Monday, March 30, 2009

Enam Presiden RI dan Film

-- Yan Widjaya*

APAKAH mereka yang pernah menjadi orang-orang nomor satu di republik ini juga penggemar film seperti kita? Inilah catatan yang hendak saya laporkan kepada Anda.

Soekarno

Kepala Negara pertama Republik Indonesia, dari 1945 sampai dengan 1966.

Tahun 1957, ketika Bung Karno berkunjung ke AS, beliau disambut hangat Presiden John F Kennedy dan banyak bintang top. Bahkan, putra sulungnya, Guntur, dihadiahi oleh koboi legendaris Roy Rogers, satu setel busana koboi komplet dengan sepatu larsnya.

Sebelum menjadi proklamator, ketika dibuang pemerintah kolonial ke luar Jawa, ke Benkoelen (sekarang: Bengkulu), Bung Karno sempat menyalurkan bakat menyutradarai. Beliau membentuk perkumpulan sandiwara dengan sejumlah muda-mudi, menulis cerita skenario dan mengarahkan sendiri beberapa pergelaran. Yang paling terkenal, Dr Satan.

Bung Karno, pada dasarnya mencintai kebudayaan. Berkawan baik dengan tokoh film Usmar Ismail. Antara lain beliau merestui pembuatan film dakwah, Tauhid (1954) arahan Asrul Sani.

Darah seni Bung Karno menurun ke putranya, Guruh, yang memimpin koreografer tari, menggubah lagu, menggelar pertunjukan musikal, bahkan main film Untukmu Indonesia dan Wali Songo.

Bung Karno ditampilkan dalam;

- Pengkhianatan G.30.S PKI (1982),

- Djakarta '66 (1983/tetap diperankan Umar Khayam),

- film Australia, The Year of Living Dangerously (1983), yang dibintangi Mel Gibson sebagai wartawan (Bung Karno sekelebat diperankan pemain Filipina, lokasi syuting di Manila),

- film kerja sama Indonesia-Tiongkok, Chow En-lai in Bandung/2003 (Bung Karno diperankan Soultan Saladin), dan

- Gie (2004), karya Riri Riza, ada adegan Soe Hok Gie diterima Bung Karno di Istana Negara (juga diperankan Saladin).

Soeharto

Presiden kedua ini berkuasa lebih awet, 32 tahun (1966-1998). Mungkin belum banyak yang tahu, kalau Bapak Pembangunan kita ini sangat menyukai film silat Hong Kong.

Pada 1976, saya membantu Tobali Indah Film yang mengimpor film Mandarin. Yang tersukses, Killer Clans, arahan Chu Yuan, dibintangi Ku Feng, Yueh Hua, Tsung Hua, Ching Li, dan all stars cast. Skenarionya diangkat dari cersilnya Ku Lung, Liu Sing Hu Tie Jien. Saya membuat buklet 32 halaman yang penuh foto dan cerita di balik layar. Buku itu sampai juga ke tangan beliau. Sampai dua kali Pak Harto meminjam filmnya untuk ditonton di rumahnya, Jl. Cendana, Menteng, Jakarta Pusat.

Ingin tahu inti ceritanya? Tentang ketua persilatan bergelar Lao-Pek. Ia dikhianati murid kepercayaannya sendiri. Markasnya porakporanda, namun Lao-Pek yang waskita lolos karena telah menyiapkan sarana bila terjadi sesuatu. Rupanya, filsafat yang diterapkan Lao-Pek sangat berkesan bagi beliau yang mewaspadai munculnya tokoh serupa Brutus di sekelilingnya.

Pak Harto ditampilkan dalam film-film yang direstuinya:

- Janur Kuning (1979), arahan Alam Surawidjaya, diperankan Kaharuddin Syah,

- Pengkhianatan G.30.S PKI (1982), arahan Arifin C. Noer, diperankan Amoroso Katamsi,

- Djakarta '66 (1983), arahan sutradara dan pemain yang sama,

- Nyoman dan Merah Putih (1989), dalam adegan klimaks ketika Pak Harto turun dari mobil untuk memasuki gedung pertemuan.

BJ Habibie

Presiden ketiga ini bukan saja tertarik pada teknologi pesawat dan membeli kapal tanker dari Jerman, tapi juga secara berterang menyatakan sangat menyukai sinetron Cinta Fitri yang ditayangkan stripping setiap malam di SCTV sejak tahun 2007.

Kalau ada episode terlompat, toh Manoj Punjabi, produser MD, pasti mengirimkan kaset lengkap Cinta Fitri dari tayangan pertama sampai ketiga.

Abdurrahman Wahid

Lebih ngetop dipanggil Gus Dur, sang Kyai nyleneh. Pengetahuannya tentang film tak kalah dibanding wartawan kawakan seperti misalnya xjb (JB Kristanto).

Itu sebabnya beberapa tahun silam, Gus Dur menjadi Ketua Dewan Juri FFI. Dan, yang dimenangkannya sebagai Film Terbaik adalah arahan Slamet Rahardjo, Kembang Kertas (1984).

Megawati Soekarnoputri

Nah, satu-satunya perempuan yang pernah menjadi orang nomor satu di republik ini, ternyata menggemari film India.

Favoritnya tentu Kuch Kuch Hota Hai (1998). Itu sebabnya, Raam Punjabi mengundangnya untuk menonton Kabhi Kushi Kabhie Gam (2001) yang juga dibintangi Shah Rukh Khan, Kajol, dan Amitabh Bachchan, di Hollywood KC 21.

Susilo Bambang Yudhoyono

Bersama presiden keenam ini, saya sempat beberapa kali nonton bareng. Dari Serambi, karya Garin Nugroho dkk, berlatar Aceh pasca-tsunami. Kami menonton setelah pukul 21.00 WIB di Studio XXI, Thamrin, Jakarta Pusat. Beliau beruntun menonton Nagabonar Jadi 2, Ayat-Ayat Cinta, dan Laskar Pelangi.

Itulah catatan tentang enam presiden kita. Bagaimana dengan presiden ketujuh? Kita tunggu sampai akhir Pemilu 2009 ya?

* Yan Widjaya, pengamat film

Sumber: Suara Pembaruan, Senin, 30 Maret 2009

Sunday, March 29, 2009

Oase Budaya: Sikap Puisi dalam Dimensi Ruang Publik

-- Fransisca Dewi Ria Utari

DALAM buku Demonstran Sexy, Binhad Nurrohmat melawan kecenderungan puisi mutakhir.

Sebagai bagian dari karya seni yang diciptakan manusia, sastra tidak pernah kehilangan persediaan persoalan untuk diungkapkan. Sepanjang manusia tetap ada, sastra akan tetap muncul sebagai bagian dari perjalanan sejarah manusia. Namun sejarah juga mencatat beragam perubahan yang dilakukan manusia. Lantas apakah posisi sastra—dalam hal ini pelakunya—juga ikut berubah atau menetap.

Posisi sastra dalam kaitannya dengan terus berubahnya kehidupan sosial politik manusia, menjadi tema hangat yang dibicarakan dalam diskusi Sastra dan Slogan Politik, bedah buku puisi Demonstran Sexy karya Binhad Nurrohmat di Darmint Café, Tebet, Jakarta Selatan, Jumat (27/3). Diskusi yang diadakan Balesastra Kecapi ini mengundang budayawan FX Mudji Sutrisno dan pengamat politik Yudi Latif sebagai pembicara dengan dimoderatori oleh Damhuri Muhammad.

Menghubungkan puisi ini dengan perjalanan sosial politis bangsa Indonesia, sama-sama menjadi bahan acuan bahasan kedua pembicara. Bisa dibilang diskusi ini lebih cenderung membicarakan soal posisi sastra dalam ruang publik ketimbang memberi pandangan soal dimensi estetis atas karya-karya puisi Binhad.

Sedari awal, Yudi Latif mengakui bahwa dalam mengupas karya Binhad, ia mengabaikan dimensi tehnikalitis dan estetika, karena ia memilih mendekatinya dari aspek signifikansinya. “Karena saya tidak dalam otoritas untuk memberi pandangan secara estetik. Lagipula, menurut saya ketika sastra tidak pernah kehilangan stock persoalan, sastra bisa mencoba mencari ruang pengucapan alternatif untuk memberi proses artikulasi tanding terhadap persoalan-persoalan itu,” ujar Yudi Latif.

Yudi kemudian membuka diskusi ini dengan membandingkan masa Orde Baru dengan saat ini. Ia melihat bahwa Orba merupakan masa represif otoritarian di mana ortodoksi negara menjadi standar objektifitas. Subjektifitas-subjektifitas di luar negara ditiadakan dengan contohnya ilmu-ilmu sosial atau akademik takluk di bawah ortodoksi negara. “Jalan bagi rakyat untuk keluar dengan pikiran-pikirannya sendiri, justru mendapatkan mediasinya dalam kesusastraan,” kata Yudi yang juga memberi kata pengantar pada buku Binhad.

Situasi saat itu memperlihatkan bagaimana dunia imajiner atau fiksi, menjadi kerajaan objektifitas. Para sastrawan menjadi interpreter dari masalah-masalah sosial. Kita bisa melihat contohnya dalam puisi-puisi Widji Thukul di mana persoalan-persoalan masyarakat saat itu diartikulasikan secara kuat.

Sangat berbalik dengan situasi sekarang. Di mana objektifitas negara hampir hancur lebur, negara tidak bisa membawa standar otoritas. “Kita berayun dari situasi otoriter ke situasi nyaris tanpa otoritas,” kata Yudi. Ia mencontohkan bagaimana negara tidak bisa membuat rule of law, atau bahkan mengeksekusi satu jengkal tanah di jalan tol. Situasi ini memunculkan perlombaan-perlombaan subjektifitas yang mengurung ruang publik. “Yang kita tunggu bagaimana respon kesusastraan di dalam eksplosi samudera subjektifitas identitas ini,” ujarnya menambahkan.

Jika dulu sumber dari represi itu muncul dari representasi negara, maka sekarang ini standar objektifitas luluh oleh lautan subjektifitas dalam bentuk politik identitas, fanatisisme, dan fundamentalisme. Ditegaskan Yudi, ancaman saat ini justru datang dari elemen-elemen civil society.

Yudi mencontohkan sejumlah kasus-kasus fanatisisme yang mengancam. Fanatisisme dalam hal ini adalah suatu paham untuk menolak adanya prinsip representasi. Contoh dalam agama adalah munculnya watak anti ikon, yang ditunjukkan dengan tindakan membakar patung Budha dan ikon-ikon lainnya.

Dalam politik, penolakan representasi ditunjukkan dengan pandangan bahwa kerajaan Tuhan lah yang harus dihadirkan tanpa perlu adanya perantara.

Sedangkan dalam seni, fanatisisme tidak bersedia memahami keberadaan estetika gap. Yakni, di mana realita yang dikemukakan dalam sebuah karya seni tidak selalu merupakan tiruan dari realita sesungguhnya. Pandangan inilah yang dihantam oleh fanatisisme.

Selain lautan subjektifitas, problem kehidupan saat ini adalam persoalan demokrasi di mana tengah terjadi tekanan persoalan kelembagaan dan prosedural yang tidak didukung oleh ruang publik yang sehat. Yudi kemudian mengambil sudut pandang Habermas, di mana ukuran ruang publik yang sehat, adalah ketika terjadi keseimbangan antara dimensi kognitif scientific, praktek moral, dan ekspresif estetik.

Ketiga ukuran itu sedang kosong dalam situasi ruang publik kita. Dihadapkan pada ruang publik yang sakit seperti ini, apakah sastra sebagai rumah kehidupan itu, akan menjadi persoalan itu sendiri atau bisa melahirkan alternatif untuk keluar dari kepengapan ruang publik tersebut.

Jadi mestinya, menurut Yudi, dengan problem ruang publik saat ini, cukup amunisi bagi kalangan sastra untuk melahirkan karya-karya besar.

Adapun posisi karya Binhad dalam situasi ‘sakit’ saat ini, Yudi menilai bahwa ia mewakili pandangan masyarakat saat ini yang tengah kehilangan kepercayaan. “Puisi Binhad menunjukkan aspek distrust. Ia tidak percaya pada penguasa, tidak percaya pada penyair, tidak percaya pada senioritas, bahkan tidak percaya pada Indonesia,” ujar Yudi.

Dalam situasi ketidakpercayaan itu, Binhad melakukan dekonstruksi atas apapun, namun tidak berpretensi untuk melakukan rekonstruksi. Binhad juga dinilainya melakukan pengambilan jarak terhadap realitas kehidupan dengan dua cara: yaitu memfamiliarkan jargon-jargon politik yang tidak akrab di telinga masyarakat, namun juga melakukan sebaliknya. Yaitu menjauhkan atau tidak mengakrabkan istilah-istilah yang sudah dikenal.

Aspek politis mutakhir juga dikaitkan Mudji Sutrisno pada puisi-puisi Binhad. “Saya melihat pentingnya buku ini karena muncul dalam ruang publik yang pengap oleh politisasi, spiritualisasi, fundamentalisasi dan terutama ekonomisasi. Posisi buku ini menjadi enak karena bisa menjadi cermin untuk menunjukkan apakah terjadi politisasi estetika atau politisasi puisi atau estetisasi dari politik itu sendiri,” ujar Mudji Sutrisno.

Di dalam buku ini, Mudji melihat bagaimana Binhad dengan kentara mengkritik penyair yang tampil ke panggung dengan gaya sok politikus, namun mengaku sebagai seorang yang melawan tirani.

Lantas Mudji mengistilahkan karya Binhad ini sebagai salah satu karya yang masih koma. Penjelasan tentang koma ini dikisahkan Mudji lewat kenangannya akan almarhum Romo Mangun Wijaya. Dalam sebuah diskusi, seorang peserta dari kalangan muda, mengeluhkan pada Romo Mangun, bahwa karyanya terlalu menggunakan istilah yang panjang-panjang dan susah dimenegerti. Saat itulah Romo Mangun menjawab bahwa generasi si penanya itu adalah generasi titik. Sementara generasi Romo Mangun adalah generasi koma di mana ketika terbentur jalan buntu, tidak langsung menyerah.

“Buku ini adalah sebuah koma untuk merebut ruang-ruang kultural yang lebih manusiawi dan lebih Indonesia. Termasuk berani untuk mengkritik ke dalam dan keluar,” ujar Mudji Sutrisno.

Adapun pandangan yang lebih mengkritis soal estetika puitis justru berhasil diberikan Radhar Panca Dahana yang hadir dalam diskusi tersebut. Ia menilai puisi Binhad merupakan sebuah ekspresi dalam melawan kecenderungan-kecenderungan puisi mutakhir yang retorik dan prosaik. “Prosaik itu kan bermain-main pada diksi yang lebih dipahami orang awam. Dan kebanalan dalam puisi saat ini, dibongkar oleh Binhad. Dengan kata lain, lebih jujur,” ujar Radhar.

