Friday, February 27, 2009

Sejarah Melayu: Mengenal Kota Candu dari Museum

BARANG-BARANG sejarah Melayu tersimpan rapi di Museum Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah, Kota Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau. Museum itu diresmikan Wali Kota Tanjung Pinang Suryatati Manan, akhir Januari lalu.

Replika Istana Damnah dengan latar belakang Gunung Daik di Daik, Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau.(KOMPAS/FERRY SANTOSO)

Koleksi museum itu terdiri dari naskah kuno Melayu, gambar masa lalu, peralatan perang sultan-sultan Kerajaan Riau-Lingga, keramik China, dan peralatan kerajaan Riau-Lingga. Barang-barang itu dibeli atau diperoleh dari masyarakat yang menyimpan secara individu.

Salah satu koleksi di museum itu adalah peralatan mengisap candu. Lima alat pengisap itu tersimpan rapi di dalam etalase kaca dalam museum. Modelnya pun beragam, ada pengisap dengan pipa yang tinggi atau memanjang.

Dalam keterangan koleksi barang disebutkan, di Kota Tanjung Pinang sebagai ibu kota Residen Riau dan pusat pengendalian monopoli perdagangan candu, dibangun kantor pengendali yang dipimpin oleh pengawas perdagangan candu.

Menurut sejarawan Melayu, Aswandi Syahri, perdagangan candu di Kota Tanjung Pinang memang dilegalkan dengan pengawasan Pemerintah Hindia Belanda pada akhir abad ke-19. Candu diperdagangkan untuk memenuhi kebutuhan orang-orang China di Tanjung Pinang waktu itu.

Akan tetapi, perdagangan candu di Kota Tanjung Pinang sebenarnya sudah lama terjadi. Itu dapat dilihat dari sejarah perang kerajaan Riau yang dipimpin Raja Haji Fisabilillah (1783-1785). Penyulut perang itu adalah masalah candu.

Aswandi menjelaskan, Februari 1782 di perairan Tanjung Pinang, datang kapal Inggris, yaitu Betsy. Kapal itu membawa barang-barang perdagangan, termasuk 1.154 peti berisi candu. Kapal itu kemudian dibajak oleh pembajak dengan kapal La Sainte Therese yang dinakhodai Mathurin Barbaron, nakhoda asal Perancis.

Kapal Inggris Betsy, lanjut Aswandi, kemudian dibawa oleh Mathurin ke Malaka yang dikuasai VOC. Raja Haji Fisabilillah yang mengetahui kejadian itu meminta pemerintah VOC di Malaka membagi hasil rampasan dari kapal yang dibajak oleh nakhoda asal Perancis itu.

Akan tetapi, pemerintah VOC di Malaka tidak ingin membagi hasil rampasan itu. Situasi memanas sehingga pasukan VOC dari Malaka menyerang Kota Tanjung Pinang yang waktu itu berada di bawah pemerintahan Raja Haji Fisabilillah.

Kapal besar VOC yang bersandar di perairan Tanjung Pinang ditembak oleh pasukan Raja Haji Fisabilillah pada 6 Januari 1784. Ini kemudian dijadikan sebagai tanggal kelahiran Kota Tanjung Pinang.

Dengan demikian, Kota Tanjung Pinang telah berusia 225 tahun. Museum di Kota Tanjung Pinang yang dibuat itu tentu dapat menjadi catatan sejarah bagi generasi mendatang. (FER)

Sumber: Kompas, Jumat, 27 Februari 2009

Thursday, February 26, 2009

Peradaban Tidak Berjalan, Sastra Dianggap Bukan Ilmu

JAKARTA, KOMPAS - Salah satu persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah perilaku masyarakat yang dengan ringannya melanggar kaidah-kaidah etis-normatif, tradisi, bahkan hukum formal. Kondisi ini salah satunya karena sastra kurang diperhatikan. Di sisi lain, sastra sampai sekarang gagal memberikan peradaban di Indonesia.

Demikian benang merah yang mengemuka dalam diskusi bertajuk ”Sastra dan Pemberadaban” yang digelar Bale Sastra Kecapi, Kompas, dan Bentara Budaya Jakarta, Rabu (25/2) di BBJ.

Tiga narasumber yang hadir adalah pengamat sastra Jakob Sumardjo, sastrawan Putu Wijaya, dan sosiolog Tamrin Amal Tamagola.

Putu Wijaya menjelaskan, sastra Indonesia umumnya masih dikategorikan sebagai hanya kelangenan. Tidak digubris apalagi dianggap sebagai ilmu oleh para pemimpin dan intelektual. ”Jadi, kalau mereka buta sastra itu sah,” katanya.

Sastra Indonesia tanpa pembelaan ketika terdepak dari kurikulum. Ditolak oleh beberapa sekolah ketika ada kesempatan bertemu dengan sastrawan karena jam untuk kelas matematika masih kurang.

”Padahal, semua karya sastra adalah sebuah tesis, pengetahuan, bukan hiburan. Para sastrawan sebenarnya sudah memberikan sumbangan nyata pada pemberadaban di Indonesia. Namun, karena tidak adanya orang- orang yang menjembatani, tidak adanya kritikus sastra, sastra menjadi tidak hidup. Karena itu, sastra belum memberikan andil dalam proses pemberadaban,” ujarnya.

Menurut Putu Wijaya, kebangkitan sastra pada hakikatnya adalah kebangkitan masyarakatnya. Sastra yang unggul pun akan menjadi bisu bila masyarakatnya ”buta huruf”. Sementara itu, masyarakat yang tinggi apresiasinya akan mengumpan sastra menjadi bergelora menyumbang perkembangan adab manusia.

Jakob Sumardjo mengatakan, dalam sejarah kebudayaan Indonesia, peran sastra lisan maupun tulis sangat menonjol memperadabkan masyarakatnya.

”Indonesia sebenarnya memiliki warisan sastra yang kaya raya yang membuktikan bangsa ini sebenarnya pencinta sastra. Namun, warisan sastra yang kaya raya ini tidak dipedulikan lagi oleh bangsa ini,” kata Jakob Sumardjo.

Sangat minim

Menurut Jakob Sumardjo, selama ini kita tidak mengenal diri kita sendiri. Dalam bidang sastra, pengetahuan dan pengalaman sastra keindonesiaan kita sangat minim.

Kita belum pernah membaca terjemahan dalam bahasa nasional kita, I La Galigo, yang ribuan halaman itu. Tidak ada terjemahan kakawin Bharatayudha, Arjuna Wiwaha, Mintorogo, Tambo Minangkabau, pantun Mundinglaya Dikusumah, bahkan penerbitan ulang hikayat-hikayat yang ratusan itu.

”Sastra adalah fiksi, gambaran, imajinasi simbolik dari yang dibutuhkan masyarakatnya sebagai panduan memperadabkan diri,” ujar Jakob menambahkan.

Menurut Tamrin Amal Tamagola, karya sastra yang bagus akan berpengaruh kalau masyarakatnya active reading.

”Karya sastra membantu kita mengenali diri sendiri, berefleksi secara mendalam, menyentuh manusia dan kemanusiaan. Karya sastra itu sebaiknya menyangkut kerisauan orang banyak,” ujar Tamrin Amal Tamagola. (NAL)

Sumber: Kompas, Kamis, 26 Februari 2009

Wednesday, February 25, 2009

Bedah KBBI IV: Tidak Semua Kata Perlu Masuk Kamus

Jakarta, Kompas - Kamus memang dibutuhkan karena menggambarkan perkembangan kata dan bahasa dalam masyarakat. Akan tetapi, tidak semua kata yang berkembang dalam masyarakat perlu dimasukkan ke dalam kamus, termasuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa IV. Dengan demikian, kamus tidak menjadi sangat tebal dan mahal harganya.

Demikian diungkapkan guru besar linguistik dari Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, Bambang Kaswanti Purwo, pada Bedah KBBI Pusat Bahasa Edisi IV di Bentara Budaya Jakarta, Selasa (24/2).

Acara yang digelar harian Kompas bersama Forum Bahasa Media Massa (FBMM) dan Kompas Gramedia tersebut menampilkan antara lain Ketua Redaksi Pelaksana KBBI IV Meity Taqdir Qodratillah serta guru SMA Negeri 55 Jakarta, Dumaria, sebagai pembicara, serta dibuka Wakil Pemimpin Redaksi Kompas Trias Kuncahyono.

Bambang mengakui, kamus memang sebaiknya berisikan kata atau lema yang bersifat lintas ilmu. Akan tetapi, memang tidak semuanya itu dibutuhkan masyarakat sehingga kata yang dimasukkan dalam kamus harus benar-benar terpilih. Dengan demikian, kamus itu memiliki nilai yang tinggi.

”Untuk bidang tertentu, bisa dibuatkan kamus khusus sehingga tipis,” kata Bambang. Harga kamus khusus itu juga lebih terjangkau oleh masyarakat.

Ia juga menambahkan, perubahan kamus sebaiknya tak terlalu cepat dan tidak bergantung kepada pemimpin Pusat Bahasa. Kamus yang berganti atau ada pembaruan kurang dari lima tahun diakui terlampau cepat.

Meity mengakui, KBBI IV yang digarap Pusat Bahasa mencoba menyerap lema atau sublema baru yang selama ini berkembang dalam masyarakat. Karena itu, kamus terbaru itu kini lebih tebal, terdiri atas 90.000 lema. Adapun KBBI III yang diterbitkan tahun 2001 hanya terdiri dari 78.000 lema.

Menurut Meity, Pusat Bahasa juga menyiapkan kamus khusus yang terkait dengan bidang tertentu. Untuk istilah tertentu juga disiapkan kamus istilah. (tra)

Sumber: Kompas, Rabu, 25 Februari 2009

Peluncuran Buku: Pers Harus Berani Hadapi Tuntutan Hukum

JAKARTA, KOMPAS - Walaupun ada 12 undang-undang yang bisa menjerat dan memberikan sanksi berat kepada wartawan, pers harus punya keberanian menghadapi tuntutan hukum. Sebab, tidak mungkin pers kebal dari hukum. Namun, Dewan Pers akan terus membicarakan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers kepada pihak penegak hukum, termasuk ke Mahkamah Konstitusi.

Tokoh pers nasional, Atmakusumah Astraatmadja, mengatakan hal itu pada diskusi dalam acara peluncuran dua bukunya, yaitu Tuntutan Zaman Kebebasan Pers dan Ekspresi dan Menjaga Kebebasan Pers: 70 Tahun Atmakusumah Astraatmadja (Editor Lukas Luwarso), Rabu (24/2) di Jakarta.

”Pers harus diberi kebebasan seluas mungkin. Jika ada pekerja pers yang tersangkut masalah etika, ia akan berurusan dengan Dewan Pers. Adapun jika tersangkut masalah hukum, pers harus berani menghadapi tuntutan hukum,” kata Atmakusumah.

Peluncuran buku ditandai dengan penyerahan buku kepada sang istri, Sri Rumiati Atmakusumah, yang banyak membantu dalam proses pengetikan draf dan indeks buku, serta kepada tokoh yang dinilai kontroversial, Mayor Jenderal TNI (Purn) Abdul Muhyi Effendie, yang pernah mengeluarkan Maklumat Gubernur Maluku Utara selaku Penguasa Darurat Sipil, tahun 2001; dan kepada Dja’far Husein Assegaf, teman di Koran Indonesia Raya, yang selalu berseberangan.

Dalam diskusi tersebut dihadiri oleh David T Hill, dosen kajian Asia Tenggara di Australia; dan Hendry Sugianto, penasihat ahli Menteri Komunikasi dan Informatika. Budayawan Goenawan Mohammad yang dijadwalkan hadir dalam diskusi itu kemarin tidak datang.

Atmakusumah mengatakan bahwa buku Tuntutan Zaman Kebebasan Pers dan Ekspresi merupakan lanjutan dari buku yang ditulis sebelumnya, yaitu Kebebasan Pers dan Arus Informasi di Indonesia yang diterbitkan Lembaga Studi Pembangunan tahun 1981.

”Buku ini diharapkan bukan hanya bisa membantu memberi gambaran tentang alam pikiran para perumus UU Pers 1999, tetapi juga mengungkapkan perjalanan kehidupan pers kita sebelum dan pada masa reformasi,” katanya. (NAL)

Sumber: Kompas, Rabu, 25 Februari 2009

Tuesday, February 24, 2009

[Sosok] Sapardi Djoko Damono: Gara-gara Facebook

PENYAIR Sapardi Djoko Damono (68) sempat pusing gara- gara Facebook. Baru sebulan diluncurkan, wahana interaksi dunia maya itu kebanjiran 1.500 orang mengantre mau ditambahkan sebagai teman.

”Padahal, waktu itu mengoperasikannya saja saya belum bisa. Lha wong Facebook itu yang membuatkan cucu saya,” tuturnya seusai acara obrolan sore sembari minum kopi ”Menulis Puisi Cinta Bersama Sapardi Djoko Damono” di Yogyakarta, Sabtu (21/2).

Alhasil, banyak permintaan tak terlayani. Facebook baru tergarap saat cucunya yang duduk di kelas V SD berkunjung.

”Saya benar-benar minta maaf karena banyak yang belum terlayani,” ujar Sapardi yang mulai mempelajari Facebook di waktu senggangnya.

Meski sempat pusing, ia merasa diuntungkan dengan ”keajaiban” Facebook. Berkat aplikasi itu, buku terbarunya, Syair Inul, bisa diterbitkan. Rencananya, Syair Inul diluncurkan bulan depan bersama buku kumpulan puisinya yang lain, Kolam di Pekarangan.

”Saat akan diterbitkan, naskah puisi Syair Inul malah hilang. Lalu saya coba-coba umumkan di Facebook. Eh, kurang dari dua jam, ada orang yang ngirim naskah itu. Rupanya, dia mencatatnya saat puisi itu dibacakan dulu,” kata Sapardi tersenyum lega. (IRE)

Sumber: Kompas, Selasa, 24 Februari 2009

Bahasa Daerah Terancam Punah

[DEPOK] Bahasa daerah yang menjadi bahasa ibu bagi sebagian warga Indonesia, terancam punah, sehingga perlu perlindungan. Kepunahan bahasa daerah menjadi ancaman hilangnya sebagian budaya dan peradaban.

