Wednesday, January 28, 2009

Sastrawan Negara Arena Wati Berpulang

JAKARTA, KOMPAS - Arena Wati, sastrawan Malaysia terkemuka kelahiran Jeneponto, Sulawesi Selatan, Senin (26/1) pukul 13.40 waktu Malaysia, meninggal dunia dalam usia 84 tahun di Universiti Kebangsaan Malaysia Hospital di Cheras, Malaysia. Kantor berita Bernama dan harian New Straits Times melaporkan, Arena Wati mengalami gangguan paru-paru dan dirawat sejak 20 September 2008.

”Dalam kondisi dirawat di rumah sakit, Bapak masih menyempatkan diri menyelesaikan trilogi Bara-Baraya. Trilogi itu berkisah tentang perjuangan Melayu di Nusantara,” kata Rahmah Wati, putri tertuanya.

Sastrawan Malaysia, A Samad Said, mengatakan, Malaysia kehilangan salah seorang sastrawan terbaiknya. ”Arena Wati selain bergelar Sastrawan Negara, juga meraih sejumlah prestasi, antara lain meraih penghargaan sastra Asia Tenggara dari Raja Thailand, SEA Write Award tahun 1985, dan Sastrawan Negara dari Pemerintah Malaysia tahun 1988,” katanya.

Sastrawan Indonesia, Taufiq Ismail, mengaku kehilangan salah seorang teman dan sahabat terbaiknya. ”Arena Wati seorang sastrawan yang sangat produktif, kreatif, dan pergaulannya luas. Rasa Makassarnya masih kental, pertanda hubungan dengan tanah kelahirannya begitu dekat,” katanya.

Secara terpisah, sastrawan Indonesia asal Makassar, Rahman Arge (73), di Makassar, menyebutkan Arena Wati sebagai sastrawan besar Malaysia yang juga punya andil dalam memotivasi sastrawan-sastrawan di Makassar. Ia kerap ke Makassar dalam diskusi sastra.

”Ia salah seorang sastrawan kelahiran Jeneponto, daerah pantai yang keras di Sulawesi Selatan. Namun, lewat karya-karya sastranya, diekspresikan dengan lembut,” ujarnya. (NAL)

Sumber: Kompas, Rabu, 28 Januari 2009

Indonesia Hanya Terbitkan 8.000 Buku

Jakarta, Kompas - Indonesia yang berpenduduk lebih dari 225 juta jiwa baru sanggup menerbitkan sekitar 8.000 judul buku per tahun. Jumlah ini sama dengan Malaysia yang berpenduduk sekitar 27 juta jiwa dan jauh di bawah Vietnam yang bisa mencapai 15.000 judul buku per tahun dengan jumlah penduduk sekitar 80 juta jiwa.

CEO Kompas Gramedia Agung Adiprasetyo, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, dan General Manager Hotel Santika Premiere Cita K Dewantoro (dari kanan) meninjau stan Hotel Santika seusai membuka Kompas Gramedia Fair ke-22, Selasa (27/1) di Jakarta. Acara yang digelar di Istora Gelora Bung Karno, Senayan, ini berlangsung hingga 1 Februari. (InfoKita/Ign Haryanto / Kompas Images)


”Penerbitan buku berdasarkan data dari semua Toko Buku Gramedia baru mencapai sekitar 8.000 judul buku per tahun. Jumlah itu di bawah angka yang disebutkan Ikapi mencapai 10.000 judul buku per tahun,” kata CEO Kompas Gramedia Agung Adiprasetyo pada acara pembukaan Kompas Gramedia Fair di Istora Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Selasa (27/1).

Hadir dalam pembukaan Kompas Gramedia Fair ke-22 yang dilaksanakan pada 28 Januari-1 Februari itu antara lain Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, Presiden Komisaris Kompas Gramedia Jakob Oetama, Direktur PT Bank Central Asia (BCA) Tbk Henry Koenaifi, dan Direktur PT KIA Mobil Indonesia Hartanto Sukmono.

Agung mengatakan, dari sejumlah riset soal jumlah penduduk yang mengunjungi toko buku atau yang suka membaca, jumlahnya hanya mencapai 12-15 persen. Karena itu, perubahan untuk mendorong minat baca perlu terus ditingkatkan.

Kompas Gramedia, kata Agung, siap menyambut ”ledakan besar” minat baca yang bisa ditumbuhkan di masyarakat melalui beragam media yang ada. Kehadiran Kompas Gramedia juga untuk memperluas wawasan dan membangun visi kebangsaan untuk membangun keunggulan.

Fauzi Bowo mengatakan, Indonesia perlu mengatasi ketertinggalan dari segi minat baca dan jumlah penerbitan buku. Di Vietnam, harga buku dipastikan murah karena ada subsidi dari pemerintah. Buku-buku literatur sastra terkenal dunia dapat dibaca warga Vietnam dengan harga murah dan mudah didapat di toko buku.

Selain pameran buku dan media, Kompas Gramedia Fair juga menyajikan lomba paduan suara TK-SD, diskusi buku, dan sejumlah kegiatan lain. Penyelenggaraan Kompas Gramedia Fair yang bernuansa hiburan dan pendidikan ini sekaligus untuk menyambut HUT ke-39 Toko Buku Gramedia yang sudah berjumlah 90 outlet di Tanah Air serta HUT ke-35 PT Gramedia Pustaka Utama. (ELN)

Sumber: Kompas, Rabu, 28 Januari 2009

Tuesday, January 27, 2009

Salihara Tumbuh Bersama Khalayak yang Kian Cerdas

AWALNYA adalah Komunitas Utan Kayu, yakni sebuah kantong budaya berlokasi di Jalan Utan Kayu 68H, Jakarta Timur. Komunitas yang dibentuk oleh sebagian pengasuh majalah Tempo, sejumlah sastrawan, intelektual, seniman, dan wartawan, sekitar tahun 1995.

Sayap kesenian Komunitas Utan Kayu, yang sudah berumur sekitar 10 tahun, bertekad meneruskan dan mengembangkan apa yang telah dicapai. Demi menampung perluasan aktivitas itu, kemudian, para pendiri dan pengelola memprakarsai pembangunan wadah pengembangan berekspresi, Komunitas Salihara.

Berdiri di atas sebidang tanah seluas sekitar 3.237 m2, Komunitas Salihara yang berlokasi di Jalan Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, memiliki tiga unit bangunan utama, yaitu Teater Salihara, Galeri Salihara, serta ruang perkantoran dan wisma seniman.

"Ide mendirikan komunitas ini berawal ketika kami merasa ada keterbatasan tempat dan pembatasan berekspresi di Komunitas Utan Kayu," ujar Manajer Promosi dan Humas Salihara, Rama Thaharani kepada SP, baru-baru ini.

Pada 14 Juli 2007, dilakukanlah peletakan batu pertama, yang merupakan tanda dimulainya pembangunan di tempat yang dulunya adalah kebun kosong dan terdapat lapangan bola yang cukup luas ini.

Sebulan setelah peletakan batu pertama, tepatnya pada pukul 08.08 WIB, tanggal 8 Agustus 2008, Budayawan Goenawan Muhamad, yang bersama mantan Gubernur DKI (Alm.) Ali Sadikin merupakan pioneer Komunitas Salihara, memberikan sambutan atas diresmikannya komunitas kesenian ini.

Pada kesempatan itu pula, di halaman Komunitas Salihara ditanam pohon bodhi, yang merupakan pohon tempat bersemedi Siddhartha Gautama, 2.540 tahun yang lalu.

Selanjutnya, secara berturut-turut, yakni pada September dan Oktober 2008, dilakukan try out dan pertunjukan besar-besaran. Tepatnya, dari bulan 17 Oktober sampai 6 Desember 2008, digelar Festival Kalihara yang mencakup segala jenis bentuk kesenian, baik itu teater, sastra, musik, seni rupa, tari, sinema, ataupun telaah.

Fasilitas

Dari segi rancang bangun, kompleks Komunitas Salihara merupakan sebuah percobaan arsitektur yang menarik. Tiga arsitek dengan kecenderungan masing-masing, memadukan rancangan ke dalam satu visi yang sama, yaitu membangun rumah baru bagi kesenian dan pemikiran yang ramah lingkungan dan hemat energi.

Mereka adalah Adi Purnomo (perancang gedung teater), Marco Kusumawijaya (gedung galeri), dan Isandra Matin Ahmad (gedung perkantoran).

Teater Salihara merupakan gedung teater model black box yang pertama di Indonesia. Berdinding kedap suara, tempat ini dilengkapi ruang rias serta segala peralatan tata panggung, tata suara, dan tata cahaya modern. Sedangkan pada bagian atapnya, Teater Salihara dirancang sebagai teater terbuka. Ruangan ini dapat menampung hingga 252 penonton.

Galeri Salihara, berbeda dari kebanyakan bangun galeri umumnya, mengambil bentuk silinder dengan lingkar sedikit oval. Ruang kosong dengan dinding melingkar tanpa sudut, tanpa batas, memberikan perspektif pandang yang lebih luas. Di bawah bangunan ini, terdapat pusat jajan berikut aneka makanan dan minuman dengan pemandangan terbuka yang nyaman.

Tak kalah unik adalah unit bangunan empat lantai untuk perkantoran, perpustakaan, wisma, dan toko buku.

Komunitas Salihara akan tumbuh bersama khalayak yang makin cerdas, terbuka, dan demokratis. Para pengelolanya percaya bahwa kepiawaian di bidang seni adalah investasi yang tak ternilai bagi pertumbuhan anak-anak bangsa sejak hari ini. Khalayak adalah bagian sangat penting dalam menyuburkan kepiawaian tersebut.

Perkembangan Kebudayaan di Indonesia, saat ini, sudah cukup bagus. Walaupun masih ada kekurangannya, kami akan terus menggalakkan kesenian dan kebudayaan," papar Goenawan Mohamad. [ISW/F-4]

Sumber: Suara Pembaruan, Selasa, 27 Januari 2009

Monday, January 26, 2009

Seni yang Meruang di Kota

-- Ilham Khoiri

"SABAR Sebentar, Ku Kan Datang...". Begitu bunyi deretan huruf besar berwarna putih yang sedang dipoles beberapa anak muda, Kamis (22/1) malam itu. Kata-kata tersebut terpampang jelas di atas tembok jalan tol TB Simatupang, persis di depan pusat perbelanjaan Cilandak Town Square alias Citos, Jakarta Selatan.

Mural berbunyi sabar sebentar, ku kan datang... di tembok jalan tol di depan pusat perbelanjaan Citos di Cilandak, Jakarta Selatan. Mural yang dibuat Bujangan Urban ini merupakan bagian dari kegiatan Jakarta Biennale 2009. (KOMPAS/ARBAIN RAMBEY / Kompas Images)

Tak mudah mengecat tembok berukuran sekitar 200 meter x 6 meter itu. Untuk meraih tulisan bagian atas, para anak muda itu harus naik tangga. Demi menghindari kepadatan lalu lintas, mereka bekerja saat orang lain terlelap, sekitar pukul 22.00 hingga sekitar 04.00.

Kenapa mau bersusah payah menuliskan kata-kata itu di sana?

”Kami ingin membantu mengusir kebosanan orang-orang yang suka menunggu di depan mal. Sambil menanti datangnya pacar, suami, teman, atau angkutan umum lewat, mereka bisa membaca tulisan itu,” kata Rizki Aditya Nugroho alias Jablay, mahasiswa Desain Komunikasi Visual Interstudi Jakarta, yang membuat mural itu.

Mural yang digarap seminggu terakhir oleh sekitar delapan orang dan menghabiskan 200 kg cat serta 15 dus pilog itu mungkin nanti akan hilang atau rusak. Entah ditimpa mural lain atau diterpa debu, terik, dan hujan. Namun, selama masih terbaca, tulisan itu bakal menyapa banyak orang di sekitarnya.

”Seni yang kami buat ini untuk banyak orang,” kata Jablay, yang menggunakan cap Bujangan Urban dalam karya-karyanya.

Mural karya itu hanya salah satu dari rangkaian karya ”Situs Spesifik” pada Jakarta Biennale XIII 2009, selama Januari ini. Dalam program Biennale, proyek-proyek seni publik itu didorong untuk turut menciptakan ruang-ruang gagasan baru bagi publik.

Sebelumnya, pertengahan Januari lalu, Enrico Halim menggelar proyek ”Mari Menggambar!” Selama tiga hari, dia bersama kelompok pengamen Laapa’ze (lagu Apa Aze) naik kereta api ekonomi jurusan Tanah Abang-Serpong. Dalam gerbong kereta, tim ini membagikan kertas dan spidol kepada penumpang dan mengajak mereka menggambar.

Hasilnya ternyata bermacam-macam, seperti pemandangan atau gambar orang merokok di kereta. Para penumpang yang asalnya berdiam diri akhirnya mencoba mengobrol satu sama lain. Dengan proyek ini, orang-orang yang penat setelah bekerja seharian itu terdorong untuk saling berinteraksi.

Hasil gambar itu di-scan, lantas dimasukkan dalam web www.marimenggambar.blogspot.com. Rencananya, gambar-gambar itu dipamerkan di Stasiun Tanah Abang, akhir Januari ini.

Di Monumen Nasional (Monas), Daniel Kampua mengumpulkan sekitar 26 fotografer keliling yang biasa memotret pengunjung. Hasil jepretan mereka cukup unik. Ada pengunjung yang difoto dengan pose seperti menyalakan rokok dengan api dari Monas, atau berdiri tegak sambil memegang pucuk monumen tinggi itu.

Daniel lantas memotret orang-orang yang kerjanya memotret orang lain itu. Karya dan potret diri mereka itu akan dipamerkan bersama. Di sini, para pemotret diberi ruang untuk berekspresi bebas sekaligus melihat dirinya sendiri.

Masih ada beberapa proyek Situs Spesifik yang cukup unik dalam program ”Zona Pertarungan” Jakarta Biennale XIII 2009. Ami & The Popo, misalnya, membuat mural ”Awas Begal” di beberapa titik jalan di Jakarta Selatan. Saleh Husesin dan Kudaponi menggarap ”Taman Catur” di ruang bawah jembatan layang di depan Stasiun Tebet, Jakarta Selatan. Veronica Kusuma memutar film Benyamin Koboi Insyaf dan Santet 2 di Studio 2 Bioskop Grand Senen, Jakarta Pusat, yang selama ini kerap dijadikan tempat mesum.

Mencipta ruang

Apa pentingnya karya-karya itu bagi seni rupa kita sekarang? ”Kami ingin memperluas gagasan dan praktik seni rupa. Seniman masuk dalam mekanisme kota, mulai dari mengurus perizinan dari birokrasi, bergaul dengan orang-orang di sekitarnya, sampai mengatasi teknis pembuatan karya di ruang terbuka,” kata Ade Darmawan, Direktur Program Jakarta Biennale 2009.