Namun pilihan ini dikelompokkan Radhar sebagai puisi masa romantik yang tentu saja malah kembali ke masa lalu. Di sinilah Radhar menegaskan bahwa hingga sejauh ini, belum ada penyair yang bisa menciptakan artikulasi baru dalam situasi yang disebutnya the dead of literature.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 29 Maret 2009

Puisi:Memasuki Dunia Sapardi

-- Ilham Khoiri

Kami pun setiap malam berada dalam ruangan itu: dia main piano dan aku mendengarkannya. Yang selalu dimainkannya adalah Fur Elise, salah satu mahakarya Beethoven yang selalu membuatku seperti mengambang dalam keheningan untuk kemudian lenyap menjelma butir-butir udara yang dihirup dan dihembuskannya... Kami tak pernah bersentuhan. Hanya kadang memandang, mungkin itu tanda bahwa kami saling mengajukan pertanyaan, atau saling menyodorkan jawaban...

Aktris Niniek L Karim dan gitaris Jubing Kristianto sedang membawakan cerita pendek karya Sapardi Djoko Damono di Newseum Kafe, Jalan Veteran, Jakarta, Jumat (27/3) malam. (KOMPAS/ILHAM KHOIRI)

Cerita sangat pendek berjudul Untuk Elisa karya penyair Sapardi Djoko Damono itu berdenyut-hidup dalam gaya monolog aktris Niniek L Karim. Sambil mengucapkan kata-kata lembut, sesekali perempuan awet muda itu berhenti sejenak, lalu menatap Jubing Kristianto. Gitaris itu sendiri tengah asyik memetik senar yang mendentingkan alunan nada Fur Elise: tung tang tung tang tung... ting ting tung tung... ting ting tung...

”Huh... Ingin sekali saya menjadi gadis itu,” ujar Niniek yang mengaku terhanyut dalam cerita pendek itu.

Begitulah salah satu pementasan puisi-puisi Sapardi Djoko Damono dalam pertunjukan ”Sihir Hujan” di Newseum, gedung tua di kawasan Jalan Veteran, Jakarta Pusat, Jumat (27/3) malam. Tampil sebagai pengisi utama, duet Ari Malibu dan Reda Gaudiamo yang menampilkan musikalisasi puisi. Ada juga model Maudy Kusnaedi yang berdeklamasi, serta komunitas Soca asal Tasikmalaya dengan dua film pendek yang dibuat berdasar tafsir atas puisi Sapardi.

Sapardi juga tampil membaca dua puisi pendek. Pada pentas itu, penyair itu meluncurkan antologi puisi terbarunya, Kolam, dan revisi buku puisi Mantra Orang Jawa. Kedua buku itu dicetak terbatas.

Apa yang menarik dari pentas ”Sihir Hujan”? Terasa sekali, pentas itu semakin membuktikan, betapa fleksibelnya puisi-puisi Sapardi. Karya sastra itu terasa begitu kenyal dan terbuka sehingga bisa ditafsir untuk menjadi bermacam pertunjukan baru, seperti menjadi musik, film, atau dimainkan dalam monolog.

Dengar saja musikalisasi Ari-Reda yang terkenal sejak tahun 1990-an itu. Meski sebagian kita kerap mendengarnya, penampilan duet itu tetap saja menggugah. Lagu Hujan Bulan Juni, Gadis Kecil, Akulah Si Telaga, Di Restoran, atau Sihir Hujan seperti menyihir penonton yang memenuhi ruangan Newseum. Komposisi musik yang mengalun bersahaja, diksi puisi mengena, dan dentingan gitar Ari (kadang diiringi Jubing), semuanya bersinggungan untuk menciptakan suasana yang bikin dada terenyuh.

Peristiwa di atas panggung itu menarik penonton untuk masuk dalam dunia yang begitu romantis, sublim, dan intim: hujan, gerimis, gadis kecil, telaga, jembatan, kabut, gunung... Itulah dunia yang berjeda dari rutinitas sehari-hari, berjarak dari hiruk-pikuk kampanye partai politik, atau segenap krisis yang mendera negeri ini.

”Saya selalu terenyuh mendengar musikalisasi puisi Hujan Bulan Juni. Saya hafal liriknya,” kata I Wibowo, pengamat budaya China dari Universitas Indonesia (UI), yang khusyuk menonton malam itu. Saat masih kuliah di London, dia mengaku kerap menyetel kaset Hujan Bulan Juni yang membuatnya rindu pada Tanah Air.

Terbuka

Kenapa puisi Sapardi cukup lentur untuk ditafsirkan menjadi musik, monolog, atau film?

”Puisi saya itu terbuka untuk interpretasi. Mau diapain saja bisa, dan hasilnya bisa bagus, malah kadang mengejutkan,” kata Sapardi.

Menurut guru besar dan mantan Dekan Fakultas Sastra UI itu, puisinya tidak menggunakan kata yang neko-neko, apalagi gagah-gagahan. Puisinya tidak menggurui dengan petuah-petuah, melainkan menciptakan dunia yang terbuka. ”Dengan begitu, semua orang bisa masuk dan menemukan dirinya sendiri.”

Pengamat sastra UI, Maman S Mahayana, menilai puisi Sapardi itu punya kesederhanaan bahasa sehingga hampir semua kalangan mudah mengikutinya. Namun, di balik diksi yang sangat terjaga itu tersimpan makna yang dalam. Pembaca bisa menikmati puisi itu, tetapi juga tak pernah selesai saat mencoba memahami maknanya.

Puisi-puisi penyair kelahiran Solo, 20 Maret 1940, itu punya citraan kuat sehingga berhasil menghadirkan suasana tertentu. Diksinya menciptakan rima seperti bebunyian lagu. Dengan tema sehari-hari yang akrab dengan banyak orang, siapa pun mudah tersentuh oleh puisinya.

”Dalam kesederhanaan, puisinya kaya tafsir. Itulah yang membuat puisi itu bisa melahirkan pentas baru, entah dalam bentuk lagu, musik, atau monolog,” kata Maman.

Bagi Jubing, kata-kata puisi Sapardi memang menciptakan ruang terbuka. Dalam ruang itu, dia leluasa menggali kekayaan petikan gitar untuk membuat iringan musikalisasi Ari-Reda. ”Kata-kata puisi itu menuntun irama, tetapi juga memberikan ruang kebebasan improvisasi,” katanya.

Terbatas

Sapardi mengaku, musikalisasi yang dilantunkan Ari-Reda telah membuat puisinya lebih populer bagi banyak kalangan. Apresiasi sastra pun makin luas. Soal hasilnya bagaimana, itu diserahkan pada tafsir masing-masing orang yang menggarapnya jadi pertunjukan lain.

Bicara soal hasil, komposer dan pengamat musik Franki Raden punya pendapat berbeda. Bagi dia, tak semua musikalisasi puisi Sapardi oleh Ari-Reda berhasil. Pada beberapa karya, memang lagu dan puisi muncul sama-sama kuat. Namun, beberapa karya lain justru membuat musik dan puisi malah hanya tampil setengah-setengah.

Dengan pendekatan terbatas, beberapa puisi yang berbeda digarap dengan musik serupa. Padahal, masing-masing puisi punya kekuatan bahasa, konteks, isi, dan pesan unik—yang semestinya menuntut eksplorasi musik lebih kompleks. ”Dengan pendekatan musik pop yang begitu-begitu saja untuk semua puisi, ruh puisi itu bisa hilang.”

Menurut etnomusikolog itu, sebenarnya musikalisasi puisi sudah mentradisi dalam sastra tutur di Nusantara. Tembang di Jawa, misalnya, adalah lagu yang dinyanyikan secara mocopatan tanpa iringan musik atau bisa dilantunkan sebagai lagu yang menyatu dengan gamelan. Hal serupa juga terjadi pada banyak sastra tutur di daerah lain.

”Tradisi kita punya sejarah musikalisasi puisi dengan pendekatan yang kaya dan berbeda-beda. Semestinya musikalisasi puisi sekarang juga ditangani dengan berbagai pendekatan lebih terbuka, tak hanya mengandalkan musik pop standar yang terbatas itu,” katanya.

Sumber: Kompas, Minggu, 29 Maret 2009

Kebudayaan: "Terbunuhnya" Kultur Tatap Muka

-- Indra Tranggono

SETIDAKNYA sejak era 1980-an, tanpa sadar, ”kita” menyelenggarakan ”perkabungan” kebudayaan atas ”terbunuhnya” kultur tatap muka. ”Kita” makin kesulitan untuk bertemu, berdialog secara intens, saling menyelami batin, mencium bau keringat, dan mengenali kemanusiaan dalam sebuah ruang sosial yang kondusif. ”Kita” mengalami keterasingan: kesendirian pun telah mengkristal menjadi kesunyian.

Dulu, kita bisa bareng-bareng nonton ketoprak, ludruk kelilingan, atau jenis kesenian tradisional lainnya yang manggung di desa atau kota kita. Tapi, di manakah mereka sekarang? Di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta kesenian tradisional yang mobile tinggal satu-dua atau bahkan punah. Sementara panggung-panggung Ramayana atau wayang orang makin jauh dari tepuk sorak atau ingar-bingar penonton. Para pemain menggigil dibalut kemiskinan yang mencemaskan.

Begitu juga bioskop-bioskop di kota-kota kecil maupun pinggiran. Sejak era sinepleks menguasai pasar, mereka makin ditinggalkan penontonnya dan akhirnya bernasib tragis: gulung tikar. Ada satu dua bioskop yang masih bertahan, tetapi mereka hanya menunggu dijemput maut. Nasib yang sama juga dialami banyak sinepleks, kecuali yang ada di kota-kota besar, seperti Jakarta, Semarang, Medan, dan Surabaya.

Dulu, di berbagai kota muncul banyak lingkaran studi (diskusi) yang mampu melahirkan kesadaran kritis atau wacana-wacana yang membuat benak kita penuh sesak pengetahuan. Dari lingkaran diskusi kecil ini lahir banyak tokoh muda, yang kini eksis di berbagai bidang. Kini, mungkin lingkaran diskusi itu masih ada meskipun jumlahnya menyusut tajam.

Paparan contoh di atas hanyalah sebagian (kecil) dari ”matinya” seni pertunjukan, yang tentu juga terjadi di kota-kota lain di negeri ini. Kita melihat kenyataan, bukan hanya kesenian yang sepi, tapi juga forum-forum diskusi dan kegiatan sosiokultural lainnya yang dianggap tidak memiliki ”nilai guna”.

Semula kita menyangka: kematian mereka hanya karena dibunuh kapitalisme yang menghadirkan siaran televisi di ruang tamu atau hal-hal lain yang memberi kenyamanan dan mudah dijangkau. Hal itu benar. Kapitalisme memang punya tabiat rakus dalam melipatgandakan modal untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Ia tidak mau peduli dan berbagi dengan nasib pihak-pihak lain yang juga punya hak hidup. Prinsipnya: survival of the fittest. Hanya yang kuat dan berkuasa yang mampu bertahan.

Matinya jenis kesenian atau tontonan yang live ternyata bukan hanya disebabkan perang modal dari ”kapitalis” (juragan) kecil melawan kapitalis raksasa. Begitu juga dengan ”matinya” forum-forum sosiokultural. Ada hal yang jauh lebih mendasar: ”terbunuhnya” kultur tatap muka dalam masyarakat.

Pragmatisme

Kultur tatap muka tentu tidak sesederhana ”pertemuan saling menatap wajah”, melainkan sebuah budaya bercorak komunal yang menganggap penting kebersamaan untuk menciptakan solidaritas sosial dan merawat nilai-nilai kemanusiaan. Di dalam kebersamaan itu, pada hakikatnya, setiap individu memperkuat ikatan sosialnya sekaligus meneguhkan bahwa masing-masing orang merupakan bagian integral dari masyarakat atau komunitas. Di sini, setiap individu melakukan pemaknaan sosial, baik yang terkait dengan diri sendiri maupun terkait dengan orang lain. Selain itu, setiap individu juga melakukan pemaknaan kultural: mereka melakukan konfirmasi dan peneguhan (istilah Umar Kayam) atas nilai-nilai ideal kehidupan yang disepakti bersama.

Siapakah pembunuh kultur tatap muka? Kita bisa mengajukan pragmatisme, sebagai terdakwa.

Menurut budayawan Kuntowijoyo, pragmatisme berasal dari bahasa latin pragmaticus: praktis, aktif, sibuk; bahasa Yunani pragma berarti bisnis. Filsafat pragmatisme tumbuh di Amerika; ditumbuhkan William James (1842-1910) melalui buku Pragmatism. Pokok ajaran (kebenaran pragmatisme) ini adalah sebuah kepercayaan itu dinilai benar jika berguna. Ukuran dari kebenaran ialah apakah suatu kepercayaan dapat mengantarkan orang kepada tujuan. Pragmatisme menolak pandangan tentang kebenaran kaum rasionalis dan idealis, yang dianggap tidak berguna dalam kehidupan praktis (Kuntowijoyo : 2005).

Pragmatisme menemukan ruang aktualisasi yang luas bersama dengan semakin menguatnya kapitalisme. Kata-kata kunci dalam kapitalisme adalah: praktis, pragmatis, efektif, dan efisien. Ketika semua orang tanpa reserve mengimani materialisme, maka ”nilai guna” (yang disodorkan pragmatisme) menjadi pilihan paripurna. Kepentingan-kepentingan jangka pendek menjadi pilihan yang harus diambil untuk survive. Akhirnya, apa pun dilakukan demi perolehan yang dicapai secara instan itu. Segala hal yang tidak ”cepat saji” atau ”cepat raup” ditolak tanpa permisi dan basa-basi.

Di mata pragmatisme, kultur tatap muka dianggap bukan sebagai ”kebenaran” karena tidak memiliki guna (mendatangkan hasil secara langsung). Prinsip orang, kudu mikolehi (harus mendapat hasil konkret atau keuntungan secara cepat raup), bertabrakan dengan prinsip-prinsip kulural dalam budaya tatap muka: perawatan atau pengukuhan nilai, solidaritas sosial dan lainnya. Bagi orang pragmatis, nilai-nilai itu terlalu abstrak dan ”tidak bisa dimasak menjadi nasi” (orang Jawa bilang, ora bisa diliwet).