"Bahasa ibu dengan penutur sedikit cenderung punah. Anak-anak muda meninggalkan bahasa ibunya, dan ini tak lepas dari kuatnya pengaruh globalisasi," ujar Kepala Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Dendy Sugono, kepada SP, di sela-sela Rembuk Nasional Pendidikan 2009, di Sawangan, Depok, Jawa Barat, Senin (23/2).

Di Indonesia, menurut catatan Pusat Bahasa, sejumlah bahasa daerah tak lagi digunakan. Sebagai contoh, di Papua terdapat sembilan bahasa yang punah. Sedangkan di Maluku Utara, ada satu bahasa yang punah. "Itu baru di sebagian wilayah timur Indonesia yang kami teliti, belum lagi di kawasan barat dan tengah," ujarnya.

Dia mengatakan, sejak tahun 1974, Pusat Bahasa telah meneliti 442 bahasa daerah. Saat ini masih meneliti lebih dari 300 bahasa daerah. "Seperti di Maluku Utara, Maluku, Irian Jaya Barat, Papua, dan NTT. Target kami lima tahun ke depan, penelitian dan pemetaan bahasa selesai," katanya.

Perlu Diatasi

Saat ini, katanya, Pusat Bahasa sudah membakukan 405.000 istilah dan 91.000 kata umum yang merupakan penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing. Persoalan bahasa yang hampir punah itu, harus diatasi dengan meningkatkan peran bahasa daerah di masyarakat, terutama di kalangan penuturnya. "Perlu penelitian dan upaya pengembalian bahasa itu, jika masih punya peran di masyarakat penuturnya," ujarnya.

Kepunahan bahasa, katanya, berarti hilangnya sebagian kebudayaan dan nilai serta kearifan lokal yang terkandung di dalamnya. Hilangnya kemampuan bertutur dalam bahasa ibu juga akan mempengaruhi pengajaran membaca dan menulis.

Dendy menjelaskan, saat ini pihaknya sedang mengembangkan kelembagaan Pusat Bahasa di delapan daerah untuk melakukan penelitian dalam rangka mengantisipasi kepunahan bahasa daerah. Kedelapan daerah itu antara lain Provinsi Bangka Belitung, Bengkulu, Kepulauan Riau, Banten, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, dan Gorontalo.

Pada sisi lain, Dendy menuturkan, penggunaan bahasa Indonesia saat ini mulai tergeser oleh bahasa asing. Kondisi itu menunjukkan, kedudukan dan fungsi ketiga bahasa itu (bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa asing) belum mantap dalam tata kehidupan masyarakat, terutama setelah reformasi tahun 1998 lalu. [W-12]

Sumber: Suara Pembaruan, Selasa, 24 Februari 2009

Monday, February 23, 2009

50 Persen Toko Buku "Mati": Sekolah Jadi Distributor

Jakarta, Kompas - Dari sekitar 5.000 toko buku yang pernah terdaftar dalam Gabungan Toko Buku Indonesia, saat ini tercatat tinggal sekitar 2.000 toko buku. Keberadaan toko buku yang tersisa itu terpusat di ibu kota provinsi, sedangkan yang berada di kabupaten atau kota serta daerah terpencil sudah tidak ada lagi.

”Untuk menghidupkan kembali toko buku sekaligus untuk menggairahkan penerbitan buku, distribusi buku harus dikembalikan lagi ke toko buku. Jangan seperti sekarang, sekolah pun bisa jadi distributor buku. Akibatnya, toko buku yang ada bangkrut lalu mati,” kata Firdaus Oemar, Ketua Umum Gabungan Toko Buku Indonesia (Gatbi), di Jakarta, Sabtu (21/2).

Menurut Firdaus yang juga Ketua Pusat Buku Indonesia, untuk mengembalikan lagi keberadaan toko buku, terutama di kabupaten/kota, perlu dilakukan terobosan baru dan dukungan kebijakan dari pemerintah. Harus ada kemauan dan komitmen bersama untuk mengembalikan jalur distribusi buku ke toko buku sehingga di kota kecil dan desa-desa bisa muncul kembali toko buku kecil yang menyediakan buku-buku yang dibutuhkan masyarakat.

Selain itu, pemilik toko buku besar bisa saja membuka toko buku-toko buku kecil di daerah. Demikian juga penerbit buku bisa membangun toko buku kecil yang mudah dijangkau masyarakat hingga di pedesaan.

”Upaya ini untuk membuat toko buku yang mati muncul kembali yang berdampak pada tumbuhnya perekonomian dan minat terhadap buku, baik buku pendidikan maupun buku bacaan lainnya,” kata Firdaus.

Toko buku mobil

Salah satu terobosan yang digagas Pusat Buku Indonesia untuk memperbanyak toko buku di kabupaten/kota adalah dengan menciptakan model toko buku mobil. Pada 2009 ditargetkan ada 1.000 toko buku mobil di berbagai wilayah di Indonesia, terutama untuk melayani kebutuhan siswa dan sekolah terhadap buku pelajaran.

Firdaus menjelaskan, saat ini sudah ada pesanan sekitar 80 mobil dari berbagai daerah. Masyarakat umum juga bisa memesan toko buku mobil untuk menjalankan penjualan buku di daerahnya.

Program ini juga didukung bank yang memberikan kredit pembelian mobil toko buku mobil. Untuk satu unit toko buku mobil harganya berkisar Rp 180 juta, sedangkan untuk kebutuhan beragam buku diperkirakan Rp 60 juta.

Agus Sartono, Kepala Biro Perencanaan dan Kerja Sama Luar Negeri Departemen Pendidikan Nasional, mengatakan, pemerintah mendukung inisiatif masyarakat untuk bisa menggairahkan penerbitan dan pemasaran buku ke masyarakat.

Pada acara Rembuk Nasional Pendidikan 2009 yang dihadiri kepala dinas pendidikan seluruh Indonesia dan pemangku kepentingan pendidikan lainnya pada Senin ini, model toko buku mobil secara resmi diluncurkan Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo.

”Model toko buku mobil ini bisa mendukung menyebarkan buku sekolah elektronik yang sudah dibeli hak ciptanya oleh pemerintah dalam bentuk buku cetak. Kehadirannya tentu bermanfaat karena masyarakat di daerah pedesaan punya akses yang mudah untuk bisa membeli buku di toko buku,” kata Agus. (ELN)

Sumber: Kompas, Senin, 23 Februari 2009

Langkan: Bahasa Daerah Punah

TIGA bahasa daerah di Jawa Barat dikhawatirkan punah jika semakin jarang digunakan. Bahasa daerah dianggap ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern. Demikian salah satu permasalahan yang mengemuka dalam peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional 2009 di Bandung, Sabtu (21/2). Hari Peringatan Bahasa Ibu Internasional ditetapkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) 10 tahun lalu. Gubernur Jabar Ahmad Heryawan mengatakan, berdasarkan Perda No 5/2003 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah, ada tiga bahasa yang diakui di Jabar, yakni Sunda, Cirebon, dan Melayu Betawi. Ketiganya bisa punah jika tidak diajarkan di sekolah dan jarang digunakan masyarakat. (CHE)

Sumber: Kompas, Senin, 23 Februari 2009

Langkan: KoPs Gelar Bedah Puisi

KOMUNITAS Planet Senen (KoPs), Senin (23/2), menggelar pembacaan puisi karya Giyanto Subagio dalam program Sepilihan Puisi Penyair di Plaza Depan Gelanggang Remaja Jakarta Pusat, Jalan Stasiun Senen Nomor 1. ”Puisi-puisi karya Giyanto Subagio akan dibedah oleh penyair Darmadi dan Mustafa Ismail, Redaktur Koran Tempo,” kata Penanggung Jawab KoPs, Irman Syah, Minggu. (NAL)

Sumber: Kompas, Senin, 23 Februari 2009

'Lestarikan Bahasa Ibu'

BANDUNG (Ant/Lampost): Hari Bahasa Ibu Sedunia yang diperingati setiap tahun tanggal 21 Februari menjadi momen penting berbagai kalangan untuk mengingatkan semua pihak perlunya pelestarian bahasa ibu.

UNESCO dalam pernyataannya, Jumat (20-2), menyebutkan Indonesia, India, AS, Brasil, dan Meksiko termasuk negara yang memiliki kekayaan ragam bahasa, tapi jumlah bahasa yang terancam punah di kawasan itu pun cukup besar.

"Sekitar 2.500 bahasa di dunia, termasuk bahasa-bahasa daerah di Indonesia, kini terancam punah," demikian diungkapkan badan dunia yang antara lain mengurus bidang pendidikan itu.

Di Bandung, Jawa Barat, berbagai ekspresi dilakukan warga masyarakat sebagai bentuk kecintaan terhadap bahasa Sunda yang merupakan bahasa ibu di wilayah Provinsi Jawa Barat.

Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Sunda Uviversitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung menggelar aksi damai di Jalan Pangeran Dipenogoro Bandung, Sabtu (21-2), untuk menyampaikan sikap dan tuntutan terkait pelestarian bahasa Sunda.

Kelompok mahasiswa UPI itu mengajukan tiga tuntutan, yaitu mengimbau pemeritah membuat langkah konkret, bukan sekedar mewajibkan bahasa Sunda diajarkan di sekolah-sekolah.

Menuntut bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan jangan sampai menggeser kedudukan bahasa daerah karena sudah memiliki porsi masing-masing.

Tuntutan ketiga aksi mahasiswa itu, menginginkan adanya perubahan regulasi dari kebijakan pemerintah yang menyangkut keberadaan bahasa daerah.

Ketua Himpunan Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Sunda UPI, Karsim, mengaku prihatin terhadap makin terkikisnya kesadaran masyarakat terutama kaum muda akan pentingnya mempertahankan penggunaan bahasa Sunda.

Di Kalimantan Barat, peneliti Balai Bahasa Pontianak Dedy Ari Asfar menilai Kalimantan Barat membutuhkan Peraturan Daerah (Perda) Bahasa Ibu karena terjadi kecenderungan pemutusan mata rantai penggunaan bahasa daerah pada satu generasi.

"Kalbar merupakan komposisi masyarakat yang multietnik dan multibahasa," kata dia di Pontianak, Minggu (22-2).

Menurut dia, bahasa ibu diidentikkan dengan bahasa daerah atau bahasa etnik untuk komunikasi informal dalam ranah keluarga dan komunitas tertentu.

Namun, dalam konteks sosiolinguistik, bahasa ibu sebenarnya tidak saja identik dengan bahasa daerah, karena bahasa Indonesia bisa juga disebut sebagai bahasa ibu karena orang tua si anak itu multietnik atau ia lahir dari perkawinan campuran.

"Misalnya, ayah dari Jawa dan ibu dari Dayak. Di rumah, pasangan Jawa-Dayak itu tidak menggunakan bahasa Jawa atau bahasa Dayak kepada anak-anaknya, tapi menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar atau tuturan dalam keluarga, maka bahasa ibu dalam keluarga itu adalah bahasa Indonesia," kata dia. n S-1

Sumber: Lampung Post, Senin, 23 Februari 2009

Kota, Sastra, dan Citra Bangsa

Yang Tersisa dari JILFest 2008

-- Tjahjono Widarmanto


KOTA? Mengapa sebuah kota? Mengapa diperlukan sebuah identitas kota dalam sebuah perhelatan?

Kota tak hanya berhenti sebagai sebuah identitas kewilayahan atau alamat. Kota merupakan sebuah symbol dari jejak, sejarah, masa lalu, kenangan dan kebesaran. Melalui nama sebuah kota akan bisa kembali dihikmati sebuah kenangan yang besar bahkan sebuah citra kebesaran sebuah peradaban. Setiap kota membawa makna dan citra tertentu. Jayakarta, misalnya, merupakan sebuah nama yang mengingatkan pada kemenangan pertempuran yang gilang gemilang.

Citra semacam inilah yang hendak dikabarkan. Oleh karena itu tak heran hampir seluruh kota di Indonesia memakai slogan untuk mencitrakan dirinya. Ada kota yang mencitrakan dirinya dengan slogan berjuang, bermahkota, resik, Apik, bersemangat, dsb yang kesemuanya merupakan sebuah upaya untuk mempresentasikan citra yang positif.

Kota merupakan sebuah narasi kecil yang merupakan bagian dari narasi besar yang disebut bangsa. Kota merupakan sebuah ikon yang diperlukan untuk mempublic relation (Mem PR-kan)kan bangsa. Misalnya, Kuala Lumpur mengingatkan kita pada Negeri Jiran, Mekah pada bangsa Arab, Paris adalah cap Perancis, Roterrdam mengasosiasikan pada Belanda, Bali dan Jakarta merujuk pada Indonesia. Sebuah kota bisa mempresentasikan citra bangsa bahkan sekaligus mempresentasikan citra dari pemimpinnya. Sebuah kota memiliki arti yang penting bagi sebuah bangsa sebab merupakan sebuah miniature yang dapat digunakan sebagai alat promosi kepada dunia luar.

Nasionalisme tak hanya bergantung pada batas kewilayahan yang karena globalisasi bisa menjadi sangat rentan. Pengikat nasionalisme tak hanya batas territorial namun juga pada rasa keterikatan pada cita-cita, persamaan ras, keterikatan culture atau rasa senasib. Nasionalisme tak mustahil pupus apabila berbagai rasa keterikatan itu tidak terus menerus ditanamkan.