Memang, pendekatan demikian bisa memberikan pengalaman lebih berdarah-darah bagi seniman. Jika dulu mereka cukup bergumul dengan proses penciptaan di ruang studio yang steril, kini mereka dituntut turun ke jalan. Di sana, mereka menghadapi banyak tantangan dan kerumitan.

Dari kacamata masyarakat, seni publik juga bisa menciptakan ruang alternatif. Karya-karya yang unik (seperti menyapa orang yang menunggu, mengingatkan bahaya begal, atau memperkukuh eksistensi kelompok) mungkin saja bisa menghidupkan kembali sisi kemanusiaan warga kota saat di jalanan. Kita mafhum, selama ini kita capek dijejali berbagai pertarungan visual di jalanan: iklan, jargon pemerintah, coreng-moreng vandalisme, atau poster-poster kampanye calon anggota legislatif yang menyerbu secara membabi buta.

Dengan pendekatan partisipatif, warga turut menjadi bagian dari proses berkesenian dan merebut arena di ruang publik demi memenuhi kepentingan sosial masyarakat itu sendiri. Kesenian yang biasanya yang elitis dan hanya bergerak dari galeri ke galeri akhirnya mencair dan berbaur bersama masyarakat.

”Di sini, seni rupa bergeser menjadi semacam aktivisme sosial yang berorientasi pada penyadaran masyarakat. Para seniman terus mencoba mencari relevansi kegiatan seni di tengah masyarakat urban sekarang,” kata Ardi Yunanto, kurator program ”Zona Pertarungan” Jakarta Biennale 2009.

Spirit

Jika dilacak ke belakang dengan kacamata lebih luas, sebenarnya semangat seni publik semacam itu telah turut menjadi bagian dari sejarah perjuangan kemerdekaan republik ini. Ingat saja teks masyhur ”Merdeka atau Mati!” yang banyak dituliskan di jalanan atau di gerbong kereta. Tanpa peduli siapa pembuatnya, jargon itu turut mengingatkan, bahkan mungkin memompa semangat para pejuang kita kala itu.

Pertanyaannya kemudian: mampukah para seniman muda sekarang mempertajam proyek-proyek seni publik yang benar-benar menggugah dan menemukan momentum yang pas seperti teks ”Merdeka atau Mati!” itu? Jika pun tidak, semoga saja gerakan seni publik ini bakal terus tumbuh dan merangsang lahirnya modus-modus baru gerakan seni rupa yang lebih menarik.

Sumber: Kompas, Minggu, 25 Januari 2009

Ilustrasi Cerpen "Kompas" 2009

ILUSTRASI cerpen Kompas yang coba ditradisikan sebagai ajang para perupa untuk menciptakan karya berdasar tafsir terhadap cerpen sampai kemudian berujung pada pameran karya-karya asli ilustrasi tersebut setiap tahun, tahun-tahun belakangan banyak mendapat kritik. Kalau pada tahun-tahun pertama sejak proyek ini dimulai tahun 2002 kritik lebih banyak berupa apresiasi terhadap karya-karya yang muncul, tahun-tahun belakangan berupa kecaman terhadap mutu karya.

Barangkali perlu dijelaskan lagi bagaimana praktik pembikinan ilustrasi yang menyertai cerpen-cerpen itu muncul setiap minggu. Proyek ini dimulai berdasarkan usul dari teman-teman seniman. Sebelum terbit, naskah cerpen dikirim ke perupa yang dipilih Kompas untuk dibikinkan ilustrasinya. Tafsir terhadap cerpen itu diserahkan kepada si perupa sebebas-bebasnya.

Ketika kritik terhadap mutu karya muncul, dipersoalkan mekanisme pemilihan perupa. Ada yang menyebut, mutu tidak bisa dipertahankan karena mekanisme pemilihan perupa lebih didasarkan pada ”perkoncoan”. Ada pula yang menyebut itu karena peran ”pembisik”. Kalau boleh ditanggapi sebagian, proyek ini memang dimulai dari hubungan baik Redaksi dengan sejumlah seniman, termasuk di antaranya dengan teman dari Yogyakarta, Bandung, Bali, yang kemudian secara sukarela membantu menghubungkan dengan teman-teman seniman. Mereka inilah yang oleh para pengkritik disebut ”pembisik”.

Tidak semua kritik itu tepat, tetapi kami menerima masukan-masukan itu dan mencoba membikin upaya perbaikan. Berikut ini uraian bagaimana Redaksi Kompas, terutama yang bersangkutan langsung dengan penerbitan edisi Minggu, membikin mekanisme baru yang mulai dilakukan sejak awal tahun 2009 untuk pembikinan ilustrasi cerpen.

Pemilihan

Pertama, yang dianggap problematik dalam pembikinan ilustrasi (apakah istilah ini tepat? Sementara, kami mempertahankan istilah ini) cerpen adalah pemilihan perupa. Untuk memecahkan problem ini, Redaksi bersepakat pertama-tama menginventarisasi nama-nama perupa, yang dalam pandangan subyektif masing-masing anggota Redaksi dianggap tepat. Sadar akan pilihan yang sifatnya subyektif ini, maka masukan akan daftar nama itu dibuka seluas-luasnya, baik dari masing-masing anggota Redaksi sendiri, pengelola Bentara Budaya Jakarta yang merupakan lembaga kebudayaan Kompas, juga teman-teman dari Yogyakarta, Bandung, dan Bali yang biasa berkonsultasi dengan kami untuk menentukan pilihan.

Kami membutuhkan 52 perupa, disesuaikan dengan jumlah hari Minggu sepanjang tahun 2009, sementara daftar yang masuk dari usulan sejumlah pihak itu jumlahnya ratusan. Redaksi Kompas dan pihak Bentara Budaya Jakarta duduk dalam rapat untuk menentukan kesepakatan bersama, dari jumlah yang ratusan itu siapa saja yang hendak kami pilih. Itulah mekanisme pertama yang kami lakukan.

Dengan terpilihnya 52 perupa yang kemudian kami tetapkan untuk nanti kami hubungi untuk diminta kesediaan bekerja sama dengan kami untuk membuat ilustrasi itu, berarti perupa yang akan menggarap ilustrasi sepanjang tahun 2009 ini sudah ditentukan. Mudah-mudahan, pihak yang kami minta itu semua bakal sudi bekerja sama dengan kami.

Rencana berikut, kalau tidak ada aral melintang, setelah seluruh edisi Minggu sepanjang tahun 2009 ini terbit, seperti biasanya pada tahun berikutnya kami akan memamerkan karya-karya asli dari ilustrasi tersebut. Dalam hal ini, kami berencana, nantinya kami akan memilih satu karya ilustrasi terbaik. Jadi, kalau selama ini ada ”Cerpen Kompas Pilihan”, maka nantinya juga akan muncul semacam ”ilustrasi terbaik”.

Harapan

Mekanisme seperti kami uraikan di atas mudahan-mudahan bisa menjadi jalan keluar untuk memperbaiki mutu ilustrasi cerpen di harian ini. Dari 52 nama yang masuk daftar kami itu, tanpa kami sengaja, masuk seniman-seniman yang berkarya bukan hanya dalam seni lukis, tetapi juga patung, instalasi, grafiti, fotografi, bahkan seni video.

Dengan keragaman medium itu, harapan kami ilustrasi cerpen akan menjadi lebih segar. (BRE REDANA)

Sumber: Kompas, Minggu, 25 Januari 2009

Oase: Merintis Jalan di Tengah Kungkungan

-- Dwi Fitria

ORGANISASI penulis Tionghoa bertumbuh dan terus berjalan. Namun sayang kurang mendapat perhatian.

Di tahun kedua kekuasaannya, Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden No 14/ tahun 1967. Inpres itu melarang kegiatan apa pun yang berhubungan dengan kebudayaan dan kepercayaan China. Organisasi dan sekolah-sekolah China dibredel. Penggunaan nama China baik bagi para individu Tionghoa maupun usaha tidak lagi diperbolehkan. Begitu pula materi-materi bacaan dalam bahasa Mandarin. Penggunaan huruf China dihapuskan sama sekali.

Menurut Pamela Allen dalam tulisannya Contemporary Literature from Chinese ‘Diaspora’ in Indonesia, di masa itu, Bea Cukai bahkan memasukkan materi-materi bacaan bertulisan China dalam kategori yang sama dengan senjata, amunisi, dan obat terlarang. Paranoia terhadap apa pun yang datang dari China didengungkan dengan kerasnya.

Hanya ada satu harian berbahasa Mandarin yang diperbolehkan hidup di masa tersebut, Harian Indonesia. Itu pun dengan kontrol yang amat ketat. “Harian Indonesia menjadi satu-satunya media berbahasa China yang disetujui oleh Bakin. Gunanya untuk menyampaikan informasi tentang kebijakan pemerintah Indonesia kepada masyarakat Tionghoa yang kebetulan tidak bisa berbahasa Indonesia,” ujar Jeanne Laksana, Ketua Yin-Hua, sebuah komunitas penulis Indonesia-Tionghoa.

Larangan ketat ini membuat sastra Indonesia-Tionghoa nyaris mati suri. Padahal menurut Jeanne antara tahun 1955 hingga tahun 1965, sastra Indonesia-Tionghoa adalah salah satu sastra peranakan Tionghoa yang paling maju setidaknya jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara yang juga memiliki golongan etnis Tionghoa, semisal Singapura atau Malaysia.

Untunglah di tengah-tengah keadaan yang amat menghimpit itu, Harian Indonesia masih menyediakan sebuah ruang yang memuat karya-karya para penulis Indonesia-Tionghoa. Tapi ruang itu dibuka dengan aturan yang cukup ketat, hal-hal yang berbau politis atau bersifat protes sudah tentu tak lolos dari meja redaktur. Eksplorasi para penulis diperbolehkan sebatas tema-tema percintaan atau masalah keluarga.

“Ada juga larangan-larangan yang lebih teknis. Misalnya, kami tidak boleh menulis tentang musim semi. Bagi orang China musim semi merupakan lambang
awal yang baru, untuk menutup buku dari kejadian-kejadian yang sudah lampau,” ujar perempuan yang juga merupakan salah satu pendiri Yin-Hua itu. Dengan alasan bahwa di Indonesia hanya ada dua musim, tema musim semi termasuk dalam hal-hal yang tak boleh ditulis.

Cikal-Bakal Yin-Hua

Melalui tulisan-tulisan di Harian Indonesia itulah para penulis Indonesia-Tionghoa mulai saling mengenal. “Kami mengetahui nama, namun belum benar-benar mengenal orangnya,” ujar Jeanne.

Seorang petinggi Bank Jasa Jakarta, Iskandar, adalah orang yang cukup berjasa bagi cikal bakal berdirinya Yin-Hua. Iskandarlah yang menggagaskan sebuah pertemuan antarpara penulis yang karya-karyanya kerap dimuat dalam Harian Indonesia.

Sejak saat itu para penulis yang jumlahnya mencapai sepuluh orang tersebut kerap mengadakan pertemuan rutin. “Kami membicarakan dan mendiskusikan sastra, karya dan tema-temanya. Tapi karena kondisi, kami belum berani mendirikan sebuah perkumpulan resmi,” ujar Jeanne.

Tahun 1996 dalam sebuah acara tradisional Thong Ciu (peringatan terang bulan), perkumpulan penulis ini dengan sengaja menggalang peminat sastra Tionghoa. Di luar dugaan, 200 orang lebih mendatangi acara itu. Memperlihatkan bahwa meskipun dalam keadaan serba dikekang, perhatian terhadap sastra Indonesia-Tionghoa masih ada dan berkembang. Hal ini menerbitkan optimisme para penulis Tionghoa.


Yin-Hua Berdiri

Kejatuhan Soeharto di Tahun 1998 menjadi momentum terbukanya kekangan terhadap etnisitas masyarakat Tionghoa. Ironisnya momentum ini juga disertai sebuah tragedi kemanusiaan di sisi lainnya.

Traumatis Tragedi Mei 1998, mengoyak hati banyak orang. Tak terkecuali para penulis peranakan Tionghoa. Mereka yang selama ini bungkam, menyuarakan jeritannya dalam karya-karya yang menggambarkan Tragedi Mei 1998. Wilson Tjandinegara, salah seorang aktivis Yin-Hua yang juga aktif dalam Komunitas Sastra Indonesia (KSI) menuliskan kepedihan tragedi tersebut dalam sajak-sajaknya Kita Tak Boleh Berdiam Diri, Kambing Hitam, Di Manakah Nuranimu!

Tahun 1998 juga menjadi tonggak bersejarah bagi kebangkitan kembali sastra Indonesia-Tionghoa. Bulan Desember 1998, Yin-Hua resmi berdiri sebagai sebuah organisasi. Sementara sebuah organisasi lain yang juga menghimpun para sastrawan Indonesia-Tionghoa, Perhimpunan Seni Budaya Ibu Pertiwi berdiri di tahun yang sama.

Tahun berikutnya bekerja sama dengan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Yin-Hua menerbitkan sebuah antologi berisi 100 buah puisi. “50 puisi Indonesia dan 50 puisi penulis Indonesia Tionghoa,” ujar Jeanne.

Masih bekerjasama dengan KSI, Yin-Hua juga menerbitkan Kumpulan Cerpen Mini Yin-Hua pada 1999. Penerjemahan ini memberikan kesempatan bagi para penggemar sastra Indonesia untuk mengapresiasi puisi-puisi dalam bahasa Mandarin yang sama sekali tak bisa dijangkau sebelumnya.

Yin-Hua juga kerap menerjemahkan puisi-puisi Indonesia ke dalam bahasa Mandarin. Penerjemahan karya-karya kedua bangsa ini punya dampak positifnya sendiri. “Esensi usaha penerjemahan ini adalah sastra Indonesia berkesempatan untuk dikenal lebih luas di dunia luar. Sebaliknya penerjemahan sastra Mandarin dalam bahasa Indonesia juga membukakan cakrawala sastra dunia bagi orang Indonesia pada umumnya,” ujar penyair Medy Loekito.

Angin segar kembali berhembus saat Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keppres No 6/Tahun 2000 yang mencabut Inpres tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Tionghoa. Keppres ini memberikan pijakan resmi yang membuat organisasi semacam Yin-Hua dapat makin leluasa bergerak.

Sejak pertamakali berdiri pada 1998, menurut Jeanne Laksana para penulis Yin-Hua telah menerbitkan setidaknya 200 karya dalam berbagai bentuk. Sayangnya meskipun cukup aktif, usaha-usaha penerbitan ini masih bersifat sporadis. Banyak dari buku-buku tersebut diterbitkan atas inisiatif pribadi dengan menggunakan dana pribadi. Sehingga jumlah cetakan terbatas dan belum menyebar luas di masyarakat.