Kapitalisme bergandengan tangan dengan pragmatisme telah sukses ”mengubur” idealisme secara hidup-hidup. Ini terbukti, pragmatisme laku di mana-mana: ya di bidang politik, ya agama, ya budaya, ya kesenian, ya hukum, ya ekonomi, ya pendidikan. Komplet. Akibatnya, terjadi humanisasi karena kekuatan modal beroperasi tanpa kontrol, termasuk kontrol dari negara. Bahkan, negara cenderung berposisi sebagai ”panitia pasar bebas” yang diciptakan dan dibangun kapitalisme.

Kultur tatap muka, yang salah satu tujuannya adalah merawat kemanusiaan dari bahaya robotisasi manusia yang diciptakan industrialisme juga makin tenggelam ke dasar degradasi manusia. Dalam setiap pertemuan yang cenderung muncul bukan manusia, melainkan aktor-aktor bernama fungsi alias guna. Manusia cenderung tereduksi menjadi sekadar fungsi di berbagai bidang kehidupan. Siapa pun yang berupaya merebut kemanusiaannya, mereka akan dicap sok idealis, keras kepala, tidak realistis, jadul (zaman dulu, kuno) dan olok-olok lain. Mungkin masyarakat sekarang tidak lagi butuh budaya tatap muka, melainkan tatap fungsi, tatap guna, tatap hasil, tatap upah.

* Indra Tranggono, Cerpenis, Tinggal di Yogyakarta

Sumber: Kompas, Minggu, 29 Maret 2009

Wisata Bahasa

-- Sunaryono Basuki Ks*

MOHON maaf sebelumnya kepada semua pihak kalau-kalau yang saya tulis ini menyinggung perasaan atau wibawa atau apa saja yang Anda punyai. Tulisan ini sekedar mengemukakan keheranan saya akan kreatifitas bangsa ini dalam memberi nama-nama tempat.

Saya mulai dengan nama-nama pelabuhan. Jakarta punya Tanjung Priuk ( Priok) yang dikalahkan oleh Surabaya karena punya Tanjung Perak, namun Semarang tak mau kalah punya Tanjung Emas. Luar biasa, kota terkaya di Indonesia. Namun "sialnya" Lampung "hanya" punya Tanjung Karang, dan Riau punya Tanjung Pinang. Celakanya lagi,. Di Pulau Bintan tempat Tanjung Pinang berada juga ada Tanjunguban. Sumatera Utara punya Tanjungbalai. Masih ada tempat lain yang bernama Tanjung Pandan.

Provinsi Sumatera Barat juga unik. Kurang puas dengan punya kota Padang, mereka masih perlu punya kota Padang Panjang, dan Padang Sidempuan dan propinsi ini punya "jumlah" kota terbanyak di Indonesia, yakni Kabupaten Lima Puluh Kota! Lebih aneh lagi, di Papua ada Kabupaten Raja Ampat. Pasti bupatinya kebingungan, sebab walau keberadan kerajaan-kerajaan di Indonesia masih diakui, seperti adanya Festival Kerajaan se Indonesia, kebanyakan kerajaan-kerajaan itu tidak punya raja yang memerintah kecuali DIY yang punya Sri Sultan yang menjabat sebagai Gubernur DIY.

Konon Borneo atau Kalimantan dianggap sebagai pulau tertua di Indonesia, tetapi dari namanya pasti Pulau Bangka yang tertua! Ada juga nama-nama tempat yang ganda, di Jawa dan di Luar Jawa. Kalau di Inggris ada kota York, maka di Amerika ada New York, demikian juga kota London disaingi oleh kota New London di Kanada, sedangkan Perth di Skotlandia juga ada di Australia. Kota universitas Lancaster di Inggris ternyata punya pendamping sebuah kota kecil di Amerika di dekat Columbus, Ohio. Hal ini dapat dipahami karena mungkin para imigran dari Inggris ingin mengenang kota asalnya dan mengabadikan nama kotanya di benua baru.

Mungkin alasannya sama dengan sebuah tempat kecil di Tabanan, Bali yang bernama Kediri, juga ibukota NTB yang Mataram. Mungkin saja berhubungan dengan Mataram kuno di Jawa. Di Buleleng, Bali juga ada desa pantai yang bernama Penarukan, entah apa hubungannya dengan kota kecil Penarukan di timur Situbondo, di ujung Jalan Pos Dandeles Anyer-Penarukan.

Pada masa penjajahan Belanda, para penguasa Bali yang memberontak akan "diselong", artinya katanya, dibuang ke Ceylon, padahal ada yang bilang hanya dibuang sampai Padang di Sumatera. Namun, di NTB juga ada nama kota kecil namanya Selong. Apakah nama itu meniru Ceylon, belum ada informasi mengenai hal tersebut.

Kabupaten Buleleng di Bali adalah kabupaten terluas dengan wilayahnya yang membentang dari ujung barat sampai hampir mencapai ujung timur berbatasan dengan Karangasem. Kabupaten ini juga berbatasan dengan Bangli, Tabanan, dan Jembrana.

Namun, dalam guyonan muncul bahwa Kabupaten Gianyar merupakan kabupaten terluas. Kenapa? Seseorang nyeletuk: Karena pantainya lebih. Di Gianyar memang ada nama wilayah yang bernama Pantai Lebih!

Lain lagi dengan kata "pura" yang berarti kota. Mungkin merasa kurang enak punya nama kota Karangasem yang bermakna "kebun asam", beberapa tahun lalu kota ini dinamai Amlapura, sedangkan dalam bahasa Bali amla berarti asam juga, jadi sebetulnya tak ada yang berubah, namun nama kabupatennya tetap saja Karangasem, mungkin serupa Asem Bagus yang sampai sekarang dapat membanggakan jajaran pohon asam berjajar rapi di jalan lebar, padahal jalan itu dibuat di jaman penjajahan Belanda.

Rupanya pemerintah Belanda punya visi jauh ke depan saat nantinya jalur utara ini memang harus lebar seperti sekarang. Tak terbetik berita kalau Asem Bagus akan diganti dengan Amla Bagus, mungkin sebab amla bukan bahasa Jawa?

Lalu, apakah kota kecil Sri Indrapura ada hubungannya dengan Batara Indra, dengan demikian bermakna kotanya Batara Indra? Apakah ada hubungannya dengan kompleks percandian Muara Jambi yang konon malah tempat suci agama Buddha sementara Batara Indra dipercaya dalam agama Hindu. ? Masih di selatan Jambi ada Kenaliasem yang juga takkan diubah menjadi Kenaliamla.

Masih di Bali, kota Klungkung juga ikut diubah menjadi Semarapura alias "kota cinta". Syukurlah Singaraja tidak latah berubah menjadi Singapura walau penduduknya sering menyebutnya dengan "kota singa" lantaran raja Panji Sakti pendiri kota ini dijuluki Singa Ambara Raja. Dan "kota singa" kan bisa "diterjemahkan" menjadi Singapura.

Di luar Bali kita bisa berkunjung ke Tembaga Pura, Jayapura, Telani Pura.

Lain lagi "urang Sunda" yang suka menamai tempat atau sungai dengan kata "Ci" yang artinya air. Yang paling indah dan mengerikan karena sering mengirim banjir ke Jakarta adalah Ciliwung. Mendengar kata Cianjur kita teringat beras yang nikmat, sama sekali tak ingat air, walau padi tak bisa tumbuh tanpa air yang cukup, kecuali, tentu saja padi gogo untuk tanah kering.

Cililitan yang pernah jadi nama terminal bus di Jakarta sama sekali tak mengingatkan kita pada air, dan orang malah tak peduli apa arti "lilitan", demikian juga dengan nama-nama Cibinong dan sebagainya, tetapi Ciamis memang "air manis:, Cimahi "air yang cukup" dan Cibeurem selatan Ciawi bermakna "air merah", walau tak terlihat dimana ada air merah. Wilayah yang pernah penuh dengan bilyard center itu entah seperti apa keadaannya. Disitu (dulu) berdiri vila-vila milik orang kaya dan penting dari Jakarta. Yah, masih ada Citeurup,.Cisalak, Ciawi, Cigombong, dan sebagainya.

Soal suka memakai nama "air" di ujung timur Jatim ada Banyuwangi, "air harum" lantaran kesucian seorang istri, sedangkan di wilayah Pasuruan ada pemandian Banyu Biru, ada pula desa Banyupoh. Di pulau lain ada Air Mandidi.

Penduduk Betawi juga suka menamakan tempat-tempat tertentu sesuai dengan ciri khas tempat itu, misalnya sejumlah pemberhentian bus Kabel, Cemara Kembar, atau bangunan Proyek, Gang Kelinci. Anda pasti tahu dimana Gang Kelinci di Pasar Baru yang menjadi terkenal karena lagu gubahan Titiek Puspa yang dinyanyikan Lilies Suryani. Tapi coba tanya dimana pemberhentian bus yang disebut Kabel sebab kabelnya sekarang tak ada dan Cemara Kembar yang cemaraya pasti sudah ditebang.

Transmigran dari Jawa ke Sulawesi pasti kagum akan sebuah danau yang 'sangat religius" sebab namanya Danau Poso. Dalam bahasa Jawa, poso berarti puasa. Nah!***

* Sunaryono Basuki Ks, sastrawan tinggal di Singaraja

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 28 Maret 2009

“Love You Till The End”, Novel Ringan tentang Cinta Lesbian

Jakarta - Sebagian orang percaya bahwa apa yang tertuang di karya fiksi sesungguhnya menggambarkan realitas dalam masyarakat. Ketika realitas terlalu tabu untuk diungkapkan secara nonfiksi, fiksi pun menjadi pilihan.

Begitulah Mery DT, seorang penulis yang baru pertama kali menerbitkan novelnya, ketika mengangkat isu lesbian. Judulnya terasa “sangat Inggris”, Love You Till The End. Novel terbitan FoU Media Publisher ini sekilas seperti menggambarkan percintaan biasa, antara laki-laki dan perempuan. Tokoh utamanya bernama Audrey yang berpasangan dengan tokoh Junet, nama yang bias gender, bisa laki-laki, bisa pula perempuan. Di awal novel, Mery menceritakan bagaimana ketidaketenangan Audrey dalam mengarungi hidupan dengan seorang suami di sampingnya. Memasuki bab berikutnya, barulah Mery berani mengungkapkan alasan ketidaktenangan Audrey itu.

Ya, Audrey pernah mengalami asmara yang masih tabu untuk dibicarakan di muka umum, ia seorang lesbian. Junet adalah pasangan lesbiannya. “Kehidupan wanita yang seperti ini jarang ditulis, tapi tidak bisa dimungkiri bahwa kehidupan seperti ini ada,” ujar Mery dalam peluncuran novel setebal 183 halaman itu di Kinokuniya Plaza Senayan, Jakarta, Jumat (27/3).

Mery menjadi satu di antara beberapa penulis yang mulai berani untuk mengisahkan hal yang bagi sebagain besar orang Indonesia masih tabu meskipun di Amerika Serikat, novel-novel seperti ini sudah banyak bermunculan. Sebelum dia, Alberthiene Endah juga pernah menulis kisah cinta sepasang lesbian dibalut dengan konflik dunia narkoba dalam Jangan Beri Aku Narkoba yang kemudian difilmkan menjadi Detik Terakhir. Novel itu mendapat penghargaan dari Ikatan Penerbit Indonesia sebagai buku remaja terbaik.

Ratih Kumala juga pernah mengangkat isu ini dalam novelnya berjudul Tabula Rasa. Novel itu menjadi juara ketiga dalam kompetisi yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 2003. Lalu, ada Ernest JK Wen yang membuat Sepasang Remaja Lesbian di Persimpangan Jalan. Clara Ng pernah muncul dengan novel Gerhana Kembar, juga Herlinatiens dengan Garis Tepi Seorang Lesbian.

Kurang Maksimal

Kamelia, seorang lesbian, mengatakan bahwa novel Mery DT ini sangat baik untuk pembelajaran masyarakat tentang para lesbian. Mery memang tidak terlalu banyak melakukan riset. Ia hanya mengamati perilaku para lesbian ditambah dengan bahan bacaan dari internet. Mery bukan satu di antara para lesbian itu.

Namun, bagi Kamelia, justru itu yang menjadi kelebihan Mery. “Dia adalah seorang heteroseksual yang terbuka pikirannya untuk bisa menerima adanya golongan lain,” kata Kamelia yang menghadiri peluncuran novel itu.

Sayangnya, novel ini kurang digarap maksimal. Masih banyak keslahan ketik yang bisa ditemukan. Belum lagi kesalahan ejaan bahasa yang semestinya menjadi tanggung jawab penerbit.

Mery ingin membuat novel ini menjadi bacaan ringan dengan kalimat-kalimat yang sangat pop, khas anak muda di zamannya. Ada kesan, Mery juga berada di persimpangan jalan ketika menentukan gaya bercerita. Di awal, ia menggunakan gaya diaan (menggunakan sudut pandang orang ketiga) serba tahu, lalu tiba-tiba berubah menjadi akuan (sudut pandang orang pertama). (mila novita)

Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 28 Maret 2009

Friday, March 27, 2009

Sosok: Mimpi Mbah Udju, Pustakawan Kampung

-- Her Suganda*

IBARAT batu karang, Djudju Djunaedi atau Mbah Udju, selama 20 tahun lebih tak pernah surut dari mimpinya. Setiap hari sepulang bekerja di Perkebunan Karet Gunung Hejo, PT Perkebunan Nusantara VIII, ia berkeliling kampung-kampung di Kecamatan Darangdan, Purwakarta, dengan berjalan kaki. Dengan sabar ia menyambangi penduduk desa, menawarkan jasa meminjamkan buku dan majalah dari rumah ke rumah.




Hasilnya? Ada orang yang mau membaca buku dan majalah yang dibawanya saja sudah untung. Namun, sebagian besar orang desa yang didatangi malah menolak tawarannya dengan berbagai alasan.

”Kayak orang gedean saja membaca buku dan majalah,” ia menirukan salah satu alasan warga.

Bagi mereka membaca bukan kebutuhan. Membaca buku atau majalah dianggap kemewahan, hanya menjadi milik orang kaya di perkotaan. Padahal, Mbah Udju tak menentukan tarif untuk buku dan majalah yang dipinjamkan.

”Asal orang mau membaca saja saya sudah senang,” katanya.

Walau hanya mengenyam pendidikan formal di sekolah rakyat (kini sekolah dasar) dan bekerja sebagai karyawan rendahan, ayah dua anak ini memulai kegiatan dengan meminjamkan buku dan majalah yang sudah dibaca anak sulungnya, Edi Rohman. Sejak umur empat tahun, Edi gila membaca.

”Kalau saya pulang dari mana-mana, yang ditanyakan bukan ole-ole, tetapi buku,” katanya.