Sastra bisa mengambil alih tugas tersebut. Melalui sastra bisa dibangkitkan kembali rasa keterikatan tersebut. Sastra bisa menunjukkan kembali kebersamaan cultur, kebersamaan ideologi, kebersamaan pemikiran, dan mengikat kembali cita-cita bersama. Lukacs (1998) menunjukkan bahwa sastra merupakan gejala kebangsaan dan kemasyarakatan. Hasil teks sastra mencerminkan berbagai gejala yang dialami negara. Sastra merupakan cerminan ikatan struktur yang hidup yang terus menerus dinamik. Cita-cita dan arah sebuah bangsa bisa diamati, dituliskan kembali, dan terus menerus dievaluasi melalui karya sastra. Teks sastra tak hanya menjahit kembali rentangan nasionalisme namun lebih jauh ia akan melesatkan dan mengenalkan sebuah bangsa ke dalam kancah `dunia. Melalui sastra masyarakat dunia bisa menengok Indonesia. Sastra menjadi juru bicara!

Sastra tak akan lahir tanpa kehadiran sastrawan. Kalau melihat begitu penting peran sastra bagi sebuah bangsa, maka sastrawan juga memiliki posisi penting bagi sebuah negara dan bangsa. Seorang sastrawan mampu lebih jauh meneropong ke depan dari siapa pun. Lebih dari politikus, wartawan, atau yang lain. Tak sekedar memotret tapi menjalin sebuah realitas menjadi realitas imajiner yang ideal. Sastrawan merefleksikan kembali pergulatan ide, realitas, dan fenomena zaman menjalinnya menjadi realitas yang baru dan menawarkan pada publik.

Melihat pentingnya sastra dan satrawan, semestinya kedudukkan sastra dan sastrawan juga penting. Namun realitasnya di Indonesia sastra dan sastrawan adalah "sesuatu" yang tidak populer, tidak dianggap penting bahkan dipandang sebelah mata. Karena dianggap sebelah mata, mata sedikit orang yang mau membaca sastra.

Sampai sekarang, Indonesia belum memiliki politik sastra yang baik, bahkan tak memiliki politik kebudayaan yang jelas. Pengajaran sastra di sekolah merupakan cermin yang nyata bahwa politik sastra kita tidak jelas. Pengajaran sastra selama ini (dan berkali-kali digugat!) hanya diajarkan sepotong-potong, hanya hafalan-hafalan dan tidak menyentuh pada hakikat sastra yang menawarkan nilai dan idealisme. Apabila pelajaran sastra sebagai salah satu upaya politik sastra berjalan dengan baik makan akan tumbuh pula apresiator dan pembaca-pembaca sastra yang baik.

Sastra selalu bersentuhan dengan citra dan cita-cita bangsa. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sastrawannya! Meletakkan posisi sastrawan pada posisi kunci adalah tugas kita bersama.***

* Tjahjono Widarmanto, penyair tinggal di Ngawi.

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 21 Februari 2009

[Inspirasi] Umberto Eco: Membaca Fenomena dengan Semiotika

KEBERHASILAN pemikir budaya adalah kemampuannya merangsang imajinasi pembaca--mungkin juga masyarakat dalam skop luas--dan membuka berbagai perspektif yang selama ini tersumbat, seperti dilakukan Umberto Eco.

Eco lahir di Alessandria, sebelah timur Turin, Italia, 5 Januari 1932. Karya-karyanya meliputi wilayah yang luas: Novel, jurnalistik, filsafat, dan semiotika. Dengan sudut pandang semiotika post-modern, pembacaan budaya pop yang dalam, dan penelusuran cultural studies yang luas, Eco menulis karya fiksi maupun nonfiksi yang merangsang imajinasi.

Eco menulis novel antara lain The Name of the Rose, Foucault's Pendulum, dan The Island of the Day Before. Beberapa karya nonfiksinya The Open Work (1961), Apocalypse Postponed (1964), Semiotics and the Philosophy of Language (1984), The limits of interpretation (1990), dan Travels in Hyperreality (1983).

The Name of the Rose memaparkan masalah pelik Abad Pertengahan termasuk ketuhanan, bidah, dan pengetahuan. Dalam novel multifacet ini, Eco meramu unsur sejarah, agama, dan sastra menjadi tulisan fiksi yang merangsang pemikiran.

Di bidang keilmuan, Eco termasuk salah satu ilmuwan yang mengenalkan konsep hyperreality, seperti juga Jean Baudrillard dari Prancis. Dalam Travels in Hyperreality, Eco menggunakan istilah copy, replica, replication, imitation, likeness, dan reproduction untuk menjelaskan konsep hiperealitas. Eco menyatakan hiperealitas sebagai replikasi, salinan atau imitasi.

Hiperealitas juga simulacrum dari unsur-unsur masa lalu yang dihadirkan dalam konteks masa kini sebagai sebuah nostalgia. Hiperrealitas meleburkan yang asli dan fotokopi, membuat salinan lebih asli dari rujukan.

Di bidang semiotika, Eco mengajak pembaca tidak percaya begitu saja pada tanda (sign). Bagi Eco, setiap tanda mengandung kepalsuan. Makna yang disampaikan juga perlu dicurigai. Maka itu, setiap signifikasi atau penandaan menjadi proses yang mesti diwaspadai, bukan semata arbiter. n DARI BERBAGAI SUMBER/P-1

Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 Februari 2009

Sunday, February 22, 2009

Penulis Cilik Adora Svitak: “Karena Waktu Tidak Abadi”

-- Dwin Gideon

Jakarta-Waktu tidak abadi, datang dan segera berlalu. Hingga akhirnya kita tertinggal sendiri, menanggung beban dan deritanya.

Penggalan puisi di atas adalah puisi berjudul “Waktu Tidak Pernah Berakhir” karangan Adora Svitak. Aslinya puisi ini berjudul “Time is Not Eternal”. Syair aslinya pun berbunyi, “Time is not eternal, it’s fleet and shortly gone. And then we’re left all alone, to bear its brunt and brawn.”

Puisi ini menyiratkan satu persoalan yang mendalam di dalam hidup, yaitu waktu. Persoalan yang melibatkan para pemikir, baik yang ilmiah maupun religius, ikut membahasnya.

Waktu memang tak pernah berakhir. Bahkan, puisi yang berjalan di atasnya pun selalu memperkaya diri sejalan dengannya. Penyair datang dan pergi silih berganti. Satu era berganti dengan era yang lain, masa ke masa, gaya-gaya dan aliran pun terus bermetamorfosis.

Namun, adakah yang mengira kalau puisi ini ditulis oleh seorang anak berumur delapan tahun bernama Adora Svitak? Dalam usianya yang sangat muda itu, sudah ada dua buku yang ditulisnya, Dancing Finger dan Flying Fingers. Saat ini ada tiga judul lagi yang sedang dikerjakannya.

Buku tersebut berisi kompilasi tulisan-tulisan Adora. Tidak hanya puisi, namun dia juga memasukkan cerita-cerita pendek ciptaannya.

Penuh fantasi

Tulisan Adora banyak menampilkan fantasi dan keajaiban. Olehnya, kedua imajinasi ini dipadukan dengan fiksi, baik yang digambarkan secara realis maupun kontemporer. “Semuanya itu adalah pengaruh JK Rowling yang telah membuat serial Harry Potter menjadi kelihatan nyata,” katanya menjawab pertanyaan SH melalui wawancara tertulis (20/2).

Selain Rowling, Adora juga mengaku terpengaruh Gloria Whelan dan Ann Rinaldi yang membuatnya sangat tertarik untuk menampilkan cerita-cerita bergaya epos. Ada juga Lois Lowry yang memengaruhinya dalam melihat dunia tempat kita hidup ini secara berbeda.

Untuk penyair, nama-nama seperti Shel Silverstein, Jack Prelutsky, Edna St Vincent-Millay, dan Emily Dickinson banyak memengaruhi puisi-puisi Adora. “Saya menyukai Silverstein dan Prelutsky karena humor yang sering ditampilkan di dalam puisi mereka, sedangkan Edna St Vincent-Millay dan Emily Dickinson adalah karena cara mereka merangkai kata yang menarik di dalam puisinya,” kata Adora.

Para penulis itulah yang memengaruhi Adora di dalam teknik menulisnya. Tidak tanggung-tanggung, Adora mampu membaca 2-3 buku dalam sehari! Hal ini mungkin berbeda dengan beberapa penulis cilik lain, seperti Anne Frank atau Zlaty Filipovic. Beberapa waktu lalu, mereka juga sempat ramai dibicarakan berkat buku yang diangkat dari catatan harian mereka ketika berumur 13 tahun.

Anne Frank menceritakan keseharian keluarga mereka yang hidup menjadi pelarian dari kejaran tentara Nazi. Zlata bercerita tentang kehidupannya di tengah perang yang sedang berkecamuk di Sarajevo, Bosnia.

Dancing Fingers dan Flying Fingers karangan Adora juga sebenarnya menampilkan tulisan-tulisan Adora setiap hari. Dengan gaya buku harian, Adora menceritakan kisah-kisah fantasinya, baik dalam bentuk cerita maupun puisi.

Guru Termuda

Selain membaca, menulis tentu menjadi aktivitasnya yang lain. Dari kedua aktivitas inilah wawasan dan keterampilan Adora berkembang. Selain menyandang predikat penyair cilik, Adora juga sering dijuluki sebagai guru termuda. Dia mengajar baik di kelas maupun di beberapa stasiun televisi.

Di kelas ataupun pada seminar-seminar yang diadakan oleh perguruan-perguruan tinggi di Amerika Serikat, termasuk juga di salah satu program acara televisi yang dibawakannya, Adora sering mengajar teknik menulis.

Tidak hanya cerita-cerita penuh fantasinya saja yang dapat mencengangkan publik. Bila dirata-rata, Adora mampu menulis hingga 70 kata per menitnya. Selain itu, Adora juga sering dimintai pendapat tentang cara mendidik dan membesarkan anak. Di dalam situs pribadinya www.adorasvitak.com, Adora membuka layanan interaktif yang bisa diakses oleh anak-anak maupun orang tua.

Adora sepertinya berniat untuk membagikan keterampilan yang dimilikinya melalui media-media yang ada. Dia seolah sadar bahwa waktu memang tak akan abadi. “Waktu tidak abadi dan dia hanya berada di dalam kesadaran kita. Ketika kita menyadari tentang ketidakbaikannya, dia akan membawa kita kepada kehancuran,” kata Adora menutup puisi “Time is Not Eternal”. Dalam bahasa aslinya, “Time is not eternal, and it’s only in our wake. That we realize time’s amoral, it will drive us till we break.” n

Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 21 Februari 2009

Friday, February 20, 2009

2.500 Bahasa Terancam Punah

JAKARTA (Ant/Lampost): Sekitar 2.500 bahasa di dunia, termasuk bahasa-bahasa daerah di Indonesia, kini terancam punah, demikian diungkapkan UNESCO berkaitan dengan peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional 21 Februari 2009.

Dalam pernyataannya, Jumat (20-2), badan dunia bidang pendidikan sains dan budaya itu menyebutkan Indonesia, India, AS, Brasil, dan Meksiko termasuk negara yang memiliki kekayaan ragam bahasa, tapi jumlah bahasa yang terancam punah di kawasan itu pun cukup besar.

Dalam atlas yang merupakan update dari atlas tentang bahasa-bahasa di dunia yang terancam punah tersebut, UNESCO mengklasifikasikan dalam lima tingkatan, mulai level tidak aman, terancam, sangat terancam, kritis, hingga benar-benar telah punah.

Kini ada 6.000 bahasa di dunia. Lebih dari 200 bahasa telah punah dalam tiga generasi terakhir ini, 538 masuk level kritis (hampir punah), 502 sangat terancam, 632 terancam, dan 607 tidak aman.

Sebanyak 200 bahasa di dunia kini hanya memiliki penutur kurang dari 10 orang, dan 178 lain antara 10 dan 50 penutur.

Bahasa Manx di Isle of Man, Inggris, punah pada 1974 setelah Ned Maddrell, penutur terakhir, meninggal dunia, sedangkan bahasa Eyak di Alaska punah dengan meninggalnya Marie Smith Jones tahun 2008.

"Punahnya suatu bahasa menyebabkan hilangnya berbagai bentuk dari warisan budaya, khusus warisan tradisi dan ekspresi berbicara masyarakat penuturnya, mulai sajak-sajak dan cerita hingga peribahasa dan lelucon-lelucon," kata Direktur UNESCO Koichiro Matsuura, dalam portal badan PBB itu.

Lebih dari 30 ahli bahasa menyusun atlas ini, yang menyebutkan proses kepunahan suatu bahasa yang terjadi di setiap kawasan dan berbagai kondisi ekonomi.

Hampir dua pertiga bahasa di dunia digunakan di kawasan sub-Sahara Afrika, dan sekitar 10 persen di antaranya diperkirakan bakal punah pada abad mendatang.

Di Prancis, 13 bahasa juga masuk dalam kategori terancam keberadaannya.

Beberapa bahasa yang masuk kategori terancam punah, di antaranya bahasa Cornish di Inggris dan Sishe di Kaledonia Baru, kini direvitaliasi lagi secara aktif dan berpotensi hidup kembali.

Di Indonesia sendiri, dari 742 bahasa daerah, 169 di antaranya terancam punah karena jumlah penuturnya kurang dari 500 orang.

Sementara itu, Staf Publikasi dan Penerbitan Balai Bahasa Medan, Suyadi San, di Medan, Kamis (19-2), mengatakan berdasar pada Permendagri Nomor 40 Tahun 2007, kewenangan pelestarian bahasa berada pada pemerintah daerah untuk mengembangkannya hingga masyarakat lokal.
Berkaitan dengan permendagri itu, langkah yang perlu dilakukan adalah merevitalisasi bahasa daerah dengan budaya yang ada di daerah masing-masing. n S-1

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 21 Februari 2009

Bedah Buku: Karya Abdullah Munsyi Bukan Sejarah

JAKARTA, KOMPAS - Nama Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, atau disingkat Abdullah Munsyi, sudah akrab di masyarakat Malaysia dan Indonesia. Banyak sarjana dan ahli membahas karya-karyanya, tetapi keliru karena menganggap apa yang ditulis Abdullah Munsyi sebagai fakta sejarah. Padahal, karya Abdullah Munsyi merupakan fiksi.

