di rumah alhamrhum Harry Roesli almarhum dan di rumah Herry Dim. (Soni Farid Maulana/"PR")

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 27 Juni 2009

Kuasa Kata "Di Atas Viaduct"

-- Afrizal Malna

DUA kali saya membaca buku kumpulan puisi Di Atas Viaduct (Bandung dalam Puisi Indonesia). Dari dua kali membaca buku itu, saya merasa setelah melampaui 250 halaman, pembacaan saya terasa mulai rusak atau saya mulai berubah menjadi "pembaca yang rusak" setelah 250 halaman. Saya merasa nyaman membaca puisi di bawah seratus puisi, lebih dari itu rasanya ada kereta yang berantakan dalam diri saya. Kereta bahasa yang kehilangan sensitivitasnya, kata-kata gagal berada dalam sintaksisnya, dan pemaknaan dilumpuhkan.

Pada sisi lain (dalam pembacaan yang rusak itu), saya disadarkan juga oleh kesan betapa besarnya penyair memiliki "kekuasaan" atas kata. Kepada siapakah kata yang dikuasai penyair itu dipertanggungjawabkan? Kesan di mana "sikap atas kata" diperlakukan sebagai "kekuasaan atas kata", terutama dalam membuat pernyataan.

Pengalaman itu membuat saya tertarik mengamati apa yang terjadi dengan diri saya sendiri ketika membaca kumpulan itu. Jadi, bukan saya yang membaca sastra, melainkan "sastra yang membaca saya".

Pertama, saya cukup terprovokasi oleh pengenalan saya atas Bandung, terutama seringnya saya menggunakan kereta untuk pergi ke Bandung. Jalan mana pun yang saya tempuh untuk ke Bandung, selalu melalui jalan berkelok, mendaki, dan menurun.

Kedua, strukturisasi pembagian puisi yang dilakukan Ahda Imran menjadi enam pengelompokan puisi (Priangan, Angin Bandung, Sukardal, Kota Kita, Di Atas Viaduct, dan Bagi Sebuah Kenangan), ikut memprovokasi munculnya kategori tematik dalam membaca buku ini. Dengan sengaja saya tidak ingin memasuki lebih jauh identifikasi yang telah dilakukan Ahda Imran (penyunting) hingga munculnya pengelompokan-pengelompokan ini. Akan tetapi, dengan kesadaran ini pun, jalan yang telah dibuat Ahda tetap menuntun saya dalam membaca puisi-puisi dalam buku ini hingga pada kelokan tertentu saya mulai berpisah dengan kategorisasi Ahda.

Keris yang hilang dalam sumur

Saya tidak tahu apa perbedaan antara Parahyangan dengan Priangan. Apakah Priangan sama dengan konsep Parahyangan yang mengacu pada konteks masa lalu, konsep ruang budaya dan spiritual dalam membaca wilayah Hindu Sunda. Apabila kedua istilah ini merupakan sebuah pergeseran, untuk saya pergeseran ini sangat menakjubkan, bagaimana Parahyangan yang secara harfiah merupakan tanah para dewa berubah menjadi Priangan yang mungkin bisa dibaca sebagai para priang, riang, gembira. Istilah Priangan pun, pada beberapa puisi mengalami genderisasi dimana Priangan juga identik sebagai gadis perawan dan hampir seluruh puisi yang menyinggung perawan, memperlihatkan begitu pentingnya keperawanan, kecuali pada puisi Ratna Ayu Budhiarti yang membawa puitika paling berbeda dari rata-rata penyair yang puisinya terkumpul dalam kumpulan ini.