Buku dan majalah mula-mula dipinjamkan kepada anak-anak yang ayahnya bekerja sebagai karyawan di lingkungan perkebunan. Mereka diajari membaca oleh istrinya, Heni Saeni. Dua tahun kemudian ia meluaskan wilayah kegiatan ke lingkungan penduduk lain yang masih sekampung.

Desa Gunung Hejo, tempat keluarga ini tinggal, terdiri atas 17 rukun tetangga. Dengan sabar dan tak kenal lelah, selama dua tahun, satu per satu penduduk didatangi. Mimpinya menjadi pustakawan kampung mengalahkan rasa lelah. Dengan menyelendang kantong besar berisi majalah dan buku, ia mendatangi warga Desa Darangdan, tetangga Desa Gunung Hejo.

Desa itu sebenarnya pusat kecamatan. Namun, tak mudah mengubah sikap penduduknya. Selama dua minggu ia mendatangi warga desa, tak seorang pun yang mau meminjam buku dan majalah.

Bahkan, di Desa Sawit, tetangga Desa Darangdan, selama dua bulan Mbah Udju menyambangi warga, juga tak seorang pun yang mau meminjam buku dan majalah. ”Tapi, saya tidak pernah putus asa,” ujarnya.

Tak kenal lelah

Macam-macam cara ditempuh Mbah Udju agar warga desa di sekitar tempat tinggalnya punya minat baca. Ia pernah memberikan majalah, malah diacak-acak, diguntingi untuk kliping salah seorang murid SMP.

”Walau sebelumnya saya sering datang ke desanya, anak itu tidak pernah meminjam buku atau majalah,” katanya.

Untuk majalah yang ”dirusak” itu pun Mbah Udju tak meminta ganti rugi sepeser pun. Sebagai imbalan, ia hanya mengajukan syarat agar anak itu datang lagi dengan membawa teman-teman.

Kiat lainnya dilakukan dengan kerja sama mahasiswa beberapa universitas di Bandung yang sedang melaksanakan kuliah kerja nyata dan praktik kerja lapangan di desanya. Lewat lomba membaca, kegiatan itu diharapkan bisa menumbuhkan minat baca pada anak-anak.

”Hadiahnya seadanya, disediakan secara patungan oleh para mahasiswa,” katanya.

Kecamatan Darangdan terdiri atas 17 desa, tetapi hanya delapan desa yang menjadi daerah operasinya. Desa-desa itu dikunjungi secara rutin. Letak antara satu desa dan desa lain berjauhan. Tak jarang ia harus melewati daerah-daerah sepi yang merupakan perkebunan teh rakyat. Kecamatan Darangdan merupakan salah satu pusat perkebunan teh rakyat. Setiap hari ia menempuh jarak puluhan kilometer dengan berjalan kaki.

Pengalamannya yang tak terlupakan terjadi pada akhir 1996. Pulang dari Desa Nangewer, hujan turun rintik-rintik. Mbah Udju bergegas karena hari sudah senja. Buku dan majalah disimpan dalam buntelan kain, kemudian diselendangkan di bahunya. Tanpa rasa takut, ia berjalan seorang diri melewati tempat sunyi dan jauh dari perkampungan penduduk. Tiba-tiba dari arah belakang muncul sepeda motor yang dikendarai tiga orang berbadan tegap.

Salah seorang di antaranya turun lalu menodongkan senjata tajam. Bungkusannya direbut dan uang Rp 6.500 dirampas. Namun, setelah beberapa ratus meter, bungkusan buku dan majalah itu dilemparkan. Isinya berserakan. Mbah Udju sedih. Mungkin bungkusan itu mereka kira berisi kain atau bahan pakaian yang biasa dijajakan ke kampung-kampung.

Sejak itu Mbah Udju memutuskan, dua desa dia lepaskan.

Hasil sumbangan

Bekerja sampai menjelang malam dan pulang dengan keringat bercucuran, penghasilannya setiap hari Rp 8.000, paling banyak Rp 15.000.

”Kadang-kadang hanya Rp 3.000,” kata istrinya, Heni Saeni.

Pendapatannya yang tak seberapa itu jauh dari memenuhi kebutuhan. Apalagi, anak bungsunya masih kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Bandung. Maka, ketika ada wartawan setempat seusai mewawancara meminta biaya publikasi sebesar Rp 300.000, Mbah Udju menjawab, ”Uang pensiun saya dalam sebulan saja tak sebesar itu.”

Sejak tahun 2006 Mbah Udju menjalani pensiun. Setiap bulan ia menerima Rp 232.000. ”Hanya cukup untuk beli beras dan bayar listrik,” istrinya menimpali.

Hidup sederhana, tetapi tetap memiliki optimisme menumbuhkan minat baca penduduk desa, sejak 1992 perpustakaannya dinamakan Perpustakaan Saba Desa yang artinya keliling desa. Bangunannya menempati salah satu ruangan rumahnya yang hanya bisa dicapai dengan berjalan setapak di Kampung Ngenol RT 10 RW 3. Di tempat ini buku dan majalah tersimpan rapi dalam rak. Sebagian buku dan majalah masih ditumpuk begitu saja.

Ratusan buku dan majalah itu adalah sumbangan penerbit dan masyarakat setelah mereka membaca permohonan Mbah Udju yang disampaikan lewat surat pembaca. Salah seorang di antaranya, Ny Made Hidayat dari Jakarta, menjadi penyumbang setia sejak 1992.

Mbah Udju mengirimkan surat-surat itu dengan tulisan tangan. ”Boro-boro dengan komputer, mesin ketik saja tak ada,” katanya.

(Her Suganda, Pengurus Forum Wartawan dan Penulis Jawa Barat)

Sumber: Kompas, Jumat, 27 Maret 2009

Thursday, March 26, 2009

Teori Darwin: Dubois Menjawab Dunia

-- Harry Widianto*

KECAMUK teori akbar tentang evolusi yang membahana dilontarkan oleh Charles R Darwin pada paruh kedua abad ke-19, telah mengusik pikiran cemerlang seorang bocah di Eijsden, Belanda.

Eugène Dubois, nama anak itu, dengan tekun mencermati berita-berita koran tentang reaksi gegap gempita para ilmuwan mengenai teori evolusi. Dia tidak pernah sadar bahwa kelak di kemudian hari—setelah lulus sebagai dokter—kontroversi teori evolusi akan terjawab melalui tangannya, setelah langkah membawanya ke salah satu sudut Dunia Lama: Pulau Jawa!

Perjalanan Dubois hingga pada pembuktian sahih akan teori evolusi didasarkan pada argumen-argumen yang hipotetif dan fantastis. Teori evolusi yang dihimpun Darwin selama 20 tahun dalam pelayarannya di atas HMS Beagle hingga ke Kepulauan Galapagos (Kompas, 12/2) adalah titik tolak dari langkah akbar Dubois pada suatu pembuktian.

Dia pun percaya bahwa umur Bumi telah begitu tua, apalagi ketika diyakinkan oleh pendapat-pendapat Charles Lyell, seorang ahli geologi akbar saat itu, yang telah memberi banyak inspirasi kepada Darwin melalui bukunya, Principles of Geology.

Dasar-dasar pemikiran Darwin akan teori evolusinya, yaitu spesies, adaptasi, dan seleksi alam, serta buah karya Lyell akan kerentaan Bumi, telah mendewasakan Dubois sebagai seorang naturalis sejati. Di usia remajanya itu, dia pun semakin terkesima dengan pendapat dunia setelah Thomas H Huxley ikut meramaikan panggung evolusi melalui bukunya, Man's Place in Nature, yang terbit pada tahun 1863.

Huxley membandingkan manusia dengan kera-kera Afrika, terutama simpanse, makhluk yang paling dekat pertaliannya dengan manusia. Dia menyimpulkan bahwa struktur anatomi dan pertumbuhan antara manusia dan simpanse hampir sama, dan evolusi keduanya terjadi dalam cara dan hukum yang sama pula. Atribut manusia yang paling unik pun ada analoginya di kalangan hewan. Fosil-fosil kera yang ditemukan saat itu menunjukkan proses evolusi dari bentuk arkaik ke bentuk modernnya.

Ilmu pengetahuan yang saat itu belum siap menerima teori evolusi telah memperburuk situasi sehingga persoalan menjadi demikian sensitif. Kesimpulan-kesimpulan yang cemerlang dari para evolusionis akhirnya disajikan secara spekulatif, malahan disalahtafsirkan.

Masyarakat saat itu, dan bahkan para ilmuwan sekalipun, banyak yang meloncat pada kesimpulan bahwa manusia merupakan keturunan langsung dari kera. Jika manusia adalah manusia, dan kera adalah kera, maka pertalian di antara keduanya harus dapat ditemukan dalam bentuk fosil. Timbullah kemudian istilah missing link, mata rantai yang hilang. Maka, missing link pun segera dipertanyakan dunia dan dicari.

Memulai langkah akbar

Setelah menamatkan pendidikan kedokterannya, Dubois pun bertolak ke Sumatera pada 29 Oktober 1887. Bersama Anna, sang istri, dan Eugenie, sang anak, ia menumpang kapal The SS Prinses Amalia. ”Missing link harus dicari di daerah tropis yang tidak tersentuh dinginnya Zaman Es,” katanya.

Sebelum dia bertolak ke Sumatera, bumi Eropa telah mengajarkan akan penemuan Manusia Neandertal, bagian dari Homo sapiens, manusia modern, yang hampir seluruhnya berasal dari endapan goa. Itulah sebabnya, Dubois mencermati satu per satu goa-goa kapur dan melakukan penggalian-penggalian selama tiga tahun di sepanjang pegunungan karst di Payakumbuh, Sumatera Barat.

Hasilnya sungguh mengecewakan. Tulang belulang yang tampil bukanlah fosil yang ia harapkan, tetapi tulang belulang sub-resen yang terlalu muda baginya. Dia akhirnya memindahkan pencarian missing link ke Jawa setelah mendengar penemuan Manusia Wadjak oleh BD van Rietschoten pada 24 Oktober 1888.

Meski di Jawa dia berhasil menemukan tengkorak Manusia Wadjak yang kedua, ketidakpuasan masih sangat pekat menyelimutinya. ”Bukan, bukan ini yang kucari. Meski Manusia Wadjak ini sangat primitif, dia tetap manusia modern,” ujarnya.

Cerita pun menjadi lain ketika Dubois menekuni endapan-endapan purba di aliran Bengawan Solo. Tanpa diduga, matanya menangkap akumulasi fosil binatang di dasar sungai.

Aliran sungai adalah penggali terbaik karena telah menggerus sedimen purba. Inilah jendela bagi Dubois untuk menengok masa lampau. Di endapan sungai purba ini, kronologi kehidupan selama jutaan tahun dapat dibaca. Hingga akhirnya ia sampai pada sebuah lekukan Bengawan Solo di Desa Trinil, Ngawi, Jawa Tengah.

Di antara ribuan pecahan fosil Stegodon sp. (gajah purba), Axis sp (sejenis kijang), Bubalus paleokarabau (kerbau purba), dan jenis-jenis hewan lainnya, ditemukan gigi-geligi primata purba pada bulan September 1891. Sekitar satu meter dari penemuan itu, muncul pula batu coklat kehitaman yang menyerupai cangkang kura-kura.

Perlahan, temuan tersebut dibersihkan. Di tengah takjub, disingkapnya sebuah atap tengkorak manusia! ”Gigi dan atap tengkorak ini berasal dari manusia yang menyerupai kera,” kata Dubois dalam buletin pemerintah.

Tahun berikutnya, sekitar 15 meter dari lokasi penemuan atap tengkorak, ditemukan pula sebuah tulang paha kiri yang menunjukkan tingkat fosilisasi sempurna, yang sama dengan atap tengkoraknya, meskipun mirip dengan tulang paha modern. Hampir sempurna penemuan itu: gigi-geligi yang primitif, sebuah atap tengkorak primitif yang mempunyai volume otak sekitar 900 cc (berada di antara kapasitas kera dan manusia), dan sebuah tulang paha kiri yang memberi kesan pemiliknya telah berjalan tegak!

Maka, diumumkanlah penemuan Pithecanthropus erectus, manusia kera yang berjalan tegak. Segera Dubois mengirim kawat ke teman-temannya di Eropa bahwa dia telah menemukan missing link-nya Darwin.

Dunia belum siap

Di luar harapan Dubois, koleganya menanggapi temuan itu dengan penuh keraguan. Tantangan segera muncul: apakah tulang paha yang berkesan modern itu juga milik individu beratap tengkorak primitif? Jika nantinya tulang paha kiri lain yang mencirikan kesan primitif ditemukan lagi, apakah Pithecanthropus erectus memiliki dua tulang paha kiri, satu primitif dan lainnya modern?

Debat ilmiah masih tetap berlanjut di saat Dubois tampil dalam Kongres Zoologi Internasional III di Leiden tahun 1895. Juga ketika ia memajang temuannya itu di ruang kuliah British Zoology Society, London, dan memberikan kesempatan orang lain untuk mengamatinya lebih dekat.

Nyatanya, dibawanya fosil itu ke Eropa tidak memecahkan masalah. Malang bagi Dubois, temuannya—saat itu—berasal dari daerah yang hampir-hampir tidak diketahui geologinya. Dia muncul di saat dunia belum siap menerimanya.

Di tengah kekecewaan itulah Dubois kemudian menyimpan temuannya di bawah lantai rumah selama lebih dari 30 tahun. Dalam jangka waktu selama itu, ditemukan Pithecanthropus-pithecanthropus lain di berbagai bagian dunia: Mauer (Jerman) dan Zhoukoudian (China). Kelak di kemudian hari, fosil ini dimasukkan dalam genus Homo erectus, yang mulai muncul ke dunia pertama kali pada periode 1,8 juta tahun yang lalu di Afrika dan menyebar ke seluruh permukaan dunia hingga mencapai Pulau Jawa, dan punah sekitar 100.000 tahun silam.

Akhirnya, pada 1932 temuan Dubois diterima oleh para ilmuwan sebagai sebuah tingkatan evolusi manusia sebelum mencapai Homo sapiens, manusia modern. Akhir-akhir ini sebaran spesies manusia purba ini sangat luas dan signifikan: Afrika Selatan, Afrika Timur, dan Afrika Utara, Eropa, Asia Timur, dan Asia Tenggara. Di Indonesia, sejak tahun 1930-an ditemukan pula di Sangiran dan Sambungmacan (Sragen), Kedungbrubus dan Selopuro (Ngawi), Ngandong (Blora), Perning (Mojokerto), maupun Patiayam (Kudus).