Selain itu, kerjasama dengan masyarakat sastra Indonesia yang lebih luas belum terlalu aktif terjalin. “Contohnya Pak Wilson Tjandinegara. Ia dikenal luas karena ia juga aktif di KSI,“ ujar Medy Loekito.


Regenerasi dan Identitas Tionghoa

Hasil represi 32 tahun atas identitas etnis masyarakat Tionghoa, memberikan pukulan cukup keras bagi genre sastra Indonesia-Tionghoa. “Ditutupnya akses pada litetur China berakibat hilangnya dua generasi penulis Indonesia-Tionghoa,” ujar Jeanne.

Dalam masa 32 tahun itu bukannya tidak ada sama sekali sastrawan dari masyarakat keturunan Tionghoa yang muncul. Abdul Hadi WM, Medy Loekito, Marga T, Tan Lioe Ie, adalah sedikit dari sederet sastrawan yang bahkan tetap berkumandang. Namun, para sastrawan ini telah melebur dengan para sastrawan Indonesia. Identitas etnis jarang sekali muncul dalam karya-karya mereka.

Saat ini kebanyakan aktivis Yin-Hua telah berusia 50 tahun ke atas. Regenerasi menjadi salah satu masalah serius. 32 tahun represi menyebabkan sedikitnya masyarakat Tionghoa di Indonesia yang mampu berbahasa Mandarin dengan baik.

Yin-Hua berusaha mengatasi hal ini dengan mengadakan lomba menulis bagi siswa SD hingga SMA guna menjaring bakat-bakat baru. “Belum banyak yang muncul, saya memperkirakan Yin-Hua masih harus menunggu 10 tahun lagi untuk regenerasi,” ujar Jeanne.

Medy Loekito beranggapan bahwa akan amat sulit mengharapkan regenerasi semacam ini. Nyaris tak ada lagi keturunan Tionghoa yang hidup dalam kebudayaan masa lalunya. Banyak di antara mereka yang sudah mengecap pendidikan luar negeri, di Inggris atau Malaysia.

“Menurut hemat saya, yang penting sebenarnya bukan warna ketionghoaan. Dalam sastra yang penting adalah esensinya. Akan lebih baik mengikuti perkembangan alih-alih mengikuti warna lokal yang sebenarnya sudah kurang sejalan dengan zaman. Toh pada waktunya nanti setelah segalanya makin mengglobal, semua menjadi sama. Tidak akan lagi ada perbedaan-perbedaan. Hampir dibilang semua orang nanti bisa menjadi Minang, China, Jawa, dll.,” ujar Medy.

Pertanyaan selanjutnya apakah menjadi Indonesia sama artinya dengan menampik sama sekali unsur Tionghoa? Atau seperti yang dipertanyakan Pamela Allen dalam makalahnya: di manakan Kechinaan berhenti dan Keindonesiaan dimulai? Tidakkah peleburan “total” justru menghilangkan sebuah kekayaan budaya yang baru saja ditemukan kembali?

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 25 Januari 2009

Oase: Perjalanan Sastrawan Dwinegara

-- Theresia Purbandini

TUNTUTANLAH ilmu hingga ke negeri China, kiranya benar pepatah itu adanya. Karena dari negeri panda tersebut, banyak ilmu pengetahuan yang bisa diserap. Misalnya saja pepatah yang sarat akan arti dan makna. Belum lagi nilai sastra yang dibuat oleh para pujangga terdahulu.

Karya-karya sastra Indonesia-Tionghoa dianggap oleh salah satu kritikus sastra, Maman S Mahayana sebagai perintis dalam perkembangan sastra modern di Indonesia. Dosen Fakultas Sastra Universitas Pakuan, Bogor ini mengungkapkan pula percetakan dan penerbitan yang awalnya dikuasai sepihak oleh pemerintah Belanda menjadi salah satu bentuk penyebaran sastra-sastra keturunan ini.

“Mereka menerbitkan novel-novel secara berkala dan membuat para pembacanya berlangganan. Dengan cara inilah mereka mampu melebur ke dalam dunia sastra di Indonesia,” tambah pria kelahiran Cirebon, 18 Agustus 1957 itu.

Sejarah pertumbuhan sastra peranakan Tionghoa tidak dapat dipisahkan dari bisnis penerbitan dan percetakan di Hindia Belanda. Hal ini terlihat dari catatan sejarah yang diungkapkan oleh Maman, sejak tahun 1800-an, mereka memiliki kesadaran pentingnya berbahasa Belanda dan Melayu untuk membaca berita berkala demi kebutuhan bisnis bagi mereka yang mayoritas sebagai pedagang.

Karena pada waktu itu, berita berkala memuat pula jadwal pemberangkatan dan kedatangan kapal, daftar harga komoditas pertanian sampai ke pengumuman lelang berikut daftar harga barang dan iklan. Percetakan swasta kemudian mengembangkannya dengan menerbitkan suratkabar (courant).

Hegemoni Belanda

Pada masa kolonial, pemerintah Belanda dengan hegemoninya seolah-olah menjadi barometer kesusastraan Indonesia. Bahkan secara sepihak sastra peranakan Tionghoa tidak diperhitungkan sebagai salah satu bentuk warna di khasanah sastra Indonesia. Perbedaan tingkatan bahasa Melayu dijadikan patokan dalam citra sastra, dan sastra peranakan menjadi termaginalkan karena menggunakan bahasa Melayu rendahan. Bahkan Maman pun mengatakan, Balai Pustaka dilahirkan untuk membendung pengaruh nasionalisme yang ditiupkan para penerbit-penerbit swasta yang didominasi peranakan Tionghoa.

Tan Lioe Ie, penyair asal Bali juga menilai dengan bahasa Melayu kasar yang digunakan membuat karya sastra peranakan dianggap sebagai ‘bacaan liar’ . Padahal itu bisa saja merupakan pilihan bahasa untuk kemudahan sosialisasi. Sementara bila diukur estetikanya, menjadi relatif, mengingat karya-karya yang diunggulkan tidak menggunakan bahasa pasar.

Maman memetakan tiga jenis tema yang diangkat para sastrawan peranakan Tionghoa dalam berkarya. Pertama, tema yang berorientasi pada tanah leluhurnya, seperti terjemahan karya sastra asli dari Tiongkok (Sam Kok). Yang kedua adalah tema yang melingkupi seputar daerah tempat tinggalnya, maka karyanya menggambarkan semangat pembauran yang terjadi di kota-kota di Indonesia, seperti karya novel Boenga Roos dari Tjikembang (1927) oleh Kwee Tek Hoay yang piawai menggambarkan hubungan cinta mendalam seorang pria Tionghoa dengan perempuan Sunda yang tidak lazim di masa itu.

Dan tema ketiga adalah semangat perjuangan yang ditularkan oleh sastrawan melalui tulisannya yang mengkritisi arogansi pemerintah kolonial yang hanya berani dikumandangkan penerbit swasta. Digambarkan Maman melalui novel Lo Fen Koei (1903) karya Gouw Peng Liang, yang menceritakan tentang seorang pemegang hak monopoli candu (patcher opium) kaya-raya bernama Lo Fen Koei. Lo Fen Koei yang jahat dan penuh ambisi merencanakan sebuah pembunuhan karena ingin mempersunting gadis cantik dari sebuah keluarga pribumi miskin. “Novel karya peranakan berbeda dengan terbitan Balai Pustaka yang hanya mengangkat tema heroik dan tidak pernah mengkritik feodalisme,” ujar editor lepas beberapa buku sastra ini.

Pengaruh yang cukup jelas dari tanah leluhur tertoreh dengan merebaknya cerita silat hasil terjemahan. Menurut Maman, bahkan cerita rakyat Panji asal Jawa pun tercium embusan orientalnya.

Aktivitas pengarang sastrawan peranakan tidak pernah mati, bahkan mereka tetap hidup hingga kini. Banyak di antaranya tidak tercium oleh publik bahwa mereka adalah keturunan Tionghoa karena telah berganti nama, seperti Abdul Hadi W.M., Marga T(joa), Mira W(ong), Eka Budianta, N. Riantiarno, Basoeki Soedjatmiko, Wilson Tjandinegara, The Eng Gie, Veven Sp. Wardhana, F.X. Rudy Gunawan, Soeria Dinata, Stefani Hid, dan Agnes Jessica. Di samping mereka, ada juga penulis lain yang lebih memfokuskan perhatian pada dunia kritik sastra, yaitu Arief Budiman (Soe Hok Djin) dan Ariel Heryanto.

Asimilasi Sastra

Lebih lanjut Maman mengungkapkan bahwa sesudah peristiwa G30S 1965, tekanan terhadap kaum peranakan Tionghoa untuk berasimilasi dengan masyarakat pribumi semakin besar. Akibatnya, para sastrawan peranakan pun berusaha mengidentifikasikan diri dengan sastra Indonesia. Acapkali karya mereka, baik dilihat dari segi bahasa, bentuk, maupun tema, tidak bisa dibedakan lagi dengan karya para pengarang pribumi.

Hal ini amat disayangkan oleh Tan Lioe Ie yang menyatakan saat rezim Soeharto berkuasa, xenophobia terhadap kultur Tionghoa membuat kegiatan bersastra makin tabu, sehingga masyarakat keturunan diarahkan sebagai pedagang. “Terjadi semacam garis putus dalam perkembangan sastra modern waktu itu, yang mengakibatkan kita kehilangan satu lintasan generasi,” ujar penyair yang menetap di Bali ini.

Lahirnya sastrawan-sastrawan peranakan generasi terkini seperti Sapardi Djoko Damono, Oey Sien Tjwan, Wendoko, Adri Darmaji di antaranya dianggap Tan Lioe Ie patut diperhitungkan sebagai bagian dari warna kekayaan multikultural sastra Indonesia. Meski tak banyak namun hal ini dinilai wajar oleh Tan Lioe Ie karena kultur ini sempat tak mendapat tempatnya.

“Seperti mencari aktivis yang berasal dari keturunan saja, mungkin ada tapi tidaklah banyak,” ujar penyair yang banyak mengeksplorasi ritual dan mitologi Tionghoa untuk puisi berbahasa Indonesia yang ditulisnya. Bahkan Maman juga berpendapat, Indonesia ikut berpengaruh terhadap diaspora kebudayaan Tionghoa di negara-negara Asia lainnya, seperti Singapura, Malaysia, China, Hongkong, dan lain sebagainya.

Secara kualitatif, kedua sastrawan ini memandang karya sastra peranakan sebanding bila disejajarkan dengan nama-nama sastrawan besar Indonesia. Bahkan Maman secara gamblang mengatakan novel Lo Fen Koei tak kalah dengan roman Siti Nurbaya karangan Marah Rusli. Theresia Purbandini

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 25 Januari 2009

Oase: Anak Hilang Sastra Indonesia

-- Grathia Pitaloka

Karena berpotensi mengobarkan semangat kebangsaan, pemerintah kolonial membatasinya.

DI tengah geliat dunia sastra tanah air, Sastra Melayu Tionghoa seolah menjadi sebuah bagian yang terlupa. Nama-nama seperti Kwee Tek Hoay, Thio Tjien Boen atau Gouw Peng Liang seperti terkunci rapat dalam ruang kedap suara.

Padahal berdasarkan catatan historik peneliti Perancis, Claudine Salmon keberadaan Sastra Melayu Tionghoa sudah ada sejak tahun 1870. Jumlah karya yang dihasilkan pun cukup banyak yaitu sekitar 3005 dan melibatkan 806 penulis.

Menurut catatan kritikus sastra Prof Dr A Teeuw, jumlah karya yang dihasilkan para penulis Tionghoa tersebut jauh lebih banyak dibanding angkatan Balai Pustaka. Dalam periode setengah abad, 175 penulis angkatan Balai Pustaka "hanya" berhasil melahirkan 400 karya.

Pada 1903 Sastra Melayu Tionghoa sudah menerbitkan dua prosa berjudul : Oey Se karya Thio Tjien Boen dan Lo Fen Koei karya Gouw Peng Liang. Sementara karya sastra terbitan Balai Pustaka baru muncul dua puluh tahun setelahnya.

Namun dengan dalil penggunaan bahasa Melayu rendah yang notabene bahasa pasar, Sastra Melayu Tionghoa terlempar dari kanon sastra Indonesia modern. Terbitan Balai Pustaka yang menggunakan bahasa Melayu tinggilah yang dianggap sebagai tonggak kelahiran sastra Indonesia modern.

Sementara Sastra Melayu Tionghoa hanya dianggap sebagai sastra berbahasa daerah. Setara dengan karya-karya lain yang berbahasa Sunda atau Jawa. "Marjinalisasi terhadap Sastra Melayu Tionghoa bersifat politis," kata kritikus sastra Ibnu Wahyudi di Jakarta, Selasa (20/1).

Ia menuturkan, ketakutan pemerintah kolonial Belanda akan bangkitnya nasionalisme merupakan salah satu sebab pengguntingan Sastra Melayu Tionghoa dari khasanah sastra. Beberapa karya Sastra Melayu Tionghoa memang berpotensi mengobarkan semangat kebangsaan bagi pembacanya.

Kemudian untuk mengontrol karya-karya yang terbit Belanda mendirikan Balai Pustaka. Sehingga karya-karya yang dianggap berbahaya atau berseberangan dengan kepentingan pemerintah pada saat itu tidak dapat beredar luas.

Misalnya saja novel Drama di Boven Digoel karya Kwee Tek Hoay yang bertutur mengenai masalah dasar dan kontradiksi pokok masyarakat jajahan pada kurun 1920-an. Setting novel ini dianggap luar biasa karena mengangkat peristiwa sejarah pemberontakan November 1926 sehingga mengaspirasikan semangat keindonesiaan.

Selain itu juga terdapat karya-karya Thio Tjin Boen yang mempunyai ciri khas penggambaran masyarakat peranakan Tionghoa dalam interaksi dengan etnis lain, seperti Jawa, Sunda, Arab dan sebagainya.

Thio Tjin Boen menyatakan konflik antara masyarakat totok yang menyebut dirinya singke' dengan golongan peranakan karena kebiasaan dan pola pikir yang berbeda. Gambaran sejarah lain juga terungkap jelas dalam kisah-kisah tentang perkembangan organisasi Tiong Hoa Hwe Koan (THHK), potret perempuan di zaman kolonial, organisasi perempuan yang sulit berkembang, dan emansipasi kaum perempuan mendobrak tradisi untuk meraih cita-cita.

Oleh sebab itu, Ibnu menilai, penggunaan bahasa Melayu rendah sebagai alasan penolakan terhadap Sastra Melayu Tionghoa amat mengada-ada. Menurut dia, penolakan tersebut terjadi semata-mata karena keberadaan para penulisnya yang notabene China. "Buktinya ketika menggunakan nama pribumi mereka dapat diterima," ujar pengajar di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia ini.