Kumpulan puisi Ramadhan KH (Priangan Si Jelita: 1956), 53 tahun lalu, menggunakan istilah Priangan dalam puisi yang muncul lebih awal dan hingga kini digunakan banyak penyair, terutama yang berdomisili di Jawa Barat. Kumpulan ini masih kaya menggunakan berbagai dekorasi puisi-puisi lama dari permainan rima, pantun, pilihan vokal dan konsonan, serta ikon budaya Sunda. Seruling dan pantun digunakan untuk tangisan dan dunia lama itu (Sunda sebagai personifikasi Priangan si jelita) seperti keris yang hilang di sumur. Pernyataan ini tidak hanya keras dan tajam, tetapi juga memperlihatkan begitu pentingnya keris dan sumur dalam ikon budaya Sunda. Sebuah metafora yang bisa dibaca sebagai "tenggelamnya Sunda lama".

Kini, tidak hanya keris yang hilang dalam sumur, namun sumur pun ikut hilang. Kita hampir tidak pernah bisa menemukan lagi istilah sumur dalam puisi-puisi yang ada dalam kumpulan ini setelah Ramadhan menggunakannya pada 1956. Baru empat puluh tahun kemudian, tahun 1996, Kurnia Effendi menggunakannya kembali dalam puisinya "Sumur Bandung".

Pengaruh Ramadhan, tidak hanya penggunaan istilah Priangan yang terus dipakai penyair dari generasi setelah Ramadhan, tetapi juga reproduksi mitologi Sunda. Yang menarik, mitologi yang paling banyak direproduksi adalah legenda Dayang Sumbi atau Sangkuriang dan Jaka Tarub. Kedua mitos ini kebetulan sangat genderistik dan seksi. Reproduksi mitos yang memperkuat identitas Priangan sebagai perempuan dan perempuan ini sebenarnya adalah perempuan yang menderita. Selalu ada unsur "petaka" dalam hubungan perempuan dan lelaki. Mitologi ini menjadi sumber reproduksi untuk Apip Mustopa, Arahmaiani, dan Acep Iwan Saidi. Terkadang, mitologi ini juga digunakan sebagai perluasan misteri.

Strategi narasi Sunda

Sebagai strategi teks dalam puisi, muncul pertanyaan sebenarnya mau dibawa kemana narasi Priangan ini dengan seluruh pernik-pernik masa lalu dan mitologinya? Apakah kemunculan generasi baru yang sudah tidak pernah mengalami Sunda lama lewat pengenalannya terhadap Bandung sebagai kota lama akan memunculkan strategi teks yang lain? Pertanyaan ini menarik untuk mengukur perubahan yang terjadi dalam estetika puisi yang berkaitan dengan perubahan kota.

Sebagian besar penyair yang pernah mengalami masa Bandung lama, paling tidak sampai generasi yang lahir dekade ‘50-an dan paruh ‘60-an, melihat Bandung masa kini seperti telah berkhianat kepada Bandung masa lalu. Priangan dan Sunda sebagai strategi teks untuk melawan Bandung masa kini, apakah merupakan strategi teks untuk memaksakan Bandung sebagai kota representasi budaya Sunda?

Besarnya daya tarik kota ini tampaknya memang telah membuat sekian banyak penyair mengharapkan kota ini ikut mengakomodasi indeks-indeks kesundaan. Penyair melakukan personifikasi sedemikian rupa atas kota ini, seperti yang dilakukan Ayie S. Bukhary pada (Aom Bandung): aku adalah Bandung yang dinyatakan sebagai mantra.

Garam Hitam (Priangan-Penderitaan)

"Priangan Si Jelita" Ramadhan KH, oleh penyair berikutnya kian bergeser menjadi Priangan sebagai penderitaan. Pembalikan ini eksplisit dinyatakan Acep Iwan Saidi dan Juniarso Ridwan dalam sajak mereka dengan judul yang sama, "Priangan Si Derita". Puisi yang menyatakan kota yang bertambah ganas, Priangan tidak perawan lagi dan kerusakan ekologi kota Bandung.