Begitulah, jerih payah Dubois selama puluhan tahun pencarian berbuah mengesankan. Jawaban pasti tentang polemik berkepanjangan akan missing link sejak paruh kedua abad ke-19 terjawab telak di tangan Dubois.

Dia muncul secara spektakuler dari sebuah daerah tropis di Jawa, suatu daerah yang jauh dari gema teori dan polemik evolusi itu sendiri. Meski dilandasi dengan dasar yang sederhana bagi latar belakang pencariannya, penemuan tersebut telah dianggap sebagai bukti pertama dari Teori Darwin.

Sayang sekali, Darwin tidak pernah mendengar dan melihat pembuktian teorinya oleh Dubois karena Darwin telah meninggal pada 19 April 1882, sepuluh tahun sebelum penemuan bersejarah itu terjadi. Obsesi masa kecil Dubois, sekaligus obsesi dunia pengetahuan, telah dijawab dengan jitu oleh Dubois dari Desa Trinil, Ngawi. Lima tahun, dua minggu, dan tiga hari setelah kakinya untuk pertama kali menginjak bumi Indonesia.

* Harry Widianto, Ahli Arkeologi dan Paleoanthropologi; Kepala Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran

Sumber: Kompas, Rabu, 25 Maret 2009

Manusia Trinil: Atap Tengkorak yang Sangat Termasyhur

DOK HARRY WIDIYANTO

Seandainya ada suatu tempat di dunia yang mempunyai sejarah pekat tentang kisah evolusi manusia, jauh sebelum Sangiran ditemukan oleh GHR von Koenigswald tahun 1934, itu adalah Desa Trinil, sebuah desa kecil di pinggiran Bengawan Solo, yang masuk ke dalam wilayah Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Di sini Pithecanthropus erectus tergolek dalam keheningan selama lebih dari 500.000 tahun, sebelum ditemukan kembali oleh Eugène Dubois pada 1891. Oleh karena itu, Trinil tidak dapat dipisahkan dari kisah abadi evolusi manusia yang digemakan pertama kali oleh Charles R Darwin pada pertengahan abad ke-19.

Begitulah, nama Trinil yang terkenal kemudian mengundang peneliti lain untuk mengikuti jejak-jejak akbar Dubois. Salah satunya adalah Emil dan Lenore Selenka, yang telah mengeksplorasi endapan purba Trinil secara besar-besaran pada tahun 1906-1908. Hasil penelitiannya dipublikasikan pada tahun 1911, yang dari beberapa segi dianggap lebih maju dari zamannya, dalam bentuk kumpulan artikel beberapa disiplin ilmu seperti geografi, paleobotani, dan paleontologi.

Ekskavasi Selenka ternyata tidak membuahkan satu pun tambahan fosil manusia, hanya sebuah gigi ditemukan di dekat Kampung Sonde. Meski demikian, ekspedisi Selenka merupakan pelopor operasi internasional yang besar. Mungkin untuk pertama kalinya di Trinil inilah dilakukan suatu penelitian dengan mengaitkan fosil manusia dalam lingkungan alamnya.

Inilah atap tengkorak yang sangat dahsyat namanya membelah dunia: Pithecanthropus erectus. Bangun tengkorak sangat pendek dan memanjang ke belakang. Volume otaknya 900 cc, yang terletak antara volume otak kera (600 cc) dan otak manusia modern (1.200-1.400 cc). Tulang kening sangat menonjol, di belakang orbit mata terdapat penyempitan yang sangat jelas, menandai otak yang belum berkembang.

Bagian belakang kepala, pada occipital, terlihat bentuk meruncing. Tidak terdapat perkembangan nyata insersi otot pada relief tengkorak, yang menandakan pemiliknya adalah seorang perempuan. Berdasarkan kaburnya sambungan perekatan antartulang tengkorak, yang biasa disebut sutura, ditafsirkan individu ini telah lanjut usia.

Tengkorak ini sangat kecil, tetapi milik makhluk yang telah secara penuh masuk dalam genus Homo (manusia), suatu istilah yang diciptakan dunia ilmiah pada tahun 1950. Implikasinya, manusia dari Trinil diklasifikasikan sebagai bagian dari Homo erectus, manusia yang telah berjalan tegak.(Harry Widianto)

Sumber: Kompas, Rabu, 25 Maret 2009

Tuesday, March 24, 2009

Bantuan untuk Taman Bacaan Masih Minim

Jakarta, Kompas - Jumlah Taman Bacaan Masyarakat yang mendapatkan bantuan pemerintah masih sangat terbatas. Untuk tahun 2009, misalnya, dari total jumlah Taman Bacaan Masyarakat sekitar 5.400 unit, baru sekitar 375 taman bacaan yang mendapat bantuan pemerintah.

Direktur Pendidikan Masyarakat Departemen Pendidikan Nasional Ella Yulaelawati mengatakan, Senin (23/3), bantuan yang diberikan Rp 15 juta untuk masing-masing taman bacaan tersebut.

Taman Bacaan Masyarakat pada dasarnya merupakan inisiatif masyarakat sesuai dengan kebutuhan di komunitasnya. Dia berharap pemerintah daerah dan masyarakat sekitar taman bacaan ikut ambil bagian dalam mengembangkan taman bacaan.

”Jika sudah demikian, taman bacaan tidak akan tersendat hanya karena tidak ada bantuan dari pemerintah,” ujarnya.

Dalam diskusi pada acara orientasi pengelola Taman Bacaan Masyarakat di 33 provinsi di Surabaya, Sabtu (21/3), terungkap bahwa di tengah keterbatasan fasilitas fisik dan buku, taman bacaan, terutama di daerah-daerah, masih membutuhkan uluran tangan pemerintah. Selain itu, taman bacaan perlu membuat jaringan yang kuat. Dengan demikian, taman bacaan dapat saling bertukar buku agar koleksi yang tersedia beragam dan tidak membosankan pembacanya.

Dalam diskusi tersebut, Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra mengatakan, kemajuan suatu bangsa ikut ditentukan oleh literasi masyarakatnya. Kemajuan peradaban di Baghdad dan Andalusia dimulai dari membaca. Dalam artian tidak sekadar membaca, melainkan disertai penggalian keilmuan. Peradaban tidak bisa dibangun tanpa budaya baca walaupun budaya baca bukan satu-satunya penentu peradaban suatu bangsa.

Dalam konteks pembangunan peradaban, taman bacaan dapat berperan. Di Taman Bacaan Masyarakat akan muncul kelompok pencinta buku dan diharapkan dapat terbangun kelompok diskusi sehingga terjadi tukar-menukar informasi. ”Dengan membaca, diskusi, serta menulis, ilmu dan pengetahuan terus terbangun,” ujarnya. (INE)

Sumber: Kompas, Selasa, 24 Maret 2009

Sunday, March 22, 2009

Regenerasi Muda Cerpen Indonesia

-- Esha Tegar Putra*

SETELAH Jurnal Cerpen Indonesia (JCI) terbitan Akar Indonesia edisi 9 (sembilan) beberapa bulan yang lalu hadir dengan judul “Ratusan Mata di Mana-mana”, kini pada edisi 10 (sepuluh) JCI tampil dengan tema baru, “Regenerasi dan Panggung Muda Cerpen Indonesia”.

Joni Ariadinata, ketua umum JCI sekaligus redaktur mengakui dari ratusan undangan yang disebar ke penulis muda berbagai penjuru daerah, seperti lazimnya kompetisi, maka tak semua cerpen yang masuk ke meja redaksi bisa ditampilakan. Melalui proses seleksi yang ketat berdasarkan tingkat kreatifitas penulis, tawaran eksplorasi estetika, dan mengingat keterbatasan ruang pada JCI, akhirnya dari ratusan naskah yang diterima redaksi diputuskanlah 19 cerita pendek untuk ditampilkan.

Adapun penulis-penulis muda dengan cerpennya yang dianggap bisa mewakili suara terkini dari panggung mutakhir cerpen Indonesia dan dimuat dalam JCI edisi 10, diantaranya: Fina Sato (Sergei, catatan Negeri terakhir), Hasan Al Banna (Kurik), Nurul Hanafi (Permainan Angin dan Hujan), Wa Ode Wlan Ratna (Ara), Dalih Sembiring (Ujung), Azizah Hefni (Mata Ketiga), Kadek Sonia Piscayanti (Kosong), Mahwi Air Tawar (Mata Darah), Bramantio (Equilibrium), Dyah Merta (1920), Fasrudin Nasrulloh (Huru-hara Babarong), Yuni Kristianingsih (Pulang), Jusuf AN (Suara-suara yang Ditiupkan ke dalam Dada), Ragdi F. Daye (Rumah Menggigil), Hendra Kasmi (Lelaki di Kilometer 7), Sandi Firli (Kelak, dari Lumpur Itu Ada yang Bangkit), Ahmad Muchlis Amrin (Ronjhengan), Pandapotan MT Siallagan (kaset), Sunlie Thomas Alexander (Istri Muda Dewa Dapur).

Dalam esainya pada bagian terakhir JCI edisi 10, Nenden Lilis A., sastrawan sekaligus staf pengajar di jurusan Sastra Indonesia UPI Bandung ini menyatakan bahwa belum ada estetika menonjol yang bisa diklaim sebagai ciri khusus masa ini. Seperti halnya cerpen-cerpen yang mucul di tahun 1970-an, dimana secara global Indonesia menghadapi transisi budaya global dan secara politik terjadi perpindahan kekuasan dari Orde Lama ke Orde baru.

Cerpen-cerpen yang marak muncul pada tahun dekade tersebut mucul lewat reaksi perlawanan yang terjadi pada masa itu. Kritik terhadap krisis kebobrokan moral, krisis lingkungan dan politik, krisis keadilan dan HAM, merajalelanya materialistis, perkembangan teknologi, hal-hal tersebutlah yang memunculkan karya-karya sastra pada waktu tersebut memunculkan estetika yang tidak lazim dari konvensi biasa.

Sedangkan pada zaman Orba, Nenden menyatakan bahwa kecendrungan pemunculan cerpen-cerpen koran merupakan dominasi terhadap tema-tema sosial politik yang aktual, yang penyajiannya lebih mengedepankan gagasan hingga miskin bahasa dan penokohan. Selepas era reformasi, hal yang menonjol yakni tergalinya kembali sastra yang terpinggirkan. Nenden juga mengakui, cerpen-cerpen yang terdapat dalam JCI edisi10, yakni cerpen-cerpen yang berasal dari penulis-penulis dari berbagai daerah di Indonesia sudah mulai terlihat perhatian pada aspek pengungkapan cerpen dan hampir menjadi aspek yang dominan.

Di luar sastra koran (karya sastra yang dimuat di lembaran koran), JCI merupakan satu-satunya wadah pemuatan cerpen dalam bentuk jurnal dan himpunan banyak cerpen di Indonesia. Hal ini di luar lembaran-lembaran cerpen di majalah. Jurnal cerpen, dalam catatan redaksi, membuka ruang ekspresi sebebas-bebasnya pada kreatifitas, menampung kebebasan ide, gagasan orisinal, eksplorasi pada teknik, gaya, imajinasi, dan bahasa. Tidak ada pembatasan halaman atau pembatasan ideologi, dan penekanan-penekanan pada unsur yang menghambat keluasan penjelajahan kreatifitas bagi para penulis cerita pendek.

* Esha Tegar Putra, penulis dan penyuka buku tinggal di Padang

Sumber: Padang Ekspres, Minggu, 22 Maret 2009

Dubai International Poetry Festival: Oasis Pikiran dan Hati

-- Dorothea Rosa Herliany*

AWAL bulan ini (4-10 Maret 2009), Dubai menyelenggarakan sebuah festival puisi yang sangat spesial. Ratusan penyair dari 45 negara datang dan masing-masing membacakan karya puisi-puisi mereka di enam lokasi berbeda (termasuk pusat pertokoan dan klub-klub sosial yang ada di Dubai) hampir setiap malam. Para kritikus sastra dari sejumlah negara diundang untuk membentangkan buah pikiran mereka di bidang ilmu sastra; Wole Zoyinka (Nigeria), peraih Nobel Sastra tahun 1986, penerima Nobel pertama dari wilayah sub-Sahara Afrika hadir; juga beberapa tamu kehormatan, seperti Breyten Breytenbach (penyair Afrika Selatan, aktivis antiapartheid yang beberapa tahun dipenjara), serta HH Prince Badr bin Abdulmuhsin (Saudi Arabia). Di tengah itu semua ada pembacaan puisi karya dua putra kepala negara dan peluncuran buku puisi Poetry from the Desert karya Yang Mulia HH Sheikh Muhammed bin Rashid al-Maktoum.

Acara ini merupakan festival puisi internasional pertama yang diselenggarakan oleh Dubai. Sudah sekitar setahun lalu Dubai berambisi mengusung penyair dari sejumlah belahan dunia untuk datang ke negara ini, membangun jembatan pemahaman menyeberangi perbedaan kebudayaan masing-masing negara. Tak tanggung-tanggung, acara ini diprakarsai oleh sebuah yayasan milik Kepala Negara Dubai sendiri, yaitu Yang Mulia HH Sheikh Mohammed bin Rashid al-Maktoum, yang juga merupakan Wakil Presiden dan sekaligus Perdana Menteri Uni Emirat Arab. Ia juga mendapat dukungan penuh dari sejumlah pejabat penting Dubai, seperti Sheikh Majid bin Mohammad Rashid al-Maktoum, Menteri Seni dan Budaya; Sheikh Ahmad bin Sayeed al-Maktoum, Presiden Otoritas Penerbangan Sipil Dubai dan sekaligus CEO Emirates Airlines Group; Shaikh Nahyan bin Mubarrak al-Naryan, Menteri Pendidikan Tinggi; Shaikh Hasher bin Maktoum al-Maktoum, Menteri Informasi. Jadi, tak pelak, ini menjadi sebuah acara resmi kenegaraan. Seorang penyair asal Tunisia, Al Munsif Al Mughni, berkomentar, ”Jika sebuah acara puisi diprakarsai oleh seorang kepala negara, sudah pasti itu akan membawa pengaruh besar di dunia dan saya kira negara yang lain perlu mengikuti langkahnya.” Sementara Breytenbrech menyebut ”Ini adalah sebuah acara yang merupakan oasis pikiran dan hati.” Menurut dia, sulit meningkatkan akses puisi ke wilayah publik yang lebih luas. Karena itu, jika ini bisa terselenggara, ini adalah sebuah kemenangan. ”Semoga kita semua bisa saling belajar. Ini bisa mengukuhkan dialog masing-masing untuk merayakan kemanusiaan melalui bahasa puisi.”