Diskriminasi terhadap Sastra Melayu Tionghoa ini berlanjut hingga Indonesia merdeka. Bahkan diresmikannya bahasa Indonesia secara politik makin mempersempit ruang gerak masyarakat Tionghoa untuk mengartikulasikan kepentingannya secara leluasa.

Lalu ibarat mesin tua, pergerakan Sastra Melayu Tionghoa makin lama semakin terseok. Keberadaannya hanya menempati posisi "subkultur", setara dengan genre sastra lokal. "Ini merupakan suatu ironi dan pengingkaran sejarah," kata Ibnu.

Lebih lanjut dia mengatakan, perlu dilakukan reposisi pengertian sastra Indonesia modern. ""Padahal kalau mau konsekuen berbicara sastra Indonesia semestinya adalah karya sastra yang lahir setelah 17 Agustus 1945."

Ciri Khas

Secara karakteristik karya Sastra Melayu Tionghoa memiliki ciri khas tertentu baik dari segi tema maupun struktur sintaksis yang meliputi corak dan alur cerita dan gaya perwatakan tokohnya. "Biasanya mereka bertuturkan mengenai nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Tionghoa seperti hubungan kekeluargaan atau bagaimana mereka berinteraksi dengan kalangan berbeda etnis," kata pengamat sastra Jakob Soemardjo kepada Jurnal Nasional.

Biasanya dalam karya Sastra Melayu Tionghoa, keadaan ekonomi keluarga inti seringkali diilustrasikan panjang lebar, terutama bila terjadi kebangkrutan dan kegagalan dalam aktivitas perdagangan mereka.

Salah satu karya yang mengangkat hal itu dengan baik adalah Dengen Duwa Cent Jadi Kaya karya Thio Tjin Boen. Karya yang diterbitkan pada 1920 ini mencoba memaparkan kebiasaan-kebiasaan masyarakat Tionghoa untuk menepis kesalahpahaman.

Maklum ketika itu pemerintah kolonial Belanda tengah menerapkan segregasi berdasarkan suku bangsa. Di mana penduduk Nusantara dibagi dalam tiga golongan, yaitu Eropa atau yang dianggap sederajat, Timur Asing (Vreemde Oosterlingen-Red), dan Bumiputra.

Kaum Belanda, Indo Belanda, dan Eropa serta Jepang pada awal abad ke-20 menjadi warga kelas satu. Adapun warga Tionghoa, Arab, India, dan kulit berwarna non-Bumiputra dijadikan bemper pemisah dengan anak negeri Bumiputra yang menjadi kelompok terbawah dalam strata masyarakat kolonial Belanda.

Kedudukan masyarakat Tionghoa yang berada dilevel yang lebih tinggi dibanding masyarakat pribumi kerapkali menimbulkan kecemburuan sosial. Konon kecemburuan itu terus terbawa hingga Indonesia merdeka, sehingga masyarakat Tionghoa kerapkali mendapatkan perlakuan berbeda.

Padahal kalau membaca karya-karya Sastra Melayu Tionghoa dapat terlihat jelas bagaimana pergulatan masyarakat Tionghoa mencari identitas. Ini menjadi fakta jika keberadaan masyarakat Tionghoa di Indonesia sangat beragam. Ada yang berorientasi ke tanah leluhur, memuja kolonialisme Belanda atau berusaha menjadi orang Indonesia.

Kekerasan dan perselingkuhan adalah tema lain yang mendominasi karya Sastra Melayu Tionghoa. "Tema tersebut banyak diangkat mengingat kondisi pendidikan masyarakat pada masa itu yang masih terbelakang," ujar Ibnu.

Segregasi juga membuat tema perkawinan antargolongan menjadi sebuah tema yang "seksi" dan menarik. Salah satu karya yang dianggap menonjol ketika itu adalah Boenga Roos dari Tjikembang, karya Kwee Tek Hoay.

Boenga Roos dari Tjikembang bertutur mengenai percintaan antargolongan, antara perempuan Sunda bernama Nyai Marsiti dengan Oh Ay Tjeng, seorang administratur perkebunan yang berdarah Tionghoa.

Lewat karyanya Kwee Tek Hoay berusaha mengkritisi pemerintah kolonial Belanda. Ia berusaha menyadarkan bahwa perkawinan antaretnis adalah sesuatu yang sederhana dan tidak perlu diperumit dengan politik apartheid.

Pengaruh

Meski banyak yang menafikan, tak bisa dipungkiri jika keberadaan karya Sastra Melayu Tionghoa memberikan pengaruh bagi perkembangan sastra Indonesia modern. "Salah satu buktinya adalah banyak karya sastra Indonesia modern yang mirip dengan karya Sastra Melayu Tionghoa," kata Ibnu.

Pernyataan Ibnu tersebut didukung oleh disertasi John B. Kwee yang berjudul Chinesse Malay Literature of The Peranakan Chinese in Indonesia 1880-1942 seperti dikutip (Faruk dkk, 200:40-42).

Di sana disebutkan cerita penyerahan penebusan "Sitti Nurbaya" atas utang ayahnya dipengaruhi oleh Allah yang Toelen karya Om Kim Tat. Roman Percobaan Setia sama dengan Saltima karya Tio Ie Soei. Roman Salah Asuhan sama dengan karya Vjoo Cheong Seng yang berjudul Nona Olanda sebagai Istri Tionghoa. Salah Pilih sama dengan karya Tan Boen Kim yang berjudul Nona Iam Im. Dalam cerita ini terdapat tokoh wanita yang berpekerti buruk karena telah mengecap pendidikan Belanda.

Karya lainnya adalah Gadis Modern dan novel Chang Mung Tse yang juga mempunyai judul yang sama. Karya Tak Disangka sama dengan Apa Mesti Bikin karya Aster yang terbit pertama kali tahun 1930. Novel Manusia Baru sama dengan Merah karya Liem King Ho.

Dalam catatannya John Be Kwee menemukan sekitar 14 karya Sastra Melayu Tionghoa yang memiliki andil dalam proses penciptaan karya-karya sastra Indonesia modern termasuk yang telah disebutkan tadi.

Dilihat dari latar biografis, pengarang Indonesia waktu itu memang memiliki kesamaan dengan pengarang Tionghoa yakni sama-sama mengenyam pendidikan Belanda. Sehingga kesamaan itu tidak bisa dilihat semata-mata karena pengaruh Sastra Melayu Tionghoa, harus dipertimbangkan pula proses dan pergulatan batin pengarang melihat kondisi sosial masyarakat masa itu.

Ibnu melihat, setelah kemerdekaan ada beberapa karya yang turut terpengaruh oleh Sastra Melayu Tionghoa. Di antaranya karya yang dihasilkan oleh Pramoedya Ananta Toer. Dalam Tetralogi Pulau Buru-nya, Pramoedya menggambarkan secara simpatik tokoh-tokoh berdarah Tionghoa.

Dalam karyanya Pramoedya menuliskan karakter masyarakat Tionghoa yang terbuka, egaliter, dan responsif terhadap dunia pergerakan. Seperti yang diketahui Pramoedya memang menolak keberadaan kultur aristokratis yang dipertontonkan para ambtenaar dan kaum priyayi Jawa.

Pramoedya juga berhasil menggambarkan secara gamblang politik identitas. Ia berhasil mengangkat imaji identitas ke-Tionghoa-an dalam kualitas cerita yang kental dan pekat dengan intrik-intrik politis yang mencengangkan.

Selain Pramoedya, pengarang lain yang terpengaruh oleh Sastra Melayu Tionghoa adalah Remy Sylado lewat novelnya yang berjudul Ca Bau Kan. Remy menggambarkan peran sebagian masyarakat Tionghoa dalam proses perjuangan dan pergerakan mencapai kemerdekaan.

Terlukis dengan indah oleh Remy bagaimana tokoh Tionghoa hidup berdampingan dengan seorang pribumi. Keduanya saling mengisi dengan menghargai perbedaan. Sebuah nilai kemanusiaan yang mencerahkan diharapkan terus tumbuh subur di bumi Indonesia.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 25 Januari 2009

Oase: Yin-Hua

-- Arie MP Tamba

Metropolitan ini serba kusut
Tiada hari tanpa macet
Apalagi
Kini muncul si jago serobot
Bus Way
Macet di mana-mana
Ada yang bilang
Bangun saja kereta bawah tanah
Ada yang usul
Bikin saja monorel
Banyak pula yang berseru
Ah! Tak macet itu bukan Jakarta!
Bus Way
Bus Way
Melancarkan atau
Memacetkan
Wong cilik jadi
Bingung

(Bus Way, Song Hoa, Jakarta 5 Mei 2004)

Inilah sajak Bus Way karya Song Hoa, seorang penyair yang tergabung dalam Komunitas Sastrawan Yin-Hua (Indonesia-Tionghoa), yang kegiatannya semakin marak seiring bertiupnya angin reformasi di bidang politik dan kebudayaan sejak tumbangnya Orde Baru. Puisi Song Hoa dapat ditemukan dalam Seribu Merpati, Bunga Rampai Sastra Yin-Hua (2006) yang diterbitkan bekerja sama dengan PDS HB Jassin.

Menurut Jeanne Laksana, Ketua Yin-Hua, sebagian besar pengarang Yin-Hua kini berumur 50 tahun ke atas. Meski dilahirkan di Indonesia, tapi mereka dibesarkan dalam lingkungan pendidikan dan kebudayaan Tionghoa dan Indonesia. Mereka menerima pendidikan bahasa Mandarin, hingga lebih mahir berkarya dengan bahasa Mandarin (Tionghoa).

Maka, bila karya-karya mereka yang sudah dibukukan kemudian diterbitkan juga di dalam bahasa Indonesia, hal itu telah melalui penerjemahan. Untuk terus membangun kesepahaman atas keberadaan dan peran pengarang etnis Tionghoa ini, penerjemahan karya-karya dari bahasa Mandarin ke bahasa Indonesia dan sebaliknya, adalah salah satu agenda rutin Yin-Hua. Banyak buku terjemahan sudah diterbitkan. Namun masalah regenenerasi tetap menjadi persoalan yang membayang.

Sastra diaspora, itulah penamaan yang diberikan penyair dan pengamat sastra Iwan Gunadi untuk karya-karya sastra perantauan keturunan Tionghoa ini. Dalam penelitian Iwan, menggeliatnya kembali kegairahan menerbitkan karya-karya sastra Yin-Hua, secara simultan bisa dikatakan bersamaan dengan aktifnya Komunitas Sastra Indonesia 1990-an. Wilson Tjandinegara, seorang sastrawan Yin-Hua yang juga rajin menerjemahkan karya teman-temannya ke dalam bahasa Indonesia, bahkan termasuk seorang pengurus di Komunitas Sastra Indonesia.

Sementara itu, mengikuti hasil penelitian Claudine Salmon (1981), fenomena sastra karya peranakan keturunan Tionghoa sudah jauh berakar sejak masa-masa menjamurnya Sastra Melayu Rendah di Indonesia pada 1870. Setengah abad sebelum terbitnya novel Azab dan Sengsara, karya Merari Siregar oleh Balai Pustaka, yang sampai kini dianggap novel perdana Indonesia yang menggunakan bahasa Sastra Melayu Tinggi, sebagai cikal bakal bahasa Indonesia.

Tak pelak lagi, dua politisasi kebudayaan bisa dikatakan pernah menggerus kehadiran para sastrawan perantauan keturunan Tionghoa ini dari peta sejarah sastra Indonesia. Yang pertama adalah politik kolonialisme Belanda yang "merendahkan" mereka ke dalam pelabelan ”Sastra Melayu Rendah” atau ”Sastra Pasar”. Padahal sejak kemunculannya pada 1870, hingga 1950-an saja, menurut Claudine, telah ada sekitar 3.005 judul karya sastra dari 806 pengarang perantauan.

Beberapa penelitian membuat karya-karya itu kemudian bisa dikenali dan dibaca kembali, sebagai kekayaan sastra Indonesia yang teramat berharga bila diabaikan. Sebut saja Oey Se karya Thio Tjien Boen dan Lo Fen Koei karya Gouw Peng Liang. Loe Fen Koei pernah difilmkan oleh sutradara berbakat Hanny R Saputra dengan skenario Afrizal Malna.

Lalu yang juga banyak dikenal adalah Boenga Roes dari Tjikembang karya Kwee Tek Hoay. Kwee Tek Hoay, dari penelusuran Leo Suryadinata (1989), selain penulis novel juga terkenal sebagai penulis drama, buku-buku agama dan filsafat. Pada zaman Belanda Tek Hoay pernah mengasuh majalah Panorama, Moestika Panorama, Moestika Romansa, dan Moestika Dharma. Di majalah-majalah inilah Tek Hoay menulis pengamatannya tentang perkembangan politik dan kebudayaan masyarakat Tionghoa umumnya di Indonesia.

Lalu, politisasi kebudayaan yang kedua adalah kebijakan Orde Baru yang melarang penggunaan bahasa Tionghoa dan huruf Han sejak 1967. Hal ini langsung membuat karya-karya sastra (dan para sastrawan) peranakan keturunan Tionghoa raib dari kehidupan sastra Indonesia. Tak ada lagi media khusus yang berbahasa Tionghoa untuk karya-karya mereka. Yang ada hanyalah sebuah koran dwibahasa, Harian Indonesia.

Meski dibatasi, menurut penyair Yin-Hua, Cecilia K, yang juga redaktur koran tersebut, Harian Indonesia benar-benar dimanfaatkan oleh para sastrawan diaspora sejak 1966. Sejumlah karya dihadirkan dalam dua bahasa: Indonesia dan Tionghoa. Tapi, seiring reformasi dekade terakhir, karya-karya sastra perantauan ini sudah kembali diterbitkan dalam bahasa Mandarin.

Yang unik dari karya-karya sastra keturunan Tionghoa ini adalah: perbedaan yang mencolok dengan semangat sastra "leluhur" – yang memuja alam dan tatakrama kehidupan masyarakat Tionghoa masa lalu. Meski menggunakan bahasa Mandarin dalam menyampaikan ekspresinya, namun tema-tema yang diusung sastrawan diaspora ini acapkali syarat dengan persoalan sosial kemasyarakatan setempat. Sastra mereka begitu kontekstual. Di antaranya, puisi Son Hoa di atas. Bus Way!

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 25 Januari 2009

Inspirasi: Sutan Takdir Alisjahbana

PUBLIK sastra di Tanah Air tidak asing lagi dengan tokoh kelahiran Natal, Tapanuli Selatan, 11 Februari 1908 ini. Sutan Takdir Alisjahbana--yang lebih dikenal dengan sebutan STA--memiliki banyak predikat. Ia sastrawan angkatan Balai Pustaka, yang menulis novel dengan kesadaran dekonstruktif. STA menyumbangkan berbagai pemikiran dalam bidang humaniora. Ia juga penyair, filsuf, dan futurolog. STA termasuk salah satu cendekiawan Indonesia yang memiliki bidang kajian beragam.