Kenyataan itu terungkap ketika budayawan Ajip Rosidi membahas tiga jilid buku Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi yang ditulis Amin Sweeney, profesor emeritus dalam bidang pengkajian Melayu dari Universitas California, Berkeley, yang kini tinggal di Jakarta. ”Sebagai fiksi, maka usaha para sarjana yang mencoba memeriksa data-data historis bertalian dengan karya-karya Abdullah Munsyi hanya perbuatan sia-sia belaka,” katanya.

Di hadapan sekitar 200 orang yang hadir dalam bedah buku itu, Ajip menegaskan, meskipun dalam karangan-karangannya Abdullah Munsyi selalu menggunakan kata ganti orang pertama, sebagai saksi tentang apa yang terjadi dan diceritakannya seperti Singapura terbakar, perjalanan ke Kelantan dan ke Mekkah, pada dasarnya karya Abdullah Munsyi merupakan fiksi.

Dalam buku Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi (penerbit Kepustakaan Populer Gramedia bekerja sama dengan Ecole Francaise d’Extreme-Orient, Jakarta), Amin Sweeney juga membahas secara mendalam tentang sastra lisan dan pernaskahan.

Amin Sweeney yang juga tampil mendampingi Ajip Rosidi pada sesi dialog menegaskan, banyak sarjana dan pakar melakukan pendekatan sejarah, tetapi tidak masuk ke dalam teks itu sendiri. Mereka memeriksanya dengan data-data sejarah yang mereka peroleh di luar teks. (nal)

Sumber: Kompas, Jumat, 20 Februari 2009

[Sosok] Abidah El Khalieqy: Kesalahpahaman

PENULIS novel Perempuan Berkalung Sorban, Abidah El Khalieqy, menyatakan, ada kesalahpahaman di balik kontroversi atas novelnya dan film yang disutradarai Hanung Bramantyo itu.

”Mengapa? Karena apa yang mereka (pihak yang kontra) ributkan semuanya tercantum dengan jelas di novel serta digambarkan dengan jelas juga dalam film,” katanya seusai bedah buku di Universitas Pandanaran, Kota Semarang, Jawa Tengah, akhir pekan lalu.

Kata Abidah, seharusnya kontroversi tak perlu terjadi jika berbagai pihak yang kontra itu sudah membaca novel dan menonton sendiri filmnya dengan saksama. Dia menduga, berbagai pihak yang kontra itu belum melihat atau membaca sendiri sehingga tak dapat memahami dengan benar.

”Seharusnya mereka justru peduli dengan permasalahan perempuan. Misi saya hanya mengembalikan pengertian bahwa perempuan dan laki-laki setara di mata Allah,” katanya.

Namun, dalam praktiknya terkadang manusialah yang keliru menafsirkan. Abidah yang lulusan pesantren itu pun tetap pada pendiriannya. Misinya hanya memperjuangkan kedudukan dan derajat yang sama antara laki-laki dan perempuan.

”Isu kesetaraan bagi perempuan sebetulnya bukan hal baru dan selalu menarik untuk diangkat karena memang kompleks,” tutur perempuan kelahiran 1 Maret 1965 ini. (UTI)

Sumber: Kompas, Jumat, 20 Februari 2009

Sosok: "Jolali" Dokumentasi Situs Majapahit

-- Ingki Rinaldi

PENINGGALAN Kerajaan Majapahit makin terancam. Sisa kerajaan besar di Nusantara itu kian rusak karena ulah masyarakat dan pemerintah. Di tengah pusaran itu, Akhmad Mukhsinun alias Paidi Jolali tak henti mendokumentasikan setiap jengkal situs kerajaan ini. Ia ingin ”menyelamatkan” warisan sejarah itu.

Ia tak lelah mendokumentasikan proses kerusakan situs Kerajaan Majapahit di wilayah Kabupaten Mojokerto dan Jombang, Jawa Timur. Empat tahun terakhir ini, Paidi—panggilannya—masuk keluar desa di sejumlah kecamatan untuk memfilmkan proses terjadinya kerusakan situs sejarah itu, terutama akibat tuntutan ekonomi masyarakat pembuat batu bata.

Dalam kurun itu, tak kurang 26 kaset video masing-masing berdurasi satu jam berisi keadaan situs Majapahit telah dibuatnya. Salah satu hasil rekaman Paidi berupa perusakan struktur batu bata kuno oleh warga di lokasi pembuatan batu bata pada pertengahan Januari 2009.

Nama Paidi nyaris luput dari sorotan kasus perusakan situs Majapahit akibat pembangunan Pusat Informasi Majapahit (PIM) oleh pemerintah meski dialah satu-satunya orang yang mendokumentasikan kerusakan situs Majapahit secara menyeluruh, tak hanya di kawasan PIM.

Dalam banyak karyanya empat tahun lalu, tampak sejumlah situs peninggalan Majapahit berupa struktur batu bata kuno atau gapura kuno yang relatif utuh. Namun, pada lokasi yang sama dengan pengambilan gambar tahun ini, terlihat jelas kerusakan situs itu.

Adalah Ketua Perkumpulan Peduli Majapahit Gotrah Wilwatikta Anam Anis yang pertama kali menugasi Paidi untuk mendokumentasikan batas-batas visual Kerajaan Majapahit, Februari 2005. Ia langsung merekam dua yoni di Kecamatan Sumobito dan Mojowarno, Kabupaten Jombang, serta dua yoni lain di Desa Klinterejo, Kecamatan Sooko, dan Desa Lebak Jabung, Kecamatan Jatirejo, Kabupaten Mojokerto.

Saat itu Gotrah membutuhkan bukti visual penegasan batas wilayah bekas Kerajaan Majapahit agar klaim sebagai daerah cagar budaya bisa dilakukan. Meski tugas telah selesai, Paidi justru makin tertarik mendokumentasikan kerusakan situs Majapahit.

”Saya hanya ingin ada dokumentasi bekas Kerajaan Majapahit, khawatir juga jika nanti hilang. Kalau ada dokumentasinya, kita bisa tunjukkan di sini pernah ada bekas bangunan kerajaan, bukan hanya katanya,” ujar Paidi yang memakai nama belakang ”Jolali” untuk mengingatkan orang agar ”jangan lupa” (bahasa Jawa: ojo lali) pada sejarah.

Jangan didekati

Kata Paidi, kerusakan situs tak melulu karena ulah masyarakat pembuat batu bata. Sebagian besar temuan oleh masyarakat pasti dilaporkan lebih dulu kepada Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jatim sekalipun mereka lalu kecewa karena laporan itu tak kunjung ditangani lebih lanjut.

Temuan berupa struktur batu bata kuno, pintu gerbang, candi kuno, sumur kuno, hingga batu-batu besar nyaris selalu dilaporkan kepada pemerintah. Lalu dilakukanlah pengukuran, pemotretan, pencatatan oleh pegawai pemerintah sambil mewanti-wanti warga agar wilayah temuan itu jangan didekati, digarap, apalagi digali.

Hanya pesan itu yang diterima warga. Temuan bersejarahnya ditinggalkan begitu saja. Tak ada tindakan konkret terhadap temuan, apalagi pada masyarakat sekitarnya. Kalaupun ada kompensasi bagi masyarakat, jumlahnya relatif kecil. Padahal, warga tetap butuh makan.

Akibatnya, upaya pembuatan batu bata, misalnya, terus mengancam situs ini karena tidak ada solusi yang diberikan pemerintah bagi mereka. Paidi menyebutkan, selama ini yang terjadi adalah upaya pembiaran perusakan situs oleh pemerintah karena nyaris tak ada usaha konservasi apa pun yang dilakukan terkait temuan situs sejarah oleh masyarakat.

Berkeliling sendirian

Bermodalkan satu unit kamera video digital merek Panasonic MD 10000, satu unit hard disk eksternal merek Maxtor berkapasitas 120 gigabyte, dan sepeda motor Suzuki RC 100, nyaris setiap hari Paidi berkeliling ke seluruh penjuru batas wilayah bekas Kerajaan Majapahit.

”Kamera itu baru saya dapatkan satu setengah bulan lalu dari Mas Ipung (Saifullah Barnawi, anggota Perkumpulan Peduli Majapahit Gotrah Wilwatikta). (Sepeda) motor juga baru saya miliki tahun 2007 saat menggarap proyek desa percontohan Hess (perusahaan gas dan minyak Amerada Hess) di Ujungpangkah, Gresik,” cerita Paidi yang sempat dimusuhi warga pembuat batu bata.

Tahun-tahun sebelumnya Paidi mesti berjibaku di lapangan dengan sejumlah kamera video pinjaman. Untuk proses editing, ia menumpang kepada sejumlah kenalannya. Dana operasional dia ambil dari pendapatannya sebagai seorang juru kamera untuk acara pernikahan atau pesanan tak tentu sebagai penggarap dokumentasi audio visual.

Selama bertahun-tahun itu pula Paidi berkali-kali mengajak sejumlah kawannya menelusuri jejak peninggalan Majapahit. Namun, tidak ada seorang pun kawan yang tahan bersama dia berlama-lama di lapangan.

”Ada teman yang suka mengajak pulang, ada yang suka nongkrong di warung. Mereka bilang, protolan boto, kok, diurusi (pecahan batu bata, kok, diurusi),” kata Paidi menirukan sejumlah rekan yang sempat dia ajak berkeliling dari desa ke desa untuk merekam situs bersejarah.

Oleh karena itulah Paidi lalu memutuskan tetap berkeliling dari desa ke desa meski ia harus menjalaninya sendirian.

Bicara tentang kemampuannya mengambil gambar dan mengedit dengan sejumlah software penyunting video visual, Paidi memperolehnya secara otodidak.

”Saya pertama kali ikut usaha sablon punya Umar Muzaki di Mojokerto pada 1995. Dia saya anggap sebagai guru,” kata Paidi.

Sejak itulah pria yang tak menamatkan pendidikan menengah atasnya ini kemudian merambah dunia audio visual dan olah digital. Berbagai aplikasi pengolah gambar diam dan bergerak, seperti Adobe Photoshop, CorelDraw, dan Adobe Premiere, lantas dia pelajari dan perlahan berhasil dikuasainya.

Soal pendidikan formal yang hanya sampai tingkat SMP, Paidi mengaku tak menyesal. ”Sekolah hanya mengajarkan kepada kita bagaimana cara berpikir rasional dan mengenal dunia luar,” kata Paidi yang lebih banyak belajar soal kehidupan saat bergabung dengan kelompok pecinta alam Driwala Mojokerto yang berdiri sejak 1983.

Kecintaannya pada pendakian gunung itu pula yang membuat sekolah Paidi kemudian berakhir dengan putus di tengah jalan.

Selain mendaki gunung, hari-hari Paidi terus dilalui dengan usaha mendokumentasikan sebanyak mungkin peninggalan Majapahit yang terserak di wilayah Mojokerto dan Jombang.

Bagi Paidi, menyelamatkan situs sejarah adalah hal penting yang harus dilakukan. Dia tak lagi peduli apakah pemerintah memberi prioritas atau tidak kepada situs sejarah tersebut.

Sumber: Kompas, Jumat, 20 Februari 2009

Thursday, February 19, 2009

Langkan: Bedah KBBI Edisi IV

KAMUS Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi IV akan dibedah para pakar bahasa dan pengguna kamus di Bentara Budaya Jakarta, Jalan Palmerah Selatan No 17, Jakarta, Selasa (24/2) mulai pukul 09.30. Acara ini diselenggarakan Forum Bahasa Media Massa (FBMM) bekerja sama dengan harian Kompas serta didukung Kompas Gramedia. Menurut panitia penyelenggara, empat pembicara menyatakan kesediaan hadir. Mereka adalah Meity Taqdir Qodratillah dari Pusat Bahasa, Bambang Kaswanti Purwo (akademisi), Rikard Bagun (pengguna KBBI), serta seorang pendidik, Dumaria Simanjuntak. Hasil bedah buku atas keunggulan dan perubahan KBBI terbitan Pusat Bahasa Depdiknas tersebut diharapkan bisa memperkaya KBBI edisi berikutnya. KBBI edisi IV berisi 90.000 lema atau lebih banyak 12.000 lema daripada KBBI edisi III terbitan 2002. (POM)

Sumber: Kompas, Kamis, 19 Februari 2009

Wednesday, February 18, 2009

Langkan: Karya Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi Dibedah

PUJANGGA masa lalu, Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, meninggalkan banyak kontroversi. Selama ini dalam sastra Indonesia ia ditempatkan sebagai tokoh periode transisi, perintis yang konon membawa sastra Melayu lama memasuki sastra Indonesia modern. Namun, dalam tiga jilid buku Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, penerbit Kepustakaan Populer Gramedia bekerja sama dengan Ecole Francaise d’Extreme Orient, yang disunting Amin Sweeney—profesor emeritus dalam bidang pengkajian Melayu dari Universitas California, Berkeley—ditemui banyak kejutan yang bertolak belakang dengan pengetahuan kita selama ini. Buku tersebut akan dibahas pada acara pembahasan buku Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi oleh Ajip Rosidi di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki, Kamis (19/2) pukul 13.00. (*/NAL)

Sumber: Kompas, Rabu, 18 Februari 2009

Tuesday, February 17, 2009

Benda Purbakala: 45 Arca Batu Diserahkan ke Negara

Solo, Kompas - Keluarga ahli waris mendiang Go Tik Swan atau Panembahan Hardjonagoro menyerahkan 45 arca batu purbakala kepada negara. Surat wasiat Go Tik Swan dibuat pada 11 Agustus 1985 yang berisi penyerahan sejumlah benda purbakala koleksinya.

Penyerahan dilakukan secara simbolis dengan menyerahkan sebuah arca lembu dari ahli waris Go Tik Swan, KRAr Hardjosuwarno, kepada Direktur Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Soeroso di Balaikota Solo, Jawa Tengah, Selasa (17/2). Penyerahan ini sekaligus membuka lokakarya Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI) yang dihadiri sejumlah wali kota dari berbagai daerah yang tergabung dalam JKPI.

Soeroso menyerahkan surat wasiat kepada Pemerintah Kota Solo yang diterima Wali Kota Solo Joko Widodo. Surat wasiat itu berisi penyerahan 45 benda cagar budaya itu sebagai aset daerah Kota Solo.