Beberapa penyair yang datang menyampaikan hal senada. ”Festival puisi Dubai adalah keajaiban nyata dan kemenangan akan kekuatan kata, indikator dari sebuah era kebudayaan baru atas puisi dan sastra. Ini juga merupakan kemajuan gagasan yang membuka cakrawala kreativitas dan keunikan yang tak terbatas,” demikian Rawdha al-Haj, penyair perempuan asal Sudan. Sementara itu, Wole Zoyinka mengungkapkan, ”Dubai adalah tanah yang subur untuk budaya dan bahasa. Dubai bisa menjadi negara yang menjadi pusat kebudayaan yang terus hidup,” ujarnya di depan para wartawan dari sejumlah negara yang juga diundang oleh penyelenggara festival. ”Sayangnya hanya sedikit penyair perempuan yang bisa terlibat di acara ini,” ujarnya sambil berharap tahun depan semoga lebih ada imbangan.

Festival puisi Dubai mengambil tempat utama di Madinat Theatre di Soukh Ukadh. Soukh adalah satu kekhasan etnik Dubai berupa bazar perdagangan yang asal muasalnya merupakan keping sejarah Dubai itu sendiri. Pada zaman dulu Dubai masih berupa wilayah pesisir dan menjadi tempat bongkar muat barang dari kapal milik para pedagang dari teluk Arab. Lalu datang pedagang dari Iran, India, dan Somalia yang membawa mutiara. Jual beli barang dagangan dimulai sejak itu, tepatnya mulai abad ke-16. Semula hanya beberapa orang saja berjongkok bernaungkan pakis pohon palem, menjual rempah-rempah, kurma, tembakau, dan arang. Lalu mereka makin banyak, kerumunan makin luas hingga ke pinggiran anak sungai Dubai. Sejak itulah Dubai termasyhur di kalangan pebisnis maupun pelancong dan hal itu tak bisa dilepaskan dari pesona soukh.

Pemilihan soukh ini memang sengaja hendak menyoroti Dubai dengan caranya yang khas untuk menawarkan platform dari keberagaman budaya sambil membangkitkan tradisi zaman lama yang membuahkan hasil kebudayaan yang kaya. Soukh Ukadh secara efektif membawa kedalaman, menggabungkan perdagangan, evolusi kebudayaan, perkembangan intelektual, tetapi sekaligus mampu merefleksikan spirit kemanusiaan kontemporer ke tradisi puitik. Sebagai negara dengan julukan ”mutiara teluk”, Dubai percaya pada potensi kreatif dan karena itu membuat proyek yang menjadikan bertumpuk-tumpuk budaya bisa eksis bersama, warisan masing-masing bangsa bisa saling dihargai dan bagaimana gagasan yang bebas bisa saling bertukar, serta para penyair berinteraksi memperkaya kedalaman kreativitasnya.

Identitas

Konsep identitas adalah satu topik penting yang dibahas dalam festival ini. Dapatkah puisi menjaga Arab (dan bangsa-bangsa lain) dari efek globalisasi? Para ahli sastra Arab mencemaskan krisis identitas. Kita bisa melihat dunia lewat internet, tingkah laku akan jadi global, negara-negara akan jadi multination, lokal dan internasional akan tak ada. Dunia menjadi tempat paling berbahaya. Namun, justru di tanah bernama ”puisi” bisa ditemukan kedamaian. Sebab, ia memiliki kekhasan, yakni bahasa. Bahasa puisi bukan bahasa biasa. Ia adalah bahasa hati. Di sana ada refleksi jiwa suatu bangsa. Puisi memelihara kepedihan, menjaga kehidupan, mengembangkan kekayaan bahasa, meningkatkan nilai keindahan dan seni komunikasi. Puisi menjelajahi esensi keberadaan manusia. Ia adalah orientasi semangat, jiwa, hati. Sumber terdalamnya sukar dipahami, di luar pengetahuan dan pengalaman manusia biasa. Pada pengertian ini, puisi tak hanya menjadi yang paling kuno, tetapi juga seni yang paling universal.

”Ada banyak suara dan lengking yang tak ada hubungan saat ini. Saat itulah penyair mesti mampu mengusung kesunyiannya dalam dunia yang gila ini. Makin lama dunia ditimpa kecurigaan satu sama lain. Namun, dalam kenyataannya kita jadi makin dekat, melalui puisi,” cetus Imitiaz Dharker, penyair India.

Selain diskusi yang menganalisis berbagai aspek puisi dan mengidentifikasi bagaimana mereka dilengkapi, disempurnakan, ditegaskan, dan bagaimana sebuah elan kreativitas menyumbang puisi dan bentuk sastra lain, seperti novel dan drama, juga ada beberapa malam yang didedikasikan bagi para sastrawan dunia. Seperti malam Omar al-Khayyam yang yang diselenggarakan di Rumah Puisi Dubai (di mana karya-karya rubaiyat penyair besar tersebut dibacakan dalam bahasa tak terbatas: Arab, Parsi, Albania, dan lain-lain), malam penghargaan untuk Mahmoud Darwish, dan lain-lain.

Pertunjukan artistik yang menghibur juga tersaji saat putra mahkota, Syaikh Hamdan bin Mohammed dan adiknya, Syeikh Ahmad, yang rupawan memesona ribuan hadirin dengan pembacaan puisi tanpa teks yang sederhana, tetapi mengalir lancar dan sangat ekspresif. Malam berubah menjadi penuh ”api” karena puisi mereka bertemakan patriotisme dan cinta. Sebagaimana sebuah dinner ditutup dengan dessert, acara DIPF ini juga diakhiri dengan satu hidangan penutup yang manis: Yang Mulia Syeikh Mohammed meluncurkan 27 ode liris yang disusun dari tradisi puisi nabati Arab dalam terjemahan bahasa Inggris (dari bahasa Arab) dan membagikannya ke seluruh penonton yang hadir. Lalu, tirai diturunkan, karpet merah digulung, pintu ditutup, para penyair melambai, sampai bertemu tahun depan: Ma’assalaamah!

* Dorothea Rosa Herliany, Penyair Tinggal di Magelang, Jawa Tengah

Sumber: Kompas, Minggu, 22 Maret 2009

[Persona] KMAT Budayaningtyas, Panggilan untuk Orang Muda

DIBANDING kiprahnya di Solo tahun 1980-an atau sekitar 25 tahun lewat, Nancy tidak banyak berubah. Tetap langsing, rambut pirang, banyak berbahasa Jawa, baik halus maupun bahasa sehari-hari berikut guyonannya. Sebelumnya, dia menolak memberi tahu tanggal kelahirannya. Kemudian malah mengirim SMS: Wah aku ora enak, goroh. Satemene 29.12.1948 (Wah aku tidak enak (hati), bohong. Sejatinya 29 Desember 1948).

Nancy K. Florida (KOMPAS/HERU SRI KUMORO)

Itulah dia Nancy K Florida. Si Capricorn ini lahir di Evansville, Indiana, Amerika Serikat, sebagai bungsu tiga bersaudara, putri keluarga Edwin L Florida, ”pegawai bank yang cerdas dan tak bisa marah”. Pertama kali mengenal kebudayaan Jawa ketika tahun 1970 belajar gamelan di Universitas Wesleyan. Ia meraih gelar BA dengan predikat summa cumlaude dalam bidang filsafat di Connecticut College. Lalu memasuki Universitas Cornell jurusan sejarah Asia Tenggara. Di Cornell pula ia memperoleh gelar doktor (PhD) dengan karya yang kemudian dikembangkan menjadi buku Writing the Past Inscribing the Future: History as Prophecy in Colonial Java. Saat ini, dia adalah profesor untuk studi-studi Indonesia dan Jawa di Universitas Michigan.

Dulu, mulai tahun 1980 ia melakukan pekerjaan luar biasa, yakni mendokumentasikan naskah-naskah Jawa kuna yang ada di Keraton Kasunanan Surakarta, Istana Mankunegaran, dan Perpustakaan Radya Pustaka—semuanya di Solo. Ini pekerjaan ”gila”, melibatkan hampir tiga perempat juta halaman manuskrip, yang beberapa di antaranya dalam kondisi buruk susah dibaca. ”Modar yo...” ucapnya kala itu. Tidak berlebihan, kalau berkat jasanya itu ia mendapat kehormatan sebagai orang Barat pertama yang menerima gelar ningrat dari Keraton Surakarta dengan sebutan Kanjeng Mas Ayu Tumenggung Budayaningtyas.

Kalau Anda membaca bukunya, Menyurat yang Silam, Menggurat yang Menjelang (terjemahan Writing the Past), pada bagian pengantar Anda akan menjumpai terima kasih Nancy, yang disampaikan kepada anaknya, Joshua Nurhadi Suryolelono Florida.

”... baginya saya persembahkan buku ini, dengan segenap kasih, dengan satu harapan, kelak, bertahun kemudian, dia akan membacanya, dan akan memahami mengapa saya menulis karya ini.”

Sang putra itu, Suryolelono, lahir 20 September 1985. Setelah menyelesaikan studi mengenai sejarah dan agama di Oberlin, Ohio, AS, kini Suryolelono berada di Indonesia. ”(Keberadaan) anak saya telah membuka hidup ini terasa lebih cerah. Dia sekarang mengajar di IAIN di Kediri (Jawa Timur) atas rekomendasi sebuah LSM. Mungkin nanti dia bisa pindah ke Solo,” cerita Nancy. ”Saya harap ... dia berbuat sesuatu yang membantu dunia lebih cerah. Mamayu hayuning bawana....”

Kira-kira, apa pekerjaan yang Anda ingin selesaikan sebelum mati?

Pertama, penyusunan naskah-naskah di Museum Radya Pustaka. Dan kedua, melakukan kajian terhadap karya-karya Ronggawarsita. Tentang (pengerjaan) naskah-naskah suluk, saya kira bisa dilakukan di tengah pekerjaan yang lain.

Selama ini Anda menjalankan ritual dan tradisi Jawa, seperti caos dahar pada hari-hari tertentu seperti dilakukan orang Jawa umumnya. Sejauh mana Anda menghayati mistik Jawa? Apa yang mendorong Anda?

He-he-he. Pertanyaan itu juga pernah datang dari Sinuhun Paku Buwana XII (alm). Saya kira itu termasuk jodoh. Waktu saya kecil saya seperti sudah memiliki gambaran tentang Jawa. Ketika pertama kali datang ke Jawa, saya merasa seperti ”pulang”. Ya, seperti mengalami deja vu....

Babad Jaka Tingkir menarik perhatian Anda karena di situ justru tidak ada Jaka Tingkir-nya. Bagaimana Anda menjelaskan ketertarikan itu?

Saya ngomong tentang Jaka Tingkir yang tidak ada, yang diharapkan. Dan, Jaka Tingkir yang diharapkan tidak hanya satu orang. Banyak. Itu untuk memanggil orang muda untuk berbuat sesuatu dan panggilan itu pertama untuk anak saya sendiri, ha-ha....

Ada yang meramal, tahun 2012 akan terjadi kiamat. Itu dihubungkan dengan berakhirnya kalender Maya. Apa pendapat Anda?

Untuk kiamat itu saya belum menemukan dalam naskah Jawa. Tanggale beda... he-he-he... (ASA/BRE)

Sumber: Kompas, Minggu, 22 Maret 2009

Persona: Merawitkan Naskah, Membaca Sejarah

-- Bre Redana & Ardus M Sawega

”BU Nancy, tamunipun sampun rawuh...” begitu kata petugas resepsionis hotel di Solo melalui telepon kepada tamunya, Nancy K Florida, yang menginap di situ. Nancy, Indonesianis dari Universitas Michigan, Amerika Serikat, peneliti naskah-naskah kuna Jawa, fasih dan suka berbahasa Jawa halus dalam pergaulan sehari-hari di Solo. Kehalusan bahasanya kontras tajam dengan cara pandangnya tentang kebudayaan Jawa, berikut gempurannya terhadap sarjana-sarjana, baik Belanda maupun Indonesia, dengan filologi yang dikecamnya keras.

Nancy K Florida (KOMPAS/BRE REDANA)

Sekitar dua bulan sampai sekitar pertengahan Maret ini, pengajar cultural studies itu berada di Solo. Kali ini—setelah penelitian-penelitiannya terdahulu terhadap teks Jawa kuna—ia melakukan penelitian atas karya-karya Ronggawarsita. Dari pergulatannya dengan naskah-naskah kuna, salah satu yang penting dari pandangan Nancy adalah gugatannya terhadap para filolog Barat—atau tepatnya filologi kolonial— yang banyak memberi pengaruh pada cara pandang orang terhadap ”kebudayaan tradisional Jawa”.

Filologi kolonial memberi gambaran atas sastra Jawa, yang dianggap mencapai zaman keemasan dengan ditulisnya teks-teks kakawin oleh para pujangga keraton Jawa pada zaman klasik, yaitu abad ke-9 sampai abad ke-14. Teks-teks itu merupakan puncak dari kebudayaan Hindu-Buddha. Menurut gambaran itu, zaman emas tersebut diakhiri oleh kedatangan Islam pada akhir abad ke-15 (risalah ini bisa dibaca dalam buku Membaca Postkolonialitas (di) Indonesia, editor Budi Susanto, SJ, Penerbit Kanisius, 2008).

Melalui pergulatannya dengan naskah-naskah Jawa kuna, Nancy sampai pada satu titik, filologi kolonial berada dalam suatu struktur yang disebutnya ”tidak-akan-melihat” kenyataan lain di antara manusia Jawa yang mereka kuasai. Filologi Barat yang menjadi bagian dari proyek kolonial ia anggap gagal ”melihat” (karena berada dalam struktur ”tidak-akan-melihat” itu) signifikansi Islam dalam teks-teks Jawa, bahkan Jawa yang dikategorikan dalam zaman keemasan. Dengan merawitkan naskah (bukan meruwetkan), Nancy sebenarnya bukan hanya melihat gambaran kebudayaan sastra Jawa, tetapi juga sejarah.

Berikut cuplikan dari percakapan dengan Nancy malam itu, beberapa hari sebelum ia bertolak kembali ke Amerika.

Babad Jaka Tingkir

Anda mengajar cultural studies selain studi Asia dan Indonesia di Michigan. Seberapa jauh atau adakah hubungan cultural studies dengan, misalnya, subyek pengajaran mengenai Indonesia?

Derida misalnya. Yang saya dapat dari situ adalah close reading, sangat close.

Apakah itu memberi sumbangan saat Anda membaca babad-babad di Jawa?

Ya, tetapi jangan hanya menjadi budak teori. Anggaplah suatu teori itu hanya sebagai cara mengasah otak. Bagaimana dengan itu kita bisa mendalami materi yang kita teliti. Soalnya, saya termasuk yang tidak mau banyak ”kutipan” atau tanda kurung, tetapi harus berupa fakta langsung.