STA wafat di Jakarta, 17 Juli 1994 dalam umur 86 tahun. STA menamatkan HKS di Bandung (1928), meraih Mr. dari Sekolah Tinggi di Jakarta (1942), dan menerima doktor honoris causa dari UI (1979) dan Universiti Sains, Penang, Malaysia (1987).

STA pernah menjadi redaktur Panji Pustaka dan Balai Pustaka (1930--1933), kemudian mendirikan dan memimpin majalah Pujangga Baru (1933--1942 dan 1948-1953), Pembina Bahasa Indonesia (1947--1952), dan Konfrontasi (1954--1962).

Sebagai anggota Partai Sosialis Indonesia, STA pernah menjadi anggota parlemen (1945--1949), anggota Komite Nasional Indonesia, dan anggota Konstituante (1950--1960). Selain itu, ia menjadi anggota Societe de linguitique de Paris (sejak 1951), anggota Commite of Directors of the International Federation of Philosophical Sociaties (1954--1959), anggota Board of Directors of the Study Mankind, AS (sejak 1968), anggota World Futures Studies Federation, Roma (sejak 1974), dan anggota kehormatan Koninklijk Institute voor Taal, Land en Volkenkunde, Belanda (sejak 1976). Dia juga pernah menjadi rektor Universitas Nasional, Jakarta, Ketua Akademi Jakarta (1970--1994), dan pemimpin umum majalah Ilmu dan Budaya (1979--1994).

Novel-novel STA populer di Tanah Air, antara lain Tak Putus Dirundung Malang (1929), Dian Tak Kunjung Padam (1932), Layar Terkembang (novel, 1936), dan Anak Perawan di Sarang Penyamun (1940), Kalah dan Menang (1978), dan Grotta Azzura (novel tiga jilid, 1970 dan 1971). Puisi-puisi STA antara lain terangkum dalam Tebaran Mega (1935) dan Lagu Pemacu Ombak (1978). n DARI BERBAGAI SUMBER/P-1

Sumber: Lampung Post, Minggu, 25 Januari 2009

Apresiasi: Hero dan Heroisme dalam Sastra

-- Tjahjono Widijanto*

DALAM sebuah buku klasik yang berwibawa, The March of Literature: From Confucius to Modern Time karya Ford Madox Fox, dapat ditemukan sebuah adagium yang mahsyur; the quality of literreture, in short, is the quality of humanity.

Teks sastra yang berkualitas tidak saja merupakan dokumentasi sastrawi semata-mata tetapi juga dokumentasi sejarah yang di dalamnya penuh luka-luka manusia. Demikian pula yang dapat dicatat dari awal tumbuh dan perkembangan sastra Indonesia modern tak lepas dari persolan luka kemanusiaan dan luka bangsa.

Dalam sastra kita, monumen-monumen luka manusia ini juga diikuti dengan hero-hero yang keheroikannya bisa jadi tidak sedahsyat cerita-cerita dalam sejarah ansich. Ambil contoh roman Surapati karya Abdoel Moeis, Pulang (Toha Mohtar), Surabaya, Corat-coret di Bawah Tanah (Idrus), Jalan Tak Ada Ujung (Mochtar Lubis), Keluarga Gerilya, Perburuan, Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer), dan Burung-burung Manyar karya J.B. Mangun Wijaya, semua menunjukan sisi paradoksal antara hero, heroisme, dan tragik.

Tokoh Untung Surapati dalam sejarah ditampilkan sebagai sosok yang memiliki kompleksitas kejiwaan, mulai dari persoalan harga diri hingga affairnya dengan seorang noni Belanda bernama Suzana. Demikian pula tokoh Tamin dalam Pulang, dan tokoh Guru Isa dalam Jalan Tak Ada uUung, tidaklah tampil sebagai tokoh yang supersakti dan superhebat seperti hero-hero dalam sejarah tetapi justru menghayati tumbuhnya heroisme dalam dirinya pada saat kondisi jiwanya terjepit dan tersia-sia.

Tokoh Tamin bisa tampil sebagai hero setelah menyadari betapa ia telah tercerabut dan tidak berartinya bagi lingkungannya. Tokoh guru Isa bahkan harus menjadi seorang yang impoten dan penakut terlebih dahulu sebelum mendapatkan keberanian. Rasa heroismenya muncul justru pada saat ia berada pada puncak ketakutan ketika mengalami penyiksaan serdadau Belanda di tahanan.

Munculnya hero dan heroisme dibarengi dengan tragedi mulai tampak dengan kuat pada karya-karya masa 1940-an pada saat pendudukan Jepang. Pendudukan singkat Jepang telah membawa perubahan yang luar biasa dalam aspek linguistik dan wilayah imajinasi literer--yang oleh Teeuw (1980) disebut sebagai cultural revolution.

Pada masa sebelumnya (Poejangga Baroe dan Pra-Pujangga Baroe), karya sastra kita cenderung menampilkan hero dan heroisme dengan berteriak lantang, gegap gempita nyaris tanpa darah dan luka. Puisi-puisi M. Yamin--Bahasa Bangsa--dan Sanusi Pane, misalnya, tampil dengan gagah perkasa dan lantang menyuarakan pemujaan sekaligus kerinduannya terrhadap kebesaran Indonesia masa lalu.

Sajak-sajak Yamin dan Pane sama-sama mengingatkan kita pada konsep kebudayaan kebangsaan yang dianut para pemuda di wilayah pergerakan seperti nasionalisme Jawa versi Soerjo Koesoemo atau nasionalisme Sumatra model Mohamad Amir dan Bahder Johan.

Dalam perkembangan selanjutnya, novel-novel Sutan Takdir Alisyahbana (STA) seperti Layar Terkembang, Kalah dan Menang, serta Grota Azura mencoba membentangkan hero dan heroisme dalam uoaya mensosialisasikan orientasi kebudayaan dan kebangsaan. Justru karena hero dan heroisme tampil kelewat "gagah perkasa" novel-novel STA menjadi kelihatan "musykil" dan ajaib, yang oleh Keitch Foulcher (1991) malahan dikatakan tidak segemilang esai-esainya.

Semangat hero dan heroisme kebangsaan dalam sastra kita mencapai puncaknya di tangan Chairil Anwar yang justru mencampuradukkan hero, heroisme dengan pengorbanan bahkan ketragisan. Puisi-puisi Chairil meski sepentas kilas menggelegar namun menghadirkan antara yang heroik dan yang tragik. Tragik dan heroik saling berpaut, antara maut dan kekalahan senatiasa beriringan dengan sebuah "kebermaknaan": sekali berarti sesudah itu mati!

Pada karya-karya berikutnya tragedi luka-luka kemanusiaan beriringan dengan hero dan heroisme ini semakin tampil mencekam. Luka-luka kemanusiaan yang muncul bersamaan dengan hero dan heroisme itu masuk pada ruang-ruang tragedi pribadi, keluarga dan masyarakat.

Karena itu dalam cerita-cerita Pramoedya dapat kita temukan sebuah kegetiran dan tragedi yang dahsyat ketika seorang bapak harus tega memenggal kepala bapanya yang menjadi mata-mata musuh. Dapat pula ditemukan sorang kakak yang menukar kehormatannya dengan nyawa adiknya yang tertangkap musuh. Pada titik ini pembaca dipaksa untuk menyaksikan tragic of execution, sebuah tragedi yang memperkuat hero dan heroisme, juga sebaliknya hero, heroisme yang memperjelas dan menegaskan ketragikan.

Hero, heroisme, dan ketragisan dalam karya sastra kita juga dihadirkan tidak saja dalam nada getir namun bisa juga sinis, satire bahkan menggelikan. Dalam Corat-coret di Bawah Tanah dan Surabaya, Idrus memandang dari sisi lain peritiwa pertempuran Surabaya. Pertempuran Surabaya yang menggetarkan itu di dalam teks sastra karya Idrus justru ditampilkan dengan parodi.

Para pemuda yang bersenjata dilukiskan sebagai koboi-koboi pemula yang sedang memiliki kegemaran baru bermain-main dengan senjata. Hero dan heroisme tidak lagi diletakkan sebagai sesuatu yang keramat, sakral dan luar biasa namun diletakan pada sebuah situasi kejiwaan yang ganjil yang tumbuh dari situasi chaos yang bisa jadi tidak disadari dan tak dimengerti oleh "sang hero" itu sendiri.

Cerpen-cerpen Idrus ini mengingatkan kita pada naskah Don Quixote de La Mancha karya Carvantes. Melalui tokoh "hero"-nya, Don Quixote (Don Kisot), Carventes menyindir kaum bangsawan dan satriya pada zamannya yang gemar memosisikan diri sebagai hero.

Bagi Carventes (juga Idrus) hero dan heroisme tidak lebih dari khayalan menggelikan dari segelintir orang yang merasa telah berbuat sesuatu yang besar yang sebenarnya hanyalah ilusi belaka dari ketakberdayaan. Heroisme adalah sebuah pelarian dari utopia yang tak kunjung mewujud.

Sudah lama pula, teks-teks sastra dianggap bisa juga mewadahi dan menghadirkan kerinduan akan "hero-hero imajinatif" dari masyarakat akibat krisis hero dalam realitas itu sendiri. Teks sastra dianggap mampu menawarkan suatu gambaran ideal seorang hero yang danggap dapat menawarkan sebuah dunia yang juga ideal justru pada saat realitas sosial masyarakat berada dalam puncak frustrasi.

Contoh semacam ini dapat ditemukan dalam serat Sabda Pranawa dan Kalatida, karya pujangga Jawa terakhir, Ranggawarsita. Kalatida yang berarti zaman edan (disebut juga kalabendu) menggambarkan carut marutnya sosial, budaya dan ekonomi masyarakat akibat krisis pemimpin yang ideal. Penderitaan ini berakhir setelah munculnya pemimpin baru, hero baru bernama Ratu Adil yang membawa masyarakat pada zaman keemasan (kalasabu).

Pada akhirnya, penghadiran hero-heroisme sekaligus tragedi dalam sastra pada hakikatnya ingin menunjukan bahwa realiats sehari-hari gerak-gerik manusia ada batasnya, dalam sastra apa yang terjadi dalam realitas bisa diulang dan diolah kembali dengan berbagai kemungkinan dan penafsiran yang berbeda-beda.

* Tjahjono Widijanto, penulis, penyair, dan esais, tinggal di Ngawi, Jawa Timur.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 25 Januari 2009

Bahasa dan Identitas Tiongkok

-- Endang Nina Sugiarti Psi PhD*

"We Are All Indonesians"

TAHUN baru Tionghoa atau Imlek sebagai bagian dari budaya orang Tionghoa, dirayakan sekitar satu tahun sekali berdasarkan lunar kalender. Tahun 2009 ini jatuh pada tanggal 26 Januari. Mulanya, Tahun Baru Imlek adalah perayaan awal musim semi atau biasa disebut festival musim semi. Pada dasarnya, semangat di balik perayaan tahun baru Imlek adalah ketulusan untuk mengucapkan dan mengharapkan kedamaian, kebahagiaan, dan keberuntungan kepada keluarga dan teman. Jadi, bukan suatu ritual agama tertentu, tetapi sebagai tradisi atau bagian dari kegiatan kebudayaan.

Sejak Tahun Baru Imlek diizinkan untuk dirayakan di Indonesia dan penggunaan serta penulisan karakter atau huruf Tionghoa diperbolehkan untuk dipakai lagi, orang Tionghoa merasa menemukan identitasnya kembali. Terutama, setelah Imlek dijadikan hari libur nasional, warga etnis Tionghoa merasa eksistensinya diakui pemerintah dan masyarakat.

Identitas seseorang merupakan bagian dari budaya suatu suku bangsa ataupun ras tertentu tidak dapat disamakan dengan kewarganegaraan. Seseorang dapat memiliki identitas sebagai orang Tionghoa dengan kewarganegaraan Indonesia, Amerika, atau negara lainnya. Meskipun tidak dapat disangkal bahwa hidup di suatu masyarakat akan banyak dipengaruhi oleh kebiasaan atau budaya setempat tetapi identitas seseorang biasanya akan banyak dipengaruhi oleh kebiasaan nenek moyangnya yang diajarkan dan dipraktikkan turun-temurun dalam keluarga. Oleh karenanya budaya dan identitas akan sulit untuk dihapuskan atau diubah dari kehidupan seseorang.

Etnis Tionghoa di Indonesia tidak sepatutnya dikatakan tidak kuat, rasa kebangsaannya hanya karena mereka berbicara dan menulis dalam bahasa Tiongkok dan merayakan Tahun Baru Imlek.

Bahasa seseorang yang berbeda seperti bahasa Mandarin ataupun bahasa daerah tidak perlu dikhawatirkan akan memecah persatuan bangsa. Presiden Soekarno pernah menyatakan bahwa bangsa Indonesia terbentuk bukan hanya berdasarkan karena rakyat Indonesia mempunyai satu bahasa yang sama (the same mother tongue), atau terdiri dari satu suku bangsa/etnis grup, satu budaya, maupun satu agama. Terbentuknya bangsa Indonesia adalah dikarenakan kebersamaan rakyat dalam mengarungi penderitaan untuk mencapai kemerdekaan. Berangkat dari penderitaan dan nasib yang dilalui bersama inilah lahir keinginan dan kemauan untuk bersatu.

Inilah yang menjadi fondasi atau landasan persatuan bangsa Indonesia. Dalam hal ini, mantan Presiden Abdurrahman Wahid pun menyadari bahwa dengan mengizinkan kembali penggunaan bahasa Mandarin tidak akan mengancam persatuan nasional.

Pada tulisan ini memakai istilah Tionghoa, bukan China, untuk merajuk pada keturunan China di Indonesia. Sebagian orang beranggapan sebutan China berbau rasis meskipun secara harafiah kedua kata tersebut mempunyai arti yang sama. Hal ini seperti yang terjadi pada African-Americans yang mana mereka menyebut dirinya Black dan bukan Negro atau Niger. Kata Negro maupun Black artinya sama, hitam. Negro mengingatkan mereka akan sejarah perbudakan yang dialami oleh nenek moyang mereka dari orang kulit putih, dan dianggap merendahkan ras mereka.

Peraturan pengharusan penggantian nama, pelarangan untuk berbicara dan menulis huruf mandarin, dan pelarangan perayaan tahun baru Imlek sebagai bagian dari budaya Tionghoa merupakan suatu bentuk penjajahan budaya. Hal ini membuat orang Tionghoa merasa mereka tidak dihargai sebagai sesama manusia dan merasa mereka tidak punya identitas pribadi dan identitas sosial sebagai bagian dari kehidupan sosial budaya mereka.