Bandung yang pernah dipuja sebagai Parisnya Jawa, dalam puisi Soni Farid Maulana (Variasi Parijs van Java), dilihat seperti menelan garam hitam yang pahit. Antara Ciwidey ke Tangkubanparahu, seruling telah berganti dangdut. Indeks kemerosotan ini ditandai dengan seruling sebagai representasi primordial yang sudah tergantikan dengan dangdut.

Dalam ketegangan politik narasi antara Sunda dan Negara, puisi Soni memperlihatkan dua kali sudah Priangan dihianati setelah keris yang hilang dalam sumur (Ramadhan KH), kini dangdut yang telah menggantikan seruling (Soni). Bandingkan dengan sebaliknya yang dinyatakan Rustam Effendi dalam puisinya: seruling dan pantun aku campakkan yang justru dilakukan untuk melawan narasi lama.

Saya tertarik untuk melihat bagaimana perubahan Bandung sebagai negatif dengan menggunakan Priangan, seruling, dan dangdut sebagai pembanding. Bagaimanakah sebenarnya indeks primordial ditempatkan dalam kota seperti Bandung yang terus mengalami berbagai proses urbanisasi dan menghadapi permintaan pasar atas produk-produk kebudayaan? Pemilihan indeks itu adalah pilihan yang tidak membuka ruang antara mana yang boleh berubah dan yang tidak boleh berubah. Priangan bukan kota modern, Bandung bukan kota Priangan, dan seruling bukan dangdut. Munculnya dangdut tidak berarti berhubungan langsung dengan hilangnya seruling.

Karno Kartadibrata memiliki strategi puitika yang berbeda untuk memperlihatkan perubahan kota dalam puisinya BRAGABRAGABRAGA: Tuan//apakah yang dibicarakan sepasang remaja itu//ketika pulang dari bioskop "Braga Sky"?// Apakah terkesan mode pakaian baru yang//dilihatnya?//Lalu janji apa dan harapan apa yang mereka//bisikkan?//Apakah yang terpikirkan oleh nyonya semuda//itu yang shopping di sini, nah dari toko ini lalu//ke toko itu?//beli majalah "Femina" dan novel "Karmila"?//

Karno hampir tidak membuat pernyataan apa pun dalam puisinya itu. Ia hanya melakukan semacam identifikasi atas yang disaksikannya dan kemudian membawanya ke strategi narasi di mana strategi ini tetap bergerak dalam lingkup strategi puitika yang ditawarkannya. Karno tidak menggunakan narasi tradisi untuk melawan narasi modern. Karno menggunakan narasi dari konteksnya sendiri, bukan dari konteks yang lain.

Mitologi dalam strategi teks kontemporer

Dalam bagian lain, kita menemukan strategi teks yang berbeda, yaitu menggunakan mitologi dalam tindakan dekonstruksi terhadap mitologi itu sendiri. Dekonstruksi seperti ini dapat kita lihat dalam puisi Mardi Luhung (Sangkuriang), atau puisi Sitor Situmorang (Dayang Sumbi, Kenapa Kau Tolak Cintaku?).

Mitos dibongkar dengan mengajukan cara pandang di luar indeks mitos itu sendiri. Akan tetapi lewat pembongkaran itu pula, konstruksi makna dari mitos itu terbuka dengan gamblang. Sitok Srengene dalam sajaknya "Libido Sangkuriang," lebih gamblang lagi melihatnya: bahwa cinta bisa mengubah darah. Yessi Anwar dalam sajaknya "Dari Bayangan Kotaku," Dayang Sumbi berubah menjadi "piring sumbing" untuk pada gilirannya memperlihatkan bahwa anjing lebih setia dari manusia.

Strategi teks dalam sajak mereka tidak lagi menggunakan mitologi sebagai indeks tradisi atau kepercayaan-kepercayaan primordial untuk melawan masa kini, melainkan sebaliknya. Nilai-nilai masa kini digunakan untuk mengubah atau membongkar sistem makna yang terdapat dalam mitos. Strategi teks seperti ini memperlihatkan sikap pragmatis untuk memutuskan hubungan reproduksi mitos atas waktu masa kini.