Pada buku Anda, Writing the Past, Inscribing the Future (di buku ini diungkapkan Babad Jaka Tingkir) seolah-olah ada tantangan di dalam masyarakat Jawa bahwa terjadi proses pencarian akan keaslian, indigenousity....

Buku saya sebenarnya tidak mengangkat itu. Dalam buku saya yang mengungkapkan Babad Jaka Tingkir yang paling menarik bagi saya bahwa Jaka Tingkir tidak muncul di sana. Jadi, tidak ada Jaka Tingkir. Itu bermakna suatu imbauan untuk memperbarui kehidupan atau pola hidup orang Jawa atau orang Indonesia.

Bagi yang menulis sejarah kembali—saya rasa penulis babad ini Paku Buwana VI—mau menulis babad baru yang tidak lazim seperti Jawa sebelumnya. Kita melihat, Jaka Tingkir yang melahirkan suatu dinasti (Mataram), tetapi berakhir dengan pembuangan PB VI di Ambon.

Babad ini agaknya bermaksud melahirkan suatu pemikiran tentang Jaka Tingkir dengan cara beda. Babad Jaka Tingkir yang tidak ada Jaka Tingkir-nya. Seperti Satria Piningit, tetapi tidak ada sosok satrianya. Dengan kata lain, kekuatan baru yang piningit, masih belum muncul. Dan, itu tidak selalu harus dari kalangan elite, tetapi bisa rakyat biasa, atau dalam bentuk kekuatan rakyat.

Konteksnya apa penulis menulis seperti itu?

Perang Dipanegara (1825- 1830). Obsesi terhadap pencarian keaslian dan obsesi itu layak dalam kolonialisme. Ini (obsesi terhadap pencarian keaslian) adalah sesuatu yang sangat modern.

Tasawuf

Perang Dipanegara dengan dukungan kiai-kiai di pesantren yang tersebar di pedesaan dan berkobar menjadi perang besar, mempertegas siasat kebudayaan Belanda, yang ”tidak-akan-melihat” kekuatan Islam di keraton. Dengan kata lain, sebuah politik kolonial yang mencoba membelokkan pandangan atas signifikansi Islam dalam kebudayaan tradisional Jawa.

Dalam buku Membaca Postkolonialitas tadi Nancy menulis, ”Saya ingin merenggang gambaran fiksi yang melukis tembok keraton sebagai benteng kukuh (seolah-olah tanpa pintu) yang melestarikan di baliknya suatu kebudayaan asli Hindu-Buddha yang bertentangan dengan Islam. Waktu tembok keraton itu didirikan (lengkap dengan pintunya), dunia intelektual keraton dan dunia intelektual pesantren tidak hidup dalam pertentangan binaris.”

Jadi, sebenarnya di mana pengaruh Hindu pada suluk ataupun wirid? Selama ini selalu ada pandangan pengaruh Hindu sangat kuat pada Jawa?

Ajaran tasawuf yang berbentuk puisi itu disebut suluk, sedangkan yang dalam bentuk prosa disebut wirid. Dalam Jawa lebih banyak suluk. Banyaknya karya suluk itu menandakan bahwa pengajaran sastra Jawa amat kuat sejak abad ke-16.

Artinya juga pengajaran tasawuf?

Ya. Pengajaran tasawuf sangat kuat dan sophisticated di abad ke-18 dan ke-19. Suluk itu lebih kuat karena pengaruh Islam, bukan Hinduisme. Tetapi, terus terang saya belum paham betul. Saya baru tertarik pada konsep bahwa antara badan dan jiwa itu menyatu.

Kenapa tasawuf sangat kuat?

Karena jodoh....

Bagaimana dengan wayang? Bagaimana dengan ritual-ritual Jawa yang dianggap Hindu itu?

Kalau kita lihat wayang, wayang itu telah disambung-sambungkan dengan dunia Islam. Kita lihat juga Ajisaka. Menarik sekali, itu awal tanah Jawa. Ajisaka kan belajar ke Mekkah, itu yang mendirikan Hindu Jawa.... Yang dianggap Hindu itu tasawuf Islam. Tidak seperti Islam dipraktikkan sekarang.

Jadi, ada suatu politik kolonial yang mencoba mengorting pengaruh Islam terutama setelah Perang Dipanegara?

Menurut saya begitu. Dari 500 naskah di Keraton Surakarta, hanya 17 yang berbau Hinduisme. Selebihnya Islam. Ini kan menarik. Jadi, kalau keraton di Jawa, terutama diwakili Keraton Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, selama ini dicitrakan Hinduistik, itu sama sekali salah. Kalangan berpengaruh di dalam keraton, termasuk para penasihat spiritual dan pujangga bahkan umumnya mendapatkan pendidikan agama di pondok pesantren. Di masa lalu, Islam (di keraton) lebih fleksibel karena lebih cenderung pada tarekat, sedangkan sekarang cenderung menekankan syariat.

Dengan itu bagaimana Anda meramal masa depan Indonesia?

Saya tidak bisa meramal. Ini hanya saran. Dengan tradisi yang kuat itu ada harapan, ya harapan, apalagi kalau diklaim dengan keaslian diri. Jadi, ini bukan hanya untuk kepentingan akademis, tetapi harapan kemanusiaan.

Sumber: Kompas, Minggu, 22 Maret 2009

Pustaka: Syair Aceh

-- Sjifa Amori

PENDEKATAN konflik dan bencana tsunami di Aceh yang kaya akan unsur kemanusiaan dan kegelisahan personal
-------

Membicarakan Aceh seperti tak ada habisnya. Saking panjangnya, sampai-sampai penulis Sunardian Wirodono menjuduli novelnya Syair Panjang Aceh (Syahie Panjang Aceh). Dalam pengantarnya, Sunardian mengungkapkan bahwa novelnya semula adalah skenario Syahie Panjang Aceh yang disertakan dalam lomba penulisan skenario film cerita Departemen Seni Budaya dan Pariwisata pada 2005.

Sunardian lalu memutuskan menuliskannya juga dalam bentuk novel, meski harus melakukan perombakan besar. Tak sia-sia, Syair Panjang Aceh menjadi novel cerdas yang sangat menyentuh. Pengalaman emosional sekaligus pengetahuan sejarah merupakan dua manfaat yang didapat pembacanya.

Sunardian bukanlah putra Aceh, namun baginya, tak jadi masalah seorang pria asal Yogyakarta menghasilkan karya mengenai bumi Aceh. Dalam dunia kreatif, katanya, hal itu bukanlah masalah.

Entah didasari atas sentimen yang sama atau tidak, tokoh utama dalam Syair Panjang Aceh, Fikri, ternyata juga bukanlah seorang anak Aceh, akan tetapi, kegelisahan, dendam, dan derita yang berkecamuk di dalam batin Fikri toh jelas-jelas menggambarkan betapa acehnya anak petinggi GAM ini.

Syair Panjang Aceh sangat kaya emosi. Pembaca diajak melihat ke sudut hati terdalam tiap tokoh yang posisinya berbeda, bahkan berseberangan. Fikri, mewakili pribadi-pribadi GAM yang "mementahkan" tipikal pemberontak yang selama ini mungkin disangkakan orang. Melalui Fikri dan interaksinya dengan pimpinan GAM lainnya, penulis memetakan GAM yang merupakan organisasi dengan berbagai karakter dan kepentingan masing-masing.

Hati Fikri yang gundah semakin berantakan setelah tsunami melanda Aceh. Ia sering melamun dan mudah marah. Pernah suatu kali, seorang GAM muda dibentaknya, tapi segera ia sesali sambil merenung; Apakah ia sedang putus asa, dan pada akhirnya menyalahkan Sang Pencipta Seru Sekalian Alam yang telah menghancurleburkan Aceh seperti itu? Adakah Tuhan tengah menghukum semua orang untuk menghentikan semuanya ini? Salahkah manusia memimpikan, memperjuangkan, dan mendapatkan kemerdekannya? Salahkan kita menuntut keadilan ketika Allah juga yang mengajarkan pada manusia untuk berlaku adil kepada semua makhluk di muka bumi ini?

Ketidaktenangan Fikri menjadi potret apa yang sesungguhnya "diderita" anggota GAM sendiri. Meski ada juga anak-anak muda di dalamnya yang tak pernah mengerti maksud perjuangannya kecuali hanya jadi korban orang tua mereka yang telah menyeret para pemuda itu dalam mimpi besar mereka.

"Mereka mendorong kita masuk ke kubangan. Sementara, para orang tua itu menikmati lezatnya konsesi-konsesi politik, kita tetap saja menjadi bangsa terjajah di tanah kelahiran kita sendiri...," Kata Fikri yang masih memegang komando, meski sebagian besar GAM sudah turun gunung dan menerima hasil perundingan damai Helsinki antara RI-GAM.

Dalam Syair Panjang Aceh, penulis dengan sangat cermat menyentuh hati pembaca dengan menghadirkan semua sisi. Keberadaan tokoh Dr Guritno, dokter senior yang sebatang kara setelah anaknya diculik dan istrinya meninggal, mewakili suara hati relawan yang tulus mengabdikan hidupnya menolong sesama. Lewat kisahnya bersama doktor psikologi Dara Arivia dan Ustadz muda Tengku Bulaqaini dari Dayah Markaz Al-Ishlah Al-Aziziyahdi, pembaca diingatkan akan pentingnya kepedulian terhadap sesama.

Lewat interaksi dan obrolan ketiga tokoh ini pulalah diantarkan sudut pandang "intelektual" dalam membaca persoalan Aceh yang sebenarnya adalah persoalan bangsa Indonesia. Misalnya ketika Guritno berdiskusi soal kejahatan Orde Baru yang lebih sadis dan kejam.

"Dibandingkan kejahatan ekonomi, kejahatan kemanusiaan, maka kejahatan kebudayaan yang diciptakan oleh Orde Baru secara sistematis dan masif jauh lebih jahat dan memakan korban hingga beberapa keturunan kita ke depan. Bayangkan, sistem pendidikan kita, baik di sekolah formal, di masyarakat, di rumah tangga, lebih mengedepankan asas formalisme.

"Berpikir secara formal membuat bangsa ini macet. Segala yang formal, seolah membuat kita menjadi bangsa yang maju dan pintar. Padahal berpikir formal membuat bangsa kita stagnan, mendek, dan tidak kreatif. Hingga akhirnya, beragama pun formalitasnya jauh lebih penting daripada substansinya. Berdemokrasi pun lebih penting formalitasnya daripada substansinya. Bermasyarakat pun, kita lebih banyak dipenuhi oleh jargon-jargon formal daripada pengertian sejatinya."

Jelas dalam karyanya ini Sunardian menumpahkan segala pandangannya mengenai Aceh sebagai simbol permasalahan bangsa. Dengan pendekatan budaya, Sunardian menjadikan ketiga tokoh yang bisa dibilang berada di luar pihak yang berkonflik tersebut untuk menjelaskan hubungan kausalitas yang dicakupi permasalahan Aceh.

Dr Guritno, Dara, dan Tengku Bulqaini tak cuma jual omongan. Mereka memeras pikiran dan tenaga untuk membantu meringankan dampak konflik dan tsunami, khususnya pada anak-anak Aceh. Menurut Tengku Bulqaini, nasib anak-anak korban konflik Aceh tidak bisa dibiarkan. Ia bergerak merehabilitasi anak agar dendam mereka bisa hilang. Jika tidak, Aceh akan penuh dendam di masa depan, baik dari anak yang membenci TNI karena orang tua atau saudaranya dibunuh militer Indonesia, juga sebaliknya.

Di tengah kenyataan yang terjadi di Tanah Rencong dan kesibukan berbagai pihak yang turut terlibat di dalamnya, penulis menghadirkan juga emosi personal. Mulai dari pencarian makna hidup, ikatan ayah dan anak, relasi laki-laki dan perempuan, hingga kehilangan orang-orang tercinta yang telah menjelma sebagai sumber harapan baru setelah berbagai kehancuran dan penderitaan.

Sunardian menghadirkan sosok perempuan Aceh yang terjebak kondisi di tanah kelahirannya. Suka duka perempuan bernama Cut Meuthia begitu menggugah perasaan hingga menyesakkan dada. Ketika GAM dan TNI menjadi makhluk asing bagi korban tsunami, Cut Meuthia dan anggota TNI Prada Susilo saling mengenal tanpa menghakimi identitas masing-masing. Cut Meuthia, yang merupakan adik seorang petinggi GAM, adalah relawan yang membantu korban tsunami di kamp pengungsi. Prada Susilo adalah TNI yang bertugas menjaga keamanan di wilayah kamp pengungsi. Dengan sangat lentur, bab yang dijuduli Berkah Tsunami: Gencatan Senjata mengisahkan pula bagaimana benih-benih asmara mulai memadati ruang hati keduanya.

Mampukah perundingan Helsinki menyatukan juga Cut Meuthia dan Prada Susilo? Bagaimana pula nasib para tokoh, yang atas berbagai alasan, berada di Aceh dengan persoalannya masing-masing? Apakah mereka bisa mencapai tujuannya, yaitu mengecap apa yang mereka anggap membahagiakan?

Meski terkesan terlalu penuh karena alur yang maju-mundur dan terlalu padatnya fakta sejarah dan politik yang ingin diungkap, Syair Panjang Aceh cukup bisa menggambarkan rumitnya permasalahan Aceh. Meski tidak linier dan meloncat-loncat (mungkin karena awalnya skenario film), Sunardian berhasil menyampaikan dan menegaskan kembali bahwa dalam sebuah konflik dan bencana, tidak cuma ada kehancuran fisik, tapi juga melibatkan manusia di dalamnya. Manusia-manusia yang ingin dimanusiakan. Begitulah, syair yang panjang ini juga menimbulkan rasa cinta dan simpati saudara sebangsa akan Serambi Makkah yang selalu menginginkan kejayaan bangsa Indonesia.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 22 Maret 2009

Buku: Kitab Presiden Penggeli Hati

Judul Buku: Presiden Guyonan
Penulis: Butet Kartaredjasa
Penerbit: Kitab Sarimin-Jogjakarta
Cetakan: I, November 2008
Tebal: xxiv + 285 halaman

PADA suatu pagi yang hening, di tengah suasana tafakur doa, para murid tersentak dikegetkan suara guru meditasi mereka bergegar-gegaran meledak dalam tawa. Saat sore tiba, pada upacara pemakaman seorang petinggi kerajaan, para murid dibikin sontak pula oleh derai tawa lepas guru mereka. Malam hari, saat seluruh penghuni perguruan Zen harus silentio stampa (puasa omong), sekali lagi sang guru terpingkal-pingkal ketawa. Para murid masygul mendapati ketidaklaziman itu. Guru pun berkata, ''Manakala surga menyentuh hatiku masakan aku diam saja. Hatiku melonjak girang bagaikan saut riuh kicau burung di waktu fajar.''