Seperti yang dikatakan Freire dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed, peristiwa semacam ini akan membuat orang mengalami rasa rendah diri (intrinsic inferiority). Perasaan rendah diri ini terutama pada anak dan remaja akan mengakibatkan rendahnya harga diri (self-esteem) seseorang. Rendahnya harga diri seseorang lebih lanjut dapat berdampak negatif. Gangguan psikologis seperti menjadi pecandu, rentan terhadap tekanan teman sebayanya, depresi, gangguan makan, selalu mencari perhatian, bahkan sampai bunuh diri, merupakan beberapa di antaranya.

Sementara itu, Profesor Kajian budaya Asia dari Singapura Management University, Hoon Chang Yau, menyatakan bahwa Tionghoa Indonesia tidak punya dasar yang kuat untuk disebut atau menyebut dirinya sebagai orang Tiongkok karena mereka tidak memiliki atau memenuhi persyaratan kriteria dasar sebagai orang Tiongkok.

Menurut Hoon Chang Yau, kriteria dasar itu di antaranya adalah dapat berbahasa Mandarin dan tahu tentang tradisi Imlek, yang mana keduanya tidak dikuasai oleh orang Tionghoa Indonesia. Jadi, dapat dikatakan bahwa bahasa merupakan bagian penting dalam identitas seseorang karena merupakan bagian dari sejarah hidupnya.

Bahasa yang dipakai seseorang merupakan perkembangan dari hubungan orang tersebut dengan keluarga dan komunitasnya serta memegang peranan yang penting dalam pembentukan identitas sese- orang. Menolak bahasa seseorang dapat dikatakan sama dengan menolak orang tersebut beserta keluarga dan komunitasnya serta warisan budayanya.

Sebagai contoh African-Americans pada umumnya masih berbicara dengan dialek mereka yang khas (ebonics). Tentu saja dengan perkecualian bahwa African Americans yang berasal dari keluarga ber- pendidikan tinggi seperti Barack Obama, berbicara menggunakan bahasa Inggris yang baku. Dalam buku The Skin That We Speak disebutkan bagaimana salah satu penulisnya bergumul dengan identitasnya yang beragam (multiple identity) karena diharuskan memakai bahasa Inggris yang baku di sekolah yang berbeda dengan yang dipakainya di rumah ebonics.

Di sini, bukannya penulis tidak setuju dengan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar di seluruh sekolah di Indonesia, tetapi hanya ingin menunjukkan bahwa bahasa merupakan bagian penting dari pencarian identitas seseorang. Penggunaan bahasa Indonesia di seluruh sekolah di Indonesia akan sangat membantu bangsa Indonesia untuk mampu berkomunikasi satu dengan yang lain di mana pun mereka berada meskipun berasal dari daerah yang berbeda, suku bangsa yang berbeda, dan dengan bahasa lokal (tribe language) yang berbeda pula. Meskipun demikian, alangkah baiknya bila bahasa lokal/daerah/suku bangsa dilestarikan karena merupakan bagian dari budaya penduduk setempat.

Dapat disimpulkan bahwa Tahun Baru Imlek, bahasa Mandarin, dan nama Tionghoa merupakan bagian penting identitas orang Tionghoa di mana pun mereka berada. Orang Tionghoa di Indonesia dapat dikatakan mempunyai identitas sebagai orang Tiongkok yang berkebangsaan Indonesia. Mereka masih terikat dengan budaya Tiongkok yang berasal dari nenek moyang mereka yang diturunkan dari generasi ke generasi sebagai identitas mereka, namun mereka juga mempunyai ikatan yang kuat dan mengidentifikasikan dirinya dengan tempat/negara di mana mereka tinggal yaitu Indonesia. Akhirnya, We are all Indonesians dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, meskipun berbeda- beda tetapi tetap satu.

* Endang Nina Sugiarti Psi PhD, staf pengajar Fakultas Psikologi Ukrida

Sumber: Suara Pembaruan, Sabtu, 24 Januari 2009

Kompi: Mengusung Kebudayaan di Syair dan Nada

Jakarta - Grup musikalisasi puisi, antara lain, Sapta, Kopong, Denting, The North, Poci, Kapas, Unas, yang mengusung keberagaman syair dan tema kearifan tradisi dalam paduan instrumennya akan tampil di Planet Senen, Jakarta.

Grup-grup musikalisasi puisi ini akan menggelar karyanya di Plasa Depan Gelanggang Remaja Jakarta Pusat Jl Stasiun No 1 Senen Jakarta Pusat, Senin (26/1).

Acara yang diselenggarakan oleh Komunitas Musikalisasi Puisi Indonesia (Kompi) dan Komunitas Poros Senen (KoPS) itu hendak mengusung kondisi kekinian negeri ini dengan mengangkat wacana “Mengemas Plural” dengan memunculkan gagasan dan citra identitas budaya bangsa dalam silaturahmi musikal.

Koordinator Program acara ini, Irman Syah, mengatakan bahwa titik beratnya adalah persoalan kekinian dan silang-sengkarutnya kehidupan manusia yang begitu jamak di Jakarta.

“Mulai dari orang yang datang, urban tak terbatas lagi dari Indonesia. Banyak orang bule dari negara asing ternyata sudah lama tinggal di sini, Jakarta sudah plural,” paparnya kepada SH di Jakarta, Rabu (21/1).

Ruang Cipta

Sebagai sebuah komunitas yang berbicara lewat karya puisi dan menggunakan pluralitas bunyi yang dikomposisi, KoPS dan Kompi Jakarta memunculkan pertunjukan musikalisasi puisi agar menjadi ruang cipta.

“Melalui karya penyair terpilih yang digarap secara puitis dengan komposisi musikal yang harmoni, acara ini berusaha memunculkan jati diri bangsa yang merdeka serta berkepribadian dalam kebudayaan,” tambahnya.

Namun, di luar nama itu, panitia masih akan mengumpulkan lagi grup-grup di Jakarta yang dapat diikutsertakan. “Yang kami hadirkan betul-betul musikalisasi puisi yang sudah intens, bukan yang hanya lahir dari festival. Mereka yang sudah lama menjalaninya, bahkan sempat bekerja di profesi lain namun tetap setia pada kerja musikalisasi puisi,” ujar Irman.

Musikalisasi puisi Indonesia bukan barang baru karena berkaitan dengan tradisi sastra lisan. Mulai dari makyong, tekyan, andung Batak, andong Aceh, sebuku Gayo, tiap daerah punya ciri musikalisasi syair. (sihar ramses simatupang)

Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 24 Januari 2009

Mereka Bilang Saya Monyet

-- Sunaryono Basuki Ks*

PADA dekade ini setidaknya ada tiga buah buku sastra memakai judul primata yang mirip kita itu. Maklumlah masih satu keluarga hominoid. Buku-buku itu adalah "Mereka Bilang, Saya Monyet" karya pengarang Djenar Maesa Ayu, yang mengalami cetak ulang berkali-kali, "Kera di Kepala" karya sastrawan eksil yang gaek, Soeprijadi Tomodihardjo, serta "Sepasang Kera yang Berjalan dari Pura ke Pura" karya saya.

Pada Senin hampir tengah malam 8 September lalu, dalam mobil yang membawa kami dari Duren Sawit pulang ke Permata Pamulang saya bercerita tentang buku saya yang tidak laku itu. Tak terduga, Antariksawan Jusuf bekas mahasiswa saya yang mengemudi mobil dinasnya nyeletuk: "Judul itu salah!" "Lho, kok?"

"Kera tidak berekor, sedangkan yang berekor namanya monyet. Kera besar atau apes itu banyak macamnya. Ada 8 genus hominoid yang belum punah seperti manusia, simpanse, gorilla, orangutan, Lar Gibon dan Siamang. Ada juga Bonobo."

Saya tidak bisa membayangkan semua itu dan penasaran untuk tahu, tetapi saya tak mungkin segera bertanya pada internet gara-gara saya tak punya HP yang memadai untuk keperluan itu. Jadi saya harus menuggu sampai pulang ke Singaraja. Esok paginya saya menumpang mobil Antariksawan yang beranagkat ke kantornya di sebuah stasiun TV swasta di Kawasan Pulogadung ke rumah keluarga saya di Cempaka Putih, lalu sorenya terbang ke Denpasar dan baru jam satu pagi sampai di Singaraja. Kecapekan, makan sahur pun ogah-ogahan.

Saya menyesali kebodohan saya memilih judul cerpen yang kebetulan menjadi Cerpen Pilihan Kompas tahun 2005 dan menjadi judul kumpulan 20 cerpen saya yang akhirnya tak laku serta diobral oleh Penerbit Buku Kompas. Tetapi tidak lakunya buku itu saya kira tak berhubungan dengan kesalahan yang saya lakukan.

Cerpen itu sendiri berdasarkan sebuah kisah nyata tentang berjalan kakinya sepasang monyet dari Pura Pulaki di sebelah Barat Singaraja sampai ke Pula Ponjok Batu di timur kota Singaraja.. Sekiat 80 km terbentang jarak keduanya. Orang-orang yang menyaksikan monyet itu singgah di tempat sembahyang di Kampus IKIP Negeri Singaraja ( sekarang Undiksha) di Jalan A Yani menyebut monyet tersebut sebagai bojog dalam bahasa Bali, dan tanpa berpikir panjang saya menyebutnya sebagai "kera" padahal seharusnya "monyet".

Monyet yang saya saksikan itu berekor panjang sehingga layak disebut monyet. Menurut Hardiman yang pelukis dan kurator, teman saya dosen senirupa di kampus, Polenk Rediasa yang mendapat tugas dari Penerbit Buku Kompas untuk melukis sampul depan buku itu sempat bingung. Jalan keluarnya, Polenk Rediasa memakai simpanse sebagai modelnya, dan jadilah sampul buku yang cantik, sampul buku saya yang paling disukai oleh istri saya di antara banyak sampul buku ( lima diantaranya dikerjakan oleh Hardiman). Itulah kesalahan yang kedua.

Hanya Djenar Maesa Ayu yang benar menyebut primata ini monyet, sedangkan Soeprijadi Tomodihardjo yang jauh lebih tua dari saya ikut-ikutan salah, sebab pada sampul bukunya tergambar primata berekor, yang seharusnya monyet bukan kera. Hardiman di Singaraja bercerita tentang pengalamannya melakukan Praktek Pengalaman Lapangan di sekolah saat menjadi mahasiswa IKIP Bandung. Dia mengajar menggambar dengan terlebih dahulu bercerita tentang seekor monyet yang memanjat pohon. Lantaran kreatifitasnya tinggi ( tetapi pengetahuannya tentang monyet rendah), diapun mengubah cerita itu menjadi seekor kera yang memanjat pohon. Tentu saja Popo Iskandar, dosennya yang juga pelukis terkemuka Indonesia menegurnya di akhir pertemuan. Saya sendiri sama bodohnya dengan Hardiman dan mengira bahwa beruk adalah padanan kata kera atau monyet. Saya kira beruk hanya dipakai di masa lalu, saat saya membaca cerita tentang binatang yang dapat disuruh memetik kelapa itu. Saya kira sekarang namanya ya kera atau monyet.

Film Planet of Apes yang pernah sukses tahun 70an dengan produk ikutannya itu harus diterjemahkan sebagai Planet Para Kera. Lantaran kera dan manusia sekeluarga maka mudah sekali dalam film itu memakai manusia sebagai pelakon para apes itu, tinggal mendadani bentuk kepala dan wajahnya, selebihnya adalah manusia berbulu lebat. Film yang mendasari kisahnya pada teori relativitas Einstein itu pernah memukau jutaan penonton. Kisah perjalanan para astronot yang dilempar ke udara dalam sebuah pesawat ruang angkasa dimana para antarikswan dan antariksawatinya dimasukkan peti untuk menjalani program hibernasi seperti binatang yang tidur selama musim dingin, akhirnya mendarat di sebuah planet yang dihuni oleh kera pandai. Di planet tersebut, sejumlah kecil manusia menjadi budak kera yang bisa bicara, yang menjadi jenderal, tentara dokter, ilmuwan, sedangkan manusia dianggap sebagai mahluk inferior yang harus tunduk pada kera. Di sebuah reruntuhan gedung ditemukan boneka yang masih bisa mengeluarkan suara manusia. Di akhir kisah diketahui bahwa pesawat itu ternyata terdampar di New York saat mereka menemukan reruntuhan Patung Liberty akibat Perang Dunia yang dahsyat, yang terjadi setelah para asronaut tersebut mengangkasa. Beda waktu antara waktu di dalam pesawat dan di muka bumi menyebabkan mereka mendarat jauh di masa depan. Rasa sepi dan kehilangan yang mendalam menguncang dada antariksawan yang berhasil selamat dan kutukan pada amanusia yang gemar perang dilontarkan.

Dalam sebuah buku Relativity for the Layman yang terbit pada akhir tahun lima puluhan dijelaskan secara sederhana bahwa menurut Einstein, bilamana manusia bisa membuat pesawat ruang angkasa yang dapat melesat dengan kecepatan cahaya, maka pesawat itu akan terbang lurus ke atas dan akhirnya kembali ke tempat asalnya. Persis seperti kalau kita terbang terus ke barat meninggalkan Jakarta, akhirnya akan muncul dari arah timur menuju Jakarta. Entah kapan manusia bisa membuat pesawat tangguh tersebut, yang dapat melesat dengan kecpatan sekitar 170.000 km per detik. Entah bahan apa yang dipakai untuk membuat pesawat tersebut.

Ada satu contoh kocak dalam buku itu. Katanya, kalau manusia mampu membuat teropong bintang yang sangat kuat, maka saat mengintip di teropong itu dia akan melihat pantatnya sendiri. Sampai hari ini setahu saya teori Einstein belum dapat dibuktikan secara empiris.

Menurut Wikipedia bahasa Indonesia kera adalah anggauta superfamilia Hominoidea yang punya dua famili, yakni Hylobagtidae yang terdiri dari 4 genus dan 12 spesies, sedangkan familia Hominidae terdiri dari orangutan, gorilla, simpanse, dan manusia. Saat ini, katanya ada 8 genus hominoid yang belum punah.

Soal kera, monyet, orang utan, beruk , gorila dan siamang, ternyata penjelasan KBBI tidaklah memuaskan, dan disana-sini juga teledor. Kita baca penjelasan mengenai gorilla: orang hutan, mawas. Lema mawas dijelaskan sebagai kera besar, orang hutan. Sementara dalam lema orang mucul orang-utan yang adalah sejenis kera dan orang hutan, yakni orang yang tinggal di hutan. Tentunya gorilla dan mawas bukanlah orang hutan.