”Proses dari ahli waris diserahkan kepada pemerintah pusat lalu diberikan kepada pemerintah kota tidak ada desakan. Semua karena kesadaran untuk melestarikan warisan budaya agar lestari dan bisa dinikmati generasi yang akan datang,” kata Soeroso.

Keempat puluh lima arca batu nantinya akan disimpan di Museum Radya Pustaka, Solo, setelah proses renovasi museum itu selesai. Untuk sementara, arca-arca itu masih akan disimpan di kediaman Go Tik Swan dan diurus oleh Hardjosuwarno.

Hardjosuwarno mengatakan, arca yang diserahkan semuanya adalah arca batu yang antara lain berasal dari abad XIV. Wali Kota Solo Joko Widodo menyampaikan penghargaannya kepada keluarga ahli waris Go Tik Swan atas penyerahan 45 arca batu itu sesuai wasiat mendiang. ”Ini sekaligus sebagai hadiah ulang tahun bagi Kota Solo yang berulang tahun ke-264,” kata Jokowi—panggilan Joko Widodo.

Sebelumnya terungkap sejumlah arca batu koleksi Museum Radya Pustaka dipalsukan dan dicuri. Majelis hakim Pengadilan Negeri Surakarta telah menghukum 18 bulan kepada KRH Darmodipuro dan Heru serta 14 bulan untuk Jarwadi dan Gatot dalam kasus ini. Semuanya telah selesai menjalani masa hukuman.

Poltabes Surakarta kini tengah menyelidiki kasus dugaan pencurian sejumlah koleksi arca perunggu Museum Radya Pustaka. Namun, hingga kini belum ada tersangka yang ditetapkan.

Menurut Jokowi, tidak mudah memelihara dan mengonservasi benda cagar budaya. Untuk itu, ia mengusulkan agar kota-kota pusaka, terutama yang sudah tergabung dalam JKPI untuk membuat peraturan daerah tentang pelestarian warisan pusaka.

”Dengan perda, siapa pun pimpinan daerahnya akan punya pegangan hukum tentang heritage di daerah masing-masing,” katanya. (eki)

Sumber: Kompas, Selasa, 17 Februari 2009

Monday, February 16, 2009

Didaktika: Guru Lawan Google

-- R Arifin Nugroho

”It is not the strongest of the species that survive, nor the most intelligent, but the one most responsive to change." (Charles Darwin)

Saat ini perkembangan ilmu pengetahuan telah menjadi pilar utama penyempurnaan hidup di muka bumi. Akibatnya, berbagai perubahan harus selalu terjadi setiap saat.

Sesuai pernyataan Charles Darwin, jika manusia tidak ingin mengalami kepunahan, mereka harus memiliki sifat adaptif. Dalam menjalankan proses adaptasi tersebut diperlukan efektivitas untuk merespons perubahan.

Akibat perilaku yang harus adaptif ini muncul teknologi komunikasi yang mampu melintasi sekat ruang dan waktu. Perubahan di dunia dapat diketahui lewat sebuah laptop hanya dalam hitungan detik.

Agen pendidikan

Salah satu teknologi canggih yang mampu memfasilitasi ilmu pengetahuan adalah Google. Google yang lahir dari pertemuan tidak sengaja antara Larry Page dan Sergey Brin pada tahun 1995 telah membalikkan sekat keterbatasan informasi.

Embrio search engine yang diberi nama BackRub, pada tanggal 7 September 1998 berkembang sempurna menjadi Google. Mesin pencari supercanggih ini dapat mencari sebuah istilah hanya dalam satuan detik yang tersaji dalam jutaan situs internet.

Di dunia pendidikan, search engine ini mampu mengubah jejaring pemikiran para pelaku pendidikan. Seorang siswa dapat searching seluas-luasnya untuk mengeksplorasi sebuah pengetahuan baru. Dari mencari arti kata, materi pelajaran, sampai teknologi yang terkini dapat digali dengan mudah.

Banjir informasi menjadi fenomena yang sangat indah untuk dinikmati. Pemahaman tentang sebuah materi pelajaran pun terolah dengan lebih baik. Siswa tidak lagi harus mengeluarkan banyak biaya untuk membeli berbagai judul buku. Cukup klik dan dapat!

Para pendidik juga tidak ketinggalan atas kehebatan teknologi mesin pencari ini. Dari pencarian silabus, soal ulangan, sampai artikel ilmiah terbaru dapat diakses dengan mudah. Transfer ilmu pengetahuan antara guru dan siswa dapat berjalan dengan efektif. Libido ilmu pengetahuan yang selama ini terkekang sekarang dapat tersalurkan dengan nyaman.

Lebih dari Google

Suatu saat pernah seorang guru menjadi merah padam di depan kelas akibat Google ini. Pagi itu seorang siswa sudah ”sarapan” dengan mengakses perkembangan teknologi terbaru melalui fasilitas Google.

Kebetulan, materi pelajaran hari itu berhubungan dengan teknologi terkini yang ia temukan. Singkat cerita, di dalam kelas, siswa mencobai gurunya dengan bertanya seputar teknologi terbaru itu. Guru yang tadi pagi hanya sarapan nasi dan tempe itu akhirnya menjawab sekenanya, dan ternyata salah. Ia pun tergagap di depan kelas karena ditertawakan para murid akibat kesalahan yang ia lakukan.

Sekelumit gambaran tadi menunjukkan pentingnya seorang guru untuk selalu meng-up grade diri. Siswa masuk kelas bukan lagi dengan tidak bermodal, tetapi telah penuh dengan fantasi dan eksplorasi ilmiahnya.

Melihat situasi ini, lantas masih perlukah peran seorang guru? Bukankah Google lebih hebat daripada guru?

Jika seorang guru diadu dengan Google dalam kecepatan mengartikan, jelas guru akan kalah telak. Lalu, bagaimana nasib seorang guru selanjutnya?

Perlu diingat bahwa seorang guru bukan hanya pengajar yang mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi sekaligus sebagai pendidik yang memanusiawikan manusia menjadi sempurna. Yesus Sang Isa Almasih pernah berkata, ”Jadilah kamu sempurna seperti Bapamu di surga sempurna adanya (Injil Matius 5:48)”.

Ilmu eling marang sangkan paraning dumadi (ingat akan tujuan kita diciptakan) menjadi bekal dasar seorang guru. Guru bukan sekadar pesaing dari Google sebagai alat mentransfer ilmu pengetahuan. Guru memiliki peran lebih untuk menyempurnakan kehidupan seorang pribadi agar serupa dengan Sang Khalik. Tidak hanya menjadikan siswa having, melainkan being.

Seperti dalam agama Hindu, guru bukan saja dinobatkan sebagai sang pembagi ilmu, tetapi sebagai tempat suci yang berisi ilmu (vidya). Hal ini semakin menguatkan peran guru yang sangat mulia.

Guru masih lebih unggul daripada Google karena guru mampu mengajarkan sisi humanis yang tidak dapat diberikan mesin pencari secanggih apa pun. Dalam kehidupan nyata tidak hanya diperlukan berlimpahnya ilmu pengetahuan dalam otak, tetapi juga sisi manusiawi agar bisa memanusiawikan ilmu pengetahuan yang dimiliki dan memanusiawikan manusia saat berelasi dengan pribadi lain.

Bukan kebun binatang

Jika guru tetap sebatas mentransfer ilmu, sekolah tidak jauh berbeda dengan kebun binatang. Sebenarnya pendidikan bukanlah proses ”penjinakan”, tetapi ”peliaran”. Pendidikan kita seharusnya berusaha ”meliarkan”, memunculkan sifat manusiawi sebagai sifat dasar yang diberikan oleh Sang Pencipta kepada makhluk yang diberi nama manusia.

Pendidikan bukanlah seperti kebun binatang dengan hiburan sirkus binatang di dalamnya. Di dalam kebun binatang terjadi proses domestikasi, yaitu membatasi kehidupan liar binatang. Akibatnya, sifat hewani tidak akan muncul dari dalam kebun binatang.

Jeruji, tembok pembatas, dan ransum makanan menjadi cara untuk domestikasi. Atraksi berbagai binatang yang sering kita jumpai di kebun binatang semakin meyakinkan pembatasan kehidupan mereka. Para binatang tidak lagi diajar untuk bisa survive di kehidupan hewani liarnya, tetapi justru diajar untuk melakukan tindakan-tindakan aneh.

Mana mungkin di tengah hutan ada monyet naik sepeda. Mana mungkin di tengah samudra yang penuh kompetisi dapat diatasi lumba-lumba karena kecerdasannya dalam mengerjakan soal penjumlahan.

Jika guru telah lupa untuk mengajarkan sifat manusiawi suatu ilmu pengetahuan dan memanusiawikan peserta didik, pendidikan yang terjadi tidak jauh berbeda dengan situasi di kebun binatang.

Pemahaman kita perlu disegarkan kembali bahwa teknologi hanyalah hasil akhir dari ilmu pengetahuan yang bersifat material, bisa rusak, bisa berubah, dan suatu saat bisa tidak bermanfaat. Karena itu, interaksi antarmanusia yang didasari kontak teknologi belaka akan terasa kering karena bersandar pada nilai material.

Pendidikan tidak dapat bersandar pada teknologi semata, melainkan juga harus melibatkan hati yang dimiliki setiap pribadi manusia.

Akhirnya ungkapan Charles Darwin akan semakin tepat dan survive jika dipadu dengan ungkapan indah Mariah Carey dalam lagunya yang berjudul ”Hero”: If you look inside your heart… you know you can survive. (Jika engkau becermin ke dalam hatimu, engkau tahu bahwa engkau bisa bertahan!)

* R Arifin Nugroho, Guru SMA Kolese De Britto Yogyakarta

Sumber: Kompas, Senin, 16 Februari 2009

Tak Lelah Memotivasi Siswa untuk Menulis

Guru SMAN 8 Padang Yunardi, M.Pd.

TIDAK banyak siswa yang memiliki bakat menulis, namun Yunardi S. MPd memiliki keyakinan bahwa faktor bakat hanya memiliki pengaruh 10 persen, 90 persennya faktor pembelajaran. Sehingga tidak salah Guru Bahasa Indonesia SMPN 8 Padang tidak pernah lelah memberi motivasi dan melatih siswa untuk terus menulis. Ia pun mengapresiasi karya siswa lewat penerbitan buletin sekolah serta majalah dinding, sehingga pelajar bersemangat untuk membuat tulisan.

“Menulis itu merupakan pembelajaran dan materi yang harus dikuasai siswa. Setiap jenjang pendidikan tinggi mewajibkan siswa harus mampu menulis untuk menyelesaikan tugas akhir, skripsi untuk S1, tesis untuk S2 dan disertasi untuk S3. Sehingga penting mengasah kemampuan menulis siswa dari sekarang. Jika tidak, siswa akan frustasi untuk menyelesaikan tugas akhirnya di masa mendatang. Ujung-ujungnya plagiat menjadi solusi yang sangat tidak cerdas,” ujar guru yang telah aktif menulis artikel di media lokal maupun nasional kepada Padang Ekspres di ruang kerjanya, kemarin.

Memicu target agar siswanya mampu membuat tulisan, Yunardi selalu menugaskan siswanya untuk membuat tulisan, sesuai dengan sub materi pelajaran. Berupa karya ilmiah sederhana, puisi, cerpen dan karya tulis lainnya. Peraih peringkat III pelatih baca tulis dari Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas RI tahun 2003 ini menyatakan, bahwa lewat pembelajaran, setiap orang akan mampu untuk membuat tulisan. Lewat buletin sekolah serta majalah dinding, Yunardi berharap siswanya memiliki motivasi yang kuat untuk menulis. Upaya tersebut cukup efektif, meskipun belum banyak, namun saat ini banyak siswa yang mulai menyerahkan karya tulisnya untuk dipublikasikan di mading dan buletin.

Bahkan untuk karya terbaik, Yunardi mengirimkan ke media massa sehingga siswanya makin bersemangat untuk terus menulis. Jerih payahnya pun mulai membuahkan hasil, salah seorang siswa binaannya berhasil meraih peringkat III lomba menulis surat yang diselenggarakan Lion Air beberapa waktu lalu. Hanya saja memang kesadaran untuk menulis bagi seluruh siswa belum terwujud, baru sekitar 10 persen dari keseluruhan siswa yang berminat untuk membuat tulisan. “Memang butuh waktu untuk mewujudkan suatu impian agar seluruh siswa memiliki minat untuk menulis. Terpenting saat ini, saya dan guru-guru Bahasa Indonesia lainnya tidak pernah lelah untuk terus melatih dan mengembangkan minat siswa,” ujarnya Tidak hanya siswa, Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Indonesia Kota Padang ini juga melatih dan menumbuhkan minat guru mata pelajaran Bahasa Indonesia, memotivasi siswa membuat tulisan. Sekaligus juga memberikan trik bagaimana seharusnya guru melatih siswa membuat tulisan.

Ia juga berharap agar pemerintah turut memperhatikan pembelajaran Bahasa Indonesia, tidak hanya sains. Sehingga mampu menimbulkan kecintaan terhadap Bahasa Indoenesia bagi kalangan siswa. Selain itu proses penyeleksiannya mulai dari dalam kelas, antar kelas, pemenang di sekolah nantinya yang berhak menjadi utusan untuk lomba antas sekolah. Sehingga memang tidak asal comot, saat berlangsungnya perlombaan.

Tidak hanya menulis, menurut Yunardi pelajaran Bahasa Indonesia mencakup empat aspek kemampuan dasar yang memang harus dimiliki setiap siswa. Kemampuan membaca, mendengar, menulis dan menyimak. Empat kemampuan ini seringkali diabaikan, padahal perannya cukup penting, seperti membaca tidak hanya sekadar membaca tetapi juga artikulasi huruf dan vokal harus jelas, sehingga orang yang mendengar paham dengan kondisi tersebut. (nia)


Sumber: Padang Ekspres, Minggu, 15 Februari 2009

Sunday, February 15, 2009

Puisi dan Batin Kebudayaan

-- Binhad Nurrohmat*

KAMUS, tata bahasa, mesin cetak, telepon, dan internet memperpesat pergaulan dan perkembangan kebudayaan modern. Pada masa lampau, jarak geografis dan perbedaan bahasa menjadi kendala interaksi antarmanusia dan kebudayaannya, tapi kemajuan peradaban membuat bentangan jarak geografis bisa disambungkan oleh teknologi komunikasi dan hambatan perbedaan bahasa dapat dijembatani oleh penerjemahan.