Sang guru Zen telanjur dipandang sebagai manusia bijaksana. Sepanjang hidup, ia mencari, mendalami, dan merenungkan kebijaksanaan. Ia merasa belum sampai pada kebajikan hidup. Kesadaran itu ia alami saat tertawa. Kebijaksanaan justru terjadi saat sang guru tertawa karena menemukan persepsi kontradiktif atas realitas hidupnya.

''Abundant living: think deeply, speak gently, laugh often, work hard, give freely, pay promptly, pray earnestly, be kind.'' Aforisma John Kanary, spiritualis Kanada ini, pas banget buat meringkas sepak terjang Butet Kartaredjasa. Pengasong jasa akting itu hidup berkelimpahan berkat kegemarannya berpikir mendalam, bicara gagah, selalu bikin siapa pun tertawa lepas, suka bekerja keras, ikhlas memberi, tidak menunda pembayaran, doa bersungguh-sungguh, dan ramah.

Butet Kartaredjasa punya banyak predikat: raja monolog, tukang tonil (pemain sandiwara), pemangsa makanan enak, panglima Front Pemuja Guyonan, dan kolomnis. Buku Presiden Guyonan bukti Butet piawai bertutur dalam bentuk esai. Buku ini merupakan antologi ''Kolom CELATHU'' di harian Suara Merdeka Semarang.

Celathu merupakan sketsa sosial ganjil dibingkai spirit kejenakaan. Mas Celathu, tokoh alter-ego Butet, manusia waton njeplak yang penuh sense of irony. Gerundelan perihal kepahitan hidup senantiasa dibungkus gurau. Celathu, dalam percakapan lumrah orang Jogja dan Jawa Tengah, artinya berujar, menyambar omongan, dan nyeletuk. Butet menyambar fenomena-fenomena aktual. Pun peristiwa yang sedang menghajar dirinya.

Lomba makan kerupuk dan panjat pinang, bagi Butet, tak lain sindiran rakyat terhadap makna hari kemerdekaan. Para pemimpin yang dipercaya sebagai bangsa konsisten menyelenggarakan kemiskinan. Demi sepotong kerupuk rakyat harus berjuang keras dan berebut mengunyah. Makna 64 tahun kemerdekaan masih seperti panjat pinang. Mereka yang di bawah diminta menjadi tumbal kemakmuran segelintir manusia yang bertengger nun di atas singgasana kekuasaan.

''Dunia ini memang aneh,'' gerutu Butet. Sementara banyak orang bernafsu menjadi raja semu, eh, malah ada raja beneran mendiskon derajat dengan mencalonkan diri sebagai presiden. Pemangku budaya adiluhung itu dinilai Butet silau dengan jabatan politik yang umurnya cuma lima tahun. Kursinya pun penuh ketonggeng, kalajengking, bangsat, lipan, kelabang, dan tikus. Ketimbang jadi presiden beneran tapi mendukung eksperimen guyunan semacam proyek Blue Energi dan Padi Super Toy HL2, Butet memiilih jadi presiden guyonan.

Multimedia di zaman digital cenderung meringkas, memoles, dan memanipulasi informasi dalam bentuk iklan politik. Busuk dibikin segar. Kasar dicitrakan lembut. Jahat dikemas alim. Koruptor dipoles suci. Pembunuh disugestikan dermawan. Kriminal dibesut jadi agamis. Iklan politik bagian dari mata rantai industri dan perdagangan. Hakikatnya jual beli. Modal ditanam agar laba lekas dipanen. Investasi yang tak murah itu jelas bukan pengabdian. Butet menganjurkan khalayak mewaspadai reklame calon anggota legislatif, bupati, wali kota, gubernur, dan presiden. Kepemimpinan tokoh yang mendadak kondang berkat iklan politik punya kecenderungan absurd. Dua tahun pertama ia bakal sibuk sebrak saut mengembalikan modal investasi. Dua tahun berikutnya aji mumpung buat memetik laba. Tahun terakhir sang memimpin sibuk cari modal buat beriklan pada pemilu berikutnya.

Butet mengusulkan merger Departemen Perhubungan dengan Departemen Agama. Departemen Perhubungan sukses meningkatkan keimanan dan ketakwaan manusia Indonesia. Para penumpang pesawat terbang, kereta api, bus, dan kapal laut menjadi religius dadakan. Mereka yang biasanya mengabaikan Tuhan langsung berdoa mohon keselamatan selama perjalanan. Soalnya, pesawat acap nyungsep, kapal karam, bus masuk jurang, dan kereta terguling. Kantor BKKBN sebaiknya ditutup. Peran mengendalikan jumlah penduduk telah diambil alih Departemen Perhubungan. Departemen Agama kelak tugasnya hanya membangun tempat ibadah di bandara, stasiun, pelabuhan, dan terminal. Kelak urusan agama tidak lagi diatur negara. Agama dikembalikan ke wilayah privat seperti halnya mandi, gosok gisi, makan, dan tidur.

Derai tawa Butet berlumuran satir sarkasme yang menggebuk ulu hati. Kemampuan Butet melucuti pelbagai paradoks lalu mengubahnya menjadi ironi bergelimang sikap mencemooh dan menertawakan, meminjam kerangka berpikir antropolog James Scott, boleh disebut sebagai weapon of the weak (senjata kebajikan kaum keserakat).

Butet memang membiasakan diri hidup rileks dan tidak gampang disulut amarah. Serumit apa pun persoalan tidak dibawanya dalam kepanikan. Masalah yang gawat tidak membuatnya kapok ketawa. Selalu ditemukan akal buat mengubah yang pahit menjadi segar. Bercanda membuat syarafnya kendor dan pembuluh jadi longgar. Butet telah menemukan sari pati kehidupan: perasaan syukur. Ia menerima dengan ikhlas diabetes mellitus akut yang bergentayangan di sekujur tubuhnya.

Esai-esai Presiden Guyonan mengalir tak ubahnya kolom Mangan Ora Mangan Kumpul milik almarhum Umar Kayam. Butet memang mewarisi ketangkasan menulis dari mentornya itu. Spontanitas Butet dalam mengironikan tragedi setali tiga uang almarhum Basiyo, komedian masyur Jogja era 70-an. Gaya berkisahnya yang menyengat laksana lebah membangunkan kerbau tidur mengingatkan orang ramai akan obrolan Pak Besut di RRI Jogja dekade 70-an.

Novelis Ashadi Siregar berkomentar, sulit mencari orang Jogja asli yang rileks penuh canda dalam mengurai perkara ruwet. Orang Jogja, tak beda dengan manusia Indonesia umumnya, ngrenggiyek (tegang) menghadapi persoalan pelik semisal status keistimewaan Jogja. Dan, Celathu dibikin asyik dengan goresan jenaka kartunis Dwi Koendoro.

Humor memang siasat menjaga keselarasan semesta hikmah. Celathu menghidupkan kembali semangat ugahari Basiyo dan Pak Besut. (*)

J. Sumardianta, guru SMA de Britto Jogjakarta, penulis buku Simply Amazing: Inspirasi Menyentuh Bergelimang Makna

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 22 Maret 2009

Apresiasi: Politisi Perlu Sastra

-- Agus Wibowo*

SELAIN politik, politisi dan pemimpin juga perlu mendalami sastra. Politisi akan memiliki imajinasi dan ketajaman visi yang dibutuhkan untuk merancang masa depan bangsa.

Kemenangan Andre Carson, senator AS dari Partai Demokrat belum lama ini, mengundang decak kagum banyak pihak. Politisi dengan rekam jejak santun dan beretika itu ternyata penggemar berat sastra, khususnya puisi. Konon, kecintaan Carson pada sastra berawal ketika neneknya memberikan antologi puisi karya Jalaludin Rumi, ulama Sufi abad 13 dari Persia. Carson juga sejak kecil membaca kitab Injil, Talmud, dan Bhagavad Gita.

Beberapa presiden AS sebelumnya juga merupakan penulis puisi, penyair, atau setidaknya apresiator sastra ulung. Misalnya, mantan Presiden Abraham Lincoln yang dijuluki "sang penyair ulung". Persahabatan sang presiden dengan penyair Walt Whitman memberi nuansa antiperbudakan dan semangat demokrasi selama kepemimpinannya. Demikian halnya Bill Clinton dan mantan Menhan Donald Rumsfeld; di sela-sela tugas kenegaraan, mereka masih menyisakan waktu menulis puisi.

Di Cile, kita tidak asing dengan Pablo Neruda, politisi ulung, kandidat presiden sekaligus penerima hadian Nobel. Neruda merupakan apresiator sastra ulung dan menjadikannya sebagai penyeimbang hidup. Ada juga Leopold Sedar Senghor, penyair dan pejuang Senegal yang menjadi presiden setelah merebut kemerdekaan dari Prancis. Politisi yang gigih memperjuangkan demokrasi dan kebebasan pers itu, memilih "lengser" dengan terhormat dan memberikan kekuasaan kepada perdana menterinya.

Kearifan dan jiwa besar yang ditunjukkan Senghor menimbulkan kekaguman bukan hanya rekan-rekannya bahkan Jacques Chirac, pemuka Prancis, bangsa yang pernah menjajahnya. Chirac menulis catatan saat kematian Senghor yang berbunyi: Poetry has lost a master, Senegal stateman, Africa a visionary and France a friend.

Menjadi Terapi

Ilustrasi yang saya sampaikan menunjukkan betapa pentingnya apresiasi sastra bagi para politisi dan pemimpin bangsa. Itu karena politisi dan pemimpin layaknya "penggembala", yang dituntut memiliki kepekaan menbaca keluh-kesah atau mendengar jeritan rakyat. Politisi, meminjam istilah Herry Thruman, adalah pelayan rakyat yang telah memberi mandat dan kedaulatan kepadanya.

Apresiasi terhadap sastra menjadi sebuah keniscayaan tatkala para politisi negeri ini tengah gemar membudayakan ketidakjujuran, kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Banyaknya kasus yang berhasil diungkap memperlihatkan betapa para politisi membungkus tugas dan pekerjaan kenegaraan dengan kelicikan dan kemunafikan. Akibatnya, ketidakadilan menjelma dalam seluruh aspek kehidupan.

Sastra, kata Schiller (2004), mampu membentuk kepribadian seseorang, melalui penghalusan adab dan budi, kreativitas, perasaan, kepekaan, dan sensitivitas kemanusiaan sehingga terhindar dari tindakan-tindakan destruktif, sempit, kerdil, dan picik. Sastra juga menjadi semacam permainan penyeimbang (balance) segenap kemampuan mental manusia, berhubung dengan adanya kelebihan energi yang harus disalurkan.

Keajaiban sastra itu sudah diakui banyak klub dan organisasi terapi di dunia. Seperti yang dipopulerkan The International Association for Poetry Therapy, atau organisasi terapi internasional yang menggunakan sastra sebagai mediumnya. Organisasi itu berhasil membuktikan puisi dan sastra pada umumnya mampu menjadi pengobat stres lantaran efek relaksasi yang ditimbulkannya.

Konon, puisi juga mampu mencegah penyakit jantung dan gangguan pernapasan karena efeknya yang dapat mengendurkan denyut jantung dan irama napas menjadi harmoni. Pada konteks politik, puisi mampu membuat temperamen para politisi menjadi jinak dan santun.

Tidak salah kiranya jika saya mengusulkan agar semua politisi--selain mendalami ilmu politik--mendalami sastra. Melalui apresiasi sastra itu, politisi akan memiliki imajinasi dan ketajaman visi yang sangat dibutuhkan dalam merancang masa depan bangsa. Lebih dari itu, ketajaman visi dan imajinasi akan membuat politisi mampu membaca tantangan bangsa secara jelas, dan merumuskan solusi untuk mengatasinya.

Belajar dari sejarah, para raja dahulu meminta sastrawan atau pujangga untuk menjadi penasihatnya. Boleh jadi karena sang pujangga lebih arif memaknai persoalan lewat kehalusan sastra yang berujung pada visioner yang tajam dan kepekaan sosial yang luar biasa (linuwih), yang tidak ditangkap orang awam.

Pendek kata, kemampuan pujangga weruh sak durunge winarah atau mengetahui apa-apa sebelum terjadi, pada dasarnya karena sentuhan kehalusan dunia sastra yang dimiliki sang pujangga, bukan karena ilmu gaib atau klenik.

Pertanyaanya kemudian, bagaimana melakukan apresiasi sastra yang baik? Menurut Effendi (1994), apresiasi sastra itu bisa dilakukan dengan menggauli cipta sastra secara sungguh-sungguh, sehingga tumbuh pengertian, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap sastra.

Karena dunia sastra selalu dikitari konvensi, tradisi, sistem sastra dan sebagainya, maka dalam membaca sastra juga mesti menghayati proses dan seperangkat aturan tersebut. Pemahaman demikian, memerlukan metodologi yang diajarkan dalam bangku pendidikan.

Sayangnya, pengajaran sastra masih tetap stagnan meski beragam hujatan dan kritikan dialamatkan padanya. Pengajaran sastra kita masih beringsut pada era Orde Baru yang serba sentralistik. Hadirnya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), tidak mengubah praktek metodologis pembelajaran di kelas. Pada gilirannya, pemahaman peserta didik terhadap metodologi pengungkapan makna sastra sangat rapuh. Kerapuhan metodologis ini pula yang menyababkan apresiasi mereka terhadap karya sastra sangat lemah--untuk mengatakan tidak ada. Jangankan untuk mengapresiasikan, mengetahui maknanya saja terlampau sulit.

Terlepas dari problem tersebut, agar para politisi itu semakin dekat dengan sastra, maka mereka harus membiasakan membaca karya sastra seperti novel, puisi, cerpen, cerbung, dan sebagainya. Mereka perlu membaca novel Pramoedya Ananta Toer, William Shakespeare, atau membaca puisi-puisi Hamka, Chairil Anwar, Amir Hamzah, dan sastrawan-sastrawan besar lainnya. Selain menghadiri kampanye politik, politisi juga perlu mendatangi orasi-orasi budaya, pembacaan puisi dan bergaul dengan para sastrawan. Kedekatan politisi dengan sastrawan, tentu saja memiliki pengaruh signifikan atau setidaknya akan memberi nuansa lain dalam sepak terjang politiknya. Semoga!

* Agus Wibowo, Esais Sastra, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta

Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 Maret 2009