Mungkin Djenar benar, mereka bilang saya monyet. Saya ini, yang punya kepala kecil dan ekor (yang tak tumbuh) benar-benar bodoh kayak monyet.***

* Sunaryono Basuki Ks, sastrawan, tinggal di Singaraja

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 24 Januari 2009

Tionghoa dalam Sejarah Indonesia

[JAKARTA] Cerita sejarah perjuangan bangsa Indonesia ternyata tidak bisa dipisahkan dari masyarakat Tionghoa. Harus diakui, etnis Tionghoa memiliki peran besar dalam kemerdekaan Indonesia. Bahkan, pada masa penjajahan dulu, bangsa Indonesia memiliki pahlawan yang berasal dari negara tirai bambu, yakni Tan Pan Ciang dan Oey Ing Kiat.

Pementasan drama musikal garapan Remy Sylado bertajuk "Tan Uy Ji Sian Seng" ("Tuan Terhormat dari Marga Tan dan Uy") di Jakarta, Kamis (22/1). (Abimanyu)

Sosok pahlawan asal Tionghoa tersebut dikenal sebagai pemimpin Perang Kuning. Perang melawan penjajahan Belanda dimaksud berlangsung di Semarang pada 1742. Pada masa itu, masyarakat Tionghoa dan bangsa Indonesia bersatu mengusir Belanda dari Tanah Air.

Kisah dua pahlawan Tionghoa itu menjadi perhatian khusus bagi sastrawan Indonesia Remy Sylado. Pria yang kini genap berusia 60 tahun ini mengaku bangga dengan keberanian dan perjuangan dua pahlawan Tionghoa tersebut. Bukti kebanggaan tersebut dituangkan Remy dalam sebuah pementasan drama musikal berjudul Tan Uy Ji Sian Seng (Tuan Terhormat dari Marga Tan dan Uy), yang berlangsung di Mal Ciputra Jakarta, Kamis (22/1).

Pementasan drama musikal Tan Uy Ji Sian Seng, ini sekaligus menjadi rangkaian spesial Mal Ciputra menyambut datangnya Tahun Baru Imlek 2560. Selain drama musikal, Mal Ciputra juga menghadirkan pohon kebaikan dan harapan untuk pengunjung yang datang ke mal.

Drama musikal Tan Uy Ji Sian Seng mengisahkan tentang dua pahlawan Tionghoa yang berusaha membebaskan Indonesia dari tangan penjajah Belanda. Dua pahlawan Tionghoa, yakni Tan Pan Ciang dan Uy Ing Kiat membentuk bala tentara di Lasem untuk menyerang Belanda. Mereka juga telah mendapat restu dari Sri Susuhunan Pakubuwono II untuk menyerang Belanda di Semarang.

Sayang, niat baik dua pahlawan Tionghoa tersebut justru dikhianati Pakubuwuno II. Dengan dalih ingin menyelamatkan Semarang, Pakubuwono II membocorkan rencana penyerangan bala tentara Tan Pan Ciang dan Uy Ing Kiat. Walhasil, kedua pahlawan Tionghoa ini tewas dalam peperangan.

Kisah dua pahlawan Tionghoa itu, menurut Remy, seharusnya menjadi cermin untuk bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia tidak boleh menganggap masyarakat keturunan Tionghoa sebagai warga kelas dua. Sebab, ternyata masyarakat keturunan Tionghoa memiliki andil dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. [EAS/N-5]

Sumber: Suara Pembaruan, Sabtu, 24 Januari 2009

Friday, January 23, 2009

"Bacalah!" dan Kita Lupa

-- Ahmad Tohari*

LEBIH setengah abad yang lalu ada buku ajar untuk pelajaran bahasa Indonesia berjudul Gemar Membaca. Sesuai dengan judulnya, isi buku itu tentu diajarkan untuk meletakkan dasar sifat gemar membaca di kalangan anak-anak. Buku tersebut juga memberi tuntunan dasar-dasar ketrampilan menulis karangan.

Sekarang buku Gemar Membaca sudah tidak terbit lagi. Namun, bukan hal itu yang akan dibicarakan melainkan hasilnya yang jejaknya hanya samar. Setelah lebih setengah abad diajak membangun watak gemar membaca dan menulis masyarakat kita seakan belum juga tergugah. Menurut data yang terbaca, beberapa tahun lalu penduduk Indonesia yang suka membaca tidak sampai 10 persen. Angka ini akan lebih mengecil lagi bila dimaksudkan untuk menyatakan jumlah penduduk Indonesia yang biasa menulis.

Mengapa sampai terjadi kondisi seburuk ini - anehnya - kita bisa dengan fasih menjawabnya. Kita juga tahu dan menyadari akibat buruk kondisi ini, keterbelakangan di segala bidang baik yang bersifat lahir maupun batin. Peningkatan kualitas sumber daya manusia yang utamanya terjadi melalui kegiatan baca-tulis telah sekian lama terabaikan. Inilah penyebab utama keterbelakangan kita di semua bidang kehidupan.

Mengapa kita jadi bangsa yang malas membaca (apalagi menulis) jawabnya pun sudah kita hafal. Mulailah dari faktor sejarah, sejak zaman kerajaan dan kemudian disambung dengan masa penjajahan kegiatan baca tulis seperti hanya menjadi hak lapisan atas. Mayoritas penduduk yang mereka sebut wong cilik (sebutan yang sebenarnya amat menghina) hanya punya peluang sangat kecil untuk memasuki dunia keaksaraan. Tatanan feodal ini demikian mapan sehingga untuk waktu yang lama masyarakat wong cilik merasa tidak sepantasnya memasuki dunia baca tulis.

Mungkin situasi demikian akan berumur lebih panjang apabila tidak terjadi perubahan kebijakan dengan hadirnya politik balas budi di negeri Belanda. Sejak saat itu, meskipun dalam jumlah yang sangat terbatas, anak-anak Indonesia bisa mengenyam pendidikan di sekolah dan mulai mengenal baca tulis.

**

KITA juga sudah tahu tradisi tutur yang sudah berlangsung berabad-abad kini masih membelenggu masyarakat kita. Tradisi itu juga menjadi salah satu sebab mengapa kita belum juga gemar membaca dan menulis. Dalam tradisi ini peran tulisan dianggap kurang penting. Maka transfer pengetahuan, dongeng, atau ajaran dilakukan melalui tuturan yang berlangsung turun-temurun. Tentu, dalam tradisi tutur ini pengembangan wacana dan pengetahuan jadi sangat terbatas atau malah stagnan karena aspek-aspek eksploratif minim adanya.

Sesungguhnya tradisi tutur bukan hal yang buruk. Banyak nilai-nilai kearifan bisa diturunkan dan dilestarikan melalui tradisi ini. Namun, harus diakui pula adanya ekses tertekannya usaha pengembangan kebiasaan baca-tulis di masyarakat kita. Hal ini tentu sangat merugikan dan akan menimbulkan berbagai kesulitan yang berkepanjangan. Suatu contoh kecil, betapa sering kita mendengar orang sulit menentukan hari jadi sebuah provinsi, kabupaten, atau kota karena tak ada catatan resmi mengenai hal itu. Bahkan pernah terdengar ketidakjelasan keberadaan teks prokramasi dan supersemar; ini pun membuktikan kita memang bukan masyarakat yang menghargai baca-tulis dengan segala hal yang menyertainya.

Sebenarnya kondisi yang tidak menguntungkan ini sudah lama disadari pemerintah. Tindakan-tindakan nyata untuk mendongkrak minat baca tulis pun sudah dilakukan dengan pelaksanaan pendidikan di bidang tersebut dari dari tingkat SD sampai perguruan tinggi. Di luar itu masih ada projek-projek inpres untuk pengadaan buku dan perpustakaan serta program pemberantasan buta huruf yang berskala nasional. Tapi mengapa perubahan yang diharapkan amat lambat datang? Jawabnya, karena semua itu dilakukan dengan setengah hati, tanpa dedikasi, bernuansa projek yang sarat korupsi.

Sementara itu, dampak negatif "penyakit" kurang baca tulis kian hari kian menampakkan keburukannya. Selain menjadi sebab kualitas SDM Indonesia rata-rata rendah, ada hal khusus yang patut diperhatikan. Hal tersebut adalah kurang terserapnya nilai-nilai keadaban yang lazimnya terkandung dalam berbagai jenis buku bacaan. Jadi penyakit kurang baca tulis tidak hanya menyebabkan orang kurang cerdas secara intelektual tapi juga secara spiritual, karena tidak ada internalisasi nilai-nilai ke dalam diri rata-rata manusia Indonesia.

Nilai-nilai keadaban itulah yang seharusnya membangun pribadi dan menjadi moral setiap warga masyarakat, lebih lagi mereka yang menjadi pemimpin di semua bidang dan tingkatan. Para pendiri negeri ini rata-rata memiliki moral pejuang yang saleh, jujur dan penuh tanggung jawab. Dan semuanya - sedikit di antaranya Bung Karno, Bung Hatta, K.H. Wahid Hasyim, Wilopo, Ki Hajar Dewantara - adalah orang-orang yang kenyang membaca dan menulis. Dari kegemaran itulah mereka menjaring dan mengumpulkan nilai-nilai keadaban untuk membangun kepribadian sehingga mereka jadi pemimin negarawan dengan dedikasi tinggi.

**

KETIDAKSALEHAN yang telah mewarnai banyak sisi kehidupan dan telah membuat kita sekian lama tertinggal dan terpuruk tentu tidak akan dibiarkan bila kita masih ingin menjadi bagian dunia beradab. Penyakit kurang baca tulis harus disembuhkan dengan tindakan nyata dan ikhlas.

Rumah Puisi yang dibangun oleh penyair Taufiq Ismail mestilah berangkat dari kesadaran itu. Di Nagari Aie Angek, Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat, di antara Gunung Merapi dan Singgalang, di sanalah Rumah Puisi berdiri. Di dalamnya ada perpustakaan umum dengan modal awal 6.000 judul buku. Akan difasilitasi kegiatan pelatihan bagi guru bahasa dan sastra Indonesia, pelatihan menulis karangan, kegiatan apresiasi sastra, interaksi antarsastrawan, dan sebagainya.

Untuk ukuran Indonesia yang begitu besar dalam hal wilayah dan jumlah penduduk, Rumah Puisi amat kecil dari segi fisik bangunan dan kegiatan. Namun, dari segi makna dan cita-cita dia sungguh besar. Diharapkan Rumah Puisi menjadi antivirus yang akan menyebar ke seluruh Indonesia untuk mengobati penyakit kurang baca tulis. Karena hanya dengan hilangnya penyakit itu bangsa ini bisa bangkit dan mengejar ketertinggalan.

Sesungguhnya, Taufiq Ismail bukan pribadi yang teramat istimewa. Dia hanya seorang penyair dan pemikir. Tapi dia peduli atas akibat penyakit kurang baca tulis yang melanda bangsanya. Kemudian dia bertindak dengan sesuatu yang nyata. Oleh karena itu, bila banyak lagi orang yang peduli, apalagi bila kepedulian itu berkembang menjadi kesadaran umum, rumah-rumah puisi akan bermunculan di seluruh tanah air. Penyakit kurang baca tulis dengan segala akibat buruknya akan terkikis habis.

Atau bila penduduk Indonesia yang mayoritas Islam ini mau bangun dari kealpaan, mereka tentu sadar bahwa membaca adalah perintah Allah yang pertama kepada manusia. Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Ini adalah ayat perintah membaca yang amat gamblang. Ayat ini tersambung dengan: Allah mengajarkan (ilmu) kepada manusia dengan pena. Pena siapa? Tentu bukan pena surgawi yang menjulur dari langit. Itu adalah pena profan, pena para manusia yang mendapat anugerah ilmu dari Allah SWT. Melalui pena para alim itulah Allah mengajari manusia. Maka lengkap sudah, perintah membaca berada dalam satu paket wahyu dengan perintah menulis. Ternyata, kebanyakan kita alpa mengamalkannya.

Di pintu utama Rumah Puisi ayat ini terpampang jelas. Memang, bila direnungkan apakah ada perbedaan derajat urgensi antara perintah membaca dan menulis dengan dirikanlah salat dan bayarkan zakat di awal surat Al Baqarah? Rasanya tidak ada. Malah kenyataan bahwa perintah membaca dan menulis datang lebih dulu daripada perintah salat, amat patut menjadi bahan permenungan. Apalagi fakta sudah jelas terpampang; negara yang mayoritas penduduknya Muslim ini sudah lama tertinggal di segala bidang.

Kita tidak usah ragu menjawab, utamanya karena kita alpa menjalankan perintah membaca dan menulis. Padahal itu perintah pertama yang termuat dalam Alquran.***

* Ahmad Tohari, novelis

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 24 Januari 2009

Rumah Puisi, Rumah di Telapak Dua Gunung

-- Ahda Imran

SELEPAS Kota Padangpanjang, di Kanagarian Ai Angek Kabupaten Tanah Datar Sumatra Barat, terdapatlah setumpak tanah di atas ketinggian yang terletak di pertemuan telapak Gunung Singgalang dan Gunung Merapi. Di situlah letaknya Rumah Puisi. Menyendiri dikelilingi areal kebun, persawahan, dan sebuah jalan kecil menurun berbatu menuju jalan besar yang menikung. Yang disebut Rumah Puisi itu adalah sebuah bangunan yang terbilang megah dan nyaman. Nyaris seluruh bagian depan dan sampingnya berdinding kaca sehingga apa yang terdapat di dalam gedung itu, yakni ruang diskusi dan perpustakaan, dan semua kegiatannya bisa tampak dari luar.

Beberapa meter dari Rumah Puisi terdapat sebuah rumah dengan dua kamar yang nyaman. Rumah itu diperuntukkan bagi sastrawan tamu (writer residence) yang merupakan salah satu program dari Rumah Puisi. Selama satu bulan, sastrawan dipersilakan tinggal di situ untuk berkarya, seperti novelis Ahmad Tohari dan penyair D. Zawawi Imron yang telah berada sebulan di situ sebagai sastrawan tamu. Tak jauh dari rumah sastrawan juga terdapat sebuah musala yang sejuk dengan bagian dinding yang ditempeli baliho besar puisi Taufiq Ismail, "Ada Sajadah Panjang". Sementara di dinding samping rumah sastrawan juga menempel baliho lainnya, masih dengan puisi Taufiq Ismail, "Dua Gunung Kepadaku Bicara".

Inilah Rumah Puisi yang memang dibangun penyair Dr. (HC) Taufiq Ismail. Sebuah tempat yang bermula muncul dari niatan Taufiq Ismail yang mungkin agak terasa subjektif, yakni untuk menyimpan koleksi buku-bukunya yang berjumlah 6.000 judul agar masyarakat bisa memanfaatkannya sebagai wujud rasa tanggung jawab pada kemajuan kampung halamannya. Terutama bagi anak-anak muda di daerah-daerah di Sumatra Barat yang aksesnya pada buku tidaklah semudah mereka yang ada di kota-kora besar di Pulau Jawa.