Kota, kuasa kata

Ketika hubungan reproduksi mitos tidak diputus, mitos tidak lagi mengandaikan adanya perjalanan waktu dan tumbuhnya sistem nilai yang lain. Kita melihat hal ini misalnya pada sajak Apip Mustopa "Telah Musnah Sangkuriang" yang menyatakan Bandung sebagai pemusnahan atas Sangkuriang. Mitos Sangkuriang di sini menjadi klaim nilai yang dipertentangkan dengan perubahan kota.

Klaim ini lebih eksplisit muncul dalam sajak Eddy D. Iskandar "Bandung" yang mengatakan Bandung telah berubah dan ingin kembali ke wajah kota lama. Diro Aritonang (Rindu Bandung): Bandung sudah linglung dan bingung. Sarabunis Mubarok (Bandung): kota yang sakit, sudah seperti WC jalanan. Yayat Hendayana (Dendang Bandung): sampah dan pengap, rumah semakin sempit. Rohyati Sofyan (Sajak Bandung (teu) Disayang): Cikapundung tempat bidadari mandi sudah berubah menjadi limbah pabrik. Juniarso Ridwan (Asap di Atas Bandung): kota membalik cerita, mengubah narasi lama. Deddy Koral (Potret Kota): rakyat kecil menderita dan pejabat korup. Beni Setia (Sajak Tengah Hari): kota yang memaksa kita menjadi tidak berdaya dan orang gila bertambah banyak. Perubahan kota Bandung yang dikecam juga terdapat dalam sajak Nandang Darana atau Dian Hartati.

Kekuasaan penyair atas kata ditempuh dalam mempraktikkan puisi untuk melawan negara atau untuk mengingatkan negara. Tidak seluruh penyair menggunakan strategi narasi yang sama untuk melawan negara. Saini KM misalnya, dalam sajaknya "Bandung" mengatakan, kota sudah berubah, menghapus kota dalam peta hidupmu. Ketika kota telah berubah, dia bukan lagi peta dalam hidupmu. Lihat lagi puisi Atasi Amin (Kota), semua telah berubah, kecuali nasihat bapak kepada anaknya: jangan ke kota.

Masih dengan semangat puisi mbeling, Remy Sylado dalam puisinya "Kota Kita," memperlihatkan Bandung sebagai hiruk-pikuk berbagai bahasa dari berbagai indeks budaya (lokal, kolonial, dan dunia masa kini). Kota musik dimana Scott Mckenzie, John Lenon, Mick Jagger, dan lain sebagainya menjadi warga terhormat kota ini.

Perbedaan ini memperlihatkan dua kemungkinan. Pertama, penyair memang bekerja sebagai penjaga nilai-nilai lama dengan cara menguasai kata. Kedua, penyair merupakan bagian dari komunitas narasi yang tidak bisa mengakses perubahan karena dia justru memperlakukan puisi sebagai "kuasa kata" yang membuat blok budaya dalam reproduksi strategi teks dirinya sendiri.

Tubuh dan kota

Ketika praktik kuasa atas kata berlangsung sedemikian rupa sebagai reproduksi narasi puisi, tubuh menjadi penting untuk didengar. Lewat cara pandang ini, puisi tidak lagi diwacanakan untuk membaca kota. Ahda Imran dalam puisinya "Simpang Lima, Malam," mengatakan: tubuhku adalah pikiran, di luar semua yang pernah kuceritakan padamu. Tubuh memiliki strategi teks lain di luar pikiran yang telah menjadi cerita antara aku (pencerita), kota (cerita), dan kamu (yang diceritakan). Puisi digunakan untuk membaca diri sendiri dengan tubuh sebagai pembaca dan penulisnya sekaligus.

Acep Zamzam Noor (Lanskap Kota Bandung): tubuh yang terhuyung-huyung ditelan kota. Juniarso Ridwan (Ahoaho Bandung): tubuh yang terbenam beton. Badung (Sebuah Insomia): tubuh yang tidak pernah bisa tidur, kemudian menghadapi momen-momen yang hilang.