Teknologi komunikasi memungkinkan dan mempercepat interaksi; dan penerjemahan membuka cakrawala pengetahuan antarmanusia dan kebudayaannya buku ini salah satu contohnya. Penerbitan buku multibahasa Antologia de Poeticas (Kumpulan Puisi Indonesia, Portugal, dan Malaysia) ini merupakan keluhuran yang melantari tiga bangsa dan kebudayaannya berhimpun dalam sebuah buku.

Buku ini bermakna bagi perjumpaan dan pemahaman antarbangsa dan kebudayaannya, bahkan memungkinkan persuaan antarbatin manusia lantaran watak puisi menyibak dan menyembulkan kedalaman dan keintiman perasaan manusia, dan melalui puisi (meminjam puisi penyair Portugal Alexandre O Neil) membuat ''kata-kata mencium kita seakan bermulut''.

Indonesia dan Malaysia punya banyak persamaan kebudayaan, kedekatan geografis, dan pada masa silam pernah bersentuhan secara mendalam dengan bangsa Portugis. Karenanya puisi-puisi tiga bangsa ini bisa punya beban tak ringan. Sebab Indonesia dan Malaysia pernah dijajah oleh Portugis, Indonesia pernah berkonfrontasi dengan Malaysia, dan hubungan diplomatik Indonesia-Portugis pernah putus lantaran kasus Timor-Timur, sehingga puisi-puisi dalam buku ini bisa ''diperankan'' tak semata sebagai karya sastra dan representasi khazanah kesastraan masing-masing, tapi juga medium diplomasi kultural-politik.

Puisi-puisi dalam buku ini bisa dijadikan bahan representasi kesastraan bangsa-bangsa itu dan menjadi referensi budaya untuk saling bergaul, mengetahui, serta memahami. Kecermatan representasi itu akan turut membentuk kecermatan pergaulan, pengetahuan, dan pemahaman kesastraan dan kebudayaan antar-bangsa-bangsa itu. Dalam buku ini representasi mengenai perpuisian Portugis menampilkan karya 50 nama penyair dari Raja Dinis (lahir pada 1265) hingga Jose Luis Poixoto (lahir pada 1974). Representasi mengenai perpuisian Indonesia menyebutkan 52 nama penyair sejak Hamzah Fansuri (hidup pada abad ke-16) sampai masa Marhalim Zaini (lahir pada 1976). Sedangkan representasi mengenai perpuisian Malaysai membubuhkan 16 nama penyair dari A. Samad Said (lahir pada 1925) hingga Rahimidin Zahari (disebut dalam biodatanya sebagai budayawan muda Malaysia, tanpa keterangan tahun lahir).

Jumlah nama penyair dan rentang generasi para penyair bukan jaminan kelengkapan representasi perpuisian maupun ukuran mutunya. Peta perpuisian adalah jejak estetika, bukan cuma deretan nama-nama penyair. Introduksi dan pembahasan mengenai perpuisian Portugis oleh Maria Emilia Irmler dan Danny Susanto menyebutkan nama-nama penyair Portugis beserta detail estetika perpuisian mereka sehingga peta perpuisian Portugis tampil relevan, esensial, dan meyakinkan.

Melalui introduksi dan pembahasan itu lanskap historis dan perkembangan perpuisian Portugis memberikan informasi yang bisa membangun pengetahuan dan pemahaman mendalam dan berharga tentang perpuisian Portugis masa lampau dan kini.[] Binhad Nurrohmat Introduksi dan pembahasan mengenai perpuisian Indonesia oleh Maman S. Mahayana di sana-sini menyentuh perkara estetika, tapi masih berbaur dengan menimbang representasi etnisitas atau kultural penyair. Dan urusan representasi etnisitas dan kultural itu pun dijalankan dengan ketakkonsistenan, misalnya tak melibatkan puisi Mardi Luhung dan puisi Goenawan Mohamad yang mewakili kultur pesisiran, puisi Tan Lioe Ie yang menjadi representasi kultur Cina Peranakan, dan puisi Remy Silado yang menawarkan budaya pop dalam puisi Indonesia. Goenawan Mohamad dan Remy Silado juga nama penting dalam perjalanan estetika perpuisian Indonesia.

Melewatkan nama-nama itu berarti tak sekadar tak menghadirkan nama mereka, melainkan juga mengurangi bagian penting kelengkapan representasi budaya dan estetika perpuisian Indonesia. Sedangkan introduksi (dan tanpa pembahasan) mengenai perpuisian Malaysia oleh Jamian Mohamad dan Maria Cristiana Casimiro memberikan informasi yang terlalu ringan dan minim untuk buku sepenting ini. Introduksi dan pembahasan mengenai perpuisian itu merupakan bentuk pertanggungjawaban menghadirkan buku ini ke khalayak.

Puisi memang bisa berbicara sendiri, tapi bila introduksi dan pembahasan yang menyertai puisi punya kekurangan di sana-sini malah akan membebani puisi dan merusak atensi khalayak. Keluhuran yang bisa diemban buku semacam ini tak mudah meraihnya. Selain urusan representasi, introduksi, dan pembahasan mengenai perpuisian tiga bangsa itu, faktor penerjemahan juga merupakan perkara penting yang menentukan mutu atau keberhasilan kehadiran buku ini. Perbedaan bahasa bisa diatasi oleh penerjemahan, tapi hakikat puisi bukan sebatas bahasa (kata, gramatika, dan semantika). Puisi punya nuansa dan gaya khas serta kerap mengandung makna samar dan pelik.

* Binhad Nurrohmat, penyair tinggal di Jakarta

Sumber: Padang Ekspres, Minggu, 15 Februari 2009

Oase Budaya: Sastra di Antara Komoditas Ilmu

-- Theresia Purbandini

LEMBAGA pendidikan formal yang seharusnya memayungi kegiatan pembelajaran sastra di Indonesia nampaknya mengalami stagnansi. Sunu Wasono, Kepala Lektor Fakultas Pengetahuan Ilmu Budaya Universitas Indonesia menguraikan sastra di tingkat sekolah menengah dihimpit oleh sejumlah mata pelajaran yang tidak dapat dikatakan sedikit.

“Lihat anak-anak sekolah sekarang, mereka tiap hari menggendong tas yang berisi buku ke sekolah sampai kelelahan. Mereka harus mengikuti mata pelajaran yang bermacam-macam hingga beban mereka berat. Akibatnya, mereka tidak dapat melahap karya sastra secara maksimal. Mereka harus berbagai waktu dengan mata pelajaran lain yang jumlahnya banyak,” ujarnya saat diwawancarai oleh Jurnal Nasional.

Menurut kritikus sastra Kris Budiman, kondisi pengajaran sastra sejauh ini sangatlah mengecewakan banyak kalangan seperti para sastrawan, pemerhati sastra, masyarakat, siswa dan bahkan juga kalangan guru sastra itu sendiri. Pendidikan sastra seakan terpinggirkan nasibnya menjadi komoditas yang kurang laku diperjualbelikan dalam pasar ilmu pengetahuan.

“Saya kira karena sastra, juga kesenian pada umumnya, dianggap tidak punya kontribusi apa-apa bagi pembangunan nasional yang berorientasi pada pembangunan fisik dan ekonomi. Asumsi ini masih berlanjut hingga hari ini. Sistem pendidikan di negeri kita semakin berorientasi pada industri atau sebagai bisnis pendidikan,” papar pria yang mengenyam latar belakang akademis di bidang Linguistik, Ilmu Sastra, dan Antropologi di UGM ini.

Bahkan dinilai oleh Sunu, pendidikan sendiri pun tak mendapat cukup tempat bagi pemerintah. “Sekarang (masa reformasi) pun sama. Ekonomi kita rontok dan orang lebih suka menyibukkan diri pada bidang politik. Di mana-mana orang berebut kursi dengan berbagai cara. Ijazah dibeli dan dipalsukan agar mendapat kedudukan. Ini semua merupakan tanda bahwa pendidikan diabaikan,” ungkap pria lulusan Sastra Indonesia UI ini.

Kurikulum Ideal

Kurikulum yang ideal menurut Sunu harus tetap terkait dengan porsi cukup untuk membaca dan mengapresiasi sastra. Membebani isi kepala siswa dengan teori bukan jawabannya. Menggiring siswa untuk terjun melakukan kegiatan bersastra dalam konteks yang lebih luas, akan membuat mereka lebih mudah akrab dengan dunia sastra.

“Jangan hanya aspek kebahasaan yang diberi porsi banyak, sedang sastranya tidak dijamah. Kalau dilihat dari kurikulum, pengajaran sastra di sekolah tidak lagi dijejali dengan teori dan hapalan ataupun pengetahuan tentang nama-nama pengarang dan judul buku. Di perguruan tinggi pengajaran sastra ditekankan pada pengkajian dan keilmuan, terutama di universitas yang nonkependidikan. Karya-karya yang dipelajari mencakup berbagai jenis, bukan hanya karya yang kanonik,” kata dosen sastra yang masih giat mengajar ini.

Sementara sejauh yang diamati oleh Kris Budiman, kurikulum pendidikan bahasa dan sastra hanya berubah pada tataran konseptual. “Konsep-konsepnya semakin canggih mengikuti perubahan sistem kurikulum general. Tetapi, implikasinya pada tataran operasional di dalam kelas tetap tidak ada perubahan sejak zaman baheula. Guru-guru bahasa dan sastra, juga guru menggambar, terkesan ndableg,” ujar pengarang buku Feminografi ini.

Sunu memandang adanya indikasi sastra agak dikesampingkan karena faktor kesulitan. Di sekolah, ada guru yang enggan atau kurang percaya diri kalau mengajarkan sastra. Mereka lebih "sreg" mengajarkan bahasa. Mungkin kondisi ini terkait dengan keadaan semasa guru itu menempuh pendidikan di universitas. ”Boleh jadi waktu kuliah mereka kurang mendapat materi yang memadai,” imbuhnya.

Suka Membaca

Menurut data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional 2004, guru SD Negeri yang tak kompeten mengajar sesuai bidang keilmuannya sebesar 45,2 %, sedangkan tingkat SMP sebanyak 35, 9%. Sama halnya dengan tingkat SMA yang mencapai 32, 8% dan SMK yang berada di prosentase 43, 3 %. Dari data yang ini, bisa ditarik kesimpulan, bahwa tingkat kompetensi guru di Indonesia memang cukup memprihatinkan.

Seperti juga dikemukakan dua pengajar sastra di perguruan tinggi di atas, kelayakan guru yang kurang valid cukup berkaitan dengan iklim sastra yang tercipta. Pencapaian yang mendekati ideal menurut Kris, peserta didik suka membaca buku dan mencintai bahasa apa pun, baik itu sastra atau bukan.

Sementara menurut Sunu, seorang guru dituntut tak pernah berhenti mengecap buku. “Banyak guru yang saya jumpai pengetahuan sastranya mengagumkan. Tidak semua guru tidak menguasai materi sastra. Guru bahasa Indonesia yang menjadi penulis, baik cerpen, puisi, novel, maupun esai banyak. Tapi saya yakin mereka tidak mengandalkan dari apa yang didapat semasa kuliah di IKIP atau universitas,” katanya.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 15 Februari 2009

Oase Budaya: Dipandang Sebelah Mata

-- Dwi Fitria

Hingga kini pendidikan sastra belum mendapat perhatian semestinya.

Ada beberapa bacaan wajib yang harus dibaca oleh para siswa sekolah menengah di Amerika. Selain Shakespeare yang tentu saja tak akan dilewatkan, karya-karya klasik semisal A Tale of Two Cities buah pena Charles Dickens, The Scarlett Letter karya Nathaniel Hawthorne hanya sedikit dari bacaan yang wajib dibaca para pelajar sekolah menengah berusia 12-18 tahun di sana.

Tahun 2007 American Library Association (Asosiasi Perpustakaan Amerika) bahkan punya ide untuk menyandingkan buku-buku sastra klasik itu dengan karya-karya sastra yang lebih kontemporer semisal Life of Pi karya Yann Martel, The Kite Runner yang ditulis oleh Khaled Hosseini, atau Night oleh Ellie Wiesel.

Ini mereka lakukan untuk terus memupuk minat baca para siswa, dengan pemikiran bahwa para siswa akan lebih mudah mendalami materi bacaan yang lebih berhubungan dengan kondisi zaman mereka.

Di Indonesia, kondisi pengajaran sastra yang kondusif seperti itu masih jauh panggang dari api. Jangankan memasukkan buku-buku pengarang mutakhir sebagai bagian dari kurikulum, karya-karya klasik semisal Bumi Manusia, Merahnya Merah, atau Harimau Harimau saja, belum menjadi bagian dari bacaan wajib para siswa sekolah menengah. Hingga saat ini, sastra belum juga mendapatkan porsi yang semestinya dalam sistem pendidikan kita.

“Kondisi ini memang sudah jadi masalah yang belum juga ditemukan solusinya. Sastra tidak diperhatikan karena masih saja banyak yang menganggap bahwa sastra itu kurang penting. Yang dipentingkan hanyalah hal-hal yang bersifat fisik saja. Padahal pendidikan bahasa dan sastra yang tepat akan memperkaya batin para siswanya,” ujar Dewaki Kramadibrata, mantan ketua Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Indonesia.

Tekanan Kurikulum

Kurikulum di Indonesia, telah beberapa kali mengalami perubahan mulai dari tahun 1950, 1958, 1964, 1968, 1975/1976, 1984, 1994, 2004 dan kemudian 2006. Pada tahun 1984 pelajaran Bahasa Indonesia, berubah menjadi pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Tetapi penekanan pelajaran ini masih berat “hanya” pada aspek kebahasaannya saja. Sastra seolah-olah menjadi tambahan, karena hanya diajarkan 2-3 jam perminggu.