Akan tetapi, niatan penyair yang selama sepuluh tahun (1998-2008) begitu militan mengakrabkan karya sastra pada guru dan siswa di seluruh Indonesia sejak 1998 itu, kemudian berkembang lebih dari sekadar menjadikan tempat tersebut sebagai perpustakaan, bentuk sumbangsihnya pada kampung halaman. Apalagi, sekaligus demi romantisme menghabiskan hari-hari di masa tua seperti halnya Ajip Rosidi yang membuat rumah peristirahatan dan gedung perpustakaan di Pabelan Magelang, Jawa Tengah.

"Apakah ini bentuknya seperti perpustakaan tempat buku disimpan begitu saja? Itu memang bermanfaat, tetapi boleh dikatakan peminat datang pergi, meminjam mengembalikan. Nah, ketika itu kami di majalah sastra Horison sedang melakukan kegiatan besar dalam memperkenalkan karya sastra pada guru dan siswa. Jadi tempat ini akan menjadi tempat kegiatan pelatihan guru-guru dan siswa, penggunaan akses buku di perpustakaan yang nanti akan terbentuklah apresiasi sastra," tutur Taufiq Ismail menjelaskan dalam percakapan kami malam itu (9/1) di Rumah Puisi.

Rumah Puisi yang terbilang megah ini, termasuk untuk ukuran sebuah galeri seni rupa di Jakarta atau Bandung sekalipun, mulai dibangun 20 Februari 2008. Dan hingga Desember 2008 bisa dikatakan seluruh bagian kompleks Rumah Puisi ini telah rampung, kecuali palanta (pendopo) yang rencananya akan berada di antara musala dan rumah sastrawan. Selain menghadirkan dua sastrawan tamu, selama Desember 2008 kemarin, Rumah Puisi telah memulai programnya dengan pelatihan guru bahasa dan sastra Indonesia yang datang dari sejumlah kabupaten/kota di Sumatra Barat, juga pertemuan Sanggar Sastra Siswa Indonesia (SSSI) se-Sumatra Barat, dan silaturahmi dengan sastrawan se-Sumatra Barat.

Dari seluruh sasaran yang diandaikan, terkesan Rumah Puisi lebih berkonsentrasi pada guru-guru dan siswa. Dengan kata lain, Rumah Puisi tetaplah menjadi bagian yang tak bisa disendirikan dari militansi Taufiq Ismail, bersama sejumlah sastrawan di majalah Horison yang dikomandoinya untuk meningkatkan minat baca guru-guru dan siswa pada karya sastra.

Bentuk militansi ini, misalnya, bisa dilihat dengan angka bagaimana selama sepuluh tahun Taufiq Ismail dan tim redaktur majalah Horison telah menggulirkan sepuluh program gerakan membawa sastra ke 213 SMA di 164 kota di 31 provinsi; membawa 113 sastrawan dan 11 aktor untuk membaca karya sastra dan berdiskusi dengan siswa dan guru; melatih 2.000 guru dalam program membaca, menulis, dan apresiasi sastra (MMAS); selama 11 tahun menyalurkan karya siswa dan guru dalam sisipan Kakilangit Majalah Horison; menerbitkan 8 antologi puisi, cerpen, fragmen, novel, serta, serta esai yang dikirimkan ke 4.500 perpustakaan SMA; membentuk 30 sanggar sastra siswa di seluruh Indonesia.

**

MENATAP Rumah Puisi di antara dua telapak gunung yang menjulang megah dan panorama alam Minangkabau yang elok itu, adalah menatap sebuah kerja besar dalam manajemen pengelolaannya ke depan sehingga tempat itu kelak tidak hanya akan menyerupai "kastil" yang terasing dari perkembangan sastra Indonesia. Dari mulai manajemen program, mengelola jaringan, hingga, ini yang penting, pembiayaan operasionalnya. Tentu saja seluruhnya ini telah dipikirkan jauh-jauh oleh Taufiq Ismail.

Taufiq Ismail menjelaskan bagaimana pembangunan Rumah Puisi ini berasal dari kocek pribadinya ketika ia mendapat Hadiah Sastra dari Habibie Centre senilai 25.000 dolar Amerika Serikat (dipotong pajak Rp 200 juta), ditambah bantuan dari anaknya Bram Ismail. Ihwal sumber pendanaan operasional bagi kelangsungan program Rumah Puisi mendatang, ia lebih menekankan pada strategi bagaimana hendaknya lebih dulu Rumah Puisi bisa rampung dan mulai membuat program. Rumah Puisi dan program- program yang telah berjalan itulah yang akan menjadi bekal untuk mencari sumber pendanaan.

"Kami memilih langkah mendirikan dulu Rumah Puisi, setelah itu membuat program dan rencana. Kemudian kita ‘jual’ rencana itu," ujarnya seraya juga membayangkan betapa banyak sandungannya ke arah itu.

Namun yang tak kalah penting bagi Rumah Puisi mendatang tampaknya adalah bagaimana tempat yang "mewah" itu dikelola oleh tim manajemen pengelolaan. Bahkan, kelak inilah tulang punggung yang akan menentukan makna kehadiran Rumah Puisi, baik bagi perkembangan sastra di Sumatra Barat maupun di Indonesia. Tak hanya merancang program dalam konteks apresiasi sastra bagi dunia pendidikan, tetapi juga program bagi perkembangan sastra itu sendiri. Itu hanya bisa dimulai dengan melakukan inventarisasi komunitas-komunitas sastra yang ada di Sumatra Barat sehingga mereka bisa merasa memiliki Rumah Puisi.

Dalam percakapan bersama penyair Gus Tf dan Iyut Fitra di Payakumbuh, keduanya menyambut baik kehadiran Rumah Puisi. Namun keduanya melihat sampai sejauh ini Rumah Puisi belum menyentuh secara keseluruhan komunitas sastra yang ada di Sumatra Barat. " Untuk program ke depan Rumah Puisi harus melakukan inventarisasi komunitas-komunitas sastra di Sumatra Barat ketimbang membuat program sendiri. Jangan sampai sastrawan Sumatra Barat hanya jadi penonton dan tamu. Mereka harus dilibatkan dan menjadi bagian di dalamnya," ujar Iyut Fitra.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 24 Januari 2009

Bandung dan Puisi Indonesia*

-- Soni Farid Maulana**

KEGIATAN sastra yang dilakukan oleh komunitas-komunitas sastra di atas pada dasarnya lebih kepada acara mengundang orang untuk baca puisi, diskusi, dan menerbitkan buku. Sedangkan kegiatan yang membicarakan lahirnya kemungkinan daya estetik baru dalam penulisan karya sastra boleh dibilang tidak tersentuh.

TUMBUH dan berkembangnya gerakan puisi mBeling di Bandung, yang digagas oleh penyair Jeihan Sukmantoro dan Remy Sylado pada awal 1970-an, merupakan reaksi atas digelarnya Perkemahan Kaum Urakan yang diprakarsai penyair sekaligus teaterawan Rendra bersama Bengkel Teater Rendra pada 16 Oktober 1971, di Pantai Parangtritis, Yogyakarta.

Lahirnya gerakan puisi mBeling dalam konteks yang demikian pada satu sisi menunjukkan sebuah semangat pencarian baru dalam bentuk pengucapan puisi, yang pada saat itu bentuk pengucapan puisi liris mulai mendapat tempat yang tak tergoyahkan di majalah sastra Horison, Basis, dan Budaya Jaya.

Tentu saja gerakan yang mengejutkan dari Bandung pada 1970-an, bukan hanya itu. Ada juga gerakan lainnya yang bikin marah penyair Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono. Gerakan tersebut adalah, digelarnya acara Pengadilan Puisi pada 1974, dengan tokohnya antara lain penyair Sutardji Calzoum Bachri, Slamet Sukirnanto, dan Darmanto Jatman.

Adapun yang menyebabkan Goenawan dan Sapardi marah antara lain atas kritik penyair Slamet Sukirnanto terhadap majalah sastra Horison, dengan tuduhan bahwa majalah sastra Horison mengembangbiakkan puisi lirik secara berlebihan sehingga tidak memberi tempat bagi munculnya kemungkinan-kemungkinan baru dalam pengucapan puisi Indonesia modern.

Puisi lirik yang dimaksud Slamet Sukirnanto dalam tulisannya itu adalah puisi yang dikembangkan penyair Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono, yang hingga kini tumbuh dengan amat suburnya. Cabang dari gaya penulisan lirik ini, antara lain saat ini bisa kita lihat pada puisi Acep Zamzam Noor, murid terkasih penyair Saini K.M. dari pondok pesantren Pertemuan Kecil.

Penulisan puisi yang dikembangkan Sutardji Calzoum Bachri dan Darmanto Jatman pada saat itu, boleh dibilang merupakan warna baru juga. Sutardji lebih mengoptimalkan kata beda, keterangan, dan kata sifat dalam puisi-puisinya yang mengangkat mantra sebagai roh bagi daya ekspresinya, yang kemudian dikukuhkannya lewat credo puisi yang ditulisnya. Sedangkan Damanto Jatman mencoba lain, yakni memasukkan kosakata bahasa Jawa dan bahasa asing dalam puisi-puisinya yang semi naratif, yang pada awal-awal perkembangannya ditolak publikasinya oleh majalah sastra Horison.

Lantas bagaimana perkembangan dan pertumbuhan puisi di Bandung sebelum 1970-an? Nyaris sezaman dengan penyair Chairil Anwar di Bandung saat itu ada penyair Rustandi Kartakusumah, setelah itu sezaman dengan Ajip Rosidi di Bandung ada penyair Toto Sudarto S. Bachtiar, Ramadhan KH dan Dodong Djiwapradja. Sedangkan Saini KM mulai malang melintang pada 1960-an setelah diberi kepercayaan mengelola rubrik puisi di lembaran Kuntum Mekar, yakni lembaran yang terbit setiap Minggu di HU Pikiran Rakyat periode awal.

Sebagaimana dikatakan Saini KM dalam percakapannya dengan penulis, bahwa periode Kuntum Mekar, melahirkan pula sejumlah penyair yang tidak bisa dianggap enteng. Paling tidak hal itu bisa kita lihat jejaknya pada kepenyairan Sanento Juliman dan Yuswaldi Salya. Kuntum Mekar yang tutup pada akhir 1965 itu, untuk sementara waktu menyebabkan dunia tulis-menulis puisi di media massa cetak, khususnya di HU Pikiran Rakyat terhenti.

Baru pada 1976, setelah sekian tahun HU Pikiran Rakyat tumbuh dan berkembang dalam manajemen yang baru, Saini KM kembali mengelola rubrik puisi yang diberi nama Pertemuan Kecil. Dari pondok pesantren Pertemuan Kecil lahirlah sejumlah penyair yang malang melintang. Mereka antara lain, Yessi Anwar, Juniarso Ridwan, Moel Mge, Beni Setia, Giyarno Emha, Acep Zamzam Noor, Agus R. Sardjono, Nirwan Dewanto, Nenden Lilis Aisyah, Beni R. Budiman, Cecep Syamsul Hari hingga Ahda Imran, dan sejumlah nama lainnya.

Lepas dari itu, pada awal 1980-an di Bandung, penyair Diro Aritonang dan Yessi Anwar mendirikan komunitas Kerabat Pengarang Bandung (KPB) yang bermarkas di Gedung Kesenian Rumentang Siang. Komunitas ini selain menyelenggarakan berbagai kegiatan sastra seperti baca puisi dan lomba baca puisi, juga menyelenggarakan diskusi sastra. Pada 1985 Kerabat Pengarang Bandung bermetamorfosis jadi Kelompok Sepuluh yang dikomandani Mohamad Ridlo E’isy. Berbagai kegiatan yang dilakukan oleh komunitas ini nyaris sama. Bedanya, acara-acara diskusi yang digelar tidak hanya melulu karya sastra, tetapi juga membahas masalah politik, hukum, agama, dan masalah-masalah sosial.

Seperti komunitas sebelumnya Kelompok Sepuluh pun hanya seumur jagung. Kegiatan sastra hanya hidup di kampus-kampus dengan berbagai kegiatannya. Pada 1994, saya, Juniarso Ridwan, dan Agus R. Sardjono mendirikan Forum Sastra Bandung. Komunitas ini pun seperti komunitas lainnya perlahan surut, disebabkan aktivisnya mulai sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Seiring dengan itu di kampus-kampus selain ada Group Apresiasi Sastra (GAS) ITB, mulai pula muncul ASAS IKIP (UPI) Bandung dan beberapa komunitas lainnya, baik yang ada di Unpad dan beberapa universitas lainnya.

Kegiatan sastra yang dilakukan oleh komunitas-komunitas sastra di atas pada dasarnya lebih kepada acara mengundang orang untuk baca puisi, diskusi, dan menerbitkan buku. Sedangkan kegiatan yang membicarakan lahirnya kemungkinan daya estetik baru dalam penulisan karya sastra boleh dibilang tidak tersentuh. Hal ini saya sadari kemudian. Paling tidak, pada titik ini boleh dikatakan bahwa memikirkan gaya ucap baru, meskipun itu hanya berupa kelokan kecil atau jalan tikus dalam berproses kreatif, ternyata hanya dilakukan oleh masing-masing penyair yang tidak menyerah pada kehendak zaman untuk tidak berhenti menulis, apa pun hasilnya.

Dari generasi saya, misalnya, yang masih menulis adalah, Acep Zamzam Noor, Hikmat Gumelar, dan Nirwan Dewanto. Sedangkan dari Generasi Juniarso Ridwan, selain Juniarso Ridwan adalah Beni Setia dan Yessi Anwar. Demikian juga dengan generasi Nenden Lilis Aisyah, yang masih menulis adalah Mat Don, Ahda Imran, Cecep Syamsul Hari, Eryandi Budiman, dan Mona Sylviana. Boleh jadi yang lainnya masih menulis, dan hal ini tidak terpantau oleh saya.

Tentu saja dalam perjalanannya lebih lanjut, perkembangan dan pertumbuhan kepenyairan di Bandung bukan hanya mereka yang saya sebutkan di atas. Ada generasi Yopi Umbara Putra, Ratna Ayu Budiarti, dan sederet nama lainnya, termasuk generasi Desiyanti Wirabrata dan Sinta Ridwan. Dalam konteks yang demikian itu, maka jelas sudah bahwa Bandung, besar atau kecil, telah menyumbangkan sesuatu bagi perkembangan dan pertumbuhan puisi Indonesia modern. Dan masalahnya sekarang adalah tinggal bagaimana kita melihat itu, dan mendudukkannya secara proporsional sehingga peta yang diharap bisa jelas adanya.***

* Tulisan ini merupakan makalah diskusi yang digelar oleh Majelis Sastra Bandung, di Gedung Indonesia Menggugat, Minggu (25/1).

** Soni Farid Maulana, penyair, wartawan HU "Pikiran Rakyat" Bandung.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 24 Januari 2009