Friday, November 03, 2006

Esai: Hukum Adat dalam Hukum Islam

-- Fachruddin*


ISLAM adalah agama samawi atau agama wahyu. Dasar-dasar hukum Islam adalah Alquran sebagai kitab yang berisikan wahyu-wahyu yang telah diterima Nabi Muhammad saw. Dasar hukum yang kedua adalah apa-apa yang telah dilakukan, diucapkan, dan disetujui Rasul sebagai contoh untuk melakukan Alquran tersebut, yang selanjutnya disebut hadit. Dasar hukum ketiga adalah ijmak dan kias. Keduanya baru dilakukan manakala ada keharusan penetapan hukum sementara tidak ditemukan aturannya baik dalam Alquran ataupun hadit.

Walaupun begitu, hukum Islam mengenal dan membenarkan hukum adat. Para ahli usul fikih menerima adat yang dalam bahasa fikih disebut dengan urf dengan batasan sebagai sesuatu yang dilakukan atau diucapkan berulang-ulang oleh banyak orang, sehingga dianggap baik dan diterima jiwa dan akal yang sehat. Dalam hal akidah dan ibadah urf tak lazim digunakan, sementara para ahli usul fikih yang menerima cenderung untuk membatasinya dalam masalah masalah muamalah.

Muamalah adalah bagian dari hukum Islam yang menetapkan hukum tentang hubungan seseorang dengan orang lain, baik secara pribadi maupun berbentuk badan hukum. Dalam istilah fikih disebut al-syakhsiyyah al-itibariyyah. Muamalah meliputi jual beli, sewa menyewa, dan perserikatan.

Memang ada perbedaan prinsip antara akidah dan muamalah. Dalam akidah, semua akan dilarang kecuali hal yang diperintahkan. Sedangkan dalam muamalah semuanya boleh kecuali hal yang dilarang. Dengan demikian, dalam hal hukum muamalah, menerima hukum adat adalah sesuatu yang legal.

Ada dua alasan mengapa hukum adat dapat diterima dalam hukum Islam dalam menentukan status hukun atas sesuatu. Pertama, sebuah hadis yang mengatakan, "Sesungguhnya yang dianggap ummat Islam baik, maka di sisi Allah juga akan dianggap baik". Kedua, dalil, "Jadilah engkau sebagai orang yang pemaaf dan suruhlah orang yang melakukan kebaikan (makruf) sebagai penguat untuk menjadikan adat (urf).

Sebagai salah satu dalil hukum (dalam Islam), Islam membagi hukum adat jadi dua bagian. Pertama, urf sahih, yaitu hukum adat yang tidak bertentangan dengan Alquran dan sunah (hadis), tidak menghalalkan yang haram, dan tidak mengharamkan yang halal. Umpama sesan dalam adat perkawinan di Lampung, tetapi bukan bagian dari mahar melainkan hadiah untuk memuliakan.

Kedua, urf fasid (ditolak syara) karena menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. Umpama menghalalkan riba atau khamar (minuman keras) pada waktu waktu tertentu.

Hukum adat atau urf sahih dalam Islam dapat dibagi dua: (1) urf yakni hukum adat yang berlaku di berbagai tempat, dan (2) urf khass yakni hukum adat yang berlaku di tempat tertentu. Baik amm ataupun khass dapat dijadikan hukum Islam sejauh hanya meliputi muamalah dan tidak bertentangan dengan hukum Islam yang berdasarkan Alquran dan sunah. Para ulama fikih menyepakati hukum adat sebagai dalil penetapan hukum Islam. Bagi Imam Hanafi, jika urf amm bertentangan dengan kias, ia akan memilih urf amm. Sementara Imam Maliki menggunakan hukum adat sebagai dalil dalam menetapkan hukum dengan rumus al-maslahah al-mursalah (masalah yang tidak didukung dan tidak pula ditolak oleh nas).

Dengan demikian, dalam menetapkan hukum Islam hukum adat dapat dijadikan latar hukum Islam. Para pelaku penetap hukum Islam (mujtahid) harus mempertimbangkan hukum adat dalam menetapkan hukum Islam seperti kesepakatan ahli hukum Islam (fukaha) yang menetapkan rumus dalam ilmu fikih addah muhakkamah (hukum adat dapat dijadikan landasan hukum Islam), dan juga rumus lain al-maruf urfan ka al-masyrut syartan (yang baik itu menjadi kebiasaan, sama halnya dengan yang disyaratkan menjadi syarat).

Rumus-rumus tersebut barangkali yang digunakan para Walisongo dalam menetapkan ajaran-ajarannya di Indonesia, sehingga dakwah saat itu lancar adanya. Kebiasaan lama menyangkut masalah tradisi masyarakat yang penganut Hindu dan animisme sebagian masih dipertahankan. Sayang, Walisongo belum tuntas bekerja, banyak akidah yang masih tercampur- baur sementara tantangan internal dan eksternal semakin bertumpuk, sedangkan kerajaan semakin melemah. Hal tersebut kiranya menjadi PR bagi kita semua.

Sayang pula ahli hukum Islam saat ini mengalami stagnan. Demikian banyak sebetulnya bidang garapan kasus hukum di Lampung yang membutuhkan hukum Islam dan hukum adat.

* Fachruddin, Peneliti kebudayaan independen, PNS pada UPTD BPKB Dinas Pendidikan Provinsi Lampung


Sumber: Lampung Post, Jumat, 3 November 2006

3 comments:

Unknown said...

Terimakasih atas pencerahannya mas... :) . Sangat bermanfaat

Unknown said...

Terimakasih atas pencerahannya mas... :) . Sangat bermanfaat

Ratni's said...

Thank you so much