Sementara kurikulum terbaru, kurikulum 2006, memberikan keleluasaan bagi para guru untuk mengembangkan sendiri materi ajarnya. Dalam kurikulum baru itu ada begitu banyak mata pelajaran yang dibebankan kepada siswa. Namun, porsi pendidikan humaniora seperti bahasa dan sastra harus bersaing ketat dengan mata pelajaran lain yang berhubungan dengan eksakta.

Endo Senggono, Ketua PDS HB Jassin mengatakan ada inisiatif untuk memasukkan materi-materi sastra yang lebih “segar” ke dalam kurikulum terbaru. Beberapa peneliti pendidikan kerap datang ke PDS untuk melakukan pengayaan terhadap materi sastra yang diajarkan.

“Sayangnya kemudian, semangat yang seharusnya bisa membawa perubahan ini dibenturkan pada sistem pendidikan yang berbasis pada Ujian Nasional yang sifatnya masih tersentralisasi,” ujar Endo. “Inisiatif untuk mengajarkan materi sastra dengan lebih menekankan pada apresiasi kemudian harus terbentur pada format ujian pilihan ganda yang hanya menguji pengetahuan teknis sebatas siapa yang mengarang apa, atau karya sastra ini diciptakan pada tahun berapa, termasuk pada angkatan sastra yang mana.”

Hal lain yang masih menjadi batu sandungan adalah kompetensi guru bahasa dan sastra Indonesia. Menurut Nur Zen Hae, seorang sastrawan yang cukup punya perhatian pada perkembangan pendidikan sastra, kebanyakan guru masih terpaku pada teori bahasa alih-alih apresiasi sastra sendiri.

“Contohnya jika memelajari esai, bukannya memperkenalkan esai sebagai bentuk tulisan, tapi malah menghapalkan bentuk-bentuk esai, semisal deskriptif, atau naratif. Atau puisi, karena kurang memahami bagaimana mengupas sebuah puisi, yang dibuat kemudian adalah musikalisasi puisi. Bahkan lebih parah lagi, pelajaran tentang itu bahkan dilewatkan begitu saja.”

Menghidupkan Apreasiasi

Dalam proses pendidikan guru di fakultas-fakultas keguruan, proporsi apresiasi sastra yang sesungguhnya merupakan salah satu bagian terpenting dalam pengajaran sastra, tidak sebesar hal-hal lain yang berhubungan dengan aspek linguistiknya. “Pelajaran-pelajaran semisal morfologi, sintaksis, metode penelitian punya porsi yang besar. Mata kuliah yang berhubungan dengan apresiasi sastra mungkin hanya sepertiganya saja,” ujar penyair yang saat ini menjabat Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta itu.

Sehingga untuk mengembangkan minat sastranya, seorang mahasiswa institut keguruan harus mencari di luar. “Jangan berharap terlalu banyak dari mata kuliah yang diberikan, pendidikan sastra yang kaya justru akan didapatkan jika aktif mengunjungi diskusi dan acara sastra yang kerap diadakan di kantung-kantung budaya semisal Taman Ismail Marzuki atau Utan Kayu.”

Sementara menurut Dewaki, agak kurang tepat jika kesalahan sepenuhnya ditimpakan kepada pendidik. “Guru pada dasarnya hanya mengikuti kurikulum yang berlaku.” Kurikulum saat ini masih lebih memberikan memberikan penekanan pada penguasaan teknis bahasa saja. “Proporsi untuk membedah sastra secara lebih serius memang diberikan, tapi kesannya bukanlah sebuah kewajiban. Boleh dilakukan boleh tidak.”

Apresiasi sastra bukannya tidak diusahakan, buku-buku pelajaran dengan menggunakan kurikulum 2006 telah memasukkan proporsi semisal analisis teks sastra. “Tapi tetap teks-teks yang dimasukkan amatlah panjang. Saya tak yakin siswa berminat untuk bahkan membacanya,” ujar Dewaki.

Selain itu pelajaran bahasa yang masuk dalam kategori humaniora masih harus bersaing dengan pelajaran eksakta. “Guru harus bisa memilah-milah waktu yang sedikit, dengan pelajaran-pelajaran lain di luar bahasa, yang proporsinya tidak bisa dibilang ringan,” ujar Dewaki. ”Jalan sastra sepertinya masih panjang untuk bisa menempati posisi yang seharusnya.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 15 Februari 2009

Oase Budaya: Hak Berimajinasi dan Berwawasan

-- Sjifa Amori

Sastra memberi peluang berimajinasi dan keluar dari kebiasaan berpikir instan.

PROSA Peter Pan versi J. M Barrie (seorang penulis naskah asal Skotlandia) adalah kisah tentang kepahlawanan dari dunia fantasi yang bernama Neverland. Secara keseluruhan, karangan tentang Peter Pan dijadikan simbol "pelarian" seorang anak maupun dewasa dari kehidupan nyata. Sebut saja kemujuran Peter Pan yang hidup abadi dalam kemudaan. Ini jelas merepresentasikan setiap mimpi manusia dewasa yang umumnya enggan beranjak tua. Hal ini diungkapkan dalam Literature for Children: Contemporary Critism yang ditulis oleh kritikus sastra sekaligus peneliti novel Victorian dan sastra anak Sarah Gilead.

Menurut Gilead, Peter Pan merepresentasikan pandangan romantis orang dewasa mengenai masa kanak-kanak sebagai kebebasan berimajinasi. Mrs. Darling dreams ‘that the Neverland had come too near and that a strange boy had broken through from it...(S)he thought she had seen him before in the faces of many women who have no children' (Barrie 1985:9). Gilead melihat bahwa penekanan di sini mengenai wajah-wajah yang merindukan anak maksudnya adalah wajah-wajah yang sebenarnya juga mengangankan masa kanak-kanak di mana fantasi dan imajinasi mendapat porsi besar dalam menjalaninya.

"Coba Anda bercerita pada seorang keponakan. Setelah selesai, dia pasti akan bertanya ini-itu dan akhirnya membuat cerita versinya sendiri," kata Boen S. Oemardjati saat dihubungi Jurnal Nasional. Menurut kritikus sastra ini, keberadaan televisi yang menggantikan buku berkontribusi pada pengungkungan daya imajinasi anak kini. Karenanya, sekolah menjadi "jalur" yang memungkinkan anak mendapatkan kembali kebebasannya berimajinasi. Khususnya lewat kurikulum sastra.

Menurut seniman teater tradisi Aceh Agus Nur Amal PM Toh, imajinasi membantu anak bangsa melihat persoalan dengan pikiran terbuka. "Dengan imajinasi, banyak alternatif solusi untuk menyelesaikan masalah. Termasuk masalah bangsa sehingga kita tidak berputar-putar dan mentok dalam menghadapi persoalan," ujar jebolan jurusan Teater IKJ yang menyatakan bahwa membaca adalah harga mati untuk siapa yang mau berkesenian.

Konferensi Internasional Kesusastraan XIX/HISKI tahun lalu menghasilkan empat rekomendasi yang dihasilkan terkait kurikulum sastra. Satu di antaranya adalah apresiasi sastra. "Apresiasi sastra ini untuk membedakan dengan tukang sastra. Dalam apresiasi, kita harus menikmati. Dan untuk bisa menikmati, kita harus akrab dulu. Bagaimana membuat siswa akrab dengan sastra? Harus diusahakan agar dialog di dalam kelas bisa dua arah. Masalahnya, bagaimana mungkin guru yang tidak berbekal bisa menanggapi 'kejahilan' anak-anak yang kaya imajinasi."

Melatih Membaca

Mestinya ini bukan masalah asalkan guru mau membaca lebih banyak buku daripada siswanya dan kemudian mendiskusikannya bersama-sama dengan terbuka. Namun membaca pun tak mudah buat guru. Bisa jadi keengganan mereka adalah karena sastra dibebani anggapan sebagai pembentuk pribadi dengan watak dan akhlak yang baik. "Jangan menempatkan sastra sebagai sesuatu yang sakral. Sastra itu harus diajarkan karena itu adalah bahasa. Bukan karena untuk membentuk manusia beradab. Yang baca karya sastra tapi biadab juga banyak kok," kata Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIPB UI) Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono.

Pola pikir yang mengagungkan sastra inilah yang justru membuatnya tidak popular dalam mata pelajaran dunia pendidikan. "Anak-anak yang sukanya Harry Potter dibebani keharusan baca Siti Nurbaya, ya kelenger. Memang Siti Nurbaya penting, tapi untuk anak-anak diberi dulu cerita sesuai umurnya. Jangan Harry Potter saja, cerita lokal juga banyak yang bagus. Meskipun buku anak terjemahan juga penting sebagai perbandingan, karena sastra kan bukan hanya milik Indonesia."

Untuk itu, Sapardi menganjurkan adanya perpustakaan yang menyediakan bacaan tersebut. "Tidak harus menambah jam pelajaran. Cukup menugaskan siswa untuk menyelesaikan sebuah buku di rumah. Kalau sudah selesai minta satu atau dua orang maju ke depan membuat laporan untuk didiskusikan bersama."

Menurut Sapardi, wajib hukumnya guru untuk membaca lebih banyak. "Nggak masalah kalau gurunya lebih kenal karya satra lama seperti Chairil, tapi dia harus membaca lebih banyak lagi. Karena murid kan tahunya bahasa Indonesia sekarang. Kalau tiba-tiba dicekoki bahasa Indonesia era 30-an seperti karya Sanusi Pane, ya mereka eneg. Tapi kalau gurunya juga baca, mereka bisa pilih. Misalnya beberapa karya Rendra kan bisa dibaca dan dipahami anak kelas 5 SD. Atau juga karya saya. Kalau dari kecil dibiasakan, tentu ketika siswa dewasa bacaan sastra nggak akan jadi berat."

Sebenarnya memang tak ada keharusan membaca buku-buku sastra yang seringnya dibilang bikin mumet. Bagi Sapardi, ini bukan permasalahan sastra atau bukan, melainkan tuntutan bagi seseorang yang berbahasa.

"Orang kan harus berbahasa. Dan bahasa itu ada bahasa iklan atau bahasa sastra. Kalau mendirikan sekolah, berarti harus memperkenalkan segala jenis bahasa. Jangan teorinya saja. Mereka membaca berbagai bahasa dalam bentuk apa saja, lalu lalu dimulai juga menulis laporan atau membuat iklan dan cerpen. Itu aja. Nggak usah yang susah dulu. Kalau ini berlangsung selama 12 tahun, tentu anak Indonesia kaya akan pengetahuan bahasa. Jadi mereka nggak bisa dibohongi iklan, sinetron, dan pidatonya politikus. Nggak kayak sekarang, mahasiswa baca editorial koran saja udah bingung. Apalagi baca puisi atau esai level Goenawan Mohamad. Setelah tahu, nanti terserah mereka apakah lebih senang bahasa iklan atau bahasa puisi."

Respons Budaya dan Emosi

Pada akhirnya, menggemari sastra adalah sebuah pilihan. Namun mengakrabi sastra sejak kecil di sekolah sampai ke perguruan tinggi akan menanamkan pola kebiasaan untuk mencari tahu dengan proses yang melatih akal. Apalagi kalau pembelajaran sastra diikuti dengan telaten.

"Banyak sastra yang bersifat deskriptif. Salah satu contohnya, fragmen-fragmen dalam novel Pulang karya Toha Mochtar dan karyanya Nh Dini Sebuah Lorong di Kotaku itu dipakai Jurusan Arsitektur sebagai panduan membuat replika suasana alam. Karena menjelaskan di mana gunung, di mana bukit, di mana sungai dengan deskripsi yang sangat baik. Presisinya bagus sampai bisa diterjemahkan dalam tugas lapangan dan praktikum arsitektur. Jadi melalui sastra, kita bisa mengerti mengenai liku-liku kehidupan, dari mulai pispot dan sastra kelamin juga bisa. Yang kita cari bukan nafsu binatangnya, tapi pembelajarannya," kata Boen yang masih menyayangkan bahwa dalam dunia pendidikan masih besar anggapan bahwa sastra tak bisa menjawab persoalan riil dalam kehidupan sosial.

"Sarjana sastra itu biasanya menjadi editor dan uangnya banyak, lho. Kebanyakan juga ke jurnalistik dan yang paling gampang adalah sebagai penerjemah annual report di bank. Walaupun kosakatanya itu-itu saja, tapi tiap satu kata dihargai sekitar 6 sen dolar," kata Boen lagi.

Keraguan peran sastra juga dialami masyarakat luas. Ketika menjabat sebagai dekan, pertemuan tahunan sering dimanfaatkan orangtua mahasiswa untuk mengangkat persoalan keraguan mengenai peran sarjana sastra dalam kehidupan sosial. "Jadi orang yang menelaah karya sastra bukan harus jadi sastrawan. Sastrawan lulusan fakultas sastra kan cuma saya. Itu juga kecelakaan. Umar Kayam itu kan sosiolog, Taufik Ismail dan Asrul Sani itu Dokter Hewan. Sastrawan nggak pakai teori sastra. Saya saja sudah jadi sastrawan sejak SMA. Kalau mau belajar ilmunya baru masuk ke jurusan sastra. Di situlah dia harus berteori," kata Sapardi.

Tentu saja pada jurusan ilmu sastra, membaca buku menjadi wajib agar teori yang diajarkan tidak sekadar numpang lewat. Tapi sebenarnya dalam jurusan apa pun, kalau latar belakang mahasiswanya selama di sekolah sering membaca, akan lebih membantu proses belajar di perguruan tinggi. "Kalau dia sudah membaca selama 12 tahun di sekolah, berarti dia sudah baca puluhan novel dan sastra. Saya akan gampang ngajarnya. Tapi sekarang lihat, S2 pun nggak baca."