Pertemuan antara tubuh dan kota tidak pernah terjadi. Sebaliknya, kota menjadikan tubuh sebagai pusat konflik. Kota sebagai ruang, bangunan, dan mobilitas, tidak lagi bisa mengukur batas-batas kodrati tubuh. Kota tumbuh untuk menyakiti tubuh yang menghuninya. Ketika hubungan kota dan tubuh tidak terwacanakan dalam visi dan tata kota, kota dibiarkan tumbuh sebagai representasi ruang yang tidak melibatkan tubuh untuk berbagai aktivitas yang dilakukan sepanjang hari.

Narasi gender

Politik identitas dalam narasi gender antara Priangan dan Bandung berlangsung secara tidak berimbang. Sepanjang itu pula, hampir tidak ada penyair perempuan yang masuk ke dalam narasi gender seperti ini. Dalam konteks ini pula, Nenden Lilis A (Rumentang Siang, Suatu Malam) dan Ratna Ayu Budiarti (Untuk Seseorang Yang Menjadikan Aku Sebagai Kekasih Gelapnya) menulis dalam ruang gender yang berbeda.

Kedua sajak itu, yang satu ditulis 1995, satunya lagi 2004, berjarak hampir sepuluh tahun. Nenden generasi kelahiran 1971 dan Ratna kelahiran 1981. Dua generasi yang berbeda 10 tahun, hampir sama persis dengan jarak waktu ke dua sajak di atas. Nenden memperlihatkan idealisme, misteri atas hubungan dan ruang, serta strategi teks yang berat dan muram. Menggunakan setting gedung teater. Sementara itu, Ratna memperlihatkan sikap pragmatis atas hubungan. Hubungan tidak dilihat sebagai misteri waktu, melainkan sebagai penawaran dan pemilikan. Menggunakan setting gedung bioskop, dan mal. Menggunakan tubuh sebagai bahasa lewat fitness body language. Menggunakan strategi teks yang cair dan gamblang. Puisi Ratna berbeda dengan kebanyakan puisi dalam kumpulan ini pada umumnya, lebih dekat dengan puisi Karno Kartadibrata. Bentuk puisi yang sebelumnya sering kita anggap sebagai prosaik.

Puisi Nenden melihat hidup sebagai teater nasib, dimana ada penonton yang tak bernama, tak terkenali yang tetap berada dalam gedung teater walau pertunjukan telah usai dan penonton lain telah pulang. Penonton tak bernama itu seperti mata yang tidak pernah tidur mengawasi teater nasib itu, sedangkan puisi Ratna melihat hidup lebih sebagai pasar tawar-menawar. Ruang hidup mereka adalah ruang dimana mereka bertindak sebagai "yang menonton" dan bukan "yang ditonton". Tak ada misteri juga tak ada lagi yang disucikan.

Ratna bisa dikatakan generasi yang lahir sepenuhnya setelah Bandung berubah dan tidak pernah mengalami Bandung lama yang pernah disebut sebagai "kota kembang". Apakah narasi Priangan akan tetap berlanjut dalam puisi-puisi setelah generasi Ratna?

Saya kembali mengamati diri saya setelah saya selesai menulis makalah ini. Saya terpaku pada ketegangan antara kota dan kata. Suatu saat kota adalah kata ketika kota mampu menjadikan dirinya sebagai rumah naratif yang melahirkan cerita. Suatu saat, kata adalah kota ketika kata mampu membuat ruang untuk terjadinya gerakan bahasa.***

* Afrizal Malna, Penyair

(Artikel ini disarikan dari makalah penulis yang disampaikan dalam Bedah Buku Di Atas Viaduct, Bandung dalam Puisi Indonesia, di Aula Pikiran Rakyat, 23 Juni 2009).

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 27 Juni 2009