Boen sendiri mengakui bahwa sebagai seorang ahli biologi, pengetahuannya dalam sastralah yang membawanya keliling dunia. Dengan sastra, siswa mendapat manfaat yang ditekankan untuk pendidikan dasar menengah. Yaitu memperkaya respons budaya dan emosi tanpa mengambil risiko seperti yang digambarkan dalam buku. Dan dari pendekatan lain, sastra juga bisa dilihat sebagai bentuk ekspresi diri. "Sastra membuka jendela pengetahuan dan respons budaya yang luar biasa. Apalagi sebagai bangsa yang ber-Bhineka Tunggal Ika, mendapat pengajaran sastra akan membuat kita sangat kaya."

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 15 Februari 2009

Oase Budaya: Nol

-- Arie MP Tamba

NOL! Buku! Itulah puncak sarkasme yang pernah dilontarkan penyair Taufiq Ismail tentang jumlah buku sastra wajib di sekolah-sekolah menengah kita. Padahal, di jenjang pendidikan yang sama, (tidak untuk memuji, tapi mengemukakan fakta), pada zaman Belanda, masing-masing siswa harus membaca 15 sampai 20 buku sastra wajib. Jumlah yang masih terus dipertahankan sampai kini di sekolah-sekolah menengah di Eropa, Amerika, bahkan Asia, seperti Singapura, Jepang, Malaysia, dan juga Brunai Darussalam.

Ini semua, berangkat dari kesadaran akan besarnya fungsi karya sastra, bila diajarkan di sekolah-sekolah menengah. Di mana karya-karya sastra akan membawa siswa mengenali cara-cara membuat cerita, merangkai kisah, melayarkan imajinasi, mengenali berbagai watak manusia dan tatakrama pergaulan dari berbagai masyarakat yang berbeda, sesuai seting cerita atau latar budaya si pengarang.

Karya-karya sastra, khususnya puisi, akan melatih siswa berpikir memanfaatkan peralatan puisi: perbandingan, metafora, perumpamaan, alegori, dll. Membiasakan siswa mendayagunakan setiap kata yang mereka operasikan, agar efektif dan efisien. Tidak digelimangi istilah-istilah asing yang jauh dari konteks masalah, atau berlepotan dengan perbandingan yang tidak seukuran.

Karya-karya sastra, khususnya esai, akan membiasakan siswa dalam hal menyusun argumentasi, deskripsi, disposisi, dll. Karena kumpulan-kumpulan esai yang diperkenalkan kepada siswa itu akan menunjukkan bagaimana para esais menyusun pikiran, mengemukakan ide, menonjolkan gagasan, agar lebih menarik dibaca dan sampai dengan mudah ke pembacanya.

Dengan kata lain, pengajaran karya sastra di sekolah menengah memang tidak ada ruginya; melainkan hanya melahirkan keuntungan bagi siswa. Siswa-siswa hanya akan mendapatkan manfaat besar di bidang pengetahuan dan ilmu-ilmu kehidupan yang diajarkan secara tak langsung oleh para sastrawan, melalui karya-karya mereka.

Tapi, mengapa Indonesia, yang ketika sudah mendapatkan kemerdekaan sebagai masyarakat bebas, memiliki peluang luas untuk menciptakan calon-calon anggota masyarakat yang lebih beradab, memiliki nalar tinggi, berperilaku sopan, mengerti tatakrama pergaulan, mengakrabi ajaran moral dan agama, serta siap bekerja sama dengan berbagai orang dari latar budaya berbeda – justru memilih ’membatasi diri’, atau ’menjauhkan diri’ dari karya sastra yang bermanfaat itu?

Di sinilah persoalan harus dikenali secara mendasar. Bila menyangkut dunia pendidikan di sekolah menengah, urusannya tentu saja sejauh mana kurikulum pengajaran sastra itu disiapkan atau diadakan. Sudahkah kurikulum yang ada, memadai untuk membimbing siswa untuk dapat meraih manfaat maksimal dari karya-karya sastra?

Dari beberapa keluhan para pengajar, yang banyak mengemuka adalah pola kurikulum sastra yang salah. Pendidikan sastra terlalu banyak menekankan pentingnya hapalan, bukan pemahaman. Terlalu dibebani kurikulum sejarah dan ilmu-ilmu sastra, ketimbang pengenalan atau apreasiasi sastra yang bisa digali dari pergaulan dengan karya-karya sastra sebagaimana di negara-negara Eropa.

Sejarah sastra kita lebih banyak mengajarkan nama-nama pengarang dan periode-periode angkatan. Tentu saja ini hanya bagian permukaan saja dari dunia sastra yang sebenarnya. Sebab, nama-nama dan periode kepengarangan hanyalah label dan masa kerja pengarang. Sementara, apa yang mereka kerjakan, seperti apa mereka menghasilkannya, hanya dapat diperlihatkan oleh pengajaran apresiasi atau kritik sastra.

Apreasi dan kritik sastra, tentu saja, bukanlah semata-mata persoalan hapal menghapal, melainkan persoalan berpikir dan latihan berpikir. Tanpa mengenali karya sastra secara lebih mendalam, siswa-siswa akan gagap mengapreasi apalagi mengkritik karya sastra. Padahal, manfaat besar dari pendidikan karya sastra, hanya akan didapatkan dari apresiasi dan kritik.

Karena itu, sudah masanya mengubah kurikulum sastra yang dibebani sejarah dan ilmu sastra, dengan kurikulum sastra yang mengedepankan apresiasi dan kritik sastra. Untuk itu, di sekolah-sekolah menengah kita, tak boleh lagi ada nol buku sastra bacaan wajib. Tapi harus 15 sampai 20 buku, atau mungkin sampai 30 dan 40 buku. Agar siswa-siswa kita semakin terbiasa mengapreasiasi dan berpikir kritis tentang gambaran hidup dan kehidupan, yang coba direfleksikan para pengarang melalui karya sastra.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 15 Februari 2009

Memorabilia untuk Pramoedya Ananta Toer

-- Fahrudin Nasrulloh

Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan.

Duniaku bumi manusia dengan segala persoalannya

(Rumah Kaca: hlm. 38)

Pada sore 6 Februari 2009 yang bergerimis ritmis, sampailah saya di Jl Sumbawa 40, Jetis, Blora. Di sepanjang perjalanan dari Jombang, saya terus terusik, apa yang membuat Pramoedya Ananta Toer tak pernah lekang dikenang dan tiada surut ditelusuri banyak orang, terutama kaum pramis dan kawula pergerakan? Novel-novel Pram, seperti Derap Sepur, berlelayapan di benak saya. Saat tiba, panggung telah ramai dengan sejumlah pergelaran festival musik. Saya melangkah ke depan pagar rumah Pram yang berplakat: Sumbawa 40, perpustakaan Pataba. Di dalamnya memang terdapat dua rumah yang bersambung dengan perpustakaan peninggalan Pram itu. Dengan deklit biru sederhana, di sampingnya dibentangkan spanduk bertulisan: Selamat Datang Kawan-kawan di Acara: 1000 Wajah Pram dalam kata & Sketsa. Peringatan seribu hari meninggalnya Pram itu digelar 1-7 Februari 2009.

Para perupa Jogja Joko Pekik dkk (Hari Budiono, Samuel Indratma, Bambang Heras, dan Suatmaji), juga ikut meramaikan acara itu dengan melukis bareng ihwal sosok Pram. Para pengunjung dan pengagum Pram juga dipersilakan menuangkan apresiasinya di kanvas. Di tengah-tengah kerumunan penonton itu, Ilham J. Baday dan Salabi dari Komunitas Arek Museum Surabaya, menampilkan performance art dengan judul ''Abandoned''. Pada puncak acara diluncurkan buku Bersama Mas Pram karya Koesalah dan Seosilo Toer terbitan KPG Jakarta. Lalu dilanjutkan diskusi bertema ''Kisah dan Pemikiran Sastrawan Tierra Humana" dengan pembicara: Koesalah Soebagyo Toer, Ajib Rosyidi, Jusuf Suwadji, dan Sindhunata. Dan, acara dipungkasi dengan pergelaran wayang kulit berjudul Begawan Ciptoning dengan dalang Tristuti Rahmadi.

Bagaimanakah kita sekarang menatap sosok Pram dengan segala kerumuk problematiknya? Mengenang Pram adalah mengenang pahit-getir dan merahnya semangat perjuangan yang tersemat dalam batin dan karya-karyanya. Hidup, bagi Pram, memanglah hanya selangkah dari kematian. Terasa demikian dekat di tenggorokan ketika 14 tahun di penjara Pulau Buru. Pernah suatu hari ia berwasiat: ''Kalau aku mati, jangan bikin apa-apa, jangan didoain, langsung saja bawa ke krematorium. Bakar di sana. Abunya bawa pulang. Mau dibuang juga terserah. Tapi kalau bisa, wadahi, dan taruh di perpustakaanku..."

Ini merupakan cuplikan dari Martin Alieda dalam buku bunga rampai berjudul Pramoedya Ananta Toer: 1000 Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa (Jakarta: Lentera Dipantara, 2009). Buku tersebut memuat karya 68 penulis. Mulai esai, puisi, dan catatan kenangan.

Mengenang Pram adalah mengenang sosok yang kontroversial dalam panggung kesusastraan Indonesia. Yang terpanas adalah ketegangan antara aktivis Lekra (termasuk Pram) dengan eksponen Manikebu. Juga perselisihan, secara pribadi antara dia dengan HB Jassin. Antara guru dengan murid. Kita bisa teringat saat-saat awal Pram mengajukan beberapa karyanya ke Jassin namun ia mengacuhkannya. Paham humanisme universal Jassin terasa kian padat dan tidak membumi di mata dan realitas Pram yang humanis sosialis. Dalam surat-menyurat yang penuh genting antar keduanya, Pram pernah menulis begini kepada Jassin (28 Desember 1963), ''Begitulah, ajaranmu tidak cocok dengan perbuatanmu. Aku masih ingat pada suatu tahun waktu kau terbalik dari sebuah becak. Ingat kau apa kataku? Kau menderita bukan karena terbaliknya becak itu, tetapi kerubuhan dagingmu sendiri.''

Sementara, persepsi buruk (mungkin iri) atas karya dari pengarang Idrus, terekam lekat sebagaimana dalam film dokumenter Pram yang diproduksi Yayasan Lontar. Di film itu Pram bercerita bahwa suatu hari ia berkunjung ke Balai Pustaka, sebelum ia menjadi anggota redaksi di sana. Waktu itu Idrus ada di situ, tapi ia belum kenal Pram. Setelah berjabat tangan, Idrus tampak terheran campur sinis dan berucap, ''O, ini Pram? Kau tidak menulis Pram, kau berak!'' Meski begitu, hingga akhir hayatnya, Pram tetap menganggap Idrus sebagai guru besar dan pengarang yang punya stylist yang baik.

Selain dari sekitar 40-an lebih novelnya, Pram juga menulis catatan harian. Riwayat diri menjadi hal berharga untuk terus mengasah daya tahan menulis, ingatan, juga perkara-perkara remeh. Dalam satu kesempatan ia berkata, ''Kau sendiri tahu, bahwa sudah sejak kecil aku mengisi diary, dan pada tahun 1947 disita oleh NICA, dari tangan seorang bekas sersan bawahanku, Sugiarto, di pos penjagaan NICA di Bekasi, dan diary itu juga yang membikin dia meringkuk di penjara Glodok selama beberapa bulan.''

Peristiwa pahit itu tidak mematahkan gelora batin dan api hidupnya. Catatan hariannya pada 9 Februari 1982 menilaskan,''Sejak di SD kubiasakan membikin catatan. Jilid demi jilid buku catatan harian itu binasa karena kejadian-kejadian besar --force majeur. Tak tahu aku besok atau lusa juga binasa atau tidak. Sore ini Bung Jassin menganjurkan bikin catatan. Kucoba kembali.

Baginya, daya revolusi yang ia yakini benar, bahkan untuk hal yang teremeh sekalipun, adalah suatu keniscayaan untuk diperjuangkan sampai mati. Ini membutuhkan tekad baja dan telah teruji di mana di sepanjang hidupnya ia banyak diteror musuh-musuhnya dan dinistakan oleh negara di masa Orla maupun Orba. ''Keberanian itu bukan anugerah, tapi hasil latihan hidup sehari-hari. Keberanian itu sama seperti otot manusia. Kalau tidak dilatih, dia akan jadi lemah. Dalam hidup ini, kita menghadapi banyak tantangan. Jangan lari, hadapi semuanya. Itu cara melatih keberanian,'' begitulah prinsip Pram.

Menilai Pram tidak mesti digebyah-uyah sebagai jimat bertuah atau situs purba beserta karya-karyanya. Tapi yang pasti, ia adalah ''api inspirasi'' bagi siapa pun, terutama kaum muda. Seperti bagi Najib Hermani dan Muhidin M. Dahlan yang mendedikasikan peluh mereka sekian tahun pada penerbit Lentera Dipantara; Eko Arifianto dan Ex Mahardana Wijaya di Blora dan Randublatung bersama Komunitas Pasang Surut, Mataba, SuperSamin, Front Blora Selatan, Anak Seribu Pulau, Rapala, Tugu United, Arsumpala, Lidah Tani, Komunitas Rukun Tani, Roedal Revolt, Kolektif Reaksi, Yayasan Mahameru, LPAW, dan Paguyuban Penghayat Kepercayaan; juga komunitas dan grup musik punk Marjinal yang dimotori Mikael Isrofil dari Jakarta.

Mengenang pram, kini dan mendatang, adalah mengenang si pengendara badai yang melayari cakrawala pikiran dan lelangkah generasi mendatang dengan berpijak pada kejujuran, keberanian, dan kecintaan akan ''bumi manusia'' ini. Setelah dimakamkan di Karet Bivak, Pram bukan lagi sebagai cerita, namun sebentang nyanyi ''darah juang'' dalam labirin kisah yang bergerak dari waktu ke waktu, seperti lirik syair ''Riders on The Storm''-nya Jim Morison ini: Riders on the storm/ Into this house we're born/ Into this world we're thrown/ Like a dog without a bone/ An actor out alone/ Riders on the storm...(*)

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 15 Februari